TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam)
SKRIPSI
Oleh :
Ana Tri Setyowatik NPM : 0633010042
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP KADAR β-KAROTEN,DAN VITAMIN C, SERTA AKTIFITAS ANTIOKSIDAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam)
Disusun Oleh :
ANA TRI SETYOWATIK NPM : 0633010042
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Pada tanggal 25 Februari 2011
Tim Penguji : 1.
Ir. Latifah, MS
NIP. 19570307 198603 2001
Pembimbing : 1.
Ir. Rudi Nurismanto, Msi NIP. 196109051 199203 1001
2.
Dr. Dedin F.R., STP,Mkes NIP. 37012 970159 1
2.
Ir. Ulya Sarofah, MM NIP. 19630516 198803 2001
3.
Ir. Rudi Nurismanto, Msi NIP. 196109051 199203 1001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Teknologi Industri
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP
KADAR β-KAROTEN,DAN VITAMIN C, SERTA AKTIFITAS ANTIOKSIDAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam)
SKRIPSI
Oleh :
ANNA TRI SETYOWATIK NPM : 0633010042
Surabaya, Februari 2011 Disetujui untuk diseminarkan oleh
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Alhamdulillahirobbil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya selama pelaksanaan penyusunan skripsi dengan judul “Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Kadar β- karoten, dan Vitamin C, serta Aktifitas Antioksidan Tepung Daun kelor (Moringga Oleifera Lam)” hingga terselesaikannya pembuatan laporan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan.
Kemudahan dan kelancaran pelaksanaan skripsi serta penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini dengan penuh rasa hormat dan rendah hati, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada :
1. Bapak Ir. Sutiyono, MT., selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jatim.
2. Ibu Ir. Latifah, MS., selaku Ketua Program Studi Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jatim.
3. Bapak Ir.Rudi Nurismanto, Msi., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
seminar proposal dan hasil penelitian, yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf di Prpgram Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jatim.
7. Keluargaku Tercinta Bapak dan Ibu, kakak serta Keponakan atas segala dorongan, kesabaran, dukungan material dan spiritual yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Buat teman-teman seperjuangan The Lucky Seven (Ganis, Dewi, Reni, Dina, Atika, Azzami) dan semua teman-teman angkatan 2006,2005,2007 terimakasih atas semangat yang diberikan selama ini.
9. Buat teman-teman Kost Kartika, teman-teman UKM terimakasih atas dukungan dan bantuan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya mahasiswa di Program Studi Teknologi Pangan pada khususnya dan bagi pihak-pihak yang memerlukan pada umumnya. Skripsi ini masih jauh dari sempurna serta banyak kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat obyektif dan membangun guna kesempurnaan skripsi ini.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI ...iii
DAFTAR TABEL ...v
DAFTAR GAMBAR ...vi
DA FTAR LAMPIRAN ...vii
INTISARI………viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 3
C. Manfaat Peneltian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kelor (Moringga Oleeifera Lam)... 4
B. Kelor Sebagai Komoditas Pangan ... 5
C. Nutrisi Kelor ... 5
D. Proses Pengeringan ... 8
E. Pengaruh Suhu Udara Pada proses Pengeringan ... 9
F. Pengaruh Pengeringan Terhadap Bahan ... 10
F.1 Pengaruh Pengeringan Terhadap Zat Warna... 11
G. Beta-karoten... ... 11
H. Vitamin C... ... 15
I. Anti Oksidan... ... 18
J. Aktivitas Antioksidan ... 19
K. Tepung...21
L. Protein...22
M. Kalsium...23
Q. Landasan Teori... 30
R. Hipotesis ... 32
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 33
B. Bahan Penelitian ... 33
C. Alat Penelitian ... 33
D. Metode Penelitian ... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Bahan Baku ... 39
B. Hasil Pengamatan Terhadap Tepung Kelor ... 40
1. Kadar air ... 40
2. Rendemen ... 42
3. Kadar Vitamin C ... 44
4. β- karoten ………. ... 46
5. Aktivitas Antioksidan (DPPH) …….. ... 48
6. Kalsium ……..………...…. 50
7. Protein ………... 51
8. Klorofil... 53
9. Fenol... 55
10. Uji Organoleptik ... 57
a. Warna ... 57
b. Aroma... 58
C. Analisis Keputusan ... 60
D. Analisis Finansial ... ……….. 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 65
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kandungan energi dan zat gizi daun kelor per 100 g ... 9
Tabel 2. Hasil analisis daun kelor segar... 39
Tabel 3. Nilai rata-rata kadar air tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 40
Tabel 4. Nilai rata-rata rendemen tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 42
Tabel 5. Nilai rata-rata vitamin C tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 44
Tabel 6. Nilai rata-rata β- karoten tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 46
Tabel 7. Nilai rata-rata DPPH tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 48
Tabel 8. Nilai rata-rata kalsium tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 50
Tabel 9. Nilai rata-rata protein tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan...………...…….….. 51
Tabel 10. Nilai rata-rata klorofil tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan...53
Tabel 11 Nilai rata-rata fenol tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 55
Tabel 12. Nilai rata-rata tingkat kesukaan warna tepung kelor... 57
Tabel 13. Nilai rata-rata tingkat kesukaan aroma tepung kelor ... 58
Halaman
Gambar 1. Tanaman Kelor ( Moringa Olifera Lam)... 5
Gambar 2. Perbandingan nutrisi anatara daun kelor dengan beberapa bahan pangan lain... 8
Gambar 3. Degradasi beta- karoten ... 16
Gambar 4. Reaksi Perubahan vitamin C... 18
Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung daun kelor... 38
Gambar 6. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kadar air tepung daun kelor... 41
Gambar 7. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap rendemen tepung daun ke ... 43
Gambar 8. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap vitamin C tepung daun kelor... 45
Gambar 9. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap β- karoten tepung daun kelor... 47
Gambar 10. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar DPPH pada tepung daun kelor...49
Gambar 11. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar kalsium pada tepung daun kelor...51
Gambar 12. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar protein pada tepung daun kelor...52
Gambar 13. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar klorofil pada tepung daun kelor...54
Lampiran 1. Prosedur Analisa
Lampiran 2. Lembar kuisioner (Uji Skoring) Lampiran 3. Data Analisis Ragam Kadar Air Lampiran 4. Data Analisis Ragam Rendemen Lampiran 5. Data Analisis Ragam Vitamin C Lampiran 6. Data Analisis Ragam β- karoten
Lampiran 7. Data Analisis Aktivitas Antioksidan (DPPH) Lampiran 8. Data Analisis Ragam total kalsium
Lampiran 9. Data Analisis Ragam Protein Lampiran 10. Data Analisis Ragam Uji klorofil Lampiran 11. Data Analisis Ragam Uji fenol Lampiran 12. Uji Organoleptik Warna
VITAMIN A ,DAN VITAMIN C, SERTA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam)
Ana Tri Setyowatik NPM. 0633010042
INTISARI
Kelor ( Moringa oleifera Lam) merupakan famili Moringaceae yang tumbuh di daerah tropis, tanaman kelor memiliki tinggi sekitar 7 shingga 12 m, daunnya majemuk, dan membundar kecil-kecil. Kelor memiliki kandungan vitamin C ( 220 mg), β-karoten 6,78 mg sehingga tanaman kelor ini dapat dikonsumsi sebagai sayuran dan dijadikan tanaman obat.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu pengeringan terhadap kualitas tepung daun kelor.Metode penelitian ini disusun secara faktorial dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 faktor dan 3 ulangan.faktor pertama adalah suhu pengeringan ( 50oC, 60oC, 70oC) dan faktor kedua adalah lama pengeringan (4 jam, 5 jam, 6 jam) dengan parameter yang diamati adalah kadar air, rendemen,vitamin C, β-karoten,Aktivitas antioksidan, protein, kalsium, klorofil,fenol dan uji organoleptik pada tepung daun kelor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan suhu pengeringan 60 oC, dan lama pengeringan 5 jam yang menghasilkan kadar air 11,029 %, rendemen 25,394%,vitamin C 15,025mg/g, β-karoten47,110, fenol 6.945,121 ppm, protein 20,502%,aktivitas antioksidan 28,373, kalsium 409,044(mg/g),klorofil 0,526 (mg/g), uji organoleptik warna 4,67, uji organoleptik aroma 4,54.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat berlimpah. Banyak tanaman yang tumbuh dan dibudidayakan karena memiliki manfaat dan nilai ekonomis yang tinggi bagi masyarakat, terutama masyarakat petani. Beberapa tanaman yang secara alami mengandung bahan-bahan yang bermanfaat baik sebagai bahan-bahan pangan maupun sebagai bahan-bahan obat-obatan, seperti rempah-rempah. Salah satu tanaman yang memiliki manfaat ganda, baik sebagai bahan pangan yang bernilai gizi tinggi dan juga memiliki khasiat sebagai obat adalah tanaman kelor (Moringa oleifera Lam.)
