• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2011/2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Tugas Akhir Semester Ganjil 2011/2012"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPOSISI KIMIA

DAN AKTIVITAS BIOLOGI DARI MINYAK ATSIRI AKAR WANGI (Vetiveria Zizanoides) PADA AKAR BAGIAN ATAS (A) DAN AKAR BAGIAN BAWAH (B)

Fuad Muzammil*,Dra. Yulfi Zetra(1), Arif Fadlan S.Si, M.Si(2) Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember

ABSTRAK

Komposisi minyak atsiri V.zizanoides pada bagian pangkal akar atas (A) dan akar bagian bawahnya (B) yang tumbuh di daerah Garut, Jawa Barat didistilasi menggunakan peralatan hidrodiatilasi selama 8 jam. Minyak atsiri V.zizanoides A memiliki rendemen lebih kecil (0,1345 %) daripada V.zizanoides B (0,82 %). Berdasarkan analisis KG-SM, komposisi minyak atsiri V.zizanoides kaya akan kandungan seskuiterpene. Komponen utama minyak atsiri A adalah dehydroaromedendrene (10,63 %), α-cedrol (4,96 %), α-gurjunene (2,84 %), α-vetivone (2,73 %), calarena (2,46 %), arromadendreneepoxide (2,34 %). Komponen utama minyak atsiri B diantaranya dehydroaromedendrene (12,79 %), α-cedrol (6,43 %), valerenol (5,38 %), 7-epi-α-Cadinene (3,67 %), Valencene (3,4 %), α-gurjunene (3,32 %) . Aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode BSLT, hasil paling baik ditunjukkan oleh minyak atsiri dari V.zizanoides Garut (A) dengan nilai LC50 sebesar 155,7758 ppm. V.zizainoides (B) juga aktif sebagai antimikroba dengan LC50 sebesar 193,1962 ppm. Minyak atsiri V.zizainoides A dan B menunjukkan aktivitas larvasida terhadap larva Aedes aegypti dengan nilai LC50 berturut-turut sebesar 164,8656 ppm dan 172,1869 ppm.

Kata Kunci: Minyak atsiri, Vetiveria, V.zizainoides, BSLT, Larvasida

1. Pendahuluan

Minyak atsiri atau disebut juga volatile oil atau essential oil adalah istilah yang digunakan untuk minyak mudah menguap dan diperoleh dari jaringan tanaman (daun, bunga, buah, kulit batang, dan akar) dengan cara distilasi. Minyak atsiri merupakan senyawa organik yang diperoleh dari hasil metabolisme sekunder tanaman yang komposisi kimianya sangat tergantung pada jenis tumbuhan, daerah tempat tumbuh, iklim, dan bagian tumbuhan yang diambil minyaknya (Guenther, 2006). Minyak atsiri yang dihasilkan oleh tanaman yang berasal dari genus Vetiveria sebagian besar mengandung terpen, seskuiterpen alifatik, turunan hidrokarbon teroksigenasi dan hidrokarbon aromatik. Senyawa mayor yang terkandung dalam Vetiveria adalah α-vetivone, β-vetivone dan khusimol. Kandungan minor dalam minyak atsiri Vetiveria antara lain zizanal, epi-zizanal, khusimone, metil zizanoat, metil epi-zizanoat dan junenol (Sell, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Massardo dkk, (2006) terhadap minyak atsiri dari rumput Vetiveria berhasil melaporkan keberadaan senyawa seskuiter Seskuiterpen tersebut meliputi seskuiterpen trisiklik seperti khusimol dan asam

zizanoat serta seskuiterpen bisiklik seperti junenol atau juniper camphor, nootkatone dan α-vetivone. Salah satu senyawa kimia seskuiterpen baru dari Vetiveria telah pula dilaporkan sebagai nootkatone (5,6 dimetil-8-isopropenylbicyclo [4.4.0] des-1-en-3-satu). Senyawa ini bersifat toksik sebagai pembasmi rayap, kecoa dan semut merah. Senyawa nootkatone ini ternyata potensial digunakan sebagai pestisida ramah lingkungan serta mampu menghambat perkecambahan dan pertumbuhan beberapa spesies gulma (Henderson dkk, 2006). Selain siskuiterpen, senyawa kimia yang terkandung dalam genus Vetiveria adalah flavonoid. Beberapa senyawa flavonoid tersebut adalah 6,8-di-C-heterosida-luteolin, flavon-C-glikosida, 6,8-di-C-arabinopyranosylluteolin dan tricin-5-O-glukosida (Champagnat dkk, 2008).

Tanaman Vetiveria zizainoides yang dijadikan objek pada penelitian ini adalah salah satu spesies dari tanaman genus Vetiveria yang merupakan tanaman langka di dunia. Tanaman ini hanya diproduksi dengan baik oleh tiga negara di dunia seperti Indonesia, Bourbone, India dan Haiti. Di Indonesia spesies Vetiveria zizainoides yang lebih dikenal dengan nama akar wangi ini tumbuh subur di tanah vulkanik seperti

(2)

Garut Jawa Barat. Senyawa mayor yang pernah dilaporkan dari minyak atsiri Vetiveria zizanioides yang tumbuh di India adalah seskuiterpen trisiklik (khusimol dan metil zizanoat) dan seskuiterpen bisiklik seperti junenol, nootkatone, β-vetivone dan khusimone. Senyawa minor lain yang berhasil diidentifikasi dalam minyak atsiri Vetiveria zizanioides adalah, elemol, α-cadinol, hexadecande, (E)-isoeugenol, p-vinyl guaiacol, o-guaiacol, α-cubebene, dan γ-cadinene (Adams,2003).

