Jurnal. Volume 1 Nomor 1 April 2011 ISSN : X
Teks penuh
(2) Volume 1 Nomor 1 April 2011. ISSN : 2085-384X. Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan merupakan publikasi ilmiah yang memuat hasil-hasil penelitian pengembangan, kajian atau sasaran dalam bidang sosial, ekonomi bidang infrastruktur pekerjaan umum. Jurnal ini terbit sejak tahun 2009 dengan frekuensi terbit tiga kali dalam setahun yaitu pada bulan April, Juli dan November. Penanggung Jawab Ir. Lolly Martina Martief, MT Dewan Editor Dr. Ir. R. Pamekas, M.Eng Drs. Suhardi A.M, M.Si Ir. Arief Sabaruddin, CES Ir. Joyce Martha Widjaja, Dipl. HE Drs. FX. Hermawan, K, M.Si Mitra Bestari Prof. Dr. Ir. Suprapto, M.Sc Prof. Dr. Ir. Efendi Pasandaran Ir. Hastu Prabatmadja, MS, Ph.D Dr. Dody Prayogo, MPSt Pemimpin Pengelola Redaksi Pelaksana Ir. Masruri Redaktur Dra. Retno Sinarwati, MT Rahaju Sutjipta, S.Sos Bangkit Aditya W, S.Sos Andi Suriadi, M.Si Aldina Rani Lestari, S.I.P Masmi’an Mahida, S.Kom. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum diterbitkan oleh Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum. Alamat Redaksi/Penerbit: Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU, Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jakarta Selatan 12310 Telp. (021) 7511081, 7511844, Fax. (021) 7511843 email: [email protected].
(3) Volume 1 Nomor 1 April 2011. ISSN : 2085-384X. Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM DAFTAR ISI. Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawa Pening Bangkit Aditya Wiryawan. 1-11 13-24. Pola dan Dampak Permukiman Kembali Pengungsi Pascakonflik Sosial di Ambon Eddy Sudaryono, Andi Suriadi. 25-34. Rekayasa Sosial dalam Pembebasan Lahan Pembangunan Jalan Lintas Selatan di Bantul Elias Wijaya Panggabean. 35-44. Peran Masyarakat dalam Perencanaan Pemanfaatan Ruang: Studi Kasus Kawasan Perbatasan Jalan Godean, Yogyakarta. Adji Krisbandono. 45-54. Pemetaan Status Pelayanan Infrastruktur Kawasan Permukiman Kota Batam R. Pamekas.
(4) PENGANTAR REDAKSI Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum adalah jurnal yang diterbitkan dan didanai oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, Kementerian Pekerjaan Umum . Jurnal ini merupakan publikasi ilmiah yang memuat hasil-hasil penelitian, pengembangan, kajian atau gagasan dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan pekerjaan umum. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Volume 3 Nomor 1 April 2011 ini merupakan terbitan pertama tahun 2011. Dalam upaya peningkatan mutu jurnal, mulai edisi ini diadakan perubahan susunan pengelola jurnal, baik keanggotaan dewan editor, mitra bestari, maupun penanggung jawab dan redaksi pelaksana. Jurnal edisi April 2011 ini menampilkan 6 (enam) tulisan ilmiah, yaitu Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura; Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawa Pening; Pola dan Dampak Permukiman Kembali Pengungsi Pasca konflik Sosial di Ambon; Rekayasa Sosial Dalam Pembebasan Lahan Pembangunan Jalan Lintas Selatan di Bantul; dan Peran Masyarakat Dalam Perencanaan Pemanfaatan Ruang: Studi Kasus Kawasan Perbatasan Jalan Godean, Yogyakarta; Pemetaan Status Pelayanan Infrastruktur Kawasan Permukiman Kota Batam. Diharapkan tulisan ilmiah ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan pengetahuan di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan pekerjaan umum khususnya bagi para peneliti dan masyarakat ilmiah lainnya. Akhir kata, pengelola jurnal mengucapkan terima kasih atas partisipasi penulis dalam mengisi jurnal ini..
(5) Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura. ABSTRACT. Ahsan Asjhari Peneliti Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan Jl. Gayung Kebonsari No.115 Surabaya Email: [email protected]. The construction of Suramadu Bridge is expected to encourage the development of Madura Island. Currently, Suramadu Bridge is the main access for people to come and go towards Madura. More and more vehicles flow through the bridge leading to the existing of road network on the island of Madura require improvement of the road network itself. Road construction in the context of development of Madura Island needs to consider aspects of local social. The patriarchal social structure puts public figures such as kiai and his pesantren an important role in resolving potential social conflicts related to the development of the island. Development of road network in the island needs to address the agricultural sector as a potential area to be developed. However, there are plenty of obstacles in the development of road network on Madura Island, which requires a commitment among the relevant stakeholders related to the determination of priorities, both for the construction of national and provincial roads. Keywords: Social mapping, Road network, Suramadu Bridge, Area integration, Madura. ABSTRAK Pembangunan Jembatan Suramadu diharapkan dapat mendorong perkembangan Pulau Madura. Saat ini, jembatan Suramadu menjadi alternatif utama bagi masyarakat untuk pergi dari dan menuju ke Madura. Ramainya arus perlintasan kendaraan melalui jembatan Suramadu kemudian bermuara pada jaringan jalan yang ada di Pulau Madura, sehingga perlu pengembangan. Pengembangan jalan dalam konteks pembangunan di Pulau Madura, perlu memperhatikan aspek sosial setempat. Struktur sosial yang patriarkal menempatkan tokoh masyarakat seperti kiai dan pesantrennya memiliki peran penting dalam penyelesaian potensi konflik sosial terkait pembangunan di pulau tersebut. Pengembangan jaringan jalan di pulau ini juga perlu memperhatikan sektor pertanian sebagai potensi wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan. Namun demikian, terdapat berbagai kendala dalam pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura, sehingga perlu adanya komitmen antar stakeholder terkait penentuan skala prioritas, baik untuk pengembangan jalan nasional maupun jalan provinsi. Kata Kunci: Pemetaan sosial, Jaringan Jalan, Jembatan Suramadu, Integrasi wilayah, Madura. PENDAHULUAN Pembangunan Jembatan Suramadu, sebagai jembatan yang terpanjang di Indonesia, diharapkan dapat mendorong perkembangan Pulau Madura yang selama ini relatif mengalami ketertinggalan jika dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Timur. Jika merujuk standar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005 yang dikeluarkan oleh Data Statistik Indonesia, menempatkan kabupatenkabupaten Madura di bawah rata-rata Provinsi Jawa Timur yang mencapai 68,4. Untuk lingkup Madura, Kabupeten Pamekasan memiliki nilai IPM tertinggi (61,8), kemudian diikuti oleh Kabupaten Sumenep (61,2), Kabupaten Bangkalan (60,2) dan Kabupaten. Sampang (55,1). Berdasarkan Sensus Ekonomi tahun 2006 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Madura rata-rata mencapai lebih dari 31% dan termasuk merupakan persentase tertinggi di Jawa Timur.. Keberadaan jembatan Suramadu dinilai penting sebagai pembuka awal pergerakan manusia, barang dan juga jasa. Saat ini, jembatan Suramadu telah menjadi alternatif utama bagi masyarakat untuk pergi dari dan menuju ke Madura. Berdasarkan data dari Jasa Marga (Mei 2010), kendaraan yang melintas jembatan selama satu tahun beroperasinya jembatan Suramadu adalah serumlah 11.079.288. 1.
(6) Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011. unit kendaraan. Mayoritas pelintas jembatan adalah pengguna kendaraan roda dua atau sepeda motor sejumlah 675,348 unit. Sementara untuk kendaraan golongan I (berjenis sedan, jip, pick up, truk kecil dan bus) yang melintas adalah sejumlah 246.167 (25,55%) atau rata-rata 31.081 per hari. Sedangkan untuk kendaraan berat berkategori II hingga IV yang melintas di jembatan ini tercatat 42.344 kendaraan. Arus transportasi yang lebih cepat dan efektif tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan Madura untuk dapat bersaing dengan daerah lainnya. Ramainya arus perlintasan kendaraan melalui jembatan Suramadu kemudian bermuara pada jaringan jalan yang ada di Pulau Madura. Saat ini, Pulau Madura memiliki jalan nasional yang membentang dari Kamal di ujung barat hingga Kalianget di ujung timur, dengan panjang sekitar 170 kilometer. Disamping jaringan jalan nasional, kabupaten-kabupaten di pulau tersebut juga dihubungkan dengan jalan provinsi di sepanjang pantai utara Madura. Pasca keberadaan jembatan Suramadu, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V Surabaya, memprogramkan pembangunan jalan nasional yang telah eksisting tersebut dengan lebar 2-7-2. Dengan kondisi jaringan jalan yang memadai, pengembangan Madura dapat terintegrasi menjadi satu kawasan.. Persoalan pembangunan jaringan jalan di Pulau Madura tidak ada bedanya dengan persoalan pembangunan secara umum yang membutuhkan situasi dan kondisi stabil. Salah satu syarat keberhasilan pembangunan adanya kondisi kondusif dan terkendali. Pembangunan akan sulit dilaksanakan, jika kondisi masyarakat dalam situasi krisis dan anomali (ketidakpastian). Pembangunan itu sendiri membutuhkan infrastruktur yang kuat karena aktivitas yang dilaksanakan sangat kompleks dan memiliki pengaruh yang luas terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Semakin maju kebutuhan dan harapan masyarakat dalam memperbaiki kehidupannya, maka semakin cepat pula proses perubahan yang herus dilakukan. Pemahaman yang benar tentang situasi dan keadaan suatu masyarakat akan membantu dalam memetakan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi, terkait dengan proses pembangunan yang akan dilaksanakan itu sendiri (www.conflictanddevelopment.org, tanggal akses 19 Mei 2010). Tulisan ini berusaha menyajikan gambaran umum Madura dari aspek sosial ekonomi terkait dengan rencana pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura berdasarkan konsep pengaturan ruang wilayah. Dengan demikian keberadaan jembatan Suramadu yang didukung oleh keberadaan. 2. jaringan jalan yang memadai dapat mendorong pembangunan di Pulau Madura.. Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :. • Bagaimana kondisi sosial ekonomi terkait pengembangan jaringan jalan di kawasan Pulau Madura? • Bagaimana pengembangan jaringan jalan dalam rangka integrasi kawasan Pulau Madura?. Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi dan kendala sosial ekonomi terkait pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura. Selain itu penelitian ini juga untuk mengetahui upaya pengembangan jaringan jalan dalam rangka integrasi kawasan Pulau Madura berdasarkan kondisi sosial ekonominya tersebut.. TINJAUAN PUSTAKA Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponenkomponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (www.docstoc.com, tanggal akses 19 Mei 2010). Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumberdaya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI. Pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan melalui keterkaitan yang tepat antara alam, aspek sosio-ekonomis dan kultur (budaya). Sustainable development bukanlah suatu harmoni yang tetap dan statis, namun.
