BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pembahasan pada Bab II mengenai kajian pustaka yang diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan serta dapat menunjang pembahasan dan penguatan pendapat dalam pembuatan Tugas Akhir. Kajian pustaka ini dilakukan dari buku, pedoman, peraturan, tulisan karya ilmiah, jurnal, dan internet. Pembahasan diawali dengan penjelasan tentang jalan tol, pemeliharaan jalan tol, strategi pemeliharaan dengan metode Scraping Filling Overlay (SFO), analisis biaya siklus hidup, kinerja serta parameter perkerasan jalan, lalu lintas, kalibrasi model kinerja perkerasan, sistem manajemen pemeliharaan jalan, biaya pemeliharaan jalan, dan Net Present Worth (NPW).
2.1. Jalan Tol
Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol (PP RI No. 15 Tentang Jalan Tol, 2005). Penyelenggaraan jalan tol dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta keseimbangan dalam pengembangan wilayah dengan memperhatikan keadilan, yang dapat dicapai dengan membina jaringan jalan yang dananya berasal dari pengguna jalan.
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementrian Pekerjaan Umum RI, menyebutkan bahwa manfaat dari penyelenggaraan jalan tol adalah:
1. Pembangunan jalan tol akan berpengaruh pada perkembangan wilayah dan peningkatan ekonomi.
2. Meningkatkan mobilitas dan aksesibilitas orang dan barang.
3. Pengguna jalan tol akan mendapatkan keuntungan berupa penghematan biaya operasi kendaraan (BOK) dan waktu dibanding apabila melewati jalan non-tol.
4. Badan Usaha mendapatkan pengembalian investasi melalui pendapatan tol yang tergantung pada kepastian tarif tol.
2.1.1. Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol
Dalam Peraturan Menteri nomor 392/PRT/M/2005 yang dimaksud dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ukuran yang harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Ketentuan lebih lanjut mengenai SPM jalan tol dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol
NO SUBSTANSI PELAYANAN
STANDAR PELAYANAN MINIMUM INDIKATOR CAKUPAN /
LINGKUP TOLOK UKUR
1 Kondisi Jalan
Tol
Kekesatan Seluruh Ruas Jalan Tol > 0,33 μm
Ketidakrataan Seluruh Ruas Jalan Tol IRI ≤ 4 m/km
Tidak ada Lubang Seluruh Ruas Jalan Tol 100 %
2 Kecepatan Tempuh Rata- Rata Kecepatan Tempuh Rata-Rata
Jalan Tol Dalam Kota
≥1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata Jalan
Non Tol Jalan Tol Luar Kota
≥1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata Jalan
Non Tol
3 Aksesibilitas
Kecepatan Transaksi
Rata-Rata
Gerbang Tol sistem Terbuka ≤ 8 detik setiap kendaraan Gerbang Tol sistem tertutup : Gardu masuk ≤ 7 detik setiap kendaraan Gardu keluar ≤ 11 detik setiap kendaraan
Jumlah Gardu Tol
Kapasitas Sistem Terbuka
≤ 450 kendaraan per jam per Gardu Kapasitas Sistem Tertutup Gardu masuk ≤ 500 kendaraan per jam Gardu keluar ≤ 300 kendaraan per jam 4 Mobilitas Kecepatan Penanganan Hambatan Lalu Lintas Wilayah Pengamatan/ Observasi Patroli
30 menit per siklus pengamatan Mulai Informasi Diterima Sampai ke Tempat Kejadian : ≤ 30 menit Penanganan Akibat Kendaraan Mogok Melakukan penderekan ke Pintu Gerbang Tol terdekat/
Bengkel terdekat dengan menggunakan
derek resmi (gratis) Patroli Kendaraan
Derek
30 menit per siklus pengamatan 5 Keselamatan Sarana Pengaturan Lalu Lintas : Perambuan Kelengkapan dan Kejelasan Perintah dan
Larangan serta Petunjuk 100 % Jumlah 100 % dan
Guide Post /
Reflektor Fungsi dan Manfaat
Jumlah 100 % dan Reflektifitas ≥ 80 % Patok Kilometer
Setiap 1 km Fungsi dan Manfaat 100 %
Penerangan Jalan Umum (PJU)
Wilayah Perkotaan
Fungsi dan Manfaat Lampu Menyala
100%
Pagar Rumija Fungsi dan Manfaat Keberadaan 100 %
Penanganan Kecelakaan
Korban Kecelakaan Dievakuasi gratis ke
rumah sakit rujukan
Kendaraan Kecelakaan
Melakukan penderekan gratis sampai ke pool derek (masih di dalam jalan
tol) Pengamanan dan
Penegakan Hukum
Ruas Jalan Tol
Keberadaan Polisi Patroli Jalan Raya (PJR) yang siap panggil 24 jam 6 Unit Pertolongan / Penyelamatan dan Bantuan Pelayanan
Ambulans Ruas Jalan Tol
1 Unit per 25 km atau minimum 1 unit (dilengkapi standar P3K dan Paramedis) Kendaraan Derek Ruas Jalan Tol LHR >100.000 kend/hari
1 Unit per 5 km atau minimum 1 unit LHR
≤ 100.000 kend/hari
1 Unit per 10 km atau minimum 1 unit Polisi Patroli Jalan Raya (PJR) Ruas Jalan Tol LHR > 100.000 kend/hari
1 Unit per 15 km atau minimum 1 unit LHR
≤ 100.000 kend/hari
1 Unit per 20 km atau minimum 1 unit Patroli Jalan Tol
(Operator) Ruas Jalan Tol
1 Unit per 15 km atau minimum 2 unit Kendaraan
Rescue Ruas Jalan Tol
1 Unit per ruas Jalan Tol (dilengkapi dengan
peralatan penyelamatan) Sistem Informasi Informasi dan Komunikasi Kondisi Lalu Lintas Setiap Gerbang masuk
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/M/2005
2.2. Pemeliharaan Jalan
Pemeliharaan jalan khususnya untuk jalan tol merupakan suatu kegiatan perawatan, rehabilitasi dan peningkatan (Kepmen Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 353, 2001). Dalam pasal 26 disebutkan bahwa: 1. Pemeliharaan Jalan Tol meliputi kegiatan perawatan, rehabilitasi dan
peningkatan Jalan Tol.