Penelitian terhadap V. zizanioides dari beberapa lokasi tumbuh yang berbeda sudah pernah dilakukan, di antaranya dari India (Nigam,dkk., 1967), Angola (Nigam,dkk., 1967), Jepang (Nigam,dkk., 2004), Kongo (Anderson,1969), Haiti (Adams,dkk.,2004), Italia (Massardo,2005), dan Perancis, (Champagnant,dkk., 2008). Senyawa mayor yang telah diisolasi dari V. zizanioides India adalah khusol, khusenol, khusitone, γ-cadinene dan laevojuneol. Senyawa mayor berstruktur siskuiterpene trisiklik yang berhasil diisolasi dari V. zizanioides yang tumbuh di Angola adalah asam khusenat, asam isokhusenat dan khusenol. Struktur siskuiterpene, khusimene dan asam zizanoat yang memiliki struktur yang sama dengan asam khusenat merupakan senyawa mayor yang telah berhasil diisolasi dari V.zizanioides Jepang (Nigam, dkk., 2004). Senyawa mayor dari V. zizanioides Kongo adalah tricyclovetivenol, tricyclovetivene, dan khusimol. Ada 49 s enyawa yang terkandung dalam minyak atsiri V.zizanioides dari Haiti yang komponen utamanya adalah senyawa trisiklik siskuiterpen seperti khusimol dan metil epi zizanoat, senyawa bisiklik siskuiterpen seperti junenol atau juniper camphor, nootkatone, α-vetivone dan khusimone. Senyawa minor lain yang terkandung dalam V.zizanioides dari Haiti antara lain elemol, α-cadinol, hexadecane, senyawa (E)-Isoeugenol, p-Vinyl guaiacol, o-Guaiacol, α- cubebene, dan γ-cadinene (Adams,dkk.,2004). Penelitian juga menunjukkan bahwa penurunan produksi minyak atsiri Vetiveria zizanioides Italia dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama cuaca. Saat musim dingin, temperatur menurunkan aktivitas metabolisme tanaman sehingga produksi minyak atsiri turun. Senyawa mayor yang terkandung dari V. zizanioides Italia

yang diisolasi pada musim dingin saat umur tanaman 12 bul an adalah eremophilene, eudesmane, guaiane, nootkatone, α-vetivone, (E)-isovalencenol, juenol dan juniper camphor. Selain itu juga ada komponen alcohol seperti (E)-isovalencenol dan khusimol. (Massardo,dkk.,2005). Minyak atsiri Vetiveria Perancis mengandung lebih dari 300 siskuiterpen. Senyawa mayor yang terkandung di dalamnya adalah α-vetivone, β-vetivone, dan khusimol. Senyawa α-vetivone dan β-vetivone merupakan senyawa yang memiliki struktur bisiklik siskuiterpen mengandung gugus ketone. Khusimol atau (+) – 6 (13) – zizene – 12 - ol merupakan senyawa yang mempunyai struktur trisiklik siskuiterpen ber alkohol dengan rumus bangun C15H24O. Kandungan minor dalam minyak atsiri ini antara lain zizanal, epi-zizanal, khusimone, metil zizanoat, metil epi zizanoate, junenol atau juniper camphor (Champagnant,dkk., 2008).

Dari beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah dilaporkan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam satu spesies yang sama, namun lokasi tumbuh berbeda, komposisi kimia yang dihasilkan cukup variatif. Hal ini disebabkan adanya hubungan kimiawi antara komponen kimia minyak atsiri dengan proses metabolisme sekunder yang terjadi dalam tanaman. Proses ini dipengaruhi oleh ekosistem dan tantangan alam seperti iklim, cuaca, dan kondisi tanah (Danha, 2009). Hasil penelitian terhadap minyak atsiri V.zizanioides yang berasal dari berbagai negara menunjukkan keberagaman struktur kimia yang sangat bervariasi, sehingga menarik perhatian untuk diteliti. Oleh sebab itu penelitian yang akan dilakukan terhadap tanaman akar wangi yang tumbuh di Indonesia ini akan mencoba mengungkapkan komponen kimia minyak atsirinya.

2.

Metode Penelitian

2.1

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, peralatan gelas seperti seperangkat alat hidrodestilasi, kotak uji bioaktivitas (microware), spatula, kaca arloji, mikropipet dan beberapa peralatan gelas yang lazim seperti, gelas piala, gelas ukur, erlenmeyer dan lain-lain. Instrumen lain yang digunakan adalah Kromatografi Gas-Spektrometer Massa

(3)

(KG-SM). Bahan-bahan yang diperlukan adalah pangkal akar bagian atas tumbuhan akar wangi ( Vetiveria zizanoides) (tipe A) dan akar bagian bawah Vetiveria zizanoides (tipe B) yang merupakan sampel pada penelitian ini. Tanaman akar wangi diambil dari lokasi tumbuh di Garut-Jawa Barat. Bahan-bahan lain yang digunakan antara lain sea salt, benih udang laut (Artemia salina), larva instart III nyamuk Aedes aegypty, Pelarut dan reagen yang digunakan meliputi : aquades (H2O) dan Natrium sulfat (Na2SO4) anhidrat), dimetil sulfoksida (DMSO) dan beberapa pelarut organik lainnya.

2.2

Prosedur Kerja

2.2.1 Preparasi dan Destilasi Sampel

Sampel tipe A dan tipe B dibersihkan, dikeringkan di bawah sinar matahari dan dirajang halus dan ditimbang masing-masing sebanyak 100 g r. Masing-masing sampel dimasukkan ke dalam labu destilasi dan dilakukan destilasi selama 8 jam.

Minyak atsiri hasil destilasi ditampung, dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer dan dimasukkan Natrium sulfat anhidrat sebagai agen pengering untuk menyerap aquades yang masih terdapat dalam minyak atsiri. Minyak atsiri yang telah dikeringkan dari air selanjutnya didekantasi dan dipindahkan ke dalam botol vial 5 ml. Masing-masing minyak atsiri yang diperoleh dihitung rendemennya dan diidentifikasi komponen penyusunnya secara Kromatogafi Gas Spektroskopi Massa (KG-SM). Pengujian bioaktivitas terhadap senyawa yang terkandung dalam akar tanaman Vetiveria zizainoides potensial sebagai anti larvarisda dan antibakteri. Komponen kimia minyak atsiri yang diperoleh diuji sifat bioaktivitasnya yang meliputi toksisitas terhadap larva udang (Artemia salina) dan toksisitas terhadap larva instar III Aedes aegypti dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).

