• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN

MODEL PENELITIAN

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Stroke dan Dampaknya 2.1.1.1. Pengertian stroke

Black dan Hawks, (2005) mengatakan bahwa stroke adalah perubahan neurologis yang diakibatkan oleh interupsi aliran darah menuju ke bagian-bagian otak tertentu. Stroke adalah gangguan aliran darah ke otak secara tiba-tiba atau mendadak (Stroke Center, 2007). Menurut Smeltzer dan Bare (2008) stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan aliran darah serebral. Stroke adalah sistem neurologi yang mempunyai awitan mendadak dan berlangsung dalam waktu 24 jam sebagai akibat dari cerebravaskuler disease (CVD) (Hudak, 1996). Dari semua difinisi diatas secara singkat dapat disimpulkan bahwa stroke adalah terjadi berbagai perubahan pada beberapa fungsi neurologis yang dapat ringan sampai berat yang diakibatkan oleh gangguan pembuluh darah otak. Gangguan diluar penyebab ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai stroke.

2.1.1.2. Klasifikasi

Stroke dapat diklasifikasikan menurut etiologi dan perjalanan penyakitnya a. Klasifikasi stroke menurut etiologinya

(2)

1) Stroke non hemoragik adalah stroke yang menimbulkan jaringan otak mengalami iskemik dan berlanjut pada nekrosis. Terjadi karena adanya proses trombosis, emboli dan spasme pembuluh darah otak.

2) Stroke Hemoragik adalah stroke yang menimbulkan perdarahan pada trombosis seperti intraserebral hemoragik, epidural hematom, subdural

hematom, subarachnoid hematom yang mana disebabkan oleh pecahnya

pembuluh darah otak baik karena hipertensi yang berlebihan ataupun pecahnya aneorisma serebral.

b. Klasifikasi stroke menurut perjalanan penyakitnya

Stroke diklasifikasikan juga sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Perjalanan tersebut dapat dilihat dari kronologis kejadian awal mulainnya serangan stroke. Menurut perjalanan penyakitnya, maka stroke dapat diklasifikasikan menjadi :

1).Transient Ischemic Attacks (TIA)

TIA merupakan gangguan neurologis fokal yang timbul secara tiba-tiba dan pulih kembali dalam beberapa detik sampai beberapa jam, paling lama 24 jam. Tanda dan gejala dari kelompok ini adalah gangguan neurologis, terjadi selama beberapa detik sampai beberapa jam dan gejala hilang sempurna kurang dari 24 jam.

2).Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)

RIND mirip dengan TIA’s tetapi kejadiannya lebih lama dari pada TIA’s dimana gejala hilang lebih dari 24 jam tetapi tidak lebih dari satu minggu

(3)

3).Stroke Progresif (Stroke in evolution)

Stroke in evolution merupakan perkembangan stroke kearah yang lebih

berat yang terjadi secara perlahan yang dapat menyebabkan kelainan neurologis menetap (permanen) dengan karakteristik seperti : selain gejala TIA’s diatas gejala yang paling menonjol adalah munculnya tanda dan gejala makin lama makin bertambah buruk yang dapat terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari.

4).Stroke komplit (Stroke complete)

Stroke komplit atau stroke lengkap adalah stroke yang menunjukkan gangguan neurologis yang permanen sejak awal serangan dan sedikit sekali memperlihatkan perbaikan. Karakteristik utama yang menjadi defisit kelompok ini adalah berawal dari serangan TIA yang berulang diikuti oleh stroke in evolution. Kelainan neurologi yang terjadi bersifat menetap. Perbaikan gangguan neurologis terjadi sedikit dan akan banyak menimbulkan gejala sisa. Selanjutnya, mungkin akan menetap sampai beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun.

2.1.1.3. Penyebab dan faktor risiko

Hudak, dkk (1996) menyatakan bahwa stroke biasanya terjadi disebabkan oleh salah satu dari empat kejadian di bawah , yaitu:

a. Trombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher, yang kemudian menyumbat aliran darah otak. Trombosis bersama dengan

(4)

emboli hampir menjadi penyebab sekitar tiga perempat dari semua kasus stroke.

b. Emboli serebral yaitu bekuan darah atau lainnya seperti lemak yang mengalir melalui pembuluh darah dibawa ke otak, dan menyumbat aliran darah bagian otak tertentu.

c. Spasme pembuluh darah cerebral yaitu terjadi penurunan aliran darah ke area otak tertentu yang bersifat sementara. Biasanya sebagai akibat dari spasme pembuluh darah otak tertentu.

d. Hemoragik serebral atau perdarahan serebral yang terjadi dalam ruang otak yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak sehingga menimbulkan stroke hemoragik. Stroke jenis ini terjadi sekitar satu pertiga dari seluruh kejadian stroke dan prosentasi penyebab kematian lebih besar dari stroke iskemik atau stroke non hemoragik.

