• Tidak ada hasil yang ditemukan

Musim Hujan. Musim Kemarau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Musim Hujan. Musim Kemarau"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Data Curah hujan

Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu.

Selanjutnya pada masing-masing wilayah kajian dilihat pengaruh interaksi monsun dan IOD terhadap curah hujan di wilayah tersebut.

Gambar 10 dapat dilihat anomali curah hujan di berbagai wilayah di Indonesia.

Wilayah Lampung, Banjarbaru dan Indramayu memiliki pola hujan tipe monsoonal dimana memiliki ciri khusus seperti hujan hujan yang berlangsung selama enam bulan dan enam bulan berikutnya berlangsung musim kemarau. Puncak musim hujan terjadi sekitar bulan Desember/Januari.

Berdasarkan plot antara anomali indeks curah hujan dengan waktu (Gambar 10) untuk wilayah Lampung, Banjarbaru dan Indramayu menunjukkan puncak fase positif dan negatif.

Fase positif (+) terjadi pada bulan Januari 1999, Desember 1999, Januari 2000, Januari 2001, Januari 2002, Desember 2003, Desember 2004, Januari 2005, April 2007, April 2008, Maret 2009 dan Maret 2010.

Sedangkan untuk fase negatif (-) terjadi pada bulan Juli 1998, Juli 1999, Juli 2000, Juli 2001, Juli 2002, Juli 2003, Juli 2004, Agustus 2005, Agustus 2006, September 2007, Agustus 2008, November 2009.

Fase positif (+) merupakan suatu fase dimana dalam periode tertentu pada suatu wilayah mengalami hujan atau kondisi basah,

sedangkan untuk fase negatif (-) merupakan suatu fase dimana dalam periode tertentu pada suatu wilayah tidak turun hujan dan mengalami kondisi yang kering. Pada bulan DJF (Desember, Januari, Februari) wilayah kajian mengalami kondisi basah. Sedangkan wilayah kajian mengalami kondisi kering ketika pada bulan JJA (Juni, Juli, Agustus).

Wilayah Pontianak memiliki pola hujan tipe ekuatorial dimana ciri khusus dari tipe ini adalah sifat hujan yang memiliki dua puncak maksimum dalam setahun, biasa berlangsung pada bulan Maret dan Oktober. Pada gambar 10 dapat terlihat wilayah Pontianak sebagian besar memiliki 2 puncak fase dalam satu tahun baik fase (+) dan fase (-).

Berdasarkan penjelasan dari BMKG dalam Marjuki 2011 menyatakan bahwa ketika curah hujan bulanan > 150mm maka dalam kondisi musim hujan sebaliknya apabila curah hujan bulanan < 150mm maka musim kemarau. Dalam hal ini pada gambar dapat dilihat batas antara musim penghujan dan musim kemarau yang dipisahkan oleh garis horizontal berwarna kuning.

Dari hasil time series yang diperoleh dapat dilihat untuk pola hujan tipe monsoonal antara puncak fase positif (+) maupun negatif (-) dengan puncak yang lain mempunyai pola osilasi dominan yang sama yaitu sekitar 12 bulanan sedangkan untuk wilayah yang memiliki tipe hujan ekuatorial pola osilasi yang nyata sekitar 6 bulanan. Hal ini dapat diperjelas melalui analisis Power Spektral Density (PSD) pada Gambar 11.

jan-98 Jun-98 Des-98 Jun-99 Des-99 Jun-00 Des-00 Jun-01 Des-01 Jun-02 Des-02 Jun-03 Des-03 Jun-04 Des-04 Jun-05 Des-050 Jun-06 Des-06 Jun-07 Des-07 Jun-08 Des-08 Jun-09 Des-09 Jun-10 100

200 300 400 500 600 700 800 900

Waktu

mm

LAMPUNG PONTIANAK BANJAR BARU INDRAMAYU

Gambar 10 Time series curah hujan berbagai wilayah di Indonesia periode Januari 1998 – Agustus 2010.

Musim Kemarau

Musim Hujan

(2)

1 6 12 18 24 30 36 42 0

2 4 6 8 10 12x 107

Periode (bulan)

Energi Spektral

LAMPUNG PONTIANAK BANJARBARU INDRAMAYU

Gambar 11 Power Spektral Density (PSD) curah hujan periode Januari 1998 – Agustus 2010.

