• Tidak ada hasil yang ditemukan

98 tika puji dwi astuti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "98 tika puji dwi astuti"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh

Enhanced Direct Instruction

Terhadap

Mental-Modeling

Ability

Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Palu

TIKAPUJIDWIASTUTI1), JUSMANMANSYUR2,*), DARSIKIN2), MUH. RIZAL3) Universitas Tadulako. Jl. Soekarno Hatta Km.9 Palu

E-mail: tika.pda@gmail.com

ABSTRAK:

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh enhanced direct instruction terhadap mental-modeling ability (MMA) siswa Kelas X SMA Negeri 1 Palu. Penelitian menggunakan eksperimen kuasi non-equivalent control group pre-test post-test design. Populasi penelitian terdiri dari 470 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling. Sampel penelitian adalah 58 orang yang terdiri dari 28 siswa pada kelas eksperimen dan 30 siswa pada kelas kontrol. Pengolahan data penelitian ini meggunakan analisis kuantitatif yaitu uji-t satu pihak. Berdasar pada analisis dengan taraf nyata = 0,05 dapat dinyatakan bahwa enhanced direct instruction berpengaruh secara signifikan terhadap mental-modeling ability siswa. Uji N-Gain juga menunjukkan keunggulan kelas eksperimen dibandingkan dengan kelas kontrol. Analisis kualitatif terhadap responden terpilih menunjukkan siswa memiliki karakteristik MMA yang memadai.

Kata Kunci:enhanced direct instruction, mental-modeling ability.

PENDAHULUAN

Teori-teori kognitif menjelaskan bahwa belajar merupakan perubahan proses mental dan struktur pengetahuan dari upaya pembelajar untuk memahami hal-hal yang ada di dunia (Corpuz & Rebello, 2011). Untuk mencapai sebuah perubahan proses mental dibutuhkan keseriusan dan konsisten diri dari peserta didik dalam menghadapi suatu pembelajaran. Selain itu pengajaran bermakna yang memiliki tujuan jelas dan terarah juga merupakan faktor pendukung dalam perubahan proses mental. Ibrahim and Rebello (2013) juga mengungkap temuannya terkait dengan pembelajaran bahwa inti dari pembelajaran berdasar pada pengajaran yang terletak pada proses pembangunan model mental siswa.

Dalam menyelidiki model mental siswa, bukan perkara mudah untuk dapat mengetahui apa yang dipikirkan oleh peserta didik, terlebih lagi jika hal itu tak dapat dilihat oleh mata (Didi et al., 2014). Namun dengan meneliti mental-modeling ability

peserta didik hal tersebut dapat terlihat tentunya dengan menggunakan beberapa cara untuk mengeksplorasi apa yang dipikirkan peserta didik.

Beragam strategi dalam pembelajaran diterapkan untuk melihat respon balik peserta didik terhadap apa yang telah diajarkan juga tentang kemampuan peserta didik dalam memodelkan mental modelnya, menuntun pendidik berpikir kedepan tentang bagaimana agar peserta didik dapat memahami apa yang akan diajarkannya, serta bagaimana cara untuk mengksplorasi apa yang dipikirkannya yang mengarah pada

mental-modeling ability. Proses pembelajaran didesain agar mampu mempengaruhi siswa dalam mengelolah informasi awal dan menggabungkannya dengan informasi yang diperoleh hingga membentuk pola model mental dalam pemikirannya.

Terkait dengan pembelajaran pada peserta didik, Gobert and Buckley (2000) mengatakan bahwa pembelajaran berdasar pada pengajaran mengacu pada adanya kesamaan sumber informasi yang diberikan secara bersamaan pada proses pembelajaran baik secara individu maupun secara kelompok.

(2)

berharga bagi peneliti pendidikan sains tentang bagaimana susunan konsep yang dimiliki peserta didik.

Berdasar pada penjelasan dari para peneliti sebelumnya, kemampuan model mental memang memiliki tingkat yang cukup tinggi untuk diteliti, olehnya penggunaan

direct instruction yang telah dimodifikasi merupakan langkah awal untuk memberikan penguasaan konsep secara gamblang kepada peserta didik. Dengan mengacu pada konsep dasar, peneliti ingin melihat bagaimana kemampuan model mental peserta didik.

