1.
SURAT IZIN WAWANCARA
Untuk ibu C Tri Lestari tidak jadi menjadi narasumber karena mendadak berhalangan sehingga dicoret dan diganti dengan ibu Kinting Handoko.
2.
LEMBAR KONSULTASI SKRIPSI
FORMULIR KONSULTASI SKRIPSI/TUGAS AKHIR
Semester 8
Nama Mahasiswa : Hasna Rafida Sari
NIM 00000024074
Dosen Pembimbing : Dr. Bherta Sri Eko Murtiningsih, M.Si.
Tanggal Konsultasi
Agenda/Pokok
Bahasan Saran Perbaikan
Paraf Dosen Pembimbing
4 Februari 2021
Mengirim proposal skirpsi tugas 1 yang telah dibuat. Revisi judul, bab 1, dan bab 2
1. Saran judul lebih konseptual
2. BAB 1 lebih diperjelas dengan memasukkan apa itu simbol-simbol budaya, 3. BAB 2 pakai teori
Interaksi Simbolik, memasukkan konsep budaya dan budaya pernikahan di Jawa itu sendiri 10 Februari 2021 Zoom meeting bersama-sama membahas kematangan Etnografi
Lebih diperdalam dan dipelajari kembali etnografi khususnya etnografi komunikasi 13 Februari 2021 Pengumpulan revisi Tugas 2
1. Perbaiki sesuai dengan catatan
2. Pengutipan harus menyertakan hal yang dikutip
3. Boleh lanjut ke bab 3
20 Februari 2021
Pengumpulan revisi tugas 3
1. Deskripsi direvisi sesuai dengan catatan. 2. Teknik analisis data
harus berisi tentang: situasi komunikasi, tindakan komunikasi, peristiwa komunikasi. 3. Diberi buku-buku
15 Maret 2021 Pengumpulan revisi tugas 4
1. Perbaikan sesuai dengan catatan
2. Ada pengutipan yang kurang menyertakan halaman
3. Diperjelas untuk
worldview orang Jawa
22 Maret 2021 Pengumpulan revisi tugas 5
1. Semua kutipan harus menyertakan nomor halaman
2. Penjelasan paradigma harus menyertakan aspek ontologi, epistemology 3. Istilah yang digunakan
harus konsisten yaitu informan.
4. Diberi contoh pertanyaan etnografi
28 Maret 2021 Konsultasi
pertanyaan penelitian
1. Pertanyaan riset sudah oke
2. Dokumentasi foto semua prosesi ritualnya serta property yang digunakan 3. Tanya tekait belief,
worldvide, dan value
27 Mei 2021 Konsultasi BAB 4 dan 5
1. Perbaiki sesuai dengan catatan
2. Lebih dilihat lagi value,
belief, attitude,
worldview orang Jawa
seperti apa
31 Mei 2021 Mengganti judul, perbaikan abstrak
1. Perbaikan abstrak ditambahkan hasil sesuai kesimpulan
2. Pada ‘riasan manten’ perlu dihilangkan dan langsung saja ‘ritual pernikahan’
Dosen Pembimbing
5.
DOKUMENTASI
Video:
http://bit.ly/DokumentasiPenelitianHasna
Gambar 31 Wawancara dengan dr. Soediro
Gambar 32 Setelah Wawancara dengan Ibu Arnie Suryo
Gambar 33 Wawancara dengan Listyorini Dian
Gambar 34 Wawancara dengan Ibu Kinting Handoko
6.
TIMELINE
Tanggal Waktu Kegiatan Keterangan
15 Maret 2021 – 24 Maret 2021 08.00 – 21.00 WIB Menghubungi perias pengantin tradisional yang akan menjadi narasumber penelitian. Peneliti menghubungi sepuluh narasumber.
Awalnya peneliti mendapatkan senior perias pengantin yang masih keturunan Keraton Yogyakarta, namun ternyata beliau sudah meninggal pada bulan Januari lalu. Kemudian peneliti baru bisa mendapatkan final
narasumber di tanggal 24 Maret 2021.
31 Maret 2021 10.00 WIB Flight ke Jogja untuk
persiapan penelitian
Penulis menginap dan berkoordinasi menuju tempat rias ibu Arnie Suryo 1 April 2021 14.00 WIB Menepati janji
bertemu kali pertama dengan Ibu Arnie Suryo (perias pengantin tradisional yang mengizinkan untuk meliput prosesi adat)
Penulis memberikan surat izin melaksanakan penelitian yang diberikan oleh UMN, sekaligus membicarakan teknis dan prosedur mengikuti rangkaian adat pernikahan yang digelar. Penulis mengikuti Ibu Arnie Suryo dan diizinkan bergabung dengan tim mereka. Penulis diberikan waktu dua hari yaitu Jumat, 2 April 2021 dan Sabtu, 3 April 2021.
2 April 2021 10.00 WIB Mengikuti rangkaian adat Siraman di kediaman pengantin wanita. Penulis melakukan pengamatan dan dokumentasi kegiatan yang dilakukan selama
prosesi Siraman
berlangsung. Mulai dari pengantin wanita dirias,
sampai upacara
berlangsung. Dalam penelitian ini pengantin wanita tidak berkenan untuk diwawancarai dan
memberikan informasi terkait, sehingga penulis hanya melakukan kontak informasi dengan Ibu Arnie Suryo selaku perias pengantin tradisional dan juga pembimbing adat. 13.33 WIB Mengikuti proses
riasan
Peneliti menyaksikan proses merias dan mendokumentasikan apa yang dilakukan oleh Ibu Arnie Suyo. Pengantin wanita mengenakan kain mori putih dibalut dengan batik jumputan dan bunga melati. Pengantin wanita juga diberi hiasan kepala berupa rangkaian bunga melati.
14.00 WIB Upacara Siraman Berlangsung
Peneliti melakukan dokumentasi dari pemasangan tarub yang dilakukan oleh orang tua pengantin wanita. Setelah pemasangan tarub, orang tua pengantin melakukan
cethik geni. Di sini
dimaksudkan bahwa keluarga ini telah siap memberikan harapan baru. Peneliti mengikuti prosesi siraman yang dilakukan oleh ayah, ibu, serta sesepuh pengantin wanita. Air yang disiramkan merupakan air yang diambil dari tujuh sumber. Diberikan bunga dengan
berbagai macam.
Pengantin wanita duduk di bangku yang disediakan dan ibu pengantin membalurkan sabun ke tubuh pengantin wanita, kemudian disiram dengan air.
Selanjutnya acara pecah kendi. Setelahnya pengantin wanita melakukan ritual ngerik. Dimana perias pengantin melakukan kerikan pada rambut-rambut kecil yang ada di muka pengantin wanita untuk kemudian dilukis menjadi paes. Paes yang terlihat di sini masih samar-samar, hal ini dimaksudkan bahwa pengantin wanita telah siap untuk melakukan acara pernikahan pada esok hari. Peneliti mengamati pengantin wanita yang dirias kembali. Perias pengantin seperti merapal doa ketika akan melukis
paes.
3 April 2021 04.00 s.d. 07.26 WIB
Rias pengantin wanita Pengantin wanita dirias menggunakan riasan adat Jogja. Peneliti melakukan observasi dan dokumentasi saat pengantin wanita dirias hingga riasan selesai dilakukan. Untuk adat yang digunakan adalah Jogja Putri. Di dalam sanggul terdapat bintang- bintang, juga mengenakan
cunduk mentul, dan juga
paes hitam. Pengantin wanita juga menggunakan rangkaian bunga melati segar di sanggul bagian atas dan samping kanan. Di sanggul bagian dalam juga diberikan bunga mawar putih asli. Pada wajah pengantin wanita diberi satu titik di t-zone. Selain itu jumlah cunduk
mentul yang digunakan
adalah tiga.
08.00 WIB Acara Ijab Kabul Peneliti menyaksikan prosesi ijab Kabul yang dilakukan oleh mempelai laki-laki dengan wali pengantin wanita. Pengantin wanita menunggu di luar gedung pernikahan.
09.48 s.d. 10.00 WIB
Acara Panggih Peneliti melihat perwakilan dari keluarga pengantin wanita yang sudah menikah, setengah baya berjumlah dua orang
membawa kembang
mayang. Kembang
mayang ini dibawa
bersamaan dengan pengantin wanita berada di belakangnya untuk bertemu dengan pengantin laki-laki. Kembang
mayang dibuang keluar
area pernikahan, sementara pengantin wanita dipertemukan di pusat perhatian para tamu untuk melangsungkan upacara panggih.
10.00 s.d. 14.00 WIB
Pengantin wanita dan laki- laki melakukan kacar-
kucur, dhahar kalimah, pangabekten, dan berakhir
dengan resepsi. Sebelum resepsi dilaksanakan, pengantin berganti busana dan terdapat perubahan pada cunduk menthul serta warna bunga mawar yang dikenakan. Ketika resepsi,
cunduk menthul yang
digunakan berjumlah lima, dengan bunga mawar merah asli.
13.00 s.d. 14.00 WIB
Wawancara dengan Ibu Arnie Suryo
Setelah mengikuti rangkaian prosesi pernikahan, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan Ibu Arnie Suryo.
4 April 2021 10.00 WIB s.d. 14.00 WIB
Berkunjung ke rumah Ibu Kinting Handoko (narasumber
pengganti Ibu C.
Peneliti disambut oleh Ibu Kinting Handoko di rumahnya sekaligus tempat kursus perias pengantin. Wawancara dilakukan di ruang tengah Ibu Kinting. Topik
pembahasan lebih detail.
9 April 2021 Wawancara dengan
dr. Soediro (secara daring)
Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan dr. Soediro sebagai ayah dari Listyorini Dian Pratiwi yang pernah menikahkan putrinya dengan menggunakan jasa perias tradisional.
