• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS TELUR ITIK YANG DIPELIHARA SECARA TERKURUNG BASAH DAN KERING DI KABUPATEN CIREBON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KUALITAS TELUR ITIK YANG DIPELIHARA SECARA TERKURUNG BASAH DAN KERING DI KABUPATEN CIREBON"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS TELUR ITIK YANG DIPELIHARA SECARA TERKURUNG BASAH DAN KERING DI KABUPATEN CIREBON

(EGG DUCK QUALITY THAT WAS REAR ON WET PEN AND DRY PEN IN CIREBON REGENCY)

Fajar Sandi Nugraha, Muhammad Mufti, Ibnu Hari S Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Email: fazrun@yahoo.com

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kualitas telur itik yang dipelihara secara terkurung basah dan kering di Kabupaten Cirebon. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dan pengamatan kualitas telur yang dilakukan di Laboratorium Unggas Unsoed. Analisis data yang digunakan adalah Uji t. Dua puluh petani masing-masing dari kecamatan Gunung Jati dan kecamatan Gebang diperoleh sebagai responden, dan lima telur dari masing-masing petani diperoleh sebagai sampel, sehingga total telur yang dibutuhkan adalah 200 telur. Variabel yang diukur meliputi bobot telur, bobot putih telur, bobot kuning telur, warna kuning telur, tebal krabang, kekentalan telur dan specific gravity. Hasil penelitian menunjukkan bobot telur, bobot kuning telur, warna kuning telur, tebal krabang telur, kekentalan telur dan spesific gravity pada kandang basah lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kandang kering. Namun, rata-rata berat putih telur dan kekentalan telur kandang basah tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan itik pada kandang kering. Dapat disimpulkan bahwa itik disimpan di kandang kandang basah memberikan kualitas telur yang lebih baik dari pada itik yang di pelihara pada kandang kering.

Kata Kunci : kualitas telur itik, sistem pemeliharaan, kurungan basah dan kurungan kering

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the differences of duck egg quality reared at wet and dry cage enclosure in Cirebon regency. Research method used was a survey method and observation of egg quality held in Unsoed Poultry Laboratory. Data analysis used was t-test. Twenty farmers each from Gunung Jati distric and Gebang distric was obtained as a respondent, and five eggs from each farmer was obtained as a sample, so the total eggs needed was 200 eggs. Variables measured include of egg weight, albumen weight, yolk weight, yolk color, eggshell thickness, viscosity eggs and specific gravity of eggs. Results showed that egg weight, yolk weight, yolk color, eggshell thickness viscosity eggs and egg specific gavity of wet cage-enclosure duck had higher (P<0.05) compared to dry cage- enclosure ducks. However, the average of albumen weight and egg viscosity of wet cage- enclosure duck had no significanlty difference (P>0.05) compared to dry cage-enclosure ducks. In can be concluded that ducks kept in wet cage enclosure gave a better eggs quality than ducks kept in dry cage enclosure.

Keyword : duck egg quality,

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Itik di Indonesia merupakan ternak unggas penghasil telur yang cukup potensial setelah ayam ras. Seiring dengan menyusutnya lahan sawah yang diubah menjadi lahan perumahan, akhir-akhir ini banyak ternak itik mulai dipelihara secara intensif, yaitu dengan cara mengandangkan itik disertai pemberian ransum yang lebih baik dan menyisihkan sebagian dari area kandang itiknya sebagai tempat berenang. Sistem tersebut dianggap lebih mudah dalam mencegah serangan penyakit, lebih efisien dalam penggunaan tempat dan energi oleh itik, sehingga meningkatkan produktifitas itik (Ridla, 2001).

