• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Lupus atau yang biasa dikenal dengan Systemic Lupus Erythematosus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Lupus atau yang biasa dikenal dengan Systemic Lupus Erythematosus"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang Masalah

Lupus atau yang biasa dikenal dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi atau autoimun multiorgan yang penyebabnya belum secara jelas ditemukan. Munculnya SLE dikarenakan adanya penyimpangan dari reaksi imunologik yang menyebabkan tubuh menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi yang dihasilkan secara terus menerus menyebabkan adanya kerusakan sitotosik. Bagian dari antibodi ini kemudian menyebabkan terbentuknya kompleks imun, dimana kompleks ini merupakan pencetus penyakit inflamasi imun (Darmawan, Nasution, Kalim & Sidabutar, 1997).

Penyakit Lupus menyerang hampir 90% perempuan. Tercatat bahwa kurang lebih 5 juta pasien Lupus tersebar di seluruh dunia dan setiap tahunnya mengalami peningkatan sebanyak 100.000 pasien baru. Data di Amerika menunjukkan indisiden penyakit Lupus Ras Asia lebih tinggi dibandingkan ras Kaukasia. Di Indonesia jumlah penderita lupus yang tercatat sebagai anggota YLI >10.000 orang, tetapi bila kita melakukan pendataan lebih seksama jumlah pasien Lupus di Indonesia akan lebih besar dari Amerika ( 1.500.000 orang) (Yayasan Lupus Indonesia, 2011).

Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia.

Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang per 100.000 penduduk. SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika,

(2)

prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi. Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1:1000.

Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia, 2011). Prevalensi penyakit iflamasi sistemik berdasar diagnosis naskes di Indonesia adalah 11,9%.

Prevalensi tertinggi di Bali 19,3%, Aceh 18,3%, Jawa Barat 17,5 dan Papua 15,4%. Prevalensi penyakit sendi beradasarkan jenis kelamin, diperoleh lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki yaitu 13,4% dan 10,3%

(Riskesdas, 2013). Dari data Dinas kesehatan provinsi Bali diperoleh data kasus sistemik lupus eritematosus pada tahun 2012 sebanyak 25 kasus dan mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebanyak 75 kasus.

Penyebab munculnya penyakit ini belum bisa dipastikan, dapat karena pengaruh lingkungan, hormonal atau genetik. Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit yang timbul ketika tubuh melakukan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus asing dan memproduksi banyak antibodi maupun protein-protein yang melawan jaringan tubuh. Oleh sebab itu, lupus disebut dengan penyakit autoimun (Wallace, 2007).

Penderita lupus pada umumnya mengalami kemunduran baik secara fisik maupun psikis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak negatif dari

(3)

SLE pada citra tubuh serta ketidakpuasan seksual akan meningkat ketika pasien mengalami tingkat kelelahan dan gejala depresi yang tinggi (Seawell &

Burg, 2005). Manifestasi klinik yang dialami oleh penderita lupus umumnya berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi kelainan kulit yang akut muncul pada penderita Lupus berupa bercak malar yang menyerupai kupu-kupu.

Bercak yang paling sering ditemukan adalah bercak malar akut berupa eritema menonjol, terasa gatal, ataupun nyeri. Beberapa jenis kelainan kulit yang dialami biasanya bersifat sementara dan tidak meninggalkan bekas ketika sembuh. Akan tetapi untuk kelainan kulit yang bersifat akut biasanya setelah sembuh akan meninggalkan bekas di kulit dan susah hilang dalam jangka waktu yang cukup lama (Darmawan, Nasution, Kalim, & Sidabutar, 1997).

Bentuk manifestasi klinik lainnya yang dialami oleh penderita Lupus adalah apoleksia. Apoleksia adalah tanda yang umum terjadi pada SLE dimana terjadi kerontokan rambut secara luas dan subtotal. Rambut yang rontok dapat diasosiakan dengan kambuhnya SLE dan rambut yang rontok ini akan tumbuh lagi setelah SLE dalam remisi. Kebotakan permanen yang dialami oleh pasien SLE ini biasanya disebabkan karena kortikos teroid atau obat sitotosik. Secara fisik, penderita SLE mengalami keluhan secara sistemik yang berhubungan dengan fungsi fisiknya. Badan terasa lemas, lesu, dan mudah capek yang amat sangat menjadi penghalang bagi penderita SLE untuk dapat melakukan kegiatan normal sehari-harinya. Bentuk keluhan lain yang dirasakan adalah demam 38° Celsius, badan terasa pegal dan nyeri otot serta penurunan berat badan. Gangguan penyakit SLE yang meningkat dari waktu ke waktu dan

(4)

penyembunyian gejala yang dialami, dapat menyebabkan depresi pada SLE (Schattner, Shahar, Lerman & Shakra, 2010).