Tanaman kelor pada umumnya ditanam hanya sebagai tanaman pagar atau tanaman makanan ternak. Hanya sedikit yang mengkonsumsi sebagai sayuran. Disamping itu, tanaman kelor ini lebih banyak dikaitkan dengan dunia mistis. Sehingga budidaya secara intensif belum banyak dilakukan oleh masyarakat. Tanaman kelor kaya akan pro vitamin A dan C, khususnya β-karoten, yang akan diubah menjadi vitamin A dalam tubuh dan secara nyata berpengaruh terhadap hepatoprotective (Bharali, 2003). Daun kelor juga merupakan sumber vitamin B. Dan memiliki kandungan lemak yang rendah (Fahey, 2005). Oleh karena itu, daun kelor dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kekurangan vitamin A dan malnutrisi.
diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000).
Keuntungan lain dari pengolahan produk setengah jadi yaitu, bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi ini mencakup teknik pembuatan sawut/chip/granula/grits, teknik pembuatan tepung, teknik separasi atau ekstraksi, dan pembuatan pati(Widowati, 2000).
Bahan pangan alami merupakan system hayati yang cepat rusak sesudah panen atau mengalami pemotongan.kebutuhan manusia akan makanan biasanya tidak terjadi pada waktu bersamaan dengaan saat panen atau pemotongan, maka bahan pangan tersebut perlu diawetkan melalui pengolahan ( Karmas, 1989).
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi air dari bahan sampai kadar air yang dikehendaki yang berarti mengurangi ketersediaan air untuk pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim ( Winarno, 1984).
B. TUJUAN
1. Mengetahui pengaruh suhu dan waktu pengeringan terhadap kualitas tepung daun kelor.
2. Mengetahui perlakuan terbaik dari pengaruh suhu dan waktu pengeringan terhadap tepung daun kelor yang bermutu tinggi dan disukai konsumen.
C. MANFAAT
1. Meningkatkan pemanfaatan dan nilai ekonomis daun kelor.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelor (Moringa oleifera Lam.)
Kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan famili Moringaceae yang tumbuh di
daerah tropis, berasal dari India bagian barat dan tersebar di wilayah Pakistan,
Bangladesh and Afghanistan. Tanaman kelor memiliki tinggi sekitar 7 hingga 12 m,
akar berumbi, batang berkayu, berongga dan lunak, batang pendek ( 25 cm) dan
cabang mudah patah, digunakan untuk tanaman pagar (Reyes, 2006). Daunnya
majemuk, menyirip ganda, dan berpinak daun membundar kecil-kecil. Bunganya
berwarna putih kekuningan. Buahnya panjang dan bersudut-sudut pada sisinya. Kelor
dibudidayakan sebagai tanaman sayuran, pendukung tanaman lada atau sirih, tanaman
makanan ternak (Winarno, 2003)
Gambar 1. (a) Tanaman Kelor (Moringa oleifera Lam.) dan bunga (b) Batang dan buah Kelor
(c) daun Kelor (Sumber : http://www.mobot.org/gradstudents/olson/moringahome.html)
a c
B. Kelor Sebagai Komoditas Pangan
Daun kelor dapat dikonsumsi manusia sebagai sayur. Salah satu yang sangat
menguntungkan adalah daunnya dapat dipanen pada musim kering, di mana tidak lagi
dapat dijumpai sayuran segar di sekitarnya. Saat ini semakin berkembang sayuran
moringa (kelor) di pasar internasional baik dalam kaleng maupun dalam bentuk segar,
serta keadaan beku atau "chilled" (Winarno, 2003).
Sepintas daun kelor mirip dengan daun katuk, bentuknya bulat dan berwarna
hijau. Tanaman kelor merupakan pohon berkayu yang tingginya bisa mencapai 6
meter. Biji tanaman yang sudah tua bisa dimanfaatkan sebagai penjernih air sumur
yang keruh. Sedangkan daunnya enak dimakan menjadi beragam masakan.
Keunggulan daun kelor terletak pada kandungan nutrisinya, terutama golongan
mineral dan vitamin. Aroma daun kelor agak langu, namun aroma berkurang ketika
daun mudanya diolah menjadi sayur bening atau sayur bobor. Aroma langu pada daun
kelor disebabkan karena adanya senyawa fenol, ( Budi Sutomo, 2008).
C. Nutrisi Kelor
Kelor telah digunakan untuk mengatasi malnutrisi, terutama untuk balita dan
ibu menyususi. Daun dapat dikonsumsi dalam kondisi segar, dimasak, atau disimpan
dalam bentuk tepung selama beberapa bulan tanpa pendinginan dan dilaporkan tanpa
terjadi kehilangan nilai nutrisi. Kelor merupakan bahan pangan yan sangat
menjanjikan terutama untuk daerah tropis karena pada musim kering masih dapat
Daun kelor mengandung Vitamin A yang lebih tinggi dibanding wortel,
kandungan kalsium lebih tinggi dari susu, zat besi lebih tinggi dibanding bayam,
vitamin C lebih tinggi dibanding jeruk, dan potassium lebih banyak dibanding pisang.
Sedangkan kualitas protein daun kelor setara dengan susu dan telur.
Enam sendok makan penuh dapat memenuhi kebutuhan zat besi dan kalsium
wanita hamil dan menyusui. -carotene yang ditemukan dalam kelor merupakan
prekursor retinol (Vitamin A). Terdapat sekitar 25 jenis -carotene, tergantung dari
varietas (Price, 2000).
Gambar 2. Perbandingan nutrisi antara daun kelor dengan beberapa bahan pangan lain (Anonim,2008)
Tiap bagian dari tanaman kelor memiliki kandungan bahan yang berbeda.
Proses pembuatan tepung daun kelor akan dapat meningkatkan nilai kalori,
kandungan protein, karbohidrat, serat . Hal ini disebabkan karena pengurangan kadar
air yang terdapat dalam daun kelor.
Kandungan kimia yang dimiliki daun kelor antara lain asam amino yang
lisin, arganin,venelalanin, triftopan, sistein dan methionin (Simbolan et al.
2007).Selain itu daun kelor juga mengandung makro elemen seperti potasium,
kalsium,magnesium, sodium, dan fosfor, serta mikro elemen seperti mangan, seng,
dan besi. Daun kelor merupakan sumber provitamin A, vitamin B, vitamin C, mineral
terutama zat besi. Fuglie (2001) menyebutkan kandungan kimia daun kelor per 100 g
adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Kandungan energi dan zat gizi daun kelor per 100 g
Komponen Komposisi
Air 75 g
Energi 92 kal
Lemak 1.7 g
Karbohidrat 12.5 g
Serat 0.9 g
Ribovlavin ( vitamin B2) 0.05 mg
Niacin ( vitamin B3) 0.8 mg
Vitamin C 220 mg
Sumber : Fuglie 2001
Senyawa antinutrisi yang banyak terkandung dalam daun kelor antara lain
saponin, tanin dan fenol. Saponin adalah glikosida dalam tanaman dan terdiri atas
gugus sapogenin (steroid) atau (triterpenoid) , gugus heksosa,pentosa, atau asam-
uronat. Senyawa ini mempunyai rasa pahit dan berbusa biladilarutkan dalam air.
