BAB VI
BASIS KETAHANAN PASAR NAGARI: KETERLEKATAN PASAR KAYU MANIS DENGAN PASAR SUPRA LOKAL DAN MASYARAKAT MINANGKABAU
Bab ini menjelaskan basis ketahanan pasar nagari dalam kaitannya dengan keterlekatan pasar kayu manis dengan masyarakat Minangkabau, dan pasar supra lokal. Basis ketahanan pasar nagari dibangun dari sejumlah unsur yakni: konstruksi sosial masyarakat atas tanaman kayu manis sebagai tanaman sosial budaya, kayu manis sebagai katup pengaman ekonomi rumahtangga, relasi sosial dan jaringan kerja inter personal antar pedagang lokal dan pedagang supra lokal yang kemudian ikut mempengaruhi perilaku pertukaran dan tindakan ekonomi petani dan pedagang dalam proses transaksi kayu manis di pasar nagari. Inilah yang menjadikan pasar nagari dapat bertahan dari waktu ke waktu .
6.1. Kayu Manis Sebagai Tanaman Sosial Budaya
Kayu manis yang dalam bahasa latinnya adalah Cinamomum burmani merupakan tanaman yang memiliki banyak fungsi dan kegunaannya dalam industri manufaktur saat ini. Kegunaan utama bagi penduduk lokal adalah sebagai bahan penyedap masakan, tetapi bagi konsumen domestik dan luar negeri, kegunaan kayu manis sangat dominan untuk industri manufaktur seperti minyak wangi, sabun mandi, bumbu masakan dan obat-obatan.
Kayu manis mengandung berbagai macam bahan kimia seperti tannin, pati, gula, zat warna, fixed oil serta minyak atsiri (AECI, 2003). Pemakaiannya dapat digunakan secara langsung dari bentuk aslinya atau diolah menjadi bubuk, minyak atsiri, dan oleoresin. Minyak atsiri diperoleh dengan penyulingan terhadap kulit batang, ranting serta daun kayu manis. Sedangkan oleoresin diperoleh dengan cara ekstraksi kulit kayu manis dengan menggunakan pelarut organik. Kulit kayu manis, yang sudah dijemur dan dikeringkan dalam bahasa perdagangan disebut dengan kayu manis, dan hasil olahannya banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, farmasi, pasta gigi, sabun, kosmetika, rokok, dan lain sebagainya. Dalam industri makanan dan minuman kayu manis berfungsi sebagai pewangi dan penambah cita rasa. Dalam industri farmasi kayu manis berfungsi sebagai pembunuh mikroorganisme. Dalam industri sabun, kayu manis berfungsi sebagai penyegar,
sedangkan dalam industri kosmetika kayu manis berfungsi sebagai pewangi, lotion, dan cream.
Besarnya kegunaan dan manfaat kayu manis tersebut diatas, ternyata dalam usaha ekonominya belum memberikan keuntungan yang memadai bagi petani produsen. Meskipun tanaman ini telah dibudidayakan dalam skala yang cukup luas, terutama sebagai tanaman utama dalam sistem pertanian perkebunan di wilayah dataran tinggi dan pedalaman Minangkabau. Keuntungan dari perdagangan kayu manis lebih besar dinikmati oleh pedagang dan eskportir, seperti diakui sendiri oleh Dinas Perkebunan kabupaten Tanah Datar, dibandingkan dengan pasar lokal, pasar eksport lebih menjanjikan keuntungan (Disbun Tanah Datar, 2006, tt).
Meskipun demikian petani tetap menanam kayu manis pada kebun-kebun milik mereka, karena usaha penanaman kayu manis ini, telah terkait dengan sistem adat istiadat perkawinan di tengah masyarakat di wilayah Tanah Datar. Disamping itu, lahan pertanian yang dijadikan lahan kayu manis adalah lahan perkebunan yang memang sebagai penyangga bagi sistem pertanian padi sawah. Sehingga menanam kayu manis adalah pekerjaan yang dilakukan disela pekerjaan di sawah telah selesai.
Sejalan dengan hal itu, ekspor kayu manis setiap tahun selalu meningkat seiring dengan semakin banyaknya industri makanan, minuman, dan obat-obatan yang menggunakan produk kayu manis. Sehingga saat ini prospek kayu manis masih terbuka luas. (lihat gambar 4 hal 110).
Di tingkat petani pengolahan kayu manis masih dilakukan secara manual. Namun jika dilihat dari segi kualitas kayu manis yang dihasilkan (dari hasil pengamatan) petani sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan Koperindagtam. Ini terbukti disaat peneliti mengunjungi gudang-gudang pedagang tingkat kabupaten tidak terjadi lagi proses up grading terhadap kayu manis yang dibeli dari petani. Pedagang besar hanya memilah-milah dan melakukan pemotongan kayu manis sesuai dengan jenis atau permintaan eksportir. Akan tetapi isu yang dimunculkan (baik oleh pedagang, Dinas Perkebunan dan Dinas Koperindagtam) bahwa petani dalam pemanenan atau pengolahan kayu manis masih mengabaikan mutu atau tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan pasar. Dikatakan bahwa: 1). Petani sering melakukan panen pada musim hujan, hal ini disebabkan karena pada musim tersebut petani akan memulai pekerjaan menanam padi di sawah. Secara ekonomi
mereka membutuhkan sejumlah uang untuk biaya mengolah sawah, membeli pupuk dan biaya kebutuhan hidup sampai masa panen padi mendatang. Kebutuhan uang untuk usaha tani palawija merupakan alasan untuk melakukan panen cassivera. Artinya panen kayu manis merupakan upaya penyangga ekonomi keluarga ketika usaha tani padi sawah belum mendatangkan hasil. 2). Proses pengeringan sering tidak sempurna, sehingga kadar air kulit masih tinggi yaitu berkisar antara 30-35 persen, pada hal kadar air produk untuk ekspor hanya berkisar antara 5-6 persen. 3). Kulit kayu manis sering bercampur dengan tanah, pasir atau debu karena dijemur di tempat asalan atau di pinggirkan jalan. 4). Waktu panen kayu manis yang belum cukup umur, dengan kondisi kulit yang masih tipis mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas minyak atsirinya. (wawancara tanggal 19 April 2006).
Sebaliknya, temuan di lapang menunjukkan bahwa petani melakukan panen bukan pada musim hujan, tetapi dikatakan bahwa panen cenderung dilakukan biasanya setelah 2-3 kali hujan turun, dengan maksud akan mempermudah pengupasan kulit (karena lendir pohon/batang lebih banyak). Terlihat bahwa pola pengupasan kulit dilakukan dengan dua cara: 1). Pengupasan kulit dilakukan pada saat daun mudanya sudah berwarna hijau dan masa berbuah. Apabila panen dilakukan pada saat daun mudanya berwarna merah, maka pengupasan kulit menjadi sulit. 2). Pemanenan dilakukan dengan cara mengelupaskan kulit bagian bawah pohon pada ketinggian 5-80 cm di atas leher akar, dan diiris melingkari batang. Kemudian kulit batang setinggi 80-100 cm dengan membuat irisan selebar 3-5 cm dikelupaskan dengan arah vertikal. 7 – 10 hari setelah pengupasan tersebut barulah dilakukan penebangan pohon. Untuk kondisi sekarang sistem yang terakhir ini (Sistem Situmbuak) lebih banyak dipakai petani karena dianggap lebih menguntungkan dari segi pengupasan dan dapat panen tanpa harus menunggu daun pujuk menghijau terlebih dahulu. Disamping itu juga, sistem ini memudahkan tumbuhnya tunas/carang baru di pangkal pohon untuk regenerasi selanjutnya.
Selanjutnya, usaha petani untuk mencapai kualitas kulit yang bagus, dilakukan dengan membersihkan batang bagian bawah pada ketinggian 60-150 cm dengan menggunakan daun pakis dan ilalang dari gangguan lumut. Biasanya kulit batang inilah yang akan menjadi kualitas AA dan KA sebagai kualitas yang paling baik. Dahan batang lainnya yang berdiameter 4-6 cm biasanya hanya bisa dijadikan kualitas KB atau B karena kulitnya tipis banyak berlobang dan sulit untuk dikikis.
Untuk rantingnya dapat dijadikan kualitas C yang diperoleh dengan cara memukul-mukul dahan ranting agar kulitnya terkelupas.
Setelah kulit dikelupaskan seluruhnya, kemudian dilakukan pengikisan di rumah, yang biasanya dilakukan pada malam hari (kualitas AA). Setelah itu baru dilakukan penjemuran di atas tikar untuk menjaga agar kotoran tidak melekat. Lama waktu penjemuran adalah 2 sampai 3 hari (bila cuaca bagus), sampai kulit mengulung dari dua arah membentuk tongkat (cassia stick). Kualitas KA dan A adalah kualitas yang dikikis bersih, licin dengan gulungan yang lebih tebal dan lebih besar yang terbentuk dari satu arah saja. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sebetulnya dari segi kualitas yang dihasilkan petani sudah tidak ada masalah dan sesuai dengan tuntutan pasar. Sehingga dapat dikatakan bahwa berbagai kelemahan yang dikatakan oleh Dinas Perkebunan kabupaten Tanah Datar, Dinas Koperindagtam dan pedagang diatas, sebagian tidak benar atau tidak terbukti. Pengamatan yang dilakukan di daerah penelitian dalam jangka waktu yang lama memberikan pemahaman bahwa ”permainan” kualitas kayu manis petani merupakan salah satu usaha pedagang untuk menekan harga. Sebab dari hasil wawancara dengan pedagang besar dan eksportir, pembagian kualitas yang ada di pasar hanyalah akal-akalan bagi pedagang (sesuai dengan keinginan pedagang saja) dan untuk menekan (membedakan) harga. Artinya, setelah dilakukan prosesing
(up-grade) oleh pedagang pengumpul, akan memperoleh perbedaan harga yang
siginifikan.
Jika dianalisis lebih lanjut, beberapa pertimbangan pedagang dalam menetapkan harga kayu manis yang diproduksi oleh petani tersebut di atas telah menjadi sumber keuntungan bagi pedagang, sebab para pedagang pengumpul yang langsung berhadapan dengan para petani produsen. Bahkan dalam menjualnya ke pedagang tingkat kabupaten, tidak lagi memperhatikan kadar air, tetapi jenis produk yang ada, seperti kualitas AAA, AA, A, KA, KB, KC dan C dengan perbedaan harga yang sangat berarti.