Dari berbagai macam bentuk manifestasi klinik yang muncul pada penderita SLE khususnya secara fisik, maka secara psikologis muncul rasa kurang percaya diri pada penderita lupus. Bekas dari bercak merah yang muncul di kulit hingga kerontokan yang menyebabkan kebotakan, membuat pasien lupus menjadi malu dan stres dengan keadaan fisik yang dialami. Stres yang muncul membuat pasien lupus menjadi khawatir dan tidak dapat menerima keadaan dan kondisinya saat ini. Hal ini seperti yang disampaikan oleh partisipan pada wawancara awal.

“Takut bagaimana nanti efek sakitku untuk kedepannya. Soalnya banyak sekali teman-teman penderita lupus yang sudah lama, keadaan tubuhnya makin parah, takut untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis gak pede dengan keadaan sakitku ini, dan takut ngerepotin keluarga. Sekarang ini cuman jalani sewajarnya.. bisa dibilang mencoba menikmati hidup hari ini sist.” TT (33-38), 2013.

Permasalahan secara psikologis muncul pada pasien SLE ketika dinyatakan mengidap lupus., dimana pasien lupus akan mengalami kecemasan dari dampak penyakit yang dialami sulit untuk dapat menerima keadaan yang ada. Dari hasil penelitian, pasien dengan SLE telah secara signifikan mengalami QOL (quality of life) yang buruk terkait body image, dibandingkan kelompok kontrol non-SLE seusianya. Pasien yang berusia lebih muda dengan aktivitas penyakit kulit atau kerusakan serta depresi, cenderung untuk memiliki kualitas hidup yang buruk terkait BI. Citra tubuh yang buruk adalah masalah realistis dimana pasien dengan SLE sering menghadapinya (Jolly dkk, 2012).

(5)

Permasalahan manifestasi klinik yang muncul baik secara fisik dan psikis di atas dapat berpengaruh terhadap penerimaan diri pasien ketika divonis mengidap lupus serta menghambat tugas perkembangannya karena kesehatan fisik (Hurlock, 1980). Lupus merupakan penyakit yang menyerang lebih banyak wanita. Pada anak-anak dan orang dewasa dengan usia diatas 50 tahun, penyakit lupus memiliki kemungkinan hanya sekitar < 5% dari semua kasus yang ada, sementara pada usia 15-45 tahun hampir 90%. Hurlock menyebutkan bahwa masa dewasa awal yang dimulai dari usia 18-40 tahun terjadi perubahan secara fisik dan psikis yang mengikuti dalam proses perkembangan individu. Dalam tugas perkembangan pada tahap dewasa awal, individu cenderung akan menerapkan nilai-nilai serta harapan dan penyesuain pola hidup baru dalam bermasyarakat atau bersosial. Tuntutan dari tugas perkembangan pada usia dewasa awal ini lebih berfokus pada pencarian pekerjaan (karir dan prestasi), memilih pasangan hidup atau membangun relasi lawan jenis, keinginan untuk membentuk keluarga, mengelola rumah tangga dan membesarkan anak-anak. Tugas-tugas perkembangan yang terhambat akibat penyakit lupus ini juga akan berdampak pada kesejahteraan psikologis odapus, dimana salah satu dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff adalah penerimaan diri (self-acceptance).

Chaplin (1985) mendefinisikan penerimaan diri sebagai suatu sikap individu yang berkaitan dengan rasa puas atau tidak puas terhadap dirinya, termaksud kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki serta mampu mengenali keterbatasan yang dimilikinya. Banyak faktor yang membuat pasien lupus mengalami kesulitan dalam proses penerimaan diri ketika dinyatakan sakit.

(6)

Dalam penelitian yang dilakukan Archenholtz, Burckhardt & Segesten (1999) menemukan bahwa pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) harus berurusan dengan beragam gejala, efek samping obat, dan konsekuensi psikososial hidup yang tak terduga dan berpotensi fatal. Semua masalah yang dihadapi ini dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan SLE dan berdampak pada kondisi psikologis pasien.

