7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pewarna Ekstrak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) 2.1.1 Klasifikasi Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
Klasifikasi bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dalam taksonomi tumbuhan menurut Dasuki (1991), diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malvales Family : Malvaceae Genus : Hibiscus
Species : Hibiscus sabdariffa L.
2.1.2 Morfologi Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
Rosella merah (Hibiscus sabdariffa L.) termasuk dalam spesies Hibiscus
familia Malvaceae. Tumbuhan kerabat bunga sepatu ini berasal dari Afrika barat
tetapi ada pula yang mengatakan dari India. Rosella merah mulai dikenal dan
ditanam di Asia pada abad ke 17 (Hidayat, 2007). Menurut Maryani & Lusi
Kristiana (2005) terdapat lebih dari 100 spesies rosella yang tersebar pada daerah
tropis dan non tropis. Kebanyakan tanaman rosella ini dipergunakan sebagai
tanaman hias dan beberapa diantaranya dipercaya memiliki khasiat medis, salah
satu diantaranya adalah rosella merah atau roselle (Hibiscus sabdariffa L). Rosella
adalah tumbuhan perdu atau semak yang termasuk dalam tanaman musiman yang
memiliki banyak manfaat (Rahadian, Harun, & Efendi, 2017). Rosella merupakan
herba tahunan yang ketinggiannya dapat mencapai 0,5-3 m. Batangnya bulat, tegak,
berkayu dan berwarna merah. Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangan
menjari, ujung tumpul, tepi bergerigi, pangkal berlekuk. Panjang daun 6-15 cm dan
lebarnya 5-8 cm. tangkai daun bulat berwarna hijau, dengan panjang 4-7 cm
(Maryani & Lusi Kristiana, 2005).
Rosella merupakan tumbuhan semak umur satu tahun, tinggi tumbuhan mencapai 2,4 m. batang berbentuk bulat dan berbulu berwarna merah; daun berseling 3-5 helai dengan panjang 7,5-12,5 cm berwarna hijau, tangkai daun pendek, ibu tulang daun kemerahan. Bentuk helaian daun bersifat anisofili (polimorfik), helaian daun yang terletak di bagian pangkal batang tidak terbagi, bentuk daun bulat telur, tangkai daun pendek. Daun-daun di bagian cabang dan ujung batang berbagi, menjadi 3 toreh, tepi daun beringgit, daun penumpu bentuk benang; panjang tangkai daun 0,3-12 cm, hijau hingga merah; pangkal daun tumpul hingga meruncing, tepi daun beringgit, sedikit berambut. Bunga tunggal, kuncup bunga tumbuh dari bagian ketiak daun, tangkai bunga berukuran 5-20 mm; kelopak bunga berlekatan, tidak gugur, tetap mendukung buah, berbentuk lonceng; mahkota bunga berlepasan, berjumlah 5 petal, mahkota bunga berbentuk bulat telut terbalik, warna kuning, kuning kemerahan; benang sari terletak pada suatu kolom pendukung benang sari, kepala sari berwarna merah, tangkai putik berada di dalam kolom pendukung sari, jumlah jumlah kepala putik 5 buah, warna merah. Buah kapsul, berbentuk bulat telut, ukuran 13-22 mm x 11-20 mm, tiap buah berisi 30- 40 biji. Ukuran biji3-5 mm x 2-4 mm, warna coklat kemerahan (Dwiyatmoko et al., 2010).
Gambar 2.1 Tumbuhan rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
2.1.3 Kandungan pada Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
Bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki warna merah yang menarik dan rasa yang unik. Mulai awal tahun 1970, bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mendapat banyak perhatian karena berpotensi sebagai sumber pewarna makanan alami, farmasi dan kosmetik (Suzery & Cahyono, 2010). Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tanaman obat yang memiliki kandungan antioksidan (Rodina, Sobri, & Kurniawan, 2016).
Kelopak bunga rosella (Hisbiscus sabdariffa L.) dapat dijadikan pewarna alami dalam pengolahan minuman serbuk instant, warna yang dihasilkan adalah warna merah. Warna merah pada kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dihasilkan dari pigmen antosianin dengan jenis pelargonidin (Mahfud, 2015).
Bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mengandung protein, lemak, serat, mineral seperti kalsium, fosfor dan besi, serta vitamin seperti thiamin, riboflavin, niasin dan asam skorbat. selain itu mengandung senyawa karotenoid, flavonoid, dan alkaloid.
(Yuliani, Marwati, & Fahriansyah, 2011). Senyawa bioaktif utama yang berperan sebagai antioksidan adalah antosianin, flavonoid, polifenol dan asam askorbat.
Salah satu kandungan yang ada dalam kelopak rosella (Hibiscus sabdariffa L.) adalah flavonoid yaitu antosianin. Flavonoid adalah salah satu senyawa metabolit sekunder yang biasanya ada di akar, batang, daun, kelopak, biji dan lain-lain.
Antosianin adalah pigmen daun bunga yang berwarna merah sampai biru (Rahayu, Hartanti, & Hidayat, 2009). Selain itu Maryani & Lusi Kristiana (2005) menyebutkan, antosianin termasuk pigmen warna paling umum pada tumbuhan tingkat tinggi, juga memiliki aktivitas antioksidan. Menurut Mastuti, Winaputri, &
Harlyandi (2013) warna ungu kemerahan adalah pigmen antosianin yang terbentuk pada kelopak bunga rosella. Kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mengandung pigmen warna merah dengan empat antosianin yaitu delphinidin 3 sambubiosida, sianidin 3-sambubiosida, delphinidin 3-glukosida dan sianidin 3- glukosida (Suzery & Cahyono, 2010).
Kadar antosianin pada ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
pada penelitian Rahayu et al. (2009) dengan menggunakan beberapa metode
pengeringan, didapatkan hasil pengeringan dengan sinar matahari langsung
terkandung 6,25 gr antosianin, pengeringan dengan ditutup kain hitam terkandung 4,7553 gr antosianin, dan pengeringan dengan oven adalah 5,916 gr antosianin.
Penelitian Suzery & Cahyono (2010) didapatkan total antosianin pada ekstrak kelopak bunga roslla sebesar 128,76 mg/l00 g.
2.1.4 Ekstrak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
Ekstrak merupakan proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan kelarutan dengan menggunakan suatu pelarut (Saragih, 2018). Ekstraksi biasanya banyak digunakan dalam bidang farmasi untuk memisahkan senyawa aktif yang bermanfaat sebagai obat. Produk yang diperoleh dari proses ekstraksi dapat berupa cairan, semi padat atau bubuk yang digunakan baik secara oral maupun sebagai obat luar (Rachmawaty, 2016). Dalam proses ekstraksi suatu bahan tanaman, banyak faktor yang dapat mempengaruhi kandungan senyawa hasil ekstraksi diantaranya;
jenis pelarut, konsentrasi pelarut, metode ekstraksi dan suhu yang digunakan untuk ekstraksi (Senja, Issusilaningtyas, Nugroho, & Setyowati, 2014). Menurut Mastuti, Winaputri, et al. (2013) faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi meliputi suhu, jenis pelarut, rasio bahan padatan dan pelarut, waktu, ukuran bahan padat yang diekstraksi, kecepatan pengadukan. Mekanisme kerja ekstraksi adalah cairan penyari menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif yang masuk akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel sehingga larutan yang terpekat akan terdesak keluar. Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel (Jahari, 2013).
Maserasi merupakan metode yang sederhana dan banyak digunakan pada
proses ekstraksi, proses maserasi melibatkan tanaman yang dibuat menjadi serbuk
dan direndam dengan pelarut yang cocok dalam wadah tertutup pada suhu ruang
(Depkes RI, 2000). Bungan rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dalam penelitian ini
diekstrak menggunakan metode maserasi. Maserasi merupakan teknik ekstraksi
yang dilakukan untuk sampel yang tidak tahan panas dengan cara perendaman di
dalam pelarut tertentu selama waktu tertentu. Teknik ini mempunyai beberapa
kelebihan antara lain alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana
perendaman tetapi menghasilkan produk yang baik, selain itu dengan teknik ini zat- zat yang tidak tahan panas tidak akan rusak. Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam, karena selama perendaman terjadi peristiwa plasmolisis yang menyebabkan terjadi pemecahan dinding sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel, sehingga senyawa yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan proses ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang diinginkan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut tersebut (D. R. Ningsih, Zusfahair, &
Kartika, 2016). Antosianin ini merupakan zat warna yang bersifat polar dan akan larut dengan baik pada pelarut pelarut polar (Bisri et al., 2014) sehingga dapat diekstraksi dengan pelarut yang bersifat polar seperti air, etanol dan metanol.