Itik merupakan salah satu ternak yang cukup dikenal oleh masyarakat, terutama produksi telurnya. Selain produksi telur, dagingnya juga mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau menurut ukuran pendapatan masyarakat pedesaan. Salah satu usaha perunggasan yang cukup berkembang di Indonesia adalah usaha ternak itik, meskipun tidak sepopuler ternak ayam, Itik mempunyai potensi yang cukup besar sebagai penghasil telur dan daging. Jika dibandingkan dengan ternak unggas yang lain, ternak itik mempunyai kelebihan diantaranya adalah memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap penyakit. Oleh karena itu usaha ternak itik memiliki resiko yang relatif lebih kecil, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan data Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Cirebon (2010), tercatat populasi itik sebanyak 382.557 ekor dan produksi telur hampir 3.400 ton/tahun.

Terdapat dua sistem pemeliharaan itik di kabupaten Cirebon yaitu sistem pemeliharaan terkurung basah dan kering. Pada kandang kering hanya menyediakan air untuk aktifitas mencuci muka dan minum. Aktifitas itik dibatasi sehingga energi yang diperoleh dari pakan diperuntukan untuk memproduksi telur, dan kelebihan dari kandang kering adalah untuk meminimalisasi bau kotoran itik (Anonimus, 2007).

Kandang basah merupakan kandang yang dilengkapi dengan kolam untuk kebutuhan itik tersebut yang digunakan untuk aktivitas mandi, minum, berenang, dan membantu proses perkawinan. Sebaiknya kolam jangan terlalu luas agar itik tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga, sehingga energinya dialokasikan untuk menghasilkan telur lebih banyak. Sistem kandang basah sebaiknya diberi jarak antara kandang dan kolam sekitar 2 - 3 meter, yang berfungsi agar kandang itik tidak terlalu basah dan cenderung cepat berbau serta beresiko mengundang penyakit (Anonimous, 2007).

Sistem peternakan itik yang berbeda menyebabkan perbedaan kualitas telur yang dihasilkan. Pada sistem peternakan intensif, itik dikandangkan dengan segala kebutuhannya dipenuhi dan dilayani oleh peternak (Rasyaf, 1993). Pemberian pakan yang terprogram ditambah dengan pemberian vitamin dan suplemen akan sangat berpengaruh terhadap kualitas telur yang dihasilkan. Pada sistem pemeliharaan terkurung basah, saat itik dilepas di area kandang maka itik akan mencari makanannya sendiri yang ada di dalam kolam atau yang dibawa aliran sungai. Sumber pakan diperoleh dari lingkungan sawah dan sungai berupa serangga, keong, katak kecil dan sebagainya (Susilorini dkk., 2008). Perbedaan sistem peternakan itik, tentunya akan menghasilkan kualitas telur yang berbeda.

METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey, kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Gunung Jati (sistem pemeliharaan secara terkurung basah) dan Kecamatan Gebang (sistem pemeliharaan secara terkurung kering). Dua kecamatan diambil 20 peternak yang memelihara itik secara terkurung basah di Kecamatan Gunung Jati dan 20

(3)

peternak yang memelihara itik secara terkurung kering di Kecamatan Gebang. Setiap peternak diambil 5 butir telur sebagai sampel.sehingga jumlah telur itik yang dibutuhkan adalah 200 butir. Pengamatan kualitas telur dilakukan di Laboratorium Produksi Ternak Unggas untuk menguji specific gravity, tebal kerabang , kekentalan telur, berat putih telur dan berat kuning telur .

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Responden

Dua kecamatan diambil 20 peternak yang memelihara itik secara terkurung basah di Kecamatan Gunung Jati dan 20 peternak yang memelihara itik secara terkurung kering di Kecamatan Gebang. Pemeliharaan ternak itik secara terkurung kering di Kecamatan Gebang yang berada di wilayah pesisir dimana ketersediaan akan limbah ikan melimpah yang dapat digunakan sebagai pakan sumber protein yang baik untuk ternak unggas. Hal ini sangat berbeda dengan pemeliharaan itik secara terkurung basah di Kecamatan Gunung Jati yang berada di tepian sungai dan sebagian besar luas wilayahnya terdiri dari areal persawahan, sehingga sangat cocok untuk mengembangkan ternak itik. Dukungan dengan banyaknya ketersediaan pakan dari sektor pertanian dimana ketersediaan akan dedak melimpah yang dapat digunakan sebagai pakan sumber energi juga mendukung untuk pengembangan ternak itik.