Berdasarkan hasil Power Spektral Density (PSD) (Gambar 11), pola osilasi/embutan dominan dari curah hujan di wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru, dan Indramayu berada pada periode sekitar 12 bulanan (annual oscillation). Artinya jika osilasi ini berjalan sempurna maka dalam waktu 12 bulanan akan terjadi kejadian kuat sekali dalam selang waktu 12 bulan. Puncak energi spektral PSD 12 bulanan secara berurutan dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah Indramayu, Lampung, Banjarbaru dan Pontianak. Wilayah Pontianak juga memiliki energi spektral tertinggi pada osilasi dominan 6 bulanan (semiannual oscillation) artinya pada wilayah Pontianak akan mengalami kejadian kuat dalam selang waktu 6 bulan. Dalam hal ini dalam setahun akan terjadi sebanyak dua kali. Secara umum hasil analisis PSD pada Gambar 11 menunjukkan bahwa puncak energi spektral osilasi dominan 12 bulanan di wilayah yang letaknya semakin mendekati equator akan semakin melemah sedangkan untuk osilasi dominan 6 bulanannya semakin menguat.

4.2 Analisis Time series Monsun dan IOD Monsun terjadi pada wilayah yang memiliki arah angin dominan berbalik arah paling sedikit 120o antara bulan Januari dan Juli. Januari merupakan maksimum musim hujan di BBU dengan suhu rata-rata terendah.

Sedangkan Juli merupakan maksimum musim

kemarau dengan suhu rata-rata tertinggi.

Menurut Ramage (1971) wilayah monsun terletak pada 25oLS–35oLU dan 30oBB–

170oBT, sehingga Indonesia termasuk dalam wilayah monsun. Fenomena monsun yang terjadi di Indonesia yaitu monsun Asia dan Australia. Fenomena ini sangat berpengaruh terhadap penentuan musim yang terjadi di Indonesia baik musim basah (penghujan) atau musim kering (kemarau).

IOD (Indian Ocean Dipole) merupakan fenomena yang terjadi di Samudera Hindia.

Fenomena ini merupakan fenomena couple antara atmosfer dan laut yang ditandai dengan perbedaan anomali dua kutub Suhu Permukaan Laut (SPL) di Samudera Hindia tropis bagian timur (perairan Indonesia di sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia tropis bagian tengah sampai barat (perairan pantai timur Benua Afrika), sehingga perubahan SPL pada fenomena ini mempengaruhi curah hujan di Indonesia.

Monsun dan IOD dapat dianalisis menggunakan analisis spektral. Analisis ini banyak digunakan untuk mengetahui periode dari setiap osilasi yang terjadi. Cara yang dapat digunakan untuk menentukan perilaku monsun dan IOD yaitu dengan mengamati data indeks monsun dan DMI (IOD Indeks).

Data yang digunakan antara lain indeks monsun dan IOD indeks (DMI) periode Januari 1998 – Agustus 2010.

(3)

Gambar 12 Time series data iklim global periode Januari 1998 – Agustus 2010.

Secara umum pada saat matahari berada di Belahan Bumi Selatan (BBS), tepatnya pada periode DJF, maka kawasan barat mengalami pusat tekanan rendah dan seharusnya angin bergerak dari BBU menuju BBS. Namun karena rotasi bumi (efek gaya Coriolis), maka terjadi pembelokkan arah angin dimana angin yang berasal dari BBU seakan-akan dibelokkan kearah Tenggara setelah melewati ekuator yang dikenal dengan istilah angin Baratan. Angin yang berasal dari BBU membawa kumpulan awan-awan Cb (dikenal dengan istilah (SCC) Super Cloud Cluster), maka pada saat DJF sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim basah.

Sebaliknya untuk periode 6 bulan kemudian sekitar bulan JJA pada saat matahari berada di BBU, maka pusat tekanan rendah berada di BBU. Pada saat itulah terjadi pergerakan massa udara dari BBS ke BBU. Namun akibat adanya gaya Coriolis maka angin yang berasal dari BBS seakan dibelokkan kea rah Timur Laut.