2. Perawatan meliputi kegiatan pemeliharaan rutin Jalan Tol.
3. Pemeliharaan rutin terdiri atas perawatan Jalan Tol, perawatan perlengkapan Jalan Tol dan perawatan fasilitas Tol.
4. Pemeliharaan berkala meliputi kegiatan untuk mempertahankan struktur perkerasan sampai dengan umur rencana, berupa pelapisan ulang yang bersifat non-struktural.
5. Pemeliharaan khusus meliputi kegiatan pemeliharaan terhadap kerusakan akibat bencana alam, antara lain gempa bumi, longsor dan banjir.
6. Rehabilitasi meliputi kegiatan pemeliharaan Jalan Tol yang tidak terencana untuk menampung kerusakan-kerusakan setempat yang mengakibatkan penurunan yang tidak wajar dari kemampuan pelayanan bagian Jalan Tol tertentu.
Menurut PP tahun 2005 pasal 53, pemeliharaan jalan tol ini meliputi pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, dan peningkatan. Dalam jurnal yang dikeluarkan oleh Institut Pertanian Bogor, jalan tol yang terus dikembangkan ini belum mampu memberikan pelayanan secara maksimal. Hal ini berkaitan dengan masih banyaknya permasalahan yang terkait dengan rendahnya tingkat pelayanan jalan tol yang diterima oleh masyarakat pengguna jalan tol yang merasakan ketidaknyamanan berkendaraan di jalan tol atau melalui pengamatan langsung secara visual.
Indikasi rendahnya tingkat pelayanan jalan tol tersebut, antara lain adalah (Jasa Marga, 2010 dalam Budiyono, 2012):
a. Kualitas fisik jalan tol yang rendah karena ketidakrataan dan terdapat banyak lubang.
b. Minimnya fasilitas penunjang keselamatan, termasuk rambu, marka, PJU, dan pagar rumija.
c. Tingginya tingkat kemacetan lalu lintas dibeberapa ruas jalan tol, khususnya jalan tol dalam kota.
d. Lamanya waktu perjalanan maupun waktu tempuh padahal kecepatan lalu lintas di jalan tol seharusnya 1,6 kali (untuk jalan tol dalam kota) atau 1,8 kali (untuk jalan tol antar-kota) lebih besar daripada kecepatan lalu lintas di jalan non-tol.
e. Antrian kendaraan sangat panjang di pintu tol (lebih panjang dari 2 km). f. Lemahnya pengaturan yang terkait dengan traffic management.
g. Terbatasnya jumlah gardu tol yang beroperasi.
h. Terbatasnya fasilitas penunjang yang mencakup PJR dan Patroli Operator.
Dari indikasi tersebut, maka perlu dilakukan suatu pemeliharaan agar jalan tol dapat digunakan sampai periode tertentu yang direncanakan. Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 02/PRT/M/2007, pemeliharaan jalan tol merupakan upaya yang dilakukan terhadap sebagian atau seluruh unsur jalan, dengan tujuan untuk mempertahankan, memulihkan atau meningkatkan kondisi jalan agar tetap dalam batas-batas standar pelayanan minimal jalan tol.
2.2.1. Tujuan Pemeliharaan Jalan
Secara umum dapat dijelaskan bahwa ada tiga tujuan utama dari pemeliharaan jalan adalah sebagai berikut (World Bank, 1988, dalam Puslitbang - Teknik Pengelolaan Jalan, 2005):
1. mempertahankan kondisi jalan agar tetap berfungsi, 2. mengurangi tingkat kerusakan jalan, dan
3. memperkecil biaya operasi kendaraan (BOK).
Pemeliharaan jalan yang dilakukan dengan baik, akan mengurangi laju kerusakan jalan, sehingga pengguna jalan akan merasakan kenyamanan dalam mengendarai kendaraan. Sebaliknya bila pemeliharaan tidak
dilakukan dengan baik akan mengakibatkan jalan cepat rusak dan pengguna jalan akan membayar lebih mahal untuk perbaikan kendaraan dan penggunaan bahan bakar.
2.2.2. Prioritas Pemeliharaan
Prioritas pemeliharaan jalan dimaksudkan untuk mengutamakan atau mendahulukan suatu penanganan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan data kondisi jalan, seperti nilai ketidakrataan perkerasan untuk menentukan ruas-ruas mana yang harus diprioritaskan untuk dilakukan pemeliharaan ataupun rehabilitasi.
Data-data kondisi jalan yang diperoleh tersebut digunakan untuk menggolongkan jalan-jalan yang ada dalam suatu jaringan jalan menjadi kondisi ‘baik’, ‘sedang’, ‘rusak’, dan ‘rusak berat’. Kemudian jalan dengan kondisi ‘baik’ dan ‘sedang’ tersebut diprioritaskan untuk pekerjaan pemeliharaan rutin, sedangkan untuk jalan dengan kondisi ‘rusak’ dan ’rusak berat’ nantinya akan dievaluasi lebih lanjut guna penentuan strategi penanganan pemeliharaan/perbaikan lainnya (Hicks and Mahoney, 1981, dalam Bung Jalan, 2009).
2.2.3. Strategi Pemeliharaan
Data kondisi jalan yang diperoleh dari survai kondisi kerusakan permukaan (pavement condition surface) digunakan untuk membuat rencana kegiatan tahunan yang sesuai dengan kondisi perkerasan yang ada. Strategi yang dilaksanakan tersebut dapat berupa jenis pemeliharaan rutin, periodik, atau rehabilitasi.
Strategi pemeliharaan yang direncanakan tersebut disesuaikan dengan kondisi dan jenis-jenis kerusakan yang terjadi. Dalam melakukan suatu strategi penanganan pemeliharaan perkerasan, diperlukan suatu cara atau metode dalam pelaksanaanya. Dalam Tugas Akhir ini metode yang digunakan untuk perancangan strategi, sesuai dengan metode penanganan pemeliharaan periodik yang diterapkan pada ruas jalan tol Jagorawi. yaitu dilakukan dengan cara scraping filling dan/atau overlay (SFO).