Kandang pada sistem kedua system pemeleliharaan memiliki kepadatan kandang dan umur itik yang relatif sama hanya hanya saja pada kandang basah berada di tepian sungai jadi bisa di gunakan untuk mandi dan mencari makanan tambahan sedangkan pada system kering hanya tersedia tempat minun saja. Luas kandang dan Kepadatan kandang masing-masing system pemeliharaan (133 m2) dengan kepadatan(0,34 m2/ekor), dengan umur itik rata-rata 38 minggu.

Perbedaan antara sistem pemeliharaan terkurung basah dengan terkurung kering tidak hanya berdasarkan pada keadaan kandang saja. Pakan yang diberikan pada kedua sistem pemeliharaan juga berbeda, pakan yang diberikan pada system pemeliharaan basah adalah menir 55%, ikan rucah 35%, cangkang udang 10%, dengan kandungan nutrient Bk 73,529%, Pk 14,717%, Sk 10,767%, Lk 15,057%, Me 3145,070%, Ca 0,804%, P 0,788%.

Sedangkan pada system pemeliharaan kering pakan yang diberikan berupa menir 55%, ikan rucah 45% dengan kandungan nutrient Bk 73,730%, Pk 13,718%, Sk 10,599%, Lk 15,481%, Me 3144,753%, Ca 0,804%, P 0,766%.

Kualitas Telur

Berdasarkan hasil penelitian, kualitas telur yang dipelihara secara terkurung basah dan kering dapat dilihat pada Tabel 1 hasil analisis ragam berikut

Berdasarkan hasil analisis ragam (Tabel 1), kualitas telur yang dipelihara secara terkurung basah dan kering memberikan pengaruh yang berbeda pada bobot telur, specific gravity, tebal kerabang, bobot kuning telur dan warna kuning telur. Pada bobot putih telur dan kekentalan telur tidak memberikan pengaruh yang berbeda.

Perbedaan kualitas telur dari kedua sisem tersebut dipengaruhi oleh pakan, umur, suhu lingkungan dan sistem pemeliharaan. Menurut Sudaryani (2003), kualitas telur secara keseluruhan ditentukan oleh kualitas isi dan kulit telur. Oleh karena itu, penentuan kualitas telur dilakukan pada kedua bagian telur tersebut. Kualitas telur sebelumnya keluar dari organ reproduksi ayam dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya: kelas, strain, family, dan individu; pakan, penyakit, umur dan suhu lingkungan. Kualitas telur sesudah keluar dari

(4)

organ reproduksi dipengaruhi oleh penanganan telur dan penyimpanan (lama, suhu, dan bau penyimpanan). Kualitas telur ditentukan oleh beberapa hal, antara lain oleh faktor keturunan, kualitas makanan, sistem pemeliharaan, iklim, dan umur telur (Suprapti, 2002).

Tabel 1. Hasil Analisis Ragam Kualitas Telur Terkurung Basah dan Kering

Variabel Sistem

Pemeliharaan N Rataan ± SD DB SE t Hitung t tabel

0,05 0,01

Bobot telur (g) Basah 100 75,840 ± 5,181

198 0,677 5,182** 1,972 2,601 Kering 100 72,330 ± 4,363

Bobot putih telur (g) Basah 100 37,560 ± 3,591

198 0,495 1,331tn 1,972 2,601 Kering 100 36,900 ± 3,419

Bobot kuning telur (g) Basah 100 26,070 ± 2,955

198 0,345 4,512** 1,972 2,601 Kering 100 24,510 ± 1,795

Warna kuning telur (g) Basah 100 13,650 ± 1,381

198 0,187 38,43** 1,972 2,601 Kering 100 6,450 ± 1,266

Tebal kerabang (mm) Basah 100 0,474 ± 0,093

198 0,010 12,838** 1,972 2,601 Kering 100 0,340 ± 0,048

Kekentalan telur Basah 100 81,009 ± 10,385

198 1,650 0,368tn 1,972 2,601 Kering 100 80,402 ± 12,825

Specific Gravity Basah 100 1,171 ± 0,168

198 0,017 4,133* 1,972 2,601 Kering 100 1,099 ± 0,039

Keterangan : tn= tidak berbeda nyata *=berbeda nyata (P< 0,05)