Saponin dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah,dan sangat beracun terhadap
hewan berdarah dingin, sedangkan terhadaphewan berdarah panas daya toksisitasnya
yang berbahaya bagi manusiayang telah mengkonsumsinya. Menurut Duke (1983),
saponin hadir dalam duabentuk yaitu steroid dan triterpenoids saponin yang terdapat
dalamdaun kelor bersifat non hemolitik. Perlakuan panas dalam keadaan basah atau
pemisahan dengan ekstraksi alkohol dapat mengurangi saponin. Menurut Foild etal.
(2007) daun kelor segar mengandung 5% saponin sedangkan daun kelor yang telah
diekstraksi dengan alkohol mengandung saponin sebesar 0,2%. Tanin banyak
dijumpai dialam dan terdapat pada tiap-tiap bagian tumbuhan khususnya tanaman di
daerah tropis pada daun dan kulit kayu. Tanin dapat menyebabkan rasa sepat karena
saat dikonsumsi akan terbentuk ikatan silang antara tanin dengan protein atau
glikoprotein di rongga mulut sehingga menimbulkan perasaan kering dan berkerut
(Jamriati 2008). Foild et al. (2007), menambahkan bahwa kandungan tanin dalam
daun kelor sebanyak 1.4%. Fenol banyak terdapat dalam tanaman dan biasanya pada
saat diekstraksi dapat bersifat larut dalam alkohol (Foild et al. 2007).
D. Proses Pengeringan
Bahan pangan yang dikeringkan umumnya mempunyai nilai gizi yang lebih
rendah dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pengeringan juga dapat terjadi
perubahan warna, aroma, tekstur dan vitamin-vitamin menjadi rusak atau berkurang.
Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-reaksi browning, baik enzimatik
maupun non enzimatik. Jika proses pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu
tinggi, maka dapat menyebabkan kerusakan vitamin C (Muchtadi R, 1997).
Bahan pangan dapat dikeringkan dengan cara :
dengan dijemur (sun drying) atau diangin-anginkan
- Buatan (artificial drying), yaitu menggunakan panas selain sinar
matahari dilakukan dalam suatu alat pengering, misalnya spraydrier, oven,
cabinet drier.
Keuntungan dan kerugian pengeringan buatan
1. Keuntungan pengeringan buatan :
o Suhu dan aliran udara dapat diatur
o Waktu pengeringan dapat ditentukan dengan tepat
o Kebersihan dapat diawasi
2. Kerugian pengeringan buatan :
o Memerlukan panas selain sinar matahari berupa bahan bakar, sehingga biaya
pengeringan menjadi mahal
o Memerlukan peralatan yang relatif mahal harganya
o Memerlukan tenaga kerja dengan keahlian tertentu
E. Pengaruh Suhu Udara Pada Proses Pengeringan
Laju penguapan air bahan dalam pengeringan sangat ditentukan oleh
kenaikan suhu. Bila suhu pengeringan dinaikkan maka panas yang dibutuhkan untuk
penguapan air bahan menjadi berkurang. Pada proses pengeringan diperlukan adanya
pergerakan udara, dimana udara berfungsi sebagai penghantar panas kedalam bahan
yang dikeringkan dan untuk mengambil uap air di sekitar tempat penguapan
(Setijahartini, 1980). Pada proses pengeringan harus diperhatikan suhu udara
dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah panas ke dalam bahan pangan
sehingga penguapan air dari bahan akan lebih banyak dan cepat.
F. Pengaruh Pengeringan Terhadap Bahan
Muchtadi (1989), mengatakan bahan pangan yang dikeringkan umumnya mempunyai nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan bahan segarnya. Selama
pengeringan terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, dll. Pada umumnya bahan
pangan yang dikeringkan akan berubah warnanya menjadi coklat. Perubahan warna
ini disebabkan oleh reaksi-reaksi baik enzimatis maupun non enzimatis. Apabila suhu
pengeringan yang terlalu tinggi akan menyebabkan bagian permukaan cepat
mengering dan menjadi keras sehingga menghambat pengupan air selanjutnya.Akibat
lainnya dari pengeringan adalah awetnya bahan dari proses kerusakan. Hal ini
disebabkan karena aktivitas air yang terdapat pada bahan mengalami penurunan
sehingga mikroorganisme sebagai sumber penyebab kerusakan bahan tidak dapat
hidup (Buckle, dkk., 1985). Menurut Susanto (1994) sisi kerugian dari pengeringan
antara lain terjadinya perubahan-perubahan sifat fisis seperti pengerutan,perebahan
warna, kekerasan dan sebagainya. Perubahan kualitas kimia,antara lain penurunan
kandungan vitamin C maupun terjadi pencoklatan.
Pengeringan yang terlalu cepat dapat merusak bahan, oleh karena permukaan
bahan terlalu cepat kering sehingga bisa diimbangi dengan kecepatan gerakan air
bahan menuju permukaan yang menyebabkan pengerasan pada permukaan bahan,
F. 1. Pengaruh Pengeringan Terhadap Zat Warna Dalam Bahan Pangan
Warna bahan pangan bergantung pada kenampakan bahan pangan tersebut,
dan kemampuan dari bahan pangan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap,
atau meneruskan sinar tampak. Bahan pangan dalam bentuk asli biasanya berwarna
terang.
Pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisis dan kimianya, dan
diduga dapat mengubah kemampuannya memantulkan, menyebarkan, menyerap dan
meneruskan sinar sehingga mengubah warna bahan pangan.
Zat warna cholorofil akan mengalami kerusakan dengan perlakuan
pengeringan. Pemberian belerang cenderung memucatkan zat warna antosianin.
Disamping memberikan penghambatan yang kuat terhadap pencoklatan oksidatif.
Pencoklatan jaringan tanaman yang hancur dipengaruhi oleh sistem enzim oksidase
didalam jaringan. Perubahan oksidatif akan menurunkan kualitas bahan pangan yang
dikeringkan. Perubahan warna dapat dicegah dengan cara inaktivasi enzim
menggunakan panas (Desrosier, 2008).
G. β- KAROTEN
Vitamin A pada umumnya stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Sayangnya
mempunyai sifat yang sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila
dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara,sinar, dan lemak yang sudah tengik
Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat dalam
bahan-bahan nebati. Tubuh manusia mempunyai kemapuan mengibah sejumlah besar
karoten menjadi vitamin A. Dalam tanaman terdapat beberapa jenis karoten, namun
yang lebih banyak ditemui adalah ά-,β-, dan - karoten ; mungkin juga terdapat
kriptoxantin. Karoten merupakan sumber utama provitamin A yang banyak terdapat
dalam bahan-bahan nabati terutama sayur-sayuran dan buah-buahan yang berwarna
hijau atau kuning. Terdapat hubungan langsung antara derajat kehijauan sayuran
dengan karoten. Semakin hijau daun tersebut semakin tinggi karotennya
(Winarno,1992).
Dalam bahan makanan terdapat vitamin A dalam bentuk karoten sebagai ester
dari vitamin A yang bebas. Keaktifan biologis karoten jauh lebih rendah
dibandingkan dengan vitamin A, maka absorpsi dan ketersediaan karoten perlu
diketahui (Winarno, 2002). Menurut hasil penelitian, betakaroten sangat mungkin
memiliki manfaat menghambat kanker.Terutama kanker pada saluran pernapasan dan
saluran pencernaan sebagai jenis kanker serviks. Disamping itu, betakaroten juga
dapat berfungsi sebagai penangkal radikal bebas karena peran antioksidannya.
Radikal bebas merupakan senyawa yang dapat merusak sel, bahkan dapat memacu
timbulnya kelainan minimal pada tingkat sel yang selanjutnya berubah menjadi
pre-kanker. Betakaroten memberikan perlindungan pada tingkat seluler dimana DNA
(deoxyribonukeic acid) yang merupakan suatu inti genetic pembawa sifat keturunan
diproteksi terhadap berbagai gangguan sehingga dapat terlindung dari bahan asing
Provitamin A lebih stabil dibandingkan dengan vitamin A selama pengolahan
pangan. Hal ini mungkin disebabkan oleh keberadaan kerotenoidbdalam lokasi yang
terhindar dari O2 dalam bahan pangan, misalnya dalam bentuk dispersi koloid pada
media lemak atau bentuk kompleks dengan protein (Andarwulan & Koswara 1992).
