• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Negara Peluncur Terhadap Sampah Ruang Angkasa Menurut Hukum Lingkungan Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Tanggung Jawab Negara Peluncur Terhadap Sampah Ruang Angkasa Menurut Hukum Lingkungan Internasional"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Tanggung Jawab Negara Peluncur Terhadap Sampah Ruang Angkasa Menurut Hukum Lingkungan Internasional

Mhd. Nasir Sitompul

Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Email: [email protected]

Abstrak

Perkembangan teknologi dalam pemanfaatan sumber daya angkasa pada saat ini samgat pesat sekali.

Negara mempunyai hak untuk melakukan peluncuran satelit sebagai program nasionalnya yang memiliki kedaulatan sehingga dapat menjadi subyek hukum internasional yang utama. Keuntungan yang diperoleh dalam pemanfaatan ruang angkasa memang menjadi kegiatan positif yang menguntungkan.

Akibat dari kegiatan tersebut, juga mempunyai dampak negatif dari hasil pemanfaatan ruang angkasa yang menimbulkan sampah yang masih mengorbit di ruang angkasa. Hal ini menjadi perhatian bagi negara-negara karena ternyata polusi tidak hanya ada di bumi melainkan juga di ruang angkasa yang dapat mengganggu lingkungan ruang angkasa. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hukum bagi negara yang melakukan peluncuran benda-benda angkasa yang mengakibatkan adanya sampah ruang angkasa dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriftif analisis yang bersumber dari data sekunder dengan mengolah data dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab negara peluncur dalam pengelolaan sampah ruang angkasa. Penelitian ini memberikan analisis bahwa hukum internasional telah menerapkan ketentuan bagi negara yang melakukan peluncuran benda angkasa ke ruang angkasa secara bebas tanpa diskriminasi dan dengan tujuan damai. Hukum lingkungan internasional belum secara tegas mengatur tentang sampah ruang angkasa, dimana instrumen hukum lingkungan internasional memberikan ketentuan agar setiap negara harus menjaga kelestarian lingkungan dalam melakukan pemanfaatan sumber daya alam dengan berdasarkan pembangunan yang berkelanjutan. Negara peluncur memiliki tanggung jawab (responsibility) terhadap peluncuran benda angkasa tersebut berupa pencegahan sebelum terjadinya dampak dari sampah ruang angkasa dengan adanya manajemen pengelolaan sampah antariksa.

Kata Kunci: Tanggung Jawab, Negara, Sampah Ruang Angkasa, Lingkungan.

Abstract

The development of technology in the use of space resources at this time is very fast. The state has the right to launch a satellite as a national program that has sovereignty so that it can become the main subject of international law. The profits obtained in the use of space are indeed a positive and profitable activity. As a result of these activities, it also has a negative impact from the results of the use of space which causes waste that is still orbiting in space. This is a concern for countries because it turns out that pollution does not only exist on earth but also in space which can disrupt the space environment.

This study was conducted to examine the law for countries that launch celestial bodies that result in space waste by using normative juridical research with descriptive analysis sourced from secondary data by processing data from primary legal materials, secondary legal materials, and legal materials.

tertiary. The purpose of this study is to determine the responsibility of the launching state in the management of space waste. This study provides an analysis that international law has implemented provisions for countries that launch celestial bodies into space freely without discrimination and with peaceful purposes. International environmental law has not explicitly regulated space waste, where international environmental law instruments provide stipulations that each country must preserve the environment in utilizing natural resources based on sustainable development. The launching state has the responsibility (responsibility) for the launch of the celestial body in the form of prevention before the impact of space debris with the management of space waste management..

Keywords: Responsibility, State, Space Waste, Environment.