14 April 2021 Wawancara dengan
Listyorini Dian Pratiwi (Secara daring)
Peneliti melakukan wawancara dengan Listyorini Dian Pratiwi yang memiliki pengalaman menggunakan jasa perias pengantin tradisional dan adat yang sesuai dengan Keraton.
TRANSKRIP WAWANCARA IBU ARNIE SURYO 2 April 2021
TIMECODE PEMBICARA JAWABAN WAWANCARA
00:00:27 – 00:00:35 Peneliti Sebelumnya Ibu, boleh perkenalkan diri terlebih dahulu? Nama, lalu profesinya sebagai apa dan usianya.. 00:00:36 – 00:00:50 Ibu Arnie Suryo Oke, terima kasih nama saya Arnie
Suryo berasal dari Yogyakarta, usianya saat ini empat puluh dua taun, dan profesi saya adalah perias pengantin. 00:00:50 – 00:01:00 Peneliti Nah, Ibu kan berarti sering merias
pengantin, apa yang sebenarnya membedakan riasan Jawa dengan riasan yang lainnya?
00:01:00 – 00:01:36 Ibu Arnie Suryo Sebenarnya kalau adat itu berbagai macam ya, Solo, Jogja, Palembang atau manapun adat itu riasannya akan macam-macam. Pasti akan punya ciri khas tersendiri. Kalau Jogja itu adalah
paes. Jogja itu ada Jogja Putri, Paes Ageng, Paes Ageng Kanigaran, Paes Ageng Jangan Menir, Jogja Selikuran, Jogja Berkerudung. Jadi ada macam-
macam juga.
00:01:36 – 00:01:44 Peneliti Tapi yang paling menjadi ciri khas dari Jogja itu sendiri yang mana Bu yang masih aslinya?
00:01:45 – 00:01:54 Ibu Arnie Suryo Ee, sebetulnya semuanya asli. Hanya yang membedakan itu di bajunya saja. Jadi semuanya masih asli dari Keraton. 00:01:54 – 00:02:06 Peneliti Lalu, untuk budaya merias pengantin secara tradisional ya, apakah ibu akan menyimpan sendiri atau nanti akan dibagikan juga ke generasi berikutnya? 00:02:07 – 00:02:32 Ibu Arnie Suryo Ya pasti akan aku bagikan. Terus terang, aku seneng banget kalau ada anak muda itu mau belajar tentang adat, riasan paes, bukan hanya makeup saja, tapi paes , adat istiadatnya itu lebih seneng banget, dan pasti dengan senang hati akan aku bagikan.
00:02:32 – 00:02:39 Peneliti Dengan zaman yang seperti sekarang ini, mungkin tidak riasan Jawa mengalami modifikasi?
00:02:39 – 00:04:31 Ibu Arnie Suryo Sebenarnya kalau modifikasi itu sudah berjalan ya. Pakemnya itu akan kita pakai pada saat ujian atau pagelaran saja. Jadi kalau kita istilahnya merias pengantin itu namanya ‘PY’, payu itu sudah memodifikasikan. Umpamanya begini, makeup Jogja Putri itu eye-
shadownya warnanya hijau, cokelat,
dan warna highlight-nya kuning, tapi ini kan bisa kita modifikasikan eye-
shadow pakai cokelatnya saja,
percantik. Alis harus melengkung indah, nah ini bisa kita buat cantik, ada yang kekinian yang agak besar sedikit, nah contohnya seperti itu. Kalau pakemnya kan memang tidak ada. Tapi ada yang harus tetap kita pertahankan, pakem itu tidak boleh dirubah. Kalau Jogja Putri ya harus ada cunduk mentul yang ganjil, minimal satu, maksimal sembilan. Y seperti yang Mbak saksikan kemarin, saya pakainya Jogja Putri Modifikasi. Modifikasi ini sudah dibakukan oleh HARPI Melati Yogyakarta, jadi tidak asal-asalan ya. Perlu diketahui kalau dalam riasan pengantin boleh dilakukan modifikasi, namun pada saat pelatihan, moment tertentu riasan harus sesuai dengan pakem Keraton. Di dalam riasan pengantin Jogja Putri, ada pelik, roncean melati, mentul, gunungan, jarik sido-sido, letak modifikasinya ada di keket, tibo dodo, dan pemakaian kebaya. Namun ini tidak mengurangi maknanya ya..” Satu itu lambang Tuhan, tiga adalah mahadewa atau trimurti, kalau lima ya rukun Islam , tujuh itu angka keberuntungan ya yang intinya adalah berkat karena ‘pitulungan’, dan sembilan lambang walisongo. Hadapnya menthul dan gunungan ini juga ke belakang soalnya melambangkan perempuan Jawa itu cantiknya lahir dan batin, depan dan belakang cantik. Ada citak juga yang
dilukis di kening maknanya ya perempuan itu harus bisa lurus, fokus menghadap ke depan, lalu sanggul yang dipakai ini sanggul pelik.” Contohnya paes ageng, sanggul itu tetap harus dari pandan, jumlah mentul harus lima, harus ada jebehan dan bunganya itu harus bunga sri taman ada warna merah, kuning, hijau tidak boleh diganti oleh bunga segar. Itu harus pakai ini. Lainnya seperti makeup , Paes Ageng itu sebetulnya tidak ada
eye-shadownya, dia ada jahitan mata, nah
ini biar lebih cantik kita kasih
eye-shadow , pakai bulu mata. Tapi alis
tetap harus menjangan
ranggah tidak boleh alis cantik.
00:04:31 – 00:04:43 Peneliti Oke, nah sebetulnya kan saya mengikuti prosesi dari Siraman, Akad, Panggih, sampai Resepsi, nah riasan pengantin itu apa memang harus selalu berubah untuk tiap prosesinya ya Bu? 00:04:43 – 00:05:08 Ibu Arnie Suryo Sebenarnya tergantung ya, tapi saya
senang merubah biar pengantin itu berbeda eyeshadow, warna lipsticknya berbeda. Tergantung kitanya sebetulnya.
00:05:08 – 00:05:10 Peneliti Oh, berarti tidak ada aturan khusus ya? 00:05:10 – 00:05:11 Ibu Arnie Suryo Tidak ada
00:05:11 – 00:05:23 Peneliti Kalau untuk paes? Kemarin saya lihat di Siraman itu warnanya cokelat, kemudian ketika hari H-nya warnanya hitam, mengapa kok ada perbedaan seperti itu bu?
00:05:24 – 00:06:12 Ibu Arnie Suryo Kalau midodareni itu, ee setelah Siraman itu adalah kita kerik, terus kita
paes itu namanya meng-halub-halupi.
Orang Jawa bilang ini adaah gambaran besok yang akan dipakai besok. Jadi hari ini ‘samarnya seperti ini’. Di kerik,
kerik itu adalah membuang sukerto
yang intinya rambut-rambut halus yang intinya kalau zaman dulu itu ‘kita itu kecil harus dipotong’, nah itu membersihkan semuanya. Kenapa ada
membersihkan diri untuk melangkah ke jenjang yaitu menikah’, membina rumah tangga, begitu.
00:06:12 – 00:06:28 Peneliti Oh begitu.. Nah kalau untuk ritual ini kembali ke yang pakemnya ya, kalau misalkan ritual merias pengantin itu sebenarnya seperti apa, kalau menurut pakem? Apakah ada sesajennya di situ, atau gimana Bu?
00:06:29 – 00:08:00 Ibu Arnie Suryo Em, sebenarnya itu bukan ritual ya kalau saya bilang ya. Jadi kaya ‘adat’. Nah adat itu semakin ke sini itu ada orang yang pengen tetap adat itu dipakai, jadi adat itu setiap daerah punya sendiri-sendiri, jadi bukan
pakem. Sesajen itu sebenarnya bukan pakemnya. Orang ada yang mau, takut
kalau nanti ada yang ‘saya ngga mau musrik’, antara adat sama agama itu memang tidak bisa dijadikan satu, tapi sebenarnya ini adalah satu kesatuan. Jadi kaya apa ya, saya umpamanya sebelum melakukan merias pengantin, biar mangling saya seperti apa, saya akan melakukan ritual buat saya sendiri, tapi itu bukan pakem. Saya senang puasa, Senin-Kamis ini buat apa, buat saya sendiri biar semua berjalan dengan lancar, pengantin bisa intinya pasrah dengan saya untuk saya rias, nrimo, jadi ngga untuk hal-hal yang lainnya. Kalau saya itu yang saya lakukan, ini buat saya sendiri dan client saya di hari H bisa berjalan lancar, sukses, ngga ada halangan suatu apapun.
00:08:01 – 00:08:13 Peneliti Saya pernah sempat mendengar tentang sembogo, apakah ibu masih termasuk perias pengantin yang masih menjalani sembogo, atau tidak dan kenapa?
00:08:13 – 00:10:07 Ibu Arnie Suryo Oke, ya saya sudah tidak menggunakan
sembogo lagi, karena saya terkenalnya
adalah ‘perias milenial’. Jadi saya bisa
makeup yang mengikuti zaman dan
tapi saya tidak mau mempercantik pengantin saya dengan hal-hal yang ya dalam tanda kutip ya. Tapi saya akan mempercantik pengantin saya dengan kecantikannya yang dia miliki. Seperti ‘oh ini sudah cantik, oh saya poles sedikit saja dia sudah sangat cantik’ nah itu akan saya cari kekurangan dan kelebihan dia. Kelebihannya akan saya tonjolkan, kekurangannya akan saya sembunyikan dengan cara skill saya merias di dalam sembogo yang intinya untuk mangling. Dimana mangling itu tadi, sama saya akan melakukan ritual saya seperti tadi puasa dan lainnya, pengantinpun akan saya suruh untuk melakukan ‘mbak puasa, tiga hari sebelum hari H’, buat apa buat ketika hari H dia lebih tenang, lebih menikmati, itu akan memunculkan aura alami yang dikeluarkan sendiri itu satu. Yang kedua, kalau dia saya rias sesuai yang diinginkan, saya akan selalu tanya konsep. Konsepnya seperti apa
makeupnya seperti apa, akan saya
tanyakan asal tidak merubah ‘pakem’. Ada yang patokan-patokan yang tidak boleh dirubah ada yang boleh dirubah, nah disitulah akan keluar karena dia
happy, dan di situlah sembogo saya
secara alami. Jadi tidak pakai yang macam-macam.