Metode ekstraksi antosianin yang paling sering digunakan adalah dengan menggunakan etanol (Maulid & Laily, 2015). Menurut Farida & Nisa (2015) Pigmen antosianin dapat larut dalam ethanol karena antosianin merupakan senyawa polar dan ethanol merupakan pelarut yang bersifat polar juga.
Mastuti, Sari, et al. (2013) bahwa Kondisi optimum ekstraksi zat warna kelopak bunga rosella adalah pada berat 9 gr dalam 300 ml aquadest, suhu 100
oC (suhu didih larutan) dan kecepatan putar pengadukan 200 rpm dengan waktu ekstraksi 120 menit memiliki kadar total zat warna antosianin sebanyak 47,55%.
Penelitian Mastuti, Winaputri, et al. (2013) menghasilkan kadar zat warna antosianin total sebanyak 47,50 % dengan kondisi optimum ekstraksi adalah pada berat 9 gr dalam 300 ml etanol 96% pada suhu 78
oC dengan waktu ektraksi 120 menit dan kecepatan putar pengadukan 400 rpm. Perbedaan teknik ekstraksi dan pemilihan jenis pelarut akan memberikan aktivitas antioksidan yang berbeda pada daun rosella. Pelarut etanol 96% dengan pemilihan teknik ekstraksi (maserasi dan refluk) akan memberikan pengaruh signifikan terhadap aktivitas antioksidan daun rosella (Windyaswari, 2018).
Ekstraksi dengan metode maserasi pada suhu kamar dengan temperatur 25
oC
memberikan rendaman ekstrak yang paling tinggi yakni l7,7% dibanding maserasi
5
oC dan soxhletasi. Ekstraksi dengan metode maserasi dilakukan dengan cara merendam 100 gram serbuk kelopak bunga rosella dimaserasi dengan 300 mL pelarut etanol 96% pada temperatur kamar atau 25
oC selama 24 jam (Suzery &
Cahyono, 2010). Menurut Bisri et al. (2014) metode maserasi menghasilkan rendaman ekstrak paling tinggi dengan menggunakan pelarut etanol 96% dan hasil yang optimal atau baik pada preparat section batang cabai merah besar dengan menggunakan ekstrak bunga rosella, yaitu pada konsentrasi ekstrak 70%.
2.1.5 Pewarna Alami Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
Pewarnaan ialah pemberian perlakuan berupa warna pada sel atau jaringan yang telah diiris agar mudah diamati karena unsur jaringan menjadi kontras (Apriani, 2016). Pewarnaan pada preparat dilakukan untuk memudahkan proses pengamatan sel atau jaringan saat berada di bawah mikroskop, dikarenakan bahan pewarna mempunyai daya afinitas cukup tinggi terhadap organel sel hingga dapat mewarnai sel atau jaringan yang teramati. Tidak semua organel sel dapat diwarnai dengan pewarnaan yang sama, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan komponen penyusun yang ada pada masing sel atau jaringan (Indasari et al., 2013).
Pewarnaan memiliki tujuan agar dapat dibedakan secara baik atau mudah antara sel atau jaringan yang satu dengan yang lain (Nurwanti et al., 2013). Menurut (Harijati, Samino, Indriyani, & Soewondo, 2017) pewarnaan bertujuan membuat kontras diantara jaringan tumbuhan agar lebih mudah diamati. Pewarna tekstil terbagi menjadi dua, pewarna alami dan zat pewarna sintetis (Dea, Parasetia, Ritaningsih,
& Purwanto, 2012).