** =berbeda sangat nyata (P< 0,01)

Bobot telur

Berdasarkan hasil penelitian rataan bobot telur itik yang dipelihara secara terkurung basah adalah 75,840 ± 5,181g dan rataan bobot telur itik yang dipelihara secara terkurung kering adalah 72,330 ± 4,363 g. Hasil yang didapatkan lebih besar dari penelitian sebelumnya 63,75 g (Srigandono, 1977) dan itik tegal sebesar 70,34 g dan itik Magelang sebesar 68,93 g (Prasetyo, 2006).

Secara statistik bobot telur itik yang dipelihara secara terkurung basah lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan yang terkurung kering. Hal ini disebabkan karena sistem pemeliharaan secara terkurung basah menyediakan tempat untuk itik mandi, sehingga itiknya lebih sehat dan bersih dari bakteri, sesuai pendapat Suprapti (2002) bahwa sistem pemeliharaan antara lain berkaitan dengan kebersihan atau sanitasi kandang dan lingkungan di sekitar kandang. Sanitasi yang baik akan menghasilkan telur yang baik pula, dalam hal ini berat telur yang dihasilkan tinggi. Pendapat ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Suwindra (1998) yang membandingkan pemeliharan itik tanpa kolam dan dengan kolam, menunjukkan hasil positif pada pemeliharaan itik dengan kolam, yaitu meningkatnya produksi telur dan berat telur.

Pemberian ikan rucah akan meningkatkan kecukupan protein, jika diberikan bersamaan dengan cangkang udang atau kerang. Cangkang udang (terdiri dari kepala dan kulit) merupakan limbah yang banyak ditemui di daerah pantai terutama di daerah yang mempunyai pabrik kerupuk udang dan penampungan (pengolahan) udang untuk ekspor.

Cangkang udang mengandung 16,9% protein (No et al., 1989) dan kerang mengandung 47,6% protein (Suwignyo et al., 1984). Menurut Wahju (1997) faktor yang mempengaruhi bobot telur diantaranya adalah besarnya kandungan protein dalam ransum yang dikonsumsi. Hal inilah yang membuat bobot telur itik yang dipelihara secara terkurung basah lebih tinggi dibandingkan yang terkurung kering, karena sistem pemeliharaan terkurung basah mempunyai lebih banyak protein yang berasal dari macam–macam sumber protein. Pernyataan ini diperkuat juga oleh Suwindra (1998) yang menyatakan bahwa

(5)

dengan tingkat protein ransum sekitar 16 sampai 20%, memperlihatkan hasil positif terhadap itik yaitu mampu meningkatkan produktifitas telur dan bobot telur.

Bobot Putih Telur

Berdasarkan hasil penelitian rataan bobot putih telur pada sistem pemeliharaan terkurung basahadalah 37,560 ± 3,591 g dan rataan bobot telur pada sistem pemeliharaan terkurung kering adalah 36,900 ± 3,419 g. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Pramono (2010) yang melaporkan bahwa rataan bobot putih telur dari itik tegal yang dipelihara secara terkurung sebesar 36,510 g dan itik Magelang sebesar 32,580 g.

Secara statistik berat putih telur dari itik yang dipelihara secara terkurung basah tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan sistem pemeliharaan terkurung kering di kabupaten Cirebon. Hal ini disebabkan oleh pakan yang dikonsumsi di sistem pemeliharaan terkurung basah dan kering, sama-sama telah memenuhi kebutuhan untuk memproduksi telur. Pakan yang dibutuhkan itik untuk produksi putih telur tidak terlalu banyak dibandingkan pembentukan kuning telur, karena menurut Amrullah (2004) protein putih telur 11% dan protein kuning telur 17,5% sehinga protein putih telur lebih rendah daripada kuning telur.

