• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh pengungkapan sukarela terhadap asimetri informasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh pengungkapan sukarela terhadap asimetri informasi."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

2.1.1 Pengaruh pengungkapan sukarela terhadap asimetri informasi.

Pengungkapan informasi dalam laporan keuangan secara lengkap berguna bagi investor dan pihak-pihak yang membutuhkan laporan keuangan untuk pengambilan keputusan yang tepat. Studi yang dilakukan oleh Financial Accounting Standards Boards (dalam Cahyo, 2013) menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan informasi bisnis dan keuangan secara sukarela (voluntary disclosure) memberikan tingkat informasi yang lebih tinggi. Tingkat informasi yang lebih tinggi akan mengurangi asimetri informasi antara pihak manajemen dengan investor dan para pemangku kepentingan lainnya, yang menunjukan bahwa tidak ada informasi yang disembunyikan oleh perusahaan sehingga laporan keuangan yang disajikan transparan.

Diamond & Verrecchia (1991) melakukan penelitian tentang pengungkapan, likuiditas, dan biaya modal ekuitas. Hasil dari penelitin ini menunjukan bahwa dengan mengungkapkan informasi privat maka tuntutan investor terhadap kompensasi menurun karena biaya transaksi turun, yang digambarkan oleh nilai bid-ask spread, dan pada akhirnya biaya modal ekuitas juga akan menurun.

Welker (1995) melakukan penelitian yang mengkaji hubungan antara kebijakan pengungkapan dan likuiditas di pasar modal. Bid-ask spread digunakan

(2)

(1995) konsisten dengan gagasan bahwa kebijakan pengungkapan dianggap sangat baik dalam mengurangi asimetri informasi dan karenannya mampu meningkatkan likuiditas dipasar modal.

Lang & Lundhom (1996) memberikan bukti bahwa perusahaan yang memiliki kebijakan memberikan pengungkapan yang lebih luas akan diikuti oleh analisis yang lebih besar, tingkat akurasi forecast yang lebih baik, dispersi forecast yang lebih kecil antar analis individual, dan memiliki volatilitas revisi forecast yang lebih kecil. Dispersi dan volatilitas forecast analis menunjukan suatu pengukuran yang tepat bagi asimetri informasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lang & Lundhom (1996) tersebut menunjukan bahwa kebijakan pengungkapan yang lebih informatif akan mengurangi asimetri informasi.

Brown dan Hillegeist (2007) melakukan penelitian tentang bagaimana kualitas pengungkapan mempengaruhi tingkat asimetri informasi pada perusahaan yang dievaluasi oleh AIMR tahun 1986-1996. Brown dan Hillegeist (2007) menjelaskan kualitas pengungkapan pada tiga area yang berbeda yaitu (1) Annual report; (2) the quarterly reports; (3) investor relations activities. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan kualitas pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan sampel berpengaruh negatif terhadap tingkat informasi asimetri.

Hasil yang berbeda ditemukan oleh Khomsiah (2003) yang menguji pengaruh pengungkapan terhadap cost of equity capital dengan asimetri informasi sebagai variabel mediasi. Hasil pengujian korelasi pearson yang dilakukan oleh Khomsiah (2003) menunjukan bahwa pengungkapan informasi tidak berhubungan secara signifikan terhadap asimetri informasi pada tanggal-tanggal pengamatan

(3)

tujuh hari sebelum tanggal pelaporan keuangan, tujuh hari setelah pelaporan keuangan, maupun pada tanggal pelaporan keuangan

2.1.2. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap asimetri informasi

Jensen & Meckling (1976) menyatakan bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka semakin besar pula pengungkapan yang perlu diungkapkan.

Perusahaan yang memiliki ukuran lebih besar juga akan lebih diperhatikan oleh beberapa pihak khusunya investor. Semakin besar perusahaan maka semakin besar juga tingkat tanggung jawab atas pelaporan keuangan terhadap investor. Hal ini yang membuat perusahaan besar akan lebih akurat dan lebih banyak dalam memberikan informasi dengan tujuan untuk menarik minat para investor tersebut sehingga tingkat asimetri yang terjadi antara pihak manajemen dengan investor juga akan menurun.

Penelitian Brown dan Hillegeist (2007) tentang bagaimana kualitas pengungkapan mempengaruhi tingkat asimetri informasi pada perusahaan yang dievaluasi oleh AIMR tahun 1986-1996 menggunakan ukuran perusahaan sebagai salah satu variabel dari beberapa variabel kontrol. Hasil penelitian menunjukan ukuran perusahaan memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap asimetri informasi suatu perusahaan.

Albanez et al. (2010), melakukan penelitian tentang pengaruh asimetri informasi terhadap financing decisions dan cost of equity capital. Dengan menggunakan variabel ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol, Albanez et al.