Karoten yang berasosiasi dengan lipid/protein akan terlindungi dari oksidasi
(Damayanthi,1997).
Pengeringan dengan sinar matahari mengakibatkan karoten ( pro vitamin A)
pada buah-buahan hilang. Jaringan sayuran yang dikeringkan dengan cara
pengeringan buatan atau alami cinderung mengalami kehilangan zat gizi dalam
jumlah yang relatife sama dengan buah-buahan. Metode pengeringan terbaik hanya
akan menyebabkan kehilangan karoten sebesar lima persen ( Desrosier, N.W., 1988).
Vitamin A dan karoten stabil terhadap panas, tetapi akan terdegredasi pada
temperature tinggi dengan adanya oksigen. Menurut fennema (1976) kerusakan pro
vitamin A (karoten) pada pemasakan atau pengawetan bahan pangan tanpa adanya
oksigen, hanya menyebabkan transformasi cis-trans-isomer ke bentuk neo-beta
karoten yang masih mempunyai aktifitas vitamin A 38%. Selanjutnya dikatakan
bahwa pemasakan dengan adanya oksigen, beta karoten akan pecah membentuk
komponen yang bisa menguap, sehingga mengakibatkan kehilangan seluruh aktifitas
vitaminA.
Pengolahan pangan dengan pemanasan akan mempengaruhi kandungan
karoten pada sayuran. Lebih lanjut (Bauernfeid, 1981), menyatakan besar kecilnya
pengaruh pemanasan terhadap karoten sayuran dipengaruhi oleh: (1) waktu dan
yang diolah; (4) tersedianya logam-logam yang bersifat dan prooksidan yang terdapat
dalam bahan yang diolah; (5) sinar matahari; (6) tersedianya antioksidan dalam bahan
yang diolah. (Damayanti, 1997).
Kerusakan yang berarti pada karoten terjadi karena proses
pengeringan(dehidrasi). Monica dan Dowell (1985) dalam Andarwulan dan Koswara
(1992), melaporkan bahwa kehilangan β-karoten pada wortel yang dikeringkan
dengan menggunakan pengeringan kabinet, pengeringan dengan udara panas dan
pengeringan beku (freeze drying) berturut-turut adalah 26%, 19%, dan 15%.
Mekanisme lebih lanjut dapat dilihat digambar 3.
Polymers, Volatile compounds, short-chain water soluble
O2
Β-karoten 5,6- epoxide Mutakhrome
Chemical oxidation Light-catalyzed oxidation
Cooking and canning higt temperatur
Neo-β-karoten and U e.g fragmentary ( cis forms, 38% vitamin A activity) product Ionone
m-Xylene
Toluena, 2,6- Dimethylnaphtalena
Gambar .3. Degradasi beta- karoten (Andrawulan dan Koswara,1992)
H. Vitamin C
Vitamin yang tergolong larut dalam air adalah vitamin C dan vitamin-vitamin
B kompleks. Vitamin C dapat terbentuk sebagai asam askorbat dan asam
L-dehidroaskorbat; keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Dari semua
vitamin yang ada, vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah rusak.
Disamping sangat larut dalam air, vitamin C mudah teroksidasi dan proses tersebut
dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta oleh katalis tembaga dan
besi. Oksidasi akan terhambat bila vitamin C dibiarkan dalam keadaan asam, atau
pada suhu rendah (Winarno,2002). Vitamin C merupakan antioksidan yang tangguh.
Yang membantu menjaga kesehatan sel, meninggkatkan penyerapan asupan zat besi,
dan memperbaiki sistem kekebalan tubuuh. Disamping berfungsi sebagai antioksidan,
vitamin C membantu penyerapan zat besi dan dapat menghambat produksi
nitrosamin, zat pemicu kanker. Vitamin C juga membantu penyembuhan luka (Sri
Kumalaningsih,2006).
Vitamin C dapat terserap sanagat cepat dari alat pencernaan kita masuk ke
dalam saluran darah dan dibagikan ke seluruh jaringan tubuh. Kelenjar adrenalin
mengandung vitamin C sangat tinggi, pada umumnya tubuuh menahan vitamin C
sangat sedikit. Kelebihan vitamin C dibuang melalui air kemih. Karena itu bila
seseorang mengkonsumsi vitamin C dalam jumlah besar (megadose), sebagian besar
akan dibuang keluar, terutama bila orang tersebut biasa mengkonsumsi makanan yang
gizinya, maka sebagaian besar dari jumlah itu dapat ditahan oleh jaringan tubuh
(winarno,2002).Vitamin C adalah suatu turunan heksosa dan diklasifikkasikan
sebagai karbohidrat yang erat barkaitan dengan monosakarida. Vitamin C cukup
stabil dalam keadaan kering, tetapi dalam keadaan larut mudah rusak karena
bersentuhan dengan udara terutama bila terkena panas (Almatsier,2002).
Asam askorbat sangat mudah teroksidasi secara reversible menjadi asam
L-dehidroaskorbat.Asam L-dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan mengalami
perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan
vitamin C lagi.Secara lengkap reaksi perubahan vitamin C dapat dilihat pada gambar
4.
O O O
C C HO C
HO C O C O C
HO C -2H O C OH
-
O C
H C +2H H C H C OH
HO C H HO C H OH C H
H C OH H C O H C OH
H H H
as. L-askorbat as. L-dehidroaskorbat as. L-diketogulonat
Gambar 4. Reaksi perubahan vitamin C (Sumber : Winarno, 1984)
Suhu berpengaruh terhadap resistensi vitamin C, resitensi vitamin C berkurang
merupakan sesuatu yang penting , karena bahan (buah-buahan) yang mengandung
udara di dalamnya dan di proses pada suhu tinggi akan merusakkan seluruh vitamin
C-nya. Pada pemrosesan dengan suhu rendah dimana suhu kurang dari 60 oC, vitamin
C tidak akan terlalu banyak mengalalami kerusakan. Waktu pengeringan yang singkat
juga akan memperkecil laju oksidasi vitamin C.
CH2OH N (C6H5)2
HC OH NO2 N NO2
+
O:H O:H NO2
Asam Askorbat DPP hidrazil
CH2OH N (C6H5)2
CH OH N
NO2 NO2 o-
+
NO2
DPP Hidrazil
CH2OH N (C6H5)2
HC OH O2N N:H NO2
O +
Asam dehidroskorbat DPP hidrazin ( Bentuk reduksi)
Gambar 5. Mekanisme penangkap radikal Vitamin C dengan metode DPPH
I. Antioksidan
Antioksidan adalah suatu senyawa kimia yang dalam kadar tertentu mampu
menghambat atau memperlambat kerusakan lemak dan minyak akibat proses
oksidasi. Berdasarkan kerja antioksidan dapat digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu
antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer (pemberi atom
hidrogen) adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan
radikal yang melepaskan hidrogen. Antioksidan sekunder (memperlambat laju
autooksidasi) adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat
digolongkan sebagai sinergis.
Mekanisme antioksidan primer (Shahidi dan Wanasundara, 2002) adalah:
ROO* + AH ROOH + A*
RO* + AH ROH + A*
R* + AH RH + A*
Radikal bebas dan radikal peroksi yang terbentuk selama tahap propagasi
pada proses autooksidasi ditangkap oleh antioksidan primer. Antioksidan
kemungkinan yang bereaksi langsung dengan radikal lemak. Hasil radikal antioksidan
oleh donasi hidrogen mempunyai reaksi sangat rendah terhadap lemak. Reaksi yang
rendah akan mengurangi laju tahap propagasi. Radikal antioksidan mempunyai
kemampuan dalam reaksi terminasi dengan peroksi dan radikal antioksidan yang
lainnya. Pembentukan dimerisasi antioksidan yang menonjol dalam lemak dan
konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi
lemak dan minyak.
