• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP PENDIDIKAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP PENDIDIKAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP PENDIDIKAN MENURUT IMAM AL-GHAZALI DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA

A. Konsep Pendidikan Menurut Imam al-Ghazali 1. Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan

Hal yang menarik dari sosok al-Ghazali adalah kecintaannya dan perhatiannya yang sangat besar terhadap moralitas dan pengetahuan sehingga ia berusaha untuk mengabdikan hidupnya untuk mengarungi samudra keilmuan. Berangkat dari dahaga akan ilmu pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mencari hakekat kebenaran sesuatu yang tidak pernah puas. Ia terus melakukan pengembaraan intelektualitas, filsafat, ilmu kalam, tasawuf, dan lain- lain. Inilah sebabnya mengapa pemikiran al-Ghazali terkadang inkonsisten dan dapat ditemui kontradiksi-kontradiksi dalam kitabnya.

Karena di pengaruhi perkembangan sejak muda sekali dan pada waktu mudanya juga ia sudah banyak menuliskan buah pikirannya.

Dalam kaitannya terhadap pendidikan al-Ghazali memberi pengertian yang masih global. Selain karena memang dalam kitabnya yang paling Mashur (Ihya’ Ulumuddin) tidak dijelaskan secara rinci tentang pendidikan. Sehingga, kita hanya bisa mengumpulkan pengertian pendidikan menurut al-Ghazali yang dikaitkan lewat unsur- unsur pembentukan pendidikan yang ia sampaikan.

(2)

“sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam…”

“.... dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajajaran dan bukan ilmu yang tidak berkembang” (Imam al-Ghazali, tt: 3).

Jika kita perhatikan, pada kutipan yang pertama, kata “hasil”, menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah”

menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk pengajaran.

Adapun yang dimaksudkan al-Ghazali dalam kutipan ucapannya diatas adalah sebuah konsep, dimana dalam sebuah pelaksanaan pendidikan harus memiliki tujuan yang berlandaskan pada pembentukan diri untuk mendekatkan peserta didik kepada Tuhan.

Disamping itu, dalam proses pendidikan, al-Ghazali menjelaskan sebuah tujuan pendidikan yang bermuara pada nilai moralitas akhlak.

Sehingga tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bersifat keduniawian, pendidikan bukan sekedar untuk mencari materi di masa mendatangnya melainkan pendidikan harus memiliki rasa emansipatoris.

Pemikiran pendidikan al-Ghazali secara umum bersifat religius- etis. Yakni menuju pada corak pemikirannya yang bernilai religius.

Kecenderungannya ini kemungkinan dipengaruhi oleh penguasaannya di bidang sufisme. Menurut beliau pendidikan yang benar merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendidikan juga dapat

(3)

mengantarkan manusia untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Pendidikan juga adalah sarana menebar keutamaan. Maka untuk mencapai hal itu, dunia pendidikan harus memperhatikan beberapa faktor yang cukup urgens. Al-Ghazali berpandangan bahwa dunia pendidikan harus menempatkan ilmu pengetahuan pada posisi yang sangat terhormat, penghormatan atas ilmu merupakan suatu keniscayaan. Konsekuensi atas penghormatan terhadap ilmu adalah penghormatan terhadap guru (Djumransjah dan Abdul Malik Karim Amrullah 2007: 55-56). Ilmu pengetahuan menurut Imam al-Ghazali adalah sebagai kawan di waktu sendirian, sahabat di waktu sunyi, penunjuk jalan pada agama, pendorong ketabahan di saat kekurangan dan kesukaran (Syaefuddin, 2005: 110).

Disamping itu, terdapat hal penting dalam mengkaji pemikiran Imam al-Ghazali dalam pendidikan, yaitu pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai kehidupan yang sejalan dengan filsafat hidupnya, meletakkan dasar kurikulum sesuai dengan porsinya, serta minatnya yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Nasihat terbaik yang dipesankan oleh Imam al-Ghazali dalam pendidikan anak ialah memperhatikan masalah pendidikannya sejak permulaan umurnya, karena bagaimana adanya seorang anak, begitulah besarnya nanti. Bila kita perhatikan pendidikannya di waktu kecil, ia pasti bersifat baik bila ia besar (Syaefuddin, 2005: 109).

(4)

Menurut Imam al-Ghazali biarpun bagaimana bapak memelihara anaknya dari azab dan kesengsaraan dunia, tentunya lebih layak dan patut memeliharanya dari api neraka. Caranya tentu dengan mendidik, mengasuhnya dan mengajarkannya budi pekerti yang mulia (Nasruddin Thaha, 2005: 35). Anak-anak dilatih dan dibiasakan untuk membantu orang tua, orang lemah dan menolong masyarakat yang membutuhkan bantuan. Mereka dibawa mengunjungi perkampungan atau tempat- tempat orang miskin, orang-orang ditimpa bencana alam, ke panti-panti asuhan dan ke rumah-rumah sakit. Di situ mereka disuruh menyerahkan oleh-oleh yang telah disediakan. Bila kerendahan hati hendak ditanam dan diterapkan di jiwa yang angkuh, biasakan mengerjakan pekerjaan- pekerjaan yang berlumpur dan kotor. Anak-anak hendaklah dibiasakan hidup dalam serba kasar (tidak manja), susah dan jauh dari keempukan (kemanjaan). Makanannya sewaktu-waktu biar tidak ada rendang (lauk pauk) nya, agar anak-anak tahu bahwa makan itu tidak selamanya mesti ada lauk pauknya. Didik mereka supaya biasa makan sedikit, tidak rakus dan suka makan makanan yang sederhana, dan larang anak-anak tidur di kasur yang empuk, biar anggota badannya kuat dan otot-ototnya subur dan supaya tubuhnya jangan lamban dan lemah. Pada mulanya anak-anak akan mengomel dan mangkel hatinya, tetapi berkat latihan dan asuhan yang berulang-ulang mereka sendiri merasa senang, tabah, segala-galanya biasa saja dan hilanglah perasaan angkuh, sombong dan malu-malu (Nasruddin Thaha, 2005: 41). Menurut al-Ghazali setelah

(5)

usai sekolah anak harus diizinkan bermain dan bersenang-senang.

