• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak dalam proses peradilan pidana memiliki beberapa hak-hak yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan, antara lain:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Anak dalam proses peradilan pidana memiliki beberapa hak-hak yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan, antara lain:"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Dahlia Bintang Hersurenza Npm Asal : 19100246

Npm Unsoed : Z1A021082

1.Sistem Peradilan Anak : Keseluruhan peraturan per UU , Norma, standard, prosedur, mekanisme pranata dan lembaga lembaga yang secara khusus menangani anak yang berkonflik dengan hukum.

Anak dalam proses peradilan pidana memiliki beberapa hak-hak yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan, antara lain:

1. Setiap anak memiliki hak untuk diperlakukan sebagai yang belum tentu terbukti bersalah

2. Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari tinda- kan-tindakan yang merugikan dan menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial

3. Setiap anak memiliki hak untuk men- dapatkan pendampingan dari penasehat hukum untuk membantu dalam proses peradilan pidana.

4. Setiap anak memiliki hak untuk men- dapatkan penyuluhan dalam ikut serta memperlancar pemeriksaan

5. Setiap anak memiliki hak untuk mengemukakan pendapatnya

6. Anak berhak atas persidangan tertutup demi kepentingannya agar terhindar dari tekanan mental, fisil maupun sosial

7. Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pembinaan secara manu- siawi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan

8. Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya persi- apan yang matang sebelum siding dimulai.

9. Setiap anak memiliki hak untuk dapat berhubungan dengan orang tua dan keluarganya Konvensi hak anak :

1. Sedapat mungkin anak harus didiversi dari proses hukum, dan dialihkan ke program berbasis masyarakat

2. Proses hukum secara formal hanya menangani sejumlah kecil anak yang melakukan TP yang sangat serius dan mengancam masyarakat.

3. Penahanan anak hanya dilakukan sebagai measure of last resort dan dalam waktu yang sesingkat mungkin. (Pasal 37).

Hak anak & SPPA , Pasal 66 UU No.19/1999 tentang HAM

1. Hak anak tidak dijadikan sasaran penganiayaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi

2. Hak anak tidak dijatuhi pidana mati atau seumur hidup

3. Hak tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum

(2)

4. Penangkapan, penahanan, pidana penjara dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilaksanakan sebagai upaya terakhir.

5.Jika dirampas kemerdekaannya, setiap anak berhak untuk :

a) Mendapatkan perlakuan manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa , kecuali demi kepentingannya.

b) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

c) Membela diri dan memperoleh keadiln di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tahap untuk umum.

2. UU No. 11 Tahun 2012 sebagai sumber hukum pidana anak, lebih baik dan lebih maju dari pada UU No.3 Tahun 1997, Karena :

PENJELASAN:

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan Anak.

Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.

UU No.11 Tahun 2012 :

Undang-Undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Namun, Undang-Undang ini merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum.

Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain, mengenai penempatan

Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus

Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan

(3)

secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.

3.Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan hanya dipergunakan sebagai upaya terakhir, sebagai measure of the last resort (Beijing rules), pada semua tingkatan pemeriksaan.

Pemidanaan di dalam Undang-undang Pengadilan anak, ada empat hal :

1. Pemenjaraan atau pidana kurungan maksimum setengah dari pidana pokok bagi orang dewasa. (Pasal 26 ayat 1 dan Pasal 27)

2. Ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup dikonversi menjadi pidana penjara maksimum 10 tahun. (Pasal 26 ayat 2)

3. Ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup bagi anakyang umurnya belum 12 tahun dikonversi menjadi penyerahan anak kepada Negara (Pasal 26 ayat 3)

4. Pidana denda maksimum setengah dari denda untuk orang dewasa. (Pasal 28).

Sedangkan dalam KUHP pemidanaannya sebagai berikut :

a. Pidana pokok maksimum dua – pertiga dari pidana pokok untuk orang dewasa (Pasal 47 ayat 1)

b. Ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup dikonversi menjadi pidana penjara maksimum 15 tahun (Pasal 47 ayat 2)

D. Pidana Bersyarat yang dapat dijatuhkan pada anak sesuai Undang-undang Pidana Anak adalah untuk putusan pemenjaraan maksimum 2 tahun untuk jangka waktu maksimum 3 tahun (Pasal29 ayat 1 & 6).