2.3. Metode Pemeliharaan SFO
Metode SFO merupakan salah satu metode dalam strategi penanganan pemeliharaan periodik. Yang dimaksud dengan SFO yaitu dengan dilakukan pembongkaran dan penggantian lapisan permukaan atas dengan bahan pengganti yang mempunyai kualitas yang baik.
Pemeliharaan SFO dilakukan secara segmental sepanjang 100 meter per segmennya, sehingga metode tersebut efektif dan efisien dilakukan untuk segmen-segmen yang diperlukan overlay tetapi jaraknya berjauhan antara satu dengan yang lainnya. Pemeliharaan tersebut didasarkan atas data ketidakrataan, kekesatan, alur, dan kerusakan. Dalam Tugas Akhir ini, perancangan untuk strategi pemeliharaan SFO hanya menggunakan dan melakukan analisis dari data ketidakrataan perkerasan saja.
Jenis penanganan SFO ada 2, yaitu sebagai berikut:
1. SFO lapis 1, yaitu pembongkaran dan penggantian lapisan ACWC (scraping & filling ACWC / 1 Lapis Beton Aspal). SFO lapis 1 dilakukan apabila terjadi salah satu atau gabungan dari kerusakan sebagai berikut:
- deformasi plastis dengan kedalaman alur ≤ 20 mm
- deformasi permanen dengan kedalaman alur > 10 mm dan ≤ 20 mm - retak dengan luas retak > 1 m2
- pelepasan butir - kekesatan ≤ 0.33μm
- lokasi segmen yang diperlukan overlay dengan tebal ≤ 5 cm AC yang lokasinya berjauhan dengan segmen lainnya atau terjadi secara tersendiri.
2. SFO lapis 2, yaitu pembongkaran dan penggantian lapisan ACWC dan ACBC (scraping & filling ACWC & ACBC / 2 Lapis Beton Aspal). Untuk SFO lapis 2, dilakukan apabila terjadi salah satu atau gabungan dari kerusakan sebagai berikut:
- deformasi plastis dengan kedalaman alur > 20 mm
- deformasi permanen dengan kedalaman alur > 20 mm
- retak lebih satu garis (retak buaya dan retak tidak beraturan) dengan luas retak > 1 m2
- lokasi segmen yang diperlukan overlay dengan tebal lebih dari 5 cm AC yang lokasinya berjauhan dengan segmen lainnya atau terjadi secara tersendiri.
Tahapan pekerjaan SFO yang utama adalah membuat jadwal yang dijadikan sebagai progres pekerjaan. Pekerjaan dimulai dengan melakukan inspeksi ke lapangan dan memetakan lokasi. Kemudian memeriksa apakah lokasi tersebut masih ada jaminan performa dari SFO sebelumnya atau tidak, pemeriksaan tersebut dilakukan agar pekerjaan SFO tidak tumpang tindih.
Dalam Laporan Akhir Jasa Marga (2007), disebutkan bahwa aspek yang perlu diperhatikan menjelang pelaksanaan pemeliharaan SFO adalah pemberian tanda bagian perkerasan yang akan ditangani, sehingga lokasi dan jenis penanganan benar-benar lebih pasti. Hal tersebut dilakukan karena luas kerusakan akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu.
2.4. Analisis Biaya Siklus Hidup
Salah satu bentuk strategi pemeliharaan jalan adalah dengan metode analisis biaya siklus hidup atau Life Cycle Cost Analysis (LCCA). LCCA adalah teknik analisis yang didasarkan pada prinsip-prinsip dari analisis ekonomi, untuk mengevaluasi seluruh persyaratan efisiensi ekonomi jangka panjang antara investasi pilihan alternatif yang bersaing. LCCA ini tidak mengatasi masalah ekuitas, tetapi mencakup masa awal dan perhitungan dimasa yang akan datang, pengguna, dan biaya terkait lainnya selama umur investasi alternatif. LCCA mencoba untuk mengidentifikasi nilai terbaik (biaya jangka panjang terendah yang memenuhi tujuan kinerja yang sedang dicari) untuk investasi pengeluaran (Caltrans, Life-Cycle Cost Analysis
Procedures Manual, 2010).
LCCA merupakan proses desain penting untuk mengendalikan awal dan biaya masa depan dalam membangun kepemilikan. LCCA dapat diimplementasikan pada setiap tingkat proses desain dan juga bisa menjadi alat efektif untuk evaluasi sistem bangunan yang ada. LCCA dapat digunakan untuk mengevaluasi biaya penuh berbagai proyek, dari kompleks seluruh tempat untuk komponen sistem konstruksi tertentu.
Komponen pertama dalam persamaan LCCA adalah biaya. Ada dua kategori biaya utama dimana proyek harus dievaluasi dalam sebuah LCCA yaitu Initial Expenses (biaya awal) dan Future Expenses (biaya masa yang akan datang). Initial expenses adalah semua biaya yang terjadi lebih dahulu pada pembangunan fasilitas, sedangkan future expenses adalah semua biaya yang terjadi setelah pembangunan fasilitas (Education & Early
Development, Life Cycle Cost Analysis Handbook, 1999)
Metode LCCA ini merupakan salah satu metode dalam sistem manajemen jalan. Dengan metode LCCA ini, dapat dilakukan pengambilan keputusan dalam pemilihan strategi pemeliharaan jalan dengan biaya yang paling efektif dan efisien.
Menurut Federal Highway Administration (In Search of Better
Investment Decisions) tahun 1998, LCCA adalah teknik analisis yang
menggunakan prinsip-prinsip ekonomi dalam rangka untuk mengevaluasi jangka panjang alternatif investasi pilihan. Analisis ini memungkinkan perbandingan total biaya desain bersaing alternatif dengan manfaat yang setara. LCCA account untuk biaya yang relevan dengan badan sponsor, pemilik, operator fasilitas, dan pengguna jalan yang akan terjadi sepanjang kehidupan sebuah alternatif. Biaya relevan meliputi konstruksi awal (termasuk dukungan proyek), masa depan pemeliharaan dan rehabilitasi, serta pengguna biaya (waktu dan biaya kendaraan).