Mengharuskan kerja terus tanpa ada waktu bermain akan mematikan hati dan merampas kecerdasan anak dan membuat hidupnya menderita (Margareth Smith, 2000: 4).

Ilustrasi yang sering digunakan al-Ghazali untuk mengingatkan bahwa salah satu kesenangan yang disukai saat kecil adalah pertunjukan boneka. Ia mengatakan orang yang mengaku bahwa semua gerakannya sebagai gerakannya sendiri, adalah seperti anak yang sedang menyaksikan boneka tersebut. Sebab ia menyangka bahwa apa yang dapat dilihat dalam dunia nyata tidak memiliki penyebab di dunia ghaib. Dari balik tabir seorang dalang memperagakan boneka tampil menari, berdiri dan duduk. Sedang boneka itu tidak bergerak dengan sendirinya, tetapi digerakkan tali kawat yang tidak terlihat dalam gelap, sebab berada ditangan dalang. Mereka menikmati penampilan dan mengagumi boneka yang terbuat dari perca-perca kain yang tengah menari, bermain, berdiri dan duduk. Orang yang lebih bijak dari anak- anak, tahu bahwa ada sesuatu yang menyebabkan gerakan boneka itu.

Boneka itu tidak bergerak dengan sendirinya sekalipun mungkin tidak tahu bagaimana hal itu diatur dan tidak tahu seperti apa pemainnya tersebut. Dari sini, kemudian al-Ghazali membandingkan dengan keadaan manusia di dunia ini, yang tidak mampu melihat bahwa segala kejadian datang dari kehendak Tuhan. Al-Ghazali menyatakan bahwa anak harus taat, baik kepada orang tua maupun gurunya. Setelah berusia

(6)

matang, seorang anak harus diajari agama untuk menuntun bahwa kehidupan dunia ini hanyalah tempat persiapan menuju hidup selanjutnya. Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan, jika seorang anak dididik dengan baik, dia akan mendapatkan jalan yang baik pula kelak.

Didikan yang baik watu kanak-kanak akan meninggalkan kesan mendalam dalam hati, ibarat ukiran di atas batu (Margareth Smith, 2000: 4-5).

Dengan demikian, corak pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan cenderung bersifat sufistik dan lebih banyak bersifat rohaniah.

Menurutnya ciri khas pendidikan Islam itu lebih menekankan nilai moralitas yang dibangun dari sendi-sendi akhlak Islam. Disamping itu al-Ghazali juga menekankan pula pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan untuk kepentingan hidup manusia (Syaefuddin, 2005:

110). Pendidikan Islam adalah sarana bagi pembentukan manusia yang mampu mengenal Tuhannya dan berbakti kepada-Nya. Dalam pandangan al-Ghazali dinyatakan bahwa manusia yang dididik dalam proses pendidikan hingga pintar, namun tidak bermoral, orang tersebut dikategorikan sebagai orang bodoh, yang hidupnya akan susah.

Demikian pula orang yang tidak mengenal dunia pendidikan, dipandangnya sebagai orang yang binasa (Syaefuddin, 2005: 111).

(7)

2. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia.

Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudharatan.

Tujuan pendidikan yang dirumuskan al-Ghazali tersebut dipengaruhi oleh ilmu tasawuf yang dikuasainya. Karena ajaran tasawuf memandang dunia ini bukan merupakan hal utama yang harus didewakan, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatannya setiap saat. Dunia merupakan tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa yang kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia (Jalaluddin, 2003: 14-15).

Pendapat Imam al-Ghazali pada umumnya sejalan dengan tren-tren agama dan etika. Imam al-Ghazali juga tidak melupakan masalah- masalah duniawi karena ia diberi ruang dalam sistem pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Dunia adalah alat perkebunan untuk kehidupan akhirat, alat yang mengantarkan seseorang menemui Tuhannya. Ini tentunya berlaku bagi yang memandangnya sebagai alat dan tempat tinggal sementara bukan untuk menetap.

Pendapat al-Ghazali tersebut bercorak religius yang cenderung pada bidang sufistik (ruhani). Kecenderungan tersebut menurut keadaan

(8)

yang sebenarnya, sejalan dengan pemikiran filsafat al-Ghazali yang bercorak sufistik (tasawuf). Dengan demikian, Syaefuddin (2005: 144) mengatakan:

Sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan di akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan jalur melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat ia bahagia di dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, sehingga ia akan menjadi bahagia di akhirat kelak.

Dengan demikian, menguasai ilmu bagi al-Ghazali termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang terkandung serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya. Tingkat termulia bagi manusia adalah kebahagiaan abadi, kebahagiaan abadi itu dicapai melalu ilmu dan amal. Oleh karena itu, modal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu. Kalau demikian, ilmu adalah amal yang paling utama dan mulia, akhirnya ilmu akan membawa manusia pada derajat yang tinggi, berakhlak mulia, berakal sempurna, bertakwa, dan bahagia didunia dan akhirat dengan Ridho Allah. Sesuai dengan pernyataan Imam al-Ghazali (1987: 12) yaitu:

”Dunia adalah ladang tempat persemaian benih-benih akhirat.

Dunia adalah alat yang menghubungkan seseorang dengan Allah.

Sudah barang tentu, bagi orang yang menjadikan dunia hanya sebagai alat dan tempat persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal yang kekal dan negeri yang abadi”.

(9)

Namun demikian, akhirat oriented juga bukanlah sikap yang sejalan dengan ajaran Al-Qur’an. Keseimbangan antara dunia dan akhirat adalah sebuah tuntunan yang harus dilaksanakan. Oleh karena itu, penjelasan secara implisit Imam al-Ghazali menemukan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk insan yang paripurna, yakni insan yang tahu kewajibannya, baik sebagai hamba Allah maupun sesama manusia.

3. Pendidik

Dalam proses pembelajaran menurut al-Ghazali pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu proses pendidikan. Pendidik dianggap sebagai maslikul kabir, bahkan dapat dikatakan bahwa pada satu sisi pendidik mempunyai jasa lebih dibandingkan dengan kedua orang tuanya. Lantaran kedua orang tuanya hanya dapat menyelamatkan anaknya dari sengatan api neraka dunia saja, sedangkan pendidik menyelamatkannya dari sengatan api neraka di akhirat.

