• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Pedagang Kaki Lima: studi tentang kontribusi modal sosial terhadap resistensi PKL di Semarang D 902009006 BAB IX"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Dalam bab berikut disajikan uraian tentang kontribusi, pengaruh atau peran modal sosial terhadap perlawanan (resistensi) PKL. Konsep-konsep pokok atau unsur-unsur modal sosial sosial, yaitu kepercayaan, jaringan dan norma dikaji sejauhmana berkontribusi terhadap resistensi PKL. Demikian pula, dua jenis modal sosial, yaitu modal sosial terikat (bonding social capital) dan modal sosial yang menjembatani (bridging social capital) dilihat peranannya dalam membangun kekuatan perlawanan PKL.

Dalam bagian ini dikemukakan terjadinya pertemuan antara modal personal berupa kepemimpinan tokoh kunci PKL, yang di dalamnya terdapat nilai pengorbanan dengan modal sosial, berupa struktur interaksi dan jaringan sosial yang membentuk apa yang disebut dengan modal sosial pengorbanan (sacrifice of social capital). Modal sosial pengorbanan inilah yang memiliki peran kunci dalam mendorong perlawanan PKL terhadap kebijakan yang diambil Pemkot Semarang.

A. Implementasi Kebijakan yang Tidak Memihak PKL

Meskipun diakui bahwa sektor informal memiliki kontribusi bagi pembangunan ekonomi, namun kebijakan yang

dibuat oleh pemerintah beserta aparatus represifnya

berkecenderungan menempatkan PKL sebagai pengganggu yang harus disingkirkan. Meskipun diakui jasa besarnya dalam menyerap surplus angkatan kerja, sektor informal hingga

sekarang tetap masih menjadi sektor terpinggirkan,

dianaktirikan, dan tidak jarang dianggap sebagai “penyakit”

(2)

Data-data yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pandangan negatif Pemerintah Daerah lebih mengkristal daripada persepsi positifnya tentang sektor informal, khususnya PKL. Sikap pengabaian, pembiaran, bahkan pengusiran, penertiban, penggusuran atau sikap tindak kekerasan lainnya tampak lebih dominan ketimbang sikap dan tindakan pembimbingan dan pemberdayaan.

Berdasarkan data Konsorsium Kemiskinan Kota, sepanjang tahun 2001 dan 2003 saja tidak kurang dari 24.748 PKL dan kios jalanan yang digusur dari tempat mereka mencari nafkah (Samhadi 2006:33). Gerobak dan kios mereka dihancurkan. Dalam kurun waktu yang sama, sebanyak 550 pengamen ditangkap dan 17.103 becak digaruk atau dimusnahkan, sehingga 34.000 orang kehilangan mata pencaharian. Padahal, saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, sektor informal terbukti mampu menunjukkan ketangguhan dan

mampu menjadi peredam (buffer) gejolak di pasar kerja

perkotaan dengan menampung limpahan jutaan buruh korban PHK sektor formal.

Pasca krisis, sektor informal kembali menjadi katup pengaman di tengah ketidakmampuan pemerintah dan sektor formal menyediakan lapangan kerja. Menurut data BPS (2006), sektor informal menyerap kurang lebih 70% angkatan kerja, sementara sektor formal hanya 30%.

PKL bagaikan rumput di dalam pot bunga, sehingga harus dicabut sampai ke akar-akarnya agar tidak mengganggu pertumbuhan bunga. Hak hidup PKL harus dihapus. Itulah pikiran dan pendapat yang memicu Pemkot Bandar Lampung untuk memperindah kotanya dengan cara menyapu bersih PKL, seperti PKL yang beroperasi di Bambu Kuning, Pasar Pasir Gintung, dan sekitar Pangkal Pinang (Stiawan ZS 2008).

(3)

jalan Thamrin, kawasan Kampung Kali, jalan MT. Haryono, dan jalan Menteri Supeno sepanjang bulan November 2009. Para petugas satpol PP berseragam lengkap yang menggelar razia penertiban langsung membongkar lapak-lapak yang digunakan untuk berdagang dan menaikkan beberapa gerobak dagangan ke dalam truk.

Pada bulan Maret 2010, ratusan petugas Satpol PP juga melakukan penggusuran terhadap PKL di Sampangan (Suara Merdeka Sabtu 13 Maret 2010). Demikian pula, PKL Basudewo juga digusur (Suara Merdeka edisi Metro Kamis 24 Juni 2010; Kompas edisi Semarang Sabtu 26 Juni 2010; Kompas edisi Semarang Selasa 29 Juni 2010).