Suprapti (2002) bahwa sistem pemeliharaan antara lain berkaitan dengan kebersihan atau sanitasi kandang dan lingkungan di sekitar kandang. Sanitasi yang baik akan menghasilkan telur yang baik pula. Namun pada kualitas putih telur tidak dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan seperti yang disebutkan Suprapti (2002), yang seharusnya meningkat tetapi malah tidak ada pengaruh.

Bobot Kuning Telur

Berdasarkan hasil penelitian rataan bobot kuning telur yang dipelihara secara terkurung basah adalah 26,070 ± 2,955 g. Rataan bobot kuning telur pada pemeliharaan terkurung kering adalah 24,510 ± 1,795 g. Hasil penelitian ini akan lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Pramono (2010) yang melaporkan bahwa rataan bobot kuning telur dari itik tegal yang dipelihara secara terkurung sebesar 28,550 g dan itik Magelang sebesar 23,650 g

Secara statistik bobot kuning telur dari itik yang dipelihara secara terkurung basah lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan yang terkurung kering. Perbedaan bobot kuning telur diakibatkan oleh sistem pemeliharaan sesuai pendapat Suprapti (2002) bahwa sistem pemeliharaan antara lain berkaitan dengan kebersihan atau sanitasi kandang dan lingkungan di sekitar kandang. Sanitasi yang baik akan menghasilkan telur yang baik pula, dalam hal ini berat kuning telur yang dihasilkan tinggi.

Silversides dan Scott (2001) melaporkan bahwa dengan peningkatan umur, ukuran telur akan meningkat yang diakibatkan oleh bobot kuning telur yang meningkat. Umur itik di sistem pemeliharaan terkurung kering sedikit lebih muda dibandingkan dengan umur itik yang terkurung basah sehingga bobot kuning telur itik yang terkurung basah lebih tinggi dibandingkan yang terkurung kering.

Warna Kuning Telur

Berdasarkan hasil penelitian rataan warna kuning telur yang dipelihara secara terkurung basah adalah 13,650 ± 1,381 dan rataan pada warna kuning telur yang di pelihara secara terkurung kering adalah 6,450 ± 1,266. Hasil penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Pramono (2010) yang melaporkan bahwa rataan warna kuning telur dari itik Tegal yang dipelihara secara gembala sebesar 7,120 dan itik

(6)

Magelang sebesar 6,920 dan rataan warna kuning telur dari itik tegal yang dipelihara secara terkurung sebesar 7,280 dan itik Magelang sebesar 7,040. Rataan warna kuning telur yang termasuk dalam keadaan baik yaitu dari itik yang dipelihara secara terkurung basah, hal ini sesuai dengan yang ditegaskan oleh Sudaryani (2003) bahwa warna kuning telur yang baik berada pada kisaran angka 8 sampai 12.

Secara statistik skor warna kuning telur dari itik dipelihara terkurung basah lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan yang terkurung kering. Hal ini dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut :

Gambar 1. Warna Kuning Telur

(A: system pemeliharaan basah, B: system pemeliharaan kering)

Perbedaan warna kuning telur dipengaruhi oleh sistem pemeliharaan, sesuai pendapat Suprapti (2002) bahwa sistem pemeliharaan antara lain berkaitan dengan kebersihan atau sanitasi kandang dan lingkungan di sekitar kandang. Sanitasi yang baik akan menghasilkan telur yang baik pula, dalam hal ini warna kuning telur yang dihasilkan tinggi.

