• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA

6.1. Infrastruktur dan Kinerja perekonomian

Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat meningkatkan kinerja perekonomian dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dampak lanjut dari pertumbuhan ekonomi ini adalah tenaga kerja dapat terserap lebih banyak serta angka pengangguran dapat ditekan. Dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak, pada akhirnya diharapkan akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat.

Penelitian tentang keterkaitan investasi infrastruktur dan perekonomian yang dilakukan oleh Aschauer (1989) yang menganalisa kontribusi akumulasi kapital pada sektor publik terhadap perubahan produktivitas dari sektor swasta di Amerika Serikat dapat menjadi referensi yang baik tentang pentingnya peran investasi infrastruktur transportasi bagi perekonomian. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa infrastruktur dasar seperti, jalan, bandara, sistem angkutan massal, air minum dan drainase memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas perekonomian Amerika Serikat. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa keterlambatan dalam pengeluaran pembangunan infrastruktur berperan dalam lambatnya produktivitas. Penelitian Aschauer tersebut dapat menjadi acuan penting untuk menekankan pentingnya sesegera mungkin memperbaiki infrastruktur di Jawa Barat dalam rangka meningkatkan produktivitas perekonomian Jawa Barat, mengingat kondisi infrastruktur transportasi (jalan) di Jawa Barat yang menunjukkan kondisi kurang baik pada saat ini.

(2)

Temuan yang menunjukkan akan pentingnya infrastruktur selanjutnya dipertajam kembali oleh Canning (1999) yang secara umum mendukung apa yang ditemukan oleh Aschauer (1989) yang menemukan bahwa infrastruktur secara statistik signifikan mempengaruhi output. Beberapa temuan lain dari Canning (1999) yang menarik, diantaranya adalah bahwa produktivitas physical capital dan human capital pada tingkat makro (dalam hal ini adalah dunia yang

diwakili oleh 57 negara) mendekati kondisi empirik yang terjadi pada level mikro yang dihitung berdasarkan pendapatan rumah tangga atas faktor atau berdasarkan analisa cost-benefitnya. Selanjutnya temuan lainnya menunjukkan bahwa investasi infrastruktur di bidang telekomunikasi, transportasi dan listrik memiliki tingkat marginal productivity yang tinggi dibandingkan dengan jenis infrastruktur lain.

Sementara itu, Dumont dan Somps (2000) mencoba menganalisa dampak dari adanya infrastruktur publik secara lebih detail, dimana tidak hanya melihat dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi juga terhadap daya saing. Dumont dan Somps (2000) menggunakan Dynamic Computable General Equilibrium (CGE) dengan database Social Acounting Matrix (SAM) Senegal

tahun 1990. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dampak infrastruktur terhadap sektor manufaktur baik dalam hal output dan daya saing akan berbeda- beda tergantung pada dampaknya terhadap tingkat harga domestik dan tingkat upah. Selain itu, hasil simulasi juga menunjukkan bahwa metode pembiayaan merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan karena dampak yang akan ditimbulkan akan berbeda dan sekali lagi tergantung pada sejauh mana mempengaruhi harga domestik.

Secara empiris, Esfahani dan Ramirez (2002) menganalisa hubungan antara institusi, infrastruktur dan kinerja ekonomi dengan menggunakan data dari 75 negara. Hasil estimasi Two Stage Least Square (2SLS) dari penelitian

(3)

tersebut menunjukkan bahwa kontribusi infrastruktur terhadap GDP sangat substansial dan secara umum melebihi biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan infrastruktur tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kapabilitas dari institusi yang akan menentukan kredibilitas dan efektivitas dari kebijakan pemerintah memiliki peran yang penting dalam proses pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, negara akan mendapatkan benefit yang sangat besar dalam hal output, jika pemerintah fokus pada peningkatan investasi dan kinerja dari infrastruktur.

6.2. Analisis Keterkaitan Sektoral Jawa Barat

Analisis multiplier dalam penelitian ini menggunakan SNSE Jawa Barat tahun 2010 sebagai kerangka data yang digunakan sebagai model untuk melakukan kajian yang berkaitan dengan dampak investasi sektor infrastruktur transportasi terhadap perekonomian Jawa Barat khususnya terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor ekonomi dan distribusi pendapatan rumah tangga. Kerangka data SNSE Jawa Barat 2010 ini juga digunakan untuk mengkaji jalur transmisi dari investasi infrastruktur transportasi sampai kepada sekor ekonomi serta transmisi investasi infrastruktur transportasi sampai kepada berbagai golongan rumah tangga serta kaitannnya dengan distribusi pendapatan berbagai golongan rumah tangga. Sejalan dengan kerangka data SNSE Jawa Barat tahun 2010 yang digunakan dalam penelitian ini, secara teori model kerangka data SNSE ini dapat memotret perekonomian Provinsi Jawa Barat pada tahun tertentu serta dapat melihat keterkaitan aktivitas/sektor ekonomi yang ada dengan pelaku/institusi yang menjalankan aktifitas ekonomi serta bagaimana penggunaan faktor produksi yang ada (tenaga kerja dan modal ).

Model SNSE adalah pengembangan dari model I-O, namun model I-O hanya menekankan pada hubungan keterkaitan antar industri pada satu waktu

(4)

tertentu. Sementara itu model SNSE diperluas lagi, tidak hanya memotret keterkaitan antar industri namun dapat pula menunjukkan aliran pendapatan yang dihasilkan oleh perekonomian domestik di masing-masing sektor/aktivitas produksi oleh pelaku ekonomi (rumah tangga, pemerintah, perusahaan atau luar negeri) dan bagaimana pendapatan tersebut dialokasikan berdasarkan kepemlikan faktor produksi atau atas dasar transfer (income redistribution).

Keuntungan penggunaan SNSE dalam analisis perekonomian suatu wilayah adalah konsistensi isian dalam kerangka data SNSE tersebut dengan berbagai data makro ekonomi yang tersedia secara terpisah. Selain itu, penggunakan model SNSE dalam suatu perencanaan ekonomi menurut Wagner (1999) dalam Daryanto (2010) menunjukkan bahwa model SNSE mampu menjelaskan keterkaitan antara permintaan, produksi, dan pendapatan di dalam perekonomian suatu wilayah yang menggambarkan struktur perekonomian, keterkaitan antara aktivitas produksi, distribusi pendapatan, konsumsi barang dan jasa, tabungan dan investasi, serta perdagangan luar negeri. SNSE juga dapat memberikan suatu kerangka kerja yang bisa menyatukan dan menyajikan seluruh data perekonomian wilayah. Selain itu dengan menggunakan kerangka data SNSE juga dapat dihitung multiplier perekonomian wilayah yang berguna untuk mengukur dampak dari suatu aktivitas produksi, distribusi pendapatan, serta permintaan yang menggambarkan struktur permintaan.