Menurut Imam al-Ghazali pendidik disebut sebagai orang-orang besar (great Individuals) yang aktifitasnya lebih baik dari pada ibadah setahun. Selanjutnya ia menukil dari perkataan para ulama’ yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita (siraj) segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya (nur) keilmiahannya (Abdul Mujib, 2006: 89). Pada prinsipnya

(10)

pendidik adalah profesi yang mulia dan terpuji. Berkat pengabdian pendidik dalam mendidik siswa-siswinya, maka muncullah sederet tokoh yang pandai dalam melaksanakan roda pemerintahan, serta berkat sentuhan seorang guru pula lahir tenaga profesional yang benar-benar dibutuhkan. Dengan demikian seorang pendidik bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih penting pula membentuk watak dan pribadi anak didiknya dengan akhlak dan ajaran- ajaran Islam (Akhyak, 2005: 2).

Dalam pendidikan, guru mempunyai tugas ganda, yaitu: abdi negara dan abdi masyarakat. Sebagai abdi negara guru dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah menjadi kebijakan pemerintah dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan sebagai abdi masyarakat, guru dituntut berperan aktif mendidik masyarakat dari belenggu keterbelakangan menuju kehidupan yang lebih gemilang (Ali Rohmad, 2004: 34).

Imam al-Ghazali merupakan seorang guru yang mengajar di madrasah Nidzamiyyah dengan murid-muridnya pada waktu itu sebanyak 300 orang. Menurut Imam al-Ghazali, seorang guru dalam mengajar harus bertujuan pada masalah kehidupan di akhirat. Dan guru dalam ilmu keduniaan tetap harus bertujuan pada keakhiratan dan tidak pada keduniaan semata (Hussein Bahreisj, 1981: 79).

(11)

Sifat-sifat yang harus dimiliki seorang guru menurut Imam al- Ghazali (Armai Arief, 2002: 73) adalah sebagai berikut:

a. Pendidik hendaknya memandang murid seperti anaknya sendiri, menyayanginya dan mencintainya.

b. Dalam melaksanakan tugasnya, guru hendaknya tidak mengharapkan upah atau pujian, tetapi hanya ridho dari Allah SWT

c. Terhadap peserta didik yang bertingkah buruk, hendaknya guru menegur sebisa mungkin dengan kasih sayang

d. Pendidik tidak boleh fanatik dengan bidang studi yang diasuhnya, lalu mencela pendidik lain

e. Pendidik harus mengetahui perkembangan fikir peserta didik agar tahu kelemahan daya fikirnya

f. Hendaknya pendidik mengamalkan ilmunya dan tidak sebaliknya, dimana perbuatannya bertentangan dengan ilmu yang diajarkannya.

Menurut Imam al-Ghazali, kode etik yang diperankan seorang pendidik sangatlah berat. Hal ini terjadi karena pendidik menjadi segala-galanya, yang tidak saja menyangkut keberhasilannya dalam menjalankan profesi keguruannya, tetapi juga tanggung jawabnya dihadapan Allah SWT kelak.

(12)

Adapun kode etik pendidik menurut Imam al-Ghazali (Abdul Mujib, 2006: 98-100) adalah :

a. Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah

b. Bersikap penyantun dan penyayang

c. Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak d. Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap

sesama

e. Bersikap rendah hati ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat

f. Menghilangkan aktifitas yang tidak berguna dan sia-sia g. Bersifat lemah lembut dalam menghadapi problem peserta

didiknya yang tingkat IQ nya rendah serta membinanya sampai pada taraf maksimal.

h. Meninggalkan sifat marah dalam menghadapi problem peserta didiknya

i. Memperbaiki sikap peserta didiknya dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya j. Meninggalkan sifat yang menakutkan pada peserta didik,

terutama pada peserta didik yang belum mengerti atau mengetahui

(13)

k. Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didik, walaupun pertanyaannya itu tidak bermutu dan tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan

l. Menerima kebenaran yang diajukan oleh peserta didiknya m. Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses

pendidikan, walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik

n. Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan

o. Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus- menerus mencari informasi guna disampaikan kepada peserta didik yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah SWT

p. Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardhu kifayah sebelum mempelajari ilmu fardhu ‘ain

q. Mengaktualisasikan informasi yang diajarkan pada peserta didik.

Sedangkan syarat-syarat pendidik menurut Imam al-Ghazali (Muhammad Jameel Zeeno, 2005: 47-48) adalah sebagai berikut:

a. Menguasai ilmu yang diajarkannya, memiliki inovasi dalam praktek belajar mengajar

b. Ia harus memiliki atau menjadi contoh yang baik bagi siswanya, baik perkataan maupun perbuatannya

(14)

c. Pendidik harus tahu bahwa tugas seorang guru menyerupai tugas Nabi Muhammad SAW yang diutus oleh Allah SWT untuk mengajarkan petunjuk kepada umat manusia

d. Seorang pendidik harus mempunyai sifat tolong-menolong dengan rekan sesama guru

e. Seorang pendidik hendaknya senantiasa berlaku jujur dalam bertutur kata, ingatlah bahwa kejujuran membawa kebaikan f. Pendidik hendaknya memiliki sifat sabar, pada saat

menghadapi permasalahan dengan para siswa dan pelajarannya.

Dari beberapa sifat-sifat, kode etik dan persyaratan pendidik di atas menunjukkan betapa berat tugas dan tanggung jawab seorang pendidik.

Disamping untuk dapat memenuhi persyaratan harus juga mempunyai keikhlasan yang tinggi, dan mempunyai jiwa pengabdian kepada ilmu, sehingga nantinya mampu menghasilkan anak didik (peserta didik) yang berkualitas baik dibidang keilmuan, moral maupun keimanannya terhadap Allah SWT.

4. Peserta Didik

Dalam menjelaskan peserta didik al-Ghazali menggunakan dua kata yakni, Al-Muta’allim (pelajar) dan Tholib Al-Ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Namun, bila kita melihat peserta didik secara makna luas yang dimaksud dengan peserta didik adalah seluruh manusia mulai dari

(15)

awal konsepsi hingga manusia usia lanjut. Selanjutnya, bahasa peserta didik terbebani hanya bagi mereka yang melaksanakan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah (Ramayulis, Nizar Samsul, 2005: 89).