Faktor risiko terjadinya stroke terbagi atas dua yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah gaya hidup. Beberapa penyakit yang diakibatkan oleh perubahan gaya hidup dan dapat menyebabkan terjadinya stroke yaitu hipertensi, diabetes militus, gangguan jantung (miokardium infark) dan hiperlepidemia. Hipertensi merupakan faktor risiko tertinggi untuk terjadinya stroke. Autoregulasi serebral tidak efektif bila tekanan darah sistemik di bawah 50 mmHg dan di atas 160 mmHg (Lemone dan Burke, 2008). Pengontrolan tekanan darah yang adekuat dapat menurunkan serangan stroke sebesar 38% (Biller dan Love, 2000,

(5)

dalam Black dan Hawks, 2005). Diabetes mellitus (DM) merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian stroke dan kematian setelah serangan stroke (Ignativius dan Workman, 2006). Faktor risiko stroke lainnya yang dapat dimodifikasi yaitu hiperlipidemia, merokok, pemakai alkohol, pemakai kokain dan kegemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peminum alkohol berat dapat meningkatkan kejadian stroke, (Reynolds, 2003 dalam Black dan Hawks, 2005). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya : usia, jenis kelamin, ras (American Heart Association, 2000 dalam Smeltzer dan Bare, 2008). Lebih lanjut dikatakan bahwa risiko tinggi terjadinya stroke pada kelompok usia 55 tahun. Laki-laki lebih tinggi risiko mendapat serangan stroke dari pada wanita.

2.1.1.4. Patofisiologi

Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran darah ke otak berkurang atau terhenti sama sekali ke daerah distal otak yang mengalami thrombus dan emboli sehingga otak kekurangan sumber kalori berupa glukosa dan mineral lain serta oksigen. Iskemia terjadi ketika aliran darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit. Akibatnya neuron tidak bisa mempertahankan metabolisme (respirasi) aerobnya. Mitokondria berubah menjadi respirasi anaerob sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan pH. Perubahan bentuk metabolisme ini juga mengakibatkan penurunan jumlah neuron dalam memproduksi adenosin triphospate (ATP) yang akan dijadikan sumber energi dalam aktivitas sel neuron berupa proses depolarisasi.

(6)

Penurunan aliran darah serebral menyebabkan terjadinya daerah penumbra dan berkembang menjadi daerah infark. Daerah penumbra yaitu daerah otak yang iskemik dan terdapat pada daerah sekitar yang mengelilingi daerah infark. Daerah ini dapat segera mengalami infark jika tidak dilakukan tindakan penyelamatan. Daerah ini dapat diselamatkan dengan meningkatkan aliran darah serebral menuju ke daerah tersebut dalam waktu yang cepat. Jika hal ini berlanjut akan mengakibatkan bertambahnya kerusakan pada selaput sel. Akibat yang timbul adalah kalsium dan glutamat banyak terbuang, terjadi vasokontriksi dan menghasilkan radikal bebas. Proses ini memperbesar area infark pada penumbra dan memperberat gangguan neurologis terutama stroke iskemik. Area infark dan penumbra ini akan menimbulkan bertambah luasnya edema otak disekitar penumbra dan infark sebagai akibat tekananan dan iskemia sehingga menyebabkan gangguan sistem saraf yang lebih luas yang bersifat sementara. Area edema ini akan berkurang dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari sehingga gangguan saraf secara perlahan dapat kembali normal sesuai dengan perkembangan proses yang terjadi.

Proses evolusi dari jaringan iskemik kearah infark ini cukup cepat. Iskemik selama 8 sampai 12 jam menimbulkan keadaan dimana neuron mengecil, sitoplasma, nukleus rusak dan sel mati (Dutka, 1991 dalam Hickey, 1997).

Cerebral Blood Flow (CBF) sebesar 18 ml per 100 gram per menit selama 4 jam

akan menimbulkan infark. CBF sebesar 15 ml per 100 gram per menit, akan menimbulkan infark dalam 3,5 jam, CBF 10 ml per 100 gram per menit akan

(7)

menjadikan proses infark dalam 3 jam dan CBF 5 ml per 100 gram per menit menimbulkan infark dalam 30 menit (Nortje dan Menon, 2004).

Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan penyebab perdarahan otak dan lokasi perdarahannya. Perdarahan subaraknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada area sirkulus willis dan kelainan bentuk arteri-vena (AV). Perdarahan tersebut dapat menyebabkan meningkatnya tekanan dalam otak yang menimbulkan terjadinya proses menekan dan merusak jaringan otak sekitarnya. Daerah yang tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan menambah tekanan intrakranial semakin berat. Perdarahan

subarakhanoid juga disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat

terjadinya penurunan tekanan perfusi dan vasospasme.

Perdarahan intraserebral paling sering terjadi pada pasien stroke dengan hipertensi dan aterosklerosis. Perdarahan intraserebral juga bisa disebabkan oleh tumor otak dan penggunaan obat-obatan seperti obat oral antikoagulan dan amphetamine. Perdarahan biasanya terjadi pada daerah seperti lobus otak, basal ganglia, thalamus, pons dan serebellum. Perdarahan dapat juga terjadi pada intraventrikular (Black dan Hawks, 2005).