Tabel 20 Perbedaan Standar Kualitas yang Digunakan dalam Pemasaran Kayu manis pada saat penelitian
Standar Eksportir No Standar Koperindagtam Standar Pedagang ke Petani Ke Pedagang Besar Kabupaten Ke Konsumen Akhir (Luar Negeri) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. AA A B C KA KB KC Asalan - - AAA AA A B KB C Asalan - - - AAA AA A B KA KB KC C KM KF
Ind Cass AA Sticks
Ind Cass AA cut and washed Ind Cass AA unwashed Ind Cass AA cuttings Ind Cass A sticks
Ind Cass A cut unwashed Ind Cass A Broken Ind Cass B sticks Ind Cass B brokens Ind Cass C brokens Sumber: Koperindagtam (2006), data diolah.
Dari Tabel 20, dapat dilihat bahwa dalam hal penetapan standar kualitas masih belum transparan, sehingga petani selalu dalam posisi yang sangat lemah. Di tingkat petani hanya terdapat tujuh jenis kualitas, dan itupun sangat terikat dengan panjangnya yang berkisar antara 80 cm s/d 100 cm. apabila panjangnya ini tidak dipenuhi oleh petani, maka pedagang akan menjatuhkan harga, atau tidak mau membeli kayu manis yang dibawa petani, dengan alasan kayu manis yang dihasilkan tidak sesuai dengan syarat/ketentuan yang ada. Pada hal di tingkat pedagang besar kabupaten ke eksportir, masalah panjang kayu manis tidak lagi menjadi salah satu syarat.
Selanjutnya bagi eksportir, kayu manis yang telah dibeli dari pedagang besar kabupaten dengan berbagai kualitas, khususnya kualitas AAA, AA, A, KA, dan KB dengan ukuran 80 cm s/d 100 cm, setelah diproses menjadi kualitas ekspor seperti cassia AA stick, cassia AA cut and washed dan panjangnya hanya 6-10 cm dan dikepak seperti bungkus rokok yang berisi 20 s/d 25 batang dengan harga US $ 2/ bungkus (Wawancara dengan Eksportir, Maret 2006). Jadi satu batang kualitas AA dari petani dan pedagang pengumpul pasar nagari, dapat menghasilkan 10 s/d 13 batang atau stick yang siap diekspor. Ini jelas dapat diperkirakan besarnya keuntungan yang diperoleh eksportir.
Ke delapan grade (kualitas) yang ditemui dalam pemasaran kayu manis di pasar nagari ini, sebenarnya hanyalah akalan-akalan pedagang saja, karena setelah dibandingkan dengan grade kualitas yang dibutuhkan untuk konsumen luar negeri dan keperluan ekspor ternyata ada sepuluh tingkatan kualitas. Sebaliknya, kualitas B, KB, KC, dan C itu semua akan dijadikan bentuk bubuk kayu manis untuk dikirim dalam bentuk cassia powder (ground cassia). Perbedaaan keempat grade kualitas di atas tidak berpengaruh terhadap kualitas cassia powder hanya kebersihannya saja yang menentukan harganya, bukan bentuk gradenya.
Keuntungan yang besar diperoleh pedagang dan eksportir karena perbedaan harga yang menjolok seperti kualitas AAA dan AA atau kualitas AAA dengan kualitas KB di tingkat petani, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di bawah.
Tabel 21 Harga dan Kualitas Kayu manis di Tingkat Petani dan Pedagang di Pasar Nagari No Grade Kualitas di tingkat Petani Harga Jual di tingkat Petani (Rp/ Kg) Harga Jual Di tingkat Pedagang Perantara (Rp/Kg) Margin keuntungan pedagang perantara (Rp/Kg) Margin keuntungan pedagang besar (Rp/Kg 1. AAA 5500 5800 300 2. AA 4500 4800 300 3. A 3250 3500 250 2.250 4. KB 2000 2500 250 5. C 1800 2200 400 900 Sumber: Hasil Pengamatan di Pasar Nagari Baso, Tgl 10 April 2006.
Berdasarkan atas tabel 21 di atas, terlihat jelas bahwa perbedaan antara grade kualitas AAA dengan A adalah sebesar Rp 2250,- per Kg, pada hal di tingkat eksportir dan konsumen akhir perbedaan grade kualitas itu tidak ada, semuanya dikelompokan dengan whole stick cassia , yang dapat diperoleh dari ketiga kualitas bagus yakni AAA, AA, dan A. Jika volume pembelian kayu manis kualitas AAA, AA, dan A di pasar nagari untuk satu kali dibukanya pasar nagari adalah berkisar antara 5- 6 ton, maka besarnya keuntungan pedagang besar dan eksportir dari ketidak jelasan kualitas kayu manis satu kali di bukanya pasar nagari adalah berkisar antara Rp 11.250.000,- sampai dengan Rp 13.500.000,- jumlah ini sangat kontras dengan keuntungan petani kayu manis itu sendiri yang telah menunggu bertahun-tahun dan
menghabiskan tenaga, waktu dan biaya untuk merawat tanaman mereka, tetapi keuntungan jatuh ketangan pedagang perantara dan eksportir.
Besarnya keuntungan dari sisi permainan kualitas (mencari cacat barang) oleh pedagang terhadap petani, ditambah lagi dengan perbedaan margin penjualan di tingkat petani dengan di tingkat pedagang perantara yakni rata-rata berkisar antara Rp 250/kg sampai Rp 400/kg, inilah yang menjadi pendapatan pedagang perantara selama waktu pasar. Jika dikalikan dengan volume kayu manis yang berhasil ditransaksikan oleh pedagang ini dengan petani kayu manis, dimana rata-rata volume transaksi pedagang perantara dengan petani kayu manis dalam satu kali di bukanya pasar nagari adalah berkisar antara 300 kg sampai 1 ton. maka jumlah pendapatan pedagang perantara pada satu hari pasar nagari adalah sebesar Rp 75.000 sampai dengan Rp 250.000,- ini adalah pendapatan untuk satu kali di bukanya pasar nagari. Jika di wilayah penelitian ada tiga sampai empat pasar nagari yang dibuka dalam satu minggu, maka dalam sebulan pendapatan kotor pedagang perantara kayu manis rata-rata adalah Rp.750.000 atau Rp 1 juta.
Hasil kalkulasi diatas memperlihatkan adanya ketimpangan pembagian keuntungan yang menyolok antara pedagang kayu manis dengan petani kayu manis. Oleh karena itu dapat dikatakan sistem perdagangan kayu manis selama ini hanyalah menguntungkan pedagang mulai dari pedagang perantara sampai pedagang tingkat eksportir. Walaupun demikian petani tetap melalukan penanaman kayu manis, meskipun keuntungannya dinikmati oleh pedagang yang menjadi penentu dari tata niaga kayu manis.
Satu-satunya jalan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kayu manis hanyalah dengan memperbaiki sistem tata niaga kayu manis. Diperlukan campurtangan pemerintah (state intervention) dalam tata niaga kayu manis seperti, dalam bentuk peraturan daerah tentang perlindungan petani kayu manis dari permainan kualitas, harga dan akal-akalan (cheating) pedagang. Campur tangan pemerintah di tingkat Dinas Perkebunan dan apalagi Dinas Perindustran dan Perdagang tampaknya tidak dapat diharapkan lagi, karena, ketika pemerintah turut campur terhadap tata niaga kayu manis ini agar lebih menguntungkan petani, ternyata Dinas Perindustrian dan Perdagang kabupaten Tanah Datar juga ikut berbisnis kayu manis (menjadi aktor di pasar nagari), disamping membentuk koperasi yang menurut masyarakat di sebut KPRR Salimpaung, tetapi secara
terselubung dikendalikan oleh CV. SAS1, dimana Dinas Perindustrian dan
Perdagangan kabupaten Tanah Datar menjadi ketua komisinya. Berkedok atas nama koperasi, tetapi dalam operasional tidak mengarah kepada manajemen koperasi dan lebih memperlihatkan bisnis (CV. SAS) yang dikendalikan dan di back up oleh Dinas Perindustrian Perdagangan. Fenomena ini mengindikasikan adanya relasi stuktural ekonomi politik tersembunyi pemerintahan daerah Tanah Datar (Dinas Koperindagtam) dengan CV. SAS yang berkembang menjadi dominasi individu dan negara (state) atas ”institusi sosial”.
Realitas yang demikian semakin memperkuat kecurigaan, ketika peneliti berusaha untuk melakukan wawancara dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Tanah Datar yang selalu di tolak dengan alasan yang tidak masuk akal. Pada hal anggota mereka yang ikut sebagai aktor selalu ketemu dengan peneliti di pasar-pasar nagari dan ikut melakukan pembelian kayu manis petani atau kayu manis dari pedagang pengumpul tingkat nagari seperti di pasar nagari Baso dan Tabek Patah dan Pasar Lelang Lokal (PLL).
Peneliti menilai ini merupakan bentuk state capitalism yang dipertontonkan oleh jajaran Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Tanah Datar di tengah pemerintahan pusat sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh pemerintahan. Bisnis Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Tanah Datar ini justru telah menambah besarnya kerugian petani kayu manis di wilayah kabupaten Tanah Datar2.
Walaupun adanya perbedaan keuntungan yang diperoleh antara petani dan pedagang dan petani selalu dirugikan ini telah disadari oleh petani kayu manis, namun mereka tetap melakukan penanaman kayu manis di lahan-lahan perkebunan mereka. Hal ini terkait dengan kebiasan adat istiadat masyarakat di daerah penelitian ini. Dalam sistem perkawinan di masyarakat di daerah penelitian dan
1
Dari hasil wawancara dengan pengurus CV. SAS, tanggal 31 Maret 2006: mereka menolak kalau institusi yang mereka kelola dikatakan koperasi (KPRR), bahkan mereka mengatakan bahwa CV. SAS adalah perpanjangan tangan dari Koperindagtam Tanah Datar untuk menambah kompetitor dalam transaksi kayu manis dengan petani. Idealnya, menurut Manager CV SAS, dengan bertambahnya kompetitor sebagai pembeli kayu manis rakyat, diharapkan harga kayu manis di tingkat petani dapat meningkat.