Hal lain yang menyebabkan warna kuning telur dari kedua sistem berbeda yaitu pada pemeliharaan basah diberikan pakan tambahan berupa cangkang udang atau kerang (kenyang) yang mengandung protein dan kalsium sesuai dengan pernyataan Raharjo (1985) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pemberian cangkang udang sampai 30 % untuk menggantikan tepung ikan dan bungkil kedele ternyata meningkatkan produksi telur sebanyak 12 % dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan sebesar 18 %, serta memberikan warna kuning telur menjadi lebih baik. Perbaikan warna kuning telur pada pemberian 30 % cangkang udang disebabkan oleh adanya pigmen yang dikandung dalam udang, seperti astaxanthine yaitu jenis karoten yang tersedia di lingkungan perairan dan berwarna merah sehingga memberikan warna kuning telur kemerahan yang banyak terdapat pada jenis udang-udangan sehingga menampilkan warna kuning ke merahan pada kuning telur (O-Fish, 2009).

Beta karoten merupakan Senyawa organik pemberi warna pada kuning telur (pigmen karotenoid) terdiri dari atom-atom dan ikatan-ikatan yang kaya elektron. Atom dan elektron tersebut bisa berinteraksi dan dipengaruhi oleh ion Na+ dan ion Cl-, sehingga interaksi mereka dapat menyebabkan perubahan intensitas penyebab warna kuning telur. Sehingga warna kuning telur itik yang dipelihara secara terkurung basah lebih tinggi dibandingkan dengan yang terurung kering.

Tebal Kerabang

Berdasarkan hasil penelitian rataan tebal kerabang pada sistem pemeliharaan terkurung basah adalah 0,474 ± 0,093 mm dan rataan tebal kerabang pada sistem pemeliharaan terkurung kering adalah 0,340 ± 0,048 mm. Hal ini tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Pramono (2010) yang melaporkan bahwa rataan tebal kerabang dari itik tegal yang dipelihara secara terkurung sebesar 0,380 mm dan itik Magelang sebesar 0,390 mm.Tebal kerabang secara normal berkisar antara 0,300 mm sampai 0,500 mm (Romanoff

(7)

dan Romanoff, 1963).Tebal kerabang yang diperoleh dari hasil penelitian masih dikategorikan normal.

Secara statistik tebal kerabang telur itik yang dipelihara secara terkurung basah berbeda sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan yang terkurung kering. Perbedaan tersebut disebabkan sistem pemeliharaan yang digunakan dan pakan. Sistem pemeliharaan terkurung basah menjadikan itik dapat mencari siput kecil yang ada dipinggiran sungai yang ada di dekat kandang sehingga kebutuhan kalsium untuk membentuk kerabang terpenuhi.

Pakan pada itik yang dipelihara secara terkurung basah mendapatkan cangkang udang atau kerang. Menurut Suwignyo et al. (1984) menyatakan bahwa kerang mengandung 0,45%

kalsium (Ca) dan 0,73% fosfor (P), baik kalsium maupun fosfor erat kaitannya dengan pembentukan kerabang telur sehingga tebal kerabang di sistem pemeliharaan terkurung basah lebih tinggi dibandingkan yang terkurung kering.

Kekentalan Telur

Berdasarkan hasil penelitian rataan kekentalan telur yang diukur menggunakan metode haugh unit (HU) pada sistem pemeliharaan basah adalah 81,009 ± 10,385 dan rataan pada sistem pemeliharaan terkurung kering adalah 80,402 ± 12,825. Hasil penelitian ini lebih tinggi bila di bandingkan dengan hasil penelitian Pramono (2010) yang melaporkan bahwa rataan HU telur dari itik tegal yang dipelihara secara terkurung sebesar 76,230 dan itik Magelang sebesar 78,110. Secara statistik telur itik yang di pelihara secaraterkurung basah tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan yang terkurung kering. Hal tersebut disebabkan oleh pakan yang di konsumsi pada masing-masing sistem pemeliharaan telah memenuhi kebutuhan untuk memprodiksi telur dan sama–sama menggunakan pakan ikan rucah. Pendapat yang mendukung adalah pendapat Sulaeman (2001) yang menyatakan bahwa penggunaan silase ikan gaplek dalam ransum tidak mempengaruhi haugh unit.