Kerusakan sel otak menyebabkan terjadinya defisit neurologis. Defisit neurologis berkaitan erat dengan daerah serebral yang terkena (infark). Defisit neurologis biasanya terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah infark. Hal ini terjadi karena adanya penyilangan jalur motor neuron. Penyilangan terjadi pada diskus piramidalis (decussation of pyramids).

(8)

2.1.1.5. Tanda dan gejala

Manifestasi stroke sangat beragam, tergantung dari arteri serebral yang terkena dan luasnya kerusakan jaringan serebral. Manifestasi klinik yang sering terjadi diantaranya adalah kelemahan pada alat gerak, penurunan kesadaran, gangguan penglihatan, gangguan komunikasi, sakit kepala dan gangguan keseimbangan. Tanda dan gejala ini biasanya terjadi secara mendadak, fokal dan mengenai satu sisi (Lemone dan Burke, 2008).

Geoffrey, et al (2008) menemukan bahwa sebagian besar pasien paska serangan stroke memiliki keterbatasan gerak, gangguan penglihatan, gangguan bicara dan gangguan kognitif. Selain aspek fisik ditemukan pula bahwa pasien paska serangan stroke mengalami gangguan psikologis seperti depresi, cemas, ketakutan dan menarik diri dari kehidupan.

Menurut Hickey, (1997) tanda dan gejala stroke iskemik dihubungkan dengan bagian arteri yang terkena sebagai berikut :

a. Arteri karotis interna

Lokasi lesi yang paling sering biasanya pada bifurkasio arteri karotis komunis yang bercabang menjadi arteri karotis interna dan karotis eksterna. Dapat timbul berbagai sindroma dan polanya tergantung dari jumlah sirkulasi kolateral yang terbentuk. Gejala yang sering tampak adalah :

(1) Paralisis pada wajah, tangan dan kaki bagian sisi yang berlawanan (2) Gangguan sensori pada wajah, tangan dan kaki bagian yang berlawanan (3) Afasia jika yang terkena adalah daerah hemisfer dominan (hemisfer kiri)

(9)

b. Arteri serebri anterior

Arteri ini paling jarang terkena dan bila terkena akan menimbulkan gejala sebagai berikut :

(1) Paralisis pada kaki sisi yang berlawanan (2) Gangguan keseimbangan

(3) Gangguan sensori pada kaki dan jari daerah berlawanan daerah terkena (4) Gangguan kognitif

(5) Inkontinensia urin. c. Arteri serebri posterior

Gejala yang sering muncul pada kelompok ini kususnya dalam lobus otak tengah atau halamus adalah :

(1) Gangguan kesadaran sampai koma (2) Kerusakan memori

(3) Gangguan pengelihatan d. Arteri Serebri media.

Gejala dominan yang ditunjukan bila terkena pada daerah ini adalah : (1) Hemiplegia kontralateral pada kedua ekstremitas

(2) Kadang-kadang hemianopia kontralateral (kebutaan)

(3) Afasia global (kalau hemisfier dominan yang terkena) yaitu gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi.

(10)

2.1.2. Persepsi

Persepsi merupakan proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami lingkungannya melalui pancaindera. Persepsi meliputi suatu interaksi yang kompleks dari kegiatan seleksi, penyusunan dan penafsiran (Thoha, 2007). Robbins dan Judge, (2008) mengatakan persepsi merupakan proses seseorang dalam mengatur dan mengintepretasikan kesan-kesan sensoris dalam rangka memberikan arti bagi lingkungannya. Persepsi menurutnya menjadi hal yang penting karena persepsi merupakan pondasi terbentuknya perilaku.

Banyak faktor yang mempengaruhi persepsi dari seseorang terhadap lingkungannya. Menurut Thoha, (2007) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi persepsi adalah psikologi, keluarga, dan kebudayaan. Robbins dan Judge, (2008) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor situasi, internal individu dan faktor target (objek/stimulus yang masuk).

Keadaan psikologis akan berdampak pada kemampuan pasien paska serangan stroke untuk mempersepsikan lingkungannya. Disamping hal tersebut keluarga juga merupakan faktor penting bagi pasien dalam memberikan persepsinya kepada lingkungan. Lingkungan tersebut dapat merupakan pola komunikasi atau berbagai stimulus yang diterima oleh pasien tersebut. Kebudayaan merupakan cerminan perilaku pasien terhadap keyakinannya. Sehingga persepsi pasien pun akan terpangaruh oleh budayanya tersebut. Budaya memberikan landasan yang cukup kuat bagi pasien dalam mempersepsikan stimulus yang ada. Dalam hal ini keadaan fisik yaitu keterbatasan akibat stroke yang mengharuskan pasien melakukan rehabilitasi medik.