(2010) memberikan hasil bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif

(4)

signifikan terhadap cost of equity capital. Perusahaan-perusahaan ini dianggap kurang berisiko oleh investor dan juga memiliki sedikit informasi asimetri.

Kusuma (2013), melakukan penelitian tentang pengaruh kualitas pelaporan keuangan, kepemilikan institusional, dan ukuran perusahaan terhadap asimetri informasi. Penelitian yang dilakukan pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2008-2012 memberikan hasil bahwa ukuran peusahaan memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap asimetri informasi.

Semakin besar ukuran perusahaan maka dapat meminimalisasi timbulnya asimetri informasi.

2.1.3. Pengaruh leverage terhadap asimetri informasi

Tingkat leverage digunakan oleh Brown dan Hillegeist (2007) sebagai salah satu variabel kontrol dalam penelitiannya mengenai bagaimana kualitas pengungkapan mempengaruhi tingkat asimetri informasi pada perusahaan yang di evaluasi oleh AIMR tahun 1986-1996. Hasil pengujian menunjukan leverage berpengaruh negatif terhadap tingkat asimetri informasi. semakin tinggi leverage yang dimiliki oleh perusahaan, maka akan menurunkan tingkat asimetri informasi.

2.1.4. Pengaruh asimetri informasi terhadap biaya modal ekuitas

Menurut teori keagenan, asimetri informasi timbul ketika manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui tentang informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan dengan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Keadaan asimetri informasi yang

(5)

tinggi menyebabkan pemegang saham tidak mempunyai informasi yang cukup untuk membantu mereka memprediksi tingkat resiko dan pengembalian yang akan diterima dari investasi yang telah dilakukan. Jika investor menilai suatu perusahaan beresiko tinggi berdasarkan laporan keuangan yang dihasilkan, maka nilai return yang diharapkan oleh investor juga akan tinggi, sehingga menyebabkan tingginya biaya ekuitas (cost of equity capital).

Komalasari dan Baridwan (2001) melakukan penelitian tentang asimetri informasi dan biaya modal ekuitas pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 1996. Hasil pengujian terhadap 213 sampel yang diambil di BEJ menunjukan bahwa terdapat hubungan positif antara asimetri informasi dengan biaya modal ekuitas. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil asimetri informasi yang terjadi diantara partisipan pasar modal maka semakin kecil kos modal sendiri yang ditanggung oleh perusahaan. Kondisi ini mengimplikasikan agar perusahaan memberikan informasi yang akurat secara lebih baik karena semakin banyak disclosure yang dilakukan, maka asimetri informasi yang terjadi di pasar juga semakin kecil dan biaya modal ekuitas-nya juga semakin kecil.

Purwanto (2012) meneliti pengaruh asimetri informasi terhadap biaya modal. Hasil pengujian dari penelitian tersebut menunjukan bahwa asimetri informasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap biaya modal. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin kecil asimetri informasi maka akan semakin menurunkan tingkat biaya modal, dan sebaliknya dengan meningkatnya asimetri informasi juga akan semakin meningkatkan biaya modal suatu perusahaan.

(6)

Peneliti lain seperti Murwaningsari (2012) yang menguji faktor-faktor yang mempengaruhi cost of capital juga memperoleh hasil yang sejalan dengan penelitian Purwanto (2012). Murwaningsari (2012) mencoba menguji pengaruh asimetri informasi dan manajemen laba terhadap cost of capital dengan pengungkapan sukarela sebagai variabel intervening. Murwaningsari (2012) menyimpulkan adanya pengaruh positif dan signifikan asimetri informasi terhadap tingkat cost of equity capital.

Penelitian yang dilakukan oleh Easley dan O’Hara (2004), juga berusaha membuktikan hubungan antara informasi asimetri dan biaya modal ekuitas. Secara khusus, Easley dan O’Hara (2004) meneliti dampak beberapa atribut informasi tentang biaya ekuitas sebagai berikut: proporsi dari himpunan informasi yang bersifat pribadi, penyebaran informasi publik di seluruh pedagang, dan ketepatan gabungan publik dan informasi pribadi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa asimetri informasi mampu meningkatkan biaya ekuitas suatu perusahaan.

Hughes et al,. (2005) meneliti asimetri informasi, diversifikasi, dan biaya modal ekuitas. Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh adalah untuk melakukan eksplorasi analitis yang berkaitan dengan hubungan antara informasi asimetri dan biaya modal. Hasil penelitian Hughes et al,. (2005) menunjukan bahwa asimetri informasi yang tinggi menyebabkan tingginya premi resiko yang pada akhinya meningkatkan biaya ekuitas.