Angin yang sebagian berasal dari Benua Australia yang relatif kering mengakibatkan wilayah timur Indonesia mengalami musim kering pada bulan JJA. Fenomena ini dikenal dengan istilah Angin Timuran.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh (Gambar 12) menunjukkan ketika periode DJF AUSMI menguat dan Monsun ASIA (ISMI dan WNPMI) melemah, sebaliknya pada periode JJA AUSMI melemah dan Monsun ASIA (ISMI dan WNPMI) menguat. Secara umum hubungan antara IOD dengan Monsun adalah

berbanding terbalik. Ketika Monsun menguat maka IOD akan melemah dan kawasan Indonesia mengalami kondisi basah, sebaliknya semakin melemahnya Monsun maka IOD akan semakin menguat dan Indonesia mengalami kondisi kering.

Pada Gambar 12 terlihat bahwa hubungan antara IOD dengan Monsun tidak selamanya berbanding terbalik, artinya adakalanya IOD dan Monsun saling melemahkan dan saling menguatkan. Saling melemahkan artinya antara IOD dan Monsun mengalami beda fase, sedangkan saling menguatkan artinya antara IOD dan Monsun berada dalam satu fase yang sama (sama-sama negatif atau sama-sama positif).

Berdasarkan pada hasil penelitian diperoleh indeks monsun yang mempengaruhi curah hujan hujan di kawasan Indonesia khususnya di wilayah kajian adalah AUSMI (Australian Monsoon Indeks). Hal ini di sebabkan mungkin karena letak AUSMI lebih dekat dengan wilayah kajian dibandingkan dengan monsun ASIA (ISMI dan WNPMI). Hal ini juga telah dibuktikan pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Subakti (2010) dan Azteria (2009), indeks monsun yang mempengaruhi kawasan Indonesia adalah AUSMI.

(4)

4.3 Analisis Spektral Monsun dan IOD Gambar 13 merupakan hasil analisis Power Spektral Density (PSD) indeks monsun (ISMI, WNPMI, AUSMI) periode Januari 1998 – Agustus 2010. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa indeks monsun tersebut memiliki osilasi dominan

sekitar 12 bulanan artinya indeks monsun mencapai puncak pada fase positif (+) dan fase negatif (-) dalam selang waktu sekali dalam 12 bulan. Selain itu osilasi 6 bulanan monsun juga terlihat nyata.

1 6 12 18 24

0 0.5 1 1.5 2 2.5

3x 105

Periode (bulan)

Energi Spektral

ISMI WNPMI AUSMI

Gambar 13 Power Spektral Density (PSD) indeks monsun periode Januari 1998 – Agustus 2010.

Selain menggunakan PSD dalam menentukan osilasi 12 bulanan juga dapat menggunakan metode wavelet. Hal ini dilakukan untuk memperjelas osilasi 12 bulanan tersebut. Hasil wavelet (Gambar 14 Gambar 15, Gambar 16) terlihat adanya fenomena monsun yang berosilasi 12 bulanan.

Kejadian monsun kuat akan terjadi satu kali dalam 12 bulan. Dalam arti lain apabila osilasi tersebut berjalan sempurna maka dalam waktu 12 bulan akan terjadi peningkatan fenomena monsun di wilayah kajian.

Gambar 14 Wavelet Indian Summer Monsun Index (ISMI) periode Januari 1998 – Agustus 2010

(5)

Gambar 15 Wavelet Western North Pacific Monsun Index (WNPMI) periode Januari 1998 – Agustus 2010

Gambar 16 Wavelet Australian Monsun Index (AUSMI) periode Januari 1998 – Agustus 2010

1 6 9 12 14 18 24 30 38 42 75

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

Periode (bulan)

Energi Spektral

DMI

Gambar 17 Power Spektral Density (PSD) IOD Index (DMI) periode Januari 1998 – Agustus 2010

(6)

Berdasarkan analisis PSD (Gambar 17) dan metode wavelet (Gambar 18), IOD index (DMI) pada periode Januari 1998 – Agustus 2010 memiliki pola osilasi 38 bulanan atau sekitar 3 tahun. Artinya apabila osilasi ini berjalan sempurna maka dalam waktu 38

bulanan akan terjadi peningkatan IOD di wilayah kajian. Analisis wavelet pada Gambar 11 untuk memperjelas osilasi 38 bulanan tersebut.

Gambar 18 Wavelet IOD Index (DMI) periode Januari 1998 – Agustus 2010.

