• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Citra

Menurut arti secara harfiah, citra (image) adalah gambar pada bidang dua dimensi. Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi menerus (continue) dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Sumber cahaya menerangi objek, kemudian objek memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya. Pantulan cahaya ini ditangkap oleh alat-alat optic, seperti mata pada manusia, kamera, pemindai (scanner), dan lain-lain sehingga bayangan objek dalam bentuk citra dapat terekam (Sitorus, Syahriol dkk, 2006).

Citra didefinisikan sebagai fungsi intensitas cahaya dua-dimensi f (x,y) dimana x dan y menunjukkan koordinat spasial, dan nilai f pada suatu titik (x,y) sebanding dengan tingkat kecerahan (gray level) dari citra di titik tersebut (Gonzalez dalam Purwanto, Ari).

Citra sebagai output dari suatu sistem perekaman data dapat bersifat (Sitorus, Syahriol dkk, 2006):

1. Optik berupa foto.

2. Analog berupa sinyal video seperti gambar pada monitor televisi.

(2)

Citra dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu citra diam (still images) dan citra bergerak (moving images). Citra diam adalah citra tunggal yang tidak bergerak. Sedang citra bergerak adalah rangkaian citra diam yang ditampilkan secara beruntun (sekuensial), sehingga memberi kesan pada mata sebagai gambar yang bergerak. Setiap citra didalam rangkaian itu disebut frame. Gambar-gambar yang tampak pada film layar lebar atau televisi pada hakekatnya terdiri dari ratusan sampai ribuan frame (Sitorus, Syahriol dkk, 2006).

Citra juga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu citra tampak seperti foto, gambar, lukisan, apa yang nampak di layar monitor/televisi, hologram, dan lain sebagainya. Sedangkan citra tidak tampak seperti data foto/gambar dalam file, citra yang direpresentasikan dalam fungsi matematis (Hestiningsih, Idhawati).

Citra digital adalah citra dengan f (x,y) yang nilainya didigitalisasikan baik dalam koordinat spasial maupun dalam gray level. Digitalisasi dari koordinat spasial citra disebut dengan image sampling. Sedangkan digitalisasi dari gray level citra disebut dengan gray-level quantization. Citra digital dapat dibayangkan sebagai suatu matriks dimana baris dan kolomnya merepresentasikan suatu titik di dalam citra, dan nilai elemen matriks tersebut menunjukkan gray level di titik tersebut (Gonzalez dalam Purwanto, Ari). Hal tersebut diilustrasikan oleh Gambar 2.1.

(3)

Teknologi dasar untuk menciptakan dan menampilkan warna pada citra digital berdasarkan pada penelitian bahwa sebuah warna merupakan kombinasi dari tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru (Red, Green, Blue - RGB). Komposisi warna RGB tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Komposisi Warna RGB

Beberapa kegiatan yang berhubungan dengan citra (Idhawati Hestiningsih):

1. Pencitraan (imaging)

Pencitraan merupakan kegiatan mengubah informasi dari citra tampak/citra non digital menjadi citra digital. Beberapa alat yang dapat digunakan untuk pencitraan antara lain sperti scanner, kamera digital, dan kamera sinar-x/sinar infra merah.

2. Pengolahan Citra

Pengolahan citra merupakan kegiatan memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia/mesin (komputer). Masukannya adalah citra dan keluarannya juga citra tapi dengan kualitas lebih baik daripada citra masukan, misal suatu citra warnanya kurang tajam, kabur (blurring), mengandung noise (misal bintik-bintik putih), dan lain-lain sehingga perlu ada pemrosesan untuk

(4)

memperbaiki citra karena citra tersebut menjadi sulit diinterpretasikan karena informasi yang disampaikan menjadi berkurang.

3. Analisis Citra

Analisis citra merupakan kegiatan menganalisis citra sehingga menghasilkan informasi untuk menetapkan keputusan (biasanya didampingi bidang ilmu kecerdasan buatan atau Aritificial Inteligence yaitu pengenalan pola atau sering disebut pattern recognition).