(11)

Kebudayaan orang Bali sangat terpengaruh dari keyakinan dan agama yang dianut. Sebagai besar orang Bali menganut Agama Hindu. Landasan Agama Hindu sangat mendasari budaya yang tercermin dalam perilaku khususnya pasien dan keluarga yang menderita stroke. Pada awalnya masyarakat Bali percaya bahwa orang yang sakit stroke akibat kena “sempengot” (bahasa Bali : black

magic). Dalam perkembangannya masyarakat Bali memandang penyakit stroke

sebagai akibat dari perubahan status kesehatan yang berkaitan dengan hipertensi dan sakit jantung. Penangannya lebih diarahkan ke medis, sebagian juga menggunakan jasa alternatif untuk menyembuhkan penyakit stroke.

2.1.3. Dukungan Sosial pada Pasien Stroke

Dukungan sosial merupakan hal yang penting dalam peningkatan status kesehatan pasien. Dukungan sosial sangat berhubungan dengan variabel lain yang ikut berdampak pada peningkatan status kesehatan pasien. Disamping hal tersebut pasien juga merupakan faktor penting dalam menerima dukungan sosial. Bila dukungan sosial ada namun pasien sendiri tidak mau menerima dukungan tersebut juga tidak terjadi hubungan yang bermakna.

Menurut Serason (1990 dalam Levy dan Pescosolido, 2002) mengatakan bahwa penerima dukungan sosial dipengaruhi oleh dukungan sosial yang diharapkan, hubungan dengan pemberi dukungan dan keadaan stress dari penerima dukungan tersebut. Bila hubungan penerima dengan pemberi dukungan baik, maka dukungan sosial akan mudah dilakukan juga dengan keadaan stress pasien.

(12)

Dukungan sosial dapat berasal dari orang terdekat, keluarga, teman, dan lingkungan sekitarnya. Dukungan sosial dapat memberikan dampak yang besar pada penerima dukungan seperti pasien stroke. Menurut Kaplan et al, (1983 dalam Carr dan Shepherd, 2003) menemukan teori The direct-effect model, yang menjelaskan bahwa dukungan memberikan dampak yang menguntungkan pada pasien baik fisik, psikologis dan kemandirian pasien dalam menghadapi stress dalam meningkatkan status kesehatannya.

Peran koping dalam dukungan sosial juga penting dalam meningkatkan hubungan antara pemberi dukungan dan penerima dukungan. Koping membantu pasien dalam menstabilisasi selama pasien mengalami stress. Koping terdiri dari dua komponen yaitu emosi kognitif dan perilaku (Lazarus dan Folkman, 1984 dalam Carr dan Shepherd, 2003). Menurut Thoitus (1986 dalam Carr dan Shepherd, 2003) menyenbutkan bahwa koping merupakan tindakan yang diambil oleh individu untuk mencapai tujuannya sedangkan dukungan merupakan tindakan yang dilakukan oleh orang lain untuk membantu individu tersebut.

Pemberi dukungan sosial juga termasuk dari pemberi layanan kesehatan diantaranya adalah dokter rehabilitasi medik. Pemberi layanan kesehatan harus terbebas dari stigma terhadap pasien dalam artian tidak mengecilkan arti pasien dengan berbagai keterbatasannya akibat stroke yang dialaminya. Jangan sampai terjadi perbedaan pemahaman terhadap pasien yang mana akan berdampak pada isolasi diri pada pasien dan dukungan pemberi layanan kesehatan akan susah diberikan. Tuner et al, (1998 dalam Carr & Shepherd, 2003) menyatakan bahwa karakteristik pemberi layanan kesehatan merupakan pridiktor dari dukungan

(13)

sosial. Hal ini akan memberikan hubungan yang baik antara pemberi layanan kesehatan dengan pasien.

Selain hal tersebut di atas, dukungan sosial juga dipengaruhi oleh budaya baik pasien maupun pemberi dukungan. Budaya merupakan gambaran perilaku individu. Budaya sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan pola penyakit individu (Trostle, 2005). Pengaruh tersebut dapat terlihat pada perilaku masyarakat dalam melakukan perawatan untuk mengatasi gejala penyakit sebelum didiagnosa dan melakukan perawatan setelah mereka didiagnosa penyakit.

Perilaku perawatan tersebut tertuang dalam kebiasaan masyarakat termasuk keluarga dalam mencari pertolongan yang berkaitan dengan keadaan sakit, seperti stroke. Pengalaman peneliti tentang perilaku masyarakat sebelum menderita stroke sangat jarang untuk melakukan pemeriksaan berkala untuk mencegah dan mengendalikan faktor risiko terjadinya stroke. Setelah terjadi stroke kebanyakan mereka merujuk atau pergi ke dokter, rumah sakit atau klinik sangat jarang sekali pergi ke dukun untuk berobat.

Perilaku pencegahan kecacatan dan rehabilitasi medik sangat jarang dilakukan oleh pasien paska serangan stroke. Dari berbagai informasi didapatkan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya minat pasien untuk melakukan program rehabilitasi medik yaitu dukungan sosial dan lamanya program rehabilitasi medik.