(7) Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari merupakan suatu proses perubahan dimana, eksploitasi sumber alam, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, perubahan kelembagaan konsisten dengan kebutuhan pada saat ini dan masa datang. Demikian pula perkembangan penduduk perlu diperhatikan dalam mencapai keberlanjutan pembangunan, dan karenanya jumlah dan perkembangan penduduk haruslah dalam kesimbangan dengan perubahan produksi ekosistem (Tjokrowinoto, 2001). Dengan demikian, pengembangan wilayah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan memperhatikan keunggulan komparatif di suatu wilayah, dan mengurangi kesenjangan pembangunan dengan mengurangi kawasan-kawasan yang miskin, kumuh dan tertinggal. Salah satu kegiatannya adalah peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi, pengolahan dan pemasaran, serta mendorong dan memfasilitasi masyarakat dengan sarananya. Pengembangan wilayah dilakukan menitikberatkan pada aspek ruang atau lokasi untuk mengoptimalisasi sumber daya alam yang ada dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakatnya (Direktur Jenderal Penataan Ruang, 2003).. Gambar 1. Konsep Integrasi Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Sumber : Luthfi Muta’ali, S.Si, MT, Dr. 2009 & WCED report, 1987. Implementasi dimensi pembangunan berkelanjutan mendukung optimalisasi Jembatan Suramadu dalam tulisan ini difokuskan kepada pemetaan aspek sosial dan ekonomi sehubungan rencana pengembangan wilayah dan kawasan, dalam hal ini pengembangan jaringan jalan di Madura. Aspek sosial merupakan dasar untuk mengetahui tentang dampak sosial yang ditimbulkan dalam pembangunan. Aspek sosial lebih menekankan pada uraian fakta yang meliputi peristiwa, subyek. (pelaku), obyek, interaksi, dan konflik sosial, serta dokumen, yang keseluruhannya sangat penting kedudukannya dalam setiap analisis. Analisis sosial sebenarnya adalah suatu usaha untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dan budaya dengan menelaah struktur sosial dalam masyarakat serta potensi konflik yang mungkin timbul sehubungan dengan rencana pembangunan di Madura pasca beroperasinya jembatan Suramadu. Hal yang mendasar pentingnya aspek ekonomi dalam pengembangan wilayah dan/atau kawasan yaitu perlunya mengenali potensi lokasi, potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan, sehingga akan terjadi efisiensi tindakan. Dengan usaha yang minimum akan diperoleh hasil yang optimum yang kesemuanya bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat, serta terjadinya investasi dan mobilisasi dana. Sementara tujuan untuk mengetahui aspek ekonomi adalah untuk menemukenali potensi dan sektor-sektor yang dapat dipacu, serta permasalahan perekonomian khususnya untuk penilaian kemungkinan aktivitas ekonomi yang dapat dikembangkan pada wilayah dan/atau kawasan tersebut.. Dalam pembangunan jembatan Suramadu hendaknya tidak hanya diarahkan untuk kepentingan negara dalam mengembangkan devisa dan pengembangan industri berbasis teknologi tinggi (hightech industries), namun juga perlu mencari keterkaitan dengan perekonomian rakyat lokal, untuk dapat melibatkan peran serta masyarakat lokal secara optimal. Oleh karena itu perlu dicari polapola keterkaitan antara faktor internal (domestic/ local entity) dan eksternal (national/macro entity) untuk mencegah terjadinya friksi kepentingan diantara kedua faktor tersebut. Agar kedua faktor tersebut dapat saling berkaitan, diperlukan juga faktor pendorong berupa manajemen regional sebagai fasilitasi keterkaitan tersebut. Menurut Luthfi Muta’ali, keterkaitan antar faktor tersebut bisa berjalan apabila memiliki prasyarat dasar, yaitu Kesamaan visi, misi dan tujuan antar stakeholder, dan komitmen politik antar seluruh elemen stakeholder (Muta’ali, 2009).. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan kualitatif yang menekankan pada makna dan pemahaman dari dalam (verstehen), penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), dan lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari (www.jonathansarwono.info). Penelitian ini bersifat deskriptif untuk menggambarkan aspek sosial ekonomi di wilayah Madura sehubungan dengan. 3.
(8) Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011. optimalisasi pemanfaatan jembatan Suramadu sesuai kondisi dan potensi yang ada. Pengembangan wilayah serta kultur masyarakat yang spesifik menjadi faktor utama dalam penelitian. Dalam rangka mengetahui kondisi sosial ekonomi terkait pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura, pengumpulan data antara lain melalui pengamatan langsung (observasi), wawancara, dan pengumpulan data sekunder.. Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis data kualitatif. Merujuk pada Bungin (2008), metode analisis data kualitatif memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut : 1) melakukan pengamatan terhadap fenomena sosial, melakukan identifikasi, revisirevisi dan pengecekan ulang terhadap data yang ada; 2) melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperoleh; 3) menelusuri dan menjelaskan kategorisasi; 4) menelusuri dan menjelaskan kategorisasi; 5) menjelaskan hubungan-hubungan kategorisasi; 6) menarik kesimpulan-kesimpulan umum; dan 7) membangun atau menjelaskan teori.. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi sosial ekonomi Pulau Madura a. Kepemimpinan lokal. Secara umum, struktur masyarakat Madura. bersifat patriarkal dan lembaga utama dari sistem ini adalah keluarga. Ungkapan buppa-babbu, ghuru, rato’ mencerminkan hierarki penghormatan di kalangan masyarakat Madura (Subaharianto, 2004). Ungkapan tersebut bermakna penghormatan yang paling utama harus diberikan kepada terhadap orang tua (bapak-ibu) sebagai suatu kewajiban atau hal etik yang diajarkan oleh agama Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk Madura. Penghormatan kemudian ditujukan kepada ghuru’ atau dalam konteks ini merujuk pada peran para kiai. Penghormatan berikutnya baru ditujukan kepada pemerintah, atau rato’. Kiai dan pesantren merupakan struktur sosial yang penting bagi bagi masyarakat Madura. Mahfud (2009) menyatakan bahwa kiai dan pesantren merupakan pilar-pilar kokoh tradisi masyarakat Madura sehingga desain kreatif perubahan di Madura perlu melibatkan mereka. Dengan demikian, berbicara kepemimpinan lokal dan pengaruhnya di Madura sejatinya adalah membedah pondok pesantren dengan institusi kiainya. Sebagaimana diketahui bahwa pondok pesantren adalah wilayah yang khas, dimana komunitas santri dan kiai saling menjalin berkelindan dalam teritorial yang terbatas. Hubungan santri dan kiai yang sangat paternalistik, menjadikan kiai sebagai sosok sentral di pondok yang harus diikuti oleh semua penghuni yang lain. Kondisi ketokohan ulama di Bangkalan memiliki ciri khas tersendiri jika dibanding dengan wilayah. Gambar 2. Peta sebaran pesanten di Pulau Madura. 4.
(9) Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari lainnya di Madura, yaitu terkait dengan ketokohan KH. Moch. Kholil sebagai guru utama dari Bangkalan yang men¬cetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah seorang tokoh nasional yang pernah menimba ilmu kepada beliau. Besarnya pengaruh ulama tersebut telah membentuk pola sosiokultural ketokohan di Bangkalan. Secara umum, pola ketokohan ulama di Bangkalan terpolarisasi kepada sosok KH. Moch. Kholil yang kemudian diteruskan kepada keturunannya, yang menurut istilah KH. RA Fuad, Trah Syaikhona Kholil. Sementara di kabupaten lainnya, peta ketokohan ulama relatif lebih cair. Di kabupaten Sampang misalnya, hampir di setiap kecamatan memiliki kiai yang berpengaruh. Demikian juga di kabupaten Pamekasan dan Sumenep.. Jaringan kiai di Madura termasuk cukup kuat hingga sampai tingkat desa. Jaringan dibentuk melalui alumni-alumni yang mendirikan lembagalembaga pendidikan dan menjadi tokoh masyarakat untuk wilayah lokal masing-masing mulai tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. Komunikasi yang terbangun antara pesantren dengan santri, alumni, dan wali santri terjalin secara intensif yang secara langsung berakibat pada “semakin kuatnya” jaringan yang terbangun. b. Potensi Konflik. Sikap dan perilaku yang akrab dengan kekerasan menjadi bagian dari persepsi melekat pada etnis Madura. Orang Madura cenderung dipersepsikan sebagai kelompok yang akrab dengan kekerasan. Hal ini tidak lepas dari karakteristik sosial budaya masyarakat Madura yang menonjolkan sikap spontan, responsif, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi. Namun demikian, sebenarnya orang Madura justru memiliki perilaku sangat sopan dan menghargai orang lain apabila mereka mendapat perlakuan yang menjunjung rasa keadilan serta tak menyimpang dari etika sopan santun. Jati diri orang Madura terangkum dalam tiga kata kunci : hormat, sopan dan Islam (Adib, 2009). Karakteristik sosial budaya ini selayaknya diperhitungkan, agar tidak menyulut konflik. Perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya orang Madura tidak menampik segala perubahan kecuali bila harga diri mereka telah dilecehkan oleh berbagai bentuk ulah termasuk menafikan kepentingan ekonomi mereka tak terkecuali terkait dengan pembangunan Suramadu. Berdasarkan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi maupun FGD, berikut tabel potensi konflik kewilayahan di Madura pasca beroperasinya jembatan Suramadu seperti yang terlihat pada tabel .1.. c. Potensi ekonomi. Jaringan jalan nasional dalam strategi pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaan Umum diarahkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi (Majalah Aspal Beton Indonesia, Edisi 14, Juni 2009). Strategi pembangunan jalan nasional sebagai arteri primer di Pulau Madura bertujuan untuk mengembangkan potensi wilayah di setiap kabupaten yang cenderung dominan pada sektor primer, terutama pertanian. Sektor pertanian di Kabupaten Bangkalan didominasi oleh padi sawah, sementara di Sampang dan Pamekasan di dominasi oleh jagung. Kabupaten Sumenep memiliki unggulan tanaman tembakau. Berdasarkan data tahun 2008, sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB di masing-masing kabupaten cukup besar. Berturutturut, sektor ini menyumbang PDRB sebesar 32.96% di Kabupaten Bangkalan, 49.22 di Kabupaten Sampang, 53,85% di Kabupaten Pamekasan dan 51,23% di Kabupaten Sumenep. 2. Pengembangan Jaringan Jalan di Madura. Transportasi wilayah adalah pembentuk struktur tata ruang yang dominan dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah secara langsung. Sebagai pembentuk struktur ruang, sistem transportasi wilayah seperti jaringan jalan arteri primer akan membentuk jaringan utama (path) yang menghubungkan simpul-simpul kota. Sebagai komponen pertumbuhan ekonomi wilayah, peran transportasi dapat memperlancar dapat memperlancar kegiatan arus perdagangan barang, orang dan jasa (Djakapermana, 2010). Dalam hal ini, transportasi berperan untuk memajukan aktivitas ekonomi.. Pasca beroperasinya Jembatan Suramadu dengan kemudahan akses transportasinya diharapkan dapat mendukung pengembangan wilayah di masingmasing kabupaten di Madura untuk mendorong keterkaitan antar berbagai sektor di Madura. Dari data sekunder menunjukkan bahwa pasca beroperasinya jembatan Suramadu, sektor usaha yang mengalami kenaikan kontribusi terhadap PDRB di Madura adalah sektor pengangkutan. Pada tahun 2009, sektor tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,05% di Kabupaten Bangkalan, 0,59% di Kabupaten Sampang dan 0,14% di Kabupaten Pamekasan. Sumbangan sektor pengangkutan terhadap PDRB di kabupaten-kabupaten tersebut terhitung masih belum signifikan, namun perkembangan sektor pengangkutan ini diharapkan dapat menunjang kenaikan sektor lainnya, baik sektor primer yang selama ini menjadi komoditas unggulan kabupaten di Madura, maupun sektor sekunder maupun tersier lainnya.. 5.