2
Dari hasil wawancara dengan beberapa petani kayu manis di nagari Salimpaung dan pedagang pengumpul tingkat nagari di Tabek Patah dan Baso, serta Sungai Tarab, harga jual kayu manis yang ditetapkan CV. SAS lebih rendah “mancakiak” jika dibandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh pedagang besar lainnya. Jadi mereka tidak suka menjual kayu manisnya kepada CV SAS.
kabupaten Tanah Datar umumnya, berlaku aturan adat bahwa penganten pria berkewajiban untuk menanam seribu batang bibit anak kayu manis di kebun milik calon istrinya. Aturan ini disebut dengan istilah ”tambilang basi”. Adat tambilang basi ini mengambarkan kesungguhan penganten pria untuk mampu memberikan jaminan kehidupan yan lebih baik kepada penganten wanitanya, dimana pada saat mereka berumahtangga nanti dan memiliki keturunan, maka kayu manis yang ditanam oleh suaminya sejak awal pernikahan dapat dipanen setelah anak-anak mereka tumbuh dan membutuhkan biaya untuk pendidikan, dan lainnya.
Adat tambilang basi ini sampai saat penelitian dilakukan masih dilaksanakan oleh penduduk setempat, walaupun semua mengetahui bahwa harga kayu manis mereka ditekan ke tingkat harga yang terendah oleh pedagang dan secara finansial menanam tanaman kayu manis tidak menguntungkan, namun kayu manis tetap di tanam di ladang dan di kebun mereka.
Ada beberapa alasan kenapa kayu manis tetap ditanam dan dijadikan tanaman utama di ladang dan kebun penduduk. Pertama; tanaman kayu manis ini merupakan tanaman tabungan untuk masa depan, baik untuk keperluan biaya pendidikan anak-anak setelah sampai ke perguruan tinggi, maupun untuk pesta perkawinan anak-anak perempuan mereka dikemudian hari, bahkan juga untuk biaya menunaikan ibadah haji. Artinya tanaman kayu manis dengan waktu panen yang sampai mencapai 8 sampai 20 tahun umurnya, maka sangat cocok untuk di jadikan sebagai tanaman tabungan.
Kedua; tanaman kayu manis ini tidak membutuhkan banyak tenaga dan waktu untuk merawatnya setelah berumur lebih dari 2 tahun, sehingga tidak dibutuhkan biaya untuk sampai saat panen. Oleh karenannya cocok untuk tanaman sambilan dalam sistem perkebunan dan perladangan penduduk yang jauh dan bertopografi miring dan sistem pertanian padi sawah sebagai aktifitas utama. Sejalan dengan yang dikatakan Darussaman (2001:48), bahwa pada umumnya masyarakat dalam membudidayakan tanaman kayu manis lebih pada pertimbangan; jauh dekatnya lokasi lahan dari tempat tinggal, tingkat kesuburan tanah dan kemiringan lahan. Ini tentunya terkait dengan sifat tanaman kayu manis yang bisa tumbuh pada jenis tanah yang marginal dan tidak menuntut perawatan yang intensif.
Ketiga; tanaman kayu manis sebagai simbol prestise di tengah masyarakat. Semakin luas kebun kayu manis semakin meningkat status sebuah keluarga di
tengah masyarakat. Hal ini karena menyangkut dengan adat tambilang besi yang menandakan terjaminnya kelangsungan sosial ekonomi sebuah keluarga dalam masyarakat nagari. Disamping itu rumah tangga yang memiliki lahan kayu manis yang luas akan mampu menjalankan fungsi sosial budaya atau mempertahankan konstruksi budaya atas tanaman kayu manis.
Keempat; terpeliharanya dan adanya kebun kayu manis menandakan bahwa keluarga yang bersangkutan masih mampu untuk menjalankan adat tambilang besi. Artinya, mempertahankan ketersediaan lahan untuk kebun kayu manis merupakan suatu kewajiban budaya, agar calon menantu pria mereka dapat menunaikan kewajibannya untuk menanam seribu batang kayu manis di ladang calon istrinya.
Kelima; untuk mengunjungi pasar nagari yang memerlukan biaya terutama untuk mengikuti pembicaraan di lapau-lapau atau kios-kios pasar nagari, maka menjual kayu manis merupakan suatu style tersendiri, dan mendapatkan uang dengan memanen kayu manis merupakan cara yang lebih elegan ketimbang yang lainnya. Artinya, bagi si penjual kayu manis merupakan suatu kebanggaan tersendiri untuk mendapatkan uang dengan cara yang lebih terhormat, khususnya bagi kaum lelaki. Apalagi kayu manis yang dijual jenis kualitasnya bagus seperti AA, AA, dan A. Sejalan dengan hal itu, bagi pedagang, pemilihan jenis komoditi yang akan didagangkan juga tidak semata-mata atas dasar pilihan pada keuntungan semata, melainkan juga berdasarkan prestise, menjaga gengsi atau posisinya di tengah masyarakat nagari. Membeli dan memperdagangkan kayu manis merupakan suatu prestise tersendiri diantara sesama pedagang, karena akan mencerminkan betapa si pedagang yang bersangkutan memiliki kemampuan keuangan yang memadai memiliki jaringan bisnis yang luas di supra nagari, dan merasa menjadi lebih terhormat di tengah masyarakat nagari. Sebagaimana diungkapkan dalam hasil wawancara dengan salah seorang pedagang:
”...Manjua dan mambali kulik manih lebih rancak ketimbang mengaleh barang mudo, disamping untuangnya alah jaleh dan dapek sakali dibaok pulang (pedagang perantara), kawan-kawan nan jauh tacaliek juo, kalau nasib sadang rancak, awak dapek pulo saketek dari kawan yang alah gadang pokoknyo itu ”... (Wawancara tanggal 20 Maret 2006 dengan Jamaris pedagang perantara di nagari Salimpaung). (menjual dan membeli kayu manis lebih bagus dibanding berjualan palawija, selain untungnya sudah jelas dan dapat langsung dibawa pulang (pedagang perantara), kawan yang jauh bisa ketemu, jika nasib sedang bagus kita mendapat bagian sedikit keuntungan dari kawan yang modalnya sudah besar)
Jadi, mengusahakan kayu manis maupun memperdagangkan kayu manisnya sama-sama memiliki motivasi sosial budaya dari individu yang melakoninya disamping mencari keuntungan semata. Petani maupun pedagang menempatkan komoditi kayu manis sebagai komoditi andalan baik untuk keuntungan ekonomi maupun untuk presitise di tengah masyarakat. Mulai sejak menanam, memelihara, memanen sampai menjualnya di pasar dianggap sebagai pekerjaan yang lebih terhormat dan elegan, jika dibandingkan dengan tanaman mudo lainnya. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa tanaman kayu manis tidak hanya merupakan tanaman yang berfungsi ekonomi tetapi juga memiliki fungsi sosial budaya.
Dengan demikian untuk kelangsungan budidaya tanaman kayu manis ini diyakini akan terus berlanjut dan telah menyatu dengan aktifitas sosial budaya masyarakat Minangkabau, meskipun dalam sistem tata niaganya cenderung tidak menguntungkan petani. Bahkan jika dilihat dari karakteristik pedagang kayu manis di pasar nagari kebanyakan mereka adalah ”niniak mamak” kaum dan orang terpandang nagari, artinya ini merupakan salah satu bentuk dominasi kaum penghulu dan orang kaya (elite) nagari terhadap aktifitas ekonomi masyarakat bawahannya.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, menjual dan membeli kayu manis merupakan bentuk interaksi sosial masyarakat Minangkabau di pasar nagari. Jika yang menjual kayu manis ini dari kalangan orang kaya atau penghulu adat, maka menjual kayu manis ke sesama kelompok sosialnya yang setara merupakan sebuah unjuk kekuatan sebagai kelompok yang berpunya. Kemudian jika yang menjual kayu manis itu berasal dari masyarakat biasa, maka menjual kayu manis ke pedagang dengan stratifikasi sosial seperti penghulu kaumnya merupakan suatu kewajiban sosial budaya (resiprositas sosial) yang harus dilakukan. Akan menjadi malu dan rikuh apabila menjual kayu manisnya ke pedagang lain yang tidak terikat secara kesukuan atau se nagari dengan si pembeli.
Jadi sebagai tanaman yang telah menyatu dengan sistem nilai budaya masyarakat terutama dengan sistem perkawinan masyarakat nagari di Minangkabau dan ditambah dengan sistem tata niaganya yang cenderung dalam pertukarannya masih mempertimbangkan aspek-aspek ikatan kesukuan (primordial), maka walaupun budidaya tanaman kayu manis kurang menguntungkan secara finansial tetapi secara sosial budaya mendatangkan benefit yang cukup besar (pemersatu
warga nagari). Itulah sebabnya, budidaya dan tataniaga kayu manis masih akan tetap berlanjut di tengah masyarakat nagari (di pasar nagari) di Minangkabau, khususnya di daerah penelitian. Realitas ini mengindikasikan bahwa tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor, sebagaimana yang dikemukakan oleh para pendukung aliran sosiologi ekonomi baru (NES).
6.2. Kayu Manis Sebagai Katup Pengaman Ekonomi Rumah Tangga
Berikut ini akan dibahas bagaimana pentingnya budidaya kayu manis dan perdagangan kayu manis bagi masyarakat nagari di Minangkabau seperti pada nagari Salimpaung, luas panen kayu manis adalah seluas 210 ha. Rata-rata kepemilikan lahan kayu manis berkisar antara 0,25 ha sampai pada 1 ha dan rata-rata kepemilikan lahan sawah berkisar antara 0,15 ha sampai dengan 2 ha (Tabel 22).
