• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar PPOK

2.1.1 Pengertian PPOK

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan penyakit paru yang memburuk seperti asma refrakter (tidak ada perubahan atau perbaikan yang sangat singkat), bronkitis menahun/kronis, dan emfisema (kondisi kantung udara di paru-paru mengalami kerusakan yang memburuk) (Maunaturrohmah & Yuswatiningsih, 2018). Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) diartikan sebagai sindrom klinis yang merupakan kelompok gejala kronik, progresif, melemahkan fungsi respirasi yang di karakteristikan dengan adanya keterbatasan pada aliran udara dan bersifat reversible (Mary A Nies, 2015).

PPOK adalah sekelompok penyakit paru yang ditandai dengan peningkatan resistensi saluran napas bawah, pada saat resistensi saluran napas meningkat maka harus diciptakan gradien tekanan yang lebih besar untuk mempetahankan kecepatan aliran udara yang normal. Penyakit paru obstruktif kronis biasanya merupakan penyebab kematian pada usia 65 tahun (Enie Novieastari, Kusman Ibrahim, Sri Ramdaniati, 2020).

Berdasarkan uraian di atas, yang di maksud dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara yang resisten dan bersifat progresif serta terjadinya peningkatan respon inflamasi kronis saluran napas yang disebebkan oleh iritan tertentu.

2.1.2 Etiologi PPOK

(2)

antara lain:

1. Pajanan dari partikel antara lain : a. Merokok.

Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mukus dan obstruksi jalan nafas kronik. Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang (Rahmadi, 2015).

b. Polusi indoor

Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap, bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35% terjadinya PPOK. Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan c. Polusi outdoor

Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK

adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap

pembakaran/pabrik/tambang. d. Polusi di tempat kerja

Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan baja, industri kayu,

(3)

pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19% (AGUSTINA TUK JIRON, 2020).

2. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin)

Kekurangan Alpha 1-antitrypsin merupakan kekurangan suatu enzim yang normalnya melindungi paruparu dari kerusakan. Peradangan pada orang yang kekurangan enzim ini dapat terkena emfisema pada usia yang relatif muda, walaupun tidak merokok (Rahmadi, 2015).

3. Riwayat infeksi saluran nafas berulang

Infeksi saluran nafas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran nafas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak.

2.1.3 Klasifikasi PPOK

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI, 2011) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di bagi menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan gejala dan spirometri (nilai FEV1) setelah pemberian bronkodilator pada rasio FEV1/FVC < 0,7. Selain itu, PPOK juga dapat diklasifikasikan berdasarkan mMRC (Modified

British Medical Research Council), CAT (COPD Assessment Test) serta riwayat eksaserbasi.

Klasifikasi PPOK berdasarkan gejala dan FEV1 :

a. PPOK ringan (GOLD 1) : memiliki gejala Dengan atau tanpa batuk kronik dan sputum produktif. Memiliki spirometri FEV1 yang diprediksi ≥80%.

b. PPOK ringan (GOLD 2) : memiliki gejala Dengan keluhan napas pendek, terutama saat latihan fisik, kadangkadang disertai batuk dan sputum produktif. Memiliki spirometri FEV1 yang diprediksi 50-<80%.

(4)

c. PPOK ringan (GOLD 3) : memiliki gejala Keluhan napas pendek bertambah, kemampuan latihan berkurang, lelah, eksaserbasi berulang, hingga mempengaruhi kualitas hidup pasien. Memiliki spirometri FEV1 yang diprediksi 30-<50%.

d. PPOK ringan (GOLD 4) : memiliki gejala Gagal jantung

kanan/kor pulmonal, kualitas hidup sangat terganggu, eksaserbasi yang bisa menyebabkan kematian. Memiliki spirometri FEV1 yang diprediksi <30% (Kristiningrum, 2019).

Menurut (Jackson, 2014), klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis di bagi menjadi beberapa, antara lain :

a. Asma : asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermitten dan reversible dimana trakeobronkial berespons secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma memiliki ciri yaitu meningkatnya respons bronkus dan trakea terhadap bermacam-macam rangsangan dengan adanya tanda penyempitan jalan napas yang luas baik secara spontan maupun berubah-ubah sesuai hasil pengobatan (Huriah, 2018). b. Bronkitis, bronkitis adalah suatu penyakit yang digambarkan sebagai

inflamasi dari pembuluh bronkus dan ditandai dengan adanya dilatasi atau ektasis bronkus lokal yang bersifat patologis dan kronik (Utama, 2018).

c. Emfisema, emfisema merupakan penyakit obstruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan alveoli dimana keadaan alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus terisi udara walaupun setelah melakukan ekspirasi (Utama, 2018).