(10) Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011. Tabel 1. Potensi konflik kewilayahan di Pulau Madura No 1. Potensi konflik Tanah. Bangkalan. Sampang. Pamekasan. Sumenep. - Spekulasi tanah di KKJS, Tanjung - Pembebasan lahan di Waduk - Sengketa tanah desa yang berujung - Sengketa Lahan Penggaraman Bumi,. Arosbaya. dan. Klampis. Nipah. carok - Kompensasi sewa lahan antara. terkait pembangunan pelabuh-an - Status tanah waris. pemilik lahan dengan SDN Tebel Timur II. 2. Pergeseran nilai sosial budaya dan Pariwisata. - Berkurangnya minat pemuda. - Penolakan pem-bangunan. belajar kitab dan adanya indikasi. kawasan wi-sata Camplong oleh. degradasi moral (Klampis). ulama. - Penolakan rencana pembangunan wisata Pantai Rongkang - Pengelolaan air ber-khasiat di Makam Aer Mata Ebu oleh perseorangan (Arosbaya) 3. Pertambangan, industri - Dampak pengeboran dan dan perdagangan. - Perseteruan antara petani. perusakan fasilitas industri. tembakau dengan juragan. (Sepulu, Geger, Arosbaya), - Munculnya batik tiruan (Tanjung Bumi) 4. Transportasi. - Konflik AKAP dan AKDP - Lampu lalu lintas di perempatan. - Kelancaran akses Jembatan. - Kelancaran akses Jembatan. - Kelancaran akses Jembatan. Suramadu belum dirasakan oleh. Suramadu belum dirasakan oleh. Suramadu belum dirasakan oleh. Desa Morkepek dan Baengas. penumpang AKDP tujuan. penumpang AKDP tujuan. penumpang AKDP tujuan. menimbulkan kecelakaan. Sampang.. Pamekasan.. - Pasar tumpah di Blega, Tanah Merah dan Galis mengganggu arus. - Pasar ikan di Tanjung, Camplong - Buju’ atau makam dipinggir jalan menghambat arus transportasi. transportasi - Potensi konflik penggusuran makam leluhur (Sunan Cendana). Sumenep. - Buju’ atau makam dipinggir. berpotensi menimbulkan. jalan berpotensi menimbul-kan. permasalahan terkait rencana. permasalahan terkait dengan. peningkatan jalan nasional. rencana peningkatan jalan nasional. terkait pembangunan jalan lintas selatan Bangkalan – Sampang 5. Nelayan. - Konflik nelayan Kwanyar dengan Pasuruan. 6. Koordinasi antar instansi. - Koordinasi dengan pengelola. - Kurangnya koordinasi antara. jembatan suramadu (sharing tol,. Bangkalan–Sampang terkait. penataan PKL, komunikasi. rencana pembangunan jalan. birokrasi). lintas selatan Madura.. Sumber : data primer. Jaringan jalan di Pulau Madura memiliki berbagai kelas dan tingkatan. Tulisan ini berusaha memberi tinjauan berupa kondisi sosial ekonomi terhadap rencana pengembangan jaringan jalan yang diusulkan melalui RTRW maupun konsep RTRW oleh masing-masing pemerintah kabupaten di Madura. Lingkup pembahasan tulisan ini adalah, jaringan jalan nasional dan jaringan jalan provinsi di Pulau Madura. a. Jalan nasional di Pulau Madura. Menurut Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, jalan strategis nasional, serta jalan tol. Jalan nasional yang eksisting di Pulau Madura saat. 6. ini memiliki panjang 170 kilometer dan terbentang dari Kecamatan Kamal di ujung barat Kabupaten Bangkalan, melintasi Kabupaten Sampang dan Pamekasan hingga berujung di Kecamatan Kalianget di timur Kabupaten Sumenep. Jalan akses Suramadu sepanjang 11,5 km turut melengkapi jaringan jalan nasional di Pulau Madura.. Jaringan jalan nasional dalam strategi pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaan Umum diarahkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi (Aspal Beton Indonesia, Edisi 14, Juni 2009). Strategi pembangunan jalan nasional sebagai arteri primer di Pulau Madura bertujuan untuk mengembangkan potensi wilayah di setiap kabupaten. Jaringan jalan nasional ini juga menghubungkan antara pusat pemerintahan kabupaten-kabupaten di Pulau.
(11) Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari. Gambar 3. Potensi wilayah di Madura (Sumber : Muta’ali, 2009) Madura. Dalam konteks pengembangan wilayah, pusat pemerintahan tersebut merupakan termasuk dalam sistem perkotaan yang berfungsi sebagai pusat pelayanan di tingkat kabupaten dan juga sebagai pusat pengembangan sistem perwilayahan. Jalan nasional ini juga menjadi jalur utama yang yang dilewati trayek angkutan AKDP yang menghubungkan kabupaten-kabupaten di Madura dengan daerah lain di Pulau Jawa. Kondisi jalan nasional eksisting pasca beroperasinya Jembatan Suramadu saat ini, sangat riskan apabila dilewati oleh kendaraan besar sejenis truk tronton berbobot 10 ton lebih, mengingat lebar jalan yang ada adalah 4,5-5 m. Kendaraan tersebut memakan badan jalan lebih lebar dibanding kendaraan lain dan ditengarai menjadi salah satu penyebab rusaknya jalan nasional di Pulau Madura. Untuk itu, pembangunan jalan nasional sangat diperlukan untuk mengintegrasikan Madura menjadi sebuah kawasan. Informasi dari sektor terkait menyebutkan bahwa alokasi dana pengembangan jalan nasional ini adalah sebesar 75 milyar rupiah.. Pengembangan jaringan jalan nasional juga diusulkan melalui peningkatan status dari jalan provinsi menjadi jalan nasional. Usulan tersebut terlihat dalam konsep RTRW di kabupaten Sampang dan Pamekasan yang mencantumkan rencana peningkatan jalan lintas utara Madura dari jalan provinsi menjadi jalan nasional (arteri primer). Peningkatan kualitas jalan lintas utara besar artinya. bagi pengembangan wilayah di kawasan pesisir utara Madura karena akan memperlancar arus transportasi di wilayah tersebut.. Khusus untuk kabupaten Bangkalan, menurut rencana juga akan dikembangkan ruas jalan nasional untuk mendukung kawasan strategis Pelabuhan Tanjung Bulu Pandan yang akan di bangun di Kecamatan Klampis. Pembangunan jalan tersebut antara lain meliputi ruas jalan interchange Burneh – Arosbaya – Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Bulu Pandan (Kecamatan Klampis). seperti terlihat pada tabel 2. Kendala dan solusi sosial ekonomi dalam rangka peningkatan jalan nasional yang eksisting saat ini dapat dilihat pada tabel 3. b. Jalan provinsi di Pulau Madura. Selain jalan nasional, infrastruktur pendukung keterkaitan kawasan adalah jalan provinsi. Jalan provinsi adalah jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. UU Nomor 38 Tahun 2004 menyebutkan bahwa, jalan kolektor primer adalah jalan yang dikembangkan untuk melayani dan menghubungkan kota-kota antar pusat kegiatan wilayah dan pusat kegiatan lokal dan atau kawasan-kawasan berskala kecil dan atau pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan pengumpan lokal. Peningkatan kualitas. 7.