Tabel 22 Luas Panen dan Produksi Kayu manis Setiap Nagari Pada Wilayah Penelitian
No Nagari Luas Panen
(ha) Produksi (ton) 1. Nagari Salimpaung 210 (15,9) (15,6)57,41 2. Nagari Rao-Rao 26,5 (3,7)
-3. Nagari Tabek Patah 145
(11) 23,01(6,2)
4. Nagari Sungai Tarab 209
(29,1)
-5. Nagari Tabek Panjang/ Baso 616
-6. Kecamatan Salimpaung 1.315
(25) (25,2)369
7. Kecamatan Sungai Tarab 717
(13,6) (18,8)275,5
8. Kecamatan Baso -
-Sumber: Kecamatan Salimpaung dan Sungai Tarab dalam Angka, 2004 Data Diolah Sebenarnya, kondisi perekonomian rumahtangga petani kayu manis di nagari Salimpaung dapat dikategorikan menurut waktu panennya yakni: pertama, rumahtangga petani kayu manis dengan waktu panen tak menentu, yang berarti memanen kayu manis untuk dapat memenuhi kehidupan rumahtangga sehari-hari
atau dengan kata lain kayu manis menjadi katup pengaman ekonomi rumahtangga, waktu panennya di hitung dalam bulanan. Bisa satu kali sebulan, satu kali 2 bulan atau satu kali tiga bulan. Kedua rumahtangga petani kayu manis dengan waktu panen satu kali setahun; yang berarti memanen kayu manis guna memperoleh uang untuk keperluan besar, seperti membayar biaya dan kebutuhan anak sekolah, keperluan pesta perkawinan dan hajatan lainnya. Ketiga rumahtangga petani kayu manis dengan waktu panen lebih dari 2 tahun sekali yang berarti kebun kayu manis dijadikan sebagai tanaman tabungan dan di panen apabila membutuhkan uang dalam jumlah besar, seperti biaya untuk pergi haji, membeli dan memperbaiki rumah, atau rumah gadang mereka.
Hasil penelitian menunjukan bahwa di nagari Salimpaung, terdapat sebanyak 2 rumahtangga (10 persen) yang melakukan panen tidak menentu, dengan volume di bawah 70 kg, itu pun dengan kualitas KB dan C. Alasan melakukan panen kayu manis ini adalah untuk biaya menanam tanaman muda yang tengah diusahakan dan biaya belanja anak sekolah sehari-hari menjelang tanaman mudo di lahan sawah mereka mendatangkan hasil. Sedangkan petani kayu manis yang melakukan panen sekali setahun sebanyak 8 rumahtangga (40 persen) dengan volume panen berkisar antara 75 kg sampai dengan 100 kg kayu manis kering dengan kadar air lebih kurang 15 persen. Kemudian sebanyak 10 rumahtangga (50 persen) melakukan panen sekali diatas 2 tahun dengan volume panen berkisar antara 150 kg sampai dengan 300 kg.
Sebenarnya, semakin lama waktu panen semakin banyak hasil panen yang diperoleh dan semakin tinggi kualitas kayu manisnya, pada gilirannya juga semakin besar pendapatan diperoleh dari hasil penjualan kayu manis tersebut. Sehingga rumahtangga yang melakukan panen sekali di atas dua tahun, akan mendapatkan uang yang lebih besar. Itulah sebabnya, waktu panen dalam jangka waktu lama, hanyalah dilakukan oleh petani yang berlahan luas, dan menjadikan tanaman kayu manis mereka sebagai tanaman simbolik dan tanaman tabungan.
Pada nagari Salimpaung, yang memiliki bentangan alam yang memungkinkan untuk melaksanakan pertanian padi sawah dan pertanian perkebunan, budidaya kayu manis hanyalah bentuk usaha pertanian kedua setelah pertanian padi sawah (tanaman palawija). Secara ekonomis, mengusahakan tanaman mudo seperti tomat, cabe, jagung, kentang, buncis dll (tanaman pertanian
semusim), malah lebih menguntungkan dengan waktu panen yang singkat hanya lebih kurang empat bulan. Pada saat harga ”tanaman palawija” ini tinggi, tanaman kayu manis tidak akan dipanen oleh petani.
Artinya, tanaman kayu manis benar-benar sebagai katup pengaman ekonomi rumahtangga penduduk nagari. Dimana penentuan waktu panen lebih terkait dengan fluktuasi harga tanaman mudo yang diusahakan dalam pertanian padi sawah. Sehingga, jika dianalisis lebih lanjut, sebenarnya fluktuasi harga kayu manis di pasar nagari mengikuti perkembangan harga ”tanaman mudo” ini. Pada saat harga tanaman mudo sedang naik, maka petani lebih terkonsentrasi kepada usaha tani ”tanaman mudo”, mengabaikan tanaman kayu manis. Akibatnya, untuk rentangan waktu kenaikan harga ”tanaman mudo” ini, maka volume pembelian kayu manis pedagang di pasar nagari menurun. Sehingga jika pedagang tingkat eksportir belum terpenuhi kuota ekspornya, maka pedagang besar dan eksportir mulai menaikan harga kayu manis, untuk mendorong petani panen. Ini jelas merupakan politik ekonomi pedagang supra lokal terhadap pedagang lokal dan petani kayu manis.
Kebanyakan petani kayu manis yang melakukan panen sekali setahun, mengikuti trend kenaikan harga oleh pedagang besar demi memenuhi quota eksportnya. Menurut para petani kayu manis yang sudah berpengalaman, ini biasanya terjadi antara bulan Agustus setiap tahun. Sehingga untuk mendapatkan harga kayu manis yang lebih baik, maka panen dilakukan sekali setahun. Sebaliknya, pada saat quota ekspor pedagang besar atau eksportir telah terpenuhi, maka pedagang besar dan eksportir kembali menurunkan harga.
Namun pada tahun-tahun terakhir ini, kenaikan harga kayu manis justru terjadi pada sekitar bulan Januari sampai April 2006 dan pada bulan Maret- Juni 2007, ketika penelitian ini dilaksanakan, yang disebabkan oleh tingginya permintaan pasar domestik yakni pasar dari Bali. Dua pedagang besar di kabupaten Tanah Datar yakni H. WN dan C.V. SAS justru saat ini mengalami defisit volume perdagangan mereka, akibat tingginya permintaan kayu manis dari Bali ; yang digunakan untuk upacara-upacara keagamaan dan konsumsi turis.
Meskipun adanya pergeseran pola kenaikan harga kayu manis, yang selama ini hanya pada bulan-bulan Agustus sampai dengan Desember, tetapi saat ini kenaikan harga juga terjadi pada bulan-bulan Januari - April dan Juni, ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan petani, malah lebih
menguntungkan para pedagang perantara. Namun pergeseran ini pada satu sisi, memberikan kebaikan kepada petani, dalam artian terjadi kontinuitas pembelian kayu manis petani dari minggu ke minggu dan ini sangat dibutuhkan atau telah membantu petani kayu manis yang waktu panennya tidak menentu. Faktanya mereka adalah yang memiliki ladang kayu manis berkisar < 0,25 ha, yang menjadikan tanaman kayu manis sebagai katup pengaman ekonomi rumahtangga.
Frekwensi panen petani kayu manis disamping tergantung kepada hasil panen tanaman mudo, juga sangat tergantung kepada luas lahan kayu manis dan lahan sawah yang dimiliki. Panen tidak menentu hanya dapat dilakukan apabila luas lahan kayu manis diatas 1 ha atau jika petani berlahan kurang dari 1 ha dan, panen tidak menentu, hanya dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah berat (volume) panen. Volume panen paling tinggi untuk satu kali waktu panen hanya berkisar antara 50 kg sampai dengan 70 kg. Menurut mereka, melakukan panen dengan berat (volume) yang sedikit dari minggu ke minggu juga dalam rangka menjaga kenaikan harga yang fluktuatif, disamping sebagai salah satu cara sebuah keluarga dapat bertahan (survive) menjelang tanaman palawija mereka panen.
Tabel 23 Profil Luas Lahan, Frekwensi Waktu Panen, dan Volume Penjualan Petani Kayu Manis di Daerah Penelitian
Luas Lahan (ha) Frekwensi Panen (persen) No Pasar Nagari Jumlah
Responden Kayu manis
Sawah
1 x 1
Tahun Tak Tentu
Volume Penjualan (kg) 1. Salimpaung 20 23,00 (1,2) (0,66)13,1 80 20 2.081(104) 2. Tabek Patah 10 10,50 (1.05) (0,7)7,00 60 40 (82,2)822 3. Baso 15 12,63 (0,84) (0,36)5,38 33 67 1.188(79,2) 4. Rao-Rao 17 15, 25 (0,89) 3,55 (0,21) 5,8 94,2 1.331 (78,3) 5. Sungai Tarab 22 18,75 (0,85) (0,49)10,87 50 50 2.440(110,9) Total 84
Sumber: Hasil Penelitian (data diolah)
Tabel 23 memperlihatkan bahwa petani yang melakukan panen tak menentu di dominasi oleh petani di nagari Rao-Rao, Baso dan Sungai Tarab. Para petani ini
menjadikan lahan kayu manis mereka sebagai lahan usaha tempat bertahan hidup untuk keperluan membeli kebutuhan sehari-hari.
Alasan melakukan panen menurut petani dengan frekwensi panen tidak menentu ini adalah membutuhkan biaya untuk membeli beras, karena usaha tani padi sawah dan palawija sedang mengalami stagnasi dan baru mulai di tanam. Bagi petani yang melakukan panen 1 kali satu tahun, alasan melakukan panen cenderung karena pahon kayu manisnya sudah tua, dan harus segera di panen karena dengan pohon kayu manis yang sudah tua, maka kulit akan menjadi tebal, dan susah mengulung. Pada hal sebenarnya, ukuran, bentuk gulungan semuanya itu hanyalah akal-akalan pedagang, karena tentunya semakin tebal kulit kayu manis akan memberikan kualitas minyak atsiri yang lebih baik.
Apabila dilihat dari segi luas lahan kayu manis, maka petani kayu manis di nagari Salimpaung dan Tabek Patah memiliki luas lahan yang paling luas yakni dengan rata-rata seluas 1,2 ha dan 1,5 ha. Di kedua nagari ini, frekwensi waktu panen kayu manis dominan dilakukan satu kali setahun. Jika dibandingkan dengan volume penjualan kayu manis mereka di pasar nagari adalah masing-masing sebanyak 2.081 kg dan 822 kg, yang berarti masing-masing petani mampu memanen kayu manis mereka sebanyak 104 kg dan 82,2 kg per petani pada satu kali dibukanya hari pasar nagari tersebut. Pada nagari Baso dan Rao-Rao luas lahan petani kayu manis yang relatif kecil yakni masing-masing 0,84 ha dan 0,89 ha pada umumnya mereka melakukan frekwensi panen tak menentu, dengan alasan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, akibat sistem pertanian palawija mereka belum mendatangkan hasil, atau hasil panennya relatif kecil.