Cara Sitasi:

Sitompul, Mhd. Nasir. (2021), “Tanggung Jawab Negara Peluncur Terhadap Sampah Ruang Angkasa Menurut Hukum Lingkungan Internasional”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol. 2 No. 2, Pages 115-123

http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris

ISSN ONLINE: 2745-8369

(2)

A. Pendahuluan

Perkembangan teknologi penerbangan yang serba canggih pada saat, memicu manusia mulai melakukan kegiatan-kegiatan antariksa. Peluncuran satelit-satelit tersebut seperti buatan Sputnik I pada permulaan Oktober 1957, peluncuran astronot pertama Yuri Gagarin dalam pesawat antariksa pada tahun 1961, dan terutama pendaratan di Bulan oleh misi Apolo XI tahun 1969 menyebabkan orang berpikir bahwa antariksa, seperti halnya dengan laut lepas,1

Space Treaty 1967 merupakan hukum dasar bagi penciptaan hukum-hukum dalam masalah aktivitas manusia di ruang angkasa termasuk Bulan dan benda-benda langit lainnya.

Atas dasar prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Space Treaty 1967 tersebut, hingga kini Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komite Pemanfaatan Ruang Angkasa Untuk Tujuan Damainya (United Nation Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UN-COPUOS) telah menciptakan suatu aturan hukum internasional mengenai kegiatan di ruang angkasa.

Polusi tidak hanya terdapat di permukaan bumi, tetapi polusi juga sudah menjadi masalah di lingkungan antariksa. Polusi yang berupa sampah antariksa berasal dari sebaran benda-benda langit, yang kemudian ditambah benda-benda buatan manusia seperti roket, satelit, pesawat antariksa yang sudah tidak berfungsi, tetapi tetap berada di orbit, mengakibatkan gangguan terhadap satelit yang beroperasi. Berdasarkan hasil studi pada tahun 1999 diperkirakan terdapat sekitar 2 juta kg sampah antariksa yang tersebar di orbit rendah dengan ukuran lebih besar dari 1 cm3.2

Tanggung jawab negara atas tindak pelanggaran internasional terdapat dalam Draft International Law Commission 2001, dimana adanya pelanggaran kewajiban internasional oleh negara sehingga munculnya tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajiban tersebut.

Selain itu instrumen hukum lingkungan internasional baik Stockholm Declaration 1972, Rio Declaration 1992 dan Johannesburg Declaration 2002 yang memberi kewenangan kepada negara untuk memanfaatkan sumber daya alam berdasarkan Piagam PBB dan prinsip-prinsip umum hukum internasional, mempunyai hak berdaulat berdasarkan kebijakan nasionalnya untuk mengeksploitasi sumber daya alam ada di dalam wilayahnya.

Hak ini hanya dibatasi oleh suatu kewajiban (responsibility) yang menentukan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menjamin agar kegiatan tersebut, baik yang dilakukan di dalam wilayahnya maupun yang berada di bawah pengawasannya, tidak mengakibatkan kerugian terhadap lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayah negara lain, termasuk kawasan lain yang berada di luar wilayahnya.3

Meningkatnya sampah ruang angkasa di ruang angkasa sebagai akibat dari peluncuran space object yang dilakukan oleh pihak negara, hal ini tidak sesuai dengan prinsip hukum yang telah diterapkan sebagai dasar kegiatan keruangangkasaan dan juga mengingat prinsip tanggung jawab negara dalam ketentuan hukum internasional yang telah di atur sedemikian rupa untuk pemenuhan kewajiban dalam mengelola sampah ruang angkasa dari kegiatan tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini mengkaji tentang tanggungjawab negara peluncur terhadap pengelolaan sampah ruang angkasa.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Penelitian dengan menggunakan deskriptif analisis merupakan penelitian yang hanya semata-mata melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya tanpa suatu maksud untuk mengambil kesimpulan- kesimpulan yang berlaku secara umum. Berdasarkan sifat penelitian tersebut, maka penelitian

1 Boer Mauna. 2011. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global.

Bandung: P.T Alumni, halaman 422.

2 Errya Satrya. 2009. Sampah Antariksa Masalah Di Masa Kini dan Esok. Berita Dirgantara Vol. 10 No.3, halaman 72.

3 Ida Bagus Wyasa Putra. 2001. Tanggung jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa.

Bandung: PT. Refika Aditama, halaman 49.

(3)

ini mengarah kepada pendekatan penelitian yuridis normatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab negara peluncur dalam pengelolaan sampah ruang angkasa.