Penggunaan pewarna sintetis untuk saat ini lebih banyak digunakan daripada pewarna alami. Pewarna kimia atau sintetis adalah zat pewarna yang didapat dari hasil pencampuran unsur-unsur kimia, proses pembuatannya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat. Asam-asam tersebut tak jarang terkontaminasi oleh logam yang bersifat racun (Kartikasari & Susiati, 2016).
Pewarna sintetis memiliki warna yang tidak mudah pudar, cenderung lebih cerah
dan disukai karena praktis. Namun, pewarna sintetis mempunyai beberapa
kelemahan, yaitu bersifat karsinogenetik dan beracun (Samber, Semangun, &
Prasetyo, 2013). Pewarna sintetis saat ini banyak digunakan untuk praktikum.
Menurut Bendre (2009) Beberapa jenis pewarna sintetis dapat digunakan untuk mewarnai jaringan seperti Light green , Erythrosine, Acetocarmine, Hematoxylins, Crystal violet, Aniline blue, Fast green, dan Safranin. Penggunaan safranin sebagai pewarna preparat memiliki beberapa kelemahan. Menurut Saroh (2011) penggunaan safranin harganya mahal, dan sulit dalam penyimpanan dikarenakan mudah rusak. Pewarna safranin bersifat karsinogenik (zat atau senyawa yang dapat menyebabkan kanker) sehingga dalam penggunaannya sebagai pewarna dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan juga kesehatan manusia (Saputri, 2018).
Dikutip dari daftar harga kimia pro analisis tahun 2018 harga safranin sebagai bahan kimia pro analisis per gram yaitu Rp. 778.800,- (Melati, 2018).
Pewarna alami umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan (Rosyida & Zulfiya, 2013). Menurut Bahri, Jalaluddin, & Rosnita (2017) Mayoritas pewarna alami yang diambil dari tumbuh-tumbuhan merupakan pewarna yang mudah terdegradasi. Bagian-bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai pewarna alami adalah kulit, daun, batang, ranting, akar, biji, bunga, dan getah.
Banyak jenis tumbuhan yang memilik potensi sebagai pewarna alami, karena ketersediaannya mudah terbaharukan, melimpah dan murah juga mudah dalam penggunaannya menjadikannya berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pewarna alami (Rosyida & Zulfiya, 2013). Pewarna alami memiliki warna yang khas dan indah yang sulit ditiru dengan pewarna sintetis, sehingga banyak disukai. Beberapa pigmen dapat digunakan sebagai pewarna alami yang terdapat disekitar kita seperti klorofil, karetonoid, kurkumin, tanin, dan antosianin (Bahri et al., 2017; Saati, 2014).
Pigmen antosianin merupakan suatu pigmen yang memiliki potensi besar,
tersebar luas serta banyak ditemukan di bahan alami, paling utama pada bagian
tumbuhan (Lestario, 2017). Menurut istilah antosianin merupakan komponen
bioaktif kelompok dari anggota flavonoid yang dapat memberikan warna merah,
ungu, dan biru tergantung pada pH lingkungan (Mahmudatussa'adah, Fardiaz,
Andarwulan, & Kusnandar, 2014). Secara kimia antosianin merupakan turunan
struktur aromatik tunggal, yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen
sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, metilasi dan glikosilasi (Harbone, 2005). Antosianin adalah pigmen yang larut dalam air yang menyebabkan warna merah, ungu, dan biru serta banyak ditemukan pada buah dan bunga (Salisbury & Ross, 1992). Menurut (Maulid & Laily, 2015) antosianin termasuk golongan senyawa flavonoid, merupakan kelompok terbesar pigmen alami pada tumbuhan yang larut dalam air yang bertanggung jawab untuk memberikan warna pada bunga, buah dan sayuran. Struktur kimia senyawa antosianin disajikan pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur kimia senyawa antosianin (Sumber: Lestario, 2017)
Antosianin adalah suatu golongan dari senyawa flavonoid yang secara luas terbagi dalam polifenol tumbuhan yang dimana senyawa ini tidak berwarna atau kuning pucat. Antosianin bertanggung jawab untuk memberikan warna pada sayuran, bunga dan buah (Maulid & Laily, 2015). Menurut Samber, Semangun, &
Prasetyo (2013) sayuran maupun buah-buahan yang memiliki kandungan antosianin seperti, bayam merah dan ubi jalar, strawberry, ubi jalar, anggur, cherry (Samber et al., 2013). Bagian tumbuhan yang mengandung antosianin terdiri dari berbagai nama atau jenis, daftar antosianidin yang dominan pada beberapa tanaman telah disajikan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis antosianidin yang dominan pada tumbuhan
Jenis Antosianidin Banyal Terdapat pada Tumbuhan atau Buah
Pelargonidin Sianidin Malvidin Definidin Peltunidin Peonidin
Radish (Lobak merah), strawberry dan bunga pelargonum
Red-currant, daun fagus, apel, rubus dan buah arbeiBunga malva
Bunga dhelpinium biru dan kulit terung Anggur (merah, hitam) dan bunga petunia
Bunga paeonia
(Sumber: Lestario, 2017)
Faktor fakor yang mempengaruhi kestabilan antosianin non enzimatik adalah pengaruh dari pH, suhu, dan juga cahaya (Salisbury & Ross, 1992). Menurut Samber et al. (2013) Kestabilan pigmen antosianin (merah, biru dan ungu) akan terganggu, hal ini dikarenakan adanya perubahan suhu, pH, oksigen dan cahaya.