(14)

2.1.3.1. Dukungan keluarga terhadap penderita paska stroke

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Menurut (Friedman, 2000) keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga yang memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulakn bahwa dukungan keluarga merupakan suatu bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan individu dari orang lain melalui hubungan interpersonal yang meliputi perhatian, emosional dan penilaian. Keluarga dipandang sebagai suatu sistem, jika terjadi gangguan salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi seluruh sistem. Ada 4 jenis dukungan sosial keluarga, yaitu sebagai berikut (Friedman, 2000) :

a. Dukungan informasional

Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator informasi munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek – aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Untuk pasien stroke diberikan informasi oleh keluarganya tentang : penyakit stroke serta pengelolaannya.

b. Dukungan emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan belajar serta membantu penguasaan terhadap emosi, diantaranya menjaga hubungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya

(15)

kepercayaan, perhatian dan mendengarkan atau didengarkan saat mengeluarkan perasaannya.

c. Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya keteraturan menjalani terapi, kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat dan terhindarnya penderita dari kelelahan. Dukungan ini juga mencakup bantuan langsung, seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong pekerjaan ada saat penderita mengalami stress.

d. Dukungan penghargaan

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik , membimbing dan menengahi pemecahan masalah. Terjadi lewat ungkapan rasa hormat, diantaranya adalah memberikan penghargaan dan perhatian saat pasien menjalani rehabilitasi.

Jadi dukungan keluarga terhadap pasien stroke baik fase akut maupun paska stroke sangat dibutuhkan untuk mencapai proses penyembuhan/pemulihan.

Dukungan keluarga memainkan peran penting dalam mengintensifkan perasaan sejahtera, orang yang hidup dalam lingkungan yang supportif kondisinya jauh lebih baik daripada mereka yang tidak memilikinya. Dukungan tersebut akan tercipta bila hubungan interpersonal diantara mereka baik. Ikatan kekeluargaan yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena keluarga adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan anggota keluarganya (Friedman, 2000).

(16)

2.1.3.2. Dukungan masyarakat terhadap penderita paska stroke

Pasien paska stroke yang tadinya dapat beraktivitas sendiri, baik di rumah maupun di masyarakat sebagai anggota masyarakat, tiba – tiba tidak mampu melaksanakan kegiatan karena terserang stroke, sehingga menimbulkan depresi. Apalagi di Bali penuh dengan kegiatan kearifan lokal Kulawarga (Menyama –

Braya). Konsep Menyama - Braya merupakan salah satu ciri khas kegiatan

masyarakat (Kersten, 1984). Kehilangan kemampuan melaksanakan kegiatan ini menimbulkan keadaan malu pada pasien. kadang-kadang mereka berpikir akan dikucilkan dari masyarakat karena tidak mampu Menyama – Braya. Hukuman perasaan ini merupakan sanksi moral yang dirasakan oleh pasien paska stroke. Disinilah pentingnya peranan masyarakat dalam membantu pasien paska serangan stroke, untuk terlepas dari hukuman perasaan. Dukungan dari masyrakat merupakan salah satu motivasi pasien paska stroke untuk mampu memulihkan kondisinya menjadi optimal. Menurut Hause, 1985 bahwa dukungan sosial dapat berupa perhatian emosional, bantuan instrumental, pemberian informasi, pemberian penghargaan atau bentuk penilaian kepada individu yang berupa penghargaan dari lingkungan sosialnya. Dukungan sosial yang diperoleh menyebabkan semakin rendah ketegangan psikologis pada pasien paska stroke sehingga dapat menimbulkan penyesuaian diri yang positif ke dalam masyarakat.

(17)

2.1.4. Rehabilitasi Medik pada Penderita Paska Stroke 2.1.4.1. Definisi rehabilitasi stroke

Rehabilitasi stroke merupakan pengelolaan medis dan rehabilitasi komprehensif terhadap disabilitas yang diakibatkan oleh stroke melalui pendekatan neurorehabilitasi dengan tujuan mengoptimalkan dan memodifikasi kemampuan fungsional yang ada sehingga penyandang stroke mau beradaptasi mencapai kemandirian serta kualitas hidup yang lebih baik.

2.1.4.2. Tujuan rehabilitasi medik paska stroke

Adapun tujuan rehabilitasi medik bagi penderita paska stroke adalah :

1) Memperbaiki fungsi motorik, wicara, kognitif dan fungsi lain yang terganggu.

2) Readaptasi sosial dan mental untuk memulihkan hubungan interpesonal dan aktivitas sosial.

3) Dapat melaksanakan kegiatan kehidupan sehari – hari.

2.1.4.3. Tim rehabilitasi medik

Rehabilitasi medik dilakukan oleh tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu : 1. Dokter rehabilitasi medik, sebagai ketua tim yang menyusun program

rehabilitasi medik.

2. Fisioterafis, mengevaluasi gangguan motorik dan sensorik yang mempengaruhi fungsi serta menyesuaikan program fisioterapi secara individu sesuai keadaan pasien.

(18)

3. Okupational terapis, mengevaluasi dan menyusun program yang berhubungan dengan aktivitas kehidupan sehari – hari misalnya cara makan, menulis, berpakaian, membersihkan diri sendiri.