Pemikiran al-Ghazali yang sangat luas dan memadukan antara dua komponen keilmuan, sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep peserta didik menurutnya peserta didik adalah manusia yang fitrah.

Secara bahasa kata fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan), sama dengan kata “khalaqa”. Jadi kata fitrah merupakan (isim masdar) yang berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya manusia “asal kejadian”.

Adapun kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung pengertian yang sangat luas. Al-Ghazali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam beberapa pokok sebagai berikut (Ramayulis, Nizar Samsul, 2005: 10) :

a. Beriman kepada Allah

b. Kemampuan dan ketersediaan menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.

c. Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berfikir

d. Dorongan biologis yang berupa syahwat dan ghodlob atau insting

(16)

e. Kekuatan lain dan sifat- sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.

Dengan demikian konsep fitrah yang diletakkan al-Ghazali dalam memahami peserta didik masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keturunan dan insting manusia.

Hanya saja, dalam hal ini pandangan al-Ghazali lebih terkonsentrasi pada nilai moral, belajar merupakan salah satu bagian dari ibadah guna mencapai derajat seorang hamba yang tetap dekat (taqarrub) dengan khaliknya. Maka dari itu, seorang peserta didik harus berusaha mensucikan jiwanya dari akhlak yang tercela.

Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik (Ramayulis, Nizar Samsul, 2005: 101), syarat- syarat tersebut antara lain :

a. Peserta didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan bimbingan dari pendidik.

b. Peserta didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya dan sebagai satu bangunan maka peserta didik

(17)

harus saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang sesamanya.

c. Peserta didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran

d. Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat, melainkan harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya sungguh- sungguh mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tersebut tercapai.

Imam al-Ghazali merumuskan sifat-sifat yang patut dan harus dimiliki peserta didik (Samsul Nizar, 2002: 52-53) yaitu:

1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak karimah

2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi

3) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ukhrawi maupun duniawi

4) Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar

(18)

5) Mengenai ilmu-ilmu ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari

6) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.

Pendapat Imam al-Ghazali mengenai etika seorang peserta didik (Abuddin Nata, 2001: 106-108) adalah sebagai berikut:

1) Seorang pelajar harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak yang buruk dan sifat-sifat tercela

2) Seorang pelajar hendaknya tidak banyak melibatkan diri dalam urusan duniawi

3) Seorang pelajar jangan menyombongkan diri dengan ilmu yang dimilikinya dan jangan pula banyak memerintah guru 4) Bagi pelajar permulaan jangan melibatkan atau mendalami

perbedaan pendapat para ulama’, karena yang demikian itu dapat menimbulkan prasangka buruk, keragu-raguan dan kurang percaya pada kemampuan guru

5) Seorang pelajar jangan berpindah dari suatu ilmu yang terpuji kepada cabang-cabangnya kecuali setelah ia memahami pelajaran sebelumnya, mengingat bahwa berbagai macam ilmu itu saling berkaitan satu sama lain 6) Seorang pelajar jangan menenggelamkan diri pada satu

bidang ilmu saja melainkan harus menguasainya ilmu pendukung lainnya

(19)

7) Seorang pelajar jangan melibatkan diri terhadap pokok bahasan tertentu, sebelum melengkapi pokok bahasan lainnya yang menjdi pendukung tersebut

8) Seorang pelajar agar mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan kemuliaan ilmu

9) Seorang pelajar agar dalam mencari ilmunya didasarkan pada upaya untuk menghias batin dan mempercantiknya dengan berbagai keutamaan

10) Seorang pelajar harus mengetahui hubungan macam-macam ilmu dan tujuannya.

Jika diperhatikan seksama, tampak bahwa pandangan Imam al- Ghazali terhadap akhlak pelajar bersifat sufistik, seperti terlihat pada keharusan berniat mencari ilmu semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT, bersikap zuhud dan memuliakan ilmu akhirat.

5. Metode dan Media

Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran, menurut al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran. Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali tentang metode dan media pengajaran. Untuk metode, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan riyadhah,

(20)

pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia (Zainuddin, 1991: 67).

Metode pendidikan menurut Imam al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan aqidah. Hal ini merupakan pantulan dan sikap hidupnya yang sufi dan tekun beribadah. Dari pengalaman pribadinya, Imam al-Ghazali menemukan cara untuk mencegah manusia dari keraguan terhadap persoalan agama ialah adanya keimanan terhadap Allah SWT, menerima dengan jiwa yang jernih dan aqidah yang pasti pada usia sedini mungkin (A. Syaefuddin, 2005: 153).

Imam al-Ghazali menyerupai kegiatan mengajarkan keyakinan itu laksana menyebarkan benih pada tanah untuk ditanamnya. Dan dengan mengajarkan i’tiqad dengan jalan menguatkan dengan dalil-dalil dan pembuktian-pembuktian kebenarannya bagaikan kegiatan menyiram dan memelihara benih tersebut, sehingga tumbuh dengan suburnya, pohonnya kokoh tinggi menjulang, akar tunggangnya menancap kuat di bumi pertala dan cabangnya merentang di angkasa raya. Dengan ini Imam al-Ghazali menggunakan metodenya terkhusus dalam pendidikan

(21)

agama ia mulai dengan menghafal dan memahami kemudian meyakini kebenarannya. Setelah itu baru ditegakkan dengan bukti-bukti dan dalil- dalil yang dapat membantu untuk menetapkan keyakinan tersebut (Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986: 61).

Imam al-Ghazali dalam masalah pendidikan beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Misalnya dalam kitab ”Ihya’ Ulum ad-Din” juz III, beliau menguraikan antara lain: ”...

metode untuk melatih anak adalah salah satu hal-hal yang amat penting.

Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya. Hatinya bersih, murni, laksana permata yang sangat berharga, sederhana, bersih ukiran yang digoreskan kepadanya dan ia akan cenderung kearah manapun yang kita kehendaki. Oleh karena itu bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik itu pada dirinya dan akan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Orang tuanya, gurunya, pendidikannya juga akan turut berbahagia bersamanya, sebaliknya jika kita biarkan begitu saja, maka akan celaka dan binasa. Semua tanggungjawab tersebut terletak pada pundak pengasuh atau walinya. Wali wajib menjaga anak tersebut dari segala dosa mendidik mengajarkannya dengan budi pekerti yang luhur serta menjaganya jangan sampai bergaul dengan teman-teman yang nakal (Munardji, 2004: 107).

Metode mujahadah dan riyadhoh-nafsiyah (ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut Imam al-Ghazali adalah membebani jiwa dengan

(22)

cara mengulang-ulangi amal perbuatan yang difokuskan pada khuluk yang baik. Hal ini akan meninggalkan kesan yang baik dalam jiwa anak didik dan benar-benar akan menekuninya. Seperti bermurah hati dan tawadhu’, untuk merealisasikan khuluk seperti itu perlu adanya mujahadah (menekuninya) sehingga hal itu akan menjadi watak dan akhlaknya.

Dari uraian tentang proses pembelajaran dan metode pendidikan menurut Imam al-Ghazali dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas dari apa yang telah dikemukakan.

Aplikasi metode ini secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu membina dan melatih fisik dan psikis guru sebagai pelaksana untuk menjadi uswatun khasanah bagi peserta didiknya. Hal ini dengan pendapat Hasan Langgulung (1987: 14) yang menjelaskan bahwa proses pembelajaran dan metode pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali tidak hanya bersifat sebagai metode mengajar an-sich, tetapi juga meliputi pendidikan dan latihan guru. Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan metode yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh Imam al- Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan secara global.

(23)

Kata media berasal dari bahasa latin medius yang secara harfiah berarti ”tengah / perantara / pengantara” (Arief S. Sadiman, 2008: 6).

Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dengan pengertian ini, guru, buku teks dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus media adalah proses belajar mengajar, cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis / elektronis untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi visual / verbal.

Ciri-ciri media pendidikan (Azhar Arsyad, 2004: 3) adalah:

a. Ciri fiksatif (fixative property), ciri ini menggambarkan kemampuan media merekam, menyimpan, melestarikan dan merekonstruksi suatu peristiwa atau objek suatu peristiwa atau objek dapat diurut atau disusun kembali dengan media.

Seperti : fotografi, video tape, audio tape, disket komputer dan film.

b. Ciri manipulatif (manipulative property), transformasi suatu kejadian atau objek dimungkinkan karena media memiliki ciri manipulatif. Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu 2/3 menit dengan teknik pengambilan gambar time-place recording. Misalnya :

(24)

bagaimana proses larva menjadi kepompong kemudian menjadi kupu-kupu dapat pula dipercepat dengan teknik rekaman fotografi tersebut.

c. Ciri distributif (distributive property), suatu objek atau kejadian ditransportasikan melalui ruang dan secara bersamaan kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah siswa dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian itu.

Dewasa ini, distribusi media tidak hanya terbatas pada satu kelas atau beberapa kelas pada sekolah-sekolah dalam suatu wilayah tertentu, tetapi juga media itu. Misalnya : rekaman video, audio, disket komputer dapat disebar keseluruh penjuru tempat yang diinginkan kapan saja.

Faktor-faktor dalam pemilihan media pendidikan (Munardji, 2004:

97) adalah:

a. Tujuan yang hendak dicapai, suatu alat tertentu mungkin dapat digunakan untuk mencapai beberapa tujuan, tetapi mungkin tidak dapat digunakan untuk mencapai tujuan apapun. Pendidikan jasmani misalnya merupakan alat pendidikan yang memiliki multiguna.

b. Media yang tersedia, media yang berwujud benda tidak perlu benda-benda mahal. Bahkan dengan benda-benda yang ada di rumah atau sekolah pun pendidikan sudah bisa berlangsung.

(25)

c. Pengguna media, keberhasilan komunikasi dengan alat sangat dipengaruhi oleh penggunanya. Pendidik yang kurang cakap dalam menggunakan suatu alat, hendaknya tidak menggunakan alat itu.

d. Peserta didik, kondisi peserta didik, jenis kelamin, umur, perkembangan dan lingkungannya hendaknya menjadi bahan pertimbangan pendidik dalam memilih alat.

Ruang dan waktu, pertimbangan ruang bisa didasarkan atas luas tidaknya ruangan, bisa pula atas letak geografisnya. Pendidikan yang dilangsungakan di dalam kelas umpamanya, bisa berbeda dengan yang dilangsungkan di lapangan terbuka.

Dengan demikian konsep pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan adalah bersifat religius, seorang peserta didik harus mampu mengenal Tuhannya dan berbakti kepada-Nya. Kemudian tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia.

(26)

B. Konsep Pendidikan Agama Islam di Indonesia 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Pembelajaran Agama Islam merupakan sebutan yang diberikan pada salah satu subyek pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa Muslim dalam menyelesaikan pendidikannya pada tingkat tertentu (Chabib Thoha, 2004: 4). Ilmu pendidikan Islam adalah teori, konsep dan atau pengetahuan tentang pendidikan yang berdasarkan Islam.

Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw (Fatah Yasin, 2008: 4). Secara sederhana Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang dilaksanakan dengan bersumber dan berdasar atas ajaran (agama) Islam. Sebagaimana kita maklumi, bahwa ajaran Islam bersumber dan berdasarkan atas Al-Qur’an, yang kemudian diteladani aplikasinya dalam kehidupan nyata oleh sunnah Nabi Muhammad saw (Munardji, 2004: 31).

Pembelajaran Agama Islam merupakan salah satu jenis pendidikan agama yang didesain dan diberikan kepada siswa yang beragama Islam dalam rangka untuk mengembangkan keberagaman Islam. Dalam bukunya Muhaimin yang berjudul Nuansa Baru Pendidikan Islam (2006: 5) terdapat beberapa penjelasan tentang pengertian Pendidikan Agama Islam. Di sini di jelaskan bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan Islam. Istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami dalam beberapa perspektif, yaitu:

(27)

a. Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam, atau sistem pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilainilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dengan makna lain, pendidikan yang di pahami dan dikembangkan dari atau disemangati serta dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan hadits.

b. Pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai- nilai nya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini dapat berwujud:

1) Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan atau menumbuh kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam keterampilan hidupnya sehari-hari.

2) Segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.

(28)

2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Agama Islam

Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan agama Islam adalah usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran agama Islam secara menyeluruh lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Kurikulum pendidikan agama Islam untuk sekolah/madrasah berfungsi sebagai (Abdul Majid, 2005: 134-135):

a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketawaan peserta didik kepada Allah swt. Yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara optimal.

b. Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

c. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.

d. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta

(29)

didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.

e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negative dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.

f. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum, system dan fungsionalnya.

g. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang Agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal.

Pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaan, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk membina manusia beragama berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya. Tujuan pendidikan agama Islam dapat dibagi tiga macam, yaitu (1) tujuan ideal, (2) tujuan

(30)

institusional, (3) tujuan kurikuler. Adapun yang dimaksud dengan ke tiga tujuan tersebut adalah (Zainuddin Ali, 2007: 41-42):

a. Tujuan ideal, yang dimaksud tujuan ideal pendidikan agama Islam adalah menggerakkan mahasiswa untuk memperoleh hikmah kebijaksanaan hidup berdasarkan ajaran Islam QS.Lukman (31) ayat 12-20, yaitu mempunyai beberapa petunjuk:

1) Bersyukur kepada Allah 2) Tidak mempersekutukan Allah 3) Berbuat baik kepada Ibu Bapak 4) Mendirikan sholat

5) Menyuruh manusia berbuat baik dan melarang yang munkar

b. Tujuan institusional adalah usaha untuk mencapai agar mahasiswa:

1) Mengetahui, mengerti, dan memahami akidah dan syariah Islam

2) Mengamalkan, memahami, dan meyakni syari’ah islam baik melalui ibadah maupun muamalat sehingga mampu berdzikir kepada Allah dan bertafakur tentang ciptaannya

3) Membudayakan diri dan lingkungan dengan nilai-nilai Islam

(31)

4) Menjadi sarjana muslim yang mampu mengamalkan ilmu dan keterampilan sesuai dengan Islam.

c. Tujuan kurikuler yang ingin dicapai adalah:

1) Mengetahui, memahami, menghayati, dan melaksanakan rukun Iman, rukun Islam, dan Ihsan;

2) Membaca, mengerti, dan menghayati ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul;

3) Melaksanakan profesi keahliannya, penelitian ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan, kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat sesuai dengan akhlakul karimah dalam ajaran Islam

4) Memiliki kemampuan untuk menjadi khatib dan imam

3. Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Kurikulum adalah suatu alat yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan dan pelatihan. Salah satu rumusan mengajukan konsep bahwa kurikulum adalah semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah, baik yang dilaksanakan didalam lingkungan sekolah (lembaga pendidikan) maupun di luar sekolah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan (Oemar Hamalik, 1993: 15). Dalam buku Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Mastuhu, 1999: 87-88) dalam kurikulum 1994 disebutkan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam di sekolah umum adalah meningkatkan keyakinan, pemahaman,

(32)

penghayatan, dan pengalaman siswa tentang Agama Islam dan bertaqwa kepada Allah SWT., serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.

Dari perumusan di atas dapat dikembangkan penafsiran yaitu, diharapkan para siswa mampu memahami dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Dari GBPP (Garis-garis Besar Pedoman Pengajaran) mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).

Menurut kurikulum 1994, jelas terlihat adanya keinginan agar anak mampu menguasai dan mempraktikkan ibadah mahdlah, seperti shalat wajib, beberapa shalat sunnah, puasa, membaca do’a-do’a, dan ayat- ayat pendek yang sifatnya “given” dan sederhana. Dari analisis tujuan Pendidikan Agama Islam di sekolah umum di atas, secara umum dapat dikemukakan bahwa peserta didik diharapkan berperilaku, berpikir, dan bersikap sehari-hari dalam kehidupan sosial selalu didasari dan dijiwai oleh agama.

Kurikulum adalah seperangkat perencanaan dan media untuk mengantar lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Kurikulum dapat diartikan menurut fungsinya sebagaimana dalam pengertian berikut ini (Nur Uhbiyati; Abu Ahmadi, 1997: 187):

(33)

a. Kurikulum sebagai program studi.

Merupakan seperangkat mata pelajaran yang mampu dipelajari oleh peserta didik di sekolah atau di institusi pendidikan lainnya.

b. Kurikulum sebagai konten.

Merupakan data atau informasi yang tertera dalam buku- buku kelas tanpa dilengkapi dengan data atau informasi lain yang memungkinkan timbulnya belajar.

c. Kurikulum sebagai kegiatan terencana.

Merupakan kegiatan yang direncanakan tentang hal-hal yang akan diajarkan dan dengan cara bagaimana hal itu dapat diajarkan dengan berhasil.

d. Kurikulum sebagai hasil belajar.

Merupakan seperangkat tujuan yang utuh untuk memperoleh suatu hasil tertentu tanpa menspesifikasi caracara yang dituju untuk memperoleh hasil tersebut, atau seperangkat hasil belajar yang direncanakan dan diinginkan.

e. Kurikulum sebagai reproduksi kultural.

Merupakan transfer dan refleksi butir-butir kebudayaan masyarakat, agar dimiliki dan dipahami anak-anak generasi muda masyarakat tersebut.

f. Kurikulum sebagai pengalaman belajar.

(34)

Merupakan keseluruhan pengalaman belajar yang direncanakan dibawah pimpinan sekolah.

g. Kurikulum sebagai produksi.

Merupakan seperangkat tugas yang harus dilakukan untuk mencapai hasil yang ditetapkan terlebih dahulu.

Menarik kesimpulan bahwa pertimbangan-pertimbangan para ahli pendidikan Islam dalam menentukan/memilih kurikulum adalah segi akhlak/budi pekerti dan berikutnya segi kebudayaan dan manfaat.

Dalam Ilmu Pendidikan Islam, kurikulum merupakan komponen yang amat penting karena merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang diproses didalam sistem kependidikan Islam. Ia juga menjadi salah satu bagian dari bahan masukan yang mengandung fungsi sebagai alat pencapai tujuan (input instrumental) pendidikan Islam.