B. Pembahasan

1. Konsep Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional

Negara merupakan subjek hukum yang paling utama, terpenting dan memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek hukum internasional, dan harus memiliki kecakapan- kecakapan hukum internasional utama untuk mewujudkan kepribadian hukum internasionalnya. Kecakapan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:4

a. Mampu untuk menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional (dan nasional);

b. Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan hukum internasional;

c. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum internasional;

d. Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestik.

Negara berdaulat adalah Negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi (supreme authority) bebas dari kekuasaan Negara lain, bebas dalam arti seluas-luasnya baik ke dalam maupun ke luar, namun demikian tetap harus memperhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya. Indonesia sebagai Negara berdaulat dapat menentukan bentuk Negara, bentuk pemerintahan, organisasi kekuasaan ke dalam maupun ke luar, mengatur hubungan dengan warga negaranya, mengatur penggunaan public domain, membuat undang-undang dasar beserta peraturan pelaksanaannya, mengatur politik ke luar negeri maupun dalam negeri, mengadakan hubungan internasional dengan Negara lain, melindungi warga Negara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga negara asing yang ada di dalam wilayahnya, walaupun tidak mempunyai kewarganegaraan, mengatur wilayah darat, laut maupun udara serta ruang angkasa untuk kepentingan nasionalnya.5

Negara diyakini memiliki kedaulatan yang hakiki, dimana negara yang satu tidak tunduk terhadap negara lain dikarenakan adanya suatu kedaulatan yang dimiliki oleh tiap negara. Negara dalam memiliki kedaulatannya berhak untuk melakukan hal-hal apa saja yang merupakan kebutuhan akan negaranya sendiri, baik berhubungan dengan negara lain, melakukan kerjasama dalam hal ekonomi, pendidikan dan hal lain yang dibutuhkan namun dalam batasan tidak menyebabkan kerugian bagi negara lain, termasuk melakukan kegiatan apa yang dianggap perlu dalam pemenuhan keperluan negara. Namun hal yang demikian tidak dapat serta merta suatu negara melakukan secara sewenang-wenang, mengingat di satu sisi adanya keberadaan negara lain yang menjadi hal yang tidak boleh dilupakan. Memang negara boleh melakukan kegiatan yang dianggap perlu untuk kepentingan negaranya, namun hal ini harus pula didasari dengan apa yang menjadi kewajiban negara dalam pencapaian kegiatan tersebut. Suatu Negara dalam melakukan kegiatan harus dibarengi dengan apa yang menjadi tanggung jawab negara jika merugikan negara lain karena kegiatan tersebut tidak hanya sebatas dengan wilayahnya saja namun bisa berdampak kepada Negara lain dan menjadi persoalan lintas batas negara.

Istilah “tanggung jawab negara” digunakan untuk mewakili dua istilah, yang dalam pembahasan hukum internasional umumnya dibedakan, yaitu: “state responsibility” dan

“liability of states”. Goldie, dengan meneliti penerapan istilah itu dalam beberapa konvensi, membuktikan bahwa kedua istilah itu merupakan istilah yang berbeda dan digunakan untuk menunjuk dua keadaan yang berbeda. Istilah “responsibility” lebih menunjuk kepada indikator penentu lahirnya tanggung jawab, yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan terlebih dahulu dalam bentuk kewajiban yang harus ditaati, serta saat lahirnya suatu tanggung jawab.

4 Sefriani. 2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, halaman 102.

5 K. Martono dan Amad Sudiro. 2011. Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, halaman 253-254.

(4)

Sedangkan, istilah Liability lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk tanggung jawab yang harus diwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi kewajiban tersebut, yaitu pemulihan (legal redress). Berdasarkan sifat itu, menurut Goldie, istilah responsibility dan istilah liability harus dibedakan, karena yang satu menunjuk standar prilaku, dan kegagalan pemenuhan standar itu, sedangkan yang lainnya menunjuk pada kerusakan atau kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi standar itu, termasuk cara untuk memulihkan kerusakan atau kerugian itu.6

Menurut Rosalyn Higgins, hukum tentang tanggung jawab negara tidak lain adalah hukum yang mengatur akuntabilitas (accountability) terhadap suatu pelanggaran hukum internasional. Jika suatu negara melanggar suatu kewajiban internasional, negara tersebut bertanggungjawab (responsibility) untuk pelanggaran yang dilakukannya.