(5)

2.1.4 Patofisiologi

Penyakit paru obstruktif kronis atau PPOK biasanya terjadi akibat paparan asap rokok atau karena merokok itu sendiri. Asap rokok dapat menyebabkan iritasi dan mengakibatkan infiltrasi pasa psaien PPOK. Hal ini terjadi karena adanya amplifikasi dari respon inflamasi. Faktor penyebab dari amplifikasi tersebut kemungkinan besar terjadi karena faktor genetik akan tetapi mekanismenya masih belum diketahui. Orang bukan perokok juga dapat mengalami asma PPOK, namun respon inflamasi pada pasien tersebut sampai sekarang masih belum diketahui. Ada keadaan yang dapat memperberat inflamasi yaitu stres oksidatif dan proteinase. Kategori tersebut mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK.

Pada pasien PPOK, respon perlindungan normal terhadap zat asing yang masuk ke dalam paru mengalami amplifikasi dan menyebabkan kerusakan jaringan. Secara umum, perubahan inflamatif dan struktural yang terjadi meningkat seiring dengan memburuknya kondisi penyakit dan bersifat persisten bahkan setelah pasien berhenti terpapar zat asing. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam memperburuk respon inflamasi pada pasien PPOK diantaranya: respon imun bawaan dan respon imun adaptif, sel dan mediator inflamasi, ketidakseimbangan protease dan antiprotease, serta stres oksidatif. Seluruh mekanisme tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain

2.1.5 Faktor Risiko

Faktor risiko PPOK meliputi 2 kelompok besar yaitu faktor pejamu dan pajanan lingkungan. Penyakit biasanya timbul akibat interaksi kedua faktor tersebut. Faktor pejamu meliputi genetik, hipereaktivitas jalan napas dan pertumbuhan paru. Pajanan lingkungan meliputi kebiasaan merokok, polusi udara, infeksi, debu dan bahan kimia di tempat kerja serta status sosial ekonomi. Faktor genetik akan

(6)

meningkatkan atau menurunkan risiko seseorang terhadap perkembangan PPOK (Oktaria & Ningrum, 2017).

Faktor risiko paling utama pada PPOK adalah kebiasaan merokok, tetapi hanya sedikit perokok yang berkembang menjadi PPOK (Chorostowska-Wynimko, 2016). Walaupun kebiasaan merokok adalah faktor lingkungan yang paling dominan untuk PPOK tapi hanya 15% yang didapat penurunan Volume Ekspirasi Paksa detik 1 (VEP1), apabila kebiasaan merokok ini terjadi dengan adanya faktor genetik, maka hal ini dapat memperburuk keadaan (Stockley & Stockley, 2016). Risiko untuk terjadiya PPOK pun akan meningkat seiring dengan lamanya seseorang tersebut merokok dan jumlah batang rokok yang dihisap perharinya. Risiko terkena PPOK akibat merokok dapat diketahui melalui penilaian derajat berat merokok seseorang melalui Indeks Brinkman (IB), yakni perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Kategori perokok ringan apabila merokok antara 0-200 batang, disebut perokok sedang apabila jumlah batang antara 200-600, dan disebut perokok berat apabila menghabiskan 600 batang atau lebih (Chorostowska-Wynimko, 2016).

Selain rokok, genetik juga merupakan faktor risiko kejadian PPOK. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan prevalensi pada keluarga PPOK dibandingkan kontrol dan memberi kesan bahwa PPOK terjadi pada individu yang rentan secara genetik setelah cukup terpajan oleh asap rokok (Ismail et al., 2017).

2.1.6 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala pada pasien PPOK antara lain adalah : 1. Batuk kronis

(7)

3. Sesak napas

4. Kadang disertai mengi (wheezing) 5. Gejala non-spesifik berupa lesu 6. Lemas

7. Penurunan berat badan 8. Anoreksia

Batuk kronis merupakan gejala pertama dari PPOK dan sering diabaikan oleh pasien sebagai akibat dari merokok atau paparan lingkungan. Menurut (Belinda B Hammond, Polly Gerber Zimmermann, 2013) tanda dan gejala dari PPOK adalah serangan akut, biasanya pada musim dingin dan biasanya dipicu oleh infeksi pernapasan akibat virus, meningkatnya dispnea, takipnea, dan hipoksemia, perubahan pada jumlah dan warna sputum, suara napas yang menjauh, ronci yang menyebar, mengi (wheezing), dan crackles, hiperresonan pada perkusi, pursed lip breathing, penggunaan otot-otot acesoris pernapasan, kelelahan, dan kemungkinan terjadi cor pulmonale (gagal jantung kanan akibat penyakit pernapasan) yang ditandi dengan distersi vena jugular, hepatomegali.