(12) Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011. Tabel 2. Rencana Pengembangan Jaringan Jalan di Pulau Madura No 1. Kabupaten Bangkalan. 2. Sampang. 3.. Pamekasan. 4.. Sumenep. Rencana Pengembangan Jaringan Jalan Nasional • Surabaya – Bangkalan – Sampang (melalui Jembatan dan jalan akses Suramadu), yaitu ruas jalan yang melalui Surabaya – Jembatan Suramadu – Labang – Tragah – Burneh – Tanah Merah –Galis – Blega – Sampang dan terhubung langsung dari Kota Bangkalan. • Jaringan jalan Interchange Burneh – Arosbaya – Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Bulu Pandan (Kecamatan Klampis). Jalan Nasional • Jaringan jalan Bangkalan – Jrengik – Torjun – Sampang – Camplong – Pamekasan • Jaringan jalan lintas utara : Bangkalan – Banyuates – Ketapang – Sokobanah – Pamekasan • Jaringan jalan Sampang – Tlanakan – Pamekasan – Larangan – Sumenep • Rencana pengembangan lintas utara dari jalan provinsi menjadi jalan nasional, yaitu ruas Bangkalan – Ketapang – Sotabar – Pasongsongan – Sumenep – Pantai Lumbang. • Jaringan jalan Pamekasan – Pragaan – Bluto – Saronggi – Kalianget. Sumber : dirangkum dari Prospektus Bisnis Kabupaten Bangkalan, Penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pamekasan, tahun 2010 – 2030, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sampang – Provinsi Jawa Timur 2010 -2029, Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep 2009 – 2029.. Tabel 3. Potensi dan Kendala rencana Pengembangan Jaringan Jalan Nasional di Madura 1. No. Jaringan Jalan Jalan Nasional (Eksisting). 2. Jalan Lintas Utara Madura. No 1. 8. Jaringan Jalan Jalan Nasional (Eksisting). Kendala dan Solusi Kendala : • Arus transportasi di jalan nasional akan terganggu akibat kepadatan lalu lintas saat melintasi pusat kota (Sampang& Pamekasan). • Terjadi kepadatan arus lalu lintas akibat pasar tumpah di Blega, Tanah Merah dan Galis serta pasar ikan di Tanjung, Camplong. Hal ini berpotensi menjadi kendala terkait rencana pengembangan jalan nasional yang ditujukan untuk menambah kelancaran lalu lintas. • Selain itu, keberadaan Buju’ atau permakaman umum yang berdekatan dengan badan jalan nasional antara jalur Sampang – Pamekasan – Sumenep berpotensi menimbulkan permasalahan terkait rencana peningkatan jalan nasional. • Potensi konflik : perkerasan bahu jalan/damija dengan timbunan tanah diambil oleh penduduk • Terdapat perubahan pola konsumsi sebagai dampak beroperasinya jembatan Suramadu yang terhubung dengan jaringan jalan nasional di Madura. Berdasarkan survei terbatas di Bangkalan, sebagian besar masyarakat (70%) melakukan belanja di luar daerah, terutama ke Surabaya. Sisanya melakukan belanja di dalam Bangkalan (30%). Interprestasi : alasan mereka belanja di luar kota (Surabaya) karena di daerahnya tidak ada atau kurang lengkap memenuhi keinginannya. Solusi : • Pengembangan jalan lingkar di KotaSampang & Pamekasan untukmenggantikan jalan nasional di tengah kota. • Perlu ada koordinasi dengan pemerintah setempat untuk menyelesaikan masalah pasar tumpah • Peningkatan jalan nasional diupayakan untuk menghindari penggusuran makam. Pendekatan lain : menyertakan keterlibatan tokoh masyarakat, formal maupun non formal yang memiliki pengaruh di masyarakat setempat. • Perkerasan bahu jalan/damija, sebaiknya diperkeras dengan sirtu atau timbunan bata • Perlu ada pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal masyarakat Kendala : • Kondisi jalan sempit dan bergelombang • Trayekangkutan masih terbatas, sehingga perlu dikembangkan untuk menunjang kelancaran arus transportasi. • Potensi konflik : perkerasan bahu jalan/damija dengan timbunan tanah diambil oleh penduduk. Solusi : • Perlu ada prioritas peningkatan kualitas jalan • menambah trayekangkutan umumyang menghubungkan wilayah pantai utara lintas kabupaten • Perkerasan bahu jalan/damija, sebaiknya diperkeras dengan sirtu atau timbunan bata Kendala dan Solusi Kendala : • Arus transportasi di jalan nasional akan terganggu akibat kepadatan lalu lintas saat melintasi pusat kota (Sampang& Pamekasan). • Terjadi kepadatan arus lalu lintas akibat pasar tumpah di Blega, Tanah Merah dan Galis serta pasar ikan di Tanjung, Camplong. Hal ini berpotensi menjadi kendala terkait rencana pengembangan jalan nasional yang ditujukan untuk menambah kelancaran lalu lintas. • Selain itu, keberadaan Buju’ atau permakaman umum yang berdekatan dengan badan jalan nasional antara jalur Sampang – Pamekasan – Sumenep berpotensi menimbulkan permasalahan terkait rencana peningkatan jalan nasional. • Potensi konflik : perkerasan bahu jalan/damija dengan timbunan tanah diambil oleh penduduk • Terdapat perubahan pola konsumsi sebagai dampak beroperasinya jembatan Suramadu yang terhubung dengan jaringan jalan nasional di Madura. Berdasarkan survei terbatas di Bangkalan, sebagian besar masyarakat (70%) melakukan belanja di luar daerah, terutama ke Surabaya. Sisanya melakukan belanja di dalam Bangkalan (30%). Interprestasi : alasan mereka belanja di luar kota (Surabaya) karena di daerahnya tidak ada atau kurang lengkap memenuhi keinginannya. Solusi : • Pengembangan jalan lingkar di KotaSampang & Pamekasan untukmenggantikan jalan nasional di tengah kota. • Perlu ada koordinasi dengan pemerintah setempat untuk menyelesaikan masalah pasar tumpah • Peningkatan jalan nasional diupayakan untuk menghindari penggusuran makam. Pendekatan lain : menyertakan keterlibatan tokoh masyarakat, formal maupun non formal yang memiliki pengaruh di masyarakat setempat. • Perkerasan bahu jalan/damija, sebaiknya diperkeras dengan sirtu atau timbunan bata • Perlu ada pengembangan ekonomi berbasis potensi lokal masyarakat.
(13) Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari jalan provinsi di Madura adalah dengan melakukan pelebaran jalan sehingga memenuhi persyaratan lebar sebagai jalan kolektor primer.. Peningkatan kualitas jalan provinsi dilakukan di ruas jalan lintas selatan Madura. Peningkatan jalan di ruas ini berpotensi untuk mengembangkan wilayah pesisir selatan Madura. Jalan ini menghubungkan pesisir selatan Bangkalan (Labang, Kwanyar, Modung) dan Kabupaten Sampang (Sreseh, Pengarengan, Torjun, Camplong). Peningkatan kualitas jalan ini akan berpotensi membuka dan mengembangkan wilayah pesisir selatan Madura. Untuk mendukung rencana peningkatan jalan lintas. selatan ini, Kabupaten Sampang berencana untuk membangun Jembatan Srepang sebagai penghubung ruas jalan lintas selatan antara Bangkalan dengan Sampang. Pengembangan jalan provinsi untuk memenuhi kualitas sebagai jalan provinsi juga dilakukan di ruas jalan lintas utara, yaitu di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep. Ruas jalan ini akan terhubung dengan jalan lintas utara di Kabupaten Sampang dan Pamekasan yang diusulkan untuk dikembangkan menjadi jalan nasional.. Tabel 5, berikut adalah kendala dan solusi yang dihadapi dalam rangka pengembangan jalan provinsi di Pulau Madura.. Tabel 4. Rencana Pengembangan Jaringan Jalan di Pulau Madura No 1. Kabupaten Bangkalan. 2. Sampang. 3. 4.. Pamekasan Sumenep. • • • • • • • • • • •. Rencana Pengembangan Jaringan Jalan Provinsi Sebagai Kolektor Jalan Lintas Selatan Kabupaten Bangkalan Jalan Lintas utara Kabupaten Bangkalan Jaringan jalan Modung s.d. Tanjung bumi yang menghubungkan pesisir selatan dengan pesisir utara Pengembangan Jaringan jalan Bangkalan – Burneh atau Bangkalan – Socah – Morkepek – Burneh sebagai jalan kolektor primer. Jaringan kolektor 3 : Sampang – Kedungdung – Robatal – Ketapang Jaringan kolektor 3 : Sampang – Omben – Karang penang – Sokobanah Jaringan kolektor 3 : Jrengik – Tambelangan – Banyuates Jaringan kolektor 3 : Sampang – Omben – Pamekasan Pembangunan Jembatan Sreseh – Pengarengan dan jalan akses menuju jembatan tersebut Jaringan jalan Pamekasan – Sotabar – Sampang – Omben – Proppo – Pamekasan Jaringan jalan Dungkek dan Pantai Lombang – Batang-batang –Gapura – Sumenep – Manding – Dasuk – Ambunten – Pasongsongan menuju ke arah barat (Kecamatan Sotabar – Kabupaten Pamekasan).. Sumber : dirangkum dari Prospektus Bisnis Kabupaten Bangkalan, Penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pamekasan, tahun 2010 – 2030, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sampang – Provinsi Jawa Timur 2010 -2029, Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep 2009 – 2029.. Tabel 5. Potensi dan Kendala rencana Pengembangan No 1. Jaringan Jalan Jalan Lintas Selatan. 2. Jalan Lintas Utara. Kendala dan Solusi Kendala : • Potensi konflik berupa kekhawatiran bahwa peningkatan jalan lintas selatan akan menggusur makam leluhur masyarakat Kwanyar, yaitu Sunan Cendana. • Lemahnya koordinasi dan komitmen antar kabupaten terkait, sehingga rencana pengembangan jalan lintas selatan belum terlaksana. Solusi : • Peningkatan jalan nasional diupayakan untuk menghindari penggusuran makam. Pendekatan lain : menyertakan keterlibatan tokoh masyarakat, formal maupun non formal yang memiliki pengaruh di masyarakat setempat. • Perlu fasilitasi koordinasi antar kabupaten terkait untuk membahas prioritas pengembangan jalan lintas selatan Kendala : • Perlu koordinasi antar kabupaten untuk membahasKondisi jalan sempit dan bergelombang • Trayek angkutan masih terbatas, sehingga perlu dikembangkan untuk menunjang kelancaran arus transportasi. • Potensi konflik : perkerasan bahu jalan/damija dengan timbunan tanah diambil oleh penduduk. • Lemahnya koordinasi dan komitmen antar kabupaten dalam rangka peningkatan jalan lintas utara. Solusi : • Perlu ada prioritas peningkatan kualitas jalan • menambah trayek angkutan umum yang menghubungkan wilayah pantai utara lintas kabupaten • Perkerasan bahu jalan/damija, sebaiknya diperkeras dengan sirtu atau timbunan bata • Perlu adanya koordinasi intensif untuk membahas prioritas peningkatan kualitas jalan lintas utara.. 9.