Tampak bahwa Rosalyn Higgins menggunakan kata accountability di samping istilah responsibility. Menurut beliau, kata accountability mempunyai dua pengertian. Pertama, kata tersebut berarti bahwa Negara memiliki keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental (mental capacity) untuk menyadari apa yang dilakukannya. Kedua, kata tersebut berarti bahwa terdapat suatu tanggung jawab (liability) untuk tindakan Negara yang melanggar hukum internasional (international wrongful behaviour) dan bahwa tanggung jawab tersebut (liability) harus dilaksanakan.

Pembahasan atau kajian mengenai masalah ini menjadi penting, karena tanggung jawab disini terkait dengan subyek hukum internasional utama, yaitu Negara. Karena itu pula, para ahli hukum internasional mengakui bahwa tanggung jawab Negara merupakan suatu kajian yang cukup signifikan. Disamping itu pula di dalam pembahasannya terkait dengan prinsip fundamental (dasar) hukum internasional.7

2. Ketentuan-ketentuan Hukum Ruang Angkasa

Space Treaty 1967 merupakan hukum dasar bagi penciptaan hukum-hukum dalam masalah aktivitas manusia di ruang angkasa termasuk Bulan dan benda-benda langit lainnya.

Atas dasar prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Space Treaty 1967 tersebut, hingga kini Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komite Pemanfaatan Ruang Angkasa Untuk Tujuan Damainya (United Nation Committee on the Peaceful Uses of Outer Space yang disingkat UN- COPUOS) telah menciptakan suatu aturan hukum internasional mengenai kegiatan di ruang angkasa, yaitu:

a. Agreement on the Rescue of Astronauts, the return of Astronauts and the return of Objects launched into Outer Space, yang ditandatangani di London, Moscow dan Washington pada tanggal 22 April 1968.

b. Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects, yang ditandatangani pada tanggal 28 Maret 1972.

c. Convention concerning the Registration of Objects Launched into Space for Exploration or Use of Outer Space, tahun 1975.

d. Moon agreement 1984.

Space Treaty 1967 yang secara lengkap disebut Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and other Celestial Bodies, adalah suatu Treaty yang dijadikan dasar utama dalam usaha pemanfaatan sumber daya ruang angkasa.

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam di dalam Outer Space Treaty 1967 itu dikaji isi pasal- demi pasalnya. Berikut prinsip-prinsip tersebut:8

6 Ida Bagus Wyasa Putra. 2001. Op.Cit, halaman 53-55.

7 Huala Adolf. 2002. Aspek Aspek Negara Dalam Hukum International. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,, halaman 256-257.

8 Juajir Sumardi. 1996. Hukum Ruang Angkasa Suatu Pengantar. Jakarta: PT Pradnya Paramita, halaman 18-22.

(5)

a. Eksplorasi dan penggunaan Ruang Angkasa, Bulan dan benda-benda Ruang Angkasa lainnya bagi semua Negara untuk tujuan damai dan kerja sama internasional. Prinsip ini tercantum dalam Pasal I dan Pasal II Space Treaty 1967.

b. Pelaksanaan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa harus sesuai dengan hukum internasional dan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Prinsip ini tercantum dalam Pasal III Space Treaty 1967.

c. Larangan penempatan senjata-senjata di ruang angkasa. Sebagaimana diketahui bahwa pemanfaatan ruang angkasa dan benda-benda langit lainnya dilakukan jika dan hanya jika mempunyai maksud dan tujuan damai. Oleh karena itu, penempatan senjata-senjata di ruang angkasa tidaklah dibenarkan sama sekali sebab hal itu akan dapat mengancam perdamaian internasional yang dapat membahayakan peradaban manusia di permukaan bumi ini. Prinsip ini terdapat dalam Pasal IV Space Treaty 1967.