2.2 Tumbuhan Awar-awar (Ficus septica Burm. F)
2.2.1 Klasifikasi Tumbuhan Awar-awar (Ficus septica Burm. F)
Menurut (Steenis, 2008) dalam ilmu taksonomi tumbuhan, awar-awar diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Ordo : Urticales Family : Moraceae Genus : Ficus
Species : Ficus septica Burm. F
2.2.2 Morfologi Tumbuhan Awar-awar (Ficus septica Burm. F)
Ficus merupakan tumbuhan yang memiliki bentuk hidup beraneka ragam, seperti pohon, semak/perdu, pohon kecil, pencekik, merambat, liana (menjalar) bahkan seringkali berupa akar liar (menggantung sebagai hemi epififit, epifit dan akar merambat). Tumbuhan Ficus memiliki ciri-ciri morfologi yang cukup khas, antara lain adanya getah (lateks) yang berwarna putih hingga kekuningan dari kulit kayu, dahan, dan daun. Kuncup daun pada ujung ranting dilindungi oleh sepasang daun penumpu yang mudah rontok dan meninggalkan bekas berupa cincin pada ruas-ruas rantingnya (Hasanah, Saptasari, & Dahlia, 2017)
Tumbuhan Ficus memiliki tulang daun lateral pertama yang cenderung
menyudut terhadap ibu tulang daun di bagian pangkal daun dan membentuk pola
tiga cabang (tri-vained). Beberapa dari tumbuhan Ficus memiliki perawakan akar
yang khas berupa akar gantung atau akar udara. Selain itu, salah satu yang ciri yang
membedakan Ficus dengan tumbuhan lain yaitu dari segi buahnya. Buah Ficus atau
buah ara sebetulnya merupakan karangan bunga tertutup yang dikenal sebagai bunga periuk (sikonium), jadi buah Ficus merupakan buah semu (Tjitrosoepomo, 2009)
Tumbuhan awar-awar (Ficus septica Burm. F) memiliki batang bulat, berongga, bergetah, bercabang dan berwarna coklat muda. Daun tunggal, berhadapan atau berseling, berbentuk bulat telur, ujungnya runcing, pangkal membulat, tepinya rata, memiliki panjang 10-30 cm dan lebar 6-16 cm. Pertulangan daun menyirip, permukaan atas mengkilat, tangkai panjang 2-5 cm, berwarna hijau keputih-putihan, hijau. Bunga majemuk, pada batang dan ranting, kelopak dan mahkota kecil, berwarna hijau keputih-putihan (Sukarsono et al., 2003).
Gambar 2.3 Tumbuhan awar-awar (Ficus septica Burm. F) (Sumber: Dokumentasi pribadi)
2.2.3 Anatomi Tumbuhan Awar-awar (Ficus septica Burm. F)
Daun merupakan organ penting pada tumbuhan yang umumnya terdapat pada batang. Keberadaan daun ditentukan oleh bentuk batang termasuk kondisi anatominya. Letak daun pada batang ada berbagai macam yaitu terletak secara berhadapan, tersebar atau selang-seling. Warna daun juga terdapat berbagai macam keragaman. Daun memiliki peranan yang sangat penting bagi tumbuhan, karena daun mampu melakukan proses fotosintesis (Santoso, 1992).