00:10:08 – 00:10:25 Peneliti Yang misalkan pakai rokok, diuapi. Tapi misalkan, Ibu tidak berpuasa atau tidak melakukan ‘apa’ gitu, itu akan berpengaruh ngga sih Bu sebenarnya? Misalkan ketika meriaskah, atau mantennya kenapa
00:10:25 – 00:11:31 Ibu Arnie Suryo Sebenarnya tidak mbak. Kadang kan perempuan ada datang bulan kan, nah saya otomatis kan ngga akan puasa. Nah itu juga Alhamdulillah tidak sama sekali, karena saya akan selalu menekankna ‘mbak puasa dulu’, pengantin juga belum tentu mau, ada yang mau ada yang tidak. Jadi eranya
sudah milenial banget gitu kan, jadi ada yang mau ada yang tidak, hanya memohon ‘Ya Allah, beri kelancaran, semoga ini berjalan lancar’ dan saya hanya bilang request pengantin seperti apa, jadi komunikasi yang penting nah pas hari H akan saya munculkan. Tadi ikut prosesi kan? Lihat saya marah sedikit, karena mood pengantin turun itulah tugas saya, jangan sampai pengantin itu mood-nya seperti tadi. Begitulah dengan doa tapi kita dengan tindakan juga harus kita lakukan. 00:11:32 – 00:11:41 Peneliti Nah kalau untuk perias pengantin ini
sebenarnya harus bawa apa saja ketika merias? Maksudnya hal khusus yang harus dibawa
00:11:42 – 00:12:01 Ibu Arnie Suryo Kalo hal khususnya aku tidak ada, emang aku orangnya terbuka nggada yang saya sembunyikan, orang mau lihat, saya persilakan, saya bukan orang yang penuh rahasia.
00:12:01 – 00:12:18 Peneliti Hahaha iya. Ketika prosesi ini berlangsung, si pengantin perempuan harus seperti apa ya? Selain persiapan kepada Tuhan, persiapan secara fisiknya itu seperti apa?
00:12:08 – 00:14:07 Ibu Arnie Suryo Jadi gini, pas hari H, saya tidak mengizinkan dia untuk puasa. Ada juga orang tua yang bilang ‘harus puasa mbak Arnie sebelum akad nikah’. Saya bilang puasanya sudah kemarin, jadi kita harus memberikan penjelasan, pengantin itu harus makan, jangan sampai dia lupa makan. Karena apa, apa yang dia pakai itu berat, sanggul, perhiasan, dia harus bangun pagi, dan ini di luar kebiasaan. Dan ini berat sekali, dan ini saya akan menjelaskan. Di awalnya sudah saya jelaskan, biar mentalnya kuat, minum vitamin, jaga kesehatan. Lalu kalau dia pakai skincare dari dokter harus dilepas selama dua minggu, jadi ini persiapan mental dia yang biar dia itu di hari H jadi bagus, riasan awet sampai akhir.
Harus kita memang memberikan di depan itu tadi, arahannya. Lalu apa yang dipakai harus tahu. Misalnya baju bukan dari saya, hillsnya seberapa, jadi tidak hanya merias saja tapi komunikasi juga penting, begitu. 00:14:07 – 00:14:21 Peneliti Nah bu, busana yang dikenakan itu kan
berbeda-beda ya, pasti ada makna- maknanya sendiri-sendiri ya, kemarin ketika Siraman sempat saya lihat pakai kain putih/mori, kenapa harus mori? 00:14:21 – 00:15:18 Ibu Arnie Suryo Ya, nah kalau Jogja siraman itu pakai
mori, kalau Solo tidak pakai itu perbedaannya. Mori tidak bleh dijahit, benar lembaran, karena kamu ketika menghadap Yang Di Atas, posisinya pakai kain putih nah itu. Kamu memang disucikan tidak boleh ada jahitannya. Sebenarnya kalau Jogja tidak memakai jumputan seperti kemarin itu, bukan. Sebenarnya pakai jarik namanya grompol dan nogosari. Tapi karena eranya sudah milenial tadi, mereka maunya seperti itu tapia da satu yang tidak boleh ditanggalkan, ‘mori’. 00:15:18 – 00:15:32 Peneliti Nah, sekarang masuk ke riasan ya Bu.
Untuk paes kemarin saya lihat ibu sempat menggambar, itu sebenarnya maknanya apa ya Bu?
00:15:32 – 00:16:35 Ibu Arnie Suryo Itu adalah ukurannya. Kemarin itu mengukur namanya, kalau paes Jogja itu ada ukurannya 3-3-2,5. 3 adalah
penunggul, 3 lagi itu nanti buat pengapit, 2,5 itu buat penitis. Godeg,
itu 2 dari telinga di tengah em cuping ya? Nah itu jaraknya. Itu jarak itu setiap
client pasti akan berbeda, biarpun
ukuran saya sama tapi tempatnya akan berbeda karena menyesuaikan bentuk wajahya juga. Kalau ternyata mukanya bulat sekali, pasti akan dibuat agak lebar sedikit, jadi fleksibel dan ukurannya masih wajar, dan pasti di
penunggul yang ada bedanya, lainnya
00:16:35 – 00:16:40 Peneliti Tapi itu ngga papa ya Bu berubah- ubah karena setiap wajah beda-beda? 00:16:40 – 00:17:20 Ibu Arnie Suryo Iya tidak apa-apa memperindah
namanya, tapi jangan sampai berubah sekali. Namun bentuknya tetap seperti daun sirih itu. Depannya itu bentuknya seperti daun sirih, terus pengapitnya seperti Bunga kanthil, penitisnya itu seperti daun sirih yang kecil. Godeknya itu seperti mangut. Tahu mangut ngga? 00:17:20 – 00:17:21 Peneliti Apa itu Bu?
00:17:21 – 00:17:42 Ibu Arnie Suryo Eh kok mangut yang buat kelapa itu, oh
pangut. Nah itu bentuknya memang
seperti itu.
00:17:42 – 00:17:49 Peneliti Tapi pembuatan paes itu sebetulnya ada maksudnya ngga sih Bu? Arahnya kenapa begitu
00:17:49 – 00:18:24 Ibu Arnie Suryo Arahnya ke ujung hidung semuanya.
Wondo luruh namanya, artinya itu biar
perempuan itu harus selalu rendah hati, lalu selalu jangan sampai sombong, bisa jaga rahasia suami, semuanya punya makna tersendiri.
00:18:24 – 00:18:43 Peneliti Terus yang di bagian sanggul, itu saya lihat ada bunga putih lalu berubah jadi merah, lalu mentulnya awalnya tiga jadi lima. Ini kenapa ada perbedaan seperti itu?
00:18:44 – 00:19:42 Ibu Arnie Suryo Kalau bunga kan menyesuaikan warna bajunya, jadinya kalau Jogja Putri sebenarnya tidak apa-apa. Tapi sebenarnya tidak pakai bunga segar, ada namanya jebehan. Jadi warnanya merah bisa, putih bisa menyesuaikan warna baju, terus kalau mentulnya yang benar sebenarnya hanya satu menghadap ke belakang, gununganpun menghadapnya ke belakang. Tapi karena sekarnag itu sudah dimodifikasi akrena ini juga PY, juga buat dokumentasi maka dihadapkan ke depan. Mentulnya itu harus ganjil, palong banyak lima, bisa dipilh satu, tiga atau lima.
00:19:42 – 00:19:45 Peneliti Oh ya apakah masih ada ya Bu yang pakai mirip dengan Keraton?
00:19:46 – 00:20:08 Ibu Arnie Suryo Kalau mentul menghadap ke belakang sudah tidak ada yang mau. Cuma kalau
mentul satu masih ada yang suka. Nanti
pakainya bludru pendek sama dengan baju pakemnya juga, tapi kalau menghadap ke belakang, mereka sudah tidak mau. Mungkin kesannya aneh. 00:20:08 – 00: 20:17 Peneliti Ketika ibu mencoba untuk merias
melakukan prosesi seperti ini, itu ada doa khususnya atau tidak?
00:20:18 – 00:21:48 Ibu Arnie Suryo Aku punya doa khusus tapi buat aku sendiri ya hahahaha. Tidak mungkin aku publikasikan ya, tetap ada, ngga mungkin aku asal pegang pengantin tanpa ada doanya. Seperti panggih tadi saya harus wiji dadi pecah telur, itu tidak asal pencet di dahinya pecahin enggak, semua ada doanya. Jadi di situ biasanya saya kalo tidak me-manggih- kan, umpamanya saya ada di job lain, saya akan mencarikan tim saya dengan syarat sudah punya suami, punya anak, rumah tangganya bagus, karena kita adalah contoh buat pengantin. Kita mendoakan orang lain, kita harus baik dulu, ini menurut saya. Jadi kalau menurut saya, kalau kita sudah baik, intinya dalam hal berumah tangga bagus, mendoakan orang akan bagus juga, bisa buat tauladan. Tapi, kalau kita tidak bagus, ya tidak bisa.