Era otonomi daerah mestinya memberi keleluasaan kepada Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan publik dan

memberi pelayanan prima kepada masyarakat demi

meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun dari hasil survei Universitas Gadjah Mada pada tahun 2002, masih banyak kelemahan dari implementasi otonomi daerah. Kelemahan itu diantaranya:

1. petugas kurang responsif dalam memberi pelayanan,

2. kurang inovatif, sehingga berbagai pelayanan sering

terlambat,

3. kurang accesible, sehingga pelayanan tidak dapat dijangkau

oleh masyarakat,

4. kurang koordinasi, sehingga pelayanan sering bertubrukan

satu sama lain atau bahkan saling menunggu,

5. terlalu birokratis, terutama dalam hal perizinan,

6. kurang mau mendengar keluhan, saran, dan aspirasi

masyarakat,

7. tidak efisien, sehingga banyak dijumpai berbagai

(4)

Padahal, penerapan otonomi daerah sesungguhnya ditujukan untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok masyarakat yang paling bawah, dengan memperhatikan ciri khas budaya dan lingkungan setempat, sehingga kebijakan publik dapat diterima dan produktif dalam memilih kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat (Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat 2009:110-111).

Kebijakan publik berupa Peraturan Daerah yang mengatur masalah PKL, Satpol PP, dan persoalan ketertiban umum, tampaknya memang lebih bernuansakan kekuasaan (power),

menunjukkan betapa sangat berkuasanya (powerfull) elit

pemerintah daerah dan kebijakan publik tersebut cenderung bersifat mengatur, mengendalikan, bahkan terkesan kurang bersahabat terhadap sektor informal, terutama PKL yang menjalankan usaha di pusat-pusat keramaian.

Dalam penelitian disertasi tentang Resistensi dan Akomodasi: Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan Kekuasaan pada PKL, Preman, dan Aparat di Depok Jawa Barat, Siswono (2009) menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah kota Depok terhadap PKL bersifat ambivalen, di mana di satu

sisi PKL dianggap sebagai “penyelamat” karena menyediakan

lapangan kerja, memberi kemudahan bagi warga kota untuk mendapatkan barang dengan harga murah, menambah daya tarik kota, dan membuat kota menjadi lebih hidup, tetapi di sisi

lain, PKL dianggap sebagai “penyakit” yang membuat kota

menjadi semrawut, kotor, dan tidak indah.

(5)

Umum, dan Perda kota Semarang nomor 11 tahun 2000 isinya tidak jauh berbeda, yaitu mengatur, melarang, dan menertibkan PKL agar tidak berdagang atau menjalankan usaha di tepi jalan atau tempat lainnya yang menimbulkan gangguan ketertiban umum.

Ketertiban umum yang menjadi roh perda-perda PKL yang ditetapkan oleh pemerintah, dipahami sebagai suatu tatanan atau keadaan yang teratur sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, guna mewujudkan kehidupan masyarakat yang dinamis, aman, tenteram lahir dan batin. Namun sayangnya, ketertiban umum ini dipahami oleh para penguasa sebagai kegiatan mengatur, mengendalikan, dan menertibkan, bahkan menindak. Aroma hukumnya masih

bercorak rechtmatig atau mengatur supaya tertib, tidak

doelmatig atau menyejahterakan. Padahal menurut prinsip Syracuse, ketertiban umum harus dipahami sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau

serangkaian prinsip-prinsip mendasar yang mendasari

berdirinya masyarakat (Komnas HAM 2008:25). Aspek hak asasi manusia yang menjadi inti dari setiap peraturan hukum termasuk perda, tampaknya tidak disentuh dalam contoh dari beberapa perda di atas.

Demikian pula, kebijakan publik berupa perda yang dibuat oleh pemerintah daerah, yang bersinggungan dengan keberadaan PKL, tampaknya lebih banyak mengatur, mengendalikan, menertibkan, dan menindak para PKL,

seolah-olah mereka adalah society and state enemy yang harus

dibersihkan dari muka bumi.

(6)

ekonomi. Ekonomi modern yang mengandalkan pada sektor formal yang mereka layani. Kapitalisme dengan tuah kelimpahruahan yang mereka bela, bukan kelembagaan ekonomi non-formal atau sektor informal yang mereka perjuangkan. Inilah yang menyebabkan perilaku penguasa dengan kekuasaan hegemonik melalui aparatusnya memusuhi PKL, yang secara ekonomi dan sosial tidak menguntungkan mereka. Tindakan tidak adil dan sewenang-wenang dari

pemerintah daerah (kabupaten atau kota) mendapat

penentangan dan perlawanan (resistensi) dari para pedagang kaki lima.

B. Modal Sosial sebagai Penguat Resistensi PKL

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa resistensi adalah sikap oposan atau negatif terhadap peraturan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sikap resisten selalu muncul manakala kebijakan yang diambil pemerintah menegasikan keberadaan PKL atau dianggap mengganggu ruang hidup PKL, sehingga atas perlakuan pemerintah tersebut, mereka berani melakukan perlawanan. Perlawanan atau resistensi yang ditunjukkan para PKL Semarang, khususnya di

Sampangan dan Basudewo sebagai respon terhadap

implementasi kebijakan publik Pemkot Semarang, dilakukan tanpa rasa takut. Bentuk perlawanan PKL bervariasi.

Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya bahwa bentuk perlawanan atau resistensi PKL dikategorikan dalam dua

bentuk, yaitu perlawanan dengan kekerasan (resistance by

violence) dan perlawanan tanpa kekerasan (resistance by nonviolence).

