• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Umum Ikan Kurisi (Nemipterus furcosus)

Ikan kurisi merupakan salah satu ikan yang termasuk kelompok ikan demersal. Ikan ini memiliki ciri-ciri tubuh yang berukuran kecil, badan langsing dan padat. Tipe mulutnya terminal dengan bentuk gigi kecil membujur dan gigi taring pada rahang atas. Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Sisik dibagian badan lebih besar dan berbentuk seperti sisir dan kasar bila disentuh. Sebuah garis rusuk (linea lateral) dengan satu sisik atau lebih. Warna sangat bervariasi, seperti kemerah-merahan, kecoklat-coklatan, merah kekuningan ataupun kehijau-hijauan (Fischer & Whitehead 1974).

Ciri-ciri ikan kurisi lainnya yaitu sirip dorsal terdiri dari 10 duri keras dan 9 duri lunak, sirip anal terdiri dari 3 duri keras dan 7 duri lunak. Ikan betina umumnya mendominasi pada ukuran tubuh yang lebih kecil dan ikan jantan mendominasi ukuran tubuh yang lebih besar. Terdapat totol berwarna jingga atau merah terang dekat pangkal garis rusuk (linea lateral). Sirip dorsal berwarna merah, dengan garis tepi berwarna kuning atau jingga (www.fishbase.org).

Klasifikasi ikan kurisi (Nemipterus furcosus) tersebut berdasarkan www.zipcodezoo.com (2011) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Nemipteridae Genus : Nemipterus

Spesies : Nemipterus furcosus (Valenciennes, 1830) Nama Indonesia : Kurisi

(2)

Gambar 2. Ikan kurisi (Nemipterus furcosus)

Semua famili Nemipteridae adalah karnivor yang memakan ikan-ikan kecil, crustacea, dan Polychaeta (Russell 1990). Oleh karena itu ikan kurisi termasuk hewan karnivor. Hal ini dapat dilihat dari susunan giginya yang tajam. Makanan ikan kurisi yang dominan adalah crustacea dan ikan kecil. Pada perairan yang dangkal (10-30 meter) komponen makanan yang lebih dominan adalah jenis udang (Crustacea), misalnya Metapenaeus, Parapenaeus dan Parapenaeosis. Sedangkan pada perairan yang lebih dalam (30-50 meter) komponen makanan yang paling penting adalah ikan-ikan kecil (Burhanuddin et al. 1984).

2.2. Distribusi dan Alat Tangkap Ikan Kurisi (N. furcosus)

Ikan-ikan famili Nemipteridae hidup di dekat dasar dengan tipe substrat berlumpur dan berpasir pada daerah pantai (inshore) dan paling baik pada daerah lepas pantai (offshore) sampai pada kedalaman lebih kurang 3000 meter, meskipun pada kebanyakan spesies terdapat pada perairan dangkal (Russell 1990). Tarigan (1995) menyatakan bahwa ikan-ikan berukuran kecil hidup di perairan dangkal, sedangkan yang berukuran lebih besar hidup pada kedalaman lebih dari 60 meter. Widodo (1980) in Tarigan (1995) menyatakan bahwa hasil tangkapan tertinggi famili Nemipteridae di Laut Jawa adalah pada kedalaman lebih dari 60 meter.

Ikan kurisi termasuk jenis ikan demersal berdasarkan tempat hidupnya. Direktorat Jendral Perikanan in Tarigan (1995) menginformasikan bahwa ikan demersal di perairan Indonesia umumnya terkonsentrasi pada kedalaman antara 30– 60 meter. Umumnya ikan kurisi (Nemipterus spp.) dapat hidup di perairan tropik

(3)

dan subtropik. Daerah penyebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di perairan Indonesia hampir terdapat di seluruh perairan Nusantara. Penyebaran ikan ini dapat dilihat pada Gambar 3.  

