• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI PETANI TERHADAP BANJIR DI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN KENDAL DAN KABUPATEN DEMAK, PROVINSI JAWA TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI PETANI TERHADAP BANJIR DI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN KENDAL DAN KABUPATEN DEMAK, PROVINSI JAWA TENGAH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI PETANI TERHADAP BANJIR DI LAHAN SAWAH:

STUDI KASUS DI KABUPATEN KENDAL DAN KABUPATEN

DEMAK, PROVINSI JAWA TENGAH

(Farmer Perception toward Flood on Paddy Field :Case Study

in Kendal Regency and Demak Regency, Central Java Province)

Oleh/by:

Sri Hartini 1, M. Pramono Hadi 2, Sudibyakto 2, Aris Poniman 3

1

Peneliti Madya Bidang Geografi, Badan Informasi Geospasial 2

Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada 3

Professor Riset Bidang Penginderaan Jauh, Badan Informasi Geospasial email : shartini2001@yahoo.com

Diterima (received): 21 Maret 2012; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 21 Mei 2012 ABSTRAK

Ancaman banjir pada lahan sawah dapat menyebabkan berkurangnya luas panen dan produksi beras. Banjir genangan di wilayah pantura Jawa Tengah ini disebabkan oleh tingginya curah hujan dan/atau pasang air laut (rob). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi petani terhadap banjir genangan pada lahan sawah. Persepsi masyarakat petani yang digali mencakup persepsi mengenai kejadian banjir pada lahan sawah baik yang disebabkan karena hujan atau rob, atau gabungan antara keduanya, dan dampaknya terhadap produksi padi. Persepsi petani merupakan dasar perilaku adaptasi yang dilakukan petani. Adaptasi mencakup segala usaha yang dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi risiko, dari risiko pengurangan produksi padi hingga hilangnya seluruh lahan sawah karena tergenang secara permanen. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan observasi lapangan dan wawancara, dengan sampel terpilih dan terbatas pada petani di wilayah yang terkena banjir. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa petani di wilayah penelitian telah melakukan adaptasi guna mengurangi risiko kerugian karena banjir sesuai dengan persepsi dan kapasitasnya yang diwujudkan dalam pembangunan infrastruktur penahan banjir dan/atau modifikasi bentuk pola tanam.

Kata Kunci: Sawah, Banjir Genangan, Persepsi ABSTRACT

Flood inundation over the paddy field threatens the rice production by degrading the harvest area and rice production. Flood inundation in the area of study occurs due to high rainfall and/or sea water tide. This research aims to study farmers’ perception towards the flood inundation over the paddy field. Farmers’ perception investigated includes perception towards the occurrences of flood inundation resulted from rainfall and/or sea water tide and the impact to the rice production. The farmers’ perception is the based of farmers adaptation behaviour. Meanwhile, the adaptation investigated includes any efforts that have been carried out to reduce the risks, from the reduction of rice production into the lost of paddy field due permanent inundation. This research carried out by doing field observation and interview, with sample selected purposively inclusively to farmers in the flooded area. The result shows that the farmers have been performed adaptation based on their perception and capacity by building flood control and modification of crop calendars.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pulau Jawa merupakan wilayah sentra produksi beras nasional yang secara konsisten memberikan kontribusi pada produksi padi secara nasional di atas 50% yaitu antara 59% pada tahun 1993 dan menurun menjadi 55% pada tahun 2010 (BPS, 2012). Sebagian besar dari produksi beras nasional tersebut merupakan hasil produksi padi sawah. Sebagai gambaran, pada tahun 2009 dari total luas panen padi sebesar 12,8 juta ha, dengan produksi padi sebesar 64,4 juta ton, dihasilkan dari lahan sawah sebesar 11,79 juta ha, sedangkan luas ladang hanya mencapai 1,08 juta ha.