4. Psikologi, mengevaluasi keadaan psikologi penderita termasuk keluarganya

2.1.4.4. Prinsip rehabilitasi medik

Menurut Harsono (1996), ada beberapa prinsip rehabilitasi paska stroke, yaitu : 1. Rehabilitasi dimulai sedini mungkin, bahkan segera sejak dokter melihat

penderita untuk pertama kali.

2. Tidak ada seorang pun yang boleh berbaring lebih lama dari yang diperlukan, karena dapat mengakibatkan komplikasi.

3. Faktor yang terpenting adalah kontinuitas perawatan.

4. Perhatian untuk rehabilitasi diutamakan kepada sisa kemampuan yang masih dapat diperbaiki dengan latihan.

5. Fungsi lain rehabilitasi adalah pencegahan serangan berulang. 6. Penderita merupakan subyek rehabilitasi bukan sebagai objek.

2.1.4.5. Pengaruh rehabilitasi medik

Rehabilitasi medik merupakan pendekatan yang digunakan untuk meningkatkan status fungsional pasien paska serangan stroke. Tujuan utama dari rehabilitasi medik paska serangan stroke adalah mengoptimalisasikan penampilan fungsional secara fisik dan psikologis.

(19)

Program rehabilitasi medik pada pasien paska serangan stroke dilakukan melalui fisioterapi. Fisioterapi merupakan program latihan yang harus dijalankan oleh pasien paska stroke. Dasar utama dari fisioterapi adalah konsep biomekanik. Biomekanik juga memberikan arahan dan metoda dalam mengukur kemajuan yang dialami oleh pasien setelah melakukan program fisioterapi. Peningkatan dan pendekatan biomekanik akan memberikan panduan dalam melakukan latihan yang harus dilakukan oleh pasien sehingga dapat meningkatkan status fungsionalnya. Nudo et al, (2001 dalam Carr dan Shepherd, 2003) mengatakan bahwa latihan yang rutin sesuai dengan mekanika tubuh dapat meningkatkan tingkat fungsional alat gerak tersebut. Hal tersebut dikenal dengan istilah reorganisasi dari organ alat gerak dan sistem saraf.

Selain rehabilitasi fisik, dibutuhkan juga rehabilitasi lingkungan. Rehabilitasi lingkungan merupakan komponen penting dalam meningkatkan hasil rehabilitasi medik pada pasien stroke. Rehabilitasi lingkungan dapat diberikan melalui membangun lingkungan (seting fisik), metoda dalam pemberian program rehabilitasi medik, dan perilaku dari staf yang memberikan program rehabilitasi (Carr dan Shepherd, 2003). Rehabilitasi lingkungan memberikan kenyamanan dan keamanan pasien melakukan program rehabilitasi. Hal ini akan berdampak pada keseriusan dan semangat untuk melakukan program tersebut. Kenyamanan dalam melakukan program rehabilitasi akan berdampak pada ketaatan pasien untuk melakukan program rehabilitasi sesuai dengan jadwal.

Pelaksanaan program rehabilitasi dapat dilakukan berkelompok atau perseorangan tergantung dari kemauan pasien stroke. Latihan berkelompok dapat

(20)

memberikan pengalaman yang berbeda pada pasien. Dalam kelompok tersebut akan terjadi berbagi pengalaman satu sama lain. Hal tersebut akan berdampak pada ketaatan pasien dalam menjalankan program tersebut. Kegiatan dalam kelompok dapat dibentuk senyaman dan sesantai mungkin sehingga setiap anggota kelompok dapat melakukan program rehabilitasi dengan baik dan tanpa beban untuk melakukannya. Latihan bersama dengan teman senasib menberikan hasil yang lebih efektif dalam mencapai tujuan rehabilitasi medik pada pasien stroke (Shea et all, 1999 dalam Carr dan Shepherd, 2003).

Latihan berkelompok dapat meningkatkan organisasi, kerjasama dan komunikasi antar anggota kelompok yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas dari hasil program tersebut. Cara dan kekurangan dalam pelaksanaan program latihan dapat didiskusikan dalam kelompok sehingga ada peningkatan pemahaman, sikap dan tanggung jawab pasien stroke untuk melakukan program rehabilitasi medik.

2.1.4.6. Tahap rehabilitasi medik stroke

Program rehabilitasi memberikan keleluasaan pasien untuk melakukan program tersebut. Ada beberapa latihan yang dilakukan dalam program rehabilitasi medik yang pada dasarnya bertujuan meningkatkan status fungsional fisik, psikologis dan sosial. Latihan rehabilitasi medik meliputi keseimbangan, berjalan, berdiri dan duduk, meraih dan memanipulasi benda. Semua gerakan tersebut dilakukan dengan prinsip biomekanikal.

(21)

Asessment Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi serta penulisan diagnosis

fungsional dibedakan dalam tiga fase yaitu fase akut, fase subakut (fase pemulihan) dan fase lanjut (fase kronis).