Di KUHP Pidana bersyarat (tidak secara spesifik diberlakukan untuk anak) dapat dijatuhkan untuk putusan pemenjaraan maksimum 1 tahun (Pasal 14 a ayat 1)

E. Pidana Pengawasan dapat dijatuhkan paling singkat 3 bulan dan paling lama 2 tahun.

(Pasal 30 ayat 1). Sedangkan didalam KUHP Pidana bersyarat tidak diatur.

Perbandingan antara Undang-undang Pengadilan Anak dengan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) dapat dilihat bahwa Undang-undang Pengadilan Anak memberikan ancaman

pidana lebih ringan kepada anak jika dibandingkan dengan KUHP. Pemberlakukan Undang-

(4)

undang Pengadilan Anak, menimbulkan beberapa standar baru yang terpenting ialah ditetapkannya batas usia anak yang tidak berkapasitas melakukan tindak pidana.

Penahanan anak bukan merupakan jalan utama dalam rangka perbaikan moral anak. Pidana perampasan kemerdekaan terhadap anak hanya memberikan efek trauma yang mendalam pada diri anak. Suatu klausula yang paling relevan disini ialah tentang pidana perampasan kemerdekaan institutionalization, yang menurut Beijing Rules sebaiknya diterapkan setelah mempertimbangkan dua hal pokok:

a) the last resort; atau sebagai upaya terakhir dan tidak dapat dielakkan lagi (sehubungan dengan keseriusan tindakan yang dilakukan seorang anak); dan;

b) Tujuan utama dari sistem peradilan pidana ini telah ditegaskan dalam SMR-JJ for the minimum necessary period, atau dalam waktu yang sesingkat mungkin.9 (Beijing Rules) dalam rule 5.1 bahwa:

c) Memajukan kesejahteraan anak Artinya, Prinsip ini harus dipandang sebagi fokus utama dalam sistem peradilan anak. Prinsip ini dapat dijadikan dasar untuk tidak menerapkan penggunaan sanksi yang semata-mata bersifat pidana, atau yang bersifat menghukum. Sedapat mungkin sanksi pidana, terutama pidana penjara harus dipandang sebagai ‘the last resort’ dalam peradilan anak.

Mengedepankan prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality). Prinsip yang kedua ini merupakan sarana untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti memabalas. Paul H. Hann dalam hal ini mengemukakan pendapatnya bahwa pengadilan anak janganlan semata-mata sebagai suatu peradilan pidana bagi anak dan tidak pula harus berfungsi semata-mata sebagai suatu lembaga sosial

4.Dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, khusus mengenai sanksi terhdap anak ditemukan berdasarkan perbedaan umur anak yaitu, bagi anak yang belum berumur 14 tahun hanya dikenakan tindakan , demikian bunyi pasal 69 ayat (1), sedangkan terhdap anak yang telah mencapai umur 18 tahun dijatuhkan pidana, Pasal 70 mengatakan bahwa: ringannya perbuatan,keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan tidak dijatuhkan pidana atau mengenakan tindakan yang mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaa. Pada prinsipnya, tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah tanggung jawab anak itu sendiri, akan tetapi oleh karena terdakwa adalah seorang anak, maka tidak dapat dipisahkan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya. Tanggung jawab anak dalam melakukan tindak pidana adalah anak tersebut bertanggung jawab dan bersedia untuk disidik, dituntut dan dadili pengadilan, hanya saja, terdapat ketentuan-ketentuan dimana seorang anak tidak diproses sama halnya dengan memproses orang dewasa. Hal ini dijelaskan dalam asas di dalam pemeriksaan anak,yaitu :

1. Asas praduga tak bersalah anak dalam proses pemeriksaan 2. Dalam suasana kekeluarga

3. Anak sebagai korban

4. Didampingi oleh orang tua, wali atau penasehat hukum, minimal yang mengasuh

(5)

5. Penangkapan, penahanan sebagai upaya terakhir setelah dilakukan pertimbangan dengan catatan penahanan dipisahkan dariorang dewasa.