d. Tanggung jawab internasional harus dilakukan oleh Negara yang melaksanakan kegiatan di Ruang Angkasa. Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan ruang angkasa itu dapat dilakukan oleh pihak pemerintah suatu Negara akan tetapi kegiatan ruang angkasa juga dapat dilakukan oleh pihak swasta atau non pemerintah. Kegiatan yang dilakukan oleh non pemerintah ini harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari pemerintah yang bersangkutan, sedang bagi organisasi internasional oleh organisasi itu sendiri dan pemerintah-pemerintah yang menjadi anggota dari organisasi tersebut. Prinsip ini tercantum dalam pasal VI Space Treaty 1967.

e. Ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan Ruang Angkasa. Mengenai ganti rugi terhadap kerugian yang diakibatkan oleh benda-benda buatan manusia yang diluncurkan ke ruang angkasa maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan kepada Negara peluncur. Negara peluncur dalam pengertian ini adalah Negara yang meluncurkan suatu benda angkasa atau yang turut serta dalam peluncuran atau Negara yang membiayai peluncuran dan dapat juga Negara di mana peluncuran benda angkasa itu dilakukan. Mengenai ganti rugi akibat kegiatan di ruang angkasa ini tercantum di dalam Pasal VII Space Treaty 1967. Sedangkan mengenai pihak yang berhak atas tuntutan ganti rugi tersebut adalah Negara ketiga yang secara langsung menderita kerugian baik kerugian yang diderita oleh warganegaranya, harta benda atau badan hukum yang terdapat dalam wilayah territorial dari Negara ketiga tersebut.

f. Yurisdiksi atas Person dan Object yang diluncurkan. Prinsip ini menetapkan bahwa manusia, objek, atau komponen objek, ruang angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa merupakan yurisdiksi Negara peluncur tersebut, di mana jika manusia atau objek ruang angkasa yang diluncurkan tersebut jatuh di wilayah Negara lain maka Negara yang wilayahnya menjadi lokasi jatuhnya benda-benda angkasa atau manusia tersebut harus mengembalikan kepada Negara pemiliknya, yaitu Negara yang telah meluncurkannya ke ruang angkasa. Prinsip ini tercantum di dalam Pasal VIII dari Space Treaty 1967.

g. Prinsip pencegahan terhadap pencemaran dan kontaminasi dari ruang angkasa dan benda- benda ruang angkasa. Prinsip ini menegaskan bahwa kegiatan yang dilakukan di ruang angkasa dan benda-benda langit lainnya haruslah tetap menjaga agar tidak terjadi pencemaran dan kontaminasi. Hal ini sangat perlu guna kelestarian lingkungan yang dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan kegiatan di ruang angkasa dan juga demi kepentingan umat manusia di permukaan bumi secara umum. Prinsip pencegahan pencemaran dan kontaminasi di ruang angkasa ini tercantum di dalam Pasal IX Space Treaty 1967.

3. Hukum Lingkungan Internasional terhadap Pemanfaatan Ruang Angkasa

Sistem hukum lingkungan internasional diwujudkan dalam bentuk deklarasi-deklarasi (declarations), dan perjanjian-perjanjian (treaty, convention, agreement) baik yang bersifat bilateral, multilateral, global, regional maupun sub-regional. Kelompok yang pertama termasuk

(6)

soft law dan kelompok yang kedua bersifat hard law. Soft law adalah ketentuan-ketentuan yang memuat prinsip-prinsip umum (general principles), bersifat pernyataan sikap atau komitmen moral dan tidak mengikat secara langsung. Daya ikatnya tergantung kepada kerelaan Negara- negara untuk mengadopsinya sebagai hukum lokal. Sedangkan hard law bersifat lebih konkrit atau mengikat, bagi Negara-negara yang menyatakan diri siap terikat (express to be bound).9