Namun demikian, sebagian dari lahan sawah ini berada pada wilayah rawan banjir. Ancaman banjir pada lahan sawah dapat menyebabkan berkurangnya luas panen dan produksi beras. Bappenas (2010) melaporkan, luas sawah rawan banjir/genangan di Pulau Jawa mencapai 1.084.217 ha (30,3%), dan yang sangat rawan mencapai 162.622 ha (4,5%). Sementara itu, Laporan Ditlin Tanaman Pangan (2007) dalam Bappenas (2010) menyebutkan bahwa luas sawah yang terkena banjir selama 16 tahun (1991-2006) di Indonesia berfluktuasi dengan rata-rata luas kerusakan lahan 37.977-32.826 ha, dan yang mengalami puso 5.707-138.227 ha. Penyebaran lahan sawah rawan banjir dari yang terluas secara berturut-turut adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, dan D.I. Yogyakarta.

Sebagian dari lahan sawah rawan banjir di Provinsi Jawa Tengah berada di wilayah pantai utara (pantura) Jawa Tengah. Kemampuan adaptasi terhadap bahaya banjir merupakan kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dari bencana banjir dengan cara mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil

dilakukan secara perseorangan maupun berkelompok dalam cakupan wilayah tertentu dan merupakan hasil kolaborasi antara pengalaman dan pengetahuan teknis. Pola adaptasi yang sudah ada di masyarakat hendaknya dapat terdoku-mentasikan dengan baik sehingga dapat menjadi suatu informasi yang berguna bagi para petani dalam menghadapi banjir. Petani diharapkan dapat memiliki akses ke informasi dan sarana yang tepat sehingga mereka akan dapat melakukan sendiri adaptasi yang dibutuhkan (Hartini, et.al., 2010).

Menurut Wajih (2009), ada enam faktor utama yang membantu masyarakat di Uttar Pradesh Timur, Nepal dalam mengembangkan pertanian yang adaptif terhadap banjir yaitu melalui intensifikasi, diversifikasi, tambahan nilai, pengetahuan teknis lokal, pemasaran, pengelolaan daur tanaman. Penerapan bentuk adap-tasi tersebut biasanya terkait dengan kebutuhan dan kondisi para petani, semakin buruk kondisi petani, semakin besar kemungkinan mereka menerapkan pola adaptasi. Faktor-faktor yang mem-pengaruhi kemampuan adaptif masya-rakat, yaitu: (a) keadaan sumber daya alam di daerah tersebut; (b) sistem penghidupan dan kesempatan pada tingkat lokal; (c) kesempatan mendatang-kan pendapatan di daerah sekitar; (d) infrastruktur, layanan, dan fasilitas fisik dasar (misalnya jalan, perumahan, dan air minum) pada tingkat lokal; (e) kepekaan sosio-ekonomi dan gender di daerah tersebut; (f) akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan, serta (g) keberadaan jejaring sosial dalam masya-rakat maupun dengan pemerintah dan organisasi sektor formal seperti bank, badan pemerintah, dan organisasi relawan.

Penelitian ini dilakukan untuk menge-tahui persepsi dan adaptasi yang dilakukan oleh petani terhadap banjir genangan pada lahan sawah di sebagian pantai utara Jawa Tengah. Kejadian dan

(3)

telah dilakukan antara lain oleh Marfai (2003). Sementara, penelitian mengenai adaptasi masyarakat terhadap banjir telah banyak dilakukan, meskipun bukan mengenai banjir genangan pada lahan sawah (Marschiavelli, 2008; Suryanti, et.al, 2008; Marfai, et.al., 2011; Dewi, 2011; Maemunnah et.al., 2011 dan Harwitasari et.al., 2011). Dari beberapa penelitian ini dapat diketahui bahwa masyarakat secara umum telah melakukan upaya-upaya adaptasi. Meskipun adaptasi yang dilakukan tidak sampai pada pengambilan keputusan untuk berpindah tempat tinggal, sebagian masyarakat telah mengubah profesinya.