(7)

menghalangi pengemudi untuk menjalankan begu, memblokade jalan, dan menghadang petugas yang akan membongkar bangunan dan lapak PKL.

Kegiatan perlawanan tanpa kekerasan yang ditempuh para PKL, mengambil bentuk, seperti melakukan demonstrasi, berorasi, membuat pamflet atau poster, membuat spanduk, dan mendirikan Posko Anti Penggusuran. Selain itu, PKL juga

melakukan perlawanan dengan taktik “run and back”, atau lari

ketika petugas Satpol PP melakukan penertiban terhadapnya dan kembali berjualan setelah tidak ada petugas yang melakukan penertiban.

PKL Sampangan dan Basudewo dalam melakukan perlawanan menggunakan dua stategi dan bentuk perlawanan sekaligus, yaitu melalui kekerasan dan nonkekerasan; sedangkan PKL Kokrosono hanya menggunakan strategi nonkekerasan. PKL Sampangan dan Basudewo menggunakan cara-cara kekerasan dan nonkekerasan, karena dua hal.

Pertama, bangunan dan lapak yang mereka gunakan untuk berdagang telah dihancurkan oleh petugas Satpol PP.

Kedua, inisiasi, dukungan, dan pembelaan dari paguyuban PKL, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Kemahasiswaan, dan organisasi lainnya, memberikan kekuatan kepada PKL untuk melakukan perlawanan terhadap Pemkot Semarang.

(8)

Tabel 16. Bentuk Perlawanan Yang Ditunjukkan PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono

Lokasi PKL Bentuk Perlawanan

Sampangan Kekerasan Nonkekerasan

Basudewo Kekerasan Nonkekerasan

Kokrosono - Nonkekerasan

Sumber: Data Primer.

Perlawanan dengan kekerasan dan nonkekerasan yang diperlihatkan oleh PKL Sampangan dan Basudewo dapat dipahami, karena mereka dalam memperjuangkan keinginan dan tujuannya, tidak dilakukan sendirian oleh PKL yang bersangkutan, tetapi dibantu atau didukung oleh organisasi lain, seperti PPKLS, Pattiro, LBH Semarang, LBH Panti Marhaen, BEM di kota Semarang, dan yang lain.

Bantuan dan dukungan datang dari berbagai organisasi tersebut, karena: (1) di dua lokasi ini sudah ada organisasi internal meskipun sudah lama tidak berfungsi, (2) di dua lokasi PKL tersebut terdapat tokoh kunci yang menjadi titik masuk (entry point ) bagi masuknya dukungan organisasi lain, (3) PKL di dua lokasi tersebut relatif stabil dan tidak mobile, dan (4) pemerintah kota lebih banyak melakukan aktivitas penertiban dan penggusuran, yang dalam beberapa hal disertai kekerasan di dua lokasi tersebut.

(9)

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Handoyo (2010) yang menemukan dua bentuk perlawanan PKL Sampangan dan Basudewo di Semarang, yaitu perlawanan

dengan kekerasan (resistance by violence) dan perlawanan

tanpa kekerasan (resistance without violence). Beradu mulut,

menghadang petugas, mendorong petugas Satpol PP, mempertahankan lapak atau bangunan yang akan dibongkar, bermain kucing-kucingan, dan menolak direlokasi, merupakan bentuk perlawanan dengan kekerasan.

Perlawanan tanpa kekerasan dilakukan dengan cara berdemonstrasi, berorasi, membuat spanduk, membentuk paguyuban, meminta bantuan LSM dan mahasiswa, serta mendirikan posko anti penggusuran. Dukungan dari elemen mahasiswa, PPKLS, dan LSM lainnya, mempertebal keberanian mereka melawan petugas.

Berbeda dengan penelitian Handoyo, Alisjahbana (2006) dalam penelitian PKL di Surabaya menemukan tiga bentuk perlawanan PKL, yaitu perlawanan terbuka, terselubung, dan normatif. Bentuk perlawanan terbuka diantaranya adalah melawan petugas, berjualan di tempat terlarang, menolak relokasi, melakukan demonstrasi, dan meminta izin secara paksa. Main kucing-kucingan, memberi upeti, menebus barang

dagangan, mencari tempat tersembunyi, membentuk

paguyuban dan mengumpulkan iuran, serta mencari dukungan LSM dan mahasiswa merupakan bentuk dari perlawanan terselubung. Perlawanan normatif berupa penolakan terhadap Perda nomor 17 tahun 2003 yang dinilai mengancam kelangsungan usaha PKL.

(10)

kekerasan. Semua itu mereka lakukan demi mempertahankan kelangsungan usaha dan kehidupan mereka.

Siswono (2009) dalam disertasinya tentang Resistensi dan Akomodasi: Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan Kekuasaan pada PKL, Preman, dan Aparat di Depok Jawa Barat menemukan bahwa sikap mendua dari pemerintah kota dalam penerapan Perda nomor 14 tahun 2006 menimbulkan dampak yang kontraproduktif terhadap PKL, preman, dan aparat. Salah satu bentuk kontraproduktif tersebut adalah perlawanan (resistensi) yang dilakukan oleh PKL ketika dilakukan operasi penertiban.