Proses analitis LCCA membantu untuk mengidentifikasi alternatif biaya terendah, yang menyelesaikan tujuan proyek dari tersedianya informasi penting untuk proses pengambilan keputusan secara keseluruhan. Namun, dalam beberapa contoh pilihan siklus hidup biaya terendah, akhirnya mungkin tidak dipilih setelah pertimbangan seperti
sebagaimana anggaran yang tersedia, konstruksi dan masalah perawatan, serta masalah lingkungan yang harus diperhitungkan.
2.4.1. Pendekatan LCCA
Ada dua pendekatan yang berbeda dalam siklus hidup perhitungan biaya, yaitu deterministik dan probabilistik.
Pendekatan deterministik adalah metodologi tradisional dimana pengguna memberikan setiap input variabel LCCA yang tetap, nilai yang lain biasanya didasarkan pada data dahulu dan pertimbangan pengguna.
Pendekatan probabilistik adalah suatu metodologi yang relatif baru yang menghitung untuk ketidakpastian dan variasi terkait dengan nilai input. Pendekatan probabilistik memungkinkan untuk perhitungan yang simultan dari asumsi yang berbeda untuk banyak variabel dengan mendefinisikan input variabel yang tidak pasti dengan probabilitas distribusi dari nilai yang mungkin. Probabilitas distribusi berfungsi untuk variabel input LCCA sendiri yang masih dikembangkan oleh Caltrans dan belum tersedia untuk digunakan. Oleh karena itu, Caltrans hanya menggunakan pendekatan deterministik pada waktu ini (Caltrans, Life-Cycle Cost Analysis
Procedures Manual, 2010)
Pada Tugas Akhir ini yang akan digunakan adalah pendekatan deterministik, yaitu dengan didasarkan pada nilai rata-rata dari seluruh parameter yang digunakan, serta perhitungan biaya hanya untuk biaya pemeliharaan periodik yang dibutuhkan oleh pengelola jalan.
2.4.2. Elemen LCCA
Unsur-unsur yang dibutuhkan untuk melakukan LCCA adalah: 1. Alternatif strategi
2. Periode analisis 3. Model kinerja
4. Basis data/pangkalan data
5. Biaya pengelola dan pengguna jalan 6. Perangkat lunak.
2.5. Kinerja Perkerasan
Kinerja perkerasan merupakan fungsi dari kemampuan relatif suatu perkerasan untuk melayani lalu lintas dalam suatu periode tertentu (Highway Research Board, 1962, dalam Bung Jalan, 2009).
Salah satu parameter kinerja perkerasan adalah nilai ketidakrataan perkerasan atau yang secara umum disebut IRI (International Roughness
Index).
Ketidakrataan perkerasan memiliki pengaruh yang besar terhadap biaya operasional kendaraan, keamanan, kenyamanan dan kecepatan perjalanan. Ketidakrataan perkerasan merupakan hal utama dalam menilai kinerja suatu perkerasan.
Evaluasi kondisi yang dilakukan untuk mengukur kinerja perkerasan jalan digunakan untuk membantu dalam penentuan penanganan dalam kegiatan penyelenggaraan jalan (Hicks and Mahoney, 1981, dalam Bung Jalan, 2009).
2.5.1. Parameter Ketidakrataan Perkerasan
Ketidakrataan perkerasan (Road Roughness) merupakan parameter kondisi yang paling banyak digunakan dalam mengevaluasi perkerasan jalan, karena data ketidakrataan perkerasan relatif mudah untuk diperoleh, objektif, dan berkorelasi baik dengan biaya operasional kendaraan serta parameter kondisi yang paling relevan dalam pengukuran perilaku fungsional jalan dalam waktu jangka panjang (Martin, 1999, dalam Silalahi, 2011). Nilai ketidakrataan perkerasan merupakan pendekatan standar untuk pengumpulan data kerusakan yang umum digunakan.
Menurut Paterson (1987, dalam Silalahi, 2011), ketidakrataan perkerasan adalah penyimpangan dari permukaan jalan yang mempengaruhi dinamika bergerak kendaraan, keselamatan, kenyamanan, kecepatan perjalanan serta dampak pada biaya operasi kendaraan.
Sedangkan menurut the American Society of Testing and Materials (ASTM) (E867) dalam Silalahi (2011), ketidakrataan perkerasan adalah penyimpangan permukaan jalan yang berbeda dengan permukaan jalan normal, dengan karakteristik dimensi yang mempengaruhi dinamika kendaraan, kualitas berkendara, dinamika beban, dan drainase.
Ada beberapa penyebab ketidakrataan perkerasan, yaitu beban lalu lintas, efek dari lingkungan, bahan dari pembuatan jalan serta penyimpangan pada proses konstruksi jalan. Pada proses konstruksi jalan, semua perkerasan jalan raya memiliki penyimpangan pengerjaan sehingga menyebabkan ketidakrataan perkerasan. Ketidakrataan perkerasan dapat meningkat dikarenakan oleh beban lalu lintas dan lingkungan (Fengxuan Hu, 2004, dalam Silalahi, 2011).
Ketidakrataan perkerasan merupakan gambaran profil memanjang perkerasan. Pada jalan raya, ketidakrataan merupakan ekspresi kenyamanan berkendaraan. Pengaruh dari ketidakrataan dapat menimbulkan goncangan akibat profil memanjang yang tidak rata, bahkan akan sangat membahayakan atas keselamatan pengguna jalan (Jasa Marga, Laporan Akhir, 2009)
Nilai kuantitatif dari ketidakrataan perkerasan dapat dinyatakan dalam berbagai satuan, tiap Institusi yang membuat/mengembangkan alat ukur ketidakrataan, mempunyai satuan ketidakrataan perkerasan yang berbeda-beda. Kemudian disepakati untuk satuan ketidakrataan perkerasan jalan adalah IRI (Internasional Roughness Index).
Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/2005 tentang SPM Jalan Tol, telah menetapkan bahwa standar pelayanan minimal kondisi jalan tol ditinjau dari nilai ketidakrataan paling tinggi memiliki nilai ketidakrataan sebesar 4 m/km.
Alat ukur yang digunakan oleh pihak pengelola Jalan (PT. Jasa Marga) pada survai ketidakrataan adalah Naasra Roughness-meter. Hasil pencatatan diproses pada setiap interval jarak 100 meter dan besaran ketidakrataan dinyatakan dalam satuan m/km.
2.5.2. International Roughness Index (IRI)
International Roughness Index (IRI) atau nilai dari ketidakrataan
perkerasan, dikembangkan oleh Bank Dunia pada tahun 1980. IRI digunakan untuk menentukan karakteristik profil memanjang dari jalur yang dilewati roda kendaraan untuk menentukan suatu pengukuran tingkat kekasaran permukaan yang standar. Satuan yang biasanya digunakan adalah meter per kilometer (m/km) atau milimeter per meter (mm/m). Pengukuran IRI didasarkan pada perbandingan akumulasi pergerakan suspensi kendaraan standar (dalam mm, inchi, dll) dengan jarak yang ditempuh oleh kendaraan selama pengukuran berlangsung (dalam m, km, dll), (Silalahi, 2011).
2.5.3. Parameter Kekesatan Permukaan Jalan
Kekesatan permukaan jalan (skid resistance) dan hubungannya antara tekstur permukaan jalan dan kekesatan jalan, yaitu kendaraan akan mengalami selip ketika proses pengereman, percepatan serta manuver karena gesekan yang terjadi melebihi batas kekuatan gesekan yang dihasilkan oleh roda kendaraan dan permukaan jalan. Oleh karena itu, kekesatan permukaan jalan dapat didefinisikan sebagai batas koefisien gesekan antara roda kendaraan terhadap permukaan jalan dan rasio antara gaya horizontal pada proses pengereman, manuver, dan pada proses menikung terhadap gaya vertikal yang terjadi pada roda kendaraan akibat dari beban kendaraan (Canek, 2004, dalam Christopher Bennett, 2007, dalam Silalahi, 2011).
Dalam Laporan Akhir Jasa Marga (2009), survai kekesatan dimaksudkan untuk mengetahui gambaran tingkat pelayanan perkerasan dalam kaitannya dengan keselamatan pengguna jalan pada saat melewati perkerasan. Dari survai ini didapatkan data koefisien kekesatan permukaan yang menggambarkan licin tidaknya perkerasan. Makin besar nilai kekesatan maka semakin aman terhadap terjadinya gelincir.
Koefisien kekesatan ini merupakan akumulasi dari kekesatan permukaan perkerasan secara mikro dan makro. Pada jalan raya kekesatan
merupakan ekspresi keselamatan berkendaraan pada kondisi kritis, yaitu permukaan perkerasan kondisi basah (kondisi hujan) sehingga sangat membahayakan atas keselamatan pengguna jalan. Kekesatan merupakan besaran atau koefisien gesekan antara roda kendaraan dengan permukaan perkerasan.
Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392/PRT/2005 tanggal 31 Agustus 2005 tentang SPM Jalan Tol, telah menetapkan bahwa pelayanan minimum jalan jika ditinjau dari nilai kekesatan adalah lebih besar dari 0,33 μm (> 0,33 μm).
2.5.4. Memprediksi Kinerja Perkerasan
Data kondisi jalan seperti ketidakrataan (roughness), kekesatan permukaan (skid resistance), dan kerusakan permukaan perkerasan (surface
distress) atau yang telah diratifikasi dalam suatu kombinasi penilaian
kondisi kemudian diproyeksikan ke masa yang akan datang guna membantu dalam mempersiapkan biaya penyelenggaraan jalan secara jangka panjang ataupun untuk memperkirakan kondisi perkerasan dari jaringan jalan berdasarkan dana pembinaan jalan yang tertentu (Bung Jalan, 2009).
Kondisi ketidakrataan perkerasan akan cenderung naik seiring bertambahnya usia perkerasan suatu ruas jalan, untuk itu diperlukan strategi pemeliharaan dengan memprediksi kinerja perkerasan. Untuk memprediksi nilai ketidakrataan perkerasan pada tahun mendatang dapat menggunakan persamaan yang diberikan oleh Paterson W.D. dan Attoh-Okine (1992) dapat dilihat pada Persamaan 2.1.
= , . + ( + ) . ……… 2.1
dimana:
IRIt = nilai ketidakrataan perkerasan umur t (internasional IRI = m/km)
IRI0 = nilai ketidakrataan perkerasan awal
SNC = Modified Structural Number, nilai stuktur yang dimodifikasi dengan menyertakan kekuatan tanah dasar
CESAt = (Cummulative Equivalent Standard Axle) komulatif ESA pada
umur t, (juta ESA/jalur)
m = koefisien lingkungan (0,023 untuk iklim basah non-beku) t = umur perkerasan sejak rehabilitasi atau konstruksi (tahun)
Dengan menggunakan Persamaan 2.1 tersebut, dapat dilakukan prediksi nilai IRI untuk tahun mendatang yang direncanakan. Dalam Tugas Akhir ini akan diprediksikan mengenai nilai IRI untuk 10 tahun kedepan.
2.5.5. Modified Structural Number (SNC)
SNC merupakan nilai stuktur yang dimodifikasi dengan menyertakan kekuatan tanah dasar (CBR). Untuk menentukan nilai SNC dengan menggunakan Persamaan 2.2.