4.4 Analisis Statistik Data Curah Hujan dan Data Iklim Global

Gambar 19 memperlihatkan bahwa perbedaan antara sinyal AUSMI dan AUSMI+DMI tidak terlalu signifikan.

Namun untuk sinyal AUSMI+DMI dan DMI memiliki perbedaan yang mencolok dalam

skala indeks. Dalam hal ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah hubungan antara interaksi monsun (AUSMI) dan DMI.

Selanjutnya dapat dilihat hubungan fenomena tersebut dengan curah hujan pada masing-masing wilayah kajian.

jan-98 Jun-98 Des-98 Jun-99 Des-99 Jun-00 Des-00 Jun-01 Des-01 Jun-02 Des-02 Jun-03 Des-03 Jun-04 Des-04 Jun-05 Des-05Jun-06 Des-06 Jun-07 Des-07 Jun-08 Des-08 Jun-09 Des-09 Jun-10 -10

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10

Waktu

Indeks

AUSMI DMI AUSMI+DMI

Gambar 19 Time series antara AUSMI, DMI dan AUSMI+DMI periode Januari 1998 – Agustus 2010.

(7)

jan-98 Jun-98 Des-98 Jun-99 Des-99 Jun-00 Des-00 Jun-01 Des-01 Jun-02 Des-02 Jun-03 Des-03 Jun-04 Des-04 Jun-05 Des-05Jun-06 Des-06 Jun-07 Des-07 Jun-08 Des-08 Jun-09 Des-09 Jun-10 -10

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10

Waktu

Indeks

LAMPUNG AUSMI+DMI

Gambar 20 Time series antara interaksi kedua fenomena terhadap anomali curah hujan di wilayah Lampung pada periode Januari 1998 – Agustus 2010.

jan-98 Jun-98 Des-98 Jun-99 Des-99 Jun-00 Des-00 Jun-01 Des-01 Jun-02 Des-02 Jun-03 Des-03 Jun-04 Des-04 Jun-05 Des-05Jun-06 Des-06 Jun-07 Des-07 Jun-08 Des-08 Jun-09 Des-09 Jun-10 -10

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10

Waktu

Indeks

PONTIANAK AUSMI+DMI

Gambar 21 Time series antara interaksi kedua fenomena terhadap curah hujan di wilayah Pontianak pada periode Januari 1998 – Agustus 2010.

jan-98 Jun-98 Des-98 Jun-99 Des-99 Jun-00 Des-00 Jun-01 Des-01 Jun-02 Des-02 Jun-03 Des-03 Jun-04 Des-04 Jun-05 Des-05Jun-06 Des-06 Jun-07 Des-07 Jun-08 Des-08 Jun-09 Des-09 Jun-10 -10

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10

Waktu

Indeks

BANJARBARU AUSMI+DMI

Gambar 22 Time series antara interaksi kedua fenomena terhadap curah hujan di wilayah Banjarbaru pada periode Januari 1998 – Agustus 2010.

(8)

jan-98 Jun-98 Des-98 Jun-99 Des-99 Jun-00 Des-00 Jun-01 Des-01 Jun-02 Des-02 Jun-03 Des-03 Jun-04 Des-04 Jun-05 Des-05Jun-06 Des-06 Jun-07 Des-07 Jun-08 Des-08 Jun-09 Des-09 Jun-10 -10

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10

Waktu

Indeks

INDRAMAYU AUSMI+DMI

Gambar 23 Time series antara interaksi kedua fenomena terhadap curah hujan di wilayah Banjarbaru pada periode Januari 1998 – Agustus 2010.

Gambar 20, 21, 22 dan 23 menunjukkan interaksi antara dua fenomena teradap curah hujan. Pada keempat gambar terlihat hubungan antara interaksi kedua fenomena terhadap curah hujan terjadi dalam satu fase artinya apabila interaksi Monsun dan IOD menguat maka curah hujan wilayah kajian (Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu) juga akan menguat sehingga wilayah tersebut mengalami kondisi basah.

Begitu juga sebaliknya melemahnya interaksi fenomena Monsun dan IOD maka curah hujan juga akan melemah. Hal ini dapat diperjelas dengan analisis korelasi silang seperti pada Gambar 24.

Gambar 24 Cross Correlation Fungtion (CCF) interaksi kedua fenomena monsun terhadap curah hujan di wilayah Lampung periode Januari 1998 – Agustus 2010.