Penelitian yang dilakukan Alisjahbana dan Siswono tidak menjelaskan bagaimana peran faktor kelembagaan dan jaringan sosial terhadap perlawanan yang ditunjukkan PKL selama ini. Perspektif modal sosial belum digunakan dalam riset dua peneliti tersebut. Dari beberapa hasil penelitian, termasuk hasil penelitian disertai ini muncul pertanyaan apa yang menyebabkan para PKL resisten dan berani melawan pemerintah? Mengapa mereka tidak mau digusur atau direlokasi ke tempat lain yang disediakan pemerintah ? Apakah

mereka melawan demi menyambung hidup (survival strategy)

ataukah ada basis penguat lain yang menyebabkan mereka resisten terhadap kebijakan pemerintah ? Modal apakah yang

menjadi kekuatan (power) PKL dalam mempertahankan hidup

dan kehidupannya serta melakukan perlawanan kepada pemerintah?

(11)

dengan cara menelusuri tipe-tipe modal sosial dan unsur-unsur modal sosial yang ditengarai menjadi kekuatan pendorong para PKL melakukan perlawanan terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah kota.

Dalam penelitian ini, tipe modal sosial yang digunakan untuk menganalisis sejauhmana resistensi PKL berkaitan

dengan modal sosial yang dimiliki adalah bonding socialcapital

dan bridging social capital. Dalam kelompok PKL, baik yang

mempunyai bonding socialcapital kuat maupun yang memiliki

bridging social capital, para anggota kelompok memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, kepatuhan pada norma, dan mempunyai jaringan sosial, yang menyebabkan mereka mampu bertahan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah modal sosial tersebut dimiliki oleh para PKL yang menempati lokasi di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono.

Pertanyaan berikut adalah apakah jika mereka memiliki modal sosial tersebut, dapatkah digunakan sebagai basis kekuatan ketika mereka berhadapan dengan kekuasaan pemerintah kota Semarang dengan kebijakannya yang acapkali tidak menguntungkan posisi para PKL. Kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah kota Semarang selama ini (di bawah kepemimpinan walikota Sukawi Sutarip selama periode jabatan 2000-2010) tidak akomodatif terhadap PKL. Pendekatan yang digunakan oleh Sukawi, utamanya dalam menata PKL yang tidak terorganisasi adalah pendekatan kekuasaan dan keamanan, sehingga tidak heran jika selama kepemimpinannya banyak terjadi penggusuran terhadap PKL.

(12)

koersi atau kekerasan untuk menata PKL. Bagi PKL yang tidak patuh, diberi hukuman berupa digusur tempat dan lapak yang digunakan untuk berdagang, dan orang-orangnya diusir ke luar dari tempatnya berjualan.

Pendekatan keamanan dimaknai sebagai cara atau strategi

yang diambil pemerintah dalam mengelola kegiatan

pemerintahan dan pembangunan semata-mata demi

menciptakan rasa aman dan nyaman bagi seluruh warga masyarakat dan yang penting pula adalah aman bagi sang penguasa atau pemerintah. Sebut saja razia penertiban PKL yang dilakukan oleh Pemkot di sepanjang jalan Thamrin, kawasan Kampung Kali, di wilayah Kokrosono, jalan MT. Haryono, dan jalan Menteri Supeno pada penghujung tahun 2009. Bahkan menjelang masa jabatan Sukawi berakhir, pada pada awal hingga pertengahan tahun 2010, Sukawi beserta aparatnya juga melakukan penggusuran PKL yang menjalankan usaha dan berdagang di wilayah Sampangan dan Basudewo.

(13)

Pendekatan komunikasi dengan cara persuasif dan

nonotoriter terbukti berhasil merelokasi PKL tanpa

perlawanan. Pemkot Semarang menggunakan pendekatan kekerasan (keamanan) dan kekuasaan, sehingga dampaknya adalah perlawanan dari PKL.

Cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh Pemkot, melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang menyebabkan banyak bangunan dan lapak yang diratakan dan tidak sedikit PKL yang harus kehilangan mata pencaharian. Hal tersebut menimbulkan perlawanan (resistensi) PKL terhadap Pemkot ataupun simbol-simbol yang merepresentasikan Pemkot. Perlawanan atau resistensi PKL tampak sekali pada kasus penggusuran PKL di Sampangan dan Basudewo. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa PKL yang sebagian besar berpendidikan rendah dan umumnya pedagang, berani melakukan perlawanan terhadap pemerintah kota yang memiliki sumberdaya keamanan dan kekuasaan yang berlimpah ?

Dari hasil penelitian, terbukti bahwa PKL memiliki relasi dengan organisasi yang cukup kuat sebagai tempat mengadu atau meminta perlindungan, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS). PPKLS ini pun tidak berjuang sendirian. Organisasi ini didukung oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan organisasi kemahasiswaan intra maupun ekstra kampus yang ada di kota Semarang. Jaringan

sosial (social networking) inilah yang membuat PKL

Sampangan dan Basudewo mampu bertahan di tempatnya masing-masing.