Pada hasil penelitian awal yang dilakukan peneliti, ditemukan bahwa subjek tidak memiliki hambatan ketika menjalin hubungan secara umum dengan lingkungan sosial, akan tetapi ketika berbicara mengenai perasaan suka terhadap lawan jenis, atau menjalin hubungan khusus dengan laki-laki yang disukai, subjek menyampaikan ada rasa kurang percaya diri dalam membangun hubungan yang khusus.

“ Kalo pertemanan biasa sih sama sekali gak masalah…biasa saja.Tapi kalo pertemanan menjurus ke suatu hubungan relationship hmmm….agak gak pede. Bukan agak…tapi sangat ga pede “ TT (47-50)

“ Disini maksud aku lawan jenis bukan teman cowok, tapi lebih ke teman cowok yang special.. kalo hanya sahabat biasa..gak ada perasaan gak PD. Kalo ke sosok yang special aku gak PD karena aku pasti langsung mikir..mungkin gak ya dia nerima keadaanku yg sakit-sakitan gini, karena untuk ngurus aku yang sakit-sakit gini gak hanya tenaga tapi juga materi yang “agak lebih”. Pokoknya pikiranku..gak mau buat repot siapa-siapa.., disamping itu juga..kalo dia mau mengerti, bagaimana keluarganya? Nahh ini dia yang kadang buat aku galau….. TT (50-57)

Ryff mengoperasionalkan psychological well-being ke dalam enam dimensi utama dan salah satu dari enam dimensi adalah penerimaan diri (self- acceptance). Dijelaskan oleh Karasz dan Ouellette 1995 ( dalam McElhone,

(7)

Abbott, & Teh, 2006) yang menyatakan bahwa lupus dapat menyebabkan seseorang mengalami hambatan dalam peran sosial mereka sehingga mengalami depresi dan memberikan dampak negatif pada kesejahteraan psikologis odapus. Depresi ini terjadi ketika dampak penyakit lupus memiliki pengaruh yang besar terhadap peran sosial odapus dan ketika odapus tidak mampu menerima kondisinya saat itu.

Pada saat seseorang divonis menderita SLE, maka keadaan ini akan mengubah pola hidup nya. Pasien yang divonis SLE mungkin akan mengalami kehilangan pekerjaan, kehilangan kepercayaan diri yang dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan emosional. Tidak hanya itu saja, bagi pasien wanita pada usia dewasa awal akan mengalami perubahan citra diri dan konsep diri mereka, pada umumnya hal ini akan menyebabkan terjadinya dampak psikologis yang berat bagi pasien terutama dalam penerimaan dirinya.

Perbedaan kondisi pasien sebelum dan sesudah divonis SLE pasti sangat berbeda, sehingga pasien dituntut untuk dapat beradaptasi dengan baik dengan kondisi yang dialaminya. Perubahan pola hidup yang disebabkan oleh sakit ini dapat menjadi faktor sulitnya penerimaan diri pada pasien dengan SLE (Hidayat, 2005).

Peran sosial secara khusus bagi wanita Bali berkaitan dengan budaya dan adat yang sangat kental akan upacara dan tradisi keagamaaan (Tirtayani, L. A., 2007). Seorang wanita memiliki peran ganda dalam lingkungan sosial nya yaitu; a) peran domestik dimana wanita sebagai ibu dan istri b) peran ekonomi,dimana wanita juga berperan dalam mendukung perekonomian rumah tangga c) peran sosio-kultural dalam masyarakat yaitu dalam Banjar maupun

(8)

desa adat. Nilai-nilai budaya mengenai wanita dalam masyarakat Bali akan membentuk wanita Bali dengan keunikannya. Konsep Arddhanisvarimurti, sistim kapurusan, dan Karma Yoga marga membawa pemaknaan tersendiri terhadap tugas-tugas yang dijalankan wanita Bali. Dalam menjalankan peran sosio-kultural atau lebih dikenal dengan peran adat, wanita Bali sangat tergantung pada status suami dalam kedudukan adat. Konsekuensi menikah dengan suami yang tercatat sebagai krama arepan di Desa Adat Kuta membawa wanita Bali pada kewajiban-kewajiban adat tertentu. Bila tidak mampu menjalankan kewajibannya maka dianggap melanggar norma yang telah disepakati, sehingga menerima sanksi. Dengan begitu banyaknya peran wanita Bali khususnya dalam upacara adat di desa tempat tinggalnya, maka wanita Bali dengan lupus akan mengalami kesulitan untuk bisa menjalankan perannya. Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa kemunduran fisik yang dialami meiliki kontribusi yang besar dalam peran dan tugas pasien SLE.