Gambar 2.3 Tiga kegiatan yang berkaitan dengan citra

Tiga bidang studi yang berkaitan dengan data citra dalam ilmu komputer (Sitorus, Syahriol dkk, 2006):

1. Grafika Komputer (Computer Graphic).

2. Pengolahan Citra (Image Processing).

3. Pengenalan Pola (Pattern Recognition/Image Interpretation).

Hubungan dari ketiga bidang ilmu tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Citra nondigital Pencitraan Pengolahan Citra Citra digital Citra digital (baru) Analisis Citra Informasi/ Keputusan Pengolahan Citra Citra Citra Deskripsi Deskripsi Gafika Komputer Pengenalan Pola

(5)

Gambar 2.4 Tiga bidang studi yang berkaitan dengan citra

Grafika komputer bertujuan menghasilkan citra yang lebih tepat disebut grafik atau picture dengan primitif geometri, seperti garis, lingkaran, volume, dan lain-lain. Primitif geometri tersebut memerlukan data deskriptif untuk melukis elemen-elemen gambar. Contoh dari data deskriptif adalah koordinat titik, panjang garis, jari-jari lingkaran, tebal garis, warna dan lain-lain. Grafika komputer memainkan peranan penting dalam visualisasi dan virtual reality. Untuk lebih jelas, perhatikan Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Contoh Grafika Komputer

Pengolahan citra bertujuan memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau mesin dalam hal ini komputer. Teknik-teknik pengolahan citra yaitu mentransformasi citra menjadi citra yang lain. Dalam pengolahan citra, masukannya adalah citra dan keluarannya juga citra, tetapi citra keluaran mempunyai kualitas lebih baik daripada citra masukan. Termasuk dalam bidang ini juga adalah pemampatan citra. Proses pengolahan citra antara lain penghilangan derau (noise) dan penapisan (filtering) citra. Untuk lebih jelas, perhatikan Gambar 2.6.

(6)

Gambar 2.6 Penghilangan noise pada Pengolahan Citra

Pengenalan pola adalah suatu aktivitas untuk mengelompokkan data numerik dan simbolik termasuk citra secara otomatis oleh mesin dalam hal ini komputer. Tujuan dari pengelompokan adalah untuk mengenali suatu objek di dalam citra. Manusia dapat mengenali objek yang dilihatnya karena otak manusia telah belajar mengklasifikasi objek yang terdapat di alam, sehingga mampu membedakan suatu objek dengan objek lainnya. Kemampuan sistem visual manusia inilah yang dicoba untuk ditiru oleh mesin. Komputer menerima masukan berupa citra objek yang diidentifikasi, memproses citra dan memberikan keluaran berupa deskripsi objek di dalam citra. Untuk lebih jelas, perhatikan Gambar 2.7.

(7)

Computer vision adalah aplikasi lain dalam artificial intelligence yang berkaitan erat dengan citra. Computer vision merupakan alat analisis dan evaluasi informasi visual dengan menggunakan komputer. Teknik artificial intelligence memungkinkan komputer bisa menguji sebuah gambar atau adegan nyata dengan mengidentifikasi objek, ciri-ciri, atau pola-polanya (Suparman dan Marlan, 2007).

Computer vision merupakan proses otomatis yang mengintegrasikan sejumlah besar proses untuk persepsi visual, seperti akuisisi citra, pengolahan citra, pengenalan dan membuat keputusan. Computer vision mencoba meniru cara kerja sistem visual manusia (human vision) yang sesungguhnya sangat kompleks. Manusia melihat objek dengan indera penglihatan (mata), lalu citra objek diteruskan ke otak untuk diinterpretasi sehingga manusia mengerti objek apa yang tampak dalam pandangan mata. Hasil interpretasi ini digunakan untuk pengambilan keputusan (Hestiningsih, Idhawati).

2.2 Pengenalan Pola

Pola adalah entitas yang terdefinisi atau didefinisikan melalui ciri-cirinya (feature). Ciri-ciri tersebut digunakan untuk membedakan suatu pola dengan pola yang lainnya. Ciri yang baik adalah ciri yang memiliki daya pembeda yang tinngi, sehingga pengelompokan pola berdasarkan ciri yang dimiliki dapat dilakukan dengan keakuratan yang tinggi (Sitorus, Syahriol dkk, 2006).