Berbeda dengan penelitian yang terdahulu, penelitian ini dilakukan untuk menggali persepsi masyarakat petani yang mencakup persepsi mengenai bahaya banjir yang terjadi pada lahan sawah baik yang disebabkan karena hujan atau pasang naik air laut. Persepsimengenai bahaya banjir yang digali mencakup persepsi mengenai kecenderungan peru-bahan pada kejadian banjir dalam hal penyebab, frekuensi kejadian dan dampak-nya terhadap produksi padi. Adaptasi yang dilakukan petani mencakup segala usaha yang dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi risiko yang terjadi, dari risiko yang terkecil seperti pengurangan produksi padi hingga risiko yang terbesar yaitu hilangnya seluruh pendapatan karena lahan sawah sudah tidak bisa ditanami padi secara permanen dan harus dikonversi ke penggunaan lainnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali persepsi masyarakat petani yang tinggal di wilayah banjir di pantura Jawa Tengah terhadap bahaya banjir dan adaptasi yang dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi risiko banjir yang terjadi pada lahan sawah melalui pengamatan lapangan dan wawancara dengan petani.

METODE PENELITIAN

Data mengenai bahaya banjir dan persepsi masyarakat serta adaptasi petani terhadap banjir genangan yang terjadi pada lahan sawah di wilayah pantai utara Jawa Tengah diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara dengan petani dan tokoh masyarakat petani. Observasi dan wawancara telah dilakukan di Kabupaten Kendal, Kota Semarang dan Kabupaten Demak pada bulan April 2012. Wawancara dilakukan berdasarkan kuesi-oner yang telah disusun. Sebaran lokasi sampel dapat dilihat pada Gambar 1. Responden yang diwawancarai adalah petani yang tinggal dan menggarap lahan sawah di wilayah yang terkena banjir genangan, baik yang disebabkan karena hujan, rob, atau gabungan antara hujan dan rob.

Pengamatan lapangan dan wawancara ini merupakan kegiatan penelitian penda-huluan yang dimaksudkan untuk menda-patkan gambaran umum mengenai persepsi dan adaptasi masyarakat petani terhadap permasalahan banjir genangan pada lahan sawah. Survei dan wawan-cara ini akan dilakukan lagi dengan pada musim yang berbeda dengan cakupan wilayah yang lebih luas untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan komprehensif untuk mencapai tujuan penelitian.

Persepsi dan Adaptasi Terhadap Banjir

Banjir Genangan pada Lahan Sawah di Kabupaten Demak

Banjir genangan yang disebabkan oleh hujan terjadi pada lahan sawah di Desa Serangan, Kecamatan Wedung, Kabupa-ten Demak. Banjir terjadi antara 1 – 2 kali dalam setahun dengan ketinggian banjir rata-rata mencapai sekitar 25 cm. Banjir genangan di daerah ini semula dipandang tidak menimbulkan bahaya yang serius.

(4)

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel dan pengamatan lapangan

Namun pada bulan Maret 2012, terjadi banjir yang menimbulkan kerugian ketika hujan terjadi secara terus-menerus selama 12 hari berturut-turut. Banjir terjadi pada awal musim tanam dan telah menyebabkan tanaman mati, sehingga petani harus mengganti tanaman yang mati dengan bibit tanaman yang baru. Dengan demikian timbul kerugian sekitar 3 juta rupiah per hektar lahan untuk biaya pembelian bibit dan upah buruh untuk penanaman kembali.

Sawah di daerah ini mendapatkan pengairan dari air hujan dan ditanami padi 2 kali dalam setahun. Petani di wilayah ini belum atau tidak melakukan upaya pencegahan dengan membuat bangunan penahan banjir. Mereka memandang bahwa banjir tidak bisa diprediksi waktu kejadiannya. Namun mereka berharap dapat memperoleh bantuan berupa pompa untuk mengalirkan air dari Sungai Jratun sehingga mereka dapat memulai menanam padi lebih pada akhir musim kemarau lebih awal, sehingga mereka dapat terhindar dari banjir pada musim penghujan. Saluran air juga perlu

Berbeda dengan kondisi sawah di Desa Serangan, sawah di Desa Betahwalang, di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak merupakan sawah yang berada di daerah pasang surut. Sawah di daerah ini lokasinya lebih rendah dibandingkan dengan sawah di Desa Serangan, tetapi tidak pernah terjadi banjir. Saluran air yang cukup bagus memungkinkan air pasang dapat kembali dengan lancar ketika surut. Seluruh saluran air dibuat oleh pemerintah. Pasang surut air laut terjadi setiap hari namun sawah di daerah ini masih dapat ditanami padi 2 (dua) kali dalam satu tahun dan palawija (kacanghijau) satu kali tanam. Air hujan yang berlebihan dibendung dan dialirkan untuk mengairi sawah sehingga tanah tidak menjadi asin karena air laut cukup untuk 2 kali tanam padi. Produksi padi di daerah ini cukup baik hingga mencapai 4 ton untuk perbahu (5.600 are) dengan harga jual mencapai 10 – 11 juta rupiah.