= + , ( × ) − , ( × ) − , …
……… 2.2 dimana:
SNC = Modified Structural Number
SN = Structural Number
CBR = California Bearing Ratio, kekuatan tanah dasar
Nilai Structural Number (SN) merupakan indeks yang diturunkan dari analisis lalu-lintas, kondisi tanah dasar, dan lingkungan yang dapat dikonversi menjadi tebal lapisan perkerasan dengan menggunakan koefisien kekuatan relatif yang sesuai untuk tiap-tiap jenis material masing-masing lapisan struktur perkerasan (Puslitbang - Pt. T-01-2002-B). Nilai faktor koefisien drainase untuk memodifikasi nilai a diasumsikan dengan nilai 1, sehingga nilai SN dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.3.
= . + . + . .. + . ... 2.3
dimana:
a = koefisien kekuatan relatif bahan D = tebal masing-masing perkerasan
Dalam melakukan analisis SN, harus disesuaikan dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di lapangan. Untuk itu penentuan nilai SN eksisting dapat diketahui dari bahan dan kondisi permukaan, seperti yang terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Koefisien Kekuatan Relatif (a)
BAHAN KONDISI PERMUKAAN
KOEFISIEN KEKUATAN RELATIF (a) * Lapis permukaan beton aspal
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah
0.35 – 0.40
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau
<5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi 0.25 – 0.35 >10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.20 – 0.30
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau >10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.14 – 0.20 >10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi 0.08 – 0.15
Lapis pondasi
yang distabilisasi
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah
0.20 – 0.35 <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau
<5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi 0.15 – 0.25 >10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.15 – 0.20
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau >10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.10 – 0.20 >10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi 0.08 – 0.15
Lapis pondasi atau lapis pondasi bawah granular
Tidak ditemukan adanya pumping, degradation, or contamination
by fines 0.10 – 0.14
Terdapat pumping, degradation or contamination by fines 0.00 – 0.10
Keterangan:
*) Penilaian dilakukan untuk tiap segmen 100 m, kerusakan yang terjadi diperbaiki atau dikoreksi, maka nilai kondisi perkerasan jalan tersebut harus disesuaikan. Nilai ini dipergunakan untuk mengoreksi koefisien kekuatan relatif perkerasan jalan lama.
2.6. Lalu Lintas
Beban lalu lintas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja dari perkerasan jalan, karena pengaruh lalu lintas yang secara repetisi membebani suatu perkerasan jalan. Data lalu lintas diperlukan untuk menghitung nilai Cummulative Equivalent Standard Axle (CESA) yang akan digunakan dalam menghitung nilai prediksi dari IRI. CESA merupakan akumulasi ekivalen beban sumbu standar selama umur rencana. Untuk menghitung nilai CESA dapat menggunakan Persamaan 2.4.
= × × × × . . . 2.4
dimana:
CESA = akumulasi ekivalen beban sumbu standar m = jumlah masing-masing jenis kendaraan 365 = jumlah hari dalam satu tahun
E = angka ekivalen beban sumbu
C = koefisien distribusi kendaraan (Tabel 2.3)
N = faktor hubungan umur rencana yang sudah disesuaikan dengan perkembangan lalu lintas (Persamaan 2.9)
Angka ekivalen beban sumbu kendaraan (E) merupakan salah satu fungsi dari persamaan untuk menghitung nilai CESA. Menurut Puslitbang (Pd. T-05-2005-B), E adalah angka yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban sumbu kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban sumbu standar. Nilai E dapat diperhitungkan menggunakan Persamaan 2.5 sampai dengan Persamaan 2.8.
Angka ekivalen STRT = ( ) , ... 2.5 Angka ekivalen STRG = ( ) , ... 2.6
Angka ekivalen SDRG = ( )
, ... 2.7
Angka ekivalen STrRG = ( )
, ... 2.8
Keterangan:
- STRT : Sumbu Tunggal Roda Tunggal
- STRG : Sumbu Tunggal Roda Ganda
- SDRG : Sumbu Dual Roda Ganda
- STrRG : Sumbu Triple Roda Ganda
Selanjutnya pada Tabel 2.3 dapat dilihat nilai untuk menentukan koefisien distribusi kendaraan (C), yang berdasarkan jumlah lajur serta jenis kendaraan ringan atau kendaraan berat.
Tabel 2.3. Koefisien Distrbusi Kendaraan (C) Jumlah
Lajur
Kendaraan ringan* Kendaraan Berat**
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 1,00 1,00 1,00 1,00 2 0,60 0,50 0,70 0,50 3 0,40 0,40 0,50 0,475 4 - 0,30 - 0,45 5 - 0,25 - 0,425 6 - 0,20 - 0,40 Keterangan: *) Mobil Penumpang **) Truk dan Bus
Sumber: Puslitbang – Pd. T-05-2005-B
Dari Tabel 2.3 di atas, untuk ruas jalan Gunung Putri – Cibinong yang mempunyai 3 lajur pada masing-masing jalur, maka ditentukan nilai C untuk ruas jalan tersebut adalah sebesar 0,40 untuk kendaraan ringan dan 0,50 untuk kendaraan berat.
Faktor antara umur rencana dengan perkembangan lalu lintas (N) dapat menggunakan Persamaan 2.9.
= + ( + ) + ( + )( + ) − . . . 2.9
dimana:
N = perkembangan lalu lintas r = pertumbuhan lalu lintas (%) n = tahun
2.6.1. Penggolongan Jenis Kendaraan
Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
370/KPTS/M/2007, tentang Penetapan Golongan Jenis Kendaraan Bermotor pada Ruas Jalan Tol yang Sudah Beroperasi, golongan jenis kendaraan bermotor pada jalan tol yang sudah beroperasi dibagi menjadi 5 golongan.
Pada Gambar 2.1 berikut memperlihatkan penggolongan jenis kendaraan bermotor pada jalan tol.