Pola adalah komposit/gabungan dari ciri yang merupakan sifat dari sebuah objek (Al Fatta, Hanif, 2009).

Beberapa contoh pola (Sitorus, Syahriol dkk, 2006):

1. Huruf, memiliki ciri-ciri seperti tinggi, tebal, titik sudut, dan lengkungan garis.

(8)

3. Tanda tangan, memiliki ciri-ciri seperti panjang, kerumitan, dan tekanan. 4. Sidik jari, memiliki ciri-ciri seperti lengkungan, dan jumlah garis.

Ciri-ciri pada suatu pola diperoleh dari hasil pengukuran pada titik objek uji. Khusus pada pola yang terdapat didalam citra, ciri-ciri yang dapat diperoleh berasal dari informasi (Sitorus, Syahriol dkk, 2006):

1. Spasial, seperti intensitas piksel dan histogram.

2. Tepi, seperti arah dan kekuatan.

3. Kontur, seperti garis, ellips dan lingkaran.

4. Wilayah/bentuk, seperti keliling, luas dan pusat massa.

5. Hasil transformasi Fourier, seperti frekuensi.

Pengenalan pola bertujuan menentukan kelompok atau kategori pola berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki oleh pola tersebut. Dengan kata lain, pengenalan pola membedakan suatu objek dengan objek yang lain (Sitorus, Syahriol dkk, 2006):

Pengenalan pola sendiri merupakan cabang dari kecerdasan buatan (Artificial Inteligence).Beberapa definisi tentang pengenalan pola, di antaranya:

1. Penentuan suatu objek fisik atau kejadian ke dalam salah satu atau beberapa kategori. (Duda dan Hart dalam Al Fatta, Hanif, 2009).

2. Ilmu pengetahuan yang menitikberatkan pada deskripsi dan klasifikasi (pengenalan) dari suatu pengukuran. (Schalkoff dalam Al Fatta, Hanif, 2009).

Berdasarkan definisi di atas, pengenalan pola dapat didefinisikan sebagai cabang kecerdasan buatan yang menitikberatkan pada metode pengklasifikasian objek ke dalam kelas-kelas tertentu untuk menyelesaikan masalah tertentu.

(9)

Pengenalan pola merupakan cabang dari kecerdasan buatan yang saat ini berkembang pesat untuk mendukung aspek keamanan suatu sistem. Saat ini, aplikasi-aplikasi pengenalan pola juga sudah sangat beragam, di antaranya:

1. Voice recognition yang menggunakan pengenalan suara sebagai kunci bagi pengguna sistem.

2. Fingerprint identification yang menggunakan pengenalan sidik jari sebagi kunci telah dipakai secara luas sebagai pengganti password atau pin untuk mengakses sistem tertentu.

3. Face identification yang menggunakan pengenalan wajah sebagai kunci bagi pengguna sistem, bahkan saat ini badan penegak hukum sedang mengembangkan sistem untuk mengidenfikasi para buronan dengan melakukan scanning pada wajah para pelaku kejahatan yang sudah di-database-kan berdasarkan foto pelaku kejahatan tersebut.

4. Handwriting identification yang menggunakan pengenalan tulisan yang telah secara luas digunakan oleh sistem perbankan untuk membuktikan pelaku transaksi adalah orang yang benar-benar berhak.

5. Optical Character Recognition (OCR) yang secara luas digunakan pada counter pengecekan barang.

6. Robot vision yang digunakan oleh aplikasi robotik dalam mengenali objek tertentu pada lingkungan yang unik.

2.2.1 Komponen Sistem Pengenalan Pola

(10)

1. Sensor

Sensor digunakan untuk menangkap objek yang ciri atau feature-nya akan diekstraksi.

2. Mekanisme Pre-processing

Mekanisme pengolahan objek yang ditangkap oleh sensor, bagian ini biasanya digunakan untuk mengurangi kompleksitas ciri yang akan dipakai untuk proses klasifikasi.

3. Mekanisme Pencari Feature

Bagian ini digunakan untuk mengekstraksi ciri yang telah melalui tahapan pre-processing untuk memisahkannya dari kumpulan ciri-ciri yang tidak diperlukan dalam proses klasifikasi dari suatu objek.