Verdi (2005), melakukan penelitian tentang peningkatan resiko informasi terhadap biaya modal ekuitas. Penelitian ini menggunakan asimetri informasi, sebagai salah satu indikator resiko informasi. Asimetri informasi dalam penelitian

(7)

yang dilakukan oleh Verdi (2005) menggunakan beberapa proxy, diantaranya adalah spread, depth, analysis, age, turnover, and volume. Meskipun beberapa pengukuran tersebut secara individual menghasilkan hubungan yang berbeda- beda, penelitian ini menyimpulkan bahwa seluruh indikator informasi yang memuat adanya asimetri informasi menunjukan hubungan yang positif signifikan terhadap biaya modal ekuitas. Hasil ini konsisten dengan prediksi bahwa perusahaan dengan banyak asimetri informasi yang terjadi, memiliki tingkat biaya modal ekuitas yang tinggi.

Albanez et al. (2010), yang melakukan penelitian tentang pengaruh asimetri informasi terhadap financing decisions dan cost of equity capital, menemukan hasil yang berbeda dari beberapa penelitian diatas. Albanez et al.

(2010) menemukan hasil bahwa asimetri informasi, yang diukur dengan presentase kesalahan analisis dalam laba per saham, secara statistik tidak berpengaruh signifikan terhadap cost of equity capital. Namun menurutnya hasil penelitian ini tidak bisa menegaskan bahwa asimetri informasi tidak mempengaruhi cost of equity capital. Hal ini menunjukan pentingnya proxy yang digunakan untuk mewakili asimetri informasi.

2.1.5. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap biaya modal ekuitas

Seperti yang diungkapkan oleh Jensen & Meckling (1976), bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka semakin besar pula pengungkapan yang perlu diungkapkan, menunjukan tingkat asimetri informasi yang terjadi pada perusahaan besar akan jauh lebih kecil daripada yang terjadi perusahaan kecil.

(8)

Perusahaan besar akan cenderung lebih banyak dan lebih akurat dalam penyampaian informasi kepada para pengguna informasi tersebut. Berkurangnya tingkat asimetri informasi juga akan mengurangi resiko estimasi, yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya modal ekuitas.

Botosan & Plumlee (2000) melakukan penelitian tentang tingkat pengungkapan dan biaya modal ekuitas yang diharapkan pada perusahaan yang terdapat di dalam data Value line yang termasuk juga AIMR’s Annual Reviews of Corporate Reporting Practices dari tahun 1985/1986 sampai 1995/1996. Dengan menggunakan dua variabel kontrol yaitu market beta dan ukuran perusahaan, penelitian Botosan & Plumlee (2000) menunjukan hasil bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap biaya modal ekuitas yang dihitung dengan model EBO dan pendekatan Gordon Growth

Albanez et al. (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh asimetri informasi terhadap financing decisions dan cost of equity capital. Dengan menggunakan variabel ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol, Albanez et al.

(2010) memberikan hasil bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap cost of equity capital. Albanez et al. (2010) menyatakan bahwa perusahaan besar memiliki "reputasi tinggi" dan dianggap lebih aman, yaitu, kecil kemungkinan bangkrut, sehingga mereka memiliki lebih banyak akses untuk pembiayaan dari luar.

Artiach & Clarkson (2012), yang melakukan penelitian tentang konservatisme, pengungkapan, dan biaya modal ekuitas, menggunakan beta dan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol. Hasil penelitian menunjukan bahwa

(9)

ukuran perusahaan yang diukur dengan kapitalisasi pasar pada akhir tahun fiskal memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap biaya modal ekuitas.

Komalasari (2000) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji hubungan antara asimeri informasi dengan cost of equity capital. Penelitian ini berusaha menguji apakah naiknya likuiditas perusahaan dapat menurunkan tingkat asimetri informasi dan apakah penurun cost of equity capital pada perusahaan besar akan lebih besar dibandingkan pada perusahaan kecil. Komalasari (2000) menunjukan bahwa perusahaan besar mengalami penurunan asimetri informasi yang yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan kecil sehingga mengakibatkan penurunan cost of equity capital pada perusahaan besar jauh lebih besar dibandingkan dengan perusahaan kecil.

2.1.6. Pengaruh leverage terhadap biaya modal ekuitas

Leverage menggambarkan sejauh mana aktiva perusahaan dibiayai oleh utang. Semakin besar rasio leverage menunjukan bahwa perusahaan banyak dibiayai oleh investor atau kreditur luar sehingga resiko berinvestasi dalam perusahaan tersebut juga meningkat akibat kekawatiran perusahaan tidak mampu melunasi kewajibannya tersebut. Meningkatnya risiko dalam berinvestasi pada akhirnya menyebabkan semakin tinggi return yang diharapkan oleh investor yang merupakan kenaikan dari nilai cost of equity capital.