 

 

Gambar 3. Daerah sebaran ikan kurisi (Nemipterus furcosus) Sumber : www.fishbase.org(2011)

Pada prinsipnya alat tangkap dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu tipe statis, ditarik oleh kapal, dilingkarkan pada gerombolan ikan dan alat tangkap aktif lainnya (Siregar 1997). Ikan kurisi dapat tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik, payang, jaring insang, rawai, pancing, sero, trawl dan bubu (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005). Namun umumnya ikan kurisi yang didaratkan di PPN Karangantu ini tertangkap dengan jaring dogol. Jaring dogol biasanya digunakan untuk menangkap ikan yang berada di dasar perairan atau termasuk ikan demersal. Kapal yang digunakan untuk menangkap ikan kurisi ini umumnya berukuran 6 GT.

 

Gambar 4. Alat tangkap jaring dogol Sumber : www.kabarpagimu.blogspot.com (2011)

(4)

Dogol merupakan alat tangkap ikan berkantong tanpa alat pembuka mulut jaring. Pengoperasian alat ini menggunakan alat bantu mesin gardan berkekuatan sekitar 6 PK yang berfungsi untuk menarik jaring. Menurut Monintja & Martasuganda (1991), jaring dogol terdiri dari kantong, dua buah sayap, dua buah tali ris, tali selembar serta pelampung dan pemberat. Ciri khusus alat ini adalah bibir atas dan mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah atau tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas untuk mencegah ikan lari ke arah vertikal.

2.3. Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina dalam suatu populasi. Perbedaan jenis kelamin dapat ditentukan melalui perbedaan morfologi tubuh atau perbedaan warna tubuh. Kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu ratio 1:1 (Bal & Rao 1984 in Tampubolon 2008). Nisbah kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006).

Menurut Effendie (2002), perbandingan rasio di alam tidaklah mutlak. Hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan. Keseimbangan nisbah kelamin dapat berubah menjelang pemijahan. Ikan yang melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina dalam kondisi yang seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina.

2.4. Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Pencatatan tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi maupun yang tidak. Tahap perkembangan gonad terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad dan tahap pematangan gonad (Affandi et al. 2007).

(5)

Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti ikan akan memijah,

baru memijah atau sudah selesai memijah. Pendugaan puncak pemijahan dapat

dilakukan berdasarkan persentase jumlah ikan matang gonad pada suatu waktu (Sulistiono et al. 2001 in Tampubolon 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, dan adanya individu yang berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah yang sama) (Tampubolon 2008). Secara alamiah TKG akan berkembang menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006). Umumnya semakin tinggi TKG suatu ikan, maka panjang dan bobot tubuh pun semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh lingkungan dimana ikan tersebut hidup (Yustina 2002).

2.5. Sebaran Frekuensi Panjang

Pada dasarnya metode pendugaan stok memerlukan masukan data komposisi umur. Data komposisi umur pada perairan beriklim sedang biasanya diperoleh dengan melakukan perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian keras tubuh ikan, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya (Sparre & Venema 1999).

Beberapa metode numerik mulai dikembangkan untuk melakukan konversi atas data frekuensi panjang dalam komposisi umur. Oleh karena itu, pendugaan stok spesies tropis merupakan analisis frekuensi panjang total ikan. Tujuan dilakukannya analisis data frekuensi panjang ialah untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis tersebut digunakan dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999).

Metode pendugaan pertumbuhan berdasarkan data frekuensi panjang telah digunakan secara luas di bidang perikanan, biasanya digunakan jika metode lainnya seperti mengetahui umur tidak dapat dilakukan (Sparre & Venema 1999).

(6)

2.6. Pertumbuhan

Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar dikontrol, seperti keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan, namun masih ada faktor luar lainnya yang mempengaruhi seperti, kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari) (Effendie 2002). Menurut King (1995) bahwa sejumlah makanan yang dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya digunakan untuk pemeliharaan tubuh, aktivitas dan produksi. Hanya sepertiga bagian yang digunakan untuk pertumbuhan.

2.6.1. Hubungan panjang bobot

Analisis hubungan panjang bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Hal tersebut dapat digunakan untuk kegiatan pengelolaan perikanan. Effendie (2002) menyatakan bahwa bobot dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya, dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang.