Namun demikian, antara bulan Juli - September, air tawar yang tersedia di bendung sudah tidak cukup sehingga tanah menjadi asin dan tidak bisa

(5)

memiliki mata pencaharian ganda yaitu sebagai petani dan juga sebagai nelayan. Beberapa penduduk mengubah sawahnya menjadi tambak udang dan ikan, terutama di lokasi yang lebih dekat dengan laut. Beberapa diantara tambak ini tidak berproduksi dengan baik sehingga dikembalikan fungsinya menjadi sawah.

Masyarakat di daerah ini membutuh-kan dam untuk menampung air hujan sehingga tersedia lebih banyak air pada musim kemarau. Dam akan menghindar-kan banjir di Desa Serangan dan memberikan suplai air tawar yang lebih banyak untuk Desa Betahwalang, sehingga sawah di daerah ini dapat ditanami lebih lama. Namun demikian, secara umum di wilayah ini sudah terjadi pengurangan banjir dalam 2 tahun terakhir karena saluran-saluran air di sepanjang Sungai Jratun sudah diperlebar, sementara pada tahun-tahun sebelumnya banjir sering terjadi di wilayah ini.

Banjir genangan pada lahan sawah juga disebabkan oleh kombinasi dari rob dan hujan seperti yang terjadi di Desa Kedungrejo, Kecamatan Bonang, Kabu-paten Demak. Banjir yang terjadi di daerah ini tidak terlalu tinggi tetapi sawah tidak pernah kering, seperti yang terjadi pada bulan Januari dan Februari 2012. Pada daerah ini beberapa lahan sawah terus tergenang karena saluran air kurang bagus. Lahan yang seperti ini juga rawan serangan keong mas. Keong mas merusak tanaman padi sehingga sering-kali padi menjadi mati dan perlu penyulaman. Sawah di wilayah ini bisa ditanami padi 2 kali dalam setahun yaitu antara bulan Desember – Juni, selebihnya lahan sawah dibiarkan kosong dan tidak bisa ditanami lagi karena tanah menjadi asin dan ketersediaan air tawar sudah tidak mencukupi.

Banjir genangan di Desa Tambakroto, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak terjadi paling tidak 2 kali setahun yaitu pada waktu musim hujan. Sawah di daerah ini merupakan sawah tadah hujan yang bisa ditanami padi 2 kali dalam setahun. Banjir besar yang menggenangi sebagian

besar sawah dan permukiman di wilayah ini telah terjadi pada tahun 1972. Setelah kejadian banjir besar itu pemerintah membangun bendung, tanggul dan saluran drainase sehingga banjir dapat dikendali-kan. Namun demikian, sebagian dari lahan sawah di wilayah ini sejak tahun 2011 sudah tidak bisa ditanami padi karena tergenang oleh rob secara terus menerus. Topografi yang datar dan drainase yang kurang mema-dai, menyebabkan air yang menggenang di sawah karena rob tidak bisa kering sehingga tanaman padi tidak bisa hidup. Padi akan mati jika tergenang air secara terus-menerus dalam waktu satu minggu secara berturut-turut. Pada tanggul sungai yang lebih tinggi ditanami dengan tanaman palawija seperti jagung dan cabe pada waktu menjelang musim kemarau.

Sebagian lahan sawah di wilayah ini telah tergenang air laut secara permanen sehingga sawah sudah tidak bisa ditanami padi lagi. Lahan sawah yang tergenang semakin meluas sebagai akibat dari abrasi di pantai dan penurunan tanah (subsiden) yang terjadi di wilayah ini. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa saluran drainase primer cukup bagus, namun sebagian lahan sawah yang telah tergenang air laut secara permanen juga telah dikonversi menjadi lahan tambak dan permukiman/ perindustrian, dan sebagian lainnya masih dibiarkan. Menurut informasi dari petani dan juga berdasarkan pengamatan di lapangan, lahan sawah yang tergenang rob semakin meluas dari tahun ke tahun, meskipun sejauh ini belum diperoleh data luas lahan sawah karena rob yang pasti.