4. Algoritma Pemilah

Pada tahapan ini klasifikasi dilakukan dengan menggunakan algoritma klasifikasi tertentu. Hasil dari tahapan ini adalah klasifikasi dari objek yang ditangkap ke dalam kriteria-kriteria yang telah ditentukan.

2.2.2 Pendekatan Pengenalan Pola

Aplikasi pengenalan pola dapat dibuat dengan beberapa pendekatan. Ada pendekatan yang menggunakan basis statistikal untuk menghasilkan pola. Pendekatan lainnya menggunakan struktur dari pola yang menyediakan informasi fundamental untuk pengenalan pola. Pendekatan lain lagi adalah dengan membangun dan melatih suatu arsitektur yang secara akurat mengasosiasikan input pola tertentu dengan respon yang diharapkan.

1. Pendekatan Pengenalan Pola Statistikal

Pengenalan pola stastistikal memiliki asumsi suatu basis statistik untuk algoritma klasifikasi. Sekelompok karakteristik pengukuran yang

(11)

menunujukkan ciri diekstraksi dari data input dan digunakan untuk menentukan setiap vector fitur ke dalam suatu kelas. Ciri (feature) diasumsikan dihasilkan secara natural, sehingga model yang bersangkutan merupakan kelas-kelas probabilitas atau fungsi kepadatan probabilitas (Probability Density Function) yang telah dikondisikan.

a. Pola dipilah berdasarkan model statistik dari ciri.

b. Model statistik didefinisikan sebagai sebuah fungsi kerapatan ruang bersyarat kelas.

dengan i = 1, 2, 3, … ,N

2. Pendekatan Pengenalan Pola Sintaktik

Suatu pendekatan terhadap suatu pola citra dilakukan dengan menganalisis struktur pola dari citra.

a. Pola dipilah berdasarkan keserupaan ukuran struktural.

b. “Pengetahuan” direpresentasikan secara formal grammar atau deskripsi relasional yang menghasilkan deskripsi hierarki dari pola kompleks yang tersusun dari pola bagian yang lebih sederhana.

3. Pendekatan Pengenalan Pola Neural

Pendekatan yang ketiga yaitu pengenalan pola neural, metode ini merupakan gabungan dari kedua cara sebelumnya yaitu secara statistik dan sintaktik, itu artinya pendekatan dengan cara ini akan menyimpan semua fakta dari objek. Sehingga semakin sering sistem dilatih maka semakin cerdas pula sistem yang dihasilkan. Pendekatan ini merupakan bagian dari jaringan saraf tiruan untuk mengidentifikasi pola.

a. Pemilahan dilakukan berdasarkan tanggapan suatu jaringan pengolah sinyal (neuron) terhadap stimulus masukan (pola).

(12)

b. “Pengetahuan” disimpan dalam sambungan antarneuron dan pembobot sinaptik.

2.3 Pengenalan Wajah (Face Recognition)

Secara umum sistem pengenalan citra wajah dibagi menjadi dua jenis, yaitu sistem feature-based dan sistem image-based. Pada sistem pertama digunakan ciri yang diekstraksi dari komponen citra wajah seperti mata, hidung, mulut, dan lain-lain yang kemudian dimodelkan secara geometris hubungan antara ciri-ciri tersebut. Sedangkan pada sistem ke dua menggunakan informasi mentah dari piksel citra yang kemudian direpresentasikan dalam metode tertentu, misalnya seperti Principal Component Analysis (PCA) atau transformasi wavelet yang digunakan untuk klasifikasi indentitas citra (Al Fatta, Hanif, 2009).

Penelitian tentang deteksi wajah dan pengenalan wajah telah dilakukan sebelumnya, antara lain dengan menggunakan algoritma Eigenface (Turk dan Pentland, 1991), dengan distribusi Gaussian dan Clustering (Sung dan Poggio, 1994), dengan Support Vector Machine (Osuna dkk, 1997), dan dengan metode Statistic dan Wavelet (Schneiderman, 2000).