Rebecca dan Siregar (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh corporate governance index, kepemilikan keluarga, dan kepemilikan institusional terhadap biaya ekuitas dan biaya utang. Leverage digunakan sebagai salah satu

(10)

variabel kontrol dalam penelitian tersebut. Berdasarkan pengujian pada sampel perusahaan manufaktur yang listed di BEI menunjukan bahwa leverage memiliki pengaruf positif signifikan terhadap biaya modal ekuitas.

Dhaliwal et al., (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh pajak, leverage, terhadap biaya modal ekuitas. Leverage dihitung dengan dua pengukuran yaitu utang jang panjang dibagi dengan nilai pasar perusahaan dan hutang jangka panjang dibagi dengan nilai buku dari total aset perusahaan tersebut. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian-penelitian di atas yang menunjukan bahwa leverage berpengaruh positif signifikan terhadap biaya modal ekuitas di kedua pengukuran.

Cao et al., (2013) melakukan penelitian pengaruh reputasi perusahaan terhadap biaya modal ekuitas pada perusahaan yang listed dan non listed di America’s Most Admired Companies (MA). Penelitian tersebut mengkontrol variabel leverage karena perusahaan yang memiliki nilai leverage yang tinggi lebih beresiko. Leverage yang dihitung dengan logaritma dari utang jangka panjang dibagi dengan nilai pasar ekuitas pada akhir tahun t-1 memberikan hasil yaitu berpengaruh secara positif signifikan terhadap biaya modal ekuitas pada perusahaan MA list.

Bhayani (2009) melakukan penelitian tentang dampak dari financial leverage pada cost of equity capital. Penelitian dilakukan pada perusahaan- perusahaan dari Indian Cement Industry periode 2000-2008. Hasil penelitian Bhayani (2009) menunjukan hasil yang berbeda yaitu leverage tidak memiliki pengaruh terhadap cost of equity suatu perusahaan.

(11)

2.1.7. Pengaruh pengungkapan sukarela terhadap biaya modal ekuitas dengan asimetri informasi sebagai variabel intervening

Kualitas keputusan investor sangat dipengaruhi oleh kualitas informasi yang diungkapkan suatu perusahaan dalam laporan keuangannya. Namun perusahaan akan mempertimbangkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh ketika memutuskan untuk mengungkapkan secara penuh (full disclousure). Elliot dan Jacobson (1994) mengatakan bahwa perusahaan hanya akan mengungkapkan informasi secara sukarela jika hal tersebut mampu memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Hal ini yang seringkali menyebabkan timbulnya asimetri informasi. Tingkat pengungkapan yang tinggi mengimplikasikan rendahnya asimetri informasi sehingga investor akan memiliki kepercayaan terhadap perusaahan dan mengestimasikan resiko yang rendah, yang pada akhirnya menurunkan cost of equity capital.

Anggraeni (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh pengungkapan sukarela terhadap cost of equity capital dengan asimetri informasi sebagai variabel intervening. Anggraeni (2010) menemukan bahwa pengungkapan sukarela dapat berpengaruh secara langsung ke cost of equity capital dan dapat juga berpengaruh secara tidak langsung yaitu dari pengungkapan sukarela ke asimetri informasi (sebagai intervening) lalu ke cost of equity capital.

Peneliti lain seperti Putri (2013), yang melakukan penelitian tentang pengaruh pengungkapan sukarela terhadap cost of equity capital dengan dimediasi oleh asimetri informasi, juga menemukan hasil yang sejalan. Hasil penelitian Putri

(12)

(2013) menunjukan bahwa pengungkapan sukarela berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung dengan melalui asimetri informasi sebagai variabel intervening. Penelitian ini menunjukan koefisien hubungan langsung lebih besar dari koefisien hubungan tidak langsung, maka disimpulkan bahwa hubungan yang sebenarnya adalah hubungan langsung.

Hasil yang berbeda ditemukan oleh Heriyanthi (2013), yang melakukan penelitian tentang pengaruh pengungkapan sukarela dan manajemen laba pada cost of equity capital dengan asimetri informasi sebagai variabel intervening.

Penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur yang listing di BEI 2011- 2012. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengungkapan sukarela berpengaruh positif namun tidak signifikan pada cost of equity capital melalui asimetri informasi. Hal ini berarti bahwa asimetri informasi belum mampu memediasi hubungan antara pengungkapan sukarela dengan terhadap cost of equity capital.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Agensi (Agency Theory)

Teori keagenan mendiskripsikan hubungan antara pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Jensen dan Meckling (1976) mengatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal). Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham. Konflik

(13)

kepentingan antara principal dan agent terjadi karena kemungkinan agent tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal. Agen yang memiliki kemampuan untuk beroperasi sendiri, cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan terbaik dari perusahaan. Potensi konfik keagenan ini muncul setiap kali seorang manajer perusahaan saham kurang dari 100% dari saham biasa perusahaan.