Hal yang paling menarik dari direct instruction ini, terdapat pada sistem pembelajaran yang sangat interaktif. Beberapa penelitian terbukti telah menggunakan metode ini untuk membantu siswa dengan berbagai latar belakang pemahaman yang berbeda hingga memperoleh keterampilan yang diperlukan demi kemajuan akademis (Anonim, 2008).

Enhanced direct instruction merupakan pengembangan dari direct instruction

sendiri yang diperkaya dengan hasil-hasil penelitian dimana, pada langkah-langkah utama (makro) disisipkan dengan langkah-langkah mikro (Darsikin & Mansyur, 2015). Berdasar pada pengembangan dari beberapa hasil penelitian terdahulu enhanced direct instructionmemiliki desain hipotetik seperti pada Gambar 1.

Mengacu pada desain hipotetikenhanced direct instruction, peneliti merasa perlu untuk melihat bagaimana siswa dalam memecahkan masalah khususnya materi kinematika, sebagaimana Gerrace and Beatty (2005) menyatakan bahwa, pemecahan masalah merupakan pusat pembelajaran fisika. Pemecahan masalah memainkan peran penting dalam pembelajaran fisika secara langsung. Pendidikan fisika menggunakan pemecahan masalah untuk membuat pelajaran fisika lebih mengasyikan dan untuk mengukur sejauh mana kemampuan fisika siswa dan Wang (2007) yang menyatakan

SCAFFOLDING

STRATEGI MAKRO POLA-POLADIRECT INSTRUCTION STRATEGI MIKRO

THINKING-ALOUD,

Gambar 1. Desain Hipotetik Enhanced Direct Instruction (Darsikin & Mansyur, 2015)

(3)

bahwa dengan menggunakan pemecahan masalah peneliti mampu menyelidiki proses berpikir peserta didik.

Beberapa tahun sebelumnya pun Bodner and Domin (2002) telah menyelidiki terkait pemecahan masalah yang berfokus pada representasi kimia yang dipelajari oleh siswanya dan menyatakan bahwa dengan menggunakan pemecahan masalah dapat menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik mengalami perubahan dan memiliki peran penting khususnya terkait dengan representasi kimia.

Ketika pengetahuan seseorang terhadap suatu topik tertentu luas dan pengetahuan tersebut saling terhubung dengan baik, lebih mudah untuk mempelajari informasi baru yang didapat dan pengetahuan sebelumnya lebih mudah tersedia untuk digunakan. Semakin sering berlatih dan mendapat ulasan informasi yang memadai, hal ini dapat membuat hubungan informasi yang diperoleh menjadi kuat untuk saling terhubung, sehingga memudahkan dalam memecahkan masalah baru ketika seseorang memiliki banyak hubungan pengetahuan yang terkait sangat kuat (Rosenshine, 2012).

METODE PENELITIAN

Penelitian yang melibatkan eksperimen dan survei ini merupakan penelitian kuantitatif dengan melibatkan teknik wawancara untuk menggali pemahaman siswa secara lebih mendalam. Desain penelitian ini adalah non-equivalent control group design.

Penelitian ini bertempat di SMA Negeri 1 Palu, dengan waktu penelitian yang dibutuhkan hingga 5 bulan, terhitung dari pembuatan instrumen hingga akhir penelitian. Penelitian yang dilakukan terdiri dari pemberian perlakuan secara eksperimen dan pendalaman pemahaman siswa berupa perlakuan thinking-aloud bagi tiap siswa yang terpilih menjadi responden dengan tujuan untuk melihat mental-modeling abilitynya.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Kelas X semester ganjil di tahun pertama pada SMA tersebut yang berjumlah 470 orang. Sampel yang diambil menggunakan purposive sampling dengan menggunakan beberapa pertimbangan tertentu. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 58 siswa yang terdiri dari Kelas X2

sebanyak 28 siswa sebagai kelas eksperimen dan Kelas X3 sebanyak 30 siswa sebagai

kelas kontrol.

Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama yaitu pemberian tes akhir pada kelas eksperimen setelah menerapkan

enhanced direct instruction dan tahapan kedua pada pemilihan tujuh responden yang dipilih berdasar pada kategori yang telah ditentukan. Untuk menggali struktur pengetahuannya serta model mental peserta didik, ketujuh responden tersebut diberikan kesempatan untuk melakukan thinking-aloud lalu diikuti dengan wawancara sesaat setelah responden melakukan thinking-alouduntuk mengetahui alasan mengapa dan bagaimana peserta didik dapat memilih dan menjawab pertanyaan yang diberikan.