Gambar 2.1. Penggolongan Jenis Kendaraan pada Jalan Tol Sumber: Laporan Tahunan PT. Jasa Marga (Persero), 2011
Keterangan pada Gambar 2.1 mengenai penggolongan jenis kendaraan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Golongan Jenis Kendaraan Bermotor pada Jalan Tol yang Sudah Beroperasi
GOLONGAN JENIS KENDARAAN
Golongan I Sedan, Jip, Pick Up/Truk Kecil, dan Bus Golongan II Truk dengan 2 (dua) gandar
Golongan III Truk dengan 3 (tiga) gandar Golongan IV Truk dengan 4 (empat) gandar
Golongan V Truk dengan 5 (lima) gandar atau lebih
Sumber: Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 370/KPTS/M/2007
2.7. Kalibrasi Model Kinerja Perkerasan
Prediksi nilai IRI untuk tahun mendatang yang direncanakan dengan menggunakan Persamaan 2.1 merupakan persamaan yang dikembangkan oleh Paterson (1992). Model tersebut bukan berasal dari Indonesia, oleh karena itu perlu dilakukan kalibrasi terhadap model tersebut.
Dalam Highway Development and Maintenance versi 4 (HDM-4), terdapat dua faktor kalibrasi untuk model kinerja perkerasan tersebut, yaitu faktor Kgm dan Kgp. Kgm merupakan faktor yang berhubungan dengan koefisien lingkungan (m), sedangkan Kgp berhubungan dengan struktur dan komponen kerusakan permukaan perkerasan. Berikut dapat dilihat faktor kalibrasi ketidakrataan perkerasan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Faktor Kalibrasi Ketidakrataan Perkerasan Berdasarkan Kualitas Konstruksi Perkerasan dan Lalu Lintas
Construction Quality Annual Traffic
(MESA)
Detailed Model Aggregate
Model
Kgm Kgp Kgm Kgp
Well constructed roads with average to good asphalt surfacings in flat to rolling terrain and free flowing traffic conditions.
Heavy > 0,75 1,3 0,9 1,3 1,0
Light-Medium < 0,75 2,4 1,2 2,6 1,2 Poorly designed/ constructed road,
exhibiting failures due to poor road widening and reinstatement prior to overlay and poor mix design, in flat to rolling terrain and free flow traffic
Heavy > 0,75 1,3 1,1 5,3 1,0 Light-Medium < 0,75 1,0 1,2 5,5 1,4
Well constructed roads located in mountainous regions with average to good asphalt surfacings
All All n/a n/a n/a n/a Well constructed roads in mountainous
regions with poor asphalt surfacings All All 7,0 1,5 7,0 1,5
Sumber: Modelling the Deterioration of Bituminious Pavement in Indonesia within a HDM-4 Framework
Sehingga persamaan untuk kalibrasi model kinerja perkerasan menjadi Persamaan 2.10 yaitu sebagai berikut:
= , . . + . ( + ) . ... 2.10
2.8. Sistem Manajemen Pemeliharaan Jalan
Sistem manajemen jalan adalah suatu perangkat alat atau metode yang dapat membantu para pembuat keputusan dalam menemukan strategi-strategi optimal untuk menyediakan, menilai, dan memelihara perkerasan/jalan dalam suatu kondisi yang dapat melayani selama suatu periode waktu (AASHTO – Guide for Design of Pavement Structures, 1993).
Dalam Tugas Akhir ini akan dibahas mengenai sistem manajemen pemeliharaan untuk perkerasan jalan. Perencanaan pemeliharaan dan perbaikan perkerasan jalan meliputi pemilihan lokasi yang akan diperbaiki, waktu, serta metodenya. Hal ini dipengaruhi oleh teknologi yang ada dalam desain dan pelaksanaan pemeliharaan serta biaya yang akan dikeluarkan. Tujuan adanya sistem manajemen jalan adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi dan memprioritaskan kebutuhan pemeliharaan dan rehabilitasi.
b. Memilih proyek-proyek dan penanganan-penanganan secara rasional. c. Mengarahkan pengambil keputusan dalam penentuan strategi-strategi
penanganan yang berbiaya efektif.
d. Mengalokasikan dana sehingga pengambil keputusan (PK) bisa mendapatkan yang paling tepat sasaran.
2.9. Biaya Pemeliharaan Jalan
Salah satu biaya yang dikeluarkan oleh pihak pengelola adalah biaya pemeliharaan jalan. Biaya pemeliharaan jalan yang diperhitungkan dalam Tugas Akhir ini adalah biaya pemeliharaan perkerasan periodik dengan metode SFO yang dibutuhkan oleh pihak pengelola jalan.
2.9.1. Biaya Pengelola Jalan
Biaya pengelola jalan adalah biaya yang dikeluarkan oleh institusi pengelola jalan selama proyek pembangunan dan pemeliharaan. Dalam hal ini, pihak PT. Jasa Marga (Persero) selaku pengelola jalan tol untuk ruas jalan tol Jagorawi.