Secara spesifik, BPS (2005) menyebutkan bahwa perangkat SNSE dapat digunakan sebagai kerangka data sosial ekonomi yang mampu menjelaskan mengenai: 1). Kinerja pembangunan ekonomi suatu negara, seperti halnya distribusi produk domestik bruto (PDB), konsumsi, tabungan, dan sebagainya; 2).

Distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yang dirinci menurut faktor-faktor produksi di antaranya seperti tenaga kerja dan modal; 3). Distribusi pendapatan rumah tangga yang dirinci menurut berbagai golongan rumah

(5)

tangga; 4). Pola pengeluaran rumah tangga (household expenditure pattern); dan 5). Distribusi tenaga kerja menurut sektor atau lapangan usaha tempat mereka bekerja, termasuk halnya distribusi pendapatan tenaga kerja yang mereka peroleh sebagai kompensasi atas keterlibatannya dalam proses produksi. Di samping itu, SNSE juga merupakan suatu sistem kerangka data yang dapat digunakan sebagai dasar pembuatan suatu model ekonomi serta sebagai dasar analisis, baik untuk analisis parsial (partial equiblirium) maupun analisis keseimbangan umum (general equilibrium) dalam melakukan analisis kebijakan.

6.2.1 Analisis Backwad dan Forward Linkage

Analisis keterkaitan antar sektor di dalam penelitian ini selain digunakan untuk mengetahui bagaimana setiap sektor dalam perekonomian Jawa Barat saling terkait, juga digunakan untuk mengetahui ketergantungan satu sektor dengan yang lain sehingga memudahkan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil kebijakan yang diperlukan. Sebagai misal, bagaimana dampak stimulus investasi pada sektor infrastruktur transportasi terhadap kinerja perekonomian di Jawa Barat, terhadap penyerapan tenaga kerja serta terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Dalam kerangka data SNSE Jawa Barat 2010, matriks keterkaitan antar sektor diambil dari matriks Ma yang merupakan perpotongan antara blok baris neraca sektor dengan blok kolom neraca sektor (Msektor-sektor)

Analisis keterkaitan antar sektor-sektor produksi dapat dilihat dari dua sisi yakni dari sisi keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan dari sisi keterkaitan ke depan (forward linkage). Keterkaitan kebelakang menunjukkan daya penyebar, artinya kalau terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap suatu sektor tertentu maka sektor tersebut akan mendorong peningkatan output semua sektor dengan kelipatan sebesar nilai multipliernya. Sebagai contoh

(6)

keterkaitan ke belakang sektor industri pemintalan tekstil, pakaian dan barang dari kulit di Jawa Barat (Tabel 17) sebesar 3.4519. Angka multiplier ini mengandung arti bahwa apabila ada permintaan akhir terhadap produk sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit sebesar satu unit maka output semua sektor akan meningkat sebesar 3.4519 unit. Hal ini terjadi karena kenaikan permintaan akhir terhadap output sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit sebesar satu unit tersebut mendorong sektor ini meningkatkan permintaan input dari sektor sektor lainnya. Permintaan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit tersebut mendorong sektor lainnya tersebut untuk meningkatkan outputnya dalam rangka memenuhi permintaan sektor industri tekstil tersebut dan kondisi ini juga memerlukan tambahan input bagi sektor-sektor lainnya untuk memenuhi permintaan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit tersebut. Akhirnya seluruh sektor meningkat sebesar 3.4519 unit. Dengan kata lain, backward linkage menggambarkan keterkaitan antar sektor (aktivitas) produksi yang berada di hilir (downstream sectors) dengan sektor produksi yang berada di hulu (upstream sector) atau dengan kata lain sektor yang berada hilir sebagai pembeli input yang dihasilkan oleh sektor yang berada di hulu. Backward linkage akan ada apabila peningkatan produksi sektor sektor hilir memberikan dampak eksternalitas positif terhadap sektor sektor hulu. Dengan demikian maka sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dapat menjadi fokus perhatian bagi pemerintah untuk meningkatkan kinerja sektor-sektor yang sangat terkait dengan industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit, sehingga kebijakan yang diterapkan dapat lebih efektif dengan memberi stimulus industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit agar dapat menggerakkan lebih banyak sektor yang terkait.

Koefisien multiplier dari sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit merupakan koefisien multiplier yang terbesar dan diikuti oleh sektor industri

(7)

makanan dan tembakau, sektor pemerintahan, pertahanan, pendidikan, kesehatan, film dan jasa sosial lainnya, industri kayu dan barang dari kayu, sektor infrastruktur (konstruksi) bukan transportasi serta infrastruktur transportasi yang menjadi fokus perhatian di dalam penelitian ini. Keenam sektor tersebut yang merupakan motor penggerak terbesar yang dapat meningkatkan sektor- sektor lainnya apabila mengalami peningkatan.

Fokus kebijakan kepada enam sektor utama dengan backward linkage terbesar sebagai sektor pendorong bagi sektor sektor lain menjadikan keuangan pemerintah dapat lebih efisien tanpa harus memperhatikan seluruh sektor (Tabel 17). Supaya suatu kebijakan sektoral dapat lebih efektif berjalan, maka perlu juga dikaji dampak kedepan (forward linkage) setiap sektor tersebut sehingga tidak hanya sebagai faktor pendorong bagi kemajuan kinerja sektor-sektor lain namun juga kemampuan suatu sektor dalam keterkaitannya ke depan.

Tabel 17. Enam Sektor dengan Backward Linkage Terbesar Di Jawa Barat Tahun 2010

No Sektor Backward

linkage

Index Backward linkage

(1) (2) (3) (4)

1 Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit 3.4519 1.1513 2 Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 3.3829 1.1283 3 Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan,

Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya

3.2839 1.0953 4 Konstruksi Sektor Bukan Transportasi 3.2666 1.0895

5 Konstruksi Sektor Transportasi 3.2414 1.0811

6 Industri Kayu & Barang Dari Kayu 3.1520 1.0513 Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah

Tingkat keterkaitan ke depan (forward linkage) menunjukkan derajat kepekaan sektor tertentu terhadap permintaan akhir sektor-sektor lainnya. Jika terjadi kenaikan permintaan akhir pada semua sektor produksi maka suatu sektor tertentu akan memberikan respon dengan menaikkan output sektor tersebut dengan kelipatan sebesar koefisien multipliernya. Misalnya, industri kertas,

(8)

percetakan, alat angkutan dan barang dari logam yang mempunyai forward linkage terbesar dalam perekonomian Jawa Barat pada tahun 2010 (Tabel 18),

dengan koefisien multiplier sebesar 8.7911. Koefisien multiplier tersebut mempunyai makna bahwa apabila permintaan akhir semua sektor produksi meningkat sebesar satu unit, maka output sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, dan barang dari logam akan meningkat sebesar 8.7911 unit. Forward linkage menggambarkan keterkaitan antara sektor (aktivitas) produksi yang

berada di hulu (upstream sectors) dengan sektor sektor produksi yang berada di hilir (downstream sectors). Sektor-sektor yang mempunyai nilai multiplier terbesar adalah industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam; industri makanan, minuman dan tembakau; perdagangan; pertanian tanaman pangan; industri kimia pupuk, hasil dari tanah liat, semen; serta industri pemintalan, tekstil pakaian dan kulit.