Masalah kerusakan lingkungan awalnya dianggap sebagai masalah hukum nasional, sehingga tidak diperlukan instrument hukum internasional untuk mengaturnya karena apa yang terjadi di lingkungan atau wilayah suatu Negara adalah urusan dalam negeri Negara yang bersangkutan. Upaya membuat hukum lingkungan internasional dicurigai oleh Negara berkembang dan terbelakang sebagai upaya Negara-negara maju untuk intervensi terhadap urusan dalam negeri Negara lain terutama karena Negara maju senantiasa menuduh pembangunan yang dilakukan oleh Negara berkembang dan terbelakang sebagai faktor utama penyebab terjadinya kerusakan lingkungan global karena Negara-negara ini tidak memiliki kesadaran pemeliharaan lingkungan yang baik. Namun demikian pemikiran ini tidak bertahan lama. Keberhasilan menyelenggarakan Stockholm Declaration 1972 dianggap sebagai titik awal dimulainya hukum lingkungan modern. Pada konferensi ini mulai dikenal dan diterima slogan one world only, bahwa dunia atau bumi hanya satu. Kerusakan di sebagian wilayah akan berdampak pada belahan wilayah lain di bumi ini. Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Pelestarian dan Pemeliharaan Lingkungan Hidup atau yang lebih terkenal dengan sebutan Deklarasi Lingkungan Hidup.10

Prinsip-prinsip utama dalam hukum lingkungan internasional antara lain sebagai berikut:

1. Duty to Prevent Reduce and Control Environmental Harm

Hukum internasional mewajibkan setiap Negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengontrol dan menangani sumber pencemaran global yang serius atau sumber perusakan lintas batas yang ada dalam yurisdiksi Negara yang bersangkutan.11 2. State Responsibility

Prinsip ini terlahir dari Pasal 21 Stockholm Declaration 1972 yang kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 2 Rio Declaration 1992.12 Isi dari prinsip ini adalah bahwa:

a. Negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang dimilikinya sesuai dengan kebijakan bidang lingkungan masing-masing.

b. Negara bertanggungjawab untuk menjamin bahwa aktivitas-aktivitas yang berlangsung di dalam yuridiksi atau kontrol Negara yang bersangkutan tidak menimbulkan kerugian terhadap lingkungan Negara-negara lain/kawasan-kawasan diluar batas yuridiksi nasional.13

Prinsip 22 Stockholm Declaration 1972 juga menegaskan bahwa Negara wajib bekerja sama dan mengembangkan lebih lanjut Hukum Internasional tentang tanggung jawab dan ganti rugi terhadap korban pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas terhadap kawasan di luar yuridiksi nasional.14

3. Absolute Obligation of Prevention

Ketentuan ini mengharuskan setiap Negara untuk berusaha semaksimal mungkin melakukan pencegahan terhadap terjadinya pencemaran, dan bahwa negara

9 Jawahir Thonthowi. 2016. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: UII Press, halaman 163-165.

10Sefriani. 2016. Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, halaman 259-260.

11 Jawahir Thonthowi. 2016. Op. Cit. halaman 165.

12 Sefriani. 2016. Op.Cit. halaman 275.

13 Ibid. halaman 260.

14 Ibid. halaman 261.

(7)

bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan yang tidak terhindari atau tak terduga sebelumnya.15 Prinsip ini dapat ditemukan dalam Pasal 6 Stockholm Declaration 1972.16

Keberadaan ketentuan Stockholm Declaration 1972 dalam memberikan ketentuan terkait lingkungan terus berkembang sampai munculnya ketentuan Rio Declaration 1992 mengenai pembangunan dan lingkungan yang menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh setiap Negara dalam meningkatkan ekonominya tetap memperhatikan keberadaan lingkungan. Hal ini tidak sampai disini saja, ada ketentuan lain yaitu Johannesburg Declaration 2002 yang berinisiatif terhadap pembangunan yang berkelanjutan dengan mengutamakan pelestarian lingkungan demi kepentingan sekarang dan di masa yang akan mendatang. Disamping lingkungan hidup bagian wilayah suatu Negara yang tunduk kepada kedaulatan dan yurisdiksi suatu Negara, dan karenanya terhadap lingkungan hidup dalam status demikian berlakulah prinsip-prinsip kedaulatan dan yuridiksi Negara.17 Terdapat pula bagian lingkungan (areas) yang tidak menjadi bagian wilayah Negara tertentu, baik karena sifatnya yang tidak mungkin dikuasai maupun karena masyarakat internasional menyepakati untuk tidak menempatkan kawasan-kawasan demikian itu sebagai bagian wilayahnya, seperti laut bebas (high seas) dan ruang angkasa (outer space).18 Untuk status ruang angkasa berlaku Pasal 2 Space Treaty 1967 menyatakan secara lebih tegas bahwa: “Outer space…is not subject to national appropriation by claim of sovereignity, by means of use or occupation, or by any other means.” Sementara Pasal IX menegaskan bahwa: “States Parties to the Treaty shall…conduct exploration of them so to avoid their harmful contamination and also adverse changes in the environment of the Earth resulting from the introduction of extraterristrial matter…”19 Ketentuan tersebut menandai perkembangan dalam bidang hukum ruang angkasa tentang perlindungan lingkungan dalam Space Treaty 1967.