2.2.2 Identifikasi Komponen

Minyak atsiri yang diperoleh diidentifikasi komponen penyusunnya menggunakan alat Kromatografi Gas-Spektrometer Massa (SM). Peralatan KG-SM yang digunakan adalah QP 2010S Shimadzu dengan kolom jenis : Rastek RXi-5MS (panjang

kolom 30 m dengan diameter 0,25 mm, ketebalan 0,25 µm ). Temperatur kolom diatur pada suhu 100°C selama 5 menit dan ditingkatkan 5°C/menit hingga suhu 290°C , kemudian dibiarkan selama 30 menit. Temperatur injektor dan sumber ion (EI pada 70 eV) dikondisikan masing-masing pada suhu 2500C dan 290°C. Gas pembawa yang digunakan adalah Helium (He) dengan kecepatan alir 0,5 ml/menit dengan rasio kecepatan 1:50. Range scan SM adalah m/z 28-600. Penentuan struktur senyawa dilakukan dengan menggunakan standart yang sudah diketahui dengan mencocokkan fragmentasi senyawa pada database library. Setiap puncak yang muncul dalam kromatogram memiliki waktu retensi yang berbeda-beda.

2.2.3 Uji Toksisitas

2.2.3.1. Uji Toksisitas dengan menggunakan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT).

Metode ini meliputi beberapa tahap,

yaitu :

Tahap 1: Pembiakan Larva Udang Artemia

salina L.

Sebanyak 100 m g telur udang laut (Artemia salina Leach) yang telah dibuahi dimasukkan ke dalam bejana yang berisi 300 ml air laut yang diambil dari Laut Kenjeran, Surabaya. Telur udang dibiarkan menetas dalam media air laut selama 1x24 jam sehingga berkembang menjadi larva yang siap digunakan sebagai hewan uji.

Tahap 2 : Prosedur uji Menggunakan Udang laut (Artemia salina L).

Masing-masing minyak atsiri tipe A dan tipe B diambil sebanyak 0,005 ml dan dilarutkan dalam 0,14 ml pelarut dimetil sulfoksida untuk larut sempurna. Selanjutnya larutan disuspensikan dalam aquades hingga volumenya menjadi 25 ml sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 2000 ppm. Larutan sampel kemudian diencerkan hingga konsentrasinya 1000; 500; 250; 125; 62,5 dan 31,25 ppm. Larutan kontrol dibuat dengan prosedur sama, tetapi tanpa menggunakan sampel. Masing-masing larutan dimasukkan ke dalam microware yang telah diisi dengan 20 ekor Artemia salina sebagai hewan uji. Untuk setiap konsentrasi

(4)

masing-masing dilakukan triplo. Prosedur untuk kontrol dilakukan dengan cara yang sama tanpa penambahan sampel. Hewan uji dibiarkan dalam larutan selama 1x24 jam, kemudian dihitung jumlah larva yang mati dan yang masih hidup dari tiap lubang. Persentase (%) kematian larva udang dihitung dengan perhitungan sebagai berikut:

Jumlah udang mati terakumulasi x 100 % Jumlah udang total

Grafik dibuat dengan log konsentrasi sebagai sumbu x t erhadap mortalitas sebagai sumbu y. Toksisitas dan aktivitas dilaporkan sebagai nilai LC50, yang menunjukkan kematian hewan uji pada setengah konsentrasi maksimal larutan uji. Nilai LC50 diperoleh dengan menggunakan persamaan regresi linier y = a + bx.

2.2.3.2. Uji Antilarvasida menggunakan Larva Instar III Nyamuk Aedes

aegypti

Metode ini sama perlakuannya seperti uji toksisitas secara BSLT, dimana hewan uji diganti dengan menggunakan larva instar III nyamuk Aedes aegypti. Larva yang digunakan adalah instar III yang didapatkan dari Laboratorium TDC-UNAIR.

3. Hasil dan Bahasan

Minyak atsiri bukanlah senyawa murni, akan tetapi merupakan campuran berbagai senyawa organik. Sebagian komponen penyusun minyak atsiri adalah senyawa yang mengandung karbon dan hidrogen, atau karbon, hidrogen, dan oksigen yang tidak bersifat aromatik. Masing-masing minyak atsiri V.zizanioides tipe A dan B yang dihasilkan dari proses distilasi berwarna kuning pucat dengan rendemen yang berbeda. Minyak tipe A menghasilkan rendemen 0,13 %) sedangkan minyak tipe B 0,82 %.

3.1 Analisa KG-SM minyak atsiri tipe A. Analisa KG-SM yang dilakukan terhadap minyak tipe A menghasilkan kromatogram seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1. dan Tabel 3.1. berikut:

Gambar 3.1. Kromatogram Minyak Atsiri A

Tabel 3.1. Waktu retensi dan luas puncak minyak atsiri tipe A

No. Waktu Retensi (menit) Luas Area(%)

1. 6,61 1,42 2. 7,93 0,48 3. 10,1 1,04 4. 11,07 1,73 5. 11,56 0,84 6. 12,22 0,93 7. 12,37 0,77 8. 12,42 0,57 9. 12,62 0,58 10. 12,72 2,05 11. 13,02 2,84 12. 13,1 1,11 13. 13,2 1,85 14. 13,29 1,78 15. 13,66 2,46 16. 13,88 1,60 17. 14,09 1,65 18. 14,28 4,96 19. 14,36 1,68 20. 14,75 2,34 21. 14,82 1,70 22. 14,99 3,63 23. 15,29 1,73 24. 15,78 10,63 25. 16,13 1,24 26. 16,33 4,33 27. 17,23 0,68 28. 17,64 1,29 29. 18,10 2,2 30. 18,23 1,27 31. 19,01 2,73 32. 19,39 1,07 % Mortalitas =

(5)

Data kromatogram di atas menunjukkan ada 32 puncak yang menunjukkan keberadaan 32 senyawa, dimana 21 senyawa sudah teridentifikasi, sedangkan 11 senyawa belum teridentifikasi, yakni puncak-puncak dengan nomor 2, 3, 5, 16, 17, 22, 23, 26, 28, 29, 32.

Puncak no.8 pada minyak atsiri tipe A memiliki waktu retensi 13,02 menit (2,84%). Spektrum massa puncak no.8 seperti Gambar 2., menunjukkan adanya puncak ion molekul pada m/z 204 (100%, puncak dasar), dan fragmen-fragmen pada m/z 105 (88,86%), 91 (86,51%), 119 (86,5%), 133 (86,4%).