Artinya, semakin kecil luas lahan padi sawahnya, semakin tergantung ekonomi mereka terhadap hasil panen kayu manis ini, hal ini ditandai dengan waktu panen mereka yang dilakukan secara tidak menentu dan kecilnya volume penjualan mereka di pasar nagari. Ternyata di kedua nagari ini, tanaman kayu manis telah dijadikan penyanggah ekonomi rumahtangga mereka, menjelang mereka memperoleh sumber pendapatan alternatif dari sistem pertanian padi sawah dan palawija.
Dalam kaitannya dengan bentuk hubungan antara petani dengan pedagang, jika dilihat untuk tipe petani kayu manis yang berlahan sempit, mereka tidak memperhitungkan kemana akan menjual kayu manisnya. Petani kayu manis tipe ini
lebih suka menjual kayu manisnya di pasar nagari3. tanpa menghiraukan kepada
pedagang mana akan menjual. Di Pasar bagari biasanya mereka cenderung menjual kayu manisnya kepada pedagang yang sudah biasa ditemui membeli kayu manis mereka, sudah kenal tetapi tidak terlalu dekat. Seperti yang ditemui pada petani di nagari Rao-Rao dan Sungai Tarab, dengan volume penjualan kayu manis mereka yang relatif kecil dan frekwensi waktu panen yang tidak menentu atau lebih sering, apalagi kalau usaha pertanian padi sawah sedang tidak berproduksi, maka memanen dan menjual kayu manis setiap minggu merupakan upaya pengamanan subsistensi ekonomi rumahtangga mereka, tidak peduli dijual kemana dan kepada siapa, yang penting mereka memperoleh uang untuk membeli kebutuhan beras dan kebutuhan dapur lainnya.
Oleh karena itu, bentuk hubungan antara petani kayu manis (dengan tipe panen tidak menentu) dengan pedagang pengumpul kayu manis di pasar nagari lebih cenderung ditentukan oleh; motivasi utama melakukan panen, luas lahan kayu manis yang dimiliki dan frekwensi waktu panen yang dilakukan.
Sementara itu, jika dilihat untuk tipe petani kayu manis yang berlahan luas (>1 ha) dengan frekwensi panen sekali setahun atau lebih, bentuk hubungan antara mereka (petani dan pedagang) lebih didasari atas adanya hubungan pertalian darah atau ada hubungan kekerabatan. Petani tipe ini melakukan panen cenderung dengan alasan karena memang harga kayu manis sedang mengalami kenaikan, dan pemanenan bukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendesak, tetapi untuk keperluan lain seperti tambahan ongkos naik haji, biaya melakukan pesta perkawinan, dan biaya sekolah anak-anak. Bahkan, transaksi dapat dengan mudah terjadi karena si petani kayu manis telah mengenal pedagang perantara dengan baik karena adanya hubungan kekerabatan sebagaimana yang disebutkan diatas. Bahkan tawar menawar berjalan lancar dan tidak begitu alot sebagaimana yang ditemui pada petani tipe pertama. Ini tentunya memperlihatkan ekonomi moral si petani dalam artian petani memiliki pertimbangan-pertimbangan moral tertentu dalam memutuskan kepada siapa petani harus menjual kayu manisnya (cf. Evers, 1994).
3
Ada perasaan tidak nyaman atau malu bila waktu ke pasar mereka tidak membawa hasil ladang untuk dijual ke pasar. Jadi menurut mereka ada kebanggan tersendiri bagi mereka membawa hasil panennya ke pasar sambil berbelanja kebutuhan sehari-hari mereka.
Kemudian, dari sisi pedagang pengumpul, keuntungan yang paling besar diperoleh dari petani kayu manis yang belum dikenalnya, atau dikenal tidak terlalu dekat. Sehingga lebih mudah untuk melakukan penentuan harga dan berat timbangan kayu manis petani; yang biasanya cenderung selalu dikurangi dari harga timbangan sebenarnya dengan mengatakan bahwa terlalu besar airnya (kadar airnya terlalu tinggi), atau terlalu banyak kotoran, bahkan terlalu banyak kayu manis yang patah-patah (broken).
Ternyata komoditi kayu manis sebagai katup pengaman ekonomi rumah tangga, bukan hanya berlaku untuk petani kayu manis dengan tipe waktu panen tidak menentu saja tetapi juga berlaku bagi pedagang kayu manis di pasar nagari terutama bagi pedagang tanpa modal dengan sebutan bahasa aslinya di pasar nagari adalah ”kalene” atau ”cingkariak”4 (pemberi isyarat). Bagi pedagang tanpa
modal dalam perdagangan kayu manis di pasar nagari, membeli kayu manis dari petani di hari keramaian pasar nagari merupakan bentuk dari diversifikasi usaha pertanian mereka yang kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga mereka.
Para pedagang ”cingkariak” (tree node) ini memperoleh modal pada saat hari keramaian pasar nagari dari pedagang besar tingkat kabupaten. Kedatangannya di pasar nagari untuk membeli kayu manis dan kemudian menjualnya kembali ke pedagang besar kabupaten yang juga hadir sebagai aktor (player) di pasar nagari. Jadi mereka mendapatkan keuntungan dari selisih harga yang diberikan oleh pedagang besar tingkat kabupaten ini rata-rata berkisar antara Rp 50,-/kg sampai dengan Rp.500/kg. Tetapi waktu transaksinya dengan pedagang besar akan terjadi setelah semua transaksi dengan petani kayu manis selesai seluruhnya, atau petani yang menjual kayu manisnya telah masuk pasar untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari.
Ternyata para pedagang tanpa modal (kalene) akan melakukan transaksi dengan pedagang besar tingkat kebupaten yakni dengan langsung menimbang berapa besarnya volume pembelian pedagang tanpa modal pada saat itu. Disini rata-rata pendapatan pedagang tanpa modal ini untuk satu kali pasar nagari di buka
4
“Kalene” atau “cingkariak” adalah sebutan bagi pedagang kayu manis tanpa modal di pasar nagari yang tugasnya memberi isyarat bagi pedagang lainnya untuk informasi harga dalam bertransaksi dengan petani.
adalah berkisar antara Rp 150 ribu sampai Rp 400. ribu. Besarnya pendapatan ini sangat tergantung kepada kelihaian mereka membujuk petani kayu manis untuk mau menjual kayu manis mereka. Pedagang tanpa modal akan berebutan untuk membeli kayu manis petani yang datang di pasar nagari. Biasanya pedagang besar tingkat kabupaten hanya melihat saja dari jauh, cenderung hanya membiarkan pedagang tanpa modal untuk melakukan transaksi dengan petani kayu manis. Dapat dikatakan dalam menghadapi petani di pasar nagari, semakin kecil modal si pedagang semakin agresif mereka mengejar atau menawar kayu manis petani.
Penentuan harga kayu manis antara pedagang ”tanpa modal” (pemberi isyarat) dengan pedagang perantara lainnya, dilakukan sejak dini ketika pasar nagari mulai buka dan pedagang tanpa modal meminjam uang untuk modal kepada pedagang besar tingkat kabupaten. Artinya sebelum pedagang tipe ini membeli kayu manis petani, maka mereka sudah mendapat isyarat harga penjualan mereka nanti kepada pedagang besar (palantuak)5. Bahkan menurut hasil wawancara dengan
mereka dikatakan bahwa harga penjualan mereka nanti, diinformasikan kepada pedagang besar tingkat kabupaten telah ditanyakan sehari/beberapa hari sebelumnya melalui komunikasi telepon, atau melalui interaksi diantara mereka pada pasar nagari sebelumnya.
Keunikan yang ditemui dalam transaksi kayu manis rakyat di pasar nagari yang dilakukan oleh pedagang adalah: adanya jaringan sosial tertentu atau ”klientisasi” antara pedagang tanpa modal dengan pedagang besar tingkat kabupaten. Jika dalam transaksi itu petani berusaha akan menjualnya langsung ke pedagang besar tingkat kabupaten (seperti H. WN), walaupun sudah di tawar oleh pedagang tanpa modal, tetapi petani ini tetap berusaha menemui H. WN agar membeli kayu manisnya. H. WN akan menawar kayu manis petani ini dengan harga di bawah harga yang ditawarkan oleh pedagang tanpa modal sebelumnya. Karena semakin rendahnya harga, maka petani kayu manis akan kembali menawarkan kayu manisnya kepada pedagang yang menawar sebelumnya, bahkan bisa dengan harga yang lebih rendah dari awalnya, dan kadang lebih rendah dari harga penawaran pedagang tingkat kabupaten. Keadaan ini merupakan bentuk ekonomi moral
5
“Palantuak” artinya tukang tumpuk, adalah sebutan (kurang baik) yang diberikan kepada pedagang besar dan mereka dianggap petani sebagai pihak yang sangat suka mempermainkan harga.
pedagang besar kabupaten terhadap pedagang pengumpul yang yang merupakan perpanjangan tangannya di pasar nagari. Sehingga usaha petani memperpendek saluran pemasaran kayu manis mengalami kegagalan.
Bentuk perlakuan tidak atau enggan membeli kayu manis petani kembali, apabila sudah ditawar pedagang tanpa modal dan tidak mau menjualnya ke pedagang tanpa modal, setelah petani mencoba menjualnya langsung kepada pedagang besar tingkat kabupaten, adalah wujud dari kuatnya dominasi pedagang atas petani kayu manis. Dengan membeli cassaivera petani di bawah harga pasar yang telah di tawarkannya sebelumnya. Bentuk hukuman (punishment) yang diberikan pedagang tanpa modal atau pedagang perantara ini terhadap petani kayu manis merupakan upaya pedagang tanpa modal untuk tetap mempertahankan posisi dan peran mereka dalam transaksi kayu manis di setiap pasar nagari (monopoli status grup). Mencari keuntungan sebagai pemberi isyarat atau ”cingkariak” merupakan salah satu bentuk sumber mata pencaharian masyarakat nagari dalam kaitannya dengan perdagangan kayu manis di pasar nagari. Tentu saja petani yang menjadi sasaran mereka adalah petani dengan waktu panen tak menentu.