Daun memiliki anatomi yang berbeda-beda antara jenis daun yang satu dengan yang lain. Karena tidak jarang suatu tumbuhan memiliki struktur anatomi yang sangat karakteristik, sesuain dengan kondisi fungsi daun tersebut. Namun pada umumnya, daun memiliki bagian-bagian anatomi daun yang penting, yaitu:
epidermis, parenkim, berkas pengangkut (Santoso, 1992). Menurut Ningsih (2012)
daun-daun sering memperlihatkan ciri kombinasi dari berbagai tipe ekologi.
Terlepas dari bentuk maupun ukuran, semua daun memiliki komposisi jaringan yang sama yaitu: epidermis, mesofil dan berkas pembuluh pada tulang daun. Secara umum, gambaran struktur anatomi daun telah disajikan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Penampang melintang ibu tulang daun (Sumber: Raven, Evert, & Eichhorn, 2005)
Epidermis pada daun sama seperti epidermis pada batang yang tersusun rapat dan dilapisi kutikula yang mengurangi hilangnya air karena transpirasi (Ningsih, 2012). Epidermis pada daun biasanya dilapisi oleh selaput lilin atau kutikula.
Epidermis biasanya hanya terdiri satu lapis sel dan tidak memiliki klorofil. Fungsi epidermis pada daun adalah sebagai jaringan pelindung. Pada epidermis sering terdapat bentukan-bentukan seperti stomata, trikoma, papilla (Santoso, 1992).
Stoma dapat ditemukan pada kedua belah sisi daun, namu umumnya pada bagian bawah terdapat lebih banyak stoma. Pada di kedua belah sisi daun sering didapati trikoma atau rambut epidermis. Semakin banyak trikoma akan mengurangi hilangnya air dari daun (Ningsih, 2012).
Mesofil berfungsi khusus untuk fotosintesis. Terdiri dari sistem jaringan dengan ruang-ruang antar sel yang besar, yang berhubungan dengan atmosfer luar melalui stoma. Ruang antar sel membantu berlangsungnya pertukaran gas yang cepat, suatu faktor yang penting untuk efisiensi fotosintesis (Ningsih, 2012).
Menurut Santoso (1992) parenkim pada daun terdiri dari bentuk jaringan palisade
atau pagar dan jaringan bunga karang. Namun tidak semua daun memilikinya, ada
daun yang hanya memiliki satu macam parenkim saja yaitu jaringan bunga karang
(Santoso, 1992). Pada tumbuhan mesofit (daratan), mesofilnya mengalami
diferensiasi menjadi parenkim palisade berbentuk panjang tegak lurus permukaan daun dan parenkim bunga karang memiliki bentuk yang tidak teratur. Meskipun jaringan pagar nampaknya padat dan rapat namun dinding-dinding vertikalnya dapat berhubungan dengan ruang-ruang antar sel pada jaringan bunga karang, oleh karena itu sebagian besar proses fotosintesis berlangsung pada jaringan palisade.
Umumnya parenkim palisade didapati pada sisi atas daun dan bunga karang di sebelah bawahnya (Ningsih, 2012). Hal ini sesuai dengan pernyataan Santoso (1992) yang menyatakan bahwa pada jaringan pagar atau palisade biasanya sel- selnya dipenuhi dengan kloroplas yang berperan penting untuk fotosintesis.
Sedangkan jaringan bunga karang berperan dalam pengumpulan CO
2dari lingkungan luar.
Mesofil daun ditembusi oleh sistem berkas pembuluh atau tulang-tulang daun yang berhubungan dengan sistem pembuluh pada batang. Tulang daun terdiri dari xilem dan floem, yang umumnya merupakan jaringan primer (Santoso, 1992).