Tabel 18. Enam Sektor dengan Forward Linkage Terbesar Di Jawa Barat Tahun 2010

Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah

Meskipun peranan dalam pembentukan PDRB Jawa Barat tahun 2010 untuk sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau tidak terlalu besar, namun keterkaitan ke belakang dan ke depan sektor-sektor tersebut dapat diandalkan dalam mendorong pertumbuhan perkonomian Jawa Barat secara keseluruhan. Sinyal

No Sektor Forward

linkage

Index Forward linkage

(1) (2) (3) (4)

1 Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam dan Industri

8.7911 2.9321 2 Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 7.7580 2.5875

3 Perdagangan 7.1583 2.3875

4 Pertanian Tanaman Pangan 5.3406 1.7812 5 Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat,

Semen

5.2573 1.7535 6 Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit 4.7763 1.5930

(9)

berupa penurunan peranan di kedua sektor dalam perekonomian Jawa Barat selama tiga tahun terakhir seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah daerah maupun pusat untuk segera memberikan perhatian terhadap sektor-sektor tersebut. Dengan identifikasi lebih dalam terhadap masalah yang dihadapi kedua sektor tersebut dan memberikan solusi dalam menangani hal hal yang menjadi penyebab penurunan peranan kedua sektor diharapkan dapat lebih meningkatkan kinerja pembangunan di Jawa Barat.

6.2.2 Interdependensi Sektoral Jawa Barat

Berdasarkan hasil penghitungan global multiplier (Ma) dapat dilihat keterkaitan antar sektor, yaitu perpotongan antara baris komoditas dan kolom sektor (Mkom.-Sektor) yang menggambarkan karakter dari setiap sektor. Gambaran yang dapat diperoleh dari matriks Mkom.-Sektor adalah bahwa setiap injeksi (shock) di masing- masing aktivitas produksi akan memberikan dampak yang berbeda di setiap sektornya akibat perubahan di dalam permintaan barang dan jasa antara.

Pada Tabel 19 diketahui bahwa injeksi sektoral, secara rata rata sebesar 1 unit akan meningkatkan output Jawa Barat sebesar 2.996 unit, yaitu jumlah multiplier dari submatriks Mkom.-Sektor .

Dari lampiran Tabel Accounting Multiplier juga dapat diketahui bahwa elemen diagonal dari global multiplier (Ma) untuk submatriks (Mkom.-Sektor) yaitu bagian matriks Ma di sisi baris komoditas dan kolom sektor yang bersesuaian mempunyai nilai lebih besar dari satu. Jika terjadi injeksi satu unit ke dalam sektor ke-i akibat dari peningkatan permintaan eksogen, maka akan berdampak kepada pendapatan sektor yang sama lebih dari satu unit, karena proses multiplikatif dari sirkulasi pendapatan di dalam sistem perekonomian. Nilai multiplier dalam diagonal elemen tersebut merupakan ukuran relatif seberapa besar sektor produksi terintegrasi secara internal. Dengan demikian maka sektor

(10)

industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit merupakan sektor yang paling terintegrasi diantara sektor-sektor yang lain dengan nilai diagonal multiplier sebesar 1.7826. Sementara itu, sektor industri kertas percetakan alat angkutan dan logam kurang terintegrasi secara internal dibandingkan dengan sektor pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit.

Tabel 19. Nilai Pengganda Global yang Diterima Sektor Produksi Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010

Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah

Kode Faktor Produksi Institusi Sektor Produksi

(2) (3) (4) (5)

26 1.880 3.251 5.341 27 0.112 0.205 1.345 28 0.432 0.804 2.007 29 0.013 0.028 1.083 30 0.255 0.477 1.576 31 0.210 0.395 1.937 32 0.027 0.051 1.113 33 3.227 5.439 7.758 34 1.340 2.489 4.776 35 0.106 0.229 1.438 36 2.577 4.379 8.791 37 1.156 2.221 5.257 38 1.042 1.872 3.653 39 0.031 0.062 1.256 40 0.091 0.178 1.521 41 2.295 4.031 7.158 42 0.060 0.108 1.224 43 0.478 0.855 2.027 44 1.303 2.264 4.476 45 0.365 0.691 1.871 46 0.032 0.060 1.119 47 0.234 0.418 1.997 48 0.238 0.435 1.651 49 0.448 1.031 1.993 50 0.536 0.967 2.589

0.740

1.318 2.998 Perikanan

Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya

Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Pertanian Tanaman Pangan

Pertanian Tanaman Lainnya

Perdagangan Restoran Perhotelan Angkutan Darat

Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi

Real Estate dan Jasa Perusahaan

Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Rincian

Rata-rata (1)

Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya

Kehutanan dan Perburuan

Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu

Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen

Listrik, Gas Dan Air Minum Infrastruktur Transportasi Infrastruktur Bukan Transportasi

(11)

Sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit adalah sektor yang sangat terintegrasi dengan sektor sektor lainnya dalam sistem produksi ekonomi Jawa Barat. Pada lampiran AA tersebut bahwa nilai multiplier pada total kolom dari sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit adalah sebesar 3.4519.

Nilai tersebut relatif besar dibandingkan dengan dampak sektoral dari sektor lain.

Kajian ini bermakna bahwa setiap injeksi pada sektor tersebut mempunyai dampak relatif besar terhadap aktivitas internal sektor-sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit itu sendiri, serta juga berdampak positif bagi perkembangan sektor lainnya. Sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit tersebut pada perekonomian Jawa Barat pada tahun 2010 tersebut juga mempunyai backward efect terbesar dibandingkan sektor sektor lainnya serta memiliki forward effect dengan nilai multiplier berada pada posisi enam besar dibandingkan sektor lainnya. Dengan demikian maka sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit merupakan sektor penggerak utama di dalam sistem produksi perekonomian Jawa Barat. Sementara itu, sektor lain yang memberikan dampak besar kepada aktivitas sektor lainnya adalah sektor industri kertas percetakan alat angkutan dan logam. Dengan demikian, berdasarkan kajian diatas maka setiap kebijakan yang ditujukan kepada sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dan sektor industri kertas percetakan alat angkutan dan logam tersebut akan memberikan dampak positif terbesar dalam menggerakkan perekonomian Jawa Barat.