(14) Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011. 3. Pengembangan jaringan jalan dan integrasi kawasan di Pulau Madura Pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura dalam rangkaian transportasi wilayah penting dilakukan sebagai pembentuk struktur tata ruang. Sebagai pembentuk ruang, jaringan jalan nasional arteri primer maupun kolektor primer akan membentuk jaringan utama yang menghubungkan simpul-simpul kota atau wilayah.. Dalam pengembangan jaringan jalan di Madura, perlu memperhatikan manajemen regional, dalam hal ini dalam lingkup provinsi Jawa Timur. Pola pengembangan wilayah di Pulau Madura pasca beroperasinya jembatan Suramadu, dapat dilihat dari konsep RTRW Provinsi Jawa Timur. Dalam rencana tata ruang Provinsi Jawa Timur mengarahkan kepada pembagian Pulau Madura ke dalam dua wilayah pengembangan, yaitu Kabupaten Bangkalan yang termasuk ke dalam Wilayah Surabaya Metropolitan Area (SMA) yang tergabung ke dalam Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) GKS Plus dan Kabupaten lainnya di Madura tergabung ke dalam wilayah Madura dan Kepulauan. Berikut adalah rencana pengembangan wilayah Madura: a. Rencana pengembangan Kabupaten Bangkalan dalam SWP GKS Plus. Sebagaimana dijelaskan diatas, kabupaten Bangkalan termasuk ke dalam wilayah SMA yang meliputi: Kota Surabaya, Perkotaan Sidoarjo, Perkotaan Gresik dan Perkotaan Bangkalan. Wlayah SMA ini tidak hanya berperan sebagai pusat wilayah GERBANGKERTOSUSILA PLUS namun juga untuk wilayah Jawa Timur, sehingga baik fasilitas maupun sarana – prasarana yang menyangkut kegiatan ekonomi regional harus tersedia di wilayah ini.. Dalam konsep ini, prioritas pengembangan Bangkalan diarahkan menjadi daerah perkotaan, dimana sebagian wilayah Bangkalan mempunyai kecenderungan kegiatannya berkembang ke arah sektor perkotaan. Kecenderungan perkembangan ini diperkuat juga dengan adanya Jembatan Suramadu, sehingga pada wilayah ini perlu dibangun pusat pertumbuhan baru (pusat kota baru) untuk mendorong pertumbuhan di wilayah sekitarnya. Jenis kegiatan di kota baru yang harus disediakan antara lain meliputi perdagangan, perniagaan, serta perumahan dengan fasilitas rekreasinya. Sedangkan pada wilayah Bangkalan lainnya berfungsi sebagai daerah penyangga, kegiatan ikutan perlu dikembangkan seperti industri pengolahan, pertanian dan industri pertanian serta perumahan.. 10. b. Rencana pengembangan Madura dan Kepulauan. Wilayah pengembangan Madura dan Kepulauan terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sesuai dengan kondisi dan potensi sumberdaya pengembangan wilayah Madura dan Kepulauan diprioritaskan pada sektor pertanian, perikanan, industri dan penggaraman. Pengembangan sektor pertanian terutama adalah pada kegiatan tanaman pangan, peternakan dan perkebunan di wilayah Kabupaten Sumenep, wilayah Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sampang. Kegiatan pariwisata terutama wisata pantai di Kabupaten Sumenep dan dan Sampang. Kegiatan industri terutama agroindustri dikembangkan pada Kabupaten Pamekasan dan Sampang. Kegiatan perikanan dan penggaraman diarahkan pada Kabupaten Sampang dan Pamekasan. Perkotaan Sumenep diarahkan bagi pengembangan kegiatan transportasi seperti Pelabuhan Kargo dan Bandara Lokal. Untuk mendukung kegiatan pembangunan pada WP Madura dan Kepulauan ini, maka dikembangkan fasilitas umum dan jaringan infrastruktur, baik pada kota-kota kabupaten maupun kota-kota kecil lainnya. Sedangkan untuk wilayah kepulauan perlu dilakukan peningkatan sistem jaringan transportasi laut dan penerbangan/landasan udara lokal dan khusus serta pengembangan infrastruktur dimana kegiatan yang diarahkan adalah kegiatan perikanan, perdagangan dan minyak bumi. Pasca beroperasinya Jembatan Suramadu dengan kemudahan akses transportasinya tersebut diharapkan dapat mendukung pengembangan masing-masing wilayah pengembangan tersebut secara umum dan mendorong keterkaitan antar berbagai sektor di Madura.. Pasca beroperasinya jembatan Suramadu, muncul wacana integrasi willayah Madura menjadi satu kawasan strategis. Kawasan tersebut merupakan pengembangan dari konsep Gerbang Kertasusila Plus (GKS Plus) yang ada saat ini menjadi Germa Kertasusila (Gresik, Madura, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan) (Balai Litbang Sosial Ekonomi Jalan dan Jembatan. 2009). Wacana tersebut akan dapat terwujud apabila Pulau Madura memiliki jaringan jalan yang memadai. Untuk itu, pengembangan jaringan jalan di pulau ini mutlak dilakukan sehingga dapat menimbulkan keterkaitan yang lebih erat antar kabupaten di Madura. Hubungan keterkaitan antar kabupaten di Madura dalam rangka pengembangan jaringan jalan dapat dilihat melalui rencana penataan wilayah yang tertuang dalam RTRW dan konsep RTRW masing-.
(15) Pemetaan Sosial Ekonomi Pengembangan Jaringan Jalan Pulau Madura Ahsan Asjhari masing kabupaten. Terdapat beberapa poin yang menjadi perhatian dalam rencana penataan wilayah tersebut. Yang pertama adalah masih adanya belum keselarasan antar kabupaten dalam menentukan prioritas pengembangan jalan, yaitu dalam rencana pengembangan jalan lintas utara Madura. Poin yang kedua adalah rencana peningkatan jalan lintas selatan Madura. Pemerintah Kabupaten Sampang berencana membangun Jembatan Sreseh yang akan mengaitkan antara ruas jalan lintas selatan kabupaten ini dengan ruas jalan di Bangkalan. Yang menjadi kendala adalah belum adanya skala prioritas yang sama antar kabupaten dalam peningkatan kualitas jalan lintas selatan ini. Berdasarkan konsep Muta’ali mengenai integrasi wilayah, saat ini belum adanya komitmen antar stakeholder yang terkait dengan rencana pengembangan jaringan jalan di Madura. Untuk itu, koordinasi antar pemerintah kabupaten perlu diintesifkan sehingga pengembangan jaringan jalan tersebut dapat mengintegrasikan Pulau Madura menjadi satu kawasan. KESIMPULAN. Kesimpulan potensi dan kendala dalam bidang sosial ekonomi di Pulau Madura adalah sebagai berikut : a. Pilar kemasyarakatan yang berpengaruh terhadap perubahan sosial di pulau Madura adalah kiai dan pesantren. Kedua pilar ini memiliki peran penting dalam penyelesaian potensi konflik sosial terkait pembangunan di pulau tersebut, yaitu potensi konflik tanah, pergeseran nilai sosial budaya dan pariwisata, transportasi, nelayan dan koordinasi antar instansi.. b. Pengembangan jaringan jalan di Pulau Madura perlu memperhatikan sektor pertanian sebagai potensi ekonomi unggulan di Pulau Madura sebagai dasar pengembangan wilayah di masingmasing kabupaten di Pulau Madura. Upaya pengembangan jaringan jalan dalam rangka integrasi kawasan Pulau Madura akan lebih ekfektif apabila terdapat adanya komitmen antar stakeholder yang terkait penentuan skala prioritas, baik untuk jalan nasional maupun jalan provinsi di Pulau Madura. DAFTAR PUSTAKA. Adib, Mohammad, Drs., H., MA. 2009. Etnografi Madura. Pustaka Intelektual. Surabaya. Balai Litbang Sosial Ekonomi Jalan dan Jembatan. 2009. Laporan Akhir Penelitian Sosial Ekonomi Optimalisasi Manfaat Jembatan Suramadu TA 2009. Surabaya.. Bappeda Bangkalan. 2010. Prospektus Bisnis Kabupaten Bangkalan. Bappeda Pamekasan. 2010. Penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pamekasan, tahun 2010 – 2030. Bappeda Sampang. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sampang – Provinsi Jawa Timur 2010 -2029. Bappeda Sumenep. 2010. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep 2009 – 2029. Bungin, M. Burhan. Prof., Dr., H., S., Sos., M.Si. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana. Jakarta.. Djakapremana, Deni Ruchyat, 2010. Pengembangan Wilayah, Melalui Pendekatan Kesisteman. IPB Press. Bogor.. Direktur Jenderal Penataan Ruang, 2003. Makalah Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang di Indonesia : Tinjauan Teoritis dan Praktis, disampaikan dalam Studium General STTNAS Yogyakarta tanggal 1 September 2003.. Ditjen Tata Ruang Kementerian PU. 2010. Konsep Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur. Mahfud, Moh. MD. 2009. Menyongsong Percepatan Pembangunan Madura, Disampaikan dalam Seminar Nasional “Bersama Membangun Madura” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bangkalan di Bangkalan, tanggal 31 Oktober 2009. Muta’ali, Luthfi. S.Si, MT. 2009. Dr. Pendekatan Integrasi Ruang Sosial Ekonomi dalam Pengembangan Pulau Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu, disampaikan dalam Workshop Penelitian Sosial Ekonomi Optimalisasi Pemanfaatan Jembatan Suramadu di Surabaya, tanggal 19 Oktober 2009.. Subaharianto, Andang, dkk. 2004. Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur). Banyumedia Publishing. Malang.. Tjokrowinoto, Moelyarto. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Majalah Aspal Beton Indonesia, Edisi 14, Juni 2009. www.conflictanddevelopment.org. Tanggal akses 19 Mei 2010 www.docstoc.com. Tanggal akses 19 Mei 2010. 11.
(16) Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011. www.jonathansarwono.info. Tanggal akses 19 Mei 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, 2004. Kabupaten Buton dalam Angka tahun 2004. Buton. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, 2005. Kabupaten Buton dalam Angka tahun 2005. Buton. www.tempointeraktif.com. 2006. Aspal Buton Ditargetkan Mulai Dipakai Tahun Depan. Artikel.. 12.