4. Tanggung Jawab Negara Peluncur Terhadap Pengelolaan Sampah Ruang Angkasa

Pertanggungjawaban negara dalam Stockholm Declaration 1972 sebagai salah satu instrumen hukum lingkungan yang diyakini bahwa kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia harus memberikan perlindungan dan perbaikan lingkungan yang merupakan tugas bagi semua negara.. Dalam Prinsip 2 menyebutkan bahwa sumber daya alam bumi, termasuk udara, air, tanah, flora dan fauna dan sampel terutama perwakilan dari ekosistem alam, harus dijaga untuk kepentingan generasi sekarang dan masa depan melalui perencanaan atau manajemen hati-hati, yang sesuai. Dan dalam Prinsip 3 dikatakan bahwa kapasitas bumi untuk menghasilkan sumber daya vital terbarukan harus dipertahankan dan, bila memungkinkan, dipulihkan atau diperbaiki. Tampak bahwa adanya pertanggungjawaban yang diminta oleh Stockholm Declaration 1972 dalam segala tindakan pemanfaatan lingkungan.

Rio Declaration 1992 juga memiliki ketentuan dalam hal pertanggungjawaban negara dalam Prinsip 2 yang menyatakan bahwa sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya masing-masing Negara sesuai dengan kebijakan lingkungan dan pembangunan Negara itu sendiri, dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan dalam yurisdiksi atau kontrol Negara tersebut tidak menyebabkan kerusakan pada lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasional.

Selanjutnya, dalam Prinsip 7 dikatakan bahwa Negara harus bekerjasama dalam mendorong kemitraan global untuk melestarikan, melindungi dan memulihkan keutuhan ekosistem bumi.

15 Jawahir Thonthowi. 2016. Op. Cit. halaman 166.

16 Sefriani. 2016. Op. Cit., halaman 275.

17Ida Bagus Wyasa Putra. 2003. Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional. Bandung: PT.

Refika Aditama. halaman 6-7.

18 Ibid. halaman 8.

19 Ida Bagus Wyasa Putra. 2003. Op. Cit. halaman 7.

(8)

Pemenuhan kewajiban internasional yang harus dipenuhi oleh suatu Negara terhadap aktifitas nasionalnya tidak terlepas dari ketentuan dalam pemanfaatan ruang angkasa Space Treaty 1967, dalam Pasal IX diwajibkan bagi Negara peluncur untuk tidak melakukan kegiatan keantariksaan yang menimbulkan pencemaran dan kontaminasi di ruang nagkasa maupun di benda-benda langit lainnya. Sampah ruang angkasa atau space debris merupakan pencemaran yang nyata di ruang angkasa, yang dikhawatirkan dapat menghambat lajunya peningkatan pemanfaatan di ruang angkasa. Namun, baik dari ketentuan Draf ILC 2001, sampai kepada Stockholm Declaration 1972, Rio Declaration 1992 maupun Johannesburg Declaration 2002 secara umum lebih terfokus pada pembahasan mengenai pelestarian lingkungan yang hanya berputar pada wilayah permukaan bumi saja.