6.3. Analisis Multiplier Sektoral

Penentuan kebijakan yang diarahkan kepada stimulus sektoral didasarkan pada kajian mendalam tentang bagaimana karakteristik sektor-sektor, serta melihat bagaimana dampak stimulus sektor-sektor terhadap perkonomian secara menyeluruh, dampaknya terhadap ketenagakerjaan serta pengaruhnya

(12)

terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Studi yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyimpulkan bahwa infrastruktur, termasuk halnya infrastruktur transportasi, merupakan faktor pendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat menjamin tercapainya pemerataan hasil pembangunan (Saragih, 2010). Penelitian ini secara khusus memiliki fokus untuk melihat dampak infrastruktur transportasi sebagai pokok bahasan.

Dalam analisis multiplier sektoral, dikaji dampak sektoral terhadap perkonomian secara umum untuk mengetahui karakteristik masing-masing sektor serta kontribusinya dalam kinerja pembangunan. Kajian selanjutnya difokuskan kepada dampak investasi infrastruktur transportasi kepada perekonomian Jawa Barat, dampaknya terhadap ketenagakerjaan serta dampaknya terhadap distribusi pendapatan masing-masing golongan rumah tangga. Nilai Pengganda Global seperti yang terlihat pada Tabel 19 menunjukkan dampak stimulus masing-masing sektor terhadap output sektoral, faktor produksi dan neraca institusi. Dengan nilai pengganda global dapat diketahui sektor-sektor mana yang memberikan pengaruh terbesar didalam perekonomian Jawa Barat.

Perubahan output suatu sektor sebagai dampak dari adanya guncangan (shock) neraca eksogen dapat diketahui melalui nilai pengganda global.

Berdasarkan hasil pengolahan data, sektor yang memberikan dampak terbesar adalah sektor industri kertas, alat percetakan, alat angkutan dan barang dari logam dengan nilai multiplier sebesar 8.791. Artinya, bila seluruh sektor produksi naik 1 unit, maka sektor industri kertas, alat percetakan, alat angkutan dan barang dari logam akan naik sebesar 8.791 unit. Sektor berikutnya yang memberikan dampak multiplier terbesar adalah industri makanan, minuman dan tembakau dengan multiplier sebesar 7.758, atau lebih tinggi dari nilai multiplier dari sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dengan nilai 4.776.

(13)

Selain itu, sektor jasa-jasa seperti perdagangan juga memberikan dampak relatif besar kepada perekonomian Jawa Barat yaitu sebesar 7.158.

Peningkatan output produksi masing-masing sektor akan meningkatkan pendapatan, yaitu pendapatan faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi yaitu tenaga kerja dan modal. Sektor yang dapat memberikan dampak kepada pendapatan faktorial terbesar adalah jika terdapat guncangan terhadap sektor industri makanan, minuman dan tembakau dengan nilai multiplier sebesar 3.277, industri kertas percetakan, alat angkutan dan barang dari logam sebesar 2.577, dan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit dengan nilai multiplier sebesar 1.340. Artinya, bila seluruh pendapatan faktorial di Provinsi

Jawa Barat naik 1 unit, maka sektor-sektor industri tersebut berturut-turut akan naik sebesar 3.277 unit, 2.577 unit dan 1.340 unit.

6.4. Analisis Multiplier Institusi Rumah Tangga

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai pengganda global seperti yang terlihat pada tabel sebelumnya menunjukkan dampak stimulus masing-masing sektor terhadap output sektoral, faktor produksi dan neraca institusi. Dengan nilai pengganda global dapat diketahui sektor-sektor mana yang memberikan pengaruh terbesar didalam perekonomian Jawa Barat. Demikian halnya dengan Tabel 20 berikut ini, perubahan distribusi pendapatan suatu golongan rumah tangga sebagai dampak dari adanya guncangan (shock) neraca eksogen dapat diketahui melalui nilai pengganda global. Berdasarkan Tabel 20 tersebut dapat ditunjukkan bahwa nilai pengganda global terbesar dari pendapatan rumah tangga di Jawa Barat baik yang dikarenakan injeksi dari faktor produksi, institusi maupun sektor produksi berada pada kelompok rumah tangga golongan atas, yaitu golongan rumah tangga bukan industri di kota dan desa, serta rumah tangga pengusaha pertanian. Sedangkan golongan rumah tangga dengan nilai

(14)

pengganda terendah dimiliki oleh rumah tangga golongan bawah, yaitu rumah tangga golongan bawah industri baik di desa dan di kota, serta rumah tangga golongan bawah bukan industri di desa.

Besarnya angka pengganda global yang dimiliki oleh kelompok rumah tangga golongan atas, sebagai contoh rumah tangga golongan atas bukan industri di kota, memiliki arti bahwa apabila terdapat injeksi dari aktivitas eksogen yang diarahkan kepada blok institusi maka akan memberikan pengaruh pendapatan terbesar kepada kelompok rumah tangga golongan atas tersebut.

Dari pola tersebut dapat disimpulkan bahwa efek pengganda kegiatan ekonomi yang terjadi di Jawa Barat cenderung berpihak kepada golongan rumah tangga atas, baik di desa maupun di kota.