(17) HAMBATAN SOSIAL PENGELOLAAN WADUK RAWAPENING. Abstract:. Bangkit Aditya Wiryawan Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang-Kementerian PU Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU Pasar Jumat 12310 Email: [email protected]. The managemet of Rawapening Reservoir in Central Java District is one of many challenges currently faced by the government. The most prominent problem is the lack of society’s role. The problems of Rawapening Reservoir management (Operation and Maintenance) are partly caused by social constraints.. However, as a main stakeholder among others, the society should hold a significant role to maintain the functionality of the reservoir. This paper tries to found out the kinds of social constraints occured in Rawapening Reservoir management. The argumentations build in this paper are based on developmental theory and Durkheim’s view concerning the development of organic solidarity and collective consciousness in modern society. As method of research, the author used a quasi-qualitative or also known as descriptive qualitative approach. The main finding in this articles is the lack of modern norms in Rawapening community, the lack of capacity development in the society, and weak local institutions in Rawapening reservoir. It can be concluded from this paper that the cause of social constraints is the absent of developmental values in the Rawapening community, such values is supposed to emerge as soon as the post-construction stage begin. Keyword: Rawapening Reservoir, Social Constrain, Reservoir Management, Water Resource, Organic Solidarity. Abstrak: Permasalahan pengelolaan Waduk Rawapening di Kabupaten Semarang adalah salah satu tantangan yang saat ini sedang dihadapi oleh pemerintah. Salah satu permasalahan yang mengemuka adalah lemahnya peran masyarakat dalam pengelolaan waduk. Lemahnya peran masyarakat tersebut di antaranya disebabkan oleh hambatan-hambatan sosial dalam upaya pengelolaan (Operasi dan Pemeliharaan) Waduk Rawapening. Padahal, sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam pengelolaan waduk Rawapening, masyarakat harus memainkan peran guna menjamin waduk berfungsi secara optimal. Tulisan ini mencoba menemukenali jenis-jenis hambatan sosial yang ada dalam pengelolaan Rawapening. Argumentasi yang dibangun didasarkan pada teori-teori pembangunan dan pandangan Durkheim mengenai perkembangan solidaritas organik dan kesadaran kolektif pada masyarakat modern. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian quasi-kualitatif atau dikenal juga sebagai kualitatif deskriptif. Temuan utama dalam artikel ini adalah kurangnya nilai-nilai yang mendukung proses modernisasi, kurangnya pengembangan kapasitas masyarakat, serta lemahnya kelembagaan masyarakat di waduk Rawapening. Berdasarkan tulisan ini dapat disimpulkan bahwa hambatan-hambatan tersebut muncul akibat absennya nilai-nilai pembangunan di tengah-tengah masyarakat Rawapening yang seharusnya muncul dengan segera pada masa pasca pembangunan waduk. Kata Kunci: Waduk Rawapening, Hambatan Sosial, Pengelolaan Waduk, Sumber Daya Air, Solidaritas Organik. PENDAHULUAN Tujuan umum pembangunan sebuah negara adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Untuk itu negara melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber daya yang dimilikinya sehingga dapat mendukung tujuan tersebut. Secara konstitusional, hal ini diatur pada pasal 33 UUD 1945. Untuk mendukung tujuan. tersebut dalam bidang Sumber Daya Air (SDA), pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU No.7 Tahun 2004 mengenai SDA, serta melaksanakan pembangunan fisik berupa bangunan infrastruktur SDA. Pembangunan waduk merupakan contoh bagaimana negara memanfaatkan sumber daya berupa air yang dimilikinya untuk mendorong. 13.
(18) Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011. peningkatan kesejahteraan masyarakat. UU No. 7 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa masyarakat berhak untuk memperoleh manfaat dari pembangunan waduk yang dibangun oleh pemerintah.. pada masyarakat yang tinggal di sekitar waduk dan berinteraksi sehari-hari dengan waduk. Perhatian terhadap hal ini penting karena berdasarkan UU No.7 Tahun 2004, masyarakat merupakan salah satu stakeholder utama waduk, selain pemerintah dan dunia usaha.. Namun demikian perlu dicermati bahwa keberhasilan pembangunan sarana dan prasarana waduk serta pelaksanaan pengelolaannya tidak serta merta akan mencapai tujuan pembangunan seperti yang telah disebut di atas. Banyak hal yang menentukan tercapainya sasaran pembangunan. Peningkatan kesejahteraan, meskipun menjadi patokan umum keberhasilan pembangunan, tidak selalu menunjukkan telah hilangnya kemiskinan. Pada bagian tertentu, seperti kawasan pinggiran waduk, masyarakat tidak serta merta dapat memanfaatkan keberadaan infrasrtuktur tersebut, yang memang dibangun untuk dimanfaatkan masyarakat di daerah hilir. Berdasarkan uraian di atas, aspek sosial pengelolaan waduk akan menjadi perhatian utama dalam tulisan ini. Fokus penelitian adalah. Waduk Rawapening memiliki elevasi tampungan awal setinggi 462,5 meter (luas genangan 2.770 Ha), dengan tinggi bendungan 100 meter, panjang bendungan adalah 19.000 meter, dan kapasitas limpahan sebanyak 14,9 meter kubik per detik. Kapasitas air maksimum yang mampu ditampung Waduk Rawapening adalah sebesar 65 juta m3, sementara kapasitas air minimum sebesar 25 juta m3.. Pengelolaan waduk adalah tahapan yang harus dilakukan pasca pembangunan waduk sebagai bagian dari lingkup penyelenggaraan infrastruktur. Dalam lingkup SIDLACOM yang diacu dalam Permen PU No. 603/PRT/M/2005 tentang Pedoman Umum Sistem Pengendalian Manajemen Penyelenggaraan Pembangunan Prasarana dan Sarana bidang Pekerjaan Umum, diterbitkan tanggal 28 Desember 2005, tahapan pengelolaan masuk ke dalam tahapan Operasi dan Pemeliharaan yang ruang lingkup kegiatannya adalah perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi.. Tulisan ini disusun menggunakan data penelitian yang mengambil lokasi studi di Waduk Rawapening, Kab. Semarang, Jawa Tengah. Waduk Rawapening adalah salah satu waduk di Jawa Tengah yang pengelolaannya berada di bawah BBWS Pemali – Juana. Waduk ini mulai dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1938. luas waduk ini melingkupi empat kecamatan yaitu Banyubiru, Tuntang, Bawen, dan Ambarawa, semuanya berada dalam wilayah administratif Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah.. Waduk dibangun dengan tujuan awal untuk mengairi lahan sawah seluas 28.227 hektar di tiga kabupaten (Semarang, Demak, dan Grobogan) di Daerah Irigasi Tuntang Jelok, Glapan Barat, Glapan Timur, dan Suplesi di Pelayaran Buaran. Dengan luas daerah irigasi sebesar itu, waduk ini merupakan. Gambar 1. Waduk Rawapening dari sisi Desa Asinan. 14.
(19) Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawapening Bangkit Aditya Wiryawan salah satu penopang utama ketahanan pangan di Jawa Tengah.. Tujuan awal lainnya dari pembangunan waduk adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa Tengah, terutama pada awal 1940-an hingga tahun 1980-an. Terdapat dua pembangkit listrik di waduk ini, yaitu PLTA Jelok dengan kapasitas 15 MW (dibangun tahun 1938) dan PLTA Timo dengan kapasitas 10,5 MW (dibangun tahun1963). Jumlah energi listrik yang dihasilkan sangat tergantung pada debit air yang keluar di kedua PLTA tersebut.. Sebagai sebuah daerah tangkapan air, waduk ini meliputi 9 Sub DAS (Rengas, Panjang, Torong, Galeh, Legi, Sraten, Parat, Ringis, dan Kedung Ringin). Adapun ke arah hilir dari waduk ini adalah Sungai Tuntang,, sebelum kemudian berlanjut mengaliri daerah-daerah irigasi yang disebut di atas.. Total laju erosi dari 9 Sub DAS yang masuk ke tampungan waduk adalah sebesar 1.685,29 ton per tahun, sedangkan volume sedimentasi dari 9 Sub DAS tersebut adalah sebesar 1.189,84 ton per tahun. faktor utama penyumbang tingginya tingkat sedimentasi selain erosi adalah pertumbuhan gulma air yang tinggi. Hama alami waduk ini sangat banyak dan bertumbuh cepat sehingga menutupi bagian yang besar dari luas waduk. Setelah mati, tanaman-tanaman tersebut akan melapuk di dalam air dan membentuk lapisan gambut di bawah air. Sedimentasi tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar waduk sebagai pupuk kompos dengan rata-rata produksi 11.500 M3 / tahun. Kompos tersebut tidak dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat Rawapening, melainkan untuk dijual ke daerah-daerah lain yang membutuhkan pupuk dengan karakteristik yang cocok dengan kompos Rawapening. Selain pupuk kompos, budidaya eceng gondok juga menjadi salah satu hasil waduk yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Eceng gondok dikeringkan atau diproses menjadi tali untuk kemudian dijual. Di area waduk terdapat lahan sawah pasang surut seluas 1.031 hektar. Lahan ini terletak di dalam wilayah green belt area waduk,. Rata-rata area sawah dapat ditanami sebanyak dua kali dalam setahun, dan sekitar 200 Ha hanya dapat ditanami satu kali dalam setahun karena posisinya yang berada lebih ke tengah. Pemanfaatan green belt waduk untuk pertanian sawah dilakukan sejak akhir 1940-an. Selain untuk irigasi, pertanian sawah dan pengambilan kompos dan eceng gondok, waduk ini juga dimanfaatkan untuk perikanan, dengan jumlah nelayan lebih dari 1000 orang, dan dengan produksi. ikan sebanyak 700 ton per tahun pada awal tahun 2000.. Fungsi lain Waduk Rawapening lainnya, yang juga penting untuk disebutkan, adalah sebagai pengendali banjir pada daerah hilir di Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak. Tanpa keberadaan waduk, banjir akan menggenangi lahan sawah, permukiman, dan infrastruktur di kedua daerah tersebut. Namun fungsi waduk yang terakhir saat ini kurang optimum akibat berbagai permasalahan yang terjadi. Berdasarkan laporan mengenai penanganan Waduk Rawapening yang dilakukan oleh BBWS Pemali-Juana pada tahun 2009, dapat disebutkan di sini bahwa permasalahan utama adalah erosi, sedimentasi, banjir, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dan melampaui kapasitas.. Masalah erosi dan sedimentasi sudah disebutkan secara cukup detail sebelumnya, sedangkan permasalahan banjir adalah permasalahan yang baru mengemuka beberapa tahun terakhir. Pada gambar 2 di halaman berikut dapat dilihat bagaimana volume air yang masuk ke waduk melebihi kapasitas tampungannya dan menyebabkan jalan raya di sekitar Desa Banyubiru tergenang. Munculnya permasalahan ini disebabkan semakin kecilnya kapasitas tampungan waduk, yang salah satunya disebabkan oleh tingkat sedimentasi yang tinggi. Permasalahan dalam penggunaan lahan sudah terjadi sejak masa penyelesaian proyek pembangunan waduk. Masalah yang paling mengemuka adalah pemanfaatan lingkungan waduk untuk berbagai kegiatan masyarakat tanpa ada koordinasi dan pengawasan yang baik. pada perkembangannya bahkan masalah ini mencakup pula pada pengembangan permukiman yang mengambil wilayah waduk, seperti kasus pembangunan kompleks perumahan Star Regency tahun 2010.. Berbagai permasalahan tersebut terakumulasi hingga saat ini dan telah banyak menjadi kajian. Salah satu kajian mengenai pengelolaan Rawapening dilakukan oleh Sutarwi (2008) dalam Disertasinya berjudul Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air Danau dan Peran Kelembagaan Informal (Menggugat Peran Negara atas hilangnya nilai Ngepen dan Wening dalam pengelolaan Danau Rawapening di Jawa Tengah). Dalam disertasi tersebut terlihat bahwa upaya pelibatan masyarakat oleh pemerintah dalam pengelolaan waduk selama ini tidak efektif karena adanya gap pada tataran kebijakan yang dikeluarkan dengan realitas sosial masyarakat di sekitar waduk. Ketika kebijakan tersebut diterapkan, maka implikasinya terjadi pada hilangnya nilai Ngepen dan Wening.. 15.