Konflik keagenan yang terjadi ini pada akhirnya akan memicu timbulnya biaya keagenan (agency cost). Terdapat 3 jenis utama dari biaya agen: (1) pengeluaran untuk memenatau kegiatan manajerial, seperti biaya audit; (2) pengeluaran untuk struktur organisasi dengan cara yang membatasi perilaku manajerial yang tidak diinginkan, seperti menunjuk anggota luar dewan direksi atau restrukturisasi bisnis perusahaan unit dan hirarki manajemen, dan (3) biaya kesempatan yang terjadi ketika pemegang saham dikenakan pembatasan, seperti persyaratan untuk suara pemegang saham pada permasalahan tertentu.

Dalam rangka memotivasi agen serta untuk menghindari munculnya konflik keagenan, maka prinsipal perlu merancang suatu kesepakatan kontrak.

Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu: (1) agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri, (2) resiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimannya. Lambert (1984) menyatakan bahwa dalam kesepakatan kontrak

(14)

diharapkan dapat memaksimumkan utilitas pemilik, dan dapat memuaskan serta menjamin manajemen untuk menerima reward atas hasil pengelolaan perusahaan.

Adapun manfaat yang diterima oleh kedua belah pihak didasarkan atas kinerja perusahaan.

Selain merancang suatu kontrak yang efisien, mekanisme yang secara luas digunakan dan diharapkan dapat menyelaraskan tujuan principal dan agent adalah mekanisme pelaporan keuangan. Laporan keungan yang dibuat dengan menggunakan angka-angka akuntansi diharapkan berperan besar dalam meminimalkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Menurut Jensen dan Meckling (1976), agency relationship (hubungan keagenan) ada bilamana satu atau lebih individu yang disebut dengan principal bekerja dengan individu atau organisasi lain yang disebut agent, prinsipal akan menyediakan fasilitas dan mendelegasikan kebijakan pembuatan keputusan kepada agen. Agent kemudian diwajibkan untuk memberikan laporan periodik pada prinsipal tentang usaha yang dijalankannya. Prinsipal akan menilai kinerja agennya melalaui laporan keuangan yang disampaikan kepadanya.

2.2.2 Teori Sinyal (Signallling Theory)

Teori sinyal berkaitan dengan asimetri informasi yang dapat terjadi apabila salah satu pihak, yaitu manajemen, mempunyai sinyal informasi yang lebih lengkap daripada pihak lain, yaitu investor dan para pemangku kepentingan yang lain. Teori ini menjelaskan bahwa pemberian sinyal dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Teori sinyal menekankan kepada pentingnya

(15)

informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar perusahan. Jama’an (2008) mengemukakan bahwa teori sinyal berkaitan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik.

Informasi merupakan merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaanya masa lalu, saat ini, maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya.

Teori sinyal menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak ekternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi kepada pihak eskternal adalah meningkatkan nilai perusahaan dan menunjukan bahwa perusahaan mempunyai nilai lebih atau keunggulan kompetitif dari perusahaan lain. Teori sinyal mengungkapkan tentang bagaimanan seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan.

Pada saat informasi diumumkan dan semua investor serta pemangku kepentingan yang lain sudah menerima informasi tersebut, maka mereka akan terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai sinyal baik (good news) atau signal buruk (bad news). Perusahaan yang lebih ekstensif dalam mengungkapkan informasinya kepada para pengguna laporan keuangan akan dianggap sebagai sinyal baik sehingga para pemegang saham bersedia menerima return yang lebih rendah. Return yang lebih rendah akan

(16)

menghasilkan cost of equity yang lebih rendah bagi perusahaan. Coles et al., (1995) juga menyatakan apabila investor menilai suatu perusahaan beresiko tinggi, maka nilai return yang diharapkan oleh investor juga tinggi, yang pada gilirannya akan menyebabkan tingginya biaya ekuitas yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.

Ivanna (2005), salah satu jenis informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan yang dapat menjadi sinyal bagi pihak luar perusahaan, terutama bagi pihak investor adalah laporan tahunan (annual report). Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dapat berupa informasi akuntansi yang berkaita dengan laporan keuangan dan informasi non-akuntansi. Tujuan informatif (signalling) kemungkinan besar membawa dampak yang baik bagi pemakai laporan keuangan. Manajer berusaha menginformasikan kesempatan yang dapat diraih oleh perusahaan di masa yang akan datang.

2.2.3 Asimetri Informasi

Agency theory mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agent dan pemilik sebagai principal. Asimetri informasi merupakan kondisi dimana manajer memiliki informasi yang lebih banyak, seperti informasi internal dan prospek perusahaan di masa depan dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya, sehingga beberapa konsekuensi tertentu hanya akan diketahui satu pihak tanpa diketahui pihak lain yang juga memerlukan informasi tersebut. Perspektif asimetri informasi mengimplikasikan bahwa

(17)

manajer berupaya untuk mengurangi informasi asimetri guna memaksimumkan nilai perusahaan dengan cara yang dikehendakinya (Nuryatno dkk. 2007).