Oksidasi merupakan proses degeneratif yang dipacu oleh radikal bebas dan
menyebabkan ketengikan dan penurunan nutrisi produk pangan (Kim et al., 2001;
Watanabe et al., 2005). Untuk mencegah proses oksidasi tersebut diperlukan
senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi
(Kochhar dan Rossell, 1990). Peningkatan kesadaran konsumen akan kesehatannya
telah mendorong mereka untuk mengkonsumsi bahan-bahan alami yang berkhasiat
untuk kesehatan.
Antioksidan merupakan senyawa penting dalam menjaga kesehatan tubuh
karena berfungsi sebagai penangkap radikal bebas yang banyak terbentuk dalam
tubuh. Fungsi antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya
oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam
makanan, serta memperpanjang massa pemakaian bahan dalam industri makanan.
Lipid peroksidase merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam kerusakan
selama dalam penyimpanan dan pengolahan makanan. (Raharjo, dkk,. 2005).
J. Aktivitas Antioksidan
Pengujian pencegahan pembentukan peroksida biasa diuji dalam sistem
emulsi asam linoleat dalam air (Duh et al., 1999). Pengujian ini menunjukkan
aktivitas antioksidan total (Kim, 2005). Menurut Cuvelier et al. (2003) dalam sistem
emulsi kecepatan oksidasi dan peran antioksidan dipengaruhi oleh kemampuan partisi
biasa menggunakan metode ferri-tiosianat yang mengukur jumlah peroksida yang
terbentuk dalam sistem emulsi selama inkubasi (Singh et al., 2005).
Pengujian kapasitas penangkapan radikal biasa diukur dengan menggunakan
suatu senyawa radikal DPPH (1,1-Diphenyl-2-picrylhydrazyl) yang bersifat stabil dan
dapat menerima elektron atau radikal hidrogen menjadi suatu senyawa yang secara
diamagnetik stabil (Soares et al., 1997). Lebih lanjut Duh et al., (1999) menyatakan
bahwa kemampuan radikal DPPH untuk direduksi atau distabilisasi oleh antioksidan
diukur dengan mengukur penurunan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm.
Oleh karena itu DPPH biasa digunakan untuk mengkaji kapasitas penangkapan
radikal.
Daya reduksi merupakan indikator potensi suatu senyawa sebagai antioksidan
(Kim, 2005). Dalam sistem dimana terdapat ion ferri (Fe3+) daya reduksi
menunjukkan sifat sebagai prooksidan. Ion ferri (Fe3+) dapat diubah oleh suatu
antioksidan menjadi ion ferro (Fe2+) melalui reaksi reduksi. Ion ferro merupakan
prooksidan yang aktif dengan mengkatalisis dekomposisi hidroperoksida menjadi
radikal bebas (Paiva-Martins dan Gordon, 2002; Cuvelier et al., 2003).
Flavonoid dan derivat polofenol merupakan senyawa yang berfungsi sebagai
antioksidan karena ketiga senyawa tersebut adalah senyawa-senyawa fenol, yaitu
senyawa dengan suatu gugus –OH yang terikat pada karbon cincin aromatik, produk
radikal bebas senyawa-senyawa ini terstabilkan secara resonansi dan karena itu tak
reaktif dibandingkan dengan kebanyakan radikal bebas lain sehingga dapat berfungsi
sebagai antioksidan yang efekif (Fessenden,1994) Mekanisme lebih lanjut dapat
H DPPH + DPPH
Fenol Radikal bebas Tertangkap Bentuk reduksi dari DPPH
Gambar 6. Struktur resonasi radikal bebas fenol
K. Tepung
Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang
dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit),
diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan
kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000).
Pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tepung adalah bahan
padatan yang diperoleh dari proses penggilingan suatu bahan dalam bentuk
butiran-butiran halus yang mengandung kadar air 10-13% (www.ajcn.org,2003).
Penepungan (miling) adalah cara pengolahan biji-bijian atau daging buah
kering yang dihaluskan sehingga menjadi tepung atau bubuk misalnya tepung beras,
tepung tapioka, tepung terigu, dll. ( Sugito, 1995).Pembuatan tepung / bubuk
bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan bahan yang bersifat fisik maupun
kualitatif (mutu). Berkurangnya kualitas adalah satu-satunya bentuk kerusakan yang
sering mempengaruhi sehingga akan membentuk kerusakan tepung yang lebih serius
seperti biji-bijian.( Purwanto, 1995).
L. Protein
Protein merupakan senyawa-senyawa polimer yang dibangun dari sejumlah
asam-asam amoni sebagai unit-unit monomernya. Protein pada umumnya
mengandung 50-100 residu asam amino tipa rantai peptida. Protein dibentuk melalui
kondensasi molekul-molekul protein yang besarnya 100-1000 kali dari sukrosa
(Lapedes, 1977).
Walaupun telah diketahui ada lebih dari 150 macam asam amino, namun
hanya 20 buah yang selalu ditemukan didalam protein. Tujuh diantaranya adalah
asam amino esensial, artinya harus ada dalam bahan pangan, karena tidak dapat
disintesa didalam tubuh (sulaiman, 1996).
Dalam tanaman, molekul protein sebagian besar disusun dari karbohidrat dan
hanya kira-kira 15-17% dari beratnya merupakan nitrogen. Protein merupakan
konsisten dari protoplasma dan sebagian dari padanya merupakan mekanan cadangan.
Adanya yang dapat larut dan ada yang tidak larut. Protein dibentuk melalui
kondensasi molekul-molekul protein yang besarnya 100-1000 kali dari sukrosa
(chandler,1958).
Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali aatau enzim akan
dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuaah asam amino terdiri dari sebuah
gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang
cabang semua asam amino berkonfigurasi L, kecuali glisin yang tidak mempunyai
asam aamino asemetris (Winarno, 1997).
M. Kalsium
Kalsium adalah mineral yang amat penting bagi manuisa, antara lain
bagi metabolisme tubuh, penghubung antar saraf, kerja jantung, dan pergerakan otot,
daya tahan tubuh, dan mempertahankan struktur normal sel.
Sumber kalsium terbagi dua, yaitu hewani dan nabati. Bahan makanan hewani
mengandung kalsium antara lain adalah ikan, udang, susu, kuning telur, dan daging
sapi, akan tetapi jika dikonsumsi berlabihan bahan hewani ini terutama daging sapi,
bisa menghambat penyerapan kalsium, karena kadar proteinnya tinggi. Kandungan
proteinnya yang tinggi akan meningkatkan keasamam (pH) darh. Guna menjaga agar
keasaman darah tetap normal, tubuh terpaksa menarik deposit kalsium (yang bersifat
basa) dari tulang, sehingga kepadatan tulang berkurang. Sedangkan bahan makanan
yang mengandung kalsium nabati bisa diperoleh dari sayuran daun hijau seperti sawi,
bayam, brokoli, daun pepaya, dan daun singkong, daun labu. Selain itu biji-bijian
(kenari, wijen,almond) dan kacang-kacangan serta hasil olahanya Sebagian besar
produk makanan yang mengandung kalsium tinggi tidak tahan terhadap pemanasan,
dan jika kalsium terlepas menjadi unsur bebas yakni Ca(II) maka penyerapan kalsium
N. Blanching
Blanching adalah proses pemanasan bahan pangan dengan uap air panas
secara langsung pada suhu 71oC dan kurang dari 100oC selama 5 menit. Meskipun
bukan untuk tujuan pengawetan, proses thermal ini merupakan suatu tahap proses
yang sering dilakukan pada bahan pangan sebelum bahan pangan tersebut
dikeringkan, dikalengkan, atau dibekukan ( Suksmadji, 1988)
Tujuan blanching dapat berbeda-beda, di dalam proses pengeringan blanching
bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang tidak diinginkan yang mungkin tidak
merubah warna, tekstur, cita rasa, maupun nilai nutrisi selama penyimpanan
(muchtadi, 1989)
Susanto dan saneto (1994) menyatkan bahwa pengunaan suhu tinggi selama
waktu tertentu dapat menginkatifkan fenolase dan semua enzim yang ada dalam
bahan pangan
Didalam bahan mentah yang akan diolah juga terdapat enzim sebagaimana
diketahui bahwa enzim adalah suatu biokatalisatir yang bertanggung jawab terhadap
proses oksidasi maupun hidrolisa didalam bahan mentah, adanya
proses-proses tersebut maka akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan, baik yang
dapat merusak maupun tidak.