1. Rehabilitasi fase akut

Stroke fase akut ditandai oleh keadaan hemodinamis dan neurologis yang belum stabil. Fase ini dapat berlangsung beberapa hari sampai dengan 2 minggu pasca stroke, tergantung jenis dan keparahan stroke yang terjadi. Program yang dijalankan oleh rehabilitasi medik biasanya latihan aktif dimulai dari sesudah prosesnya stabil 24 – 27 jam sesudah serangan.

2. Rehabilitasi fase subakut

Stroke fase subakut atau fase pemulihan ditandai oleh adanya pemulihan dan reorganisasi pada sistem saraf. Fase pemulihan ini umumnya berlangsung mulai 2 minggu sampai dengan 6 bulan pasca stroke. Fase ini merupakan fase penting untuk pemulihan fungsional.

3. Rehabilitasi fase lanjut/fase kronis

Stroke fase lanjut atau kronis ditandai dengan selesainya reorganisasi sistem saraf. Pemulihan selanjutnya yang masih mungkin terjadi merupakan proses pemulihan fungsional yang didasarkan pada adaptasi dan kompensasi terhadap disabilitas yang ada. Fase ini umumnya terjadi setelah 6 bulan pasca stroke. Terapi ini biasanya sudah dimulai pada stadium sub akut dengan melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin. Anggota keluarga harus terlibat dalam proses pemulihan karena petugas rehabilitasi medik tidak dapat melakukan pemulihan tanpa bantuan keluarga dan penderita paska

(22)

stroke juga memerlukan dukungan serta dorongan dari keluarga untuk tetap semangat (Purwanti, 2008).

2.2. Kerangka Berpikir, Konsep Penelitian

2.2.1. Pasien Paska Stroke

Pasien paska stroke adalah pasien yang menderita stroke minimal 3 bulan yaitu pasien yang menurut rehabilitasi medik masuk dalam fase pemulihan/fase sub akut (2 minggu – 6 bulan paska serangan stroke).

Serangan stroke dapat mengakibatkan gangguan fisik yaitu kelumpuhan sebagian alat gerak yang dapat mempengaruhi fungsi psikologi. Secara psikologis pasien akan mengalami deprsei, merasa tak berguna, merasa putus asa, merasa selalu membebani orang lain. Perubahan yang dialami membuat pasien memiliki persepsi bahwa dirinya tidak berguna lagi karena hidup mereka lebih banyak bergantung pada orang lain. Keadaan ini menyebabkan pasien paska stroke memerlukan pemulihan baik fisik maupun psikologi dalam upaya rehabilitasi medik paska stroke.

2.2.2. Keluarga, Caregiver

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan yang hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dalam perannya untuk menciptakan dan mempertahankan keadaannya. Keluarga berfungsi sebagai pendukung bagi anggotanya. Dukungan keluarga merupakan

(23)

suatu bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan individu melalui hubungan interpersonal yang meliputi perhatian dan emosional.

Keluarga atau orang – orang terdekat yang merawat, melatih pasien paska stroke untuk melaksanakan aktivitas sehari – hari seperti berjalan, makan, mandi, berpakaian dan lain – lain, yang selalu mendampingi dan memotivasi pasien baik fisik maupun psikologis sehingga pasien bisa menerima keadaannya dan bersemangat untuk melakukan rehabilitasi medik untuk mempercepat pemulihan, disebut sebagai penolong pasien paska stroke atau caregiver.

Caregiver ini yang selalu mendampingi dan menolong pasien untuk

mempermudah proses latihan rehabilitasi medik, memberi motivasi untuk pemulihan pasien.

2.2.3. Rehabilitasi Medik Paska Stroke

Rehabilitasi medik paska stroke adalah pengelolaan medis dan rehabilitasi yang komprehensif terhadap disabilitas yang diakibatkan oleh stroke, melalui pendekatan neurorehabilitasi dengan tujuan mengoptimalkan kemampuan fungsional yang ada sehingga penyandang stroke mampu beradaptasi dan mencapai kemandirian serta kualitas hidup yang lebih baik.

Program rehabilitasi medik paska stroke itu sendiri mencakup mulai dari latihan (exercise), modalitas alat, terapi wicara, fisioterapi dan psikologi.

Keberhasilan rehabilitasi medik paska stroke tergantung dari waktu penanganan sedini mungkin, dukungan keluarga, niat dan usaha dari pasien

(24)

sendiri, interaksi antara pasien dan keluarga dan petugas rehabilitasi medik akan mempercepat proses pemulihan.

2.3. Landasan Teori

Beberapa teori yang digunakan sebagai alat analisis dan dasar dalam penulisan tesis ini adalan teori perubahan perilaku dan teori persepsi.

2.3.1. Teori Perubahan Perilaku

Perubahan perilaku sangat erat hubungannya dengan derajat kesehatan masyarakat. Model perubahan yang dikemukakan oleh Rosenstock (1982 dalam Sarwono, 2007) adalah Health Belief Model (HBM) yang menyatakan bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaan, tanpa mempedulikan motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau pandangan orang lain. Model kepercayaan ini mencakup lima unsur utama yaitu : kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility), keseriusan yang dirasakan (perceived

seriousness), besarnya ancaman penyakit yang dirasakan (perceived threat of disease), manfaat dan rintangan yang dirasakan (perceived benefits barriers),

faktro pencetus (cues to action).