Lahan sawah yang telah terbebas dari bahaya banjir sebagai contoh adalah di Desa Wonosalam, Kabupaten Demak. Daerah pertanian ini semula merupakan wilayah yang sering terkena banjir. Namun sejak dibangunnya bendung Kali Jajar di Kecamatan Wonosalam, Kabupa-ten Demak, banjir di wilayah ini tidak sering banjir lagi. Sejak dibangunnya bendung dan juga saluran air yang memungkinkan air hujan dapat tertam-pung pada saluran

(6)

dan mengalir dengan lancar ke sungai. Banjir dan genangan bisa cepat surut dengan mengatur aliran air pada saluran melalui pengaturan pintu air.

Banjir Genangan pada Lahan Sawah di Kabupaten Kendal

Di Desa Gemuhblanten, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal, banjir genangan pada lahan sawah terjadi apabila terjadi hujan lebat. Genangan pada lahan sawah ini terjadi pada waktu muka air di Sungai Bodri sudah cukup tinggi sehingga aliran air menjadi agak terhambat. Banjir pada lahan sawah di daerah ini dianggap tidak berbahaya karena genangan banjir akan hilang dalam waktu 3–4 jam. Petani menanam tanaman pertanian terutama palawija seperti jagung, kacang tanah, kedelai, bawang merah dan tembakau pada guludan agar akar tanaman tidak membusuk karena tergenang. Saluran air di bawah guludan dimaksudkan untuk mengatuskan air. Jenis tanaman yang dianggap paling rawan genangan banjir adalah tanaman tembakau. Sementara itu, genangan pada tanaman padi dianggap tidak membaha-yakan karena memang padi hidup di air atau tahan terhadap genangan. Lahan sawah di wilayah ini umumnya ditanami padi 2 kali tanam dan 1 kali palawija tanam dalam satu tahun.

Kejadian banjir genangan pada lahan sawah yang disebabkan oleh hujan lebat juga terjadi di Desa Gebanganom, Keca-matan Kangkung. Banjir di wilayah ini juga tidak merusak tanaman pertanian. Banjir genangan terjadi karena saluran yang ada penuh sehingga aliran air terhambat, namun akan habis dalam waktu antara 2-3 jam.

Wilayah ini semula merupakan wilayah banjir karena luapan. Sejak dibangunnya saluran air, tanggul dan juga “pelurusan” sebagian dari Sungai Bodri pada sekitar tahun 1975-an, aliran air sungai menjadi lebih cepat mencapai laut dan daerah ini

Sawah tadah hujan di Desa Kangkung, Kecamatan Kangkung juga sering tergenang apabila terjadi hujan lebat. Genangan terjadi dalam waktu antara 2 - 3 jam dan dianggap tidak berbahaya. Pola tanam pada lahan sawah di daerah ini agak berbeda yaitu dengan 1 kali tanam padi, dan 2 atau 3 kali tanam palawija. Tanaman palawija yang banyak ditanam adalah kedelai, bawang merah dan tembakau.

Beberapa orang petani telah mulai melakukan diversifikasi tanaman dengan menanam okra sejak tahun 2004. Daerah ini agak kering sehingga ketersediaan air agak kurang, dan bukan merupakan daerah banjir. Okra dikenal juga dengan sebutan lady’s finger (Inggris), guino-gombo (Spanyol), gumbo (Amerika Serikat), guibeiro (Portugis) atau bhindi (India). Meskipun di Indonesia belum banyak dikenal, tanaman ini telah ditanam secara komersial di banyak negara di Afika dan Asia seperti India, Turki, Iran, Afrika, Yugislavia, Bangladesh, Afganistan, Pakistan, Birma, Jepang, Malaysia, Brazil, Ghana, Etiopia, Cyprus, dan Amerika. Tanaman yang diperkirakan berasal dari Ethiopia ini telah tersebar di daerah tropis dan sub tropis.Okra termasuk famili Malvaceae atau kapas-kapasan, dengan species Abelmoschus esculentus (L.) Moench. Terna berkayu ini tumbuh te-gak maksimum setinggi 2 meter. Sebagai komoditi ekspor, okra dimanfaatkan buah mudanya. Ukuran buahnya sebesar cabai hijau besar, kelilingnya berlekuk, berbulu halus dan berwarna hijau. Jika dipotong akan terlihat biji-biji kecil disekelilingnya, dan jika dimasak akan keluar lendir dari dalamnya. Okra dikonsumsi sebagai sayuran yang bisa diolah ataupun dimakan mentah. Rasanya renyah dengan tektur mirip terung. Biji okra juga mengandung minyak dan bisa dijadikan pengganti biji kopi (Sorapong, 2012).