(20) Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011. Gambar 1. Banjir akibat luapan air waduk di Desa Banyubiru Sebagai naskah akademis, tulisan mengenai aspek kemasyarakatan pada pengelolaan waduk Rawapening sangat jarang dilakukan. Penelitianpenelitian yang ada umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akademis universitas. Beberapa penelitian terbaru mengenai hal tersebut dilakukan oleh Agnes Yuliasri (2005) Intan Kusuma Jayanti (2009), dan Arif R. Hakim (2010) yang semuanya menyusun penelitian mengenai potensi pariwisata Danau Rawapening. Di waduk ini, interaksi antara masyarakat dengan waduk sangat tinggi. Kegiatan seharihari sebagian besar masyarakat berhubungan erat dengan waduk. Pada waduk-waduk lain, terutama waduk yang dibangun pada tahun 80-an hingga sekarang, pengelolaan waduk dilakukan secara terpadu. Biasanya ini terlihat dari adanya pemusatan otoritas pengelolaan waduk, dan adanya masterplan pengelolaan yang bersifat multiyears dan melibatkan multistakeholders. Selain itu, pengelola juga melarang pembangunan permukiman di lingkungan waduk. Pada Waduk Rawapening, upaya pembatasan permukiman sulit dilakukan karena masyarakat sudah ada di sekitar waduk sebelum berdirinya negara. Pada waktu waduk tersebut dibangun tidak ada program relokasi permukiman, melainkan hanya pembebasan sebagian lahan yang terkena dampak pembangunan waduk. Hal ini yang kemudian menjadi masalah sampai saat ini karena masalah ganti rugi pembebasan lahan belum selesai dilakukan, dan masih terdapat permukiman. 16. penduduk di sekitar waduk.. Tujuan tulisan ini adalah untuk memperoleh deskripsi mengenai bentuk-bentuk hambatan sosial yang muncul dalam pengelolaan waduk Rawapening. Signifikansi pada tulisan ini lebih pada pembuktian teoritis atas suatu fenomena yang muncul di suatu wilayah. Namun tidak tertutup kemungkinan pula hasil penelitian ini digunakan sebagai input bagi pengambil kebijakan dan pengelola waduk dalam merancang program pengelolaan Waduk Rawapening. Dengan memperhatikan karakteristik Waduk Rawapening yang sangat erat dengan unsur sosialmasyarakat, maka permasalahan utama yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah menemu kenali bentuk-bentuk hambatan sosial yang ada dalam pengelolaan Waduk Rawapening.. Jawaban atas pertanyaan tersebut ditelusuri dengan terlebih dahulu memperhatikan bagaimana dampak waduk terhadap masyarakat, dan sebaliknya, bagaimana bentuk interaksi antara masyarakat dengan waduk yang terjadi. Hal tersebut akan menjadi landasan dari analisis yang akan dibangun oleh penulis.. KAJIAN PUSTAKA. Dalam menjelaskan mengenai hambatan sosial dalam pengelolaan waduk, penulis mengelaborasi teori-teori serta kajian mengenai pembangunan dan dampak yang ditimbulkannya. Kemudian penulis mencoba mengaitkan konsep pembangunan.
(21) Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawapening Bangkit Aditya Wiryawan tersebut dengan konsep masyarakat modern oleh Emile Durkheim. Rangkaian proposisi yang terbangun akan menjadi dasar untuk menganalisa bentuk-bentuk hambatan sosial yang muncul dalam pengelolaan waduk. Adapun definisi hambatan sosial yang dimaksud oleh penulis dalam tulisan ini adalah faktor-faktor sosial yang menyebabkan terganggunya atau tidak tercapainya suatu tujuan pembangunan. Teori Pembangunan. Penggagas teori modernisasi mencoba menjelaskan bahwa kemajuan akan dapat dicapai oleh negara-negara terbelakang dengan menggunakan cara dan metode yang sama dengan proses pembangunan yang dilaksanakan di negara maju. Lebih jauh, negara-negara terbelakang tersebut akan mengambil dan mencampurkan unsur-unsur yang baik (fusion effect) untuk mencapai kemajuan (M. Tjokrowinoto, 2007). Ini menjadi paradigma utama pembangunan di negara-negara berkembang pada masa-masa awal pasca Perang Dunia II.. Teori Modernisasi berasal dari dua teori dasar yaitu teori pendekatan psikologis dan teori pendekatan budaya. Teori pendekatan psikologis menekankan bahwa pembangunan ekonomi yang gagal pada negara berkembang disebabkan oleh mentalitas masyarakatnya. Menurut teori ini, keberhasilan pambangunan mensyaratkan adanya perubahan sikap mental penduduk negara berkembang. Sedangkan teori pendekatan kebudayaan lebih melihat kegagalan pembangunan pada negara berkembang disebabkan oleh ketidaksiapan tata nilai yang ada dalam masyarakatnya. Secara garis besar teori modernisasi merupakan perpaduan antara sosiologi, psikologi dan ekonomi. Teori dasar yang menjadi landasan teori modernisasi adalah ide Durkheim dan Weber mengenai masyarakat modern. Teori modernisasi lahir dari pengalaman AS dalam mendorong keberhasilan pembangunan di negara-negara Eropa pasca perang dunia II. Ketika itu AS memiliki skema bantuan pembangunan yang dikenal sebagai Marshall Plan yang ditujukan bagi negara-negara eropa yang menderita akibat perang.. Kegagalan pembangunan, dilihat dari kacamata teori modernisasi di atas, dapat dikatakan lebih disebabkan oleh faktor internal, yaitu ketidaksiapan mental dan tata nilai masyarakat penerima pembangunan. Sementara faktor eksternal cenderung diabaikan oleh teori modernisasi. Untuk mengaplikasikan konsep mentalitas tersebut agar sesuai dengan rumusan permasalahan yang ingin diteliti, maka perlu dibangun suatu indikator atas konsep tersebut. Mentalitas sebagai. hambatan pembangunan yang dimaksud dalam teori modernisasi tersebut menurut penulis lebih dekat dengan adanya ketidaksiapan secara kapasitas masyarakat yang terkena pembangunan. Indikatornya antara lain kurangnya keahlian (skill) masyarakat sehingga tidak mampu mengikuti perkembangan kebutuhan keahlian modern yang masuk seiring pelaksanaan pembangunan.. Suatu penjelasan teoritis mengenai faktor eksternal sebagai penyebab kegagalan pembangunan dilakukan oleh Andre Gunder Frank, yang menggagas teori dependensi. Teori ini menyoroti mengenai kegagalan pelaksanaan pembangunan dengan pola modernisasi yang terjadi di Amerika Latin pada dekade 60-an dan 70-an. Teori dependensi menjelaskan bahwa upaya pembangunan yang mengikuti pola pembangunan negara-negara barat (maju) justru menyebabkan semakin tertinggalnya suatu negara, karena adanya tatanan nilai-nilai sosial yang berbeda antara masyarakat di kedua negara tersebut. Karena itu, terjadi cultural gap dan akhirnya social gap, ketika modernisasi diterapkan di negara berkembang. Inti dari teori ini, sebagaimana ingin disampaikan oleh Frank, adalah bahwa negara berkembang akan selalu tergantung pada contoh-contoh sukses pembangunan di negara-negara barat, tanpa adanya upaya orisinil dari dalam mereka sendiri, dan itu menjadi permasalahan utama yang menyebabkan keterbelakangan di negara berkembang.. Dua teori di atas sama-sama berbicara mengenai adanya perbedaan tatanan nilai antara negara berkembang dan belum berkembang, namun pada pendekatan modernisasi perbedaan tatanan nilai itu merupakan faktor internal masyarakat di negara berkembang, sementara teori ketergantungan melihat bahwa perbedaan nilai tersebut disebabkan secara eksternal akibat duplikasi program pembangunan negara maju yang diterapkan pada negara berkembang. Social gap sebagai hambatan sosial pembangunan diakui pula oleh Munandar Sulaeman (2009) yang juga melihat bahwa permasalahan tersebut bermuara. pada tingkah laku masyarakat yang bertentangan dengan satu atau beberapa norma yang sudah disepakati. Namun dalam konteks modernisasi, mungkin perlu ditambahkan bahwa pertentangan terhadap suatu norma dapat disebabkan karena tidak adanya pemahaman terhadap suatu norma baru yang muncul pasca pelaksanaan pembangunan. Ketiadaan pemahaman ini bisa disebabkan karena tidak adanya norma-norma baru, atau tidak adanya internalisasi norma-norma kepada masyarakat penerima pembangunan.. 17.