Hasil thinking-aloud dan wawancara yang telah dilakukan dibuat dalam bentuk transkrip untuk memudahkan dalam pengelompokkan responden berdasar mental-modeling abilitynya.

Pemilihan ketujuh responden tersebut dilakukan dengan memberikan tes berupa uji pemahaman siswa pada kelas eksperimen dengan jumlah sebanyak 28 siswa. Pada uji tersebut diberikan delapan butir soal berupaessaytes. Perolehan data padaessaytes tersebut dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu kategori tinggi, sedang dan rendah yang mengacu pada Rahmiliadkk,(2014).

(4)

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari dua analisis data yaitu secara kuantitatif berupa uji hipotesis dan uji n-Gain. Sedangkan pada analisis data kualitatif yaitu deskriptif untuk mental-modeling ability. Analisis kualitatif diperoleh dengan memperhatikan hasil kerja siswa dalam mengerjakan soal yang diberikan, serta melakukan wawancara tak terstruktur untuk melihat bagaimana kemampuan mental-modelnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL

1 Analisis Pengujian Hipotesis

Penelitian eksperimen menggunakan dua kelas dengan jumlah peserta didik 28 siswa dan proses pembelajarannya menggunakan enhanced direct instructionsedangkan kelas kontrol yang terdiri dari 30 siswa dalam proses pembelajarannya menggunakan model konvensional. Dari hasil penelitian ini diperoleh beberapa data yang diperlukan dalam pengolahan atau pengujian hipotesis. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data Hasil Pengolahan Skor

Statistik Kelas X2 Kelas X3

Sampel 28 Siswa 30 Siswa

Jumlah Skor 1452 1228

Rata-rata 51,86 40,93

Standar Deviasi 19,73 20,79

Dari hasil penelitian ini diperoleh beberapa data yang diperlukan dalam pengolahan atau pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t satu pihak secara manual dengan simpangan baku 1 2, maka

statistik yang digunakan adalah statistik t'. Berdasar pada kriteria pengujiannya pada taraf nyata = 0,05 adalah tolak H0karena t' = 2,05 > 1,70.

2 Analisis Kuantitatif N-gain

Dari hasil pengolahan skor pada Tabel 2 diperoleh bahwa 8 dari peserta didik pada kelas X2 yang berjumlah 28 orang memiliki perubahan peningkatan berada pada

kategori rendah sedangkan 19 orang lainnya berada pada kategori sedang, dan 1 dari 28 peserta didik berada pada pada ketegori tinggi. Jika melihat perolehan data pada kelas X3 yang terdiri dari 30 orang terdapat 16 orang yang berada pada kategori rendah dan

14 orang lainnya berada pada kategori sedang.

Tabel 2. Uji N-Gain Pada Kelas X2 (Eksperimen)

N o

Kode

Siswa SPost(%) SPre(%) SPost- SPre(%) 100 SPre(%) n-Gain (%) Kategori

1 Siswa 1 78 23 55 77 71 Tinggi

2 Siswa 2 68 25 43 75 57 Sedang

3 Siswa 3 68 25 43 75 57 Sedang

4 Siswa 4 68 25 43 75 57 Sedang

5 Siswa 5 68 25 43 75 57 Sedang

6 Siswa 6 68 17 51 83 61 Sedang

7 Siswa 7 67 12 55 88 62 Sedang

8 Siswa 8 65 17 48 83 58 Sedang

9 Siswa 9 64 27 37 73 51 Sedang

10 Siswa 10 64 17 47 83 57 Sedang

11 Siswa 11 64 30 34 70 48 Sedang

12 Siswa 12 58 15 43 85 50 Sedang

(5)