Tabel 24 Karakteristik Pedagang Pengumpul di Wilayah Penelitian Tingkat pendidikan Luas Lahan (ha)
Sawah Ladangcass No Pasar Nagari/ Jumlah Pedagang TTSD SMP SLTA < 1 > 1 < 1 > 1 Volume pembelian (kg) 1. Salimpaung (14) (57)8 (28.6)4 (14.3)2 (57)8 (29)4 (57) 8 (29) 4 9.200(657) 2. Tabek Patah (6) 1 (17) 0 5 (83) 2 (33) 5 (83) 2 (33) 4 (67) 10.100 (1.683) 3. Rao-Rao (1) 0 (100)1 0 (100)1 0 (100)1 0 1.050 4. Sungai Tarab (4) 0 (75)3 (25)1 (50)2 (50)2 (25) 1 (75) 3 (3.075)12.300 5. Baso (23) 16 (70) 3 (13) 4 (17) 18 (75) 5 (22) 22 (96) 1 (4) 13.952 (606) Jumlah: 48 25 (55) (24)11 (25)12 (65)31 (33)16 (71) 34 (25) 12 Sumber: Hasil Penelitian, 2006 (data diolah)
Tabel 24 memperlihatkan bahwa ditinjau dari segi tingkat pendidikan pedagang pengumpul kayu manis relatif rendah, hanya berpendidikan SD sebanyak 55 persen, dan dari jumlah itu pedagang dengan pendidikan rendah paling banyak ditemui di Pasar nagari Baso (70 persen) dan Pasar nagari Salimpaung (57 persen).
Pilihan pekerjaan menjadi pedagang kebanyakan dilakukan atas dasar warisan pekerjaan dari orang tua. Dorongan untuk memilih pekerjaan berdagang kayu manis juga lebih didorong oleh kondisi pendidikan menengah yang tidak terselesaikan. Pada umumnya, pedagang kayu manis ini merupakan pedagang tanpa modal, dan hanya memanfaatkan social relationship dengan pedagang besar tingkat kabupaten. Boleh dikatakan mereka ini merupakan ”perpanjangan tangan” pedagang besar (pedagang tingkat kabupaten). Hal ini dapat dilihat bahwa di pasar nagari Salimpaung dan Baso yang banyak memiliki pedagang tanpa modal, maka volume perdagangan mereka untuk satu kali dibukanya pasar nagari itu lebih kurang setengah ton. Sedangkan pada pasar nagari Tabek Patah dan Sungai Tarab yang volume pembelian di pasar nagari ini adalah lebih dari satu ton pada setiap di bukanya pasar nagari, artinya, para pedagangnya memiliki kemampuan modal yang cukup besar.
Selanjutnya, apabila di lihat dari profil luas lahan rumahtangga pedagang kayu manis, maka para pedagang kayu manis ini mayoritas adalah penduduk nagari yang kepemilikan lahan pertaniannya relatif kecil berkisar antara 0,25 s/d 1 ha lahan sawah dan 0,25 s/d 1,5 ha lahan kayu manis. Pada nagari Salimpaung hanya sebanyak 4 orang pedagang (29 persen) yang memiliki lahan sawah mencapai 1 ha, hal itupun dengan rata-rata jumlah anggota keluarga berkisar antara 5 - 9 orang. Mayoritas pedagang kayu manis di wilayah penelitian adalah petani berlahan sempit dengan rata-rata kepemilihan luas lahan sawah berkisar antara 0,25 s/d 0,50 ha dan lahan kayu manis adalah berkisar antara 0,25 ha s/d 1,5 ha. Pada nagari Tabek Patah dan Sungai Tarab, mayoritas pedagang kayu manis memiliki luas lahan sawah dan ladang kayu manis di atas 1 ha.
Bila dilihat dari besarnya jumlah volume pembelian pedagang kayu manis, maka pasar nagari Baso, Sungai Tarab, dan Tabek Patah merupakan pasar nagari yang paling banyak memperdagangkan kayu manis yang mencapai lebih kurang masing-masing adalah 14 ton, 12 ton dan 10 ton untuk satu kali dibukanya pasar nagari. Sebenarnya, jika diperhatikan bahwa pasar nagari Salimpaung sebagai pasar di tingkat nagari, dimana pasar nagari ini merupakan pasar tipe A dalam tipologi pemerintahan yakni pasar antar desa (nagari), bukan seperti pasar nagari Sungai Tarab, Tabek patah dan bahkan Pasar Baso yang tergolong kepada pasar tipe C. Sehingga besarnya volume perdagangan kayu manis di pasar nagari yang
bertipe A ini, dibandingkan dengan pasar nagari Tabek Patah, Sungai Tarab, bahkan pasar nagari Baso, maka pasar nagari Salimpaung dengan tipe pasar nagari yang hanya selingkup nagari di sekelilingnya, dengan kapasitas volume pembelian kayu manis yang hampir mencapai setengah ton pada setiap di bukanya pasar nagari, merupakan potensi yang sangat besar untuk perdagangan kayu manis di daerah kabupatan Tanah Datar.
Selanjutnya, karakteristik pedagang pengumpul kayu manis di pasar nagari dapat pula ditinjau dari segi pola pemukiman, sumber modal, luas lahan, dan makna berdagang bagi mereka, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 25 di bawah ini.
Tabel 25 Tipologi Pedagang Pengumpul Kayu manis di Pasar Nagari Luas Lahan No Kategori Pedagang Pola Pemukiman Sumber Modal Sawah
(ha) Ladang (ha)
Makna Berdagang 1. Pedagang Modal Kuat Pusat nagari, elite (orang asa) sendiri ≥ 1 > 0,5 Prestise/akumulasi modal budaya dan finansial Pedagang besar 0,5- 1 0,5- 1 2. Pedagang tanpa Modal/pemberi isyarat/cingkariak Pinggiran nagari, suku pendatang Inang-inang 0-0,5 0-0,5 Diversifikasi mata pencaharian (katup pengaman) 3. Pedagang besar
(palantuak) Supra nagari Sendiri/pinjaman dari bank, dan pemerintah
- - Akumulasi modal
(profit oriented) Sumber: Hasil Penelitian, 2006-2007 (data diolah)
Berdasarkan pada tabel 25 di atas, terlihat bahwa pedagang dengan modal kuat pada umumnya bermukim di pusat nagari dan mereka menjadikan pekerjaan berdagang kayu manis sebagai prestise dan memupuk modal budaya masyarakat mereka. Berbeda dengan pedagang tanpa modal yang lebih dikenal dengan pemberi isyarat atau cingkariak, mereka umumnya bermukim di pinggiran nagari, sumber modal sebagian besar merupakan modal sendiri dan dari pinjaman Inang-inang, tetapi makna berdagang bagi mereka adalah untuk melakukan diversifikasi usaha dalam kerangka katup pengaman ekonomi rumahtangga mereka.
Besarnya kapasitas perdagangan kayu manis ini di pasar nagari Salimpaung di sebabkan oleh beberapa hal; pertama kayu manis merupakan komoditi andalan bagi ekonomi rumahtangga petani berlahan sawah sempit dan pedagang tanpa modal di nagari Salimpaung. Kedua, potensi luas lahan kayu manis yang lebih besar
di bandingkan dengan potensi yang dimiliki oleh nagari lain. Ketiga berkaitan dengan tradisi adat perkawinan masyarakat setempat, telah menempatkan tanaman kayu manis sebagai tanaman adat dan simbol bagi kekuatan ekonomi masyarkat nagari Salimpaung.
Kedudukan dan status sosial sebuah keluarga di nagari Salimpaung sebagian dilihat dari seberapa besar luas lahan kayu manis yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Semakin besar luas lahan kayu manis yang dimiliki, sebuah keluarga semakin dipandang tinggi keluarga tersebut di tengah masyarakat, walaupun menurut stratifikasi sosial yang didasarkan atas jabatan adat dan orang asa nagari6, keluarga itu berasal bukan dari orang asa nagari. Artinya, luas kepemilikan lahan kayu manis merupakan salah satu cara untuk melakukan mobilitas antar kelas di tengah masyarakat.
Jika dilihat lebih dalam, sebenarnya pengusahaan dan penguasaan luas lahan kayu manis di sebuah nagari pada mulanya dibuka oleh orang yang bukan asal nagari atau ”orang dangau”7, tetapi setelah berkembangnya jumlah penduduk, maka orang dangau ini kemudian lebih banyak menguasai luas lahan kayu manis tetapi lebih sedikit menguasai luas lahan sawah. Dalam perkembangan selanjutnya, karena terbatasnya luas lahan sawah yang dimiliki pada umumnya merekalah yang menjadi pedagang kayu manis di pasar nagari. Namun karena perdagangan kayu manis ini banyak memberikan keuntungan bagi pedagang kayu manis, maka sebagian besar orang asa nagari ikut pula menjadi pedagang kayu manis dengan modal yang lebih besar.
Jadi pedagang kayu manis yang tanpa modal pada umumnya adalah mereka yang berasal dari orang dangau dahulunya dengan luas lahan sawah yang sempit. Sedangkan pedagang yang bermodal besar adalah orang asa nagari dengan luas lahan sawah dan ladang kayu manis yang relatif luas, tetapi ikut terjun menjadi pedagang semata-mata lebih melihat pada besarnya keuntungan yang diperoleh. Pedagang bermodal besar ini bersifat lebih rasional dan berorientasi mencari keuntungan (profit motive). Sangat berbeda dengan pedagang kayu manis yang
6
Orang asa nagari merupakan sebutan bagi penduduk pusat nagari yang dianggap sebagai orang yang ”manaruko” (ancestor) dan dianggap tinggi stratifikasi sosialnya di mata adat.
7
Orang dangau adalah istilah bagi penduduk pendatang di sebuah nagari dan kemudian membuka lahan hutan yang jauh dari pusat nagari untuk bermukim dan berladang (wawancara dengan pemuka adat, H. Bachtiar, 5 dan 12 Mei 206).
berasal dari orang dangau yang lebih mengutamakan dan tetap menjaga trust dengan petani kayu manis yang menjadi pelanggannya.
Sikap pedagang kayu manis tanpa modal yang lebih mengutamakan terciptanya saling percaya (trust building) antara pedagang dan petani kayu manis di pasar nagari adalah karena secara historis, posisi dan kedudukan mereka merupakan orang dangau dan ditambah lagi dengan kenyataan bahwa, bagi mereka berdagang kayu manis di pasar nagari merupakan salah satu cara untuk menambah pendapatan di luar sektor pertanian. Dengan berdagang kayu manis mereka memperoleh pendapatan tambahan yang cukup besar untuk setiap kali dibukanya pasar nagari. Dua alasan itulah kenapa pedagang kayu manis pada kelompok pedagang tanpa modal (pemberi isyarat) lebih memperhatikan dan memelihara relasi sosial dengan mitra dagangnya baik dengan petani sendiri apalagi dengan sesama pedagang.