Tingkat luas pengungkapan yang disajikan oleh perusahaan akan berpengaruh terhadap keseimbangan penyebaran informasi di pasar, yang dapat dikatakan bahwa perusahaan sulit memberikan transparansi secara total.

Akibatnya, informasi pada pasar tidak semuanya menyebar dan akan menimbulkan kondisi dimana sebagian investor akan memiliki informasi lebih banyak dan yang lainnya memiliki informasi lebih sedikit. Memberikan informasi akuntansi yang berkualitas dapat menurunkan tingkat asimetri informasi sehingga dapat membantu investor dalam pengambilan keputusan. Terdapat dua macam bentuk asimetri informasi, yaitu:

1. Adverse selection, jenis asimetri informasi dimana salah satu pihak atau lebih yang terlibat dalam transaksi bisnis, atau transaksi yang potensial, memiliki keunggulan informasi dibandingkan dengan pihak lainnya (Soetedjo, 2009). Menurut Scott (2006), masalah adverse selection muncul ketika ada masalah komunikasi antara perusahaan dengan investor yang ada diluar. Peranan akuntansi disini adalah memberikan

“level playing field” melalui full disclosure dari informasi yang ada kepada investor dan pemakai laporan keuangan yang lain.

2. Moral hazard, jenis asimetri informasi dimana salah satu pihak atau lebih yang terlibat dalam transaksi bisnis, atau transaksi yang potensial, dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi tersebut, sementara pihak lainnya tidak dapat (Soetedjo, 2009). Moral

(18)

hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan antara pemilik dan pengelola perusahaan, yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar. Laba bersih dipercaya dipercaya dapat merefleksikan kinerja manajemen, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi penilaian terhadap kinerja manajemen itu sendiri. Konsekuensinya, pemberian insentif kepada manajemen akan berdasarkan pada laba bersih. Hal inilah kemudian yang menjadi motivasi manajemen untuk memanipulasi laporan laba agar dapat meningkatkan kompensasi dan reputasinya.

Penelitian ini menggunakan bid-ask spreads sebagai proxy dari asimetri informasi. Bid-ask spread adalah selisih harga beli tertinggi dengan harga jual terendah terhadap saham. Berkaitan dengan bid-ask spread, komponen yang terkait langsung dengan signaling adalah adverse selection, dimana teori signaling berasumsi bahwa terdapat asimetri informasi diantara berbagai partisipan di pasar modal. Komponen asimetri informasi pada akhirnya juga menjadi fokus akuntan karena berhubungan dengan penyediaan informasi ke pasar modal.

Informasi akuntansi yang berkualitas berguna bagi investor untuk menurunkan ketidakseimbangan informasi (asimetri informasi). Asimetri informasi seharusnya berkurang pada saat perusahaan mengumumkan informasi publik dan informasi spesifik perusahaan (Brooks, 1996). Informasi yang tidak seimbang yang diperoleh oleh tiap-tiap pedagang menimbulkan keuntungan dan kerugian bagi partisipan pasar yang lain, yaitu dealer. Dealer sebagai pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli saham untuk kepentingan pihak lain

(19)

mengetahui adanya asimetri informasi tersebut sehingga ia berusaha menutupi kerugian yang disebabkan adanya pedeganag yang terinformasi dengan keuntungan pedagang yang tidak terinformasi. Keuntungan dan kerugian itu tercermin pada spread yang diperolehnya. Dealer melindungi dirinya dari perdagangan yang termotivasi oleh informasi tersebut dengan memperlebar spread.

Menurut Copeland dan Galai (1983) terdapat dua mekanisme perdagangan yang dapat berimplikasi pada bid-ask spread, yaitu:

1. Model harga seketika (instantaneous quote model)

Artinya dealer akan menawarkan harga sekuritas, jika ada permintaan pembelian dari investor. Dealer berharap bahwa harga yang ditawarkan akan berubah jika melakukan perdagangan dengan investor yang terinformasi dan pedagang likuid.

2. Model harga terbuka (open quote interval model)

Artinya dealer menawarkan harga sekuritas yang dimilikinya selama peride tertentu. Harga tawaran tersebut berlaku sampai adanya informasi baru.

Menurut Copeland dan Galai (1983), terdapat dua bentuk hubungan antara spread dengan volume perdagangan, yaitu (1) hubungan negatif, artinya volume perdagangan yang relatif kecil akan memperbesar spread, sebab kemungkinan pelaku pasar lebih suka memegang sahamnya daripada menjual; (2) hubungan positif, artinya jika terjadi kenaikan informasi maka ukuran transaksi juga kan meningkat.