Space Treaty 1967 mengandung prinsip common heritage of mankind yang berarti ruang angkasa merupakan warisan bersama seluruh umat manusia, maka ini yang menjadikan prinsip tersebut bersifat ius cogens atau premptory norm of international yang dapat diartikan sebagai norma dasar hukum internasional yang menurut Konvensi Wina 1969 Pasal 5, yaitu suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu norma yang tidak boleh dilanggar dan hanya bisa diubah oleh norma dasar hukum internasional baru yang sama sifatnya. Oleh karena itu, prinsip common heritage of mankind dalam Space Treaty 1967 harus diutamakan oleh seluruh negara tanpa terkecuali, termasuk negara yang bukan merupakan negara peserta penandatanganan Space Treaty 1967 dan melahirkan adanya tanggung jawab yang dipikul oleh masing-masing negara.

C. Penutup

Konsep pertanggungjawaban negara dalam hukum ruang angkasa di satu pihak dirumuskan dalam bentuk pembatasan terhadap kebebasan melakukan aktivitas, termasuk tentunya untuk tujuan komersial, dan di lain pihak berupa kewajiban memberikan ganti rugi apabila aktivitas tersebut menimbulkan kerugian kepada pihak lain.20

Aktivitas yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain, di mana pun kerugian itu terjadi, negara wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan tersebut. Prinsip dan prosedur pemberian ganti rugi ini dijabarkan dalam Liability Convention 1972.21 Hal ini menegaskan bahwa negara peluncur yang meluncurkan satelit ke ruang angkasa haruslah bertanggung jawab terhadap segala hal yang berkaitan dengan peluncuran tersebut terutama dengan benda angkasa yang menjadi space debris di ruang angkasa menjadi tanggung jawab Negara peluncur. Apabila terjadi dampak dalam peluncuran benda angkasa maka berlakulah ketentuan dalam Liability Convention, yang merinci Pasal VII Space Treaty 1967, menentukan Negara peluncur sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh pesawat ruang angkasanya.22

20 E. Saefullah Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja. 1988. Hukum Angkasa dan Perkembangannya.

Bandung: Remadja Karya CV, halaman 167.

21 Ibid., halaman 168.

22 Ibid., halaman 169.

(9)

Daftar Pustaka

Boer Mauna. 2011. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T Alumni.

E. Saefullah Wiradipradja dan Mieke Komar Kantaatmadja. 1988. Hukum Angkasa dan Perkembangannya. Bandung: Remadja Karya CV.

Errya Satrya. 2009. Sampah Antariksa Masalah Di Masa Kini dan Esok. Berita Dirgantara Vol.

10 No.3..

Harjono. 1999. Politik Hukum Perjanjian Internasional. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset.

Huala Adolf. 2002. Aspek Aspek Negara Dalam Hukum International. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Ida Bagus Wyasa Putra. 2001. Tanggung jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Ida Bagus Wyasa Putra. 2003. Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional. Bandung: PT. Refika Aditama.

Jawahir Thonthowi. 2016. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: UII Press.

Juajir Sumardi. 1996. Hukum Ruang Angkasa Suatu Pengantar. Jakarta: PT.Pradnya Paramita.

K. Martono dan Amad Sudiro. 2011. Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada.

Sefriani. 2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Sefriani. 2016. Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

a) Wawancara, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Pengumpulan data melalui berupa tanya jawab dengan

Meskipun ada saja sejumlah masalah pelanggan yang tidak dapat diselesaikan dengan sukses, organisasi yang memiliki tim dengan posisi terbaik, menggunakan alat terbaik,

Pengertian teori pendidikan personal ditandai dengan pandangan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan membawa potensi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sama seperti konsep

dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskan nya, mencari dan menemukan

• Berpikir Win-Win bukan maksudnya agar kita selalu menjadi orang baik, juga bukan berarti agar kita berupaya dengan cepat menyelesaikan masalah atau mengambil keputusan;

Maka apabila kita menganalisa pelbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk

Filsuf paling awal meletakkan dasar filsafat secara modern dengan cara menyelidiki subjektivitas manusia dengan pendekatan rasio adalah Rene Descartes, melalui Descarteslah

Paunonen (2010) mainitsee, että taloa on kutsuttu Dom- maksi , mutta aineistoni informantti kuitenkin puhuu vain Domuksesta , joka on latinaa ja tarkoittaa taloa tai