Harga okra saat ini adalah Rp. 1750/kg (grade B, ukuran 6-14 cm) dan Rp. 3500 (grade A, panjang kurang dari 6 cm). Okra

(7)

diperoleh penghasilan hariankarena dapat dipanen setiap hari, disamping penana-mannya cukup mudah meskipun perlu perawatan rutin. Okra dapat dipanen hingga 6 bulan panen, dan panen dapat dimulai ketika tanaman berumur 1 bulan. Dalam bertanam okra, petani bermitra dengan perusahaan sehingga hasilnya ditampung oleh perusahaan untuk diimpor ke Jepang. Bibit tanaman disediakan oleh perusahaan. Secara umum, pola tanam petani di daerah ini baik yang menanam okra ataupun tidak sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air. Rata-rata lahan di daerah ini ditanami padi 1 kali tanam dan palawija 2 kali tanam dalam setahun.

Gambar 2. Tumbuhan okra dengan bunga dan buahnya

Banjir genangan pada lahan sawah di Desa Korowelang Kulon, Korowelang Anyar, Kaliayu dan Kalirandu Gede, Kecamatan Cepiring disebabkan oleh gabungan antara curah hujan dan rob. Daerah ini merupakan lahan sawah irigasi yang dapat ditanami padi dari 2 kali tanam dalam satu tahun. Saluran air terlihat cukup bagus seperti yang ada di dusun Suakarya, Desa Kalirandu Gede. Namun demikian, pada musim penghujan sebagian sawah tergenang banjir karena saluran air tidak mampu menampung sehingga aliran air menjadi sangat lambat. Pemerintah telah memperbaiki dam penahan banjir di Desa Korowelang Anyar, Korowelang Kulon dan Kaliayu, sehingga sebagai besar dari lahan sawah ini bisa terhindar dari banjir. Sementara itu, dam di Desa Kalirandu belum diperbaiki sehingga sawah-sawah di dusun ini masih

ter-genang. Bahkan lahan sawah di Desa Kalirandu yang lokasinya sangat dekat dengan laut sering tergenang sehingga tidak bisa ditanami. Pada saat hujan lebat, genangan air meluas karena saluran air tidak mampu menampung, aliran air sangat lambat karena aliran air juga tertahan air laut, terlebih lagi pada saat air laut pasang.

Lahan sawah di Desa Pidodo Kulon, Kecamatan Patebon ini semakin berkurang karena tergenang rob secara periodik dan wilayah genangan semakin meluas. Sebagian telah dikonversi menjadi tambak dan sebagiannya masih ditanami padi, namun mengalami kerusakan. Genangan air pada lahan sawah yang menyebabkan tanaman padi menjadi mati, atau gagal bunting ditandai dengan pucuk bulir yang memutih dan tegak.