Prof. H. M. Arifin, Med., menyatakan kategori ilmu pengetahuan Islam yang harus dijadikan materi kurikulum sebagai berikut (Nur Uhbiyati; Abu Ahmadi, 1997: 193-195):

a. Ilmu pengetahuan dasar yang esensial adalah ilmu-ilmu yang membahas (Ulumul Qur’an) dan Al-Hadits.

b. Ilmu-ilmu pengetahuan yang menstudi tentang manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Ilmu ini memasukkan ilmu-ilmu: antropologi, pedagogik, psikologi, sosiologi, sejarah, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.

(35)

c. Ilmu-ilmu pengetahuan tentang alam atau disebut “Al ulum al kainiyah (ilmu pengetahuan alam)” yang termasuk didalamnya antara lain biologi, botani, fisika, astronomi, dan sebagainya.

Agar jalan yang ditempuh oleh pendidik dan peserta didik dapat berjalan mulus untuk menuju ke cita-cita pendidikan yaitu dengan terbentuk kepribadian Muslim atau insan kamil yang diridhai Tuhan orang harus selalu meniti jalan serta melihat kompas antara lain firman Allah sebagai berikut:

$#uρ | =≈tGÅ 3ø9$# ãΝà6ßϑÏk=yèãƒuρ Artinya: “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. (QS. AlBaqarah: 151).

Dengan ilmu pengetahuan dan hikmah yang telah diajarkan kepada manusia, maka timbullah dalam dirinya suatu kesadaran bahwa ia adalah makhluk Allah yang wajib menyembah kepada-Nya. Ibadat kepada-Nya merupakan salah satu bentuk menifestasi dari sikap berilmu dan beriman sehingga manusia Muslim hasil pendidikan Islam tetap akan mematuhi perintah Allah.

Kurikulum adalah termasuk aspek-aspek utama dalam proses pendidikan yang mendapat kecaman keras dan ditunjukkan cacat cela dan aspek-aspek kekurangannya dan ingin dikembangkan, diperbaiki dan dirubah konsepnya. Adapun ciri-ciri umum kurikulum pada pendidikan Islam, berdasar pada apa-apa yang telah kita sebutkan, dapat

(36)

disebutkan secara singkat sebagai berikut (Hasan Langgulung, 1987:

489-512):

a. Menonjolnya tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan- tujuannya dan kandungan-kandungan, metode-metode, alat- alat dan tekniknya bercorak agama.

b. Kurikulum yang betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran, dan ajaran-ajarannya adalah kurikulum yang luas dan menyeluruh dalam perhatian dan kandungannya.

c. Menaruh perhatian untuk mencapai perkembangan yang menyeluruh, lengkap melengkapi, dan berimbang antara orang dan masyarakat.

d. Kecenderungan pada seni-halus, mengembangkan aktivitas pendidikan jasmani, latihan militer, pengetahuan teknik, latihan kejuruan, bahasa-bahasa asing, sekalipun atas dasar perorangan dan juga bagi mereka yang memiliki kesediaan dan bakat bagi perkara-perkara ini dan mempunyai keinginan untuk mempelajari dan melatih diri dalam perkara itu.

e. Berkaitan antara kurikulum dalam pendidikan Islam dengan kesdiaan-kesediaan pelajar-pelajar dan minat, kemampuan, kebutuhan dan perbedaan-perbedaan perorangan di antara mereka. Juga berkaitan dengan alam sekitar budaya dan sosial di mana kurikulum itu dilaksanakan.

(37)

4. Metode Pendidikan Agama Islam

Metode adalah cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan.

Metode pendidikan agama Islam adalah cara-cara yang ditempuh dan dilaksanakan dalam pendidikan Islam agar mempermudah tercapainya tujuan pendidikan (Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, 2009:

260).

Dalam proses pendidikan Islam metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya mencapai tujuan. Karena metode menjadi salah satu sarana yang memberikan makna bagi materi pelajaran, sehingga materi tersebut dapat dipahami dan diserap oleh peserta didik menjadi pengertian-pengertian fungsional yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku. Tanpa metode suatu materi tidak akan dapat berproses secara efektif dan efisien dalam kegiatan belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan.

Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa Yunani Metodos. Metha berarti melalui atau melewati dan hodos yang berarti jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan (Armai Arief, 2002: 40).

Dalam bahasa Arab metode disebut tariqoh artinya jalan, cara, sistem atau ketertiban dalam mengerjakan sesuatu, menurut istilah yaitu suatu sistem atau cara mengatur suatu cita-cita (Nur Uhbiyati; Abu ahmadi, 1997: 136).

Muhammad Athiyah al Abrasyi dalam bukunya Jalaluddin dan Usman Said (1994: 52) mendefinisikan bahwa metode adalah jalan

(38)

yang harus diikuti untuk memberikan paham kepada murid-murid dalam segala macam pelajaran. Sedangkan menurut M. Arifin (1993:

61) dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Islam” mengartikan metode sebagai jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Adapun Ahmad Tafsir (1995: 9) secara umum membatasi bahwa metode adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik.

Dari beberapa pengertian metode di atas apabila dikaitkan dengan pendidikan Islam bahwa metode pendidikan Islam adalah jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi objek sasaran yaitu pribadi Islami (Abuddin Nata, 1997:

9). Jadi, metode pendidikan Islam dapat diartikan sebagai cara yang cepat dan tepat untuk mendidik anak didik agar dapat memahami, menghayati serta mengamalkan ajaran Islam dengan baik sehingga manusia menjadi yang berkepribadian Islami. Metode mengajar merupakan salah sau cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran. Oleh karena itu, peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses belajar mengajar.

(39)

Adapun metode yang digunakan oleh guru bidang studi PAI adalah (Abu Ahmadi, 1985: 110-121):

a. Metode Ceramah

Merupakan suatu metode di dalam pendidikan dan pengajaran dimana cara menyampaikan pengertian- pengertian materi pengajaran kepada anak didik dilaksanakan dengan lisan oleh guru dalam kelas. Peranan guru dan murid berbeda dalam metode ceramah ini, yaitu posisi guru disini dalam penuturan dan menerangkan secara aktif, sedangkan murid hanya mendengarkan dan mengikuti secara cermat serta membuat catatan tentang pokok persoalan yang diterangkan oleh guru. Dan dalam metode ini peran yang utama adalah guru.

b. Metode Tanya Jawab

Merupakan suatu metode di dalam pendidikan dan pengajaran dimana guru bertanya sedangkan murid-murid menjawab tentang bahan materi yang ingin diperolehnya.