Alan Brooks pernah mengembangkan sebuah penelitian yang membandingkan dua algoritma yaitu Eigenface dan Fisherface. Penelitian ini difokuskan pada perubahan pose wajah apakah mempengaruhi akurasi pengenalan wajah. Diberikan database latih berupa foto wajah manusia, kemudian digunakan untuk melatih sebuah sistem pengenalan wajah, setelah proses latihan selesai, diberikan sebuah masukan image yang sebenarnya sama dengan salah satu image wajah pada fase latihan tetapi dengan pose yang berbeda. Sistem juga diharapkan punya sensitifitas minimal terhadap pencahayaan. Sistem dikembangkan dengan dua algoritma yaitu Eigenface dan Fisherface, dan dibandingkan hasilnya. Kedua teknik menghasilkan hasil yang memuaskan tetapi ada beberapa perbedaan Pada Eigenface kompleksitas komputasi lebih sederhana daripada Fisherface. Dari segi efektifitas karena perubahan pose Fisherface memberikan hasil yang lebih baik, bahkan dengan data yang lebih terbatas.

(13)

Teknik Eigenface juga lebih sensitif terhadap pencahayaan dibandingkan dengan Fisherface (Purwanto, Ari).

2.3.1 Eigenface

Kata eigenface sebenarnya berasal dari bahasa Jerman “eigenwert” dimana “eigen” artinya karakteristik dan “wert” artinya nilai. Eigenface adalah salah satu algoritma pengenalan pola wajah yang berdasarkan pada Principle Component Analysis (PCA) yang dikembangkan di MIT. Eigenface merupakan kumpulan dari eigenvector yang digunakan untuk masalah computer vision pada pengenalan wajah manusia (Prasetyo, Eri dan Isna Rahmatun).

Eigenface adalah sekumpulan standardize face ingredient yang diambil dari analisis statistik dari banyak gambar wajah (Layman dalam Al Fatta, Hanif, 2009).

Untuk menghasilkan eigenface, sekumpulan citra digital dari wajah manusia diambil pada kondisi pencahayaan yang sama kemudian dinormalisasikan dan diproses pada resolusi yang sama (misal m x n), kemudian citra tadi diperlakukan sebagai vektor dimensi m x n dimana komponennya diambil dari nilai piksel citra.

2.3.2 Transformasi Karhunen-Loeve

Di tahun 1933 Hotelling mengajukan sebuah teknik untuk mengurangi dimensi sebuah ruang yang direpresentasikan oleh variabel statistik ( , dimana variabel tersebut biasanya saling berkorelasi satu dengan yang lain. Pertanyaan kemudian timbul akibat konsekuesi di atas, apakah terdapat sebuah himpunan variabel baru yang memiliki sifat yang relatif sama dengan variabel sebelumnya dimana dikehendaki himpunan variabel baru tersebut memiliki jumlah variabel (dimensi) yang lebih sedikit dari variabel sebelumnya. Selanjutnya Hotelling menyebut metode tersebut sebagai Principal Component Analysis (PCA) atau kadang juga disebut Transformasi Hotelling dan Transformasi Karhunen Loeve.

(14)

Transformasi Karhunen-Loeve banyak digunakan untuk memproyeksikan atau mengubah suatu kumpulan data berukuran besar menjadi bentuk representasi data lain dengan ukuran yang lebih kecil. Transformasi Karhunen-Loeve terhadap sebuah ruang data yang besar akan menghasilkan sejumlah vektor basis ortonormal ke dalam bentuk kumpulan vector eigen dari suatu matriks kovarian tertentu, yang dapat secara optimal merepresentasikan distribusi data.

Bentuk umum dari Principal Component Analysis dapat dilihat berikut ini:

dimana C merupakan matriks kovarian, x merupakan image ( dan Ψ adalah rata-rata image yang dihasilkan dari merata-rata x . Dengan dekomposisi eigen, matriks kovarian ini dapat didekomposisi menjadi :

dimana Ф adalah selisih antara image (x) dengan nilai tengah (Ψ). Pilih sejumlah m kolom dari matriks Ф yang berasosiasi dengan eigenvalue terbesar. Pemilihan sejumlah m kolom dari matriks Ф ini menghasilkan matriks transformasi atau matriks proyeksi . Berikutnya sebuah image x (berdimensi n) dapat diekstraksi kedalam feature baru y (berdimensi m < n) dengan memproyeksikan x searah dengan sebagai berikut:

Dengan kata lain metode PCA memproyeksikan ruang asal kedalam ruang baru yang berdimensi lebih rendah , yang mana sebanyak mungkin kandungan informasi asal tetap dipertahankan untuk tidak terlalu banyak hilang setelah dibawa ke dimensi feature yang lebih kecil. Disini terlihat reduksi feature yang signifikan dari n buah menjadi m buah yang tentunya akan sangat meringankan komputasi dalam proses pengenalan berikutnya.