Pertanggug jawaban pidana anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana akan dilihat dari aturan yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP, Jika di dalam KUHP diatur dalam pasal 10 KUHP. Menurut pasal 10 KUHP hukuman itu terdiri dari hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok terdiri dari hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman terdiri dari hukuman mati, hukuman penjara yang dapat berupa hukuman seumur hidup dan hukuman sementara waktu, hukuman kekurangan dan hukuman denda.

Hukum pidana modern membedakan sanksi atas pidana (straf) dan Tindakan (mattregel).

Secara praktis sulit dibedakan antara pidana dan tindakan, karena keduanya merupakan sanksi yang menimbulkan ketidakenakan, bahkan menimbulkan perampasan kemerdekaan.

Secara teoritis pidana memberikan penderitaan (nestapa), sedangkan tindakan bertujuan mendidik dan melindungi masyarakat terhadap bahaya. Secara yuridis pidana diatur pada pasal 10 KUHP, dimana lalu diatur dalam pasal 45, pasal 46, dan 57 KUHP, sedangkan disaat ini tindakan diatur pada Pasal 24 Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pasal 10 KUHP menyebutkan pidana terdiri atas :

a) Pidana pokok : pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda

b) Pidana tambahan : pencabutan hak - hak tertentu, perampasan barang - barang tertentu, pengumuman putusan hakim

Sedangkan Pasal 24 Ayat 1 Undang - Undang Pengadilan Anak menyebutkan, Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah :

a) Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh

b) Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja

c) Menyerahkan kepada Departemen Sosial, Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

5. Permasalahan terletak pada kondisi dimana prinsip keadilan restoratif yang mengutamakan perlindungan kepentingan korban belum terjabarkan dengan baik. rendahnya keberhasilan diversi di Indonesia menunjukan bahwa kesedpakan kesepakatan ganti kerugian antara korban dan pelakut indak pidana anak tidak tercapai. Tidak tercapainya keberhasilan diversi ini penyebabnya adalah ganti kerugian untuk korban digantungkan sepenuhnya pada kemampuan pelaku/keluarganya. Disinilah letak abainya negara dalam perlindungan korban, seharusnya negara bertanggungjawab atas korban dalam tindak pidana anak melalui kompensasi. Terjaminnya ganti kerugian korban tindak pidana dalam perkara anak melalui kompensasi akan memberikan peluang bagi keberhasilan diversi.

Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia termasuk dalam peradilan

pidana anak dewasa ini masih terabaikan karena hukum pidana Indonesia masih berorientasi

pada kepentingan pelaku (Offenfer Oriented) sementara jika kita simak laporan simposium

(6)

pertama viktimologi menyebutkan: Victimology may be defined as the scientific study of victims. Special attention, however, should be devoted to the problems of victims of crime, the primary concern of this. (Viktimologi dapat didefinisikan sebagai studi ilmiah tentang korban, perhatian khusus bagaimanapun harus ditujukan untuk masalah-masalah korban kejahatan, merupakan perhatian utama).

Keterpaduan antara perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana dan perlindungan terhadap korban dalam perkara anak merupakan syarat penting dalam mewujudkan peradilan pidana anak terpadu sehingga diharapkan dapat merumuskan konsep keadilan restoratif yang lebih memiliki nilai keadilan berimbang korban dan pelaku tindak pidana sehingga diharapkan akan dapat mewujudkan diversi yang efektif dan mengembalikan fungsi hukum pidana sebagai ultimum remidium.