(20)

2.2.4 Pengungkapan Sukarela

Pengungkapan informasi merupakan salah satu alat penting untuk mengatasi masalah keagenan antara agen dan pemilik perusahan karena dipandang sebagai upaya mengurangi asimetri informasi (Chow dan Wong-Boren, 1987;

Palepu, 1993). Mengacu pada surat keputusan BAPEPAM No. 38/PM/1996, terdapat dua jenis pengungkapan informasi yaitu:

1. Mandatory disclosure, yaitu pengungkapan yang diwajibkan oleh peraturan pemerintah.

2. Voluntary disclosure, yaitu pengungkapan yang tidak diwajibkan oleh pemerintah, sehingga perusahaan bebas memilih jenis informasi yang akan diungkapkan oleh perusahaan.

Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa dalam voluntary disclosure, manajemen perusahaan boleh memilih untuk memberikan informasi akuntansi lainnya yang dianggap relevan dan mendukung investor dan para pemangku kepentingan untuk pengambilan keputusan. Menurut Iqbal (2002), perusahaan membuat pengungkapan sukarela berdasarkan berbagai alasan, yaitu:

1. Mendidik para pengguna laporan keuangan 2. Pembangunan image perusahaan

3. Penghindaraan atas potensi peraturan dan pengendalian pemerintah jika terdapat suatu resiko yang timbul dengan tidak adanya pengungkapan

4. Biaya modal yang rendah jika pengungkapan dapat meningkatkan daya saing perusahaan.

(21)

Menurut Eliot dan Jacobson (1994) perusahaan hanya akan mengungkapkan informasi secara sukarela jika hal tersebut mampu memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Biaya tersebut sering disebut sebagai biaya pengungkapan langsung. Biaya pengungkapan langsung adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan untuk mengembangkan dan menyajikan informasi. Biaya-biaya ini terdiri dari biaya pengumpulan, biaya pemrosesan, biaya pengauditan, dan biaya penyebaran informasi.

Lebih lanjut, selain biaya-biaya yang dikeluarkan, alasan yang melandasi perusahaan enggan menambah disclosure informasi adalah kerugian yang dialami akibat disclosure yang dilakukan. Kerugian persaingan dari adanya pengungkapan informasi terjadi bila informasi yang diungkapkan justru melemahkan daya saing perusahaan karena informasi tersebut digunakan oleh pesaing untuk memperkuat daya saing mereka. Selain itu, adanya keraguan terhadap kemampuan investor dalam memahami kebijakan serta prosedur akuntansi sehingga full disclosure mungkin akan menyesatkan mereka. Kurangnya pengetahuan perusahaan terhadap kebutuhan investor juga merupakan alasan bagi disclosure yang terbatas.

Selamun dan Dhaliwal (dalam Prayogi, 2003) menunjukan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi dengan mendapatkan modal jangka panjang dari luar perusahaan, lebih mungkin menyampaikan voluntary disclosure.

Hasil penemuan ini sesuai dengan harapan bahwa bagi perusahaan yang mengambil sumber dana dari luar perusahaan, baik melalui utang maupun

(22)

penjualan sekuritas di Bursa Efek, akan memperoleh perhatian dan pengawasan secara intensif dari kreditor dan para pemegang saham.

Pengungkapan sukarela juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan perusahaan dan untuk membantu investor dalam memahami strategi bisnis perusahaan (Healy dan Palepu, 1995).

Sehingga dengan adanya pengungkapan sukarela para pemakai laporan keuangan akan semakin lengkap informasinya dalam memahami kegiatan operasional perusahaan publik. Selain itu, dengan adanya pengungkapkan sukarela makin menunjukan ketransparanan perusahaan.

Indeks pengungkapan yang dibuat oleh Botosan (1997) didasarkan pada laporan tahunan perusahaan karena laporan tahunan secara umum dipertimbangkan sebagai sumber yang paling penting dari informasi perusahaan.

pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh Botosan (1997) didasarkan pada kepentingan investor. Latar belakang informasi, seperti tujuan manajemen dan strategi bisnis, lingkungan persaingan usaha atau lingkungan yang kompetitif, produk utama yang dihasilkan, serta pasar utama yang dilayani oleh perusahaan merupakan informasi yang dibutuhkan oleh investor karena latar belakang informasi tersebut akan memberikan suatu gambaran dalam menerjemahkan rincian informasi yang lain mengenai perusahaan.

2.2.5 Biaya Modal Ekuitas (Cost of Equity Capital)

Biaya modal ekuitas atau cost of equity capital didefinisikan sebagai return saham perusahaan yang diharapkan oleh investor ketika menginvestasikan uang mereka dalam perusahaan. Dengan kata lain, cost of equity capital dapat

(23)

diidentifikasi sebagai tingkat return minimum yang diisyaratkan oleh penggunaan cost of equity (modal ekuitas) atas investasi. Biaya modal ekuitas sangat berkaitan dengan resiko investasi saham perusahaan.