6.3. Relasi Sosial dan Jaringan Kerja Antar Pedagang Lokal dan Supra Lokal serta Kemunculan Pedagang Kayu manis Sebagai Kelompok Elite
Ekonomi
Pada saat ini pedagang kayu manis merupakan kelompok elite ekonomi di tengah masyarakat nagari. Keuntungan yang mereka peroleh dari perdagangan kayu manis disamping telah digunakan untuk membangun simbol-simbol status sosial seperti membangun rumah yang lebih megah, mengangkat penghulu baru bahkan menjadi penghulu, juga telah diakumulasikan guna menjalin jaringan kerja yang lebih luas dengan para pedagang besar di tingkat supra nagari.
Kenyataan saat sekarang kebanyakan pedagang di pasar nagari merupakan kelompok pedagang tanpa modal, hal itu disebabkan oleh sistem tata niaga kayu manis yang dikuasai oleh pedagang dari etnis China. Para pedagang kayu manis di pasar nagari yang ditemui di daerah penelitian, sebagian besar sudah pernah menjadi pedagang besar dan pedagang pengumpul bagi eksportir, tetapi karena politik perdagangan8 eksportir yang cenderung menunda pembayaran setelah kayu
8
Politik perdagangan (dagang), dimaksudkan sebagai aktivitas-aktivitas yang dilakukan individu sebagai aktor ekonomi yang merupakan respon terhadap peristiwa yang mengitarinya, sekaligus sebagai salah satu cara untuk dapat keluar sebagai pemenang (c.f. Sarmini dalam Putra, 2003; 263-269).
manis berikutnya dikirim (dikirim 2 kali di bayar 1 kali), maka hanyalah pedagang yang bermodal kuat dan berlapis yang mampu menjadi kaki tangan eksportir.
Menurut pengalaman seorang pedagang kayu manis Salimpaung yang bernama Jamaris (52 tahun) saat sekarang menjadi pedagang tanpa modal, yang pernah menjadi pedagang besar dan menjual ke eksportir di Padang:
”....Aden pernah ditipu dek Cino di Padang nan punyo PT. NTO, katiko kulik den bawo dengan mobil truk (colt diesel) ka Padang lebih kurang 2 ton untuk kualitas AA, samulo harago alah disapakati sebesar Rp 7.500/kg. Satibo di gudang PT. NTO, kabek kulik dibukaknyo dan dilihatnya banyak kulik patah-patah, langsung harago dijatuahkan menjadi Rp 6.000/kg. Den ndak amuah, dan minta kasapatan samulo. Kamudian wak den jua pulo ke toke lain PT. RS. Ruponyo nyo ago labiah randah pulo lai dari nandiago dek PT NTO, karano inyolah telpon PT RS maso kulik den lah diagonyo. Daripado den baok pulang kulik tu, tapaso den lapeh juo ka PT. NTO tu. Sajak itu den ndak talok mengaleh ka Padang lai, ancak den mangumpuan kulik di pasar sajo untuak di jua ka H. WN atau ka UD Misril lebih banyak untuangnyo tembak diateh kudo sajo...” (wawancara dengan Jamaris pedagang kayu manis di pasar nagari Salimpaung, 2006).
(Saya pernah ditipu oleh pedagang Cina di Padang yang punya PT NTO, ketika kulit manis saya bawa dengan truk ke Padang lebih kurang 2 ton dengan kualitas AA. Semula harga sudah disepakati sebesar Rp 7.500/kg. Setiba di gudang PT NTO ikatan kulit manis mereka buka dan dikatakan banyak kulit manis yang patah, harga langsung diturunkan menjadi Rp 6.000/kg. Saya tidak mau dan minta harga seperti kesepakatan semula. Kemudian saya bawa ke toke lain yaitu PT. RS. Rupanya harga lebih rendah lagi dari harga yang ditawar PT. NTO, karena mereka telah menelpon PT. NTO bahwa kulit manis sudah ditawar Rp 6.000/kg. Daripada saya bawa pulang kembali kulit manisnya terpaksa dilepas juga ke PT. NTO. Sejak itu saya tidak mau lagi berdagang ke Padang, lebih baik saya mengumpulkan kulit manis di pasar nagari saja untuk dijual ke H. WN atau ke UD.ML Lebih banyak untungnya sebagai free rider saja....)”
Petikan hasil wawancara dengan Jamaris di atas memperlihatkan ia telah menjadi korban sistem tata niaga kayu manis yang didominasi oleh ekportir dengan melakukan perilaku curang (mencari cacat barang) dalam melakukan transaksi perdagangan. Dahulu Jamaris merupakan pedagang besar di Nagari Salimpaung, dia pernah membeli kayu manis di atas satu ton untuk satu kali pasar dan diangkut dengan 2 buah truknya ke rumahnya, setelah dilakukan prosesing kemudian dijual ke H. WN dan Guru (Eti) di Batu Sangkar sebagai pedagang tingkat Kabupaten. Namun sesudah beberapa kali mencoba memutus mata rantai atau saluran pemasaran kayu manis untuk langsung menjual kayu manis ke tingkat eksportir, maka Jamaris mengalami kegagalan dan kerugian karena ulah politik perdagangan eksportir yang menekan harga sangat rendah.
Upaya perdagangan yang dilakukan eksportir Cina untuk menekan pedagang tingkat pasar nagari untuk memutuskan mata rantai pemasaran kayu manis merupakan politik perdagangan mereka untuk tetap mendominasi perdagangan kayu manis di Provinsi Sumatera Barat. Hanya dengan menciptakan jaringan kerja dengan satu pedagang kabupaten saja, memungkinkan eksportir dapat mengendalikan harga kayu manis di tingkat pedagang pasar nagari. Semakin ke bawah jumlah pedagang kayu manis semakin banyak, sebaliknya semakin ke atas pedagang kayu manis semakin sedikit dan semakin terjadi monopsoni tersembunyi oleh eksportir, sebagaimana dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar: 11 Perbandingan Jumlah Pedagang pengumpul di Pasar Nagari dan Pedagang Pengumpul di Tingkat Kabupaten dan Eksportir Hubungan pedagang pengumpul di pasar nagari dengan pedagang tingkat kabupaten lebih berbentuk pada hubungan Patron-klien. Pedagang pengumpul tingkat nagari dan kecamatan merupakan pedagang yang menjadi perpanjangan tangan pedagang tingkat kabupaten. Pedagang tingkat kabupaten (supra lokal) bertindak sebagai bapak buah (Patron) dan pedagang pengumpul di pasar nagari bertindak sebagai anak buah (klien), yang sebagian memperoleh pinjaman modal untuk membeli kayu manis kepada petani, kemudian kayu manis yang dibeli oleh pedagang pengumpul tingkat nagari akan dijual kembali ke pada Patronnya dengan harga yang telah disepakati sebelumnya.
Seorang Patron memiliki 5 sampai 7 orang agen di pasar-pasar nagari, mereka inilah yang dikategorikan dalam penelitian ini dengan pedagang modal kecil dan pedagang tanpa modal (pemberi isyarat). Para pedagang yang membentuk hubungan Patron- klien inilah yang membentuk jaringan (network) berkelompok. Artinya ada kelompok-kelompok (clique members) pedagang kayu manis untuk menghadapi pembelian kayu manis petani di pasar nagari. Kelompok-kelompok pedagang inilah yang melakukan transaksi di pasar dengan menekan harga serendah mungkin, agar memperoleh keuntungan besar, dengan cara membuat penawaran berkelompok.
Dalam wilayah penelitian, pedagang tingkat kabupaten yang bertindak sebagai Patron diantaranya H. WN (56 Tahun), Guru/Eti (52 tahun), CN (54 tahun), WR (38 Tahun), H. KTR (68 Tahun) masing-masing mereka memiliki perpanjangan tangan (klien) sebagai pedagang pengumpul kayu manis di setiap pasar nagari. Para pedagang pengumpul pasar nagari inilah yang sebagian diberi modal untuk membeli kayu manis di pasar-pasar nagari kepada petani. Meskipun demikian, seorang pedagang pengumpul pasar nagari terkadang bukan hanya menjadi anggota dari satu clique members saja, tetapi lebih dari satu, sangat tergantung kepada bagaimana Patronnya menjaga hubungan dengan kliennya dan sebaliknya.
Kelanggengan bentuk hubungan Patron-klien diantara pedagang kayu manis ini sangat tergantung kepada pemupukan saling percaya (trust) diantara mereka. Kesetiaan seorang klien sangat tergantung kepada pertama: seberapa besar modal untuk membeli kayu manis di pasar nagari pada setiap kali dibukanya pasar nagari dapat diberikan oleh Patronnya, semakin besar pinjaman modal dapat diberikan, maka semakin terikat seorang klien kepada Patronnya dan semakin kokoh jalinan perdagangan mereka. Kedua: seberapa besar selisih margin yang diberikan oleh Patron terhadap kliennya, semakin besar marginnya semakin besar keuntungan yang akan diperoleh klien dalam pembelian kayu manis kepada petani, sebab para klien ini harus juga memelihara hubungan baik (klientisasi) dalam bentuk relasi sosial dengan petani kayu manis, agar petani kayu manis terikat dan mau menjual kayu manisnya kepada klien ini, dengan cara membeli kayu manis dengan harga yang wajar menurut petani. Bahkan dalam hubungan ini juga terjadi permainan aspek ruang antara pedagang dengan petani kayu manis. Ketiga: seberapa besar perhatian Patron yang diberikan kepada kliennya dalam menjaga hubungan sosial
(social relationship) mereka dengan memberikan hadiah-hadiah pada saat hari-hari besar keagamaan, seperti pembagian infak, zakat, daging korban, kado pesta pernikahan anak klien, bantuan pembangunan mesjid dan mushalla di kampung klien, dan kunjungan-kunjungan pada saat-saat waktu tertentu untuk memberikan penguatan kepada kedudukan sosial para klien (klientisasi).