Gambar 2. Spektrum Massa Puncak No.8

Melalui pembandingan dengan spektrum referensi (Willey), puncak nomor 8 ini memiliki kesamaan dengan spektrum massa senyawa α-Gurjunene dengan fragmentasi berikut :

CH3 CH3

Ion molekul [M+] : 204 m/z: 42 m/z: 15 m/z: 132 m/z: 15

(α-Gurjunene)

Melalui pendekatan metode yang sama, maka puncak no.12 dengan waktu retensi 13,66 menit dan waktu retensi 2,46% diindikasikan sebagai calarene dengan spektrum massa Gambar 3 di bawah ini. Spektrum massa senyawa calarene menunjukkan adanya puncak ion molekul m/z 204, dan puncak-puncak fragmentasi pada m/z 161 sebagai puncak dasar, 119 (68,88%), 105 ( 75,54%), 94 ( 49,43%) dan 91 (60,96%).

Gambar 3. Spektrum massa puncak no. 12

Dengan demikian senyawa pada puncak no.12 diduga sama dengan senyawa referensi yaitu calarene dengan fragmentasi sebagai berikut :.

Ion molekul [M+] : 204 m/z: 161 m/z: 43

(Calarene)

Spektrum massa puncak no.13 yang memiliki waktu retensi 14,28 menit dan luas area relatif 4,96% menunjukkan adanya puncak ion molekul m/z 222 da n puncak ion fragmen pada m/z 177 ( 70,72%), 150 (100%, puncak dasar), 131 (54,66%), 107 (48,2%), dan 91 (47,62%). Spektrum massa ini memiliki kesamaan dengan spektrum massa referensi senyawa α-Cedrol. Persamaan fragmentasi mengartikan bahwa kedua senyawa identik. Dengan demikian senyawa pada puncak no.13 diduga sama dengan senyawa referensi yaitu α-Cedrol dengan struktur berikut :

HO

(α-Cedrol)

Puncak no.15 yang memiliki waktu retensi 14,75 menit dan luas area 2,34 % melalui pembandingan dengan spektrum referensi (Willey) menunjukkan kemiripan dengan puncak senyawa aromadendrenepoxide dengan struktur berikut :

(6)

O

(aromadendrenepoxide)

Puncak no.21 yang memiliki waktu retensi 19,01 menit, luas puncak 2,73% memberikan spektrum massa dengan puncak ion molekul pada m/z 218 da n puncak dasar pada m/z 185 (100%). Puncak nomor 21 ini diindikasikan sebagai α-vetivone dengan struktur sebagai berikut :

O

(α-vetivone)

3.2 Analisa KG-SM minyak atsiri tipe B

Analisa komponen yang dilakukan

terhadap minyak atsiri tipe B memberikan

hasil kromatogram pada Gambar 3.2 dan

Tabel 3.2.

Gambar 3.2 Kromatogram Minyak Atsiri B

Tabel 3.2 Waktu retensi dan luas area minyak atsiri tipe B

No. Waktu Retensi

(menit) Luas Area(%)

1. 6,6 1,1 2. 7,99 0,22 3. 10,09 1,11 4. 11,06 1,91 5. 12,43 3,4 6. 12,86 0,71 7. 13,00 3,32 8. 13,09 1,17 9. 13,19 2,11 10. 13,28 1,90 11. 13,39 1,31 12. 13,57 3,67 13. 13,65 2,34 14. 13,86 1,76 15. 14,08 1,67 16. 14,27 6,43 17. 14.35 2,2 18. 14,64 1,59 19. 14,73 3,72 20. 14,81 1,81 21. 14,97 4,04 22. 15,28 2,46 23. 15,74 12,73 24. 16,03 1,25 25. 16,31 5,38 26. 18,08 2,30 27. 18,22 0,53 28. 18,98 1,68

Data kromatogram di atas menunjukkan ada 28 puncak yang mengindikasikan adanya 28 senyawa yang terdapat dalam minyak atsiri tipe B. Dari 28 puncak ini, ada 17 senyawa yang sudah teridentifikasi sementara 11 senyawa belum teridentifikasi yakni puncak-puncak nomor 3, 11, 14, 15, 17, 18, 19, 21, 22, 24, 26.

Puncak no.4 yang memiliki waktu retensi 12,43 m enit (3,4 %) memberikan spektrum massa dengan puncak ion molekul pada m/z 204 (73,79%), 174 (65,47%), 161 (100%, puncak dasar), 105 (62,16%) dan 79 (62,67%).

Puncak fragmen yang diberikan

mirip dengan senyawa valencene seperti

yang diberikan oleh spektrum referensi

(Willey) sehingga puncak nomor 4 i ni

(7)

disarankan sebagai senyawa valencene

berikut

:

(Valencene)

Puncak no.6 y ang memiliki waktu retensi 13,00 menit dan luas area 3,32% memberikan puncak puncak pada m/z 204 ( ion M +), 189, 174, 161, 148 , 133, 119, da n 105 (puncak dasar). Spektrum massa yang diberikan mirip dengan senyawa α-Gurjunene yang memberikan puncak fragmen pada m/z 204 (ion M +), 189, 174, 161, 148 , 133, 119, da n 105 (puncak dasar). Dengan demikian puncak nomor 6 ini diindikasikan sebagai α-Gurjunene dengan struktur sebagai berikut :

(α-Gurjunene)

Puncak nomor 10, melalui pembandingan dengan cara yang sama, maka puncak no.10 dapat diidentifikasi sebagai 7-epi-α-Cadinene dengan struktur berikut :

(

7-epi-α-Cadinene

)

Spektrum massa senyawa pada puncak

no.12 memiliki kesamaan dengan spektrum

massa

referensi

senyawa

α-Cedrol.