Pendapat lain juga menyebutkan bahwa biaya modal ekuitas mempunyai dua makna, tergantung dari sisi investor atau sisi perusahaan. Biaya modal ekuitas dari sisi investor adalah opportunity cost (biaya pengorbanan) dari dana yang ditanamkan investor pada suatu perusahan, atau dengan kata lain merupakan tingkat return yang diharapakna investor saat melakukan investasi pada perusahaan. Sedangkan pengertian biaya modal ekuitas dari sisi perusahaan adalah sama dengan yang diungkapkan oleh Cotner dan Harold (dalam Nuryatno dkk., 2007), yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh sumber dana yang dibutuhkan.

Biaya modal ekuitas dihitung atas 4 dasar sumber dana jangka panjang, sebagai berikut: (1) hutang jangka panjang, (2) saham preferen, (3) saham biasa, (4) laba ditahan. Biaya hutang jangka panjang merupakan biaya hutang sesudah pajak saat ini untuk mendapatkan dana jangka panjang melalui pinjaman. Biaya saham preferen adalah deviden saham preferen tahunan dibagi dengan hasil penjualan saham preferen. Biaya modal saham biasa adalah besarnya rate yang digunakan oleh investor untuk mendiskontokan deviden yang diharapkan diterima pada masa yang akan datang.

Terdapat beberapa pengukuran yang sering digunakan untuk mengestimasi biaya modal ekuitas, yaitu:

(24)

1. Constant growth valuation model

Model ini menggunakan dasar pemikiran bahwa nilai saham perusahaan sama dengan nilai sekarang (present value) dari semua deviden yang akan diterima dimasa yang akan datang (diasumsikan pada tingkat pertumbuhan konstan) dalam waktu yang tidak terbatas.

2. Capital asset pricing model (CAPM)

Dalam model CAPM dijelaskan bahwa biaya modal saham biasa adalah tingkat return yang diharapkan oleh investor sebagai kompensasi yang tidak dapat didiversifikasi, yang diukur dengan beta.

3. Ohlson model

Model ohlson digunakan untuk mengestimasi nilai perusahaan dengan mendasarkan pada nilai buku ekuitas ditambah dengan nilai tunai dari laba abnormal. Dalam model ini, biaya modal dihitung berdasarkan tingkat diskonto yang dipakai investor dari future cash flow.

Dalam subyek biaya modal ekuitas secara keseluruhan, maka biaya modal ekuitas adalah yang paling sulit, karena tidak ada cara untuk mengamati maupun mengetahui secara langsung tingkat return yang diharapkan oleh investor.

Penelitian ini menggunakan capital assets pricing model (CAPM) dalam menghitung biaya modal ekuitas, karena menurut Weston dan Eugene (1986) pendekatan ini dapat memberikan hasil yang akurat dibandingkan pendekatan lain. Selain itu, dengan menggunakan pendekatan ini dapat diketahui berapa harga yang seharusnya dibayar oleh perusahaan terhadap capital assets. CAPM merupakan suatu model yang dipergunakan untuk menetukan harga suatu capital

(25)

assets, dengan mengingat segala karakteristik aktiva tersebut. karakteristik yang dimaksud tersebut adalah risikonya (Marliana, 2003).

Referensi

Dokumen terkait

1. Pengembangan modul pembelajaran IPA berbasis pembelajaran saintifik pada tema gerak tubuh kita berhasil dikembangkan sesuai model Borg and Gall yangberupaproduk

Kesesuian dan kebenaran fakta-fakta ilmiah antara informasi nabi dan al-Quran dengan hasil penelitian kontemporer yang dilakukan para ilmuan makin menguatkan bahwa apa yang

Dari permasalahan yang telah di paparkan, solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan self-efficacy peserta didik adalah dengan menggunakan model pembelajaran penemuan

Untuk mengetahui pengaruh latihan percaya diri terhadap peningkatan percaya diri pada remaja yang mengalami obesitas di MAN. Kabupaten Banyumas

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gelombang NIR lebih akurat untuk menduga kadar air, protein terlarut, asam lemak bebas, indeks vigor dan potensi tumbuh maksimum

Motif tujuan ini adalah sebagai penguatan dari pencapaian hasil yang hendak diraih atau bahkan sudah terpenuhi ketika masyarakat daerah desa Bakeong melakukan

Dengan menggunakan data inflasi tahunan (Indonesia) Desember 2006 – Desember 2011, jika tidak ada kebijakan pemerintah menaikkan harga Tarif Dasar Listrik(TDL) sejak Januari

Laporan skripsi dengan judul “ Rancang Bangun Sistem Pendukung Keputusan Seleksi Calon Karyawan Pada PT.Nikorama Citra Tobacco ” telah dilaksanakan dengan