• Tidak ada hasil yang ditemukan

NIKAH SIRI DARI SUDUT PANDANG HUKUM ISLAM*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NIKAH SIRI DARI SUDUT PANDANG HUKUM ISLAM*"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Mohamad Hasib: Nikah Siri Dari Sudut Pandang Hukum Islam, April 2014 20

NIKAH SIRI DARI SUDUT PANDANG HUKUM ISLAM*

Mohamad Hasib

Dosen STKIP PGRI Tulungagung

ABSTRAKSI : Pada prinsipnya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, kemudian dilanjutkan dalam ayat (2) bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Sebagai salah satu lembaga hukum dalam bidang peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu, maka Peradilan Agama dapat memeriksa suatu kasus seperti tersebut diatas yang berkaitan dengan melegalkan pernikahan yang tidak tercatat atau dalam istilah hukumnya Pengesahan Nikah atau Istbat Nikah (pasal 7 Kompilas Hukum Islam).

Kata Kunci : Nikah Siri

A. Latar Belakang

Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan yang akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak dan poligami.

Berkenaan dengan nikah siri dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan dianggap perbuatan illegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah.

Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami maupun nikah kontrak.

Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah misalnya masih terikat dalam

perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp. 6 Juta dan 1 tahun penjara.

Pada prinsipnya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, kemudian dilanjutkan dalam ayat (2) bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Negara Demokrasi yang berdasar atas hukum baik dalam konsepsi nomocracy, rechstaat maupun rule of law adalah lembaga pemerintah yang telah ditetapkan

(2)

Mohamad Hasib: Nikah Siri Dari Sudut Pandang Hukum Islam, April 2014 21

untuk mencatatakan perkawinan sebagaiamana dimaksud pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu KUA setempat bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi Non Islam

B. Landasan Hukum

Yang menjadi landasan hukum adalah sebagai berikut :

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358)

3. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Undang- undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

4. Kompilasi Hukum Islam C. Surat Keputusan dan Surat

Edaran serta kebijaksanaan Pimpinan Mahkamah Agung R.I., dan Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama, serta Pimpinan Pengadilan Agama yang

berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab Pengadilan Agama.

D. Permasalahan

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan berbagai pemikiran dan doktrin seperti yang kita sering dengar, yakni:

1. Pernikahan tanpa wali.

Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju, atau kaena menganggap absah Pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan- ketentuan Syariat.

2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil Negara.

Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena

(3)

Mohamad Hasib: Nikah Siri Dari Sudut Pandang Hukum Islam, April 2014 22

takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah nikah lebih dari satu; dan lain sebagaianya.

3. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan- pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri atau karena pertimbangan-perimbangan rumit yang memaksa seseorang

untuk merahasiakan

pernikahannya.

Dalam pandangan Islam bahwa Pernikahan siri adalah pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat meskipun tidak dicatatkan pada lembaga Perkawinan.

Dan sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda berkaitan dengan Pernikahan siri tersebut, yakni (1) Hukum Pernikahannya dan (2) Hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara.

Dan aspek Pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketetntuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan

tindak kemaksiatan , sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum.

Pasalanya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akhirat, ketika perbuatan tersebut terkategori “ mengerjakan yang haram” dan “meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru abash dinyatakan melakukan kemaksiatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiatan , sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akhirat. Untuk itu seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang- orang yang meninggalkan perbuatan sunnah , dan mubah atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum didunia ketika orang tersebut, pertama,

(4)

Mohamad Hasib: Nikah Siri Dari Sudut Pandang Hukum Islam, April 2014 23

meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad dan lain sebagainya. Kedua , mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasulullah SAW, dsb, Ketiga , melanggar aturan-aturan administrasi Negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh Negara.

E. Pembahasan

Dari permasalahan tersbut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan Negara tidak boleh dianggap sebgai tindakan kriminal, sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, Pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun- rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah SWT. Adapun rukun- rukun Pernikahan adalah sebagai berikut : (1) Wali, (2) dua orang saksi, (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi maka Pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walupun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan perkawinan. Adapun berkaitan

hukum tidak mencatatkan Pernikahan di lembaga pencataana Negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut:

Pertama : pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah)adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan perkawinan, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah dan lain sebagainya. Hanya saja,dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy.

Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang

(5)

Mohamad Hasib: Nikah Siri Dari Sudut Pandang Hukum Islam, April 2014 24

menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh Negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu- satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis.

Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis , seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar) , dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar”iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikhan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan- hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.

Kedua: pada era keemasan Islam, dimana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun

pemerintahan Islam yang memeidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi Negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan perkawinan. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalanya, para penguasa dan ulama-ulama’

kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan perkawinan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.

Sebagai salah satu lembaga hukum dalam bidang peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu, maka Peradilan Agama dapat memeriksa suatu kasus seperti tersebut diatas yang berkaitan dengan melegalkan pernikahan yang tidak tercatat atau dalam istilah

(6)

Mohamad Hasib: Nikah Siri Dari Sudut Pandang Hukum Islam, April 2014 25

hukumnya Pengesahan Nikah atau Istbat Nikah (pasal 7 Kompilas Hukum Islam), perkara-perkara tertentu yang menjadi kekuasaan absolute Lingkungan Pengadilan Agama adalah sebagai berikut;

1. Ijin poligami

2. Pencegahan Perkawinan 3. Penolakan Perkawinan 4. Pembatalan Perkawinan

5. Kelalaian kewajiban suami dan istri

6. Cerai Talak 7. Cerai Gugat 8. Harata Bersama 9. Penguasaan Anak 10. Nafkah oleh Ibu 11. Hak-hak Bekas Istri 12. Pengesahan Anak

13. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua

14. Perwalian

15. Pencabutan kekuasaan wali

16. Penunjukan Orang Lain sebagai Wali

17. Ganti Rugi terhadap Wali 18. Asal Usus Anak

19. Penolakan Kawin Campur 20. Istbat Nikah

21. Izin Kawin 22. Dispensasi Kawin

23. Wali Adhal 24. Ekonomi Syar’ah 25. Kewarisan 26. Wasiat 27. Hibah 28. Wakaf 29. Shadaqah 30. Lain-lain

Meskipun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah ditetapkan untuk itu, pengesahan nikah tidak semata-mata daris suatu pernikhan siri karena pembuktian untuk kasus tersebut juga tidak mudah, seperti saksi-saksi pernikhan dahulu siapa, maharnya berapa, wali nikahnya siapa dan yang mengijabkan dari penghulu mana. Seperti yang dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) KHI, bahwa istbat nikah (pengesahan nikah) yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a. Adanya perkawinan dalam rangka peneyelesaian perceraian;

b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

(7)

Mohamad Hasib: Nikah Siri Dari Sudut Pandang Hukum Islam, April 2014 26

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan ;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974;

Maka disini pengadilan agama akan sangat jeli melihat apakah mereka yang mengajukan “ Pengesahan Nikah “ betul-betul yang menikah menurut syariat atau aturan yang telah ditentukan ataukah tidak.

Daftar Pustaka

Edisi 2009, Buku II, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, Jakarta:

Mahkamah Agung RI.

Soesilo, R. 1995. Kompilasi Hukum Islam. Bogor: Politeia.

Surat Keputusan dan Surat Edaran serta kebijaksanaan Pimpinan Mahkamah Agung R.I., dan Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, serta Pimpinan Pengadilan Agama yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab Peradilan Agama.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358)

Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Zainal Abidin Abu Bakar, SH.

Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,

Referensi

Dokumen terkait

ABSTRAK : - Bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya

Dengan proses verifikasi peserta yang lebih kuat, diharapkan mereka yang menjadi peserta Kartu Prakerja 2021 adalah kelompok masyarakat 40 persen terbawah atau masyarakat

Semua pelajar hendaklah mematuhi arahan ketika membuat pembayaran yuran pengajian / yuran asrama / bayaran pelbagai di Bank Islam (M) Berhad (BIMB).. Pihak Politeknik KPT

Aslında bu açıklamalarda da görüldüğü gibi, dikkat çekici olan, bağlamanın kopuzdan türeyip türemediğinden veya kopuz türü çalgıların kökeninden daha çok,

Buku Panduan Mahasiswa (BPM) Blok 4.7.14 ini terdiri dari beberapa mata ajar yang tidak terintegrasi yang terhimpun dalam blok ini, antara lain mata ajar Ilmu Kesehatan Gigi

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh metode pelapisan TiO 2 pada kaca ITO sebagai elektroda kerja dengan membandingkan hasil pengukuran arus dan tegangan pada

Namun, proses yang paling berpengaruh terhadap peningkatan minat beli sampo Pantene adalah dengan daya tarik iklan yang mempengaruhi efektivitas iklan sebagai

pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Ralryat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh badan pelaksana paling lambat