Persamaan fragmentasi mengartikan bahwa

kedua senyawa identik. Dengan demikian

senyawa pada puncak no.12 diduga sama

dengan senyawa referensi yaitu α-Cedrol

seperti struktur berikut :

HO

(

α-Cedrol)

Spektrum massa puncak no.14 menunjukkan adanya puncak ion molekul pada m/z 202, 189 (100%, puncak dasar), 148, 131 dan 119 dan 91. Melalui pembandingan dengan spectrum referensi (Willey), menunjukkan adanya kesamaan spektrum senyawa dengan struktur seperti berikut :

(dehydroaromadendrene)

Puncak nomor 15 melalui pembandingan dengan spektrum referensi (Willey) dapat diidentifikasi sebagai valerenol, dengan struktur berikut :

OH

(valerenol)

Berdasarkan hasil identifikasi diketahui komponen penyusun minyak atsiri V.zizainoides tipe A dan B diperoleh data seperti Tabel 3 berikut :

(8)

Tabel 3.3 Komponen Senyawa Penyusun Minyak Atsiri tipe A dan B

Puncak Senyawa A Luas Area (%) Senyawa B

No. Tipe A Tipe B

1. 6-n-butyl- 1,2,3,4-Tetrahydronaph thalene 1,42 1,1 6-n-butyl- 1,2,3,4-Tetrahydron aphthalene 2. unknown 0,48 0,22 khusimene 3. unknown 1,04 1,11 unknown 4. β-eudesmol 1,73 1,91 β-eudesmol 5. unknown 0,84 3,4 valencene 6. valencene 0,93 0,71 juniphene 7. α-longipinene 0,77 3,32 α-gurjunene 8. epizonarene 0,57 1,17 γ-cadinene 9. eremophilene 0,58 2,11 aromadendre ne 10. allo-aromadendrene 2,05 1,90 β-guaiene 11. α-gurjunene 2,84 1,31 unknown 12. γ-cadinene 1,11 3,67 7-epi-α-cadinene 13. aromadendrene 1,85 2,34 (-)-isoledene 14. α-elemene 1,78 1,76 unknown 15. calarene 2,46 1,67 unknown 16. unknown 1,60 6,43 α-cedrol 17. unknown 1,65 2,2 unknown 18. α-cedrol 4,96 1,59 unknown 19. vulgarone B 1,68 3,72 unknown 20. aromadendrene poxide 2,34 1,81 vulgarol B 21. β-elemenone 1,70 4,04 unknown 22. unknown 3,63 2,46 unknown 23. unknown 1,73 12,73 dehydroaro madendrene 24. dehydroaromad endrene 10,63 1,25 unknown 25. 9,10-dehydro-isolongifolene 1,24 5,38 valerenol 26. unknown 4,33 2,30 unknown 27. solavetivone 0,68 0,53 nootkatone 28. unknown 1,29 1,68 α-vetivone 29. unknown 2,2 30. nootkatone 1,27 31. α-vetivone 2,73 32. unknown 1,07

Berdasarkan analisis KG-SM, komposisi minyak atsiri V.zizanoides kaya akan kandungan seskuiterpene. Komponen utama minyak atsiri A adalah dehydroaromedendrene (10,63 %), cedrol (4,96 %), gurjunene (2,84 %), α-vetivone (2,73 %), calarena (2,46 %), arromadendreneepoxide (2,34 %).

Komponen utama minyak atsiri B diantaranya dehydroaromedendrene (12,79 %), α-cedrol (6,43 %), valerenol (5,38 %), 7-epi-Cadinene (3,67 %), Valencene (3,4 %), α-gurjunene (3,32 %) .. Hasil identifikasi ini sesuai dengan data literatur Willey 229.

Tumbuhan dalam satu spesies memiliki biogenetik yang sama sedangkan dalam penelitian ini dilakukan variasi pada bagian sampel yaitu akar bagian atas (A) dan akar bagian bawah (B) dalam satu spesies yang sama yaitu Vetiveria zizanoides (akar wangi) yang tumbuh di Garut-Jawa Barat.. Puncak area pada kromatogram menunjukkan prosentase senyawa dalam minyak atsiri. Berdasarkan hasil identifikasi kromatogram minyak atsiri tipe A dan B yang dihasilkan, komponen mayor minyak atsiri tipe A yaitu dehydroaromedendrene memiliki prosentase yang lebih kecil (10,63 %) jika dibandingkan dengan minyak atsiri tipe B (12,79 %).

Senyawa mayor yang terkandung pada Vetiveria zizanioides A dan B memiliki kandungan kimia yang sama dengan V. zizanioides dari Perancis, Italia, India, Jepang, Angola, dan Haiti. Senyawa mayor nootkatone pada V. zizanioides A dan B, juga ditemukan pada V. zizanioides dari Haiti dan Italia. Senyawa mayor guaiene dalam V. zizanioides B ditemukan pada V. zizanioides dari Italia namun tidak ditemukan pada V. zizanioides A, khusimene di V. zizanioides B ditemukan pada V. zizanioides dari India, namun tidak ditemukan di V.zizanioides B. Senyawa mayor eremophilene yang ditemukan pada V.zizanioides Italia dan α-Cadinene di V. zizanioides India, ditemukan juga pada V. zizanioides A dan B dalam jumlah minor. Dari beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah dilaporkan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam satu spesies yang sama, namun berbeda bagian sampel yang digunakan maka senyawa yang terdapat di dalamnya juga berbeda. Hal ini karena metabolisme pada masing-masing

(9)

jaringan suatu tanaman berbeda-beda, sehingga senyawa yang terkandung di dalamnya juga berbeda.

3.3 Uji Toksisitas dengan metode BSLT) 3.3.1 Minyak atsiri tipe A.

Pengujian bioaktivitas minyak atsiri tipe A dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) didapatkan hasil pengamatan mortalitas udang (Artemia salina L.) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Larva Artemia salina L. yang mati dalam minyak atsiri tipe A

Konsentrasi Hidup Rata-rata Mati Rata-rata

(ppm) 1 2 3 Hidup 1 2 3 Mati 1000 0 0 0 0 10 10 10 10 500 0 1 1 1 10 9 9 9 250 4 3 4 4 6 7 6 6 125 6 5 7 6 4 5 3 4 62.5 8 7 8 8 2 3 2 2 31.25 9 9 8 9 1 1 2 1 Blanko 10 10 10 10 0 0 0 0

Berdasarkan data yang diperoleh di atas, maka hidup terakumulasi, mati terakumulasi dan % mortalitas udang (Artemia salina L.) dapat dihitung. Pada konsentrasi 1000 ppm, jumlah mati terakumulasi diperoleh dari jumlah udang yang mati pada konsentrasi 1000; 500; 250; 125; 62,5; dan 31,25 ppm yaitu 32. Pada konsentrasi 500 ppm, jumlah mati terakumulasi diperoleh dengan menambahkan jumlah udang yang mati pada konsentrasi 500; 250; 125; 62,5 dan 31,25 ppm yaitu 22. Sedangkan pada konsentrasi 250 ppm jumlah udang yang mati adalah 7, sehingga mati terakumulasinya adalah 13. Perhitungan ini berlaku untuk konsentrasi-konsentrasi selanjutnya. Hidup terakumulasi diperoleh dengan cara yang sama, tetapi dihitung dari konsentrasi yang paling tinggi. Dengan demikian persen mortalitas pada tiap konsentrasi dapat dihitung (Tabel 3.5).