Hasil analisis hubungan panjang-bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yaitu harga pangkat yang menunjukan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memilki pola pertumbuhan isometrik (b=0), pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b≠3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan allometrik positif, bila b>3, yang menandakan bahwa pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan allometrik negatif apabila b<3, ini menandakan bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot (Ricker 1970 in Effendie 2002).

(7)

2.6.2. Parameter Pertumbuhan (L∞, K, dan t0)

Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat memberikan representasi pertumbuhan populasi dengan baik. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga dapat digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan (Beverton & Holt 1957). Menurut Sparre & Venema (1999) parameter ikan memilki peran yang penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi yang sederhana adalah untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat diketahui umur ikan pada saat panjang tertentu. Dengan demikian, penyusunan perencanaan pengelolaan akan lebih mudah.

Metode Ford Walford merupakan metode sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre & Venema 1999). Metode ini memerlukan masukan data panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan dengan menggunakan metode Battacharya (Sparre & Venema 1999).

2.6.3. Faktor Kondisi

Faktor Kondisi menyatakan kemontokan ikan dengan angka. Faktor kondisi ini disebut juga Ponderal’s index (Legler 1961 in Effendie 2002). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan Faktor kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dengan individu lain atau satu kelompok dengan kelompok lain. Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King 1995). Variasi nilai kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (Effendie 2002). Faktor kondisi tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan ikan kurang mendapat asupan makanan (Effendie 2002).

(8)

2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) dapat digunakan untuk menduga mortalitas penangkapan (F) dan mortalitas alami (M). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan, seperti pemangsaan, termasuk kanibalisme, penyakit, stres, pemijahan, kelaparan dan usia tua. Laju mortalitas akan berbeda pada spesies yang sama dengan wilayah yang berbeda tergantung dari kepadatan pemangsaan dan pesaing yang kelimpahannya dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan (Sparre & Venema 1999).

Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu K dan L∞. Semakin tinggi nilai K (pertumbuhan cepat) maka mortalitas alami (M) juga semakin tinggi dan begitu pun sebaliknya. Nilai M juga berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1984), faktor yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L∞) dan laju pertumbuhan. Sedangkan mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999).

Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Dengan kata lain laju eksploitasi adalah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik alami maupun penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa suatu stok yang dieksploitasi secara optimum, maka laju mortalitas penagkapannya (F) akan setara dengan laju mortalitas alaminya (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Menurut King (1995), penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan.

2.8. Model Produksi Surplus

Model produksi surplus digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktifitas stok secara jangka panjang,

(9)

yang bisa disebut dengan hasil tangkapan maksimum lestari. Model produksi surplus bisa diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya per spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan yang substantial selama waktu yang dicakup (Sparre & Venema 1999).

Model produksi surplus merupakan model yang sangat sederhana dan murah biayanya. Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan (Sparre & Venema 1999). Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model surplus hasil tangkapan banyak digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis.

Model produksi surplus dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999). Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal yang sulit ditentukan. Oleh sebab itu, penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan menggunakan beberapa metode lain. Model ini dapat dipergunakan dalam menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, demersal kecil, demersal besar, udang dan krustasea lainnya, serta moluska (Widodo et al. 1998 in Syakila 2009).

(10)

Persyaratan untuk analisis model produksi surplus hasil tangkapan adalah sebagai berikut (Sparre & Venema 1999):

1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif.

2) Distribusi ikan menyebar merata.

3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam.

Asumsi yang digunakan dalam model surplus hasil tangkapan menurut Sparre &Venema (1999) adalah :

1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium

Pada keadaan ekuilibrium, hasil tangkapan biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.

2) Asumsi biologi

Alasan biologi yang mendukung model surplus hasil tangkapan telah dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut :

a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi hasil tangkapan berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen.

b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil. Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan lebih sedikit, dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup dan dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan.

c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi.

(11)

3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap

Pada model surplus hasil tangkapan diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.