Tabel 20 . Nilai Pengganda Global yang Diterima Rumah Tangga Di Propinsi Jawa Barat Tahun 2010

Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah

Kode Faktor Produksi Institusi Sektor Produksi

(2) (3) (4) (5)

Buruh 10 0.773 1.685 1.669

11 2.457 2.967 4.699 RT Golongan Bawah 12 0.323 1.218 0.510 RT Golongan Menengah 13 0.595 1.383 0.913 RT Golongan Atas 14 1.330 1.784 1.887 RT Golongan Bawah 15 0.362 1.312 0.738 RT Golongan Menengah 16 0.729 1.608 1.456 RT Golongan Atas 17 1.574 2.481 3.500 RT Golongan Bawah 18 0.251 1.213 0.509 RT Golongan Menengah 19 0.534 1.553 1.246 RT Golongan Atas 20 2.702 2.891 4.512 RT Golongan Bawah 21 0.432 1.389 0.925 RT Golongan Menengah 22 0.836 1.785 1.885 RT Golongan Atas 23 2.219 2.972 4.777

1.080

1.874 2.088 Pertanian

Pengusaha Pertanian

Bukan Pertanian

Industri

Desa

Kota

Bukan Industri

Desa

Kota (1) Rincian

Rata-rata

(15)

Sementara itu pengaruh langsung terbesar kegiatan ekonomi terhadap blok institusi rumah tangga di Jawa Barat dipengaruhi oleh blok sektor produksi, dengan nilai pengganda rata-rata sebesar 2,088. Dengan demikian apabila terdapat peningkatan pengeluaran sebesar satu unit dari blok sektor produksi, maka akan berdampak pada kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga di provinsi Jawa Barat sebesar 2,088 unit. Demikian juga selanjutnya apabila terdapat peningkatan pengeluaran masing-masing satu unit dari blok institusi dan faktor produksi, maka akan memberikan kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga di provinsi tersebut masing-masing sebesar 1,674 unit dan 1,060 unit.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa besarnya nilai rata-rata pengganda blok sektor produksi terhadap blok institusi rumah tangga menujukkan bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga di provinsi Jawa Barat lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan yang ada pada blok sektor produksi.

6.5. Analisis Dekomposisi Keterkaitan Investasi Infrastruktur Transportasi

Analisis dekomposisi dampak investasi di sektor infrastruktur transportasi pada dasarnya hendak menjelaskan tentang efek berantai dari guncangan (shock) output salah satu sektor terhadap sektor sektor lainnya dalam perekonomian Jawa Barat dengan merinci besaran dampak global/total secara lebih rinci. Dengan metode dekomposisi, efek global (Ma) dapat dirinci menjadi own effect (I), transfer effect (Ma1), open loop effect (Ma2) dan close loop effect (Ma3). Own effect (I) adalah efek langsung dari adanya guncangan neraca eksogen misalnya berupa kebijakan terhadap sektor yang dituju. Dalam hal ini efek kebijakan investasi infrastruktur transportasi yang ditujukan kepada sektor infrastruktur transportasi (dampak langsung/direct effect). Selanjutnya, transfer

(16)

effect (Ma2) merupakan efek berantai dari adanya guncangan di sektor infrastruktur transportasi kepada sektor-sektor lainnya di dalam blok neraca sektor. Open loop effect (Ma2) merupakan efek sebagai akibat adanya guncangan di sektor infrastruktur transportasi dan bergerak mempengaruhi sektor-sektor lainnya yang terkait dan juga mempengaruhi blok neraca lainnya seperti halnya blok neraca faktor produksi dan neraca institusi. Selanjutnya dampak dari efek kepada blok faktor produksi dan neraca institusi, guncangan tersebut kembali mempengaruhi blok neraca asal yaitu sektor infrastruktur transportasi yang kemudian disebut sebagai close loop effect (Ma3).

Pada bagian ini ditelaah mengenai dampak adanya investasi infrastruktur transportasi terhadap perekonomian. Perubahan (shock) neraca eksogen yang terjadi pada infrastruktur transportasi memberikan dampak berbeda-beda terhadap perekonomian Jawa Barat. Untuk itu akan dikaji dampak investasi pada infrastruktur transportasi terhadap blok neraca sektor, blok neraca faktor produksi, dan blok neraca institusi.

Dampak sektoral berkaitan dengan besaran nilai pengganda (koefisien multiplier) memberikan sinyal bahwa semakin besar nilai pengganda (Ma) akibat adanya perubahan pada infrastruktur transportasi maka semakin bermanfaat keberadaan infrastruktur transportasi tersebut bagi kinerja sektor yang terkena dampak. Sebagai ilustrasi bila terjadi shock berupa injeksi investasi sebesar Rp.

20.95 trilyun pada infrastruktur transportasi, selain berdampak kepada sektor infrastruktur transportasi itu sendiri juga berdampak kepada sektor industri lain yaitu subsektor industri kertas percetakan, alat angkutan dan barang dari logam dengan nilai sebesar Rp. 8.421,66 milyar. Pengaruh investasi infrastruktur transportasi juga memberikan dampak yang relatif besar kepada subsektor industri lainnya seperti halnya industri kimia, pupuk, dan semen; industri makanan minuman dan tembakau; serta subsektor industri pemintalan, tekstil,

(17)

pakaian dan kulit dengan nilai masing-masing nilainya sebesar Rp. 7.787,91 milyar; Rp. 4.931,32 milyar dan Rp. 2.458,92 milyar. Sektor perdagangan juga mengalami peningkatan output sebesar Rp. 6.021,29 milyar. Sementara itu, Sektor Pertanian khususnya subsektor pertanian tanaman pangan memperoleh dampak sebesar Rp. 2.856,65 milyar (Tabel 21).

Selain sektor-sektor yang disebutkan di atas investasi infrastruktur transportasi juga berdampak kepada jasa angkutan yang sangat erat kaitannya dengan infrastruktur transportasi yaitu jasa transportasi darat sebesar Rp.

3.505,74 milyar. Sektor-sektor di dalam blok neraca sektor produksi (Ma1) yang paling dipengaruhi oleh adanya investasi infrastruktur transportasi adalah industri kimia, pupuk dan semen dengan nilai sebesar Rp. 6.020,57 milyar dan nilai pengganda Ma1 kedua terbesar terjadi di sektor industri kertas, alat cetakan, alat transportasi sebesar Rp. 4.261,33 milyar.

Berbeda dengan efek internal sektoral (transfer effect), blok neraca yang terkena efek feed-back (Ma2) besar dari adanya infrastruktur transportasi selanjutnya adalah blok neraca faktor produksi, dimana investasi ini berdampak kepada pekerja dengan memberikan pendapatan tenaga kerja, khususnya rumah tangga golongan bawah dan menengah. Namun dibandingkan dengan rumah tangga golongan atas, pendapatan golongan rumah tangga ini lebih besar dibandingkan dengan pendapatan rumah tangga golongan bawah dan menengah. Hal ini dikarenakan rumah tangga golongan atas tidak hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja, tetapi juga memiliki faktor produksi bukan tenaga kerja (kapital). Kondisi ini menunjukkan bahwa investasi infrastruktur transportasi lebih menguntungkan kepada golongan rumah tangga golongan atas dibandingkan dengan rumah tangga golongan menengah dan bawah, yang memiliki pendapatan utama rumah tangga yang berasal dari upah dan gaji.

Tenaga kerja yang memperoleh manfaat terbesar dari adanya investasi

(18)

infrastruktur ini adalah pekerja produksi, operator, manual di kota dengan besaran efek open loop sebesar Rp. 4.292,24 milyar.

Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah

X I Ta Oa Ca Ma

(2) (3) (4) (5) (6) (7)

Desa 1 - - 90.34 1,611.68 1,702.02 Kota 2 - - 15.08 549.81 564.89 Desa 3 - - 2,935.96 787.63 3,723.59 Kota 4 - - 4,292.24 1,885.16 6,177.41 Desa 5 - - 363.08 508.89 871.97 Kota 6 - - 998.74 1,121.14 2,119.88 Desa 7 - - 228.01 240.55 468.56 Kota 8 - - 2,129.44 1,641.43 3,770.86

Bukan tenaga kerja 9 - - 5,826.62 6,169.45 11,996.06

Buruh 10 - - 511.88 562.23 1,074.12

11 - - 1,520.63 1,667.50 3,188.12 RT Golongan Bawah 12 - - 168.91 182.81 351.72 RT Golongan Menengah 13 - - 362.40 324.61 687.01 RT Golongan Atas 14 - - 1,070.78 673.53 1,744.30 RT Golongan Bawah 15 - - 387.76 268.77 656.53 RT Golongan Menengah 16 - - 689.87 520.93 1,210.79 RT Golongan Atas 17 - - 2,173.43 1,246.08 3,419.51 RT Golongan Bawah 18 - - 202.55 183.50 386.05 RT Golongan Menengah 19 - - 467.27 450.68 917.95 RT Golongan Atas 20 - - 2,009.64 1,623.92 3,633.56 RT Golongan Bawah 21 - - 405.12 333.39 738.51 RT Golongan Menengah 22 - - 789.13 673.59 1,462.72 RT Golongan Atas 23 - - 2,244.77 1,686.60 3,931.37 26 - 26.59 - 2,830.06 2,856.65 27 - 132.11 - 171.32 303.43 28 - 6.58 - 673.70 680.28 29 - 55.89 - 20.40 76.29 30 - 1.88 - 390.90 392.78 31 - 803.48 - 321.69 1,125.17 32 - 114.47 - 41.77 156.24 33 - 38.91 - 4,892.41 4,931.32 34 - 398.16 - 2,060.76 2,458.92 35 - 201.04 - 150.21 351.25 36 - 4,261.33 - 4,160.33 8,421.66 37 - 6,020.57 - 1,767.34 7,787.91 38 - 432.65 - 1,603.50 2,036.15 39 20,950 20,950 44.03 - 47.54 21,041.57 40 - 181.62 - 141.01 322.62 41 - 2,470.53 - 3,550.76 6,021.29 42 - 66.92 - 93.45 160.38 43 - 49.97 - 722.16 772.12 44 - 1,501.30 - 2,004.44 3,505.74 45 - 178.10 - 586.92 765.02 46 - 27.47 - 49.40 76.87 47 - 512.41 - 362.91 875.32 48 - 176.65 - 372.97 549.62 49 - 27.12 - 702.73 729.85 50 - 703.19 - 806.33 1,509.52 Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya

Infrastruktur Transportasi Infrastruktur Bukan Transportasi Perdagangan

Restoran Perhotelan Angkutan Darat

Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Bank dan Asuransi

Real Estate dan Jasa Perusahaan

Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya

Listrik, Gas Dan Air Minum

Desa

Kota

Sektor Produksi

Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan

Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak Bumi Pertambangan dan Penggalian Lainnya

Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu

Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang dari Logam Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen

Institusi

Rumah tangga

Pertanian Pengusaha Pertanian

Bukan Pertanian Industri

Desa

Kota

Bukan Industri

Faktor Produksi

Tenaga kerja

Pertanian

Bukan Pertanian

Produksi, Operator Alat Angkutan, Manual dan Tata Usaha, Penjualan, Jasa-

Jasa Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, Militer,

Rincian (1)

Tabel 21. Dekomposisi Nilai Pengganda Akibat Injeksi Investasi Infrastruktur Transportasi di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2010  

(19)

Dari sisi neraca institusi, peningkatan investasi infrastruktur transportasi selain berdampak kepada sektor juga berdampak kepada pendapatan faktor- faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Lebih lanjut, pada akhirnya pendapatan tersebut diterima oleh institusi rumah tangga sebagai salah satu dari pemilik faktor produksi. Institusi rumah tangga memperoleh pendapatan berupa upah dan gaji dari faktor produksi tenaga kerja yang dimiliki. Golongan rumah tangga yang memperoleh manfaat relatif besar adalah rumah tangga yang bekerja di sektor jasa-jasa (selain industri dan pertanian) baik di desa maupun di kota, rumah tangga pengusaha petani dan rumah tangga golongan atas di kota yang bekerja di sektor industri dengan nilai masing-masing manfaat sebesar Rp.

1.686,60 milyar; Rp. 1.623,92 milyar; Rp. 1.667,50 milyar dan Rp. 673,53 milyar.

Sebagian besar dari efek total tersebut berasal dari efek close loop. Peningkatan investasi infrastruktur transportasi tidak langsung mempengaruhi pendapatan institusi rumah tangga melalui sektor-sektor yang terkait dengan sektor infrastruktur transportasi namun melalui arus balik (feed-back) seperti digambarkan pada efek close loop setelah sektor sektor lain memperoleh manfaat dari adanya peningkatan di sektor infrastruktur jalan.

Hasil kajian mengenai dampak investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat ini sejalan dengan hasil temuan yang dilakukan oleh oleh Aschauer (1989) dan Bonaglia et al. (2000) tentang keterkaitan antara investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) di Italia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pada infrastruktur terbukti dapat memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan TFP, output dan pengurangan biaya.

Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa secara umum, investasi pada sektor transportasi merupakan pilihan yang memberikan dampak relatif besar terhadap perekonomian di Jawa Barat.

(20)

6.6. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja

Tabel 22 menjelaskan mengenai simulasi dari penyerapan tenaga kerja yang terjadi akibat peningkatan investasi infrastruktur transportasi sebesar Rp.

20.95 trilyun di provinsi Jawa Barat. Dampak yang terjadi akibat adanya investasi infrastruktur tersebut adalah terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja secara total sebesar 17.942 orang. Jika penyerapan tenaga kerja tersebut dirinci menurut sektor maka dampak penyerapan tenaga kerja terbesar berada pada sektor pertanian tanaman pangan dengan penambahan tenaga kerja terbesar yaitu sebanyak 4.549 orang (25.35%). Sektor produksi dengan penyerapan tenaga kerja terbesar berikutnya berturut-turut adalah sektor perdagangan (2.911 orang atau 16.22%), sektor jasa perseorangan, rumah tangga dan jasa lainnya (2.581 orang atau 14.39%) dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau (1.019 orang atau 5.68%).