Daftar kuantitas dan harga untuk biaya pekerjaan pemeliharaan yang dikeluarkan oleh PT. Jasa Marga (Persero) pada ruas jalan tol Jagorawi, dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6. Daftar Kuantitas dan Harga Pekerjaan Pemeliharaan Periodik pada Jalan Tol Jagorawi Tahun 2011
NOMOR MATA PEM-
BAYARAN
URAIAN PEKERJAAN SATUAN KUANTITAS
HARGA SATUAN (RUPIAH) JUMLAH HARGA (RUPIAH) a b c d e f = d x e BAB 1 UMUM
SK1.02 (1) Pengamanan & Pengaturan Lalu
Lintas, Tipe A tim hari 129.00 1,741,785.00 224,690,265.00
SK1.02 (2) Pengamanan & Pengaturan Lalu
Lintas, Tipe B tim hari 90.00 1,467,100.00 132,039,000.00
1.20 (1) Laboratorium ls 1.00 38,500,000.00 38,500,000.00
1.20 (2) Mobilisasi dan Demobilisasi ls 1.00 49,500,000.00 49,500,000.00
1.20 (3) Sewa Kantor Lapangan bulan 5.00 14,437,500.00 72,187,500.00
1.35 As Built Drawing ls 1.00 19,866,055.00 19,866,055.00
1.42 (2) Spanduk lembar 6.00 1,122,017.00 6,732,102.00
1.42 (3) Selebaran rim 6.00 225,526.00 1,353,156.00
SK1.04 Sewa Kendaraan bulan 5.00 9,982,500.00 49,912,500.00
594,780,578.00
BAB 9 PERKERASAN
SK1.03 (1) Pergerakan Peralatan Pengaspalan kali 129.00 8,678,120.00 1,119,477,480.00
SK1.03 (2) Pergerakan Peralatan Scrapping kali 124.00 4,334,000.00 537,416,000.00
9.02 Pengupasan Perkerasan Lama
(Scrapping) m3 4,327.00 388,113.00 1,679,364,951.00
9.05 Lapis Perekat (Tack Coat) liter 36,199.00 12,286.00 444,740,914.00
9.07 (6) Laston Lapis Aus (AC-WC) ton 10,750.00 432,442.00 4,648,751,500.00
9.07 (7) Laston Lapis Antara (AC-BC) ton 38.00 441,528.00 16,778,064.00
9.07 (9) Aspal (Asphalt) ton 734.00 6,511,462.00 4,779,413,108.00
SK3.03 (1) Patching Tipe 1 m3 125.00 4,898,609.00 612,326,125.00
SK3.03 (4) Patching Aspal Instan zak 100.00 135,000.00 13,500,000.00
SK3.04 (1) Sealent Emulsi m' 600.00 91,575.00 54,945,000.00
13,906,713,142.00
BAB 12 PEKERJAAN LAIN - LAIN 12.08 (1) Marka Jalan Tipe 1 (Thermoplastic) -
Warna Putih m2 2,382.00 107,800.00 256,779,600.00
12.08 (1) Marka Jalan Tipe 1 (Thermoplastic) -
Warna Kuning m2 902.00 107,800.00 97,235,600.00
SK3.06 (1) Ekspantion Join Aspal (Asphantic
Joint Plug) m' 100.00 1,778,700.00 177,870,000.00
531,885,200.00
Sumber: Lampiran Kontrak Pengadaan Jasa Pemborongan, PT. Jasa Marga (Persero), 2011
Dalam Tabel 2.6 tersebut, dapat dilihat daftar uraian pekerjaan beserta daftar kuantitas dan harga satuan untuk masing-masing item
pekerjaan. Total biaya untuk pekerjaan perkerasan adalah
Rp.13,906,713,1420.00. Sedangkan untuk pekerjaan umum adalah Rp.594,780,578.00 dan Rp.531,885,200.00 untuk pekerjaan lain-lain. Rekapitulasi daftar kuantitas dan harga pekerjaan pemeliharaan periodik pada ruas jalan tol Jagorawi dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7. Rekapitulasi Daftar Kuantitas dan Harga Pekerjaan Pemeliharaan Periodik pada Jalan Tol Jagorawi Tahun 2011
BAB URAIAN PEKERJAAN JUMLAH HARGA
(Rupiah)
BAB 1 UMUM 594,780,578.00
BAB 9 PERKERASAN 13,906,713,142.00
BAB 12 PEKERJAAN LAIN-LAIN 531,885,200.00
JUMLAH BIAYA 15,033,378,920.00
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) = 10% 1,503,337,892.00
JUMLAH BIAYA (TERMASUK PPN 10%) 16,536,716,812.00
JUMLAH BIAYA DIBULATKAN (TERMASUK PPN 10%) 16,536,716,000.00
Terbilang : Enam Belas Milyar Lima Ratus Tiga Puluh Enam Juta Tujuh Ratus Enam Belas Ribu Rupiah
Dari Tabel 2.7 dapat dilihat jumlah biaya untuk pekerjaan
pemeliharaan pada ruas jalan tol Jagorawi yaitu sebesar
Rp.16,536,716,000.00. Jumlah biaya tersebut sudah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% serta biaya pembulatan.
2.9.2. Biaya Nilai Umur Sisa
Nilai sisa adalah nilai suatu alternatif investasi pada akhir periode analisis. Perhitungan biaya untuk nilai umur sisa didasarkan pada biaya pemeliharaan SFO terakhir. Kemudian nilai umur sisa tersebut dianalisis dari sisa umur pemeliharaan yang performa perkerasannya masih dalam batas yang diizinkan untuk masing-masing strategi pemeliharaan.
2.9.3. Biaya Riil
Biaya riil diperhitungkan untuk mendapatkan nilai biaya yang dipakai selama waktu analisis saja. Sehingga dapat diketahui perbandingan nilai biaya yang dibutuhkan oleh pihak pengelola selama periode analisis.
2.10. Net Present Worth (NPW)
LCCA adalah bentuk analisis ekonomi yang digunakan untuk mengevaluasi efisiensi biaya pilihan investasi yang beragam. Setelah semua biaya dan waktu telah ditetapkan, biaya masa depan harus didiskontokan dengan tahun dasar dan ditambahkan dengan biaya awal untuk menentukan
Net Present Value (NPV), (Education & Early Development, Life Cycle Cost Analysis Handbook, 1999).
NPW atau yang biasa dikenal dengan NPV, merupakan selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskon dengan menggunakan
social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata
lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskonkan pada saat ini. Untuk menghitung NPW diperlukan data tentang perkiraan biaya investasi, biaya operasi, dan pemeliharaan serta perkiraan manfaat/benefit dari proyek yang direncanakan (Wikipedia, ensiklopedia bebas).
Perhitungan NPW didasarkan atas biaya dasar serta penentuan nilai diskonto. Nilai diskonto tersebut biasanya ditentukan sekitar 3-5%. Untuk menghitung nilai NPW dapat dilihat pada Persamaan 2.11.
= + + +
( + ) −( + ) . . . 2.11
dimana:
NPW = Net Present Worth
Co = biaya konstruksi awal
n = tahun tertentu
Mn = biaya pemeliharaan tahun ke-n
On = biaya operasi tahun ke-n
Vn = biaya pengguna jalan
i = tingkat diskonto (biasanya 3-5%)
S = biaya nilai sisa
Pada Tugas Akhir ini, nilai biaya NPW hanya akan dibahas mengenai perhitungan biaya pemeliharaan pada tahun ke-n dan biaya dari nilai sisa saja.