2.9. Ketidakpastian Hasil Tangkapan

Perikanan merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan saling terkait. Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan mendefinisikan perikanan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber perikanan merupakan komoditas yang memiliki karakteristik yang berbeda dan rumit bila dibandingkan dengan komoditas lainnya. Karakteristik yang berbeda tersebut menghasilkan berbagai macam ketidakpastian serta menimbulkan resiko yang dapat mengganggu sektor perikanan tersebut. Sumberdaya perikanan tidak hanya dibutuhkan saat ini saja akan tetapi generasi yang akan datang memerlukan sumberdaya perikanan untuk berbagai kepentingan. Sumberdaya perikanan ini memerlukan pengolahan yang tepat dan cermat oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) dan didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan (Charles 2001).

Sumber ketidakpastian muncul dalam sistem perikanan baik secara alamiah maupun dari sisi manusia dan manajemen yang dapat dilihat pada Tabel 2. Dampak ketidakpastian akan menimbulkan resiko dalam sistem perikanan apabila tidak diatasi akan mengancam sistem perikanan (Charles 2001).

(12)

Tabel 2. Sumber-sumber ketidakpastian dalam perikanan

Sumber yang bersifat alami Sumber yang bersifat dari manusiadan manajemen

Ukuran stok dan struktur umur ikan Harga ikan dan struktur pasar Mortalitas alami Biaya operasional dan biaya

Predator-prey Perubahan tekhnologi

Heterogenitas ruang Sasaran pengelolaan

Migrasi Sasaran nelayan

Parameter "stock-assessment" Respon nelayan terhadap peraturan Hubungan "stock-recuitment" Perbedaan persepsi terhadap stok ikan Interaksi multispesies Perilaku konsumen

Interksi ikan dengan lingkungan Discount rate Sumber : Charles (2001)

Sektor perikanan merupakan kegiatan ekonomi berbeda dengan kegiatan perekonomian lainnya, tidak ada satu orang pun dapat memastikan berapa banyak sumberdaya setiap tahunnya, berapa banyak produksi yang harus dihasilkan setiap tahun, atau berakibat terhadap produksi dimasa yang akan datang ketersediaan ikan (Charles 2001).

Berikut ini beberapa tipologi ketidakpastian yang dijelaskan oleh Charles (2001) yaitu:

1. Randomness/ Process Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang menyangkut dengan proses dalam sistem perikanan yang bersifat random (acak).

2. Parameter and State Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian dalam konteks ketidakakuratan yang dibagi menjadi tiga macam:

a. Observation Uncertainty, ketidakpastian perikanan karena keterbatasan observasi (ketidakpastian variable perikanan yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-management.

b. Model Uncertainty, ketidakpastian dalam memprediksi model sistem perikanan.

c. Estimation Uncertainty, ketidakpastian sebagai akibat dari ketidakakuratan estimasi.

3. Structural Uncertainty, yaitu tipologi ketidakpastian yang muncul akibat dari proses struktural dalam pengelolaan perikanan.

(13)

a. Implementation Uncertainty, ketidakpastian implementasi yang muncul akibat dari proses structural dalam pengelolaan perikanan.

b. Instutional Uncertainty, ketidakpastian dalam pengelolaan perikanan sebagai sebuah institusi atau ketidakpastian “value system” dalam perikanan.

Fluktuasi pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan dalam perikanan, baik dari segi produksi, harga, maupun jumlah populasi ikan yang ada. Jika dalam model prediksi, nilai dari parameter tidak diketahui, maka keputusan yang dihasilkan bagi pengelolaan dapat menjadi suatu kesalahan yang dapat menimbulkan resiko sebagai akibat dari ketidakpastian tersebut. Pemahaman mengenai resiko dalam suatu sistem perikanan sangat dibutuhkan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dalam jangka pendek ataupun panjang serta sebagai suatu upaya untuk mengurangi dan mengatasi resiko yang telah terjadi. Secara umum terdapat dua metodologi dalam menganalisis resiko (Surya 2004), yaitu :

1. Secara kuantitatif, dimana analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi resiko kemungkinan kerusakan atau kegagalan sistem informasi dan memprediksi besarnya kerugian berdasarkan formula-formula matematis yang dihubungkan dengan nilai-nilai finansial.