Nilai Cross Correlation Fungtion (CCF) menunjukkan derajat keeratan antara dua variabel dan arah hubungannya (+ atau -).

Analisis CCF digunakan untuk mengetahui

waktu tunda (time lag) antara fenomena interaksi (monsun dan IOD) terhadap curah hujan. Gambar 14 menunjukkan hubungan antara fenomena interaksi terhadap curah hujan Lampung memiliki lag time 0 dengan korelasi sebesar 0.691. Artinya antara kejadian interaksi terhadap curah hujan di Lampung tidak terjadi waktu tunda, dengan kata lain antara interaksi kedua fenomena dengan curah hujan terjadi secara bersamaan.

Fenomena interaksi terhadap curah hujan memiliki hubungan yang berbanding lurus.

Hal ini berarti bahwa ketika fenomena interaksi menguat maka curah hujan wilayah (Lampung) juga menguat. Sebaliknya apabila fenomena interaksi melemah maka curah hujan juga melemah.

Gambar 25 Cross Correlation Fungtion (CCF) interaksi kedua fenomena monsun terdap curah hujan di wilayah Pontianak periode Januari 1998 – Agustus 2010.

Diagram batang CCF pada Gambar 15 menunjukkan bahwa yang pertama kali menyentuh batas atas adalah pada saat lag

(9)

number bernilai 1 dengan nilai korelasi silang sebesar 0.373. Oleh karena itu, untuk wilayah Pontianak fenomena interaksi membutuhkan waktu 1 bulan untuk dapat mempengaruhi curah hujan di kota Pontianak.

Gambar 26 Cross Correlation Function (CCF) interaksi kedua fenomena monsun terdap curah hujan di wilayah Banjarbaru periode Januari 1998 – Agustus 2010.

Diagram batang CCF pada Gambar 16 menunjukkan bahwa yang pertama kali menyentuh batas atas adalah pada saat lag number bernilai 0 dengan nilai korelasi silang sebesar 0.519. Oleh karena itu pada saat terjadi fenomena interaksi, wilayah Banjarbaru tidak membutuhkan waktu tunda untuk mempengaruhi curah hujan di wilayah Banjarbaru. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh wilayah Lampung.

Gambar 27 Cross Correlation Fungtion (CCF) interaksi kedua fenomena monsun terdap curah hujan di wilayah Indramayu periode Januari 1998 – Agustus 2010.

Waktu tunda (Lag time) ini sangat penting bagi ke empat wilayah ini karena menentukan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dampak dari interaksi monsun dan IOD yeng berpengaruh terhadap curah hujan di wilayah tersebut. Nilai CCF yang telah diperoleh dari Gambar 14, 15, 16 dan 17 menyatakan nilai (+) yang artinya fenomena interaksi terhadap curah hujan di Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu memiliki hubungan yang berbanding lurus.

Dengan kata lain apabila fenomena interaksinya menguat maka curah hujan menguat juga, begitu juga sebaliknya apabila fenomena interaksi melemah maka curah hujan juga melemah.

4.5 Model Prediksi awal

Tabel 2 Kaitan Interaksi fenomena monsun dan IOD terhadap curah hujan periode Januari 1998 – Agustus 2010.

No Kota Lag time (bulan) r Model Prediksi Awal

1 Lampung 0 0.745 Yt = 0.153Xt + 0.066Xt-1 + 0.021Xt-2 + 0.79901 2 Pontianak 1 0.234 Yt = 0.053Xt-1 + 0.011Xt-2 – 0.076Xt-3 + 1.33557 3 Banjarbaru 0 0.574 Yt = 0.108Xt + 0.098Xt-1 – 0.006Xt-2 + 1.10343 4 Indramayu 0 0.751 Yt = 0.162Xt + 0.122Xt-1 – 0.004Xt-2 + 0.94325

Persamaan yang terdapat pada Tabel 2 menunjukkan hubungan antara interaksi monsun dan IOD terhadap curah hujan, dimana faktor lag time telah dimasukkan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Selain itu persamaan tersebut juga merupakan model awal untuk memprediksi nilai curah hujan yang telah dipengaruhi oleh interaksi monsun dan IOD.