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah : 1. Gagal nafas

a. Gagal nafas kronik: hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2> 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan:

i. Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2 ii. Bronkodilator adekuat

iii. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktiviti atau waktu tidur

(8)

iv. Antioksidan

v. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing b. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik, ditandai oleh:

i. Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis ii. Sputum bertambah dan purulen iii. Demam

iv. Kesadaran menurun

2. Infeksi berulang. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.

3. Kor pulmonal: ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan (Paramasivam, 2017).

2.2 Konsep Saturasi Oksigen 2.2.1 Pengertian saturasi oksigen

Saturasi oksigen adalah jumlah oksigen yang di angkut oleh hemoglobin, di tulis sebagai presentasi total oksigen yang terikat pada hemoglobin. Saturasi oksigen srteri mempunyai harga normal berkisar antara 95 hingga 100% (Setyopranoto, 2019). Saturasi oksigen kurang dari 90% berkorelasi dengan kadar oksigen darah yang sangat rendah dan membutuhkan penanganan yang segera. Jika saturasi oksigen randah, biasanya akan terlihat tanda-tanda lain dari distres napas.

Menurut (Hidayati, 2018) perubahan saturasi oksigen adalah tanda penting dari gangguan pernapasan. Awalnya tubuh akan mencoba dan mengkonpensasi hipoksemia dengan meningkatkan laju dan kedalaman pernapsan. Saturasi oksigen di

(9)

pengaruhi oleh tekanan parsial oksigen dalam darah, suhu tubuh, dan struktur hemoglobin.

Thomsen (2014) pengukuran saturasi oksigen masih memungkinkan sebagai metode yang applicble untuk mendeskripsikan masalah pertukaran gas dalam paru-paru. Saturasi oksigen dapat diukur dengan menggunakan oxymetry fingertip yang diletakkan pada jari pasien. Meskipun demikian ada faktor yang mempengaruhi ketidakakuratan pengukuran saturasi oksigen seperti perubahan kadar Hb, sirkulasi yang buruk, akral dingin, ukuran jari terlalu besar/kecil, aktivitas menggigil, adanya cat kuku berwarna gelap.

2.2.2 Penyebab penurunan saturasi oksigen pada pasien PPOK

Penurunan kadar oksigen dalam darah akan menyebabkan sesak nafas, sehingga sesak napas dan pola sesak napas yang tidak selaras tersebut akan menyebabkan pasien PPOK sering menjadi panik, cemas dan akhirnya frustasi. Gejala ini akan membuat pasien PPOK mengurangi aktivitas fisiknya untuk menghindari sesak napasnya. Pada umumnya pada pasien PPOK akan mengalami gangguan produksi sekret dimana sesorang memproduksi sekret berlebih sehingga menyebabkan penderita mengalami penurunan gas darah saturasi oksigen (Astriani et al., 2020).

Menurut penelitian ynag dilakukan oleh (Harun Ain, Ririn Anantasari, 2019) penyakit PPOK dapat menurunkan saturasi oksigen karena pada responden yang mengalami PPOK sekresi mukus yang berlebihan menyebabkan obstruksi pada bronkus dan kerusakan struktur dan fungsi alveolus sehingga proses masuknya oksigen ke alveolus dan proses difusi oksigen dan karbon dioksida di alveolus menjadi terganggu sehingga akan membuat pasien yang mengalami PPOK mengalami penurunan saturasi oksigen.

(10)

2.3 Konsep dyspnea 2.3.1 Pengertian dyspnea

Dispnea merupakan pengalaman subjektif dari ketidaknyamanan bernapas yang terdiri ddari sensasi berbeda secara kualitatif yang bervariasi. Dalam istilah yang lebih umum, dispnea adalah sensasi pernapasan tidak nyaman yang subjektif dan sulit untuk didefinisikan oleh orang lain, pasien akan selalu mengatakan akan tahu ketika mereka mengalami dispnea.

Menurut (Wahyudin Rajab, M.Epid, Yudhia Fratidhina, 2018) dispnea merupakan perasaan sesak dan berat saat bernafas. Penyebabnya bisa karena perubahan kadar gas atau darah dalam jaringan kerja berat atau berlebihan, masalah psikis. Dispnea juga dapat di definisikan sebagai sensasi tidak nyaman atau pasien dapat menggambarkan sebagai sesak napas, ketidakmampuan untuk mendapatkan udara yang cukup atau mati lemas.