(22) Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.1 No.1, April 2011. Berkaitan dengan cultural gap pembangunan, Poerwanto (2008) melihat bahwa permasalahan yang muncul dalam pembangunan tidak serta merta dipersepsikan sebagai masalah oleh masyarakat. Ini menunjukkan bahwa ambang batas lingkungan fisik tidak sama dengan ambang batas lingkungan sosial, dan ini sangat berhubungan dengan tatanan nilai budaya yang dianut masyarakat tersebut.. Kritik lain terhadap pendekatan modernisasi adalah bahwa paradigma tersebut membawa konsekuensi negatif. Tjokrowinoto (2007) menyebut ini sebagai delivered development. Konsekuensi utama adalah dorongan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggitingginya seringkali mengakibatkan terabaikannya upaya pembinaan kelembagaan dan kapasitas. Konsep Organic Solidarity dan Kesadaran Kolektif Hambatan-hambatan sosial pembangunan yang diuraikan sebelumnya dapat dikombinasikan dengan konsepsi Durkheim mengenai masyarakat modern. Menurut durkheim pada masyarakat modern terjadi perubahan solidaritas dari yang sebelumnya bersifat mekanik menjadi organik. Solidaritas mekanik menurut Durkheim adalah bentuk solidaritas yang terdapat pada masyarakat tradisional, yang muncul karena belum adanya pembagian kerja (division of labour) dalam masyarakat. Masyarakat tradisional menurut Durkheim masih bersifat homogen dalam kegiatan sehari-hari dan nilai-nilai yang dianut. Pada satu sisi, ini mempermudah pembentukan kesadaran kolektif dan pengaplikasiannya dalam masyarakat. Namun pada sisi lain, solidaritas tipe mekanik ini tidak dapat lagi dipertahankan ketika masyarakat sudah menjadi lebih modern. Masyarakat modern adalah masyarakat yang sangat kompleks, dengan tatanan nilai yang relatif lebih bebas dibanding masyarakat tradisional, serta masyarakat modern juga relatif lebih heterogen akibat tingginya mobilitas dan mulai terbukanya stratifikasi sosial. Pada masyarakat dengan solidaritas organik, ikatan tradisional dapat dianggap mulai pudar, sehingga nilai-nilai yang sebelumnya berlaku sudah tidak mampu lagi mengikat masyarakat. Tetapi masyarakat organik menurut Durkheim tetap membutuhkan suatu bentuk solidaritas, sebagai ganti nilai tradisional yang hilang. Solidaritas inilah yang kemudian menyatukan masyarakat modern. Pada solidaritas organik terdapat pola kelembagaan yang terintegrasi dengan kuat, serta terciptanya suatu kesadaran kolektif baru yang menjadi acuan masyarakat dalam bertindak (Sunarto, 2005). Kegagalan dalam. 18. upaya modernisasi tentu saja akan menyebabkan gagal terwujudnya integrasi kelembagaan, tidak munculnya solidaritas organik, serta tidak adanya kesadaran kolektif. Padahal unsur-unsur tersebut menjadi prasyarat masyarakat modern, terutama berkaitan dengan munculnya norma baru yang harus diintegrasikan ke dalam tatanan nilai masyarakat. Ini menjadi proposisi lain yang perlu ditekankan dalam melihat hambatan sosial dalam pelaksanaan pembangunan.. Berdasarkan Peraturan Menteri mengenai “Pedoman Pelaksanaan Rekayasa Sosial Pembangunan Bendungan”, terdapat 8 permasalahan sosial yang sering muncul pada tahap pasca konstruktsi waduk. Dari permasalahanpermasalahan tersebut, yang terkait dengan proposisi-proposisi teori yang dibangun di atas antara lain: a) Kurangnya kesadaran masyarakat akan arti penting bendungan.. b) Ketidaksiapan masyarakat akibat adanya perubahan-perubahan dalam lingkungan fisik masyarakat tersebut. c) Capacity gap akibat kurangnya skill dan modal untuk memanfaatkan peluang usaha baru.. Teori-teori dan konsep mengenai pembangunan yang diuraikan di atas menjelaskan berbagai hambatan pembangunan dari segi sosial. Tentu saja ini hanyalah satu aspek dari berbagai hambatan yang ada, namun teori-teori tersebut sejalan dengan permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini. Alur berfikir yang disusun oleh peneliti dalam mencari jawaban atas permasalahan ini dapat dilihat pada bagan 1 di bawah. Skema di atas dibangun berdasarkan asumsiasumsi sebagai berikut: 1. Pembangunan waduk dilaksanakan dalam kerangka modernisasi. 2. Permasalahan utama terletak pada upaya pengelolaan waduk, karena itu masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang tinggal di sekitar waduk 3. Sistem sosial dan tatanan sosial masyarakat sekitar waduk tergolong pada tahap berkembang. 4. Masyarakat di sekitar waduk tidak merasakan secara langsung dampak pembangunan. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif-deskriptif, atau disebut juga quasi-kualitatif. Alasan dipilihnya metode kualitatifdeskriptif berkaitan dengan tujuan penelitian yang.
(23) Hambatan Sosial Pengelolaan Waduk Rawapening Bangkit Aditya Wiryawan PEMBANGUNAN WADUK SEBAGAI UPAYA MODERNISASI. dengan dua orang pengurus Paguyuban Tani dan Nelayan Rawapening, wawancara singkat dengan Kepala Desa Asinan, serta Kepala Desa Banyubiru.. KONDISI PENGELOLAAN W ADUK S AAT INI. HAMBATAN SOSIAL PENGELOLAAN WADUK: 1.Capa city gap 2. Ketiadaan / perbedaan tatan an nilai 3. Lemahn ya Kelemb agaan 4. Ketiadaan Kesadaran Kolektif. 2. Observasi langsung. KEGAGALAN TERCAPAINYA TUJUAN PEMBANGUNAN EVALUASI KEBIJAKAN bagan 1. Alur Alur Berfikir Penelitian Bagan berpikir penelitian. mencoba mengenali bentuk-bentuk hambatan sosial dalam pengelolaan waduk. Unit penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah individu, kelompok, masyarakat, dan kelembagaan atau pranata sosial.. Pemilihan lokasi studi di Waduk Rawapening didasarkan pada karakteristik waduk yang sangat berbeda dengan waduk lain pada umumnya, terutama ditinjau dari aspek sosial. Interaksi masyarakat dengan waduk sangat tinggi dan ini menjadikan masyarakat bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pengelolaan waduk. Waduk Rawapening juga dipilih karena kondisinya yang sudah tergolong kritis dan perlu penanganan segera. Metode pengumpulan data yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:. 1. Metode wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab untuk memperoleh suatu jawaban atas suatu permasalahan, dilakukan dengan bertatap muka secara langsung dengan informan tanpa menggunakan pedoman wawancara, dan dilaksanakan secara terbuka (informan tahu adanya pelaksanaan penelitian). Proses wawancara dilakukan selama cukup lama demi tujuan memperoleh data rinci dan akurat mengenai permasalahan penelitian.. Orang-orang yang menjadi narasumber utama dalam penelitian ini meliputi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Air Ir. Budi Priyanto, Sp.1, Ketua Paguyuban Tani dan Nelayan Rawapening Bapak Kasiyan serta wakilnya bernama Bowo. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara singkat, akibat keterbatasan waktu dan dana,. Observasi dilakukan terutama terhadap kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial ekonomi budaya, mekanisme dan pola interaksi antar stakeholders. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Desa Asinan serta Desa Banyubiru, kedua Desa tersebut terletak sangat dekat dengan waduk, dan intensitas masyarakat dengan waduk adalah yang paling tinggi. Pengamatan lingkungan fisik dilakukan dengan mengamati kondisi tampungan air Waduk Rawapening yang meliputi luas genangan, tingkat sedimentasi, pertumbuhan gulma air, kondisi bangunan bendung dan spillway, hingga kondisi vegetatif di area green belt waduk. Sementara itu, pengamatan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya diarahkan pada pola interaksi sosial masyarakat di sekitar waduk, sistem sosial-budaya yang spesifik yang terbentuk akibat interaksi masyarakat dengan waduk (bila ada), serta upaya pemanfaatan waduk secara ekonomi oleh masyarakat Rawapening.. 3. Pengumpulan data-data sekunder. Pengumpulan data dilaksanakan dengan melakukan studi literatur dari berbagai sumber seperti media cetak, media elektronik, perundang-undangan, dan lain sebagainya. Sumber-sumber sekunder ini akan dimanfaatkan untuk memperdalam pemahaman mengenai permasalahan sosial dalam pengelolaan waduk. Selain itu, kajian kepustakaan ini juga diperlukan dalam mendukung analisis hasil penelitian.. Teknik penelusuran data lain yang dapat menjadi pendukung penelitian adalah analisis sejarah. Penelusuran sejarah dilakukan untuk memperoleh pengetahuan mengenai hal-hal yang sudah lampau dan data-data yang tidak dapat diperoleh melalui observasi langsung. Analisis sejarah yang digunakan dalam tulisan ini diambil dari cerita-cerita rakyat yang menjadi legenda dan mitos. Dari cerita-cerita tersebut, penulis mencoba menangkap makna sosialnya terhadap kondisi masyarakat Rawapening saat ini.. Dalam penelitian ini, data dianalisis secara deduktif, atau dengan gaya penalaran umum-khusus. Analisis deduktif dilakukan dengan terlebih dahulu membangun teori dan menggunakannya sebagai alat analisis.. 19.
Dokumen terkait
Assa’adatul abadiyah, lalu memilih jurusan, setelah menjadi siswa-siswi, lalu siswa-siswi mendapat kelas untuk proses pembelajaran sehari-harinya setelah itu siswa-siswi
Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Hotel Resort Pendekatan Arsitektur Ekologis di Batu Malang merupakan suatu tempat yang sengaja disediakan
penelitian, maka beberapa masalah yang perlu dipecahkan melalui penelitian efektivitas tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Kalimantan
Diluar satelit penginderaan jauh operasional yang lain, satelit nasional yang akan dibangun memiliki misi pemantauan sumberdaya alam wilayah pesisir, daratan dan mendukung
Uraian !iatas menun"ukkan pemahaman !imensi spiritual !an pemenuhan terha!ap kebutuhan spiritual %an' masih terbatas. ?ara men'aplikasikan pemenuhan kebutuhan spiritual
Dampak dari keadaan ini terhadap kesehatan ibu adalah menurunnya keadaan umum, munculnya tanda-tanda dehidrasi (dalam berbagai tingkatan tergantung beratnya hiperemesis