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa pengaruh interaksi monsun dan IOD di

wilayah Lampung, Banjarbaru, dan Indramayu memiliki korelasi yang kuat berkisar antara 0.5 hingga 0.75. Sedangkan wilayah Pontianak memiliki korelasi yang lemah karena memiliki nilai korelasi yang kecil sebesar 0.23 sehingga interaksi monsun dan IOD tidak dapat mempengaruhi curah hujan di Pontianak karena letaknya berada di wilayah ekuator.

(10)

150 135 120 105 90 75 60 45 30 15 1 6 5 4 3 2 1 0

WAKTU (BULAN)

Anomali CH

data asli forecast Variable

Time Series Plot of data asli, forecast LAMPUNG

(1)

150 135 120 105 90 75 60 45 30 15 1 7 6 5 4 3 2 1 0 -1 -2

WAKTU (bulan)

Anomali CH

data asli forecast Variable

Time Series Plot of data asli, forecast PONTIANAK

(2)

150 135 120 105 90 75 60 45 30 15 1 7 6 5 4 3 2 1 0 -1

WAKTU (bulan)

Anomali CH

data asli forecast Variable

Time Series Plot of data asli, forecast BANJARBARU

(3)

(11)

150 135 120 105 90 75 60 45 30 15 1 6 5 4 3 2 1 0 -1

WAKTU (bulan)

Anomali CH

data asli forecast Variable

Time Series Plot of data asli, forecast INDRAMAYU

(4)

Gambar 28 Plot antara curah hujan dengan curah hujan yang dibangkitkan (prediksi) diberbagai wilayah Lampung (1), Pontianak (2), Banjarbaru (3) dan Indramayu (4).

Gambar 28 merupakan plot data antara curah hujan asli dengan curah hujan yang telah dipengaruhi oleh fenomena monsun dan IOD. Hasil prediksi menunjukkan bahwa untuk wilayah Lampung (1), Banjarbaru (2) dan Indramayu (4) antara data asli dengan forecast memiliki selang kepercayaan yang baik sebesar 89.8%, 77.6% dan 85.1%

sehingga model prediksi dapat di gunakan untuk menduga nilai curah hujan yang telah dipengaruhi oleh adanya interaksi monsun dan IOD. Oleh karena itu dampak dari interaksi kedua fenomena tersebut dapat diantisipasi.

Berdasarkan Gambar 28(2) untuk wilayah Pontianak model prediksi tidak dapat digunakan kerena pada gambar terlihat bahwa nilai prediksi tidak menunjukkan hasil yang

baik dan tidak dapat mewakili data asli. Selain itu model untuk Pontianak memiliki nilai selang kepercayaan yang sangat kecil yaitu sebesar 1.7 %. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh letak wilayah tersebut berada di sekitar ekuator sehingga monsun dan IOD tidak terlalu berpengaruh terhadap curah hujan wilayah tersebut.

4.6 Model Prediksi ARIMA 4.6.1 Lampung

Sebelum melakukan pemodelan data curah hujan, maka dilakukan uji stasioneritas data. Hal itu dilakukan karena merupakan syarat pemodelan data deret waktu.

90 80 70 60 50 40 30 20 10 1 6 5 4 3 2 1 0

Index

C1

Time Series Plot anomali CH lampung

(1)

(12)

24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

Autocorrelation

Autocorrelation Function for anomali CH Lampung (with 5% significance limits for the autocorrelations)

24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

Partial Autocorrelation

Partial Autocorrelation Function for anomali CH Lampung (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

(2) (3)

Gambar 29 Plot data (1), ACF(2), PACF (3) curah hujan bulanan di Lampung periode Januari 1998 – Maret 2006.

Dari plot deret waktu Gambar 29(1) terlihat bahwa data deret waktu sudah stasioner sehingga tidak perlu dilakukan proses differensiasi. Proses differensiasi dilakukan jika plot data tidak stasioner.

Gambar 29(2) terlihat bahwa pada ACF memiliki pola musiman sehingga data curah hujan Lampung merupakan data seasonal pada lag 12. Sedangkan PACF seperti Gambar 29(3) memiliki pola seasonal pada lag 12.