Berdasarkan hasil studi, sektor industri yang merupakan sektor unggulan di provinsi ini menyerap tenaga kerja cukup signifikan, yaitu sebanyak 2.745 orang (15.30%), sedangkan sektor angkutan (darat, air, dan udara) dan jasa penunjang angkutan hanya menyerap tenaga kerja sebanyak 1.529 orang atau sebesar 8.52%. Adapun sektor produksi dengan penyerapan tenaga kerja terendah adalah sektor pertambangan dan penggalian lainnya, yaitu sebesar 36 orang atau 0.20%.

Sementara itu berdasarkan Tabel 22 dapat disampaikan bahwa sektor yang menyerap tenaga paling sedikit akibat adanya investasi infrastruktur transportasi adalah sektor pertambangan dan penggalian lainnya yaitu sebesar 36 orang (0.2%) serta sektor kehutanan dan perburuan sebesar 45 orang (0.25%).

(21)

Sumber: SNSE Jawa Barat 2010, diolah kembali

6.7. Analisis Jalur (Structural Path Analysis)

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui jalur yang terjadi pada neraca endogen akibat pengaruh dari neraca eksogen. Berdasarkan analisis jalur, golongan rumah tangga atas non industri di kota memiliki pengaruh global terbesar dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain di provinsi ini, yaitu sebesar 0.188. Artinya bila terjadi injeksi pada infrastruktur transportasi sebesar Rp.20.95 trilyun rupiah, maka golongan rumah tangga ini akan memperoleh peningkatan pendapatan sebesar Rp. 3.94 trilyun. Adapun jalur yang mendominasi antara infrastruktur transportasi dengan rumah tangga ini adalah

Sebelum % Sesudah % Orang %

(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

26 2,727,689 16.10 2,732,237 16.11 4,549 25.35 27 866,623 5.12 867,712 5.12 1,089 6.07 28 226,212 1.34 226,653 1.34 442 2.46 29 41,728 0.25 41,773 0.25 45 0.25 30 101,991 0.60 102,183 0.60 192 1.07 31 84,142 0.50 84,220 0.50 78 0.43 32 36,329 0.21 36,365 0.21 36 0.20 33 588,510 3.47 589,529 3.48 1,019 5.68 34 731,005 4.31 731,368 4.31 363 2.02 35 379,890 2.24 380,334 2.24 444 2.48 36 1,510,607 8.92 1,511,378 8.91 771 4.30 37 171,861 1.01 172,009 1.01 148 0.82 38 59,241 0.35 59,321 0.35 80 0.45 39 300,390 1.77 300,668 1.77 277 1.55 40 706,245 4.17 706,321 4.16 77 0.43 41 3,554,768 20.98 3,557,679 20.98 2,911 16.22 42 566,293 3.34 566,689 3.34 396 2.21 43 85,828 0.51 85,968 0.51 139 0.78 44 482,851 2.85 483,386 2.85 535 2.98 45 608,873 3.59 609,734 3.60 861 4.80 46 116,306 0.69 116,439 0.69 133 0.74 47 167,403 0.99 167,565 0.99 162 0.90 48 170,488 1.01 170,747 1.01 260 1.45 49 564,642 3.33 564,996 3.33 354 1.97 50 2,092,530 12.35 2,095,111 12.35 2,581 14.39

16,942,444

100.00 16,960,386 100.00 17,942 100.00 (1)

J u m l a h

Perubahan Tenaga Kerja

Rincian Kode

Kondisi Jumlah Tenaga Kerja

Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan Infrastruktur Bukan Transportasi Perdagangan

Restoran Perhotelan Angkutan Darat

Angkutan Udara, Air dan Komunikasi Industri Pemintalan, Tekstil, Pakaian dan Kulit Industri Kayu & Barang Dari Kayu

Industri Kertas, Percetakan, Alat Angkutan dan Barang Dari Logam dan Industri

Industri Kimia, Pupuk, Hasil Dari Tanah Liat, Semen

Infrastruktur Transportasi Pertanian Tanaman Pangan Pertanian Tanaman Lainnya Peternakan dan Hasil-hasilnya Kehutanan dan Perburuan Perikanan

Pertambangan Batubara, Biji Logam dan Minyak BumiPertambangan dan Penggalian Lainnya Industri Makanan, Minuman dan Tembakau

Bank dan Asuransi

Real Estate dan Jasa Perusahaan

Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya

Listrik, Gas Dan Air Minum

Tabel 22. Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010  

(22)

jalur yang melalui tenaga kepemimpinan sektor non pertanian di kota, dengan persentase global (TI/GI) sebesar 6.5%. Golongan rumah tangga berikutnya yang menerima peningkatan pendapatan terbesar berikutnya adalah rumah tangga golongan atas di desa sektor non industri, dengan nilai pengaruh global sebesar 0.173. Sedangkan golongan rumah tangga dengan pengaruh global terkecil adalah golongan rumah tangga bawah sektor industri di desa, dengan nilai pengaruh global sebesar 0.017. Analisis jalur dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap golongan rumah tangga provinsi Jawa Barat Tahun 2010 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah  

Gambar 12. Transmisi yang Diakibatkan dari Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Golongan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010.

 

(23)

Ilustrasi dari jalur dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap golongan rumah tangga provinsi Jawa Barat Tahun 2010 ini dapat digambarkan pada Gambar 12

,

dimana komoditas industri (baik industri kimia dan industri logam) dan kapital (modal) mempunyai peranan cukup signifikan dalam seluruh kemungkinan jalur yang terjadi antara infrastruktur transportasi dan golongan rumah tangga di Provinsi Jawa barat ini. Pada gambar tersebut tidak digambarkan secara keseluruhan dampak, namun hanya menggambarkan pengaruh pada sektor-sektor yang mendapatkan dampak terbesar dan terkecil.

Adapun sektor produksi yang memperoleh manfaat terbesar dari investasi di infrastruktur transportasi, berdasarkan analisis jalur adalah sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam, dengan nilai pengaruh global dimiliki sebesar 0.402. Artinya dengan Rp.20.95 trilyun yang diinvestasikan di infrastruktur transpotasi akan meningkatkan pendapatan sektor ini sebesar Rp. 8.42 trilyun. Hal ini terjadi akibat dari peningkatan permintaan komoditas yang dihasilkan oleh industri ini, dan dapat dilihat dengan persentase pengaruh global sebesar 50%. Atau dengan perkataan lain, jalur ini telah menjelaskan 50% dari seluruh jalur yang terjadi antara infrastruktur transportasi dengan sektor industri ini. Hasil lengkap analisis jalur dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap sektor produksi Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran 2.