(14)

berdagang kebanyakan tidak permanen, bahkan banyak juga yang berdagang secara lesehan. Meskipun tidak terorganisasi, PKL Kokrosono memiliki modal sosial tidak seperti yang dipunyai PKL Sampangan dan PKL Basudewo, yaitu norma reprositas, kerjasama, dan solidaritas. Sebagai contoh, ketika ada penjual kehabisan barang yang akan dibeli seorang pembeli, ia dapat mengambil (pinjam) barang dari penjual lainnya. Demikian pula, ketika ada penertiban dari petugas Satpol PP, maka yang memiliki informasi akan memberi pedagang lainnya. Inilah yang disebut dengan norma reprositas.

Kepercayaan (trust) yang diberikan anggota kelompok PKL

Sampangan dan Basudewo kepada ketuanya, membuat kelompok PKL ini kuat, tidak mudah dipengaruhi, dan tidak mudah dipecah, sehingga perasaan senasib sependeritaan membawa mereka tetap bertahan dari gempuran aparat pemerintah kota. Demikian pula, dukungan dari pak Sutarjo atau yang sering disebut mbah Tarjo sebagai penasihat PKL Basudewo dan semangat berkorban dari mbak Rini (ketua PPKLS) memberikan tambahan kekuatan bagi PKL untuk melakukan perlawanan terhadap Pemkot Semarang.

Mbah Tarjo, seorang pensiunan pegawai negeri ini

(15)

dalam perjuangan mempertahankan tempat, bangunan, dan lapak untuk berdagang.

Mbak Rini, ketua PPKLS, termasuk orang yang “entengan”,

siap membantu kapan saja dibutuhkan PKL. Meskipun kerjanya menjaga parkir di sekitar bundaran Simpang Lima, namun mbak Rini tidak pernah absen dari aktivitas yang dilakukan

PKL Sampangan dan Basudewo, mulai dari rapat-rapat, “

melek-melekan” di posko anti penggusuran, audiensi dan negosiasi dengan pihak pemerintah, hingga demonstrasi. Jiwa pengorbanan mbak Rini menular kepada semua anggota PKL,

baik di Sampangan maupun di Basudewo. Rasa “ewuh

pakewuh”, membuat anggota PKL mengikuti apa yang dilakukan oleh pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini. Jiwa pengorbanan itulah yang membuat mereka bersedia melakukan apa saja demi tujuan bersama, yaitu bertahan di lokasi agar dapat melanjutkan usahanya.

Kepemimpinan, berian, dan perasaan rela berkorban dari pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini menjadi sesuatu yang esensial bagi menguatnya modal sosial. Pengorbanan yang ditunjukkan ketiga tokoh kunci PKL ini, dibantu organisasi yang bersimpati kepada nasib PKL, menjadi titik masuk bagi berkembangnya perasaan saling percaya di antara pedagang, kepatuhan pada norma bersama, menguatnya rasa solidaritas dan berbagi di antara mereka, sehingga melalui kelompok PKL masing-masing, mereka meneguhkan tekat untuk tetap bertahan di lokasi dan siap melawan petugas Satpol PP yang menggusur mereka.

Jenis atau tipologi modal sosial yang ada pada kelompok PKL Sampangan dan Basudewo adalah modal sosial terikat (bonding social capital) atau modal sosial berbasis tempat dan

modal sosial menjembatani (bridging social capital). Modal

(16)

dan Basudewo memiliki ikatan kekeluargaan dan jiwa kebersamaan yang tinggi, karena interaksi di antara mereka berlangsung sangat intensif. Norma resiprositas, solidaritas, dan jiwa pengorbanan yang menular dari kepemimpinan pak Achmad, menyebabkan persatuan anggota PKL menjadi sangat kokoh. Identitas tempat, seperti Sampangan dan Basudewo, menjadi identitas kelompok PKL, sehingga mengusik mereka dari lahan yang mereka tempati, ibarat mengusir mereka dari rumahnya sendiri. Itukah sebabnya, lahan tersebut akan

dipertahankan sekuat mungkin. “Sedumuk batuk, senyari bumi”, atau sejengkal tanah pun, akan dipertahankan karena

hal itu berkaitan dengan kehormatan sebagai pedagang yang sudah mencintai tanahnya.

Selain memiliki modal sosial terikat, PKL Sampangan dan Basudewo juga mempunyai jaringan sosial dengan kelompok PKL dan elemen masyarakat lainnya atau dengan kata lain, kelompok PKL tersebut juga mempunyai modal sosial yang

menjembatani, karena mampu berkomunikasi dengan

organisasi lainnya. Melalui jaringan sosial yang dibangun tokoh kunci PKL dengan kelompok PKL lainnya, informasi dapat diperoleh secara mudah, termasuk informasi tentang waktu penggusuran, sehingga anggota PKL dapat bersiap-siap menghadapi penggusuran tersebut.