Reaksi lingkungan terhadap perubahan fisikpada pasien SLE dapat mengakibatkan dampak perubahan psikis yang besar yang dialami oleh penderita lupus. Dijauhkan dan dikucilkan oleh lingkungan akan membuat odapus merasa dirinya diasingkan, merasa dirinya tidak berharga, merasa tidak dapat diterima lagi oleh lingkungan, merasa rendah diri, malu, dan bersikap tertutup serta perasaan negatif lainnya.

Fenomena pada penderita lupus wanita Bali usia dewasa awal yang mengalami hambatan menjalankan tugas dan peran nya secara khusus sebagai wanita Bali yang kental dengan upacara keagamaan ini

(9)

melatarbelakangi penulis melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana penerimaan diri pada wanita Bali penderita lupus usia dewasa.

B. Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana proses penerimaan diri penderita lupus khususnya pada wanita Bali.

b. Faktor apa saja yang mendukung penerimaan diri pada wanita Bali pengidap lupus

c. Bagaimana dinamika psikologis yang mungkin muncul pada wanita Bali yang mengidap lupus.

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Memahami dinamika psikologis yang ada pada wanita yang mengidap lupus.

b. Untuk mengetahui proses dan faktor yang mempengaruhi penerimaan diri pada wanita Bali pengidap lupus

D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Praktis

Dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih mengenai bagaimana deskripsi psikologis penerimaan diri wanita pengidap lupus yang nantinya dapat menjadi acuan mencapai kesejahteraan psikologi dalam fungsi dan peran nya di lingkungan sosial.

(10)

b. Manfaat Teoritis

Dari penelitian yang dilakukan, diharapkan nantinya dapat memberikan tambahan informasi dan pengetahuan khususnya bagi perkembangan ilmu psikologi.

E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Izzati & Waluya (2012) yang meneliti mengenai gambaran penerimaan diri pada penderita psoriaris. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Subyek penelitian ini adalah penderita psoriasis, baik perempuan ataupun laki-laki, berusia sekitar remaja awal-dewasa. Jumlah subjek yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah tiga. Hal ini untuk perbandingan satu sama lain dan melihat tentang gambaran penerimaan dirinya. Berdasarkan hasil penelitian, ketiga subjek merasakan stres yang berat ketika didiagnosa menderita psoriasis.

Selain itu, ketiga subjek memiliki harapan yang sama terhadap psoriasisnya, yaitu ingin sembuh, serta memiliki perspektif diri yang baik mengenai dirinya.

Dengan adanya kesamaan yang dimiliki ketiga subjek, peneliti melihat ke depannya subjek F juga dapat menerima dirinya seperti subjek I dan subjek P.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih dan Surjaningrum (2013) dimana mereka melakukan penelitian terhadap odapus wanita dewasa awal yang sudah menikah. Dalam penelitian yang dilakukan, mereka juga melihat faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada wanita odapus yang telah menikah dan bagaimana deskripsi kesejahteraan psikologis mereka.

Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan tiga orang subjek yang mengidap Lupus dan telah menikah. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode

(11)

kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga partisipan memiliki kesamaan dan mengalami permasalahan akibat Lupus. Permasalahan segi fisik, mereka mengalami perubahan fisik seperti pembengkakan pipi akibat konsumsi obat, rentan mengalami kelelahan dan sensitif terhadap sinar matahari. Permasalahan psikologis yang mereka alami adalah rasa tidak percaya diri akibat perubahan fisik, dua di antara ketiga partisipan (partisipan NA dan DA) merasa menjadi beban bagi keluarga dan belum sepenuhnya mampu mengendalikan emosi. Permasalahan hubungan sosial yang dialami partisipan NA dan DA adalah menjaga jarak dengan orang lain yang memandang dirinya aneh atau bersikap cuek dan partisipan RS harus menolak ajakan berkumpul dengan keluarga karena keterbatasan fisik akibat Lupus.