Dalam Health Belief Model terdapat 3 kategori utama dalam pelayanan kesehatan, yakni : persepsi individu (individual perception), faktor - faktor modifikasi (modifying factor) dan kemungkinan tindakan (likelihood action).

(25)

Kerangka HBM dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Teori Health Belief Model Rossenstock dalam Glanz et al., (1997)

Penelitian ini menggunakan health belief model sebagai konsep dasar dalam mengeksplorasi persespsi pasien paska serangan stroke tentang rehabilitasi medik. Dalam konsep ini diasumsikan bahwa seseorang akan melakukan tindakan bila merasakan efek negatif dari situasi yang dialaminya, mempunyai harapan akan adanya perbaikan dan ada keyakinan akan keberhasilan suatu tindakan. Dalam penelitiian ini akan ditekankan pada persepsi individu dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, personalitas, sosial ekonomi dan pengetahuan. Hal tersebut akan terpengaruh pada penerimaan terhadap program pengobatan terhadap penyakitnya yang pada akhirnya akan merubah perilakunya.

Persepsi individu Faktor modifikasi Kemungkinan tindakan

- Variabel demografis

- Vairabel sosial dan

psikologis

- Variabel struktur

Persepsi besarnya ancaman suatu penyakit

Faktor pencetus : - Internal - Eksternal - Persepsi kerentanan terhadap suatu penyakit - Persepsi tentang keparahan suatu penyakit - Persepsi besarnya tindakan pencegahan - Persepsi besarnya hambatan tindakan Kemungkinan dilakukan tindakan yang dianjurkan

(26)

2.3.2. Teori Persepsi

Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses individu memberi arti terhadap suatu fenomena yang terjadi, berdasarkan kesan yang ditangkap oleh panca inderanya (Suprihanto, 2003). Penginderaan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi, stimulus yang diterima oleh panca indera diteruskan oleh sarah ke otak dan selanjutnya terjadi proses persepsi. Persepsi dapat membuat individu menyadari mengerti keadaaan lingkungan di sekitarnya dan keadaan diri individu yang bersangkutan (Walgito, 2003).

Stimulus persepsi dapat datang dari luar individu seperti lingkungan sosial, hukum dan nilai yang berlaku di masyarakat, maupun dari dalam diri individu yang bersangkutan seperti pengalaman, pengetahuan terhadap objek, motif dan proses belajar. Persepsi sebagai proses ketika sensasi yang diterima oleh seseorang dipilah, dipilih, kemudian diatur dan akhirnya diinterpretasikan (Prasetijo, 2005).

Pasien paska serangan stroke akan memiliki variasi persepsi terhadap penyakitnya, kapasitas dirinya dengan berbagai kelemahan fisik dan psikologis. Interpretasi persepsi pasien dipengaruhi oleh karakteristik individu pasien, keluarga dan budaya. Persepsi tersebut akan berdampak pada penerimaan terhadap dukungan keluarga dan harapan terhadap program pelayanan rehabilitasi medik. Penerimaan tersebut pada akhirnya akan berdampak pada perubahan perilaku pasien tersebut dalam menjalani program rehabilitasi medik yang ditunjukkannya dengan ketaatan pelaksanaan program rehabilitasi medisnya

(27)

2.4. Model Penelitian

Model penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut :

Gambar 2.2. Kerangka Berpikir dan Konsep Penelitian

.

Pasien paska serangan stroke Karakteristik individu : Umur Jenis kelamin Sosial Ekonomi Sosial ekonomi Proses interpretasi

Persepsi pasien paska serangan stroke tentang kapasitas diri. Dukungan keluarga Harapan thd pelayanan rehabilitasi medis Kelemahan fisik Psikologis

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori Health Belief Model Rossenstock  dalam Glanz et al., (1997)
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir dan Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan pernikahan usia muda di tahun 2015 dengan perbandingan tahun 2011, tingginya pernikahan usia muda sebagian besar

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Namun sekarang ini lambat laun potensi sumber daya alam Desa Sariwangi yang sebelumnya merupakan areal pertanian dataran tinggi/peladang penghasil palawija dan bunga- bunga kini

Peserta mengikuti interview tentang pengembangan usaha yang mereka miliki, dalam hal ini tenant wajib membuat business plan yang harus di presentasikan di depan seluruh

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan-alasan hukum Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan lepas

kelas V.A SD Negeri 002 Muara Lembu. Aktivitas guru pada pertemuan pertama siklus I sebesar 64.2% sedangkankan pada pertemuan kedua meningkat menjadi 75%. Siklus II

Ampas kelapa sawit sebagai substrat fermentasi kapang Rhizopus oligosporus dapat menghasilkan asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh omega-3. Pertumbuhan kapang