Dispnea berbeda dari takipnea atau peningkatan kecepatan pernapasan dan hiperpnea atau peningkatan kedalaman ventilasi. Dispnea sering digambarkan dalam istilah kekurangan udara, rasa tercekik, atau napas berat, dan bisa sangat tidak nyaman bagi keluarga yang melihat kondisi pasien (Sudarsa, 2020).

2.3.2 Penyebab dyspnea pada pasien PPOK

Secara fisiologis, dispnea dihasilkan dari tiga kelainan utama yaitu, peningkatan beban yang membutuhkan upaya pernapasan yang lebih besar misalnya obstruksi, peningkatan proporsi otot pernapasan yang diperlukan untuk mempertahankan beban kerja normal misalnya kelemahan, dan peningkatan kebutuhan ventilator misalnya demam dan anemia. Kondisi anatomi dan penyakit yang mungkin mendasari menimbulkan dispnea yaitu obstruksi saluran napas (PPOK, saluran pernapasan yang reaktif, batuk atau sekresi, tumor), restriksi paru (penyakit interstitial lainnya, efusi,

(11)

fibrosis, infeksi, kifosis, obesitas), ketidakcocokan oksigenasi dan kelelahan atau kelemahan. Meskipun kelainan sering kali dapat diukur, atau di asumsikan berdasarkan penyakit yang mendasarinya, etiologi dispnea sering berhubungan dengan efek sistemik penyakit (Sudarsa, 2020).

2.4 Konsep Pursed Lip Breathing 2.4.1 Pengertian pursed lip breathing

Pursed Lip Breathing adalah pernapasan melalui bibir yang dapat membantu

melatih otot pernapasan, memperlambat ekspirasi, mencegah kolaps jalan nafas kecil, dan mengontrol kecepatan serta kedalaman pernafasan, Latihan pursed lip breathing berguna untuk memperbaiki ventilasi dan meningkatkan kerja otot abdomen dan toraks (Junaidin et al., 2019).

Pulsed lip breathing exercise adalah suatu latihan bernafas yang terdiri dari dua

mekanisme yaitu inspirasi secara kuat dan dalam serta ekspirasi aktif dan panjang. Proses ekspirasi secara normal merupakan proses mengelurkan nafas tanpa menggunakan energi. Efek dari PLB adalah meningkatkan volume tidal dan volume akhir ekspirasi paru dan dampaknya adalah meningkatkam kapasitas otot-otot pernafasan untuk memenuhi kebutuhan dalam memberikan tekanan pernafasan (Amira Permata S T, 2018).

2.4.2 Teknik

Latihan pernapasan dengan pursed lip breathing exercise ini akan terjadi dua mekanisme yaitu inspirasi kuat dan ekspirasi kuat dan panjang. Ekspirasi yang kuat dan memanjang akan melibatkan kekuatan dari otot intra abdomen pun meningkat yang akan meningkatkan pula pergerakan diafragma keatas membuat rongga toraks semakin mengecil. Rongga toraks yang semakin mengecil ini menyebabkan tekanan intra

(12)

alveolus semakin meningkat sehingga melebihi tekanan udara atmosfer. Kondisi tersebut akan menyebabkan udara mengalir keluar daru paru ke atmosfer. Ekspirasi yang dipaksa dan memanjang saat bernafas dengan pursed lip breathing exercise akan menurunkan resistensi pernafasan sehingga akan memperlancar udara yang dihirup atau dihembuskan. Ekspirasi yang dipaksa dan memanjang akan memeperlancar udara inspirasi dan ekspirasi sehingga mencegah terjadinya air trapping didalam alveolus (Junaidin et al., 2019).

Penderita sangat dianjurkan untuk melakukan teknik latihan pernapasan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips breathing dengan tujuan untuk memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Latihan pernapasan umumnya dilakukan 20-30 menit perhari (sekaligus atau 2x sehari). Pernapasan pursed lip breathing dilakukan dengan cara penderita duduk dan bernafas dengan cara menghembuskan nafas melalui mulut yang hampir tertutup (seperti bersiul) selama 4-6 detik. Cara itu diharapkan dapat menimbulkan tekanan saat ekspirasi sehingga aliran udara melambat dan meningkatkan tekanan dalam rongga perut yang diteruskan sampai bronkioli sehingga kolaps saluran nafas saat ekspirasi dapat dicegah (Amira Permata S T, 2018).