Perubahan-perubahan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jelas
tidak dikehendaki, sebab akan menyebabkan turunnya kualitas produk akhir pada
sangat kompleks dan bervariasi sesuai dengan macam dan jenis komoditi bahan
mentahnya.
Menurut suksmadji (1988), semua komoditi yang akan dikeringkan harus
dilakukan blanching, atau perlakuan panas yang lain selama dalam proses
pengolahan. Bahan mentah yang akan diolah bilamana masih dalam keadaan mentah,
sifat-sifatnya adalah teksturnya masih keras dan tegar, proses voluminasi dan tidak
permeable terhadap air. Memberikan flavor, bau, dan aroma yang masih mentah.
Memberikan kenampakan yang bersifat segar. Sehingga dalam keadaan yang
demikian tidak dapat langsung diawetkan. Dalam hubunganya dengan pengolahan
maka dengan diberikan perlakuan blanching justru akan memperbaiki sifat-sifatnya.
Untuk bahan pangan yang kan dikeringkan, mempercepat proses pengeringan
karenaa membuat membrane sel permeable terhadap perpindahan air. Disamping itu
blanching dapat diangap sebgai usaha “pemasakan” untuk produk kering yang
langsung dikonsumsi ( muchtadi dan sugiyono, 1992).
O. Analisa keputusan
Menurut Siagian (1987), analisa keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu
proses untuk memilih yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Tujuan dari
analisa keputusan adalah untuk menemukan keputusan yang secepat-cepatnya.
Ketepatan keputusan bergantung dari informasi yang dapat dikumpulkan dan diolah
dalam analisa. Mengambil keputusan berarti menjatuhkan pilihan pada salah satu
alternatif yang paling baik.
permasalahan, alternatif-alternatif yang ada serta kriteria untuk mengukur atau
membandingkan setiap alternatif yang memberikan hasil atau keuntungan paling
besar dengan resiko paling kecil serta paling efektif. jadi masalah yang mempersulit
adalah adanya alternatif yang harus dipilih sebagai landasan atas tindakan yang harus
dilaksanakan (Assauri, 1980).
P. Analisa Finansial
Analisa kelayakan adalah analisa yang dilanjutkan untuk meneliti suatu proyek
layak atau tidak layak untuk proses tersebut harus dikaji, diteliti dari beberapa aspek
tertentu sehingga memenuhi syarat untuk dapat berkembang atau tidak. Analisa
kelayakan tersebut dibagi menjadi 5 tahap yaitu dengan persiapan, tahap penelitian,
tahap penyusunan, tahap evaluasi proyek. Data harga-harga bahan baku dan bahan
penunjang lainya dapat digunakan sebagai dasar perhitungan kelayakan finansial pada
produk dekstrin. Analisa finansial yang dilakukan meliputi : analisa nilai uang dengan
metode Net Present Value (NPV), Rate Of Return (ROR) dengan metode Internal
Rate Of Return (IRR), Break Event Point (BEP) dan Payback Period (PP) (Susanto
dan Saneto, 1994).
1.Break Event Point (BEP) (Susanto dan Saneto, 1994)
Studi kelayakan merupakan pekerjaan membuat ramalan atau tafsiran yang
didasarkan atas anggapan-anggapan yang tidak selalu bisa dipenuhi.
penyimpangan itu ialah apabila pabrik berproduksi di bawah kapasitasnya. Hal ini
menyebabkan pengeluaran yang selanjutnya mempengaruhi besarnya keuntungan
Suatu analisa yang menunjukan hubungan antara keuntungan, volume
produksi dan hasil penjualan adalah penentuan Break Event Point (BEP). BEP
adalah suatu keadaan tingkat produksi tertentu yang menyebabkan besarnya biaya
produksi keseluruhan sama dengan besar nilai atau hasil penjualan atau laba. Jadi
pada keadaan tertentu tersebut perusahaan tidak dapat keuntungan dan juga tidak
mengalami kerugian.
Untuk memperoleh keuntungan maka usaha tersebut harus ditingkatkan dari
penerimaanya harus berada di atas titik tersebut. Penerimaan dari penjualan dan
ditingkatkan melalui 3 cara. Yaitu menaikkan harga jual per unit, menaikkan
volume penjualan, menaikkan volume penjualan dan menaikkan harga jualnya.
Rumus untuk mencari titik ampas adalah sebagai berikut :
a. Biaya Titik Impas
BEP (Rp) = Biaya Tetap
1- (biaya tidak tetap/pendapatan)
b. Unit Titik Impas
BEP (Unit) = Biaya Tetap
2. Net Present Value (NPV) (Tri dan Budi, 1994)
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai penerimaan sekarang
dengan nilai sekarang. Bila dala analisa diperoleh nilai NPV lebih besar dari 0
(nul), berarti proyek layak untuk dilaksanakan, jika dalam perhitungan diperoleh
dari NPV lebih kecil dari 0, maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan
Rumus NPV adalah:
n
NPV =
∑
Bt - Ct t=1 (1+i)t
Keterangan :
Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t
Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t
n = Umur ekonomis dari suatu proyek
i = Suku bunga bank
3.Payback Periode (PP) (Susanto dan Saneto, 1994)
Merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan
modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa prosentase maupun
waktu (baik tahun maupun bulan). Payback Periode tersebut (<) nilai ekonomis
atau sedapat mungkin kurang dari 5 tahun. Rumus penentuan adalah sebagai
berikut:
I
Payback Periode = Ab
Keterangan :
I = biaya investasi yang diperlukan
Ab = Benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya
4.Internal Rate Of Return (IRR) (Susanto dan Saneto, 1994)
Internal Rate Of Return merupakan tingkat bunga yang menunjukan
persamaan antar interval penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi
(modal) awal dari suatu proyek yang dikerjakan. Kriteria ini memberika pedoman
bahwa proyek akan dipilih apabila nilai IRR lebih besar dari suku bunga yang
berlaku, sedangkan bila IRR lebih kecil dari suku bunga yang berlaku maka
proyek tersebut dinyatakan tidak layak untuk dilaksanakan.
NPV
IRR = 1 + ( i’ - i )
NPV + NPV’
Keterangan :
NPV = NPV positif hasil percobaan nilai
NPV’ = NPV negatif hasil percobaan nilai
5.Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) (Susanto dan Saneto, 1994)
Merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang
di present valuenkan (dirupiahkan sekarang ).
n Bt
Gross B / C =
∑
t=1 (1+i )t
Keterangan :
Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t
C= Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t
n = Umur ekonomis dari suatu proyek
i = Suku bunga bank
Q. Landasan Teori
Daun kelor mengandung Vitamin A yang lebih tinggi dibanding wortel,
kandungan kalsium lebih tinggi dari susu, zat besi lebih tinggi dibanding bayam,
vitamin C lebih tinggi dibanding jeruk, dan potassium lebih banyak dibanding pisang.
Sedangkan kualitas protein daun kelor setara dengan susu dan telur (Fahey, 2005).
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarakan atau menghilangkan
yang terkandung di dalam bahan tersebut. Metode yang sering digunakan dengan
bantuan panas sampai diperoleh kadar air tertentu (kurang dari 10 %) sehingga
mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya. Salah satu jenis alat pengering
yang menggunakan bantuan panas dan mudah dioperasikan adalah cabinet
dryer.(Brown,1950)
Muchtadi (1989), mengatakan bahan pangan yang dikeringkan umumnya
mempunyai nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan bahan segarnya. Selama
pengeringan terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, dll. Pada umumnya bahan
pangan yang dikeringkan akan berubah warnanya menjadi coklat. Apabila suhu
pengeringan yang terlalu tinggi akan menyebabkan bagian permukaan cepat
mengering dan menjadi keras sehingga menghambat pengupan air selanjutnya.Akibat
lainnya dari pengeringan adalah awetnya bahan dari proses kerusakan.