6.Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kegagalan dalam proses diversi pada tahap prapenuntutan khususnya dalam kasus anak Sidik Anggoro antara lain adalah:

a) Faktor hukumnya sendiri b) Faktor Penegak Hukum

c) Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung d) Faktor Masyarakat

e) Faktor Kebudayaan .

f) Faktor yang mendominasi terhadap kegagalan dari pelaksanaan diversi pada kasus tersebut.

g) Faktor yang menonjol antara lain berasal dari faktor hukum, h) Faktor penegak hukum serta faktor kebudayaan.

i) Faktor masyarakat dan fasilitas tidak terlalu menunjukkan perannya.

Apabila dianalisis, fasilitas dan sarana akan serta merta terwujud baik apabila hukum (undang- undangnya) mengatur secara jelas mekanisme dari proses diversi tersebut sehingga akan mencakup tentang keterseddiaan saran dan fasilitas. Sedangkan faktor masyarakat akan mengikuti kebudayaan. Dimana masyarakat akan berperilaku sesuai dengan budaya yang hidup didalam masyarakat itu sendiri.

Untuk menekan kegagalan tersebut, maka yang harus dilakukan adalah mengatasi faktor penyebab kegagalan itu tersendiri yang di antaranya: Memperbaiki dan menyempurnakan ketentuan yang mengatur tentang diversi, utamanya dalam hal ketentuan mekanisme dan prosedur diversi, Meningkatkan kualitas sumber daya manusia penegak hukum yang berwenang melaksanakan diversi, Adanya pengadaan sarana dan fasilitas terkait pelaksanaan diversi di tingkat pemeriksaan, Memberi edukasi terhadap masyarakat terkait diversi dan tujuannya, Membangun opini pada hukum untuk dihindarkan dari pemidanaan.

7.Diversi dalam pengertian gramatikal adalah "pengalihan" sedangkan pengertian umum

diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana formal ke

proses di luar peradilan pidana dengan syarat atau tanpa syarat. Dalam Pasal 1 angka (7)

Undang-Undang SPPA, diversi didefenisikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak

dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

(7)

Secara umum proses diversi ini dilakukan dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak (pelaku), menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Sedangkan Dalam proses perkara pidana, asas praduga tidak bersalah diartikan sebagai ketentuan yang menganggap seseorang yang menjalani proses pemidanaan tetap tidak bersalah sehingga harus dihormati hak-haknya sebagai warga negara sampai ada putusan pe- ngadilan negeri yang menyatakan kesalahan- nya.

Asas praduga tak bersalah digunakan saat penyidikan, jika digunakan diversi dalam kasus

tersebut tidak perlu proses penyidikan, karena tidak ada tindakan pidana. Maka itu yang

membuat asas praduga tak bersalah ditinggalkan jika memakai diversi.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Artinya setiap penambahan pakan sebesar satu persen akan meningkatkan produksi sebesar 0,901 persen, penambahan tenaga kerja sebesar satu persen akan meningkatkan

Ku kituna, ieu panalungtikan miboga tujuan pikeun nganalisis jeung ngadéskripsikeun struktur, fungsi, jeung harti rarangkén tukang nu aya dina karangan pangalaman pribadi

dari masing- masing biofungisida pelet diperoleh dengan mengukur diameter koloni jamur yang ditumbuhkan dalam medium PDA.. Pengukuran dilakukan setiap hari dan

Umumnya responden menanggapi bahwa mereka kurang dapat menerima untuk pergi ke dukun, termasuk percaya kepada dukun dan percaya pada kemanjuran dukun; pandangan terhadap

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Mas Widiyatso selaku Owner di Nobe 9 Management

Sentra industri kerajinan seni patung dan ukir dari kayu Mulyoharjo adalah sebuah kawasan di Jepara yang memiliki potensi ukir yang besar dan merupakan produk unggulan

is found that our model can determine the flow velocity at Katulampa in ァセ、@ agreement with observation data. The variations of initial flow velocity of certain region