00:21:48 – 00:21:53 Peneliti Berarti ini tidak boleh dilakukan oleh orang yang belum menikah? Harus sudah memiliki keluarga
00:21:54 – 00:22:31 Ibu Arnie Suryo Iya, harus sudah menikah. Kalau perias pengantin memang kalau sudah menikah, semakin dipercaya orang juga. Apalagi paes, kalau mungkin kita
makeup saja, mungkin tidak apa-apa,
tapi paes itu memang mengandung banyak makna dan doanya. Pengen anaknya yang dipegang pun, yang pegang itu adalah orang yang benar- benar bisa dipercaya.
00:22:32 – 00:22:35 Peneliti Oke, lalu apakah doa dari setiap perias pengantin itu beda-beda Bu?
00:22:37 – 00:22:41 Ibu Arnie Suryo Mungkin iya.
00:22:42 – 00:22:57 Peneliti Nah, prosesi adat seperti ini tadi itu kemungkinan masih akan dilakukan oleh Ibu, dari tahun ke tahun akan sama, atau mungkin ‘oh tahun depan’ mungkin akan ada modifikasi lagi? 00:22:58 – 00:24:11
(break sebentar karena ada telepon)
Ibu Arnie Suryo Kalau buat kaya ritual yang adatnya kaya panggih, siraman kaya kemarin, tidak ada kata modifikasi, tetep pakemnya ada. Panggih tidak bisa dimodifikasi, paling dimodifikasinya adalah kirabnya. Jadi waktu cuci kaki, lempar sirih, itu semua sama dan urutannya pisang sanggan masuk dulu, itu adalah sama karena ada artinya.
Pisang sanggan adalah menjemput
pengantin putri turun dari pelaminan karena di pelaminan jaman sekarang, kalau zaman dulu jemput pengantin putri di dalam kamar. Jadi sebenarnya maknanya sama, karena dulu itu akad nikah harus di rumah, karena apa pengantin putri ada di dalam kamarnya, tanda tangan akan ada di dalam kamarnya, ia akan ketemu di saat
panggih, nah tebusannya apa pisang sanggan itu tadi.
00:25:30 – 00:25:50 Peneliti Baik Bu, dalam pelaksanaan prosesi itu sebetulnya siapa sih yang boleh berbicara? Sebagai yang dituakan di situ, apakah memang orang yang sudah berpengalaman, atau boleh siapa saja? 00:25:50 – 00:26:27 Ibu Arnie Suryo Yang memandu adat adalah periasnya,
yang tahu adat yang sudah mempelajari semua seluk beluk adat biar tidak salah kaprah. Kalau kaya pranotocoro itu ada lagi itu MC, semua orang bisa belajar karena dia akan memandu acara dalam artian dia yang pakai pengerasnya, kita yang memandu. Namun beliaupun harus tahu, ini
acaranya seperti apa, maknanya seperti apa juga harus tahu.
00:26:27 – 00:26:31 Peneliti Tapi yang memandu adat dari awal sampai akhir, itu perias?
00:26:38 – 00:26:44 Oh ya Bu, kan ada MUA ada perias pengantin, berarti kalau MUA ngga bisa melakukan itu?
00:26:45 – 00:27:31 Ibu Arnie Suryo MUA itu sebenarnya sama ya juga perias, cuman di mana mereka hanya merias. Mungkin njariki saja ngga bisa, selesai makeup ya sudah. Kalau perias itu beda banget, emang kita harus
njariki, menunggu sampai selesai
sampai seperti ini, kalau manten ada apa-apa kita tanggung jawab, dan kita tahu semua acara itu seperti apa tidak ditinggal langsung hilang.
00:27:31 – 00:27:34 Peneliti Berarti memang perias itu ‘beda’ dengan MUA
00:27:34 – 00:27:57 Ibu Arnie Suryo Sebenarnya perias itu MUA juga karena sama-sama merias ya, cuman orang sekarang MUA tidak mau dikatakan perias, perias pengennya jadi MUA hahaha begitu.
00:27:58 – 00:28:00 Peneliti Hahaha iya Bu, tapi kalau untuk merias pengantin seperti ini, apa tidak ada ketentuan usianya, lalu ‘harus keturunan Keraton’?
00:28:01 – 00:29:44 Ibu Arnie Suryo Enggak. Yang penting kita bisa mempelajari, menekuni, pasti itu akan dengan sendirinya merasuk di jiwa kita, terus akan menjadi darah daging kita, nah itu tadi, ritual itu akan secara tidak langsung akan kita lakukan dari hati. Saya itu sebetulnya juga bukan dari keturunan Keraton. Bukan anak perias juga, tapi karena saya senang melakukan ini semua, saya selalu melihat ritualnya, saya akan belajar dari yang sesepuh-sesepuh, umpamanya cerita saya akan dengarkan saya akan kuping, besok akan saya lakukan di rumah. Jadi saya tipe orang yang ingin tahunya tinggi. Saya bukan tipe orang ‘elu, elu’, ‘gue,gue’, di saat ini adalah pekerjaanku, aku harus melakukan sepenuh hati, akhirnya saya akan belajar, ritual itu seperti apa, saya puasa secara Islam seperti apa, lalu ‘oh kamu
nglakoni’ namanya apa puasa mutih,
harus begini maka aku lakukan, karena akan membentuk jiwa kita menjadi orang yang bisa memberikan contoh. Makanya ritual adalah rahasia masing- masing. Kadang orang berpikiran ‘kok klenik banget sih’,
00:29:45 – 00:29:47 Peneliti Nah iya itu dia, ‘kok terlalu mistis’ atau gimana
00:29:47 – 00:29:44 Ibu Arnie Suryo Iya, itu makanya harus ‘ininya’ masing-masing lah.
00:29:45 – 00:29:58 Peneliti Tapi memang tidak ada pakemnya ya? Doanya harus seperti apa
00:29:58 – 00:30:00 Ibu Arnie Suryo Enggak.
00:30:00 – 00:30:01 Peneliti Okei, mungkin ini agak terakhir. Nah, bahasa yang digunakan ketika ibu merias itu biasa pakai bahasa apa? 00:30:02 – 00:30:34
(rekaman sempat terjeda karena kamera
mendadak mati)
00:31:35 – 00:32:12
Ibu Arnie Suryo Kebetulan saya campur-campur karena itu menyangkut keseharian saya dengan anak dan suami juga bahasa Indonesia, tapi dulu itu saya senang bahasa Jawa. Tapi karena sudah terkontaminasi dengan suami saya orang Jakarta, jadinya… Kebanyakan bahasa Indonesia, kebanyakan client tinggalnya tidak di Jogja saja, di Jakarta, Kalimantan, tapi coba saya sisipkan sedikit bahsa Jawa juga. Saya selalu akan menerapkan ‘njih’, ‘mboten’, pasti tetap ada. Itu bahasa paling alus, orang di ‘njih ibu’ itu udah merasa gimana gitu, daripada yang kita bilang ‘iya’.
00:32:15 – 00:32:27 Peneliti Sebenarnya untuk perias sendiri, seperti Ibu apakah ada baju khusus gitu? Kan saya lihat Ibu bajunya selalu berkebaya, itu kenapa?
00:32:27 – 00:33:42 Ibu Arnie Suryo Karena saja ingin menunjukkan. Saya berjilbab sehari-hari, tapi itu tadi antara agama dan adat adalah beda. Jadi di saat saya memandu adat, apalagi pengantinnya Jawa, saya juga harus berpakaian Jawa, jadi akan merasa ‘yaampun aku diginin, dihargai sekali, periasnya sampai harus berpakain
Jawa’ seperti itu. Jadi kita pernah pakai jilbab, tapi kita bingung. Pas mandu adat, kita berjilbab itu kaya bukan perias, jadi memang kita selalu bagi tim saya dan mungkin akan tahu ‘Arnie Suryo dan timnya selalu pakai sanggul’, tapi di saat saya menanyakan ‘kalian mau bersanggul’ ? Mau itu dari mereka bukan saya paksa. Saya akan memberikan seragam yang agak tertutup yang punggungnya tidak terlihat, rapi.
00:33:45 – 00:33:50 Peneliti Ketika prosesi adat, berarti antara perias dan pengantin sangat dekat ya bu? 00:33:50 – 00:33:55 Ibu Arnie Suryo Iya betul. Dekat dan memudahkan kita
untuk berkomunikasi dari hati ke hati, kalau terkoneksi doa saya bisa langsung masuk ke pengantin hehehe. 00:33:57 – 00:34:01 Peneliti Ada aturan khusus ngga sih, Bu yang
harus ditaati sama pengantin ketika dia dirias?
00:34:04 – 00:35:31 Ibu Arnie Suryo Sebenarnya kalau nurut dan pasrah itu udah enak. Tapi kan client itu beda- beda, jadi yam au tidak mau saya yang harus menikmati, kalau bagi saya pribadi ya saya yang harus menikmati, sambil ngomong pelan-pelan ‘sayang, jangan mainan hp’ begitu, jadi kita bahasanya harus bagus, tapi ya gitu tetep banyak yang mainan hp, tetep ini itu. Kalau kita dapat WO yang dilayani kita enak, dia akan tetap santai, tapi kalau tidak banyak hal yang intinya akan main hp terus mantennya karena dia ikut mengurusi. Nah itu yang membuat mood manten tidak bagus. Makanya sekarang akan saya tanya ‘kamu ada WO nggak?’, saya harus kenal WOnya. Jadi saya akan bertindakpun saya sudah tahu. Tetap jaga mood manten tetap bagus. Begitu. 00:35:02 – 00:35:37 Peneliti Tapi Bu, ngga ada pantangan khusus
kah?
00:35:37 – 00:36:27 Ibu Arnie Suryo Sebenarnya tergantung. Kalau ke kulit gitu ya, akan saya lihat, ‘oh kamu
berminyak, kamu sebulan ya nggak boleh makan pedas, gorengan, berlemak’ itu pengaruhnya bagus sekali. Saya selalu mengarahkan seperti itu dan manten merasakan. Jadi apa yang saya katakana akan dia lakukan dan dia di hari H akan lebih bahagia. Hihihi.