Vitamin A bersifat tidak larut dalam air dan pada pemanasan biasa relatif
stabil, oleh karena itu hanya sedikit terjadi susut vitamin A selama pengolahan bahan
pangan. Susut yang cukup besar terjadi jika terdapat oksigen ( udara) serta adanya
produk hasil oksidasi lemak. ( Deddy muchtadi, 1992).
Suhu berpengaruh terhadap resistensi vitamin C, resitensi vitamin C berkurang
dengan bertambahnya suhu perlakuan. Pada proses pengeringan pengeluaran udara
merupakan sesuatu yang penting , karena bahan (buah-buahan) yang mengandung
udara di dalamnya dan di proses pada suhu tinggi akan merusakkan seluruh vitamin
C-nya. Pada pemrosesan dengan suhu rendah dimana suhu kurang dari 600 oC,
vitamin C tidak akan terlalu banyak mengalalami kerusakan. Waktu pengeringan
Antioksidan sebenarnya didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja
menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk
radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil. Tetapi mengenai radikal bebas yang
berkaitan dengan penyakit, akan lebih sesuai jika antioksidan didefinisikan sebagai
senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen
reaktif. Antioksidan akan rusak karena adanya cahaya, panas dan ion logam. (Fery,
2007)
Dengan adanya pemrosesan penepungan maka butiran-butiran tepung yang
sangat halus, permukaan bidangnya menjadi sangat lebar. Pada dasarnya penepungan
itu sendiri juga menyebabkan bahan menjadi bersifat higrokroskopis, yaitu bahan
halus mudah sekali menjadi lembab karena sangat mudah menyerap uap air namun
keuntungan dari penepungan yang palling tampak adalah aroma dan cita rasa bahan
yang ditepungkan mencolok. Dari situlah pengaruh positif yang ditimbulkan oleh
penepungan tersebut (Sugito,1995). Pembuatan tepung / bubuk bertujuan untuk
mencegah timbulnya kerusakan bahan yang bersifat fisik maupun kualitatif (
Purwanto, 1995).
Q. Hipotesis
Diduga terdapat pengaruh nyata suhu dan lama pengeringan terhadap
kandungan vitamin (provitamin A dan C) dan aktivitas antioksidan pada tepung daun
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisa Pangan, Kimia Pangan, dan
laboratorium Uji Inderawi program studi Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jatim
Surabaya dan Laboratorium Universitas muhamadiyah malang dilakukan pada
bulan Juli 2010 – januari2011.
B. Bahan-Bahan
Daun kelor yang diperoleh dari kebun daerah Gunung Anyar Rungkut
Surabaya. Larutan Amilum, larutan Iodine, H2SO4, Na2SO4–HgO, Aquades, HCL,
indikator PP, NaOH, Petroleum eter, petroleum – aceton, aceton 80%, radikal bebas
2,2-diphenil picrylhydrasil (DPPH)
C. Alat – alat
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan tepung daun kelor meliputi :
cabinet dryer, loyang, wadah, rak pengering, timbangan, blender, sendok, ayakan (80 mesh), oven
Alat-alat untuk analisa meliputi : alat titrasi, pipet, gelas ukur, dan peralatan gelas
D. Metode Penelitian
1. Rancangan Percobaan
Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial
dengan dua faktor dan tiga kali ulangan, selanjutnya dilakukan analisis ragam,
bila terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut yaitu uji Duncan.
Menurut Gasperz (1994), model matematika untuk percobaan faktorial
yang terdiri dari dua faktor dengan menggunakan dasar Rancangan Acak Lengkap
adalah sebagai berikut :
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij +
ε
ij ;i = 1,...aj = 1,...b
k = 1,...c
Dimana :
Yijk : Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang
memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-I dari faktor
A dan taraf ke-j dari faktor B).
μ : Nilai tengah populasi (rata-rata sesungguhnya)
αi : Pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A
βj : Pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor B
(αβ)ij : Pengaruh interaktif taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j
dari faktor B
ε
ij : Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang2. Peubahan yang digunakan
a. Peubah Berubah
Faktor I. Suhu pengeringan (oC)
A1 = 50
A2 = 60
A3 = 70
Faktor II. Waktu pengeringan ( jam )
B1 = 4
B2 = 5
B3 = 6
Dari 2 faktor diatas di dapat 9 kombinasi
B A
B1 B2 B3
A1 A1B1 A1B2 A1B3
A2 A2B1 A2B2 A2B3
A3 A3B1 A3B2 A3B3
Keterangan :
A1B1 = Suhu pengeringan 50oC dan Waktu pengeringan 4 jam
A1B2 = Suhu pengeringan 50 oC dan Waktu pengeringan 5 jam
A1B3 = Suhu pengeringan 50 oC dan Waktu pengeringan 6 jam
A2B1 = Suhu pengeringan 60 oC dan Waktu pengeringan 4 jam
A2B2 = Suhu Pengeringan 60 oC dan Waktu pengeringan 5 jam
A2B3 = Suhu pengeringan 60 oC dan Waktu pengeringan 6 jam
A3B1 = Suhu pengeringan 70 oC dan Waktu pengeringan 4 jam
A3B2 = Suhu pengeringan70 oC dan Waktu pengeringan 5 jam
b. Peubah Tetap
1. Berat sampel awal 300 g
2. Pengayakan 80 mesh
3. Parameter yang diamati
Parameter yang diukur meliputi
1. Kadar air (Soedarmadji, dkk., 1989)
2. Kadar protein (Soedarmadji, dkk., 1989)
3. Kadar vitamin A (AOAC, 2001)
4. Kadar vitamin C (Soedarmadji, dkk., 1989)
5. DPPH (Cheung , 2003)
6. Khlorofil (Yoshida,1976)
7. Rendemen (Sudarmadji dkk, 1997)
8. kalsium ( Sudarmadji dkk, 1984)
9. fenol ( Shetty, 1999)
4. Prosedur Penelitian
1. Bahan Baku
Daun kelor yang diperoleh dari kebun disekitar kebun Gunung Anyar
Rungkut Surabaya daun yang dipakai adalah daun dari tangkai ke-2 dari pucuk
2. sortasi
Untuk sample digunakan daun kelor yang baik dan dengan kondisi utuh.
Daun kelor yang telah dicuci dan dipilih untuk sampel kemudian ditiriskan.
3. Blanching
Blanching dengan uap air selama 5 menit dengan suhu 70°C.
4. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 4 (empat) kilogram daun kelor,
Selanjutnya Sampel dibagi empat bagian (masing 1 kg), dan
masing-masing diberi perlakuan sebagai berikut :
- Satu bagian daun kelor dibiarkan tetap segar untuk kemudian dianalisis
nilai nutrisi yang terkandung dalam daun kelor segar.
- 3 tiga bagian sampel dikeringkan menggunakan cabinet dryer dengan suhu
dan waktu masing-masing 50oC selama 4 jam, 60oC selama 5 jam dan
70oC selama 6 jam.
- Setelah kering sampel dihaluskan untuk kemudian dianalisis kandungan
Pembuatan Tepung Daun Kelor
Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung daun kelor
Daun kelor (Moringa Oleifera Lam)
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Bahan Baku
Hasil analisis bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung ini
adalah daun kelor segar, meliputi kadara air, protein, vitamin C, aktivitas anti
oksidan, β-karoten, kalsium, khlorofil, fenol. Komposisi hasil analisis daun
kelor segar setelah dianalisa disajikan dalam tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis daun kelor segar
Parameter Hasil Analisa Literatur1) Literatur2)
Kadar air (%)
2) Daftar komposisi bahan pangan 1995
Hasil analisa terhadap daun kelor segar didapatkan kadar air sebesar 73 %,
protein sebesar 4,3%, DPPH 20%, vitamin C sebesar 35.12 mg, β-karoten
48,72, kalsium sebesar 4877,44 mg, klorofil sebesar 0,213mg, dan fenol
5363,540ppm . Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar air, dan kalsium
mempunyai nilai yang hampir sama dengan literatur. Protein, vitamin C,
mempunyai nilai yang lebih kecil, sedangkan betakaroten mempunyai nilai
B.Hasil Pengamatan Terhadap Tepung Kelor
1. Kadar Air
Berdasarkan hasil analisis ragam kadar air (lampiran 3) menunjukkan
bahwa antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terdapat
interaksi yang nyata (p≤0,05). Nilai rata-rata kadar air tepung daun kelor dari
perlakuan suhu pengeringan dapat di lihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rata – rata kadar air tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan.