Dengan demikian diperoleh model sementara dari plot data curah hujan di Lampung adalah adalah model ARMA (1,1)12, ARMA (1,2)12, ARMA (2,1)12, dan ARMA (2,2)12. Dari semua model sementara diperoleh model yang cocok untuk kondisi curah hujan Lampung yaitu model ARMA (2,2)12 dengan persamaan model Zt = 0,0245Zt-12 + 0,9711Zt-24 + at + 0,0013at-12 - 0,8560at-24

50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 4

3

2

1

0

waktu (bulan)

Anomali CH

data asli forecast Variable

Time Series Plot of data asli, forecast LAMPUNG

Selang kepercayaan = 79.7%

Gambar 30 Plot data asli curah hujan di Lampung dengan hasil prediksi ARMA (2,2)12 periode April 2006 – Agustus 2010.

Berdasarkan Gambar 30 dapat dilihat bahwa plot data prediksi mendekati data asli denga nilai korelasi sebesar 79.7% artinya model tersebut dinilai baik untuk menduga curah hujan di daerah Lampung.

4.6.2 Pontianak

Uji stasioner dilakukan terhadap data curah hujan di Pontianak. Dari hasil plot deret waktu Gambar 31(1) terlihat bahwa data curah hujan Pontianak sudah stasioner.

(13)

90 80 70 60 50 40 30 20 10 1 7 6 5 4 3 2 1 0 -1 -2

Index

C2

Time Series Plot of anomali CH Pontianak

(1)

24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

Autocorrelation

Autocorrelation Function for anomali CH Pontianak (with 5% significance limits for the autocorrelations)

24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

Partial Autocorrelation

Partial Autocorrelation Function for anomali CH Pontianak (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

(2) (3)

Gambar 31 Plot data (1), ACF(2), PACF (3) curah hujan bulanan di Pontianak periode Januari 1998 – Maret 2006.

Gambar 31(2) terlihat bahwa pada ACF memiliki pola musiman sehingga data curah hujan Pontianak merupakan data seasonal pada lag 12. Sedangkan PACF seperti Gambar 31(3) memiliki pola seasonal pada lag 12.

Dengan demikian diperoleh model sementara dari plot data curah hujan di Pontianak adalah

model ARMA (1,1)12, ARMA (1,2)12, ARMA (2,1)12, dan ARMA (2,2)12. Dari semua model sementara diperoleh model yang cocok untuk kondisi curah hujan Pontianak yaitu model ARMA (2,2)12 dengan persamaan model Zt = 0.0319Zt-12 + 0.96171Zt-24 + at - 0.0388at -

12 - 0.8428at-24

50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 5 4 3 2 1 0 -1

WA KTU (bulan)

Anomali CH

data asli forecast Variable

Time Series Plot of data asli, forecast PONTIANAK

Selang Kepercayaan = 63.8 %

Gambar 32 Plot data asli curah hujan di Pontianak dengan hasil prediksi ARMA (2,2)12 periode April 2006 – Agustus 2010.

Berdasarkan Gambar 32 dapat dilihat bahwa plot data prediksi mendekati data asli dengan nilai korelasi sebesar 63.8 % artinya

model tersebut dinilai kurang baik untuk menduga curah hujan di daerah Pontianak.

(14)

4.6.3 Banjar Baru

Uji stasioner dilakukan terhadap data curah hujan di Banjar Baru. Dari hasil plot

deret waktu Gambar 33(1) terlihat bahwa data curah hujan Banjar Baru sudah stasioner.

90 80 70 60 50 40 30 20 10 1 7 6 5 4 3 2 1 0 -1

Index

C3

Time Series Plot of Banjarbaru

(1)

24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

Autocorrelation

Autocorrelation Function for anomali CH Banjarbaru (with 5% significance limits for the autocorrelations)

24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

Partial Autocorrelation

Partial Autocorrelation Function for anomali CH Banjarbaru (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

(2) (3)

Gambar 33 Plot data (1), ACF(2), PACF (3) curah hujan bulanan di Banjar Baru periode Januari 1998 – Maret 2006.

Gambar 33(2) terlihat bahwa pada ACF memiliki pola musiman sehingga data curah hujan Banjar baru merupakan data seasonal pada lag 12. Sedangkan PACF seperti Gambar 33(3) memiliki pola seasonal pada lag 12.