Selain itu pengukuran HU sama–sama dilakukan saat telur masih segar, karena hal ini sesuai pendapat Romanoffdan A. J. Romanoff (1963) yang menyatakan bahwa HU sangat tergantung pada kesegaran telur, kesegaran telur dapat dilihat dari tinggi putih telur Semakin tinggi nilai putih telur maka semakin tinggi pula nilai HU dan semakin tinggi nilai berat telur maka nilai HU semakin rendah.

Faktor yang dapat mempengaruhi nilai HU diantaranya adalah umur telur dan cara penanganan telur (North dan Bell, 1990). Karena umur telur dari itik yang dipelihara secara terkurung basah dan kering sama–sama 1 hari, jadi sama–sama masih segar dan mengalami penanganan yang sama yaitu langsung diukur HU nya sehingga memberikan nilai kekentalan telur yang sama.

Spesific Gravity

Berdasarkan hasil penelitian rataan specific gravity pada sistem pemeliharaan terkurung basah adalah 1,171 ± 0,168 dan rataan specific gravity pada sistem pemeliharaan kering 1,099 ± 0,039. Hasil penelitian menunjukkan rataan specific gravity pada sistem pemeliharaan terkurung basah lebih tinggi dibandingkan hasil Maulianto (2010) yang menyatakan bahwa rataan spesific gravity berkisar antara 1,088 ± 0,002 sampai 1,094 ± 0,003. Hasil analisis variansi spesific gravity telur itik yang dipelihara secara terkurung basah berbeda nyata lebih tinggi (P < 0,05) dibandingkan dengan yang terkurung kering.

Perbedaan specific gravity antara sistem pemeliharaan terkurung basah dengan sistem pemeliharaan terkurung kering disebabkan karena sistem pemeliharaan, Suprapti (2002) bahwa sistem pemeliharaan antara lain berkaitan dengan kebersihan atau sanitasi kandang

(8)

dan lingkungan di sekitar kandang. Sanitasi yang baik akan menghasilkan telur yang baik pula, dalam hal ini speciific gravity yang dihasilkan tinggi. Namun haugh unit seharusnya berkorelasi positif dengan nilai specific gravity seperti yang dijelaskan oleh Silversides dan Villeneuve (1994) menyatakan bahwa setiap peningkatan nilai 1 HU menyebabkan perubahan peningkatan nilai spesific gravity telur sebesar 0,0011 yang juga berarti peningkatan kualitas putih telur. Nilai specific gravity merupakan nilai perbandingan antara berat jenis suatu zat dengan berat jenis air pada suhu standar (Yuwanta, 1997). Pada specific gravity telur itik yang dipelihara secara terkurung basah memberikan perbedaan yang nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan yang terkurung kering, dan pada kekentalan telur yang diukur dengan metode haugh unit tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0,05) antara sistem pemeliharaan yang terkurung basah dengan yang terkurung kering.

SIMPULAN

Itik yang dipelihara secara terkurung basah menghasilkan telur dengan kualitas lebih baik dibandingkan yang dipelihara secara terkurung kering. Hal ini dapat dilihat dari bobot telur, bobot kuning telur, tebal kerabang, warna kuning telur dan specific gravitity, sedangkan kekentalan telur dan berat putih telur memberikan kualitas yang sama antara sistem pemeliharaan terkurung basah dengan yang terkurung kering.

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor.

Anonimous, 2007. Kuning Telur Bukan Sekedar Warna. http://www.kompas.com. Diakses tanggal 15 Oktober 2011.

Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan, dan Kehutanan Kabupaten Cirebon.2010.

Populasi Ternak Semester II. Cirebon.

Pramono, S. 2010. Kualitas Telur Itik Lokal Berdasarkan Sistem Pemeliharaan. Skripsi.

Program Studi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman.