(15)

2.3.3 Eigenvalue dan Eigenvector

Nilai eigenvalue dari suatu matriks bujursangkar merupakan polynomial karakteristik dari matriks tersebut; jika λ adalah eigenvalue dari A maka akan ekuivalen dengan persamaan linier (A – λI) v = 0 (dimana I adalah matriks identitas) yang memiliki pemecahan non-zero v (suatu eigenvector), sehingga akan ekuivalen dengan determinan

det (A – λI) = 0

Fungsi p(λ) = det (A – λI) adalah sebuah polynomial dalam λ karena determinan dihitung dengan sum of product. Semua eigenvalue dari suatu matriks A dapat dihitung dengan menyelesaikan persamaan pA(λ) = 0. Jika A adalah matriks ukuran n x n, maka pA memiliki derajat n dan A akan memiliki paling banyak n buah eigenvalue.

2.3.4 Mencari Eigenvector

Jika eigenvalue λ diketahui, eigenvector dapat dicari dengan memecahkan:

(A – λI) v = 0

Dalam beberapa kasus dapat dijumpai suatu matriks tanpa eigenvalue, misalnya:

dimana karakteristik bilangan polynomialnya adalah λ2 + 1 sehingga eigenvalue adalah bilangan kompleks i, -i. Eigenvector yang berasosiasi juga tidak riil.

(16)

maka polynomial karakteristiknya dapat dicari sebagai berikut:

det

ini adalah persamaan kuadrat dengan akar-akarnya adalah λ = 2 dan λ = 3.

Adapun eigenvector yang didapat ada dua buah. Eigenvector pertama dicari dengan mensubtitusikan λ = 3 ke dalam persamaan. Misalnya adalah eigenvector yang berasosiasi dengan eigenvalue λ = 3. Set dengan nilai:

Kemudian subtitusikan dengan v pada persamaan:

( A – λI) v = 0

sehingga diperoleh:

dapat disederhanakan menjadi:

= 0 atau

sehingga eigenvector untuk eigenvalue λ = 3 adalah:

Hubungan antara eigenvalue dan eigenvector dari suatu matriks digambarkan oleh persamaan

(17)

dimana v adalah eigenvector dari matriks M dan λ adalah eigenvalue. Terdapat n buah eigenvector dan eigenvalue dalam sebuah matriks.

2.3.5 Algoritma Eigenface

Prinsip dasar dari pengenalan wajah adalah dengan mengutip informasi unik wajah tersebut kemudian di-encode dan dibandingkan dengan hasil decode yang sebelumnya dilakukan. Dalam metode eigenface, decoding dilakukan dengan menghitung eigenvector kemudian direpresentasikan dalam sebuah matriks yang berukuran besar.

Algoritma Eigenface secara keseluruhan cukup sederhana. Image Matriks (Γ) direpresentasikan ke dalam sebuah himpunan matriks . Cari nilai rata-rata (Ψ) dan gunakan untuk mengekstraksi eigenvector (v) dan eigenvalue (λ) dari himpunan matriks. Gunakan nilai eigenvector untuk mendapatkan nilai eigenface dari image. Apabila ada sebuah image baru atau test face ( ) yang ingin dikenali, proses yang sama juga diberlakukan untuk image ( ), untuk mengekstraksi eigenvector (v) dan eigenvalue (λ), kemudian cari nilai eigenface dari image test face ( ). Setelah itu barulah image baru ( ) memasuki tahapan pengenalan dengan menggunakan metode euclidean distance. Alur prosesnya dapat dilihat pada Gambar 2.8.