Metode Tanya jawab dilakukan:

1) Sebagai ulangan pelajaran yang telah diberikan.

2) Sebagai selingan dalam pembicaraan.

3) Untuk merangsang anak didik agar perhatiannya tercurah kepada masalah yang sedang dibicarakan.

(40)

4) Untuk mengarahkan proses berfikir.

c. Metode Diskusi

Merupakan suatu kegiatan kelompok dalam memecahkan masalah untuk mengambil kesimpulan. Diskusi selalu diarahkan kepada pemecahan masalah yang menimbulkan berbagai macam pendapat, dan akhirnya diambil suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh anggota dalam kelompokya. Dalam diskusi ini yang perlu diperhatikan adalah apakah setiap anak sudah mau mengemukakan pendapatnya, apakah setiap anak sudah dapat menjaga dan mematuhi etika dalam berbicara dan sebagainya. Barulah diperhatikan apakah pembicaraannya memberikan kemungkinan memecahkan persoalan diskusi.

d. Metode Pemberian Tugas Belajar (Resitasi)

Metode ini sering disebut dengan pekerjaan rumah yaitu metode dimana murid diberi tugas khusus diluar jam pelajaran. Dalam pelaksanaan metode ini anak-anak dapat mengerjakan tugasnya tidak hanya di rumah, akan tetapi bisa juga di perpustakaan, laboratorium, di taman dan sebagainya yang untuk mempertanggungjawabkan kepada guru. Metode resitasi ini dilakukan:

1) Apabila guru mengharapkan agar semua pengetahuan yang telah diterima anak lebih mantap.

(41)

2) Untuk mengaktifkan anak-anak mempelajari sendiri suatu masalah dengan membaca sendiri, mengerjakan suatu masalah dengan membaca sendiri, mengerjakan soal-soal sendiri, mencoba sendiri.

3) Agar anak-anak lebih rajin.

e. Metode Demonstrasi dan Eksperimen

Metode demonstrasi adalah metode mengajar dimana guru atau orang lain yang sengaja diminta atau murid sendiri memperlihatkan pada seluruh kelas suatu proses belajar.

Misalnya, proses cara mengambil air wudhu, proses jalannya shalat dua rakaat dan sebagainya. Sedangkan metode aksperimen adalah metode pengajaran dimana guru dan murid bersama-sama mengerjakan sesuatu sebagai latihan praktis dari apa yang diketahui, misalnya murid mengadakan eksperimen menyelenggarakan shalat Jum'at, merawat jenazah dan sebagainya.

Metode demonsterasi dan eksperimen dilakukan:

1) Apabila akan memberikan keterampilan tertentu.

2) Untuk memudahkan berbagai penjelasan, sebab penggunaan bahasa dapat lebih terbatas.

(42)

3) Untuk membantu anak memahami dengan jelas jalannya suatu proses dengan penuh perhatian sebab membuat anak akan menarik.

f. Metode Kerja Kelompok

Metode kerja kelompok dalam rangka pendidikan dan pengajaran merupakan kelompok dari kumpulan beberapa individu yang bersifat paedagogis yang didalamnya terdapat adanya hubungan timbal balik antara individu serta saling percaya mempercayai.

Metode mengajar merupakan salah satu cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa, hubungan dengan siswa ini dengan melalui pendekatan.

Adapun pendekatan yang dilaksanakan dalam pendidikan agama adalah:

a. Pendekatan pengalaman

Yaitu memberikan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan.

b. Pendekatan pembiasaan

Yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya.

(43)

c. Pendekatan emosional

Yaitu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agamanya.

d. Pendekatan rasional

Yaitu usaha untuk memberikan perasaan kepada rasio (akal) dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agamanya.

e. Pendekatan fungsional

Yaitu usaha menyajikan ajaran agama Islam dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan sebutan yang diberikan pada salah satu subyek pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa Muslim dalam menyelesaikan pendidikannya pada tingkat tertentu. Pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilai nya agar menjadi way of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang. Pendidikan agama Islam juga diartikan sebagai usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran agama Islam secara menyeluruh lalu menghayati tujuan, yang pada

(44)

akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk membina manusia beragama berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya.

Referensi

Dokumen terkait

dan akhir, (2) frekuensi rata-rata musik, dan (3) kemunculan frekuensi. Dari ketiga acuan ini akan digunakan sebagai pembanding dengan frekuensi yang ada pada tembang tradisional

dapat dira*at dini.' Dia bahlGn nenyebut- kan usia sedini 4-5 tahun dengan kelaina. skeletal dan frmgsional perlu segera mendapatkan pera\4,atan orodonti. Namun cianelly

Adapun Data keaktifan belajar peserta didik kelas XI MA Al-Manshury Sungai Bakau Besar Laut sebelum melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode discovery learning yaitu

(1) Hasil evaluasi dan penilaian kelayakan calon Varietas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 oleh TPV disampaikan kepada Penyelenggara Pemuliaan dalam jangka

Kalau kita perhatikan naluri orang tua seperti yang Allah firmankan dalam Al Qur‟an ini, maka kita harus sadar bahwa orang tua senantiasa dituntut untuk menjadi teladan

Keterampilan sosial adalah sebuah alat dari kemampuan berinteraksi, kemampuan berkomunikasi secara verbal maupun non verbal pada sesama. Kemudian kemampuan untuk

2 Pada Tabel 1.1 juga menunjukkan bahwa kontribusi terkecil dalam PDRB Kota Bogor adalah sektor pertanian dengan kisaran nilai 0.30 persen dari total PDRB sehingga dapat

pada bayi dan / atau ibu, seperti berat badan bayi di atas rata-rata normal pada saat lahir (makrosomia), lama persalinan yang memanjang sehingga meningkatkan