Tulang daun tengah dan beberapa tulang daun yang besar pada daun dikotil seringkali memiliki pertumbuhan sekunder. Pada ujung-ujung tulang daun tumbuhan dikotil seringkali disusun hanya oleh jaringan trakeid, namun demikian unsur floem dan xilem yang lain sering didapati. Umumnya xilem didapati pada bagian atas daun dan floem pada bagian bawah (Ningsih, 2012).
Pada pengamatan anatomi Ficus terdiri atas epidermis, mesofil, stomata, jaringan tiang, jaringan bunga karang, berkas pembuluh, ada yang memiliki seludang pembuluh meskipun sebagian besar tidak, serta memiliki lapisan kutikula.
Secara anatomi pada irisan melintang daun terlihat beberapa sistem jaringan pada daun, yaitu jaringan epidermis, mesofil atau parenkim dan jaringan pembuluh.
Epidermis pada daun pada umumnya terdiri atas selapis sel. Kecuali pada Ficus sp.
memiliki epidermis ganda. Jaringan epidermis ini terdiri atas epidermis atas
(epidermis adaksial) dan epidermis bawah (epidermis abaksial). Pada epidermis
atas terdapat kutikula. Kutikula ini berfungsi sebagai pencegah keringnya jaringan
di bawah epidermis dan melindungi jaringan yang berada dibawahnya dari
gangguan mekanis. Pada epidermis atas tidak terdapat klorofil, sedangkan pada
bagian epidermis bawah terdapat stomata (Wibawani & Laily, 2015).
2.3 Kualitas Preparat Section Tumbuhan Menggunakan Pewarna Alami 2.3.1 Preparat Section Tumbuhan
Metode section tumbuhan merupakan metode pembuatan preparat mikroteknik yang bertujuan untuk membuat objek-objek yang besar dan tebal pada tumbuhan dapat diamati sel dan jaringannya di bawah mikroskop. Metode section tumbuhan menggunakan teknik parafin sebagai media embedding dengan irisan yang tipis.
Oleh karena itu, metode ini dikenal juga dengan istilah metode parafin. Metode parafin digunakan dalam pembuatan preparat karena memiliki beberapa keuntungan diantaranya proses embedding lebih cepat dan lebih simple, material embedding dapat disimpan dalam waktu yang lama pada kondisi kering, dan dapat membuat irisan tipis untuk menghasilkan preparat yang (Firdaus, Santoso, Istiqomah, & Kurniawati, 2017).
Tujuan pembuatan preparat mikroteknik dengan metode section tumbuhan adalah untuk membuat dan mengamati struktur-struktur jaringan dan sel-sel tumbuhan dalam bentuk irisan penampang melintang ataupun membujur pada akar, batang, dan daun tumbuhan (Wahyuni, 2015). Pembuatan preparat utuh diupayakan permanen atau awet agar sewaktu-waktu dapat diamati kembali. Kualitas preparat mikroteknik metode section tumbuhan merupakan kualitas preparat mikroteknik yang disesuaikan atau ditentukan berdasarkan tujuan dari pembuatan preparat section. Tujuan pembuatan preparat section tumbuhan yaitu bertujuan untuk dapat mengamati struktur-struktur jaringan dan sel-sel tumbuhan dalam bentuk irisan penampang lintang ataupun membujur (Bisri et al., 2014). Tujuan lainnya yaitu untuk mengetahui struktur-struktur jaringan pada akar, batang dan daun.
2.3.2 Kualitas Preparat Section Tumbuhan
Kualitas preparat dapat dilihat dari kejelasan dan kekontrasan warna preparat.
Kualitas preparat ialah suatu parameter untuk menunjukan tingkatan baik maupun
buruk suatu preparat. Baik atau buruk kualitas suatu preparat dapat dipengaruhi
pada proses pembuatannya. Menurut Wahyuni (2015) seiring dengan banyaknya
kebutuhan preparat mikroteknik, maka perlu diupayakan dalam peningkatan
kualitas proses pembuatan preparat, misalnya dalam teknik pewarnaan.
Kekontrasan akan memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata apabila dibandingkan. Kekontrasan warna dapat dibedakan menurut tingkatan konsentrasi pewarna masing-masing antar jaringan dalam preparat (Nurwanti et al., 2013).