Penelitian yang dilakukan Van Dame, Crombez, Van Houdenhove, Mariman & Michielsen (2006) pada pasien sakit kronis menunjukkan bahwa menerima sifat kronis penyakit mereka secara positif berhubungan dengan kualitas hidup. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki apakah penerimaan juga berhubungan dengan kesejahteraan pada pasien yang menderita sindrom kelelahan kronis (CFS). Sembilan puluh tujuh pasien menyelesaikan kuesioner yang mengukur kelelahan, gangguan fungsional, tekanan psikologis, dan penerimaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan memiliki efek positif terhadap kelelahan dan aspek kesejahteraan psikologis. Lebih khusus, penerimaan terkait dengan stabilitas secara emosional dan tekanan psikologis yang kurang, di luar pengaruh variabel demografis, dan tingkat keparahan kelelahan. Kesimpulannya bahwa meningkatkan penerimaan pada pasien dengan CFS mungkin lebih

(12)

menguntungkan daripada mencoba untuk mengontrol gejala yang sebagian besar tak terkendali.

Penelitian yang dilakukan oleh Liang dkk, 2014 untuk mengevaluasi efektivitas intervensi psikologis untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik (SLE). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi psikologis dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap fisik tetapi tidak menyimpulkan komponen mental, yang konsisten dengan laporan sebelumnya. Dalam studi lain, intervensi yang terdiri dari unsur-unsur psiko-pendidikan menghasilkan peningkatan yang signifikan dan berkelanjutan pada kualitas hidup pasien SLE. Dalam studi tersebut, CBT memiliki efek yang lebih besar dibandingkan dengan perawatan medis standar pada frekuensi gejala depresi selama seminggu terakhir pada pasien SLE, diukur dengan menggunakan skala Pusat Epidemiologi Studi Depresi.

Penelitian yang dilakukan untuk menverifikasi efektivitas CBT dalam mengatasi stres kronis pada pasien lupus dengan menilai tingkat aktivitas penyakit, melaporkan gejala, variabel psikologis (stres, depresi dan kecemasan), serta parameter imunologi DNA antinative (nDNA), melengkapi fraksi C3 dan C4 dan QOL. Penelitian ini menemukan penurunan yang signifikan dalam tingkat depresi, kecemasan dan stres sehari-hari di TG dibandingkan dengan CG dan peningkatan yang signifikan dalam kualitas hidup dan gejala somatik di TG sepanjang seluruh periode follow-up (Navarrete, Ramírez, Sánchez dkk, 2010).

(13)

Studi penelitian yang secara khusus diselidiki dirasakan dukungan sosial dalam kaitannya dengan hasil kesehatan pasien SLE (kualitas hidup, aktivitas penyakit dan kerusakan menunjukkan bahwa pertimbangan dukungan sosial sangat penting dalam memprediksi aktivitas penyakit, kerusakan dan kualitas hidup (baik komponen fisik dan psikologis) meskipun cara yang tepat di mana dukungan sosial memberikan kontribusi untuk kesehatan yang belum sepenuhnya dipahami (Mazzoni & Cicognani, 2011).

Referensi

Dokumen terkait

Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan

Pening- katan konsentrasi oksigen terlarut di perairan dengan sistem aerasi dapat dilakukan menggunakan kincir yang dapat dipasang di setiap unit KJA atau pada

Keadaan rumah tinggal penambang galian C di Desa Sebudi menurut kriteria bantuan bedah rumah, (Dinas Sosial Kabupaten Karangasem, 2013) sudah memenuhi syarat kesehatan, keamanan,

Lebih jauh lagi, kegagalan remaja dalam menguasai kecakapan-kecakapan sosial akan menyebabkan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat

Untuk menumbuhkan kesadaran akan bahaya pergaulan tidak sehat, remaja perlu diberi pendidikan mengenai dampak pergaulan tidak sehat dan memberi pendidikan

 Peserta test wawancara adalah peserta yang menempati rangking 1 s/d 3 dari hasil penggabungan nilai Test TPA dan Test Kecakapan dari masing-masing formasi.. Sedangkan

Dalam hal ini, skenario lebih mungkin adalah bahwa investor hanya akan menarik uang mereka dari bank dan menaruhnya ke dalam reksa dana yang aman diinvestasikan di Treasury

Baham hukum yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini terdiri dari:. Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang – undangan khususnya