Pendampingan yang dilakukan oleh LBH Semarang dan LBH Panti Marhaen, serta perlindungan yang diberikan oleh PPKLS, sebagai modal sosial yang berharga, menjadikan kelompok PKL Sampangan dan Basudewo bertambah keberaniannya melakukan perlawanan kepada pemerintah kota Semarang. Modal sosial ini menyuntikkan energi kepada anggota untuk bertindak bersama mempertahankan lahan dan melakukan perlawanan kepada pemerintah.

(17)

total kepada perjuangan PKL, didukung oleh mbah Tarjo dan mbak Rini yang memiliki relasi cukup banyak di pemerintahan, memperkokoh barisan PKL dalam melakukan perlawanan terhadap Pemkot Semarang. Tanpa kepemimpinan dan jiwa pengorbanan mereka, tindakan kolektif atau mobilisasi melawan kebijakan pemerintah tidak akan berlangsung. Seperti

dikatakan Fransisco (2010), “mobilization without leadership is extremly difficult”.

Apa yang dilakukan pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini merupakan tindakan pengorbanan, yang dilandasi oleh moralitas altruistik yang mengutamakan kepentingan orang banyak. Mereka menghayati falsafah bahwa hidup baik adalah hidup yang bermanfaat bagi orang lain. Dalam kaitan dengan tindakan pengorbanan ini, Baier sebagaimana dirujuk Hazlitt (2003:158) menyatakan bahwa kemungkinan hidup terbaik bagi setiap orang adalah mungkin hanya jika setiap orang mengikuti aturan moralitas, yaitu aturan yang sering diperlukan individu untuk melakukan pengorbanan sejati.

Modal sosial yang dikembangkan pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini, dalam penelitian ini disebut dengan modal sosial dengan pengorbanan atau sacrifice of social capital. Hal ini benar, karena tanpa pengorbanan dari tokoh-tokoh PKL, seperti pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini tidak mungkin PKL Sampangan dan Basudewo mampu bertahan, meskipun pada akhirnya hampir seluruh PKL Basudewo harus menyingkir dari tepi sungai Banjir Kanal Barat yang selama ini mereka gunakan sebagai tempat berdagang dan menjalankan aktivitas ekonomi, karena tepi sungai sebelah barat dan timur telah dirapikan oleh peralatan berat proyek normalisasi sungai.

(18)

yang lahir dari interaksi di antara anggota PKL dalam bonding social capital dan antara peguyuban PKL dengan paguyuban

PKL lainnya dalam bridging social capital, masih tampak

meskipun sebagian PKL sudah ke luar dari tempat berdagang mereka. Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan model modal sosial yang menjadi penguat bagi resistensi pedagang kaki lima (PKL) di Sampangan dan Basudewo, sebagai berikut.

Gambar 57. Modal Sosial Pengorbanan sebagai penguat Resistensi PKL

Gambar di atas menunjukkan bahwa yang menjadi kekuatan perlawanan PKL, utamanya PKL Basudewo adalah kepemimpinan yang ditunjukkan oleh pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini. Kepemimpinan dengan pengorbanan menghasilkan apa yang disebut dengan modal sosial

pengorbanan (sacrifice of social capital). Modal sosial ini

dibangun oleh pak Achmad bersama penasihat PKL, yaitu mbah Tarjo dan ketua PPKLS, mbak Rini dengan menjalin relasi dengan jaringan yang lebih luas, baik dengan asosiasi PKL lain, juga dengan sejumlah LSM, seperti LBH Semarang, LBH Perjuangan (Panti Marhaen), dan Pattiro, serta BEM di kota

Kekuatan bagi Resistensi

Modal Sosial Pengorbanan Leadership

Bonding SC

Bridging SC

Trust

Modal Sosial Norm

Networking

[image:18.461.71.390.90.617.2]
(19)

Semarang, aparat Kepolisian, Satpol PP, Dinas Pasar, dan DPRD kota Semarang.

Kepercayaan (trust) yang diberikan kepada ketua PKL,

membuat anggota PKL bersedia mengikuti kiprah pak Achmad selaku ketua PKL dalam mempertahankan lokasi tempat mereka berdagang. Aturan-aturan (norm), seperti membayar iuran dan hadir dalam rapat-rapat juga dipatuhi para anggota, semata-mata demi perjuangan mempertahankan bangunan dan lapak yang mereka gunakan untuk berdagang. Semua anggota bersedia berkorban berjuang bersama untuk mempertahankan lokasi berdagang. Pengorbanan tersebut lahir dari energi positif yang dipancarkan aktivitas dan interaksi tiga tokoh PKL. Interaksi di antara 3 tokoh PKL tersebut melahirkan energi sosial yang menyuntikkan jiwa pengorbanan dan solidaritas kepada anggota kelompok PKL.

Sebagai penguat resistensi, modal sosial tidak muncul dengan sendirinya. Mekanisme modal sosial menjadi semen resistensi PKL terhadap Pemkot Semarang, dapat ditelusuri dari kontribusi yang dimainkan oleh komponen modal sosial, yaitu organisasi. Organisasi yang dibentuk oleh PKL, yaitu Persatuan Pedagang Lestari Makmur (PPLM) di Basudewo pada tanggal 2 September 2010, yang didaftarkan ke Notaris dengan Akta Notaris Nomor 2 Tanggal 2 September 2010 memberikan basis hukum yang kuat bagi eksistensi sekaligus aktivitas PKL dalam mencari nafkah.