00:36:27 – 00:36:36 Peneliti Dalam siraman, panggih, resepsi itu sebenarnya ada ‘mitos’nya ngga ya bu? 00:36:37 – 00:38:15 Ibu Arnie Suryo Kalau sebenarnya mitos itu ngga ada. Sekarang tergantung orang ya, mau simple atau tidak. Dulu ada mitos ‘malam midodareni harus tidur di atas jam 12, biar bidadarinya turun’, dulu mungkin iya karena dulu intinya zamannya masih ‘murni’. Sekarang, bidadari sudah tidak ada mbak, sudah banyak mal, sudah modern, kalau
mantennya tidur jam 1 malam jam 3
aku rias berarti dia nggak tidur dong? Paginya ngantuk. Saya akan selalu bilang ‘gapapa mbak, udah tak selesaikan semua’, nah inilah ritual rahasia. Begitu..
00:38:15 – 00:38:22 Peneliti Tapi boleh juga kan Bu percaya misalnya ngga siraman nanti begini… 00:38:22 – 00:38:54 Ibu Arnie Suryo Tentu saja boleh. Namanya mau
membina rumah tangga, masa tidak mensucikan, tidak dibersihkan. Itu biasanya orang tuanya. Tapi itu benar juga, karena kalau dari siraman itu dilakukan, auranya akan lebih keluar ini kenyataan.
00:38:55 – 00:38:56 Peneliti Itu yang bisa melihat aura pengantinnya ‘ohh’
00:38:56 – 00:41:10 Ibu Arnie Suryo Saya dan orang nanti yang melihat ‘oh kamu beda’ orang bisa merasakan, bahwa dia anggun ini itu, karena beneran disucikan, didoakan sesepuh juga, nah itu memang mitosnya tetap ada. Tapi orang kembali percaya atau tidak. Kaya panggih sekarang banyak tidak dilakukan, karena tidak mau ribet, tapi di situ itu banyak maknanya, kaya ‘lempar sirih’ ini adalah pertemuan
pertama yang jatuh cinta pertama siapa akan ketahuan, bener ada mitosnya bahwa yang melempar pertama y aitu yang naksir pertama dan itu pasti ketahuan. Hasrat ingin melempar itu ‘udah ketauan’, saya sudah melihat yang buru-buru melempar siapa. Aku suka iseng tanya ‘yang naksir duluan kamu ya waktu itu’, mantennya ‘kok tau bu?’ jadi dari itunya tadi. Terus telur pecah, kalau saya banting pecah, dia langsung punya anak. Terus kalau pecahnya agak lama, pasti ada jangkanya. Percaya tidak percaya, karena saya mengalami sendiri. Percaya tidak percaya tapi ada. Ada aja kok mbak, pasti ada.
00:41:10 – 00:41:48 Peneliti Misalnya pas ibu merias, pengantinnya sudah dibilangi sebulan tidak boleh ini itu, tapi dia melangar gitu Bu, apakah pernah terjadi?
00:41:48 – 00:42:14 Ibu Arnie Suryo Kalau itu masalahnya di riasan, pasti ada masalahnya. Kalau manten rewel banget, pasti ada masalah di situ saya sudah tahu, tapi saya tidak bisa mencegah, karena sudah diingatkan masih ngeyel, dia akan merasakan sendiri, gitu. Kejadian biasanya bukan pada saat saya melakukan sesuatu tapi mungkin di acara dia, banyak kejadian seperti itu.
00:42:14 – 00:42:34 Peneliti Terakhir Bu. Kan setiap prosesi adat itu isinya nasehat-nasehat, nah itu sebetulnya yang diharpkan ibu setelah pengantin melewati itu semua seperti apa?
00:42:34 – 00:46:19 Ibu Arnie Suryo Kalau buat pengantin, pengennya cepat dapat momongan, langgeng, seperti punya rumah tangga yang harmonis, kadang saya berbagi pengalaman saat berumah tangga seperti apa. Di saat meriaspun ngobrol seperti itu buat gambaran dia. Terutama ke pengantin perempuan, jadi perempuan itu harus tahu tempatnya. Biar kalau ada masalah, ‘kamu harus lebih yang
mengalah, lebih merendah’ karena itu tadi yang aku rias artinya ‘kita wanita, tempatnya tetap di bawah suami’, setinggi-tingginya kita tetap suami adalah panutan kita. Itu yang selalu saya tekankan dan ajarkan, biar dia bisa tetap menghormati suami. Intinya setinggi apapun jabatan kamu, kalau di rumah, kamu adalah seorang istri harus mengabdi pada suami. Pasti tidak akan pernah neko-neko. Di dalam rumah suami adalah imamnya, jadi harus nurut yang di dapat sekarang juga karena ridha-nya beliau. Kalau sudah punya suami, ridha-nya bukan orang tua, tapi ridha suami. Kadang perceraian itu, jangan hanya menyalahkan laki-laki saja tapi kita balik ke diri kita sendiri sebagai perempuan. Saya pengennya client saya awet, dan mantu lagi sama saya. Tingkepan, tedak siten juga harus bisa, karena saya senang belajar.
TRANSKRIP WAWANCARA Ibu Kinting Handoko 4 April 2021
Timecode
Pembicara
Jawaban Wawancara
00:00:10 – 00:00:24 Peneliti Perkenalkan saya Hasna, di sini saya akan mewawancarai Ibu terkait dengan skripsi saya. Monggo Ibu untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu
00:00:24 – 00:03:47 Ibu Kinting Handoko
Nama saya kalau secara komersial itu ibu Kinting Handoko, tetapi nama lengkap saya karena saya PNS yaitu dosen dari jurusan tari fakultas seni pertunjukan ISI Yogyakarta, nama lengkap saya Dra. Bernadeta Sri Hajati, M.Sn. Jadi antara nama asli dengan nama komersiil itu beda. Umur saya kurang berapa hari enam puluh tahun dan saya bekerja di ISI sudah tiga puluh dua tahun. Saya menggeluti tata rias pengantin juga hampir tiga puluh dua tahun. Jadi bersamaan dengan saya menjadi pegawai negeri. Nah, saya pindah di Sewon ini tahun 2002 tanggal 2 bulan Februari. Tapi tidak direncakan sama sekali, kebetulan juga
saya sudah memiliki dua orang anak laki-laki dan dari kedua anak ini memiliki empat cucu yang paling besar sudah SMP kelas dua, yang kecil tiga tahun. Kebetulan di sanggar Niassari ini saya membuka lembaga kursus yang namanya LKP Niassari, jadi memberikan edukasi kursus rias pengantin kepada generasi-generasi muda yang tentunya lulusan yang ada di LKP Niassari ini sudah menjadi perias-perias yang handal. Perias yang top, beberapa ada perias yang sudah memiliki nama di daerah sampai di nasional. Misalnya mbak Retno, mbak Rina, mbak Risa, dan lainnya. Saat ini yang cowo juga tidak kalah halusnya dan sudah memilki nama, yaitu mas Mamok. Beliau sudah memberikan edukasi, seminar-seminar di seluruh Indonesia. Murid-murid dan peserta didik di sini tentunya juga sudah menjuarai di tingkat daerah maupun di tingkat nasional hasilnya. Dan tentu saja peserta didik yang ada di sini selalu mempertahankan budaya terutama tata rias pengantin pakem gaya Yogyakarta.
00:03:47 – 00:04:00 Peneliti Ibu tadi sempat menyebutkan riasan pengantin Jawa khususnya Yogyakarta, sebetulnya apa yang membedakan dengan riasan yang lainnya?