Sementara itu, lahan sawah di Desa Wonorejo dan Desa Mororejo, Kecamatan Kaliwungu, telah dikonversi menjadi tambak udang dan ikan karena terkena genangan rob secara permanen. Semula lahan sawah di daerah ini merupakan sawah produksi, namun sebagian besar dari lahan sawah di wilayah ini telah tergenang air laut (rob) secara permanen. Sebagian kecil dari lahan sawah masih tersisa, namun sangat mungkin sawah ini akan habis dalam waktu dekat. Genangan rob di wilayah ini telah terjadi sejak tahun 1995/1996, dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Semula sawah di daerah ini merupakan sawah produksi. Lahan sawah secara berangsur-angsur tergenang rob secara permanen, area genangan semakin meluas dari arah pantai ke daratan, dan hingga survei dilakukan (April 2012) telah mencapai jalan arteri Kabupaten Kendal. Sementara itu, lahan sawah yang berada di sebelah selatan Jalan arteri Kota Kendal, meskipun tidak terkena rob, produksinya kurang baik karena sering tergenang karena aliran air di wilayah ini kurang lancar. Banjir rob telah menyebabkan padi tidak bisa berproduksi dengan baik, sehingga dikonversi menjadi tambak sebagai upaya adaptasi dan pilihan terbaik yang bisa diusahakan oleh

(8)

petani. Namun demikian, petani di wilayah ini masih menganggap bahwa penghasilan yang diperoleh dari sawah masih lebih baik dibandingkan dengan penghasilan yang

diperoleh dari tambak. Para petani meng-anggap penghasilan dari sawah dapat lebih diprediksi daripada di tambak karena ikan dan udang tidak bisa langsung dilihat.

Gambar 3. Tanaman padi yang tergenang rob mengalami gagal bunting (kiri) dan lama kelamaan akan mati (kanan)

PEMBAHASAN

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap para petani di wilayah penelitian diperoleh informasi mengenai persepsi para petani dalam memandang bahaya banjir pada lahan sawah dapat diketahui persepsi petani terhadap banjir dari tidak berbahaya hingga sangat berbahaya.

Pertama, genangan banjir dianggap tidak berbahaya jika banjir yang terjadi dapat surut dalam waktu 2 – 3 jam dan tidak mengakibatkan kerusakan pada tanaman padi. Di Kabupaten Kendal, banjir seperti ini disebabkan oleh hujan lebat dan terjadi rata-rata 2 kali dalam setahun. Sementara di Kabupaten Demak, banjir seperti ini bisa disebabkan oleh hujan maupun rob.

Kedua, banjir genangan juga dipan-dang sebagai sesuatu yang berbahaya ketika genangan banjir membuat tanaman padi mati, yaitu ketika genangan terjadi selama lebih dari 10 hari. Banjir genangan yang terjadi secara terus-menerus menye-babkan akar tanaman menjadi busuk dan

tanaman yang mati dengan bibit tanaman yang baru. Banjir genangan karena rob menyebabkan tanaman mati seperti yang terjadi di Desa Pidodo Kulon, Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal.

Ketiga, kategori banjir genangan yang sangat berbahaya adalah pada kasus ketika genangan banjir telah menjadi permanen, sehingga lahan tidak bisa lagi ditanami padi dan harus dikonversi ke penggunaan lainnya. Lahan sawah yang sudah tergenang secara permanen ini kebanyakan dikonversi menjadi tambak ikan atau udang. Namun sebagian ada juga yang dikonversi menjadi lahan untuk permukiman atau industri seperti di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.

Upaya untuk mengurangi risiko banjir telah dilakukan oleh pemerintah dengan membangun bendungan, dam, dan bangunan penahan banjir lainnya, serta dengan memperbaiki saluran drainase dan pengairan. Sementara masyarakat petani melakukan adaptasi mengurangi risiko kerugian karena banjir sesuai dengan persepsi dan kapasitasnya yaitu dengan

(9)

Penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk mengetahui luas genangan banjir pada masing-masing kelompok penye-babnya dan kecenderungan area genangannya. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat sebagai masukan dalam perencanaan pengendalian banjir atau adaptasi yang mungkin dilakukan. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa banjir genangan pada lahan sawah di daerah penelitian disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan rob, atau gabungan keduanya. Banjir genangan yang disebabkan oleh rob telah mengakibatkan lahan sawah tergenang secara permanen, sehingga lahan sawah menjadi hilang. Kebanyakan petani melakukan adaptasi dengan mengkon-versi lahan yang tergenang rob ini menjadi tambak ikan atau udang. Sementara itu, banjir genangan yang disebabkan oleh hujan lebat sebagian telah diatasi dengan pembangunan tanggul, dam, dan saluran air. Meskipun banjir masih terjadi, masyarakat juga telah melakukan adaptasi dengan melakukan pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, cara bercocok tanam, dan pemilihan komoditi tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2012. Badan Pusat Statistik www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?eng=0, [Mei 2012].