Tabel 3.5 Persentase (%) mortalitas udang dalam minyak atsiri tipe A

Konsen trasi (ppm) (log konse ntrasi) (x) Mati akum ulasi( A) Hidup akumul asi (B) Mati akumul asi pada kontrol (C) Jumlah Total (D=A+ B) Ratio mati total (E)={ (A-C):D} % Morta litas (y) 1000 3.0000 32 0 0 32 1 100 500 2.6990 22 1 0 23 0.956 95.6 250 2.3979 13 5 0 18 0.722 72.2 125 2.0969 7 11 0 18 0.388 38.8 62.5 1.7959 3 19 0 22 0.136 13.6 31.25 1.4949 1 28 0 29 0.034 3.4

Tabel 3.4 dan 3.5 di atas menunjukkan bahwa jumlah udang (Artemia salina L.) yang mati semakin banyak dengan semakin besarnya konsentrasi larutan uji. Berdasarkan Tabel 3.5 di atas dibuat grafik hubungan antara (log konsentrasi) dengan % mortalitas udang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Grafik hubungan antara (log konsentrasi) dengan % mortalitas udang laut

pada minyak atsiri tipe A

Persamaan regresi polinomial yang diperoleh dari grafik tersebut adalah y = 72,336x – 108,6. Berdasarkan persamaan regresi polinomial tersebut, dapat dihitung nilai LC50 larutan uji. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa minyak atsiri tipe A memiliki nilai LC50 sebesar 155,78 ppm.

3.3.2 Minyak atsiri tipe B.

Pengujian bioaktivitas minyak atsiri tipe B dengan metode BSLT didapatkan hasil pengamatan mortalitas udang (Artemia salina L.) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.6.

(10)

Tabel 3.6. Jumlah larva Artemia salina L. yang mati dalam minyak atsiri tipe B

Konsentrasi Hidup Rata-rata Mati Rata-rata

(ppm) 1 2 3 Hidup 1 2 3 Mati 1000 0 0 0 0 10 10 10 10 500 0 1 1 1 10 9 9 9 250 2 3 3 3 8 7 7 7 125 4 4 3 4 6 6 7 6 62.5 6 6 5 6 4 4 5 4 31.25 8 9 9 9 2 1 1 1 blanko 10 10 10 10 0 0 0 0

Berdasarkan data yang diperoleh di atas, maka hidup terakumulasi, mati terakumulasi dan % mortalitas udang (Artemia salina L.) dapat dihitung yang hasilnya seperti dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7. Persentase (%) mortalitas udang dalam minyak atsiri tipe B

Konsen trasi (ppm) (log konsent rasi)(x) Mati akum ulasi( A) Hidup akumul asi (B) Mati akumu lasi pada kontrol (C) Jumlah Total (D=A+ B) Ratio mati total (E)={( A-C):D} % Mort alitas (y) 1000 3.0000 37 0 0 37 1 100 500 2.6990 27 1 0 28 0.964 96.4 250 2.3979 18 4 0 22 0.818 81.8 125 2.0969 11 8 0 19 0.579 57.9 62.5 1.7959 5 14 0 19 0.263 26.3 31.25 1.4949 1 23 0 24 0.042 4.2

Berdasarkan Tabel 3.6 dan 3.7 menunjukkan bahwa jumlah udang (Artemia salina L.) yang mati semakin banyak dengan semakin besarnya konsentrasi larutan uji. Berdasarkan Tabel 3.7 di atas dibuat grafik hubungan antara log konsentrasi dengan % mortalitas udang seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Grafik hubungan antara log konsentrasi dengan % mortalitas udang laut pada

minyak atsiri tipe B

Persamaan regresi polinomial yang diperoleh dari grafik tersebut adalah y = 67,713x - 91,076. Berdasarkan persamaan regresi polinomial tersebut, dapat dihitung nilai LC50 larutan uji. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa minyak atsiri tipe B memiliki nilai LC50 sebesar 193,20ppm.

Suatu senyawa dikatakan aktif pada uji toksisitas menggunakan metode BSLT dengan konsentrasi maksimal yang digunakan 1000 ppm, jika memiliki harga LC50 ≤ 500 ppm dan dikatakan tidak aktif jika memiliki harga LC50 > 500 ppm, sedangkan senyawa murni dikatakan aktif dan mempunyai sifat bioaktivitas jika memiliki harga LC50 ≤ 200 ppm dan tidak aktif jika LC50 > 200 ppm (Meyer dan Ferrigini, 1982). Minyak atsiri tipe A dan minyak atsiri tipe B mempunyai nilai LC50 ≤ 500 ppm yaitu 155,7758 ppm dan 193,1962 ppm . Hasil ini menunjukkan bahwa kedua minyak atsiri (tipe A dan B) bersifat aktif secara biologi (toksik), namun minyak atsiri tipe A bersifat lebih aktif dibandingkan dengan minyak atsiri tipe B. 3.4 Uji Insektisida Menggunakan Larva

Instar III Nyamuk Aedes aegypti

Uji insektisida menggunakan larva instar III nyamuk Aedes aegypti dilakukan terhadap minyak atsiri hasil destilasi dari spesies V. zizanioides (tipe A) dan V. zizanioides (tipe B). Konsentrasi larutan yang digunakan pada uji ini bervariasi, yaitu sebesar 1000 ppm, 500 ppm, 250 ppm, 125 ppm , 62,5 ppm dan 31,25 ppm . Pengamatan dilakukan setelah larva instar III nyamuk Aedes aegypti kontak dengan larutan uji selama 1x24 jam.