Tabel 26 Jaringan Patron-klien Pedagang Kayu manis di Pasar Nagari Jumlah Klien di Pasar Nagari
No Pedagang Tingkat Kabupaten sebagai
Patron Baso (23) Tabek Patah (6) Salimpaung (14) Rao-Rao (1) Sungai Tarab (4) Jumlah 1. H. WN (Simpuruik) 15 4 9 1 2 31 2. WR (Salimpaung) 8 0 0 0 0 8 3. H. Guru/Hj. Eti (Sungayang) 0 0 0 0 0 0 4. CN (Payakumbuh) 2 4 4 0 0 10 5 H. KTR (Jati) 0 0 0 0 0 0 6. MS (Lintau) 0 0 0 0 0 0 7. UD.Misril (Pasie Laweh) 0 0 2 0 1 3
Sumber: Hasil Penelitian, 2006 (data diolah)
Berdasar tabel 26 terlihat bahwa Patron yang paling besar jaringannya adalah H. WN (56 Tahun) dari Simpuruik Batu Sangkar, WR (38 Tahun) dari Nagari Salimpaung, dan CN (48 tahun) dari Payakumbuh. Jaringan kerja yang dibangun oleh H. WN hampir mencakup semua pasar nagari, sedangkan CN (Payakumbuh) jaringan kerjanya hanya pada tiga pasar nagari yakni Baso, Tabek Patah, dan Salimpaung, untuk pasar nagari Rao-Rao dan Sungai Tarab dikuasai oleh H. WN dan UD. ML, WR (38 tahun) hanya memiliki jaringan kerja di pasar Baso, di pasar nagari lainnya, WR relatif kurang dipercayai karena dianggap sering mengecewakan kliennya, sehingga WR lebih banyak memperoleh kayu manis dari luar kabupaten Tanah Datar seperti di Baso, dan Matur kabupaten Agam.
Ada tiga orang Patron yang tidak mengaktifkan para kliennya pada saat penelitian dilakukan yakni H. Guru/Eti (52 tahun) dari Sungayang, H. KTR (68 Tahun) dari Jati Batu Sangkar, dan MS (54 tahun) dari Lintau, menurut para klien di pasar nagari yang pernah menjadi anggota kelompok mereka, Patron mereka tidak aktif karena sedang memiliki stok yang berlimpah di gudang mereka, dan untuk sementara menghentikan pembelian melalui para kliennya. Sehingga para klien ini
beralih menjadi anggota Patron lainnya. Jadi, ada beberapa klien yang menjadi anggota dari dua atau lebih Patronnya. Artinya ikatan diantara Patron dan klien agak longgar dan sangat tergantung pada seberapa besar Patron mampu secara kontinu membeli kayu manis pada kliennya.
Menurut pengakuan bekas klien H. Guru/Eti di Pasar nagari Tabek Patah Dt. Rajo Sampono (73 Tahun), ia hanya sementara menjadi klien H. WN, menjelang H. Guru/Eti aktif kembali menerima kiriman (membutuhkan) kayu manis yang dikumpulkannya di Tabek Patah, sebab menurutnya H. Guru/Eti lebih banyak memberikan kemudahan baginya dalam meminjam modal dan memberikan harga yang lebih baik ketimbang H. WN, seperti dikatakan Dt. Rajo Sampono ” saya sulit lepas dari H. Guru/Eti karena merekalah yang membantu usaha saya sejak awal sehingga menjadi kokoh saat sekarang”. Jadi keterikatan secara emosional (reciprositas mutualism) dengan Patronnya masih menjadi pertimbangan dalam membangun jaringan kerja, sekali pedagang pengumpul pasar nagari ini dikhianati, mereka tidak percaya kepada Patronnya, seperti yang dialami oleh WR di nagari Salimpaung.
Dengan adanya relasi sosial interpersonal terutama dalam bentuk klientisasi antara pedagang pengumpul pasar nagari dengan pedagang besar (supra lokal) di tingkat kabupaten yang membentuk hubungan Patron-klien (reciprocal mutualism) telah menyebabkan para pedagang pasar nagari memiliki kemapanan ekonomi yang lebih di tengah masyarakat nagari. Para pedagang pengumpul di pasar nagari ini telah menjadi kaum elite ekonomi nagari dengan membangun simbol-simbol, kedudukan dan posisi sosial mereka di tengah masyarakat nagari seperti titel Haji, Datuak atau Penghulu, membangun rumah toko permanen, donatur tetap di mesjid dan mushalla bahkan menjadi donatur untuk kegiatan pemuda seperti olahraga, dan kesenian. Kedudukan mereka sebagai orang kaya di nagari, telah menyebabkan mereka memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dengan kepentingan masyarakat nagari. Fenomena ini sesuai dengan yang diindikasikan oleh Evers (1994), bahwa pedagang dalam menghadapi petani di desanya menghadapi dillema tidak hanya berorientasi mengakumulasi modal tetapi juga harus menjaga citranya di tengah masyarakat dalam bentuk melakukan akumulasi modal budaya. Di samping itu pedagang juga harus berbagi keuntungan dengan masyarakat sekitarnya dalam bentuk memberi sumbangan atau menjadi
donatur dalam berbagai kegiatan kampung (hubungan klientisasi). Namun dalam bertransaksi dengan petani, ekonomi moral pedagang terlihat ”sangat tipis”, sementara ekonomi moral petani lebih kental terlihat.
Bila dilihat dari lokasi tempat tinggal, mereka para pedagang pengumpul di pasar nagari yang semula adalah orang-orang dangau yang bermukim jauh dari pusat nagari, maka dengan pendapatan yang besar dari perdagangan kayu manis, para elite ekonomi baru ini membeli tanah untuk membangun rumahnya di pusat nagari dan dekat dengan pasar nagari. Bahkan mereka banyak menguasai lahan-lahan sawah dan ladang dengan sistem pagang gadai. Pada umumnya pedagang kayu manis di pasar nagari ini membangun rumah dan gudang kayu manisnya lebih dekat ke pinggiran jalan raya, agar aksessibilitas ke patronnya dapat berjalan dengan baik.
Tabel 27 Kedudukan dan Posisi Sosial Pedagang Pengumpul Pasar Nagari di Tengah Masyarakat Nagari
Jumlah Pedagang Memiliki Kedudukan dan Posisi Sosial No Pasar Nagari Datuak/ pemangku adat Haji Mantan Walinagari/ Kepala Desa Jumlah 1 Salimpaung 3 4 0 7 2. Tabek Patah 3 2 1 6 3. Baso 1 3 0 4 4. Rao-Rao 0 1 0 1 5. Sungai Tarab 1 1 0 2 Jumlah 8 11 1 20
Sumber: Hasil Penelitian, 2006 (data diolah)
Berdasarkan tabel 27 di atas dapat dikemukakan bahwa pedagang pengumpul pasar nagari yang telah menjadi kaum elite ekonomi nagari, kemudian mendapat promosi untuk menduduki jabatan dan posisi penting di tengah masyarakat nagari. Ada 8 orang (17 persen) pedagang pengumpul pasar nagari memangku gelar Datuak dan pemangku adat, paling banyak di pasar nagari Salimpaung dan Tabek Patah. Selanjutnya, memperoleh gelar haji sebanyak 11 orang (23 persen) yang paling banyak di pasar nagari Salimpaung, Baso dan Tabek Patah. Kemudian ada satu pedagang pengumpul di pasar nagari yang pernah menjabat sebagai mantan wali nagari Tabek Patah.
Apabila dilihat per nagari, jumlah pedagang yang memiliki kedudukan dan posisi sosial politik di tengah masyarakat nagari sangat dominan, adalah di nagari
Salimpaung, ada 7 orang (58 persen) pedagang pengumpul kayu manis di pasar nagari memiliki kedudukan dan posisi sebagai Datuak, dan Haji. Di nagari Tabek Patah terdapat 6 orang (100 persen) pedagang pengumpul pasar nagari memiliki simbol-simbol sosial ekonomi yang menguntungkan praktek bisnis mereka, karena mendapat kepercayaan dan kekuatan sosial dalam menghadapi petani kayu manis dalam transaksi kayu manis di pasar nagari. Di nagari Sungai Tarab ada 2 orang (50 persen) pedagang pengumpul yang memiliki gelar Haji, yang diyakini sumber kepercayaan masyarakat untuk menarik pelanggan petani kayu manis untuk mau menjual kayu manis kepada pedagang yang bertitel haji ini. Titel haji bagi pedagang memperlihatkan simbol-simbol sifat jujur, taat beribadah dan tidak akan mau melakukan penipuan terhadap mitra bisnisnya. Titel haji juga akan memberikan kedudukan sosial ekonomi mereka di tengah masyarakat tergolong kepada orang yang ekonominya mampu atau memiliki kekayaan yang berlebih dari masyarakat biasa. Sehingga, salah satu tanda sukses anggota masyarakat nagari adalah apabila sudah beribadah haji ke Mekah, apalagi bila pergi haji lebih dari sekali.
Jabatan Datuak dan pemangku adat serta titel haji merupakan simbol-simbol yang besar maknanya bagi pedagang pengumpul di pasar nagari untuk kontinuitas bisnis kayu manis mereka di tengah masyarakat nagari. Jabatan Datuak memiliki konsekwensi bahwa pedagang pengumpul memiliki keuntungan sosial ekonomi dalam bisnis, karena dengan sendirinya petani kayu manis yang menjadi anggota kaum atau sukunya akan menjual kayu manis mereka kepada pedagang pengumpul ini. Walaupun petani kayu manis yang menjadi anggota kaumnya atau sukunya akan memiliki daya tawar menawar (bargaining) yang lemah, tetapi ini adalah kewajiban sosial (ekonomi moral) yang harus dijalani oleh petani kayu manis. Sering dalam transaksi antara pedagang pengumpul pasar nagari dengan petani kayu manis yang memiliki hubungan kekerabatan ini melakukan pembelian, langsung di kebun-kebun petani kayu manis. Realitas ini memperlihatkan dalam transaksi antara pedagang dan petani kayu manis telah terjadi “permainan aspek ruang dan waktu” yang dilakukan oleh pedagang.
Artinya, kayu manis terkadang di jual masih dalam keadaan yang belum dipanen dan kadang pula dalam keadaan masih basah baru siap di panen, tetapi belum di jemur. Hal ini dilakukan oleh petani kayu manis karena terpaksa menjualnya karena desakan ekonomi dan kewajiban sosial terhadap pemimpin