(20)

Berpegang pada ketentuan Anggaran Dasar tersebut, pak Achmad beserta pengurus melakukan rapat-rapat koordinasi guna membahas nasib dan masa depan PKL Basudewo. Meskipun tidak dihadiri oleh seluruh PKL yang beraktivitas di Basudewo, rapat-rapat organisasi berjalan baik. Tidak kurang dari 20 kali rapat telah dilakukan, sampai akhirnya mereka tercerai berai setelah lokasi mereka berdagang diratakan oleh begu proyek dan mesin-mesin penggusur pemerintah kota. Norma atau kesepakatan untuk hadir dalam rapat diikuti para anggota paguyuban PKL. Iuran sebagai bagian dari norma tersebut juga dibayar oleh anggota, baik untuk kepentingan konsumsi rapat, biaya mengurus Akta PPLM, biaya dalam melakukan demonstrasi, atau pun biaya pendampingan PKL oleh Lembaga Bantuan Hukum Perjuangan (Panti Marhaen).

Kepercayaan atau trust yang diberikan kepada pak Achmad selaku ketua sekaligus pendiri PPLM menjadi pelumas (lubricate) bagi berlangsungnya interaksi di antara anggota PPLM. Kepercayaan ini juga mendorong pak Achmad dan

pengurus lainnya melakukan berbagai cara untuk

menperjuangkan nasib PKL. Melalui organisasi yang dibentuk dan modal sosial pengorbanan yang dimiliki pak Achmad dan mbah Tarjo, mereka dapat membangun jaringan sosial yang lebih luas untuk mendapatkan dukungan atas perjuangan PKL. Beberapa organisasi, seperti PPKLS, LBH Semarang, LBH Perjuangan(Panti Marhaen), Pattiro Semarang, FSBI, GMNI, PMII, HMI, KAMMI, BEM KM Undip, BEM Unnes, BEM IKIP PGRI, KPK-PRD Semarang, dan SRMI memberi dukungan yang tidak kecil kepada PKL, tidak hanya dalam hal mengorganisasi perjuangan mempertahankan lokasi berdagang, tetapi juga dalam melakukan negosiasi kepada Pemkot untuk memperoleh solusi terbaik bagi PKL.

Organisasi internal dan eksternal serta jiwa pengorbanan dari ketua, penasihat PKL, dan ketua PPKLS melahirkan apa

(21)
[image:21.461.78.390.95.473.2]

pengorbanan inilah yang memberi kekuatan bagi tindakan kolektif yang dilakukan PKL dalam melakukan penolakan atas kebijakan relokasi dari Pemkot. Dalam aras teori, dari penelitian tersebut dapat dikembangkan model penguatan resistensi melalui modal sosial yang dikembangkan. Ilustrasi dari mekanisme penguatan tindakan kolektif dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah berdasarkan basis modal sosial dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 58. Mekanisme Modal Sosial mendorong Tindakan Kolektif Melawan Pemerintah

Modal sosial pengorbanan yang lahir dari kepemimpinan pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini tidak terbentuk begitu saja. Modal sosial tersebut awalnya dimulai dari adanya

masalah bersama (common problem) yang dihadapi PKL, yaitu

(22)

berinteraksi membentuk paguyuban, merevitalisasi paguyuban yang sudah ada dan membangun relasi dengan paguyuban lain.

Dalam interaksi sosial ini, muncul tokoh-tokoh PKL yang

menampakkan kepemimpinan dan jiwa pengorbanan.

Pengorbanan waktu misalnya, selama masa-masa

ketidakpastian nasib mereka, para PKL dikoordinasi oleh pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini untuk rapat di Posko Anti Penggusuran. Tidak jarang mereka juga begadang atau

“lek-lekan” di Posko untuk mengantisipasi adanya tindakan

penggusuran dari aparat Satpol PP. Pengorbanan para PKL yang diawali oleh pak Achmad, mbah Tarjo, dan mbak Rini juga

ditunjukkan dengan pengorbanan tenaga dan uang.

Pengorbanan tenaga, misalnya turut membantu PKL yang mendirikan lapak yang habis dihancurkan oleh aparat Satpol PP. Pengorbanan uang tampak dari bantuan pak Achmad dan mbah Tarjo yang membiayai konsumsi untuk rapat-rapat PKL. Para anggota paguyuban PKL juga berkorban uang dengan turut iuran untuk mengurus nasib mereka. Iuran dipakai tidak hanya untuk konsumsi rapat, tetapi juga untuk mengurus nasib mereka melalui LBH Panti Marhaen.