00:04:00 – 00:10:39 Ibu Kinting Handoko
Tentunya pada saat Mataram dibagi dua antara Yogyakarta dan Surakarta, Yogyakarta ada Kasultanan, kadipaten Pakualaman. Kalau di Surakarta ada Kasunanan dan kadipaten Mangkunegaran. Tentunya di dua daerah itu antara Kasultanan dan Kasunanan tentu akan berbeda budayanya, atau mungkin pakaiannya, adat istiadatnya dimana adat ini selalu berulang-ulang. Diterima oleh masyarakat, sehingga inilah yang menjadi adat. Baik itu dari tata caranya berpakaian ini berarti adat busananya, terus tata cara
pangandikan atau cara berbicaranya lalu adat
istiadat sopan satunnya seluruh Jawa terutama Yogja dan Solo itu sama. Sehingga tata riasnyapun juga berbeda. Gaya Yogja semua bersumber pada Keraton Yogyakarta, sehingga sumber yang paling utama adalah
tata rias pengantin Paes Ageng ini sumbernya dari Keraton. Sejak mulai HB IX (HB kesembilan) itu diizinkan oleh Keraton untuk tata rias Paes Ageng itu dipakai di luar tembok Keraton. Jadi boleh dipakai oleh masyarakat umum, namun tentunya ada hal tertentu yang tidak boleh dilaksanakan. Misalnya tata upacara Panggih yang ada di Keraton tentunya ada Pondongan, itu Putra Dalem dapat mantu orang biasa, itu harus ada ini. Upacara ini adalah milik Keraton, jadi kalau bisa masyarakat Jawa terutama di luar tembok Keraton, jangan meniru adat yang ada di Keraton. Tetapi, dari HB IX, sampai sekarang itu sudah mengizinkan untuk tata rias Paes Ageng digunakan oleh masyarakat di luar tembok Keraton, setelah itu tentunya ada tata rias pengantin, tata rias pengantin yang dibakukan oleh sebuah organisasi profesi resmi yang namanya Himpunan Ahli Perias Pengantin Indonesia, HARPI Melati DIY. HARPI Melati ini seluruh Indonesia ini dibakukan dari tata rias pengantin yang ada di Keraton, ini menjadi tiga antara lain Paes Ageng, Paes Ageng Jangan Menir, Paes Ageng Kanigaran. Ini pakaian-pakaian adatnya bersumber dari adat Keraton Yogyakarta. Setelah itu dari pakaian adat yang ada di Keraton Yogyakarta dibakukan lagi menjadi busana pengantin yang lain, misalnya tata rias pengantin Yogya Putri ini yang biasanya disebut busana Agustusan. Pada saat itu, Keraton menggunakan busana Agustusan ini untuk menyambut Ratu Wihelmina dari Belanda, di sini jadi busana tata rias pengantin yang dulunya diberi nama Corak Putri, saat ini menjadi tata rias pengantin Yogya Putri. Nah selain itu ada lagi tata rias pengantin Selikuran, ini dilakukan pada saat hari ke duapuluh satu puasa, pada saat hari itu, Keraton menggunakan busana adat, nah ini dipakai juga namanya busana tata rias pengantin Selikuran. Ada lagi busana adat Keraton yang namanya Kasatrian Ageng, itu juga diambil untuk sebuah tata rias pengantin yang dibakukan oleh HARPI
Melatin DIY. Sehingga HARPI Melati DIY Memiliki tujuh tata rias pengantin yang dibakukan dan itu memiliki ciri khas sendiri- sendiri. Baik itu dari tata riasnya maupun busananya. Begitu juga di Surakarta, mereka memiliki tata rias tersendiri juga. Ada tata rias Solo Putri, Solo Basahan, Berkerudung, tanpa Paes, ada juga berkerudung pakai Paes. Nah, di Yogja itu ada satu tata rias pengantin berkerudung tanpa Paes. Solo hanya membakukan empat tata rias pengantin, kalau Yogja memiliki tujuh tata rias pengantin. 00:10:39 – 00:10:40 Peneliti Berarti memang yang berkerudung tidak
boleh memakai Paes ya Bu? 00:10:43 – 00:11:07 Ibu Kinting
Handoko
Jadi memang disarankan yang tanpa Paes, pakainya yang Berkerudung Tanpa Paes. Tetapi di Solo ada bedanya, namanya Berkerudung Dengan Paes.
00:11:07 – 00:11:23 Peneliti Budaya merias pengantin tradisional ini kalau menurut Ibu, hanya disimpan sendiri untuk Ibu saja atau Ibu membagikannya ke masyarakat?
00:11:24 – 00:13:11 Ibu Kinting Handoko
Oh tidak, ilmu itu tidak akan saya simpan sendiri, karena ilmu kalau disimpan sendiri tidak ada yang meneruskan. Ibu tidak akan pelit dengan ilmu yang ibu miliki. Jadi semua ilmu yang ibu miliki, saya berikan kepada murid-murid yang ada di LKP maupun anggotan HARPI Melati DIY. Makanya biar murid-murid di sini biar bisa pinter dari saya. Namun memang ada satu hal ilmu itu dibagikan kepada murid, terutama terkait dengan doa di dalam merias pengantin, ini yang tidak bisa dibagikan karena tidak bisa didengarkan. Hanya bisa didengarkan dengan batin. Kadang-kadang murid yang bertanya tentang doa apa yang saya berikan ke pengantin karena terlihat lebih ‘manglingi’, bercahaya, nah ini yang tidak bisa saya ajarkan. Karena setiap perias pengantin memiliki doa sendiri-sendiri.
00:13:12 – 00:13:29 Peneliti Nah, di Jawa kan banyak prosesi dari Siraman, Akad, Panggih, Resepsi dan riasannya selalu berubah ya? Ini memang harus pakemnya dari Keraton seperti itu atau bagaimana?
00:13:30 – 00:17:09 Ibu Kinting Handoko
Jadi begini Mbak Hasna. Nanti kalian semua sebagai generasi millennial, itu ada daerah- daerahnya sendiri. Kalau yang pakem karena bersumber dari Keraton, tentunya tidak boleh dirubah. Misalnya mau dilakukan modifikasi, itu modifikasinya berapa persen, yang boleh diubah apanya. Misalnya di bagian kepala ke atas, itu tidak boleh dirubah. Karena itu sudah ada pakemnya. Tidak boleh paes warnanya kuning terus pinggirannya dirubah menjadi merah, ini tidak boleh. Lalu harus menggunakan ceplok jebehan, korsase palsu, lalu mau dirubah menjadi asli, itu tidak boleh. Misalnya gajah ngoling harusnya dua kilan, trus mau dipanjangkan itu tidak boleh. Jadi yang boleh dikembangkan kurang lebih 25% hanya dibagian busananya. Jadi kalau sekarang ini, mohon maaf memang banyak sekali perias-perias yang mungkin tidak belajar secara intens, atau ‘aku wes iso
ngrias’, harusnya mereka belajar pakemnya
dulu baru belajar tentang bagaimana pengembangannya, atau bagaimana dimodifikasikan, tapi tidak boleh merusak pakem. Jadi kalau menurut Ibu, generasi millennial itu saya yang tua akan merangkul MUA. MUA ini sebetulnya bukan Makeup
Artist tapi Makeup Art, MUA ini belum tentu
merias artis. Art di sini maksudnya artistik, indah. MUA itu sebetulnya hanya belajar tentang tata rias wajahnya tidak belajar tata sanggulnya, tidak belajar cara njariki, tidak belajar tata upacara adatnya. Jadi kadang- kadang baru kursus satu bulan selesai, keluar sudah berstatus ‘MUA’ dan ini banyak sekali, pengalaman yang baru sebulan belajar sudah menyandang gelar MUA. Tugas kami dari HARPI Melati untuk menggandeng generasi millennials untuk mau belajar terutama tetap mempertahankan tata rias pengantin adiluhung, yang pakem. Memang, yang pakem itu lebih sulit. Belajarnya kalau mau betul-betul tidak bisa hanya dihitung dengan minggu atau bulan.
00:17:09 – 00:17:35 Peneliti Dalam riasan pengantin, apa yang menjadi pelengkapnya? Aksesoris, riasannya?
00:17:35 – 00:19:45 Ibu Kinting Dalam sebuah prosesi pernikahan ada (cut sebentar karena Handoko sebetulnya ada siklus kehidupannya. Kalau
Ibu Kinting tiba-tiba zaman dulu ada yang namanya nontoni,
kedatangan tamu) ditonton dulu bagaimana tentang unggah-
ungguhnya, sopan santunnya dari calon yang
akan dijodohkan dengan anaknya. Kalau dulu di Keraton bukan Sultan yang nontoni, tetapi utusan untuk nontoni keinginan siapa.
00:21:09 - 00:49:00 Seperti yang sudah saya sampaikan, nontoni (ibu kinting tadi ini di jaman dulu. Dulu putranya yang
melanjutkan) ngersa dalem itu laki-laki, kepengin istri
mungkin dari luar tembok Keraton, itu ditontoni dulu, baru setelah itu diberi surat, bahwa ngersa dalem menginginkan. Berarti kalau dari luar tembok Keraton, kalau habis
Nontoni, lalu ada Asok Tukon. Istilahnya
dibeli, ini membantu juga pada saat lamaran. Dalam lamaran ini sekalian dibahas kapan waktu yang baik dalam melangsungkan pernikahan. Sehingga harinya dihitung antara pengantin perempuan dan laki-laki,, kalau tidak cocok bisa dengan alternatif yang lain dengan disyarati yang lain. Orang Jawa itu rumit, mbak. Setelah asok tukon lamaran, itu bisa dilangsungkan tukar-cincin. Tukar cincin ini belum tentu menjadi hak milik calonnya.
Asok Tukon biasanya masih dalam tahap
menjajaki, kalau ndelalah dalam perkembangan hubungan itu ternyata calonnya tidak setia, atau bagaimana, ya istilahnya ‘urung dadi bojone kok koyo
ngono’, dan di sini Asok Tukon itu bisa
dikembalikan. Kalau di muslim biasanya dikenal dengan ta’aruf. Kalau sudah dilamar jangan sampai memalukan pihak laki-laki. Setelah ditentukan harinya, langsung diputuskan kapan untuk akad nikah. Sebelum akad nikah ini, diadakan Siraman. Siraman itu adalah mensucikan diri oleh pihak perempuan, karena pengantin perempuan wajib. Di sini diambil sukertonya, dikerik, diambil wulu kalongnya, setelah itu dibuat
cengkorongan paes, dihalub-halupi.