Bappenas. 2010. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) - Sektor Pertanian. Jakarta.

Dewi, A. 2007. Community-based analysis of coping with urban flooding: a case study in Semarang, Indonesia. M.Sc, ITC. Enschede. The Netherlands. Hartini, S., Poniman, A., Darmawan, M.,

Sofian, I., Suprajaka, Suryanta, J., & Marschiavelli, M. I. C. 2010. Evaluasi Adaptasi Daerah Rentan Banjir Untuk

Kawasan Pertanian Pantura dengan Pendekatan Geospasial. Bakosurta-nal. Cibinong.

Harwitasari, D. & Ast, J.A.V. 2011. Climate change adaptation in practice: people's responses to tidal flooding in Semarang, Indonesia. Journal of Flood Risk Management, 1-18.

Maimunah, S., Hendri, Rosli, N. S. b. M., Rafanoharana, S. C., Sari, K. R., & Higasahi, O. 2011. Strengthening Community to Prevent Flood Using Participatory Approach (A Case of the Semaranng City). Journal of Interna-tional Development and Cooperation, 18(2), 19-28.

Marfai, M. A. 2003. GIS Modelling of River

and Tidal Flood Hazards in a

Waterfront City, Case Study: Sema-rang City, Central Java, Indonesia. M.Sc, ITC, Enschede, The Nether-lands.

Marfai, M. A., & Hizbaron, D. R. 2011. Community's Adaptive Capasity due to Coastal Flooding in Semarang Coastal City, Indonesia. Analele Universitatii din Oradea - Seria Geografie, 2, 209-221. Marschiavelli, M. I. C. 2008. Vulnerability

Assessment and Coping Mechanism Related to Floods in Urban Areas: A

Community-Based Case Study in

Kampung Melayu, Indonesia. M.Sc, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia & ITC, Enschede, the Netherlands.

Wajih, Shiraz A. 2009. Pertanian Adaptif di Daerah Banjir. SALAM. Edisi 26 Januari 2009.

Sorapong, B. 2012. Okra (Abelmoschus esculentus (L.) Moench) as a valuable vegetable of the world. Ratarstvo I povrtarstvo. 49(1). 105-112. Doi:10.5937/ratpov49-1172.

Suryanti, E. D., & Marfai, M. A. 2008. Adaptasi Masyarakat Kawasan Pesisir Semarang Terhadap Bahaya Banjir Pasang Air Laut (Rob). Journal Kebencanaan Indonesia, 1(5), 335-346.

Gambar

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel dan pengamatan lapangan
Gambar 2. Tumbuhan okra dengan bunga  dan buahnya
Gambar  3.  Tanaman  padi  yang  tergenang  rob  mengalami  gagal  bunting  (kiri)  dan  lama  kelamaan akan mati (kanan)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja (prestasi kerja) auditor adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seorang auditor dalam

• psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan

Faktor- faktor yang mempengaruhi kinerja fuel cell diantaranya : Variabel operasi mempengaruhi kinerja fuel cell, suhu yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi

Bina Keluarga Remaja yang selanjutnya disingkat BKR adalah wadah kegiatan yang beranggotakan keluarga yang mempunyai remaja usia 10 (sepuluh) sampai dengan 24 (dua puluh empat)

Beban kerja perawat dalam kategori sedang (100%) sedangkan pelaksanaan asuhan keperawatan dalam kategori cukup (100%) dan sebagian besar pendokumentasian asuhan

Berdasarkan hasil analisis yang dilaku- kan dalam penelitian ini, beberapa kesimpul- an yang dapat diambil adalah: (1) motivasi, insentif dan promosi jabatan berpengaruh

Diagnosa Penyakit Bakterial Pada Ikan Nila Oreocrhomis niloticus Yang Di Budidaya Pada Jaring Tancap Di Danau Tondano.. Badan Pusat

Jika telepon Anda mendukung panggilan melalui suara dengan perangkat ini, tekan sebentar tombol answer/end pada headset saat tidak ada panggilan yang sedang berlangsung,