(11)

3.4.1 Uji Insektisida Minyak Atsiri Tipe A Uji insektisida minyak atsiri tipe A didapatkan hasil pengamatan seperti ditunjukkan pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8. Jumlah larva A.aegypti yang mati dalam larutan uji minyak atsiri tipe A

Konsentrasi Hidup Rata-rata Mati Rata-rata

(ppm) 1 2 3 Hidup 1 2 3 Mati 1000 0 0 0 0 10 10 10 10 500 2 2 1 2 8 8 9 8 250 4 4 3 4 6 6 7 6 125 6 7 6 6 4 3 4 4 62.5 9 8 8 8 1 2 2 2 31.25 9 9 8 9 1 1 2 1 blanko 10 10 10 10 0 0 0 0

Berdasarkan data yang diperoleh di atas, maka hidup terakumulasi, mati terakumulasi dan % mortalitas larva A.aegypti dapat dihitung. Pada konsentrasi 1000 ppm, jumlah mati terakumulasi 31. Pada konsentrasi 500 ppm, mati terakumulasi 21. Sedangkan pada konsentrasi 250 ppm, mati terakumulasi sebanyak 13. Perhitungan ini berlaku untuk konsentrasi-konsentrasi selanjutnya. Hidup terakumulasi diperoleh dengan cara yang sama, tetapi dihitung dari konsentrasi yang paling tinggi yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9. Persentase (%) mortalitas larva A.aegypti dalam minyak atsiri tipe A

Konse ntrasi (ppm) log konse ntrasi (x) Mati akum ulasi (A) Hidup akumu lasi (B) Mati akumula si pada kontrol (C) Jumlah total (D=A+ B) Ratio mati total (E)={( A-C):D} % Mort alitas (y) 1000 3.0000 31 0 0 31 1,00 100 500 2.6990 21 2 0 23 0,91 91.3 250 2.3979 13 6 0 19 0,68 68.4 125 2.0969 7 12 0 19 0,36 36.8 62.5 1.7959 3 20 0 23 0,13 13.0 31.25 1.4949 1 29 0 30 0,03 3.33

Berdasarkan Tabel 3.8 dan 3.9 menunjukkan bahwa larva A.aegypti yang mati semakin banyak dengan semakin besarnya konsentrasi larutan uji. Berdasarkan Tabel 3.9 di atas dibuat grafik hubungan antara log

konsentrasi dengan % mortalitas udang seperti ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Grafik hubungan antara log konsentrasi dengan % mortalitas larva instar III

nyamuk A.aegypti pada minyak atsiri A.

Persamaan regresi polinomial yang

diperoleh dari grafik tersebut adalah

y= 71,155x-107,76.

Berdasarkan persamaan

regresi polinomial tersebut, dapat dihitung

nilai LC

50

larutan uji. Hasil perhitungan

menunjukkan bahwa minyak atsiri tipe A

memiliki nilai LC

50

sebesar

164,87

ppm.

3.4.2 Uji Insektisida Minyak Atsiri Tipe B

Uji insektisida minyak atsiri tipe B didapatkan hasil pengamatan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.10.

Tabel 3.10. Jumlah larva A.aegypti yang mati pada larutan uji minyak atsiri tipe B

Konsentrasi Hidup Rata-rata Mati Rata-rata

(ppm) 1 2 3 Hidup 1 2 3 Mati 1000 0 0 0 0 10 10 10 10 500 2 3 2 2 8 7 8 8 250 4 3 4 4 6 7 6 6 125 7 6 8 7 3 4 2 3 62.5 8 7 8 8 2 3 2 2 31.25 9 10 9 9 1 0 1 1 blanko 10 10 10 10 0 0 0 0

Berdasarkan data yang diperoleh di atas, maka hidup terakumulasi, mati terakumulasi dan % mortalitas larva A.aegypti dapat dihitung, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.11.

(12)

Tabel 3.11. Persentase (%) mortalitas larva A.aegypti dalam larutan uji minyak atsiri tipe B

Konse ntrasi (ppm) (log konse ntrasi) (x) Mati akum ulasi( A) Hidup akum ulasi (B) Mati akumula si pada kontrol (C) Jumlah Total (D=A+ B) Ratio mati total (E)={( A-C):D} % Mort alitas (y) 1000 3.0000 30 0 0 30 1.0 100 500 2.6990 20 2 0 22 0.909 90.9 250 2.3979 12 6 0 18 0.667 66.7 125 2.0969 6 13 0 19 0.315 31.5 62.5 1.7959 3 21 0 24 0.125 12.5 31.25 1.4949 1 30 0 31 0.032 3.22

Berdasarkan Tabel 3.10 dan 3.11 menunjukkan bahwa larva A.aegypti yang mati semakin banyak dengan semakin besarnya konsentrasi larutan uji. Berdasarkan Tabel 3.11 di atas dibuat grafik hubungan antara log konsentrasi dengan % mortalitas udang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6. Grafik hubungan antara log konsentrasi dengan % mortalitas larva instar III

nyamuk A.aegypti dalam minyak atsiri B. Persamaan regresi polinomial yang diperoleh dari grafik tersebut adalah

y =

71,581x – 110,06.

Berdasarkan persamaan regresi polinomial tersebut, dapat dihitung nilai LC50 larutan uji. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa minyak atsiri tipe B memiliki nilai LC50 sebesar 172,19 ppm.