Prasetyo, L. H. 2006. Sistem Pemeliharaan Itik Petelur MA. http://www.litbang.deptan.go.id Diakses 5 Oktober 2011.

Rahardjo, Y.C. 1988. Pengaruh Berbagai Tingkat Protein dan Energi Terhadap Produksi dan Kualitas Telur Itik Tegal. Prosiding, Seminar Nasional Peternakan dan Forum Peternak,

“Unggas dan Aneka Ternak II”. Puslitbang Peternakan, Bogor.

Rasyaf, M. 1991. Pengelolaan Produksi Telur. Kanisisus. Yogyakarta.

Ridla, M. 2001. Pengaruh Pemberian Silase Ikan-Gaplek dalam Ransum Terhadap Penampilan Itik Lokal. Fakultas Peternakan ITB. Bogor.

Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. Second Printing. John Wiley and Sons, Inc. New York.

Silversides, F. G. and Villeneuve. 1994. Is The Haugh Unit Correction for Egg Seight Valid for Eggs Stored at Room-Temperature. Journal Poultry Science. 73: 50-55.

Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur. Penebar Swadaya. Jakarta.

(9)

Sulaeman, A. 2001. Kualitas Telur Itik Lokal yang Diberi Ransum Mengandung Silase Ikan – Gaplek dengan Presentase yang Berbeda. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suprapti, Lies. 2002. Teknologi Tepat Guna Pengawetan Telur, Telur Asin, TepungTelur, Telur Beku. Yogyakarta : Kanisius

Susilorini T.E., Sawitri M. E dan Muharlien. 2008. Budi Daya Ternak 22 Ternak Potensial.Penebar Swadaya. Jakarta.

Suwindra IN. 1998. Uji tingkat protein pakan terhadap kinerja itik umur 16 – 40 minggu yang dipelihara intensif pada kandang tanpa dan dengan kolam. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suwignyo P.; J. Basmi dan L. B. Djamar 1984. Studi Beberapa Aspek Biologi Kerang Hijau Mytilus viridis L., Di Teluk Jakarta. Fakultas Perikanan InstitutPertanianBogor. Bogor.

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. UGM Press.Yogyakarta.

Yuwanta, T. 1997. Hubungan Nilai Berat Jenis Telur Terhadap Kualitas dan Daya Tetas Telur Ayam Kampung. Buletin Peternakan Vol. 21:88-99.

Gambar

Tabel 1. Hasil Analisis Ragam Kualitas Telur Terkurung Basah dan Kering

Referensi

Dokumen terkait

Proyek perancangan yang menjadi bahan studi dan pembelajaran dalam kegiatan magang yaitu perancangan lanskap jalan (streetscape) pada kawasan Alam Sutera fase II

Manajemen merupakan ilmu atau seni dalam merencanakan, mengorganisasikan, mengaktualisasi dan mengontrol jalannya perusahaan dalam mencapai tujuan. Manajemen memiliki

Katı atık yönetiminin en önemli unsurlarından birisi de geri kazanılması mümkün olmayan katı atıkların insan ve çevre sağlığına zarar vermeden bertaraf

Antara kadar fibrinogen plasma dan ketebalan lapisan intima-media arteri karotis komunis di pasien DM tipe 2 terdapat kenasaban positif yang lemah. Di samping itu

Nama dan logo perusahaan akan diperlihatkan pada area berlangsung, printed material, dan banner yang ditempatkan diarea simposium; Sponsor mendapatkan 2 (dua) tiket masuk

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka dalam penelitian ini dilakukan pengkajian kondisi Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang terkait dengan komponen-komponen tata kelola

Nilai R Square atau nilai koefisien determinasi adalah sebesar 0,682 yang artinya perilaku atau variasi dari variabel independen mampu menjelaskan perilaku atau variasi dari

Berdasarkan hasil analisis hubungan motivasi dengan pelaksanaan komunikasi SBAR dalam handover pada perawat di RSUD Salatiga Kota Salatiga, diperoleh hasil bahwa