Suhu Waktu
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar air tepung daun kelor
dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah berkisar
antara 15,431 – 8,533 %. Perlakuan suhu pengeringan 50°C dan waktu
pengeringan 4 jam menunjukkan kadar air yang paling tinggi yaitu 15,431 %,
sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C dan waktu
pengeringan 6 jam menunjukkan kadar air yang paling rendah pada tepung daun
kelor ini yaitu sebesar 8,533%. Hal ini disebabkan karena penguapan air dari
bahan lebih banyak dan cepat pada saat pemanasan Menurut Setijahartini (1980),
dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah panas ke dalam bahan pangan
sehingga penguapan air dari bahan akan lebih banyak dan cepat.
Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan
terhadap kadar air pada tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 6
Gambar 6. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kadar Air tepung Daun Kelor
Gambar 6. menunjukkan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan
dengan lama pengeringan maka kadar air akan semakin menurun. Hal ini
disebabkan karena semakin tinggi suhu pengeringan dan lama pengeringan, maka
kadar air semakin rendah. Sesuai pernyataan Desrosier (1988), bahwa semakin
tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan yang digunakan untuk
mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin
2. Rendemen
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa
perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terdapat interaksi yang
nyata (p≤0,05). Nilai rata-rata rendemen tepung daun kelor dari perlakuan suhu
pengeringan dapat di lihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai rata – rata rendemen tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan.
Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata rendemen tepung daun kelor
dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah berkisar
antara 20,832 – 30,661 %. Perlakuan suhu pengeringan 50°C dan waktu
pengeringan 4 jam menunjukkan kadar rendemen yang paling tinggi yaitu 30,661
%, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C dan waktu
pengeringan 6 jam menunjukkan kadar rendemen yang paling rendah pada tepung
daun kelor ini yaitu sebesar 20,832%.
Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan
Gambar 7. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap rendemen tepung Daun Kelor
Gambar 7 menunjukkan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan
dengan lama pengeringan maka rendemen akan semakin menurun, hal ini
disebabkan karena rendemen sangat berkaitan dengan kandungan air yang
menguap akibat adanya pemanasan. Semakin besar perbedaan antara suhu media
pemanas dengan bahan yang dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah
panas ke dalam bahan pangan sehingga penguapan air dari bahan akan lebih
banyak dan cepat (Setijahartini, 1980). Peryataan Dersosier,(1988), bahwa
semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan yang digunakan untuk
mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin
banyak,dengan demikian maka bobot bahan menjadi berkurang dan menghasilkan
3. Kadar Vitamin C
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa
perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terdapat interaksi yang
nyata (p≤0,05).
Nilai rata – rata penurunan kadar vitamin C tepung daun kelor dari
perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan dapat dilihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Nilai rata – rata kadar vitamin C tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan.
Perlakuan
Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar vitamin C tepung daun
kelor dengan perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan adalah
berkisar antara 10,596 – 20,914 mg/g. Perlakuan suhu pengeringan 50°C dan
waktu pengeringan 4 jam menunjukkan kadar vitamin C yang paling tinggi yaitu
20,914 mg/g, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C
dan lama pengeringan 6 jam menunjukkan kadar vitamin C yang paling rendah
Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan
terhadap kadar vitamin C pada tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar vitamin C pada tepung daun kelor.
Gambar 8 menunjukkan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan
dengan lama pengeringan maka kadar vitamin C akan semakin menurun, hal ini
disebabkan karena vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah teroksidasi
oleh karena adanya panas. Waktu pengeringan yang lama juga akan mempercepat
laju oksidasi vitamin C.
Menurut Winarno (2002), bahwa dari semua vitamin yang ada, vitamin C
merupakan vitamin yang paling mudah rusak. Disamping mudah larut dalam air,
vitamin C mudah teroksidasi dan proses tersebut dipercepat oleh panas, alkali,
sinar, enzim dan oksidator, serta oleh katalis tembaga dan besi. Waktu
pengeringan yang singkat juga akan memperkecil laju oksidasi vitamin C
4. Kadar β- karoten
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa
perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan terdapat interaksi yang
nyata (p≤0,05).
Nilai rata – rata penurunan kadar β- karoten tepung daun kelor dari
perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 6. Nilai rata – rata kadar β- karotentepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan.
Perlakuan
Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar β- karoten tepung daun
kelor dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah
berkisar antara 30.072 – 47,110 μg/g dan β- karoten yang paling tinggi yaitu
47,110 μg/g, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C
dan lama pengeringan 6 jam menunjukkan kadar β- karoten yang paling rendah
pada tepung daun kelor ini yaitu sebesar 30.072 μg/g.
Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan
Gambar 9. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar β- karotenpada tepung daun kelor.
Gambar 9. Menunjukkan bahwa kadar β- karoten meningkat pada suhu
600C namun mengalami penurunan pada suhu 700C. peningkatan kadar β- karoten
pada suhu 500C ke 600C disebabkan karena penurunan kadar air tepung daun
kelor yaitu dari suhu 500C (15,431-13,756) sampai suhu 600C (12,444-10,128).
Pada suhu 700C terjadi penurunan kadar β- karoten, kemungkinan hal ini
disebabkan oleh rusaknya kadar β- karoten karena pemanasan. Kerusakan karoten
terjadi selama pengeringan yang disebabkan oleh reaksi oksidasi akibat adanya
panas dan oksigen. Menurut Muctadi (1989), betakaroten dapat mengalami
kerusakan akibat pengeringan, susut yang cukup besar terjadi jika terdapat
oksigen (udara). Peryataan Winarno (2002), Vitamin A pada umumnya stabil
terhadap panas, asam, dan alkali. Sayangnya mempunyai sifat yang sangat mudah
teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama
5. Aktivitas antioksidan (DPPH)
Berdasarkan hasil analisis ragam aktivitas antioksidan (DPPH) (Lampiran
7) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan
terdapat interaksi yang nyata (p≤0,05).
Nilai rata – rata penurunan kadar DPPH tepung daun kelor dari perlakuan
suhu pengeringan dengan waktu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai rata – rata DPPH tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan.
Perlakuan
Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar DPPH tepung daun kelor
dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah berkisar
antara 23,561 – 35,777 % dan DPPH yang paling tinggi yaitu 35,777%,
sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C dan lama
pengeringan 6 jam menunjukkan kadar DPPH yang paling rendah pada tepung
daun kelor ini yaitu sebesar 23,561%.
Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan
Gambar 10. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar DPPH pada tepung daun kelor.
Gambar 10 menunjukkan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan
dengan lama pengeringan maka aktivitas antioksidan akan semakin menurun, hal
ini disebabkan karena terjadinya reaksi oksidasi. Antioksidan yang terkandung
dalam daun kelor adalah vitamin C, betakaroten, dan fenol. Daun Kelor
merupakan salah satu dari 9 jenis sayur yang memiliki nilai aktivitas antioksidan
yang kuat dan kandungan asam askorbat serta total phenol yang cukup tinggi
yaitu 115 % Nagata dan Engle (2002). Pada suhu pengeringan 50oC dengan lama
pengeringan 5 jam aktivitas antioksikdan tertinggi karena pada saaat pengeringan
dengan perlakuan tersebut tidak banyak kandungan vitamin yang mengalami
kerusakan,sehingga aktivitas antioksidan tepung daun kelor tinggi. Semakin tinggi
suhu pengeringan mempercepat terjadinya oksidasi dari vitamin C ataupun enzim