(18)

Gambar 2.8 Alur proses identifikasi image menggunakan algoritma eigenface

End Start Database Wajah Training Image X = Eigenface X Test Face Xn = Eigenface Xn Tampilkan dan ya tidak

(19)

Algoritma selengkapnya adalah:

Tahapan Perhitungan Eigenface:

1. Langkah pertama adalah menyiapkan data dengan membuat suatu

himpunan S yang terdiri dari seluruh training image .

S =

2. Langkah kedua adalah ambil nilai tengah atau mean (Ψ)

3. Langkah ketiga kemudian cari selisih (Ф) antara training image (

dengan nilai tengah (Ψ)

4. Langkah keempat adalah menghitung nilai matriks kovarian (C)

5. Langkah kelima menghitung eigenvalue (λ) dan eigenvector (v) dari

matriks kovarian (C)

6. Langkah keenam, setelah eigenvector (v) diperoleh, maka eigenface (μ) dapat dicari dengan:

(20)

l = 1,…, M

Tahapan Pengenalan:

1. Sebuah image wajah baru atau test face ( ) akan dicoba untuk dikenali, pertama terapkan cara pada tahapan pertama perhitungan eigenface untuk mendapatkan nilai eigenface dari image tersebut.

2. Gunakan metode Euclidean Distance untuk mencari jarak (distance) terpendek antara nilai eigenface dari training image dalam database dengan eigenface dari image test face.

2.4 Data Flow Diagram (DFD)

Data Flow Diagram (DFD) adalah alat pembuatan model yang memungkinkan profesional sistem untuk menggambarkan sistem sebagai suatu jaringan proses fungsional yang dihubungkan satu sama lain dengan alur data, baik secara manual maupun komputerisasi. DFD ini sering juga disebut dengan nama Bubble chart, Bubble diagram, model proses, diagram alur kerja, atau model fungsi.

DFD ini adalah salah satu alat pembuatan model yang sering digunakan, khususnya bila fungsi-fungsi sistem merupakan bagian yang lebih penting dan kompleks dari pada data yang dimanipulasi oleh sistem. Dengan kata lain, DFD adalah alat pembuatan model yang memberikan penekanan hanya pada fungsi sistem.

(21)

DFD ini merupakan alat perancangan sistem yang berorientasi pada alur data dengan konsep dekomposisi dapat digunakan untuk penggambaran analisis maupun rancangan sistem yang mudah dikomunikasikan oleh profesional sistem kepada pemakai maupun pembuat program.

Gambar 2.8 Komponen Data Flow Diagram Menurut Yourdan dan DeMarco

Gambar 2.10 Komponen Data Flow Diagram Menurut Gene dan Serson

Terminator Proses Data Store Alur Data

Gambar

Gambar 2.1 Citra Digital
Gambar 2.2 Komposisi Warna RGB
Gambar 2.3 Tiga kegiatan yang berkaitan dengan citra
Gambar 2.4 Tiga bidang studi yang berkaitan dengan citra
+4

Referensi

Dokumen terkait

Semoga materi kegiatan pembelajaran tentang konsep dasar program BK di sekolah ini dapat memberikan manfaat bagi guru Bimbingan dan Konseling dalam upaya peningkatan

Akan tetapi SIMPUS dan pengolahan registrasi pasien di instansi ini, ada beberapa yang masih mempunyai kendala yaitu masih kurang efektif dan belum memaksimalkan

Pertama, bagi pengembangan teori, hasil penelitian ini akan dapat digunakan sebagai landasan untuk pengembangan bahan ajar, model atau pendekatan pembelajaran

5 Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sleman Yogyakarta pada tanggal 05 Maret 2014 dengan cara pengamatan dan

Penelitian ini menggunakan analisa tabel tunggal, yang merupakan analisa yang dilakukan dengan membagi variabel-variabel penelitian kedalam jumlah frekuensi dan

Dari hasil penelitian setelah dilakukan perawatan luka di rumah pada pasien ulkus diabetes melitus terdapat pengaruh kecemasan yang semula sebelum dilakukan

Sehingga diperlukan cara-cara yang tepat agar setiap gangguan pada jaringan distribusi kabel tanah dan lokasi gangguannya dapat diketahui dengan cepat dan tepat,

Suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipetensi &gt; 160/110 mmHg disertai protein urine dan atau edema, pada kehamilan 20 minggu atau lebih.. Menentukan