(13)

Gambar 2.1. Teknik Pursed Lip Breathing (Leskovsek et al., 2014)

2.5 Pengaruh pursed lip breathing terhadap dyspnea dan peningkatan saturasi oksigen pada pasien PPOK

Pursed lip breathing pada pasien PPOK menurunkan hiperinflasi pada paru dengan

meningkatkan tekanan intraluminal jalan nafas untuk mencegah kolaps pada paru.

Pursed lip breathing juga mampu meningkatkan kecepatan aliran udara ekspirasi yang

mampu mengoptimalkan proses pertukaran karbon dioksida dengan oksigen menjadi lebih cepat, sehingga mampu menurunkan sesak nafas pasien PPOK (Lee et al., 2019). Proses oksigenasi dalam tubuh menjadi lebih baik dengan adanya latihan pursed lip breathing, hal tersebut dapat menjadi lebih optimal dengan meningkatkan fungsi otot-otot pernapasan, khususnya otot-otot diafragma (Rosyadi et al., 2019).

Otot diafragma merupakan salah satu otot pernapasan yang memegang peran penting dalam melakukan proses respirasi. (Ma et al., 2017) mengatakan bahwa latihan pernapasan diafragma dapat menurunkan derajat dispnea dan meningkatkan ketahanan pasien PPOK dalam beraktivitas.

Menurut Penelitian yang di lakukan oleh (Siregar, 2019) bahwa pulsed lip breathing

exercise merupakan salah satu bentuk terapi yang efektif untuk memperbaiki penurunan

(14)

yang luas dan alat yang tidak mahal sehingga cocok dilakukan oleh semua orang terutama pasien PPOK yang cenderung mengalami sesak napas.

Menurut (Amira Permata S T, 2018) mengatakan dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebelum dilakukan latihan nafas dalam pursed lip breathing, Oksigen terendah adalah 95% dan tertinggi 99%, dimana saturasi oksigen responden mayoritas berada pada angka 96 % yaitu sebanyak 33, 3 % dan minoritas saturasi oksigennya 99% yaitu sebanyak 8,3 %. Jika penderita PPOK tidak pernah melakukan breathing exercise, maka fungsi otot-otot respirasi tidak berjalan dengan baik, sehingga menurunkan ventilasi dan oksigenisasi dan akibat nya menjadi sesak yang tidak terkontrol. Penderita yang tidak pernah melakukan Exercise aktive ROM pada shoulder dan trunk maka tidak akan membantu ekspansi thorax, memfasilitasi deep breathing dan sering digunakan untuk menstimulasi reflex batuk (Leskovsek et al., 2014).

Menurut (Siregar, 2019) bahwa pulsed lip breathing exercise merupakan salah satu bentuk terapi yang efektif untuk memperbaiki penurunan sesak napas, selain mudah, terapi tehnik napas dalam ini juga tidak memerlukan tempat yang luas dan alat yang tidak mahal sehingga cocok dilakukan oleh semua orang terutama pasien PPOK yang cenderung mengalami sesak napas.

Gambar

Gambar 2.1.  Teknik Pursed Lip Breathing  (Leskovsek et al., 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Pada uji viskositas dikatakan semakin tinggi penambahan CMC maka selai labu siam yang dihasilkan akan semakin kental artinya jika selai buah labu siam terlalu kental maka tidak

Pada kenyataannya teknologi informasi yang ada pada koperasi ini sudah berjalan dengan baik namun sebagai bahan perbandingan terhadap sistem yang dimiliki yang dirasa masih memiliki

terselesaikan dan memerlukan lebih banyak perhatian dalam penelitian di masa depan, seperti: Peran Research and Development (R&amp;D) dan inovasi sebagai kemampuan

Pendugaan model regresi data panel dinamis dengan prosedur SYS-GMM mempunyai RMSE, MAE dan MAPE yang lebih kecil dari pendugaan model regresi data panel statis

langkah seperti itu tentunya membuat sebuah kekuatan dan kepastian hukum bagi semua orang, dalam hal ini memberikan perlindungan kepada kawasan hutan dan kepada para penduduk

Maka dalam rangka mengurangi work related musculosceletal disorders tindakan fisioterapi yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah perbaikan organisasi

Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah salah satu bentuk program yang berlandaskan atas tugas yang harus diselesaikan dan berfungsi sebagai alat untuk mengalihkan pengetahuan dan

instrumen final yang nantinya digunakan untuk mengukur.. variabel