Dengan demikian diperoleh model sementara dari plot data curah hujan di Banjar baru

adalah model ARMA (1,1)12, ARMA (1,2)12, ARMA (2,1)12, dan ARMA (2,2)12. Dari semua model sementara diperoleh model yang cocok untuk kondisi curah hujan Banjar baru yaitu model ARMA (1,1)12 dengan persamaan model Zt = 0.9967Zt-12 + at - 0.8967at-12

50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 6 5 4 3 2 1 0 -1

WA KTU (bulan)

Anomali CH

data asli forecast Variable

Time Series Plot of data asli, forecast BANJARBARU

Selang kepercayaan = 62.2 %

Gambar 34 Plot data asli curah hujan di Banjar baru dengan hasil prediksi ARMA (1,1)12 periode April 2006 – Agustus 2010.

(15)

Berdasarkan Gambar 34 dapat dilihat bahwa plot data prediksi mendekati data asli dengan nilai korelasi sebesar 62.2% artinya model tersebut dinilai kurang baik untuk menduga curah hujan di daerah Banjar baru.

4.6.4 Indramayu

Uji stasioner dilakukan terhadap data curah hujan di Indramayu. Dari hasil plot deret waktu Gambar 35(1) terlihat bahwa data curah hujan Indramayu sudah stasioner.

90 80 70 60 50 40 30 20 10 1 6 5 4 3 2 1 0 -1

Index

C4

Time Series Plot of anomali CH Indramayu

(1)

24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

Autocorrelation

Autocorrelation Function for anomali CH Indramayu (with 5% significance limits for the autocorrelations)

24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0

Lag

Partial Autocorrelation

Partial Autocorrelation Function for anomali CH Indramayu (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

Gambar 35 Plot data (1), ACF(2), PACF (3) curah hujan bulanan di Indramayu periode Januari

1998 – Maret 2006.

Gambar 35(2) terlihat bahwa pada ACF memiliki pola musiman sehingga data curah hujan Indramayu merupakan data seasonal pada lag 12. Sedangkan PACF seperti Gambar 35(3) memiliki pola seasonal pada lag 12.

Dengan demikian diperoleh model sementara dari plot data curah hujan di Indramayu adalah

model ARMA (1,1)12, ARMA (1,2)12, ARMA (2,1)12, dan ARMA (2,2)12. Dari semua model sementara diperoleh model yang cocok untuk kondisi curah hujan Indramayu yaitu model ARMA (1,1)12 dengan persamaan model Zt = 0.9996Zt-12 + at - 0,8943at-12

50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 1 6 5 4 3 2 1 0 -1

WA KTU (bulan)

Anomali CH

data asli forecast Variable

Time Series Plot of data asli, forecast INDRAMAYU

Selang kepercayaan = 85.6%

Gambar 36 Plot data asli curah hujan di Indramayu dengan hasil prediksi ARMA (1,1)12 periode April 2006 – Agustus 2010.

Gambar

Gambar  10  dapat  dilihat  anomali  curah  hujan  di berbagai wilayah di Indonesia.
Gambar 11 Power Spektral Density (PSD) curah hujan periode Januari 1998 – Agustus 2010
Gambar 12 Time series data iklim global periode Januari 1998 – Agustus 2010.
Gambar 13 Power Spektral Density (PSD) indeks monsun periode Januari 1998 – Agustus 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Segenap dosen Prodi DIII Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang telah memberikan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan Karya Tulis

 korosi sumuran pada bagian yang tidak tertutup oleh oksida aluminium  bocor Untuk tube SS 316L. defleksi + tegangan akibat tekanan

Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas asimetri informasi (AdjSpread) terhadap variabel terikat manajemen laba (discretionary accruals)

Beberapa penelitian yang menggunakan silica sebagai bahan pengisi juga sudah banyak dilakukan seperti pemanfaatan pasir kuarsa untuk bahan pengisi nano composite silica karbida

Indikator pengaruh yaitu konsumsi normatif, persentase penduduk dibawah garis kemiskinan, persentase penduduk yang dapat mengakses air bersih, dan persentase padi

Meskipun FedEx telah menetapkan standar biaya dan kinerja perusahaan, tetapi FedEx harus melakukan penyesuaian budaya agar layanan yang diberikan menjadi pilihan tepat

pengambilan sampel dilakukan hanya satu periode, yaitu pada waktu surut. Lokasi penelitian dibagi atas 3 stasiun pengamatan, stasiun I dengan ciri-ciri mangrove yang tumbuh