2. Secara kualitatif, dimana merupakan suatu analisis yang menentukan resiko tantangan organisasi. Penilaian dilakukan berdasarkan intuisi, tingkat keahlian dalam menilai jumlah resiko yang mungkin terjadi dan potensi kerusakannya.

Dalam pengelolaan perikanan sendiri, pemahaman mengenai resiko dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Risk Assessment (penaksiran resiko) digunakan untuk menganalisis ketidakpastian, mengukur resiko, memprediksi hasil perikanan, serta dapat memberikan skenario pengelolaan. Tujuan dari Risk Assessment ada dua, yaitu: a. Menentukan besarnya resiko ketidakpastian yang timbul dari adanya fluktuasi

acak, pendugaan pengukuran parameter yang tidak tepat dan ketidakpastian yang berkenaan dengan keadaan alam. Hal ini dapat dicapai melalui analisis statistik dengan menggunakan time-series data.

b. Memprediksi resiko secara kuantitatif dari hal-hal pasti yang akan terjadi akan tetapi kejadian tersebut tidak diinginkan. Hal ini dapat dianalisis dengan

(14)

pendekatan simulasi stok untuk mengestimasi implikasi jangka panjang (risks) dari sebuah skenario pengelolaan.

2. Risk Management (pengelolaan resiko) merupakan upaya untuk mengatur, mengurangi atau mengatasi resiko dalam sistem perikanan, melalui beberapa teknik analisis dengan merancang rencana pengelolaan yang optimal dalam kondisi ketidakpastian. Hal ini dapat dicapai dengan prinsip adaptive management. Adapun ide dasar dari prinsip adaptive management adalah menghitung resiko dengan memanfaatkan bukan mencari informasi. Adaptive management terdiri dari tiga model, yaitu:

a. Non-adaptive models; pengukuran ketidakpastian yang terlalu berlebihan. b. Passive adaptive models; memperbaharui pengukuran tanpa mempedulikan

perubahan-perubahan yang terjadi di masa yang akan datang

c. Active adaptive models; nilai-nilai informasi yang terdapat di masa yang akan datang dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan.

2.10. Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (FAO 1997). Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas akibat penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo & Suadi 2006).

Menurut Sinaga (2010), pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan. Besarnya sumberdaya ikan laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan dalam proses penangkapannya, karena sumberdaya ikan ini merupakan milik bersama (common property) yang setiap orang berhak memanfaatkannya (open access). Persaingan yang dilakukan pelaku perikanan terlihat dari usaha yang dilakukan menggunakan teknologi yang terus berkembang dan dieksploitasi secara

(15)

terus-menerus hingga terjadi konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan yang ada semakin menipis.

Pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer & Azis 2007).

Gambar

Gambar 2.  Ikan kurisi (Nemipterus furcosus)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: menganalisis bagaimana

Temuan tersebut adalah bahwa tingkat keterbacaan teks buku model bahasa Indonesia tematik SD kelas tinggi Kurikulum 2013 hampir sebagian besar (&gt;80%) kurang

PENDIDIKAN PANCASILA (T) (AT101) (B) (2) KEWARGANEGARAAN SI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SI PENDIDIKAN PANCASILA

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh pihak manajemen perbankan dalam menggalakkan penggunaan fasilitas

22 ADHITYA NUGRAHA, S.IP, M.AP Kepala Seksi Aparatur Dan Pengembangan Desa/Kelurahan Pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Kesatuan Bangsa Dan Politik Kota Banjar. 23 SAMSU,

a. Guru menjelaskan tujuan yang ingin dicapai dari setiap belajar yang sesuai dengan materi pelajaran matematika. Guru bersama siswa membahas materi pelajaran

Pada penelitian ini telah diperoleh hasil peningkatan belajar peserta didik, yang mana dengan adanya model PBL pada proses pembelajaran, maka mampu meningkatkan

leprosula merupakan jenis dengan persebaran geografis yang luas tetapi ternyata dalam penelitian ini tingkat diferensiasi keragaman genetik antar populasi jenis ini