Sedangkan sektor industri berikutnya yang memperoleh peningkatan pendapatan terbesar akibat dari investasi infrastruktur transportasi adalah sektor industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat, dan semen. Adapun pengaruh global yang dimiliki adalah sebesar 0.372, dengan jalur melalui komoditas sektor industri ini telah menjelaskan 78.2% dari seluruh kemungkinan jalur yang terjadi.

Sedangkan sektor produksi dengan pengaruh global terkecil adalah sektor

(24)

kehutanan dan perburuan, dengan nilai sebesar 0.004. Dari ilustrasi pada Gambar 13 dapat terlihat, bahwa akibat dari investasi infrastruktur transportasi, permintaan akan komoditas industri kimia, pupuk dan semen serta komoditas dari sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan dan barang dari logam mempunyai peranan cukup signifikan dalam seluruh kemungkinan jalur yang terjadi antara infrastruktur transportasi dan sektor produksi di provinsi ini.    

6.8. Dekomposisi global effect multiplier mHjA39

Analisis dekomposisi multiplier income rumah tangga dimaksudkan untuk melengkapi analisis multiplier yang berupa global effect, dimana dalam analisis

Sumber SNSE Jawa Barat 2010, diolah

Gambar 13. Transmisi yang Diakibatkan oleh Pengaruh dari Investasi Infrastruktur   Transportasi terhadap Sektor Produksi di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011  

(25)

global effect tersebut belum memberikan informasi tentang kontribusi relatif dan

uraian dari pengaruh langsung dan tidak langsung dari injeksi di sektor infrastruktur transportasi terhadap pendapatan setiap golongan rumah tangga (Pansini and Vega, 2008). Analisis ini juga dikaji mengenai dekomposisi global effect untuk masing masing golongan rumah tangga akibat adanya injeksi berupa investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat pada tahun 2010.

Berdasarkan pengolahan data SNSE Jawa Barat 2010, diketahui bahwa total multiplier investasi intrastuktur transportasi terhadap seluruh golongan rumah tangga adalah 1.09249. Nilai tertinggi diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan atas di kota (0.18354), sedangkan terendah diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa (0.01642). Perbandingan nilai mutiplier yang tertinggi dan terendah adalah sebesar 11.18, yang berarti apabila

dilakukan investasi infrastruktur transportasi, pendapatan yang dibangkitkan dan kemudian diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan atas di kota nilainya 11.18 kali lipat dibandingkan dengan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa.

Secara umum nilai multiplier yang diterima oleh golongan rumah tangga pengusaha/golongan atas jauh lebih besar dibandingkan dengan yang diterima oleh golongan rumah tangga buruh pertanian/golongan bawah, yang berarti bahwa golongan atas akan memperoleh penciptaan pendapatan yang lebih besar dibandingkan golongan yang lebih rendah. Hasil ini sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Harrod-Domar (1946) dan Arthur Lewis (1954) yang secara implisit menyatakan bahwa golongan atas memiliki kemampuan yang lebih baik dalam pembentukan tabungan yang berfungsi sebagai sumber investasi, sehingga pada akhirnya memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memperoleh pendapatan karena kepemilikan faktor produksi bukan tenaga kerja.

(26)

Hasil ini juga membawa konsekwensi bahwa teori trickle down effect tidak dapat bekerja dengan baik bila diterapkan di Jawa Barat. Pembangunan yang lebih berorientasi kepada mengejar pertumbuhan ekonomi agregat semata terbukti secara tidak akan memperbaiki struktur distribusi pendapatan. Nilai multiplier yang diterima oleh berbagai golongan rumah tangga secara tidak

merata membawa implikasi bahwa intervensi kebijakan melalui neraca eksogen (sektor produksi) memang akan meningkatkan pendapatan seluruh golongan rumah tangga yang berarti juga akan menigkatkan taraf hidup seluruh golongan rumah tangga. Namun di saat yang sama hal ini juga diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan antar golongan rumah tangga.

Multiplier pendapatan rumah tangga berdasarkan pengolahan data SNSE

Jawa Barat menunjukan perbandingan-perbandingan pendapatan yang diterima oleh berbagai golongan rumah tangga, yaitu:

• Rumah tangga pengusaha pertanian menerima pendapatan 2.97 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga buruh pertanian;

• Rumah tangga industri golongan atas di desa menerima pendapatan 4.96 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah di desa;

• Rumah tangga industri golongan atas di kota menerima pendapatan yang 5.21 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga industri golongan bawah atas di kota;

• Rumah tangga bukan industri golongan atas di desa menerima pendapatan 9.41 kali lipat dibandingkan yang diterima oleh rumah tangga bukan industri golongan bawah di desa; dan

Gambar

Tabel 19.  Nilai Pengganda Global yang Diterima Sektor Produksi         Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010
Tabel 20 . Nilai Pengganda Global yang Diterima Rumah Tangga       Di Propinsi Jawa Barat Tahun 2010
Tabel  21.  Dekomposisi  Nilai  Pengganda  Akibat  Injeksi  Investasi  Infrastruktur Transportasi di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2010  	
  
Tabel 22.  Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Penyerapan  Tenaga Kerja Menurut Sektor di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010  	
  
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fogh- Andersen (1942) dan dikonfirmasi oleh penelitian lain yang dilakukan oleh Fraser dan Calnan (1961) ;

Hitunglah waktu yang dibutuhkan benda untuk kembali ke tempat semula setelah

Berdasarkan hasil pengujian secara parsial, dapat dilihat pada tabel 3 yang menyajikan bahwa kepemilikan manajerial memiliki nilai probabilitas (p-value) 0,1051

Melihat permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka penulis menggunakan pendekatan (metode analisis) deskriptif/komparatif yaitu suatu analisis yang menguraikan

Salah satu sarana dan prasarana terwujudnya budaya hidup sehat di sekolah adalah melalui usaha kesehatan sekolah (UKS). Mengingat pentingnya UKS ditiap-tiap sekolah

Perjanjian yang sangat fenominal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di Madinah dalam rangka pembentukan sebuah negara adalah perjanjian dengan 12 kelompok masyarakat yang diwakili

Perbedaan kadar abu suatu bahan dasar mempengaruhi tinggi rendahnya kadar abu kukis yang dihasilkan, hal ini sejalan dengan penelitian Marulitua (2013) pembuatan

The objective of this study is to find out the readability level of the reading texts on English textbook for the eleventh grade students entitled Advanced Learning