Pengenceran pada masing-masing konsentrasi mempengaruhi kekontrasan warna preparat. Pengenceran merupakan suatu metode atau cara yang digunakan pada suatu senyawa dengan menambahkan pelarut yang bersifat netral. Penambahan pelarut dalam suatu senyawa dapat mengakibatkan kadar kepekatan atau tingkat konsentrasi dari senyawa yang dilarutkan atau diencerkan tersebut menurun.
Kejelasan preparat dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor, salah satunya yaitu pengirisan. Proses pengirisan yang kurang tipis atau terlalu tebal akan mengakibatkan bagian-bagian jaringan terlihat kurang jelas. Selain itu kurang tepatnya proses pembuatan larutan dan waktu pemberian pewarna agar preparat dapat terwarnai secara sempurna (Wahyuni, 2015). Menurut Dewi, Purwanti, &
Nurwidodo (2017) Kualitas preparat tergolong baik apabila tingkat kejelasan preparat pada anatomi jaringan dapat diamati dan tingkat kekontrasan warna preparat yang diperoleh dapat mewarnai jaringan atau sel ketika dilihat dengan mikroskop.
2.3.3 Preparat Section Tumbuhan Menggunakan Pewarna Alami
Pewarna alami mampu memperjelas bagian-bagian pada jaringan, hal ini dikarenakan adanya reaksi ikatan elektrostatik antara muatan ion zat warna dan bagian sel yang berbeda muatan sehingga jaringan tumbuhan dapat terwarnai menjadi merah. Mekanisme proses pewarnaan pada jaringan tumbuhan dapat terjadi karena akibat terjadi reaksi ikatan elektrostatik antar muatan ion yang berbeda dari zat warna dan bagian dalam sel. Zat warna yang memiliki sifat asam bermuatan positif dan zat warna yang memiliki sifat basa bermuatan negatif, zat warna asam mewarnai bagian sel yang bersifat basa dan sebaliknya, zat warna basa mewarnai bagian sel yang bersifat asam (Nurwanti et al., 2013). Bagian dari tumbuhan yang berselulosa biasanya bermuatan negatif atau bersifat basa sehingga mampu menyerap zat warna yang memiliki sifat asam (Sa’diyah, Budiono, &
Suparno, 2015). Antosianin yang memliki pH asam dapat mewarnai dinding sel
berselulosa yang bersifat basa. Ion positif (H+) dilepaskan dan berikatan kovalen dengan ion negatif yang ada pada dinding jaringan atau sel, sehingga dengan proses mekanisme tersebut sel atau jaringan bisa terwarnai (Nurwanti et al., 2013).
Menurut Dewi et al. (2017) menyatakan hal yang sama bahwa proses penyerapan
warna pada suatu jaringan itu akibat terjadi ikatan molekul antara zat warna dan
bagian dalam sel.
2.4 Kerangka Konseptual
Kerangka konsep dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.5 sebagai berikut:
Gambar 2.5 Kerangka konsep
Mikroteknik
Pembuatan preparat
Metode section tumbuhan daun awar- awar (Ficus septica Burm. F)
Proses Pewarnaan
Pewarna alami diperoleh dari bahan
yang ada disekitar lingkungan, ramah lingkungan dan aman
digunakan Pewarnaan safranin
memiliki sifat lebih stabil, harga relatif mahal, berbahaya dan
bersifat karsinogenik
Pigmen antosianin pada kulit buah naga mempunyai pH asam merupakan senyawa fenolik yang termasuk flavanoid, bersifat larut dalam air, sehingga dapat mewarnai jaringan tumbuhan
pH basa. Penentuan kosentrasi pewarna yang tepat dapat menghasilkan
warna stabil
Adanya reaksi elektrostik antara muatan ion-ion zat warna dan bagian sel yang berbeda sehingga jaringan sel
terwarnai Ekstrak bunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.)
Proses ekstraksi menggunakan etanol 96%
Konsentrasi 0%, 40%, 55%, 70%, 85% dan 100%
Jaringan epidermis, korteks, xylem, floem, dan parenkim pada daun awar-awar (Ficus
septica Burm. F) dapat