Cengkorongan paes ini dimasukdkan karena
besok akan melaksanakan pernikahan. Kemudian malamnya adalah Malam
Midodareni, jadi pada saat itu bidadari turun, mengharapkan pada jam 12 malam calon pengantin perempuan tidak boleh lepas dan dimidodareni tidak boleh menggunakan perhiasan, seharusnya dengan kesederhanaan itu nanti agar bidadarinya turun, masuk dan menjelmakan diri menjadi cantik. Nah, besoknya saat akan akad nikah sudah lengkap dengan bunga, perhiasan, dengan turunnya sang bidadari, besoknya lebih mangling. Sementara untuk pengantin laki-lakinya melakukan Nyantri. Calon pengantin laki-laki datang hanya di teras rumah, belum boleh masuk ke rumah pengantin wanita. Ibu dari pengantin wanita memberikan tirta wening. Airnya bisa juga dengan air zamzam, tujuannya adalah bahwa pengantin laki-laki ini sudah bening pikirannya, tidak memikirkan hal-hal lain apalagi perempuan- perempuan bekas mantannya. Karena besok sudah melangsungkan pernikahan. Nyantri ini sang pengantin laki-laki tinggal di sekitar rumah pengantin perempuan. Bagi calon pengantin perempuan, sangat dikhawatirkan atau ditakutkan kalau calon pengantin laki- lakinya berjauhan, tiba-tiba tidak bisa datang, atau alasan lainnya. Ibu pernah mendapat pengalaman, pernah ada pengantin yang gagal menikah, tiba-tiba gagal akad. Keduanya ada di luar negeri, pada saat badai melanda, dia tidak menolong calon istrinya dan mementingkan egonya sendiri. Saat ini masyarakat kebanyakan untuk meringkas waktu saat Siraman dan Seserahan, maka dalam memberikan ubo rampe yang dikatakan Asok Tukon, ini bisa dilakukan saat Siraman juga. Nah di dalam srah-srahan ada yang disebut Pisang Sanggan, ini adalah dua lirang pisang. Itu harus ada, pihak laki-laki harus menyediakan pada saat memberikan
srah-srahan. Karena Pisang Sanggan ini,
harus ada lawe wenang, suruh ayu, kembang
setaman, dan ini dianggap bahwa menyatukan
dua keluarga, laki-laki dan perempuan. Jadi bukan hanya pengantinnya
disini berarti bahwa mencintai dengan lahir dan batin itu sampai hatinya. Kembang
setaman, ini tidak harus tujuh rupa, artinya
bahwa dua keluarga ini nantinya akan mengharumkan nama baik. Kalau sudah diberi ini maka harapannya bisa menyatu. Kemudian dalam Akad Nikah, yang harus dibawa adalah mahar, mas kawin, bisa berupa perlengkapan alat sholat, misalnya di dalam alat sholat ada Al-Quran, itu calon pengantin harus melakukannya, bisa membaca Al- Quran, tapi misalkan calon pengantinnya tidak terbiasa membaca Quran maka jangan diberi Al-Quran cukup perlengkapan alat sholat saja. Lalu mahar ini berbeda dengan uang tukon, saat ini bisa dengan uang yang di figura. Pada Akad Nikah, masyarakat Jawa zaman dahulu simbah-simbah, kalau akan mantu itu di rumah, mau masang bleketepe, tuwuhan ini semua di rumah dan menandakan bahwa mereka sedang memiliki hajat, istilahnya punya anak perempuan sudah ada janur kuning melengkung pertanda bahwa anaknya sudah dimiliki seseorang dan tidak bisa diambil yang lain. Nah inginnya orang tua akad nikah juga di rumah, tapi kalau sekarang berbeda. Bisa di masjid, KUA, gedung, rumah, KUA bisa diundang. Pada saat akad nikah sebetulnya pengantin putri tidka boleh keluar. Zaman dahulu pengantin putri ada di dalam kamar, yang menikah itu yang laki-laki, ada bapak dari calon pengantin putri dan si calon pengantin putra. Baru ketika mengurus tanda tangan setelah sah, pihak KUA memberikan berkas ke kamar pengantin putri. Jadi, sebetulnya kalau di era saat ini, pengantin perempuan bisa keluar bisa juga tidak, lebih baik keluar di tempat Ijab Kabul saat sudah dinyatakan sah. Kalau di Keraton pada saat tanda tangan berkas akad, sebetulnya sudah dari malam midodareni. Setelah itu baru Panggih, ini antara dua pengantin diawali dengan penyerahan pisang sanggan, Pisang
sanggan ini mengganti/menebus pengantin
putri yang tadi
pengantin putri yaitu dengan pisang sanggan
yang ada kelengkapannya. Pengantin putri ini istilahnya seharga pisang sanggan, kemudian dicek oleh ibu pengantin putri, baru setelah ditebus pengantin putri keluar, di situ ada
kembar mayang. Kalau dulu ada empat
pasang, dari pihak perempuan dan pihak laki- laki. Dalam pembakuan memang harus empat, namun di dalam masyarakat saat ini hanya dua saja dari pihak putri. Kemudian yang membawa adalah yang sudah manepouse. Ini harus. Setelah itu dibuang karena ini bertujuan untuk membuang
sukerto, halangan-halangan. Di dalam
kembar mayang itu ada anyaman janur, keris- kerisan, ada pecut, ada gunung, ada burung, ada walang, ada daunnya alang-alang, ada beringin, yang berarti untuk menghilangkan halangan-halangan dalam rumah tangga. Setelah ini ada balangan sadak kalau kita biasa tahu lempar sirih. Sirih ini diartikan sebagai penolak bala. Pada saat melempar ini menandakan bahwa ‘itulah pilihan saya’. Di sini sirih juga berarti penolak bala biar tidak berubah wujud, ‘kalau memang dia betul mas A, maka dia tidak akan pernah berubah menjadi siapapun’. Setelah itu wiji dadi atau membasuh kaki, ini filosofisnya adalah menghormati suaminya, bukan emansipasi. Di dalam budaya Jawa memang seorang perempuan itu harus selalu menghormati suaminya, mengikuti, menghormati, apa yang suami bicarakan. Tidak kemudian emansipasi. Kalau gaya Yogyakarta, telurnya tidak diinjak, tetapi disentuhkan pada jidat masing-masing pengantin, kemudian dipecah. Ini tujuannya agar semua pikiran laki-laki dan perempuan itu akan menjadi satu, menyatu, tidak ada perselisihan pendapat, kalau sudah jadi suami istri ya harus saling mengerti, satu arah, satu pemikirian. Baru setelah ini ke pelaminan, ada yang namanya kacar-kucur ini merupakan lambang penghasilan suami kepada istrinya, di situ ada 7 macam biji- bijian dan uang, karena pada zaman dulu memberikan bekal kepada anak-anaknya
berupa biji-bijian yang bisa dikelola menjadi ‘hidup’, dan ada uang recehnya juga, dikatakan untuk bekal hidup. Lalu istrinya menerima jangan sampai tumpah, kalau tumpah berarti boros tidak bisa mengelola keuangan. Setelah itu apa yang diberikan suami, itu akan dititipkan kepada ibu, karena pengantin berdua itu baru mengarungi rumah tangga, belum bisa manajemen, sementara dititipkan ke ibu bapak untuk bisa membimbing putranya dalam mengelola. Setelah itu dhahar walimah, filosofinya suami mencarikan nafkah, kemudian diberikan kepada istrinya dengan 3 kepal yang berarti apa yang suami berikan dan dimakan oleh istri bisa membuat rasa lega. Setelah itu sungkeman, ini dilakukan kepada kedua orang tua. Ini tidak lain untuk mendapatkan doa restu, meminta bimbingan, dan memohon maaf apa yang selama ini mungkin ada kesalahan. Jadi tetap minta dibimbing, dan orang tua tetap memantau, tidak ikut-ikut rumah tangganya anak. Kemudian setelah ini ada yang namanya
pahargyan, atau syukuran yang disebut
resepsi. Sykuran ini bisa dilaksanakan bisa tidak.
00:49:02 – 00:49:06 Peneliti Sebetulnya Siraman itu apa harus selalu dilakukan?
00:49:04 – 00:52:49 (kemudian Ibu
Kinting meminta
jeda untuk minum)
Ibu Kinting Handoko
Siraman itu bisa dilakukan bisa juga tidak. Jaman sekarang ini ada yang tidak pakai karena ingin praktis. Padahal inikan mensucikan diri, kami sebagai perias juga tidak bisa melarang, karena sebetulnya ini bermakna mensucikan diri secara lahir dan batin. Banyak juga yang sudah tidak melakukan, seharusnya dilakukan karena dalam Siraman ini membutuhkan srono atau sesaji. Ini bukan musrik, tapi sesaji ini kelengkapan orang Jawa. Sesajen juga saat ini tergantung dengan yang punya hajat, bisa menggunakan bisa juga tidak, karena ada yang tetap percaya karena ini kembali pada kepercayaan orang Jawa, karena Jawa itu bukan agama. Kalau acara panggih ini juga bisa dilaksanakan bisa juga tidak. Namun
karena terlalu disingkat-singkat bagi pengantin itu sendiri esensinya berkurang. Acaranya harusnya komplit, menjadi hanya beberapa saja. Ini juga yang membuat penghasilan perias berkurang.
00:53:35 – 00:53:42 Peneliti Apa saja yang harus ada untuk melengkapi riasan pengantin wanita? Dari aksesoris, sampai pelengkap lainnya?
00:53:44 – 1:02:16 Ibu Kinting Ya, tentunya kalau mau merias seorang perias (Ibu Kinting Handoko pengantin itu sudah mempersiapkan mungkin
meminta berhenti bisa satu minggu sebelumnya. Dari bajunya
dahulu, lalu memulai jangan sampai tertinggal, itupun kadang
rekaman dengan file ‘masih saja ada yang tertinggal’. Kita
yang baru) mempersiapkan perhiasannya, mau gaya apa,
misalnya pengantin minta paes ageng, jangan sampai yang dibawa jogja putri.
Perhiasannya dipakainya dari akad nikah ganti atau tidak, selain itu busananya dari akad nikah sampai syukuran ganti apa tidak. Setelah itu perlu tidak pakaian orang tua, pakaian yang terkait dengan peraga- peraganya perlu atau tidak, dan sudah dibuat
list-nya, Ibu sudah punya buku daftarnya.