Suatu senyawa campuran dikatakan aktif pada uji toksisitas menggunakan metode BSLT dengan konsentrasi maksimal yang digunakan 1000 ppm, jika memiliki harga LC50 ≤ 500 ppm dan dikatakan tidak aktif jika memiliki harga LC50 > 500 ppm. (Meyer dan Ferrigini, 1982). Minyak atsiri tipe A dan minyak atsiri tipe B mempunyai nilai LC50 ≤

500 ppm yaitu 164,8656 ppm dan 172,1869 ppm. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua minyak atsiri (tipe A dan B) bersifat aktif secara biologi atau bersifat toksik terhadap larva nyamuk, namun minyak atsiri tipe A bersifat lebih aktif dibandingkan dengan minyak atsiri tipe B. Minyak atsiri tersusun dari berbagai senyawa organik. Senyawa-senyawa tersebut ada yang bersifat aktif dan tidak aktif. Nilai LC50 tersebut dapat digunakan untuk mengetahui urutan aktivitas kedua minyak tersebut. Minyak atsiri tipe A memiliki nilai LC50 yang lebih kecil jika dibandingkan dengan minyak atsiri tipe B. Sifat toksik dari minyak atsiri umumnya dipengaruhi oleh kompenen mayornya. Menurut penelitian terdahulu oleh Handerson, dkk, komponen mayor minyak atsiri V. zizanioides yang berperan sebagai senyawa toksik adalah nootkatone. Senyawa ini merupakan senyawa toksik bagi serangga, nyamuk, rayap dan juga mikrobakteri. Perbedaan nilai LC50 ini disebabkan prosentase luas area yang berbeda dari komponen mayor masing-masing spesies. Luas area senyawa nootkatone pada minyak atsiri tipe A (1,27 %) lebih besar dibandingkan dengan minyak atsiri tipe B (0,53 %). Ada kemungkinan, senyawa nootkatone inilah yang memberikan dasar, kenapa minyak atsiri tipe A lebih aktif dibandingkan dengan minyak atsiri tipe B.

4. Kesimpulan

Minyak atsiri akar wangi (V.zizanoides) tipe A dan B dapat diperoleh dengan metode hidrodistilasi pada suhu 100 °C selama 8 jam. Minyak atsiri yang diperoleh berwarna kuning kecoklatan dengan aroma yang sangat kuat pada minyak A sedangkan pada minyak B kuning jernih dan berbau segar. Minyak atsiri V.zizanoides B memiliki rendemen lebih besar (0,82 %) daripada V.zizanoides A (0,13 %).

Senyawa mayor V.zizanoides A dan B, dalam satu spesies yang sama dan dalam lokasi tumbuh yang sama memiliki beberapa kandungan kimia yang berbeda. Komponen utama minyak atsiri A adalah dehydroaromedendrene (10,63 %), α-cedrol (4,96 %), α-gurjunene (2,84 %), α-vetivone (2,73 %), calarena (2,46 %), arromadendreneepoxide (2,34 %). Komponen utama minyak atsiri B diantaranya

(13)

dehydroaromedendrene (12,79 %), α-cedrol (6,43 %), valerenol (5,38 %), 7-epi-α-Cadinene (3,67 %), valencene (3,4 %), α-gurjunene (3,32 %). Senyawa mayor yang terkandung dalam Vetiveria zizanioides A dan B memiliki kandungan kimia yang sama dengan V. zizanioides dari Perancis, Italia, India, Jepang, Angola, dan Haiti.

Aktivitas toksisitas yang dilakukan dengan metode BSLT, menunjukkan bahwa minyak atsiri tipe A lebih aktif dibandingkan dengan minyak tipe B. Demikian pula halnya dengan aktivitas toksisitas menggunakan larva instar III Aedes aegypti, menunjukkan bahwa minyak atsiri tipe A lebih aktif sebagai insektisida dibandingkan dengan minyak tipe B.

Saran

Penelitian lebih lanjut disarankan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri dengan distilasi fraksinasi untuk mendapatkan senyawa murni. Perolehan senyawa murni diharapkan untuk dapat mengetahui perannya sebagai antimikroba dan larvasida.

Daftar Pustaka

Adams, Robert P., Mitiku Habte, Sunghun Park, Mark R. Dafforn, 2004 , Preliminary comparison of vetiver root essential oils from cleansed (bacteria- and fungus-free) versus non-cleansed (normal) vetiver plants. Biochemical Systematics and Ecology, 32 (2004) 1137–1144.

Champagnat,P,., Annie H., Andre´e C., Didiet F., Andre P.C., Jean L.L., 2008. Flavonoids from Vetiveria zizanioides and Vetiveria nigritana (Poaceae). Biochemical Systematics and Ecology, 36, 68-70.

Danha, L.T., Mamucari ., Truog, P., Foester,N., 2009. Response surface method applied to supercritical carbon dioxide extraction of Vetiveria zizanioides essential oil. Engineering Journal, 155, 617-626. .

Guenther, E. 2006. Minyak Atsiri. Jilid III. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Henderson,G., Mao, L., Vaugn,J.A., 2006.

Vetiver oil and nootkatone effects on the growth of pea and citrus. Industrial Crops and Products, 23,327–332. Massardo,C., Annie H., Andre´e C., Didiet F.,

Andre P.C., Jean L.L., 2008. Flavonoids from Vetiveria zizanioides and Vetiveria nigritana (Poaceae), Biochemical Systematics and Ecology, 36, 68- 70. Sell,C.S., 2003. A Fragrant Introduction to

Terpenoid Chemistry. The Royal Society of Chemistry, Thomas Graham House, Cambridge, UK.

Referensi

Dokumen terkait

Karena daya serap rata-rata kelas dengan pembelajaran fisika melalui pendekatan open-ended dalam kategori efektif dan memiliki nilai persentase lebih besar daripada daya

dilakukan dengan menentukan tujuan awal, penggunaan Computer Assisted Instruction , target yang akan dicapai dan refleksi yang dilihat dari nilai kognitif

Tujuan penulis mengangkat topik ini adalah untuk memberikan penjelasan bagaimana dan apa yang dimaksud dengan slide, serta memberikan penjelasan tentang cara menerapkan

mahasiswa akan berusaha untuk menumbuhkembangkan sikap dan kepribadian sebagai seorang pendidik, memiliki sikap dewasa dalam bertindak dan berpikir serta disiplin

Jika tegangan geser yang bekerja lebih kecil dari pada tegangan geser yang diizinkan maka jarak sengkang/begel dapat diatur menurut peraturan beton dengan jarak

Dalam usaha untuk lebih memahami berbagai fungsi sistem saraf enterik gastrointestinal, para Dalam usaha untuk lebih memahami berbagai fungsi sistem saraf enterik gastrointestinal,

Pelaksanaan strategi ini dapat dilaksanakan melalui kegiatan evaluasi dan peningkatan alokasi anggaran pendidikan kreatif untuk pengembangan lembaga pendidikan