(23)
[image:23.461.79.391.93.515.2]

Gambar 59. Mekanisme terciptanya Modal Sosial Pengorbanan

C. Rangkuman

Modal sosial memiliki unsur-unsur yang jika semuanya berfungsi akan memiliki manfaat besar dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial. Unsur-unsur modal sosial meliputi kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network). Hubungan sosial diikat oleh kepercayaan dan kepercayaan dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak. Kerja antar simpul (orang atau kelompok), melalui media hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama.Unsur-unsur modal sosial ini ditengarai juga dimiliki oleh kelompok PKL di tiga lokasi penelitian.

Dalam penelitian di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono juga ditemukan dua jenis atau bentuk modal sosial, yaitu

bonding social capital dan bridging social capital. Modal sosial terikat atau bonding social capital cenderung bersifat ekslusif

(24)

menjadi anggota kelompok cenderung homogen dan bersifat konservatif. Kelompok yang lebih banyak memiliki modal

sosial jenis bonding ini, para anggotanya terhubung secara kuat,

positif, dan bersifat timbal balik. Jenis modal sosial ditemukan di PKL Sampangan dan Basudewo. Ikatan hubungan yang negatif relatif kurang dan jaringan yang dibentuk cenderung sangat padat atau tebal. Kepercayaan yang dibangun diantara anggota sangat kuat dan dalam kelompok seperti itu, jaringan pertukaran sosial tercipta dengan baik.

Kelompok dalam bonding social capital, memiliki

kelebihan, seperti kerjasama yang lebih besar, konformitas yang lebih besar untuk menyetujui norma bersama, berbagi informasi lebih besar, tetapi cenderung kurang terlibat dalam kaitannya dengan sesuatu yang berada di luar kelompok.

Namun terlepas dari semua itu, kelompok bertipe bonding

cenderung memiliki efektivitas yang lebih baik. Kelompok

dengan bonding social capital sebagaimana dijumpai pada

komunitas PKL Basudewo dan Sampangan memiliki resistensi kuat terhadap perubahan, misalnya berkenaan dengan kebijakan relokasi.

Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging social

capital) merupakan bentuk modern dari suatu pengelompokan, grup, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip yang dianut didasarkan pada nilai-nilai universal, seperti persamaan, kebebasan, kemajemukan, kemanusiaan, terbuka, dan mandiri. Mekanisme perantara dalam hubungan yang menjembatani ini memutus kesenjangan (gap) diantara anggota-anggota yang

tidak terkoneksi. Bridging social capital ini ditemukan di

kelompok PKL Sampangan dan Basudewo.

(25)

dengan cara kekerasan maupun nonkekerasan. Mereka melawan untuk memperjuangkan keinginan dan tujuan, agar dapat berdagang dan menjalankan aktivitas ekonomi di lokasi yang selama ini mereka tempati.

Perlawanan ini tidak mungkin terjadi tanpa ada dukungan dari anggota PKL (bonding social capital) dan organisasi yang mereka miliki, serta organisasi supra, seperti PPKLS, Pattiro, LBH Semarang, LBH Panti Marhaen, BEM di kota Semarang, dan yang lain. Adanya kepemimpinan dari tokoh kunci PKL memperkuat semangat juang dari PKL untuk melawan kebijakan relokasi Pemkot. Inilah yang disebut dengan modal sosial dengan pengorbanan (sacrifice of social capital). Tanpa pengorbanan yang diberikan oleh tokoh kunci yang dipercaya, modal sosial tidak akan dapat dibangun dan diperkuat.

Tindakan kolektif yang ditunjukkan anggota PKL, misalnya dengan menghadiri rapat-rapat, membayar iuran,

melakukan demonstrasi, memperkuat barisan untuk

menghadang kedatangan aparat Satpol PP yang akan melakukan penggusuran, dan lain-lain, dapat berlangsung karena ada tokoh kunci yang dengan jiwa pengorbanan dan kepemimpinannya menjadi pelumas bagi interaksi antaranggota

sekaligus menjadi kekuatan (power) pendorong bagi terjadinya

(26)

Gambar

Gambar 57. Modal Sosial Pengorbanan sebagai penguat Resistensi
Gambar 58. Mekanisme Modal Sosial mendorong Tindakan Kolektif
Gambar 59. Mekanisme terciptanya Modal Sosial Pengorbanan

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan ilmiah ini juga menjelaskan tentang rancangan pembuatan desain web dari pembuatan gambar sampai dengan mengubah gambar tersebut menjadi suatu halaman web. Dari

kelainan mental dalam arti lebih ( supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal ). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut

Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Iklim Kerja Sekolah Terhadap Kinerja Mengajar Guru SMPN di Kota Bandung .... KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Pembangunan aplikasi yang berbasis multimedia ini bertujuan untuk mengembangkan suatu aplikasi multimedia yang dapat membantu proses belajar bagi anak TK dengan

Kepala BAAK sebagai pejabat yang bertanggung jawab terhadap barang iventarisc. sarana pendidikan di

Dilarang untuk me-reproduksi dokumen ini tanpa diketahui oleh Program Studi Teknik Informatika 3.2.1.4 DFD Level 2 ALERIS Proses Play.. 3.2.1.4.1

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “ PENGARUH

Tabel 4.14 Hasil Perhitungan Tulangan Kolom dengan Program.