Biasanya satu orang satu tas. Kalau pakai Siraman, dipastikan pakai sajen atau tidak. Ini misalkan pakai sajen ibu tidak membuat sendiri, ibu mempekerjakan orang lain yang memang ada dalam bidangnya. Selain itu kosmetiknya, pidihnya, talinya, ini sudah disiapkan sebelumnya. Lalu jariknya, yang boleh dipakai oleh pengantin adalah yang ‘sido’, dari sidoasih, sidomulyo, sidomukti,
sidoluhur. Tidak boleh pengantin
menggunakan jarik lainnya. Ini tidak lain sebagai harapan misalnya sidomukti, semoga nanti pengantin ini mendapatkan kedudukan,
sidoluhur biar nanti lebih luhur budinya, sidoasih biar nanti tetap menjadi pasangan
yang setia sampai kakek-nenek saling mengasihi, sidomulyo itu juga biar dimuliakan, dihormati oleh masyarakat. Lalu ada lagi pada saat Siraman, ada sajen yang namanya monco warno, ini pengganti sabun yang ada 5 warna yaitu merah yang artinya keinginan, putih yang berarti kesucian dan menjadi yang masih suci bagi suaminya, biru
yang bisa nantinya mengharapkan pengantin lebih sabar, kuning yang berarti kehangatan, dan hijau tentang kesuburan dan ketentraman dalam rumah tangga. Lalu saat memecah kendi orang tua saya bombing untuk berkata ‘bismillah, saiki wes pecah pamore, pindha widadari turun saka kayangan’. Kemudian kelengkapan aksesoris tergantung pada kebutuhan pengantin misalnya paes ageng yang sumbernya dari Keraton, itu ada jungkat atau berbentuk gunung ini berarti menyatu pada Yang Widhi. Lalu mentul ada lima yang menghadap ke belakang. Kemudian ini berkaitan dengan paes, ada penunggul yang selalu unggul dan diutamakan oleh suami, posisinya diapit benar dan salah mana yang baik dan buruk, lalu penitis yang berarti titisan dewi sri, juga pengetahuan yang dimiliki calon pengantin, godek yang ada pangkal di ujung berarti bahwa harus mengingat bahwa manusia itu berasal dari ujung pangkal yang mana. Dari lahir, menikah, hidup, dan mati, istilahanya tahu
sangka paraning dumadi.
00:00:18 – 00:00:32 Peneliti Apakah dengan perbedaan situasi pada prosesi adat dari Siraman, Akad, Panggih sampai Resepsi itu, apa juga terdapat perbedaan dalam pelaksanaan ritual merias pengantinnya Bu?
00:00:32 – 00:05:35 Ibu Kinting Handoko
Ya, karena masyarakat itu berbeda strata sosialnya, ekonominya juga berbeda tentunya ada yang tidak memakai Siraman, juga ada yang tidak memakai panggih, ini dalam istilah Jawa untuk ‘irit’. Ini yang harus dipertimbangkan, daripada kita menginginkan sesuatu dengan detail tapi harus hutang itu menjadi sebuah problema rumah tangga. Kalau menurut saya, itu ada yang njagakne sumbangan. Kalau kita mau menikahkan anaknya harus sesuai dengan kapasitas atau keuangan yang dimiliki. Nah makanya perlu dari asok tukon ini dibantu dari pihak laki-laki. Tidak semuanya dari pihak perempuan. Kemudian ada kesepakatan dari keluarga untuk membagi rata agar tidak ada yang terbebani. Kalau dalam ritual
riasannya itu tergantung dari pengennya pengantin seperti apa. Misalnya Jogja Putri dan Paes Ageng kan berbeda, tentu saja dari segi nominal juga berbeda. Ini tergantung dari riasan paesnya. Misalnya pada Panggih, ini tidak cukup hanya lima juga, karena belum
ubo rampe-nya, belum peraganya, karena
perlu merias juga ini kalau dihitung seperti ini. Dalam ritualnya tentu akan berbeda-beda, karena bergantung dari budget yang dikeluarkan oleh pengantin. Ada yang maunya lengkap memaki sesajen untuk semua ritual, ada yang tidak. Nah, dari sini tentu saja akan ada pembeda penggunaan ritual riasan pengantin dengan tidak menggunakan. Ritual yang dimaksud di sini, kalau doa tentu saja ada, tapi kalau tentang ritual ini tergantung dari kepercayaan masing- masing. Percaya menggunakan kepercayaan Jawa atau tidak, nah ini bisa digunakan atau tidaknya tergantung dari kepercayaan pengantin. Tetapi kalau sebuah ritual bagi perias pengantin, semuanya sama. Tentunya kalau di dalam perias pengantin, ini beda dengan dukun manten.
00:05:50 – 00:05:40 Peneliti Itu bedanya apa Bu? 00:05:40 – 00:09:46 Ibu Kinting
Handoko
Perias pengantin itu banyak. Dimana-mana bisa merias pengantin, tetapi menjadi dukun manten itu berbeda, karena dukun manten bisa mengatasi masalah, mendoakan. Sementara kalau menjadi perias pengantin hanya merias saja setelah itu pulang. Kalau dukun manten, ikut mendoakan calon pengantin dalam hal kerukunan, menjadi keluarga yang Sakinah, mawadah, warrahmah, lalu bisa mendapatkan anak yang bisa soleh, solehah, ini yang dilakukan seorang dukun manten. Lalu semisal ‘maaf ya’, pada saat mau Siraman, atau pada saat mau akad nikah hujannya lebat, perias pengantin tidak bisa mengatasi masalah ini. Sementara dukun manten bisa mengatasi ini untuk mendoakan, saya sudah memberikan ini kepada murid-murid saya, namun doanya berbeda antara doa saya dengan lainnya.
tidak kuasa untuk menghentikan hujan, tetapis saya mohon untuk memindahkan ke tempat yang lain’ lalu setelah itu doanya
sendiri-sendiri sesuai dengan agama masing- masing. Saya berdoa bersama-sama dengan calon pengantin dan percaya tidak percaya itu terjadi dan kadang minta celana dalam yang sudah dipakai oleh pengantin wanita untuk dibuang di genting, lalu menyebar garam dan lainnya yang faham seperti ini adalah dukun manten. Kalau perias pengantin tidak mungkin bisa mengatasi permasalahan ini.
Insyaallah Tuhan menghentikan ini, ternyata
betul hujannya berhenti. Tapi sebelumnya maaf, saya memang perias pengantin juga dukun manten. Kadang-kadang berbeda dengan perias pengantin biasa karena salon- salon itu juga perias pengantin. Dukun manten juga harus bisa mengeluarkan
sembogo. Sembogo ini adalah sebuah rapal
agar cahaya pengantin wanita ini keluar dan bisa menjadi manglingi. Dan ini tidak bisa didengar oleh siapapun, ini lewat batin. Rapal
sembogo ini tidak bisa di dengar oleh orang
lain, tapi kalau dilihat oleh mata tetap bisa. Nah seorang dukun manten bisa mengeluarkan sembogo. Membuat pengantin wanita menjadi bercahaya tidak merubah menjadi topeng. Ini beda. Ada pengantin yang tiba-tiba berubah menjadi sangat cantik dan berbeda dari aslinya, tetapi ada juga yang ‘oh ini masih mbak Hasna, tetapi terlihat sangat cantik sekali’ inilah sembogo. Doanya beda. 00:09:46 – 00:09:59 Peneliti Ini apa ya ada puasanya Bu?
00:09:50 – 00: Ibu Kinting Handoko
Begini. Karena kemungkinan perias pengantin atau dukun manten itu tidak sehat, sehingga dia tidak mungkin dia berpuasa, dan mengharuskan berpuasa dengan hal yang lain. Tetapi pengantin harus berpuasa, Senin Kamis, puasa menahan apa yang disenangi untuk tidak dimakan, misalnya harusnya senang jajan khusus beberapa hari puasa jajan ini disebut laku prihatin. Ini yang dilakukan oleh calon pengantin, puasa kan lebih bagus. Nanti pada saat hari H-nya akan bagus, misalnya puasanya 3 bulan sebelum
pernikahan. Tapi ya kalau tidak bisa berpuasa ya tidak apa-apa namun harus prihatin, bisa dalam bentuk apapun. Prihatin tidak jajan,
prihatin tidak menonton film, prihatin tidak
pergi ke mal, prihatin tidak belanja, itu sudah termasuk prihatin. Dukun manten itu bisa mengatasi masalah nah apa saja yang dibawa? Sama dengan perias pengantin, tentang maknanya ya dukun manten bisa membuat
mangling , bisa membuat calon pengantin
menjadi seperti bidadari karena kalau menjadi pengantin itu menjadi ratu dan raja sehari yang sangat diistimewakan. Nah, yang harus dilakukan oleh calon pengantin, pertama
ngadi salira ngadi busana, artinya
mempercantik badan ya luluran lalu berpakaian yang bersih tidak menggunakan baju berkali kali misalnya baju sudah dipakai dua kali masih dipakai lagi, ini tidak boleh. Kalau perlu melakukan spa, facial,
menghilangkan komedo, karena kalau wajah tanpa dirawat dan dirawat itu sangat berbeda. Kalau tidak dirawat, ketika dilihat ‘kok kulitnya keras, berjerawat’. Ibu ada contoh, pengantin jerawatan sampai infeksi, malam itu jerawatnya besar sekali dan infeksi, seorang perias pengantin tidak bisa mengatasi ini, tapi dukun manten kita tetep dari rumah ‘monggo kepercayaan masing-masing mari
berdoa, semoga besok diberi kelancaran, disembuhkan dari sakit saya.’ Paginya
memang tetap ada jerawatnya namun tidak parah, lalu diberi penutup jerawat. Jadi memang dihimbau untuk hati-hati betul saat akan facial. Ini gara-garanya dia memakai obat jerawat yang temannya cocok, tapi dianya tidak cocok sampai besar-besar infeksi jerawatnya. Kemudian menyesuaikan dengan keinginan pengantin akan menggunakan riasan apa, misalnya paes ageng, nah di paes
ageng ini rambut harus dinaikkan, supaya arah
rambutnya bisa searah dengan hari h, tidak pusing. Pada saat sudah mau Siraman, akad nikah kan dirias, calon pengantin sudah dihadapan perias maka harus menyatukan diri bathinnya.