N o

Kode

Siswa SPost(%) SPre(%) SPost- SPre(%) 100 SPre(%) n-Gain (%) Kategori

14 Siswa 14 55 10 45 90 50 Sedang

15 Siswa 15 47 15 32 85 37 Sedang

16 Siswa 16 42 13 29 87 33 Sedang

17 Siswa 17 40 10 30 90 30 Sedang

18 Siswa 18 37 13 24 87 28 Rendah

19 Siswa 19 34 10 24 90 27 Rendah

20 Siswa 20 31 10 21 90 23 Rendah

21 Siswa 21 30 5 25 95 26 Rendah

22 Siswa 22 26 7 19 93 20 Rendah

23 Siswa 23 25 7 18 93 19 Rendah

24 Siswa 24 23 7 16 93 17 Rendah

25 Siswa 25 22 13 9 87 10 Rendah

26 Siswa 26 21 5 16 95 17 Rendah

27 Siswa 27 20 5 15 95 16 Rendah

28 Siswa 28 20 10 10 90 10 Rendah

3 Analisis Kualitatif

Pengambilan data kualitatif ini menggunakan thinking-aloud dan wawancara. Pengambilan data dengan menggunakan thinking-aloud berfungsi untuk mewujud nyatakan hasil pemikiran yang masih berbentuk abstrak, agar membentuk sebuah bukti nyata hasil dari pengolahan segala informasi yang terjadi dalam pemikiran tiap individu, sedangkan penggunaan wawancara berfungsi untuk memperjelas dan menegaskan setiap pemilihan jawaban yang terkuak dari hasil pemikiran.

Dari kedelapan soal yang telah diberikan, pada hasil thinking-aloud hanya terdapat dua nomor yang sama yang dikerjakan oleh ketujuh responden yang berbeda, untuk itu kedua nomor tersebut yang akan di telaah lebih dalam terkait dengan pengkategorian mental-modeling ability, dan pengkategorian ini pun didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan sesaat setelah responden melakukan thinking-aloud.

Berdasar pada pelaksanaan thinking-aloud diperoleh data responden yang mengacu pada karakteristik mental-modeling ability, untuk mengelompokkan ketujuh responden kedalam tiga tingkatan kategori yang berbeda. Ketiga kategori tersebut yaitu

high mental-modeling ability (HMMA), moderate mental-modeling abiity MMMA), dan

low mental-modeling abiity (LMMA) yang berada pada rentang-rentang tertentu berdasar pada akumulasi skor reratanya. Dengan perolehan rentang skor tersebut mengacu pada Rahmilia dkk,(2014).

(HMMA) : 7 < 10 (MMMA) : 3 < 7 (LMMA) : 0 3

Tabel 3. Kategorisasi Responden Berdasar Karakteristik Mental-Modeling Ability

RESPONDEN NO.SOAL/SKOR MMA RERATA KATEGORI

2 6

RKT1 7 8 7,5 HMMA

RKT2 7 7 7 MMMA

RKS1 8 6 7 MMMA

RKU 7 5 6 MMMA

RKS2 5 5 5 MMMA

RKR1 3 2 2,5 LMMA

(6)

B. PEMBAHASAN

1 Pembahasan Data Kuantitatif

Perolehan skor merupakan salah satu identifikasi adanya pengaruh enhanced direct instruction terhadap proses pembelajaran di kelas. Kelas yang menggunakan model ini terlihat memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas X3

sebagai kelas kontrol. Pada kelas eksperimen nilai reratanya cukup tinggi jika dibandingkan dengan kelas kontrol selain itu pada kelas eksperimen ini perolehan skor maksimal yang didapat dari siswanya mencapai angka 78.

Heasty et al. (2013) mengungkapkan bahwa pengaruh direct instruction terhadap kemampuan dasar matematika secara substansial mampu meningkatkan kinerja pada kelas berkebutuhan khusus. Selain itu Ewing (2011) juga menegaskan bahwa direct instruction merupakan sistem yang mampu secara langsung melibatkan seluruh aspek dalam pendidikan. Bahkan dalam temuannya berdasar wawancara terhadap orang tua dan guru, Kanfush (2014) mengatakan bahwa direct instruction efektif diterapkan kepada siswa difabel untuk mengajarkannya membaca. Dalam hal ini model pembelajaran yang digunakan memberikan andil pada perolehan skor siswa, dengan menitikberatkan bukan hanya pada bagaimana seorang pengajar aktif dalam menyampaikan materi namun juga didukung oleh keikutsertaan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung, ini dibuktikan dalam proses pembelajaran yang digunakan dengan menggunakan enhaced direct instruction yang menyisipkan strategi mikro dan makro dalam setiap tahapan pembelajarannya.

Beberapa tahapan khusus dalam strategi mikro yaitu dengan memberikan materi secara bertahap selama proses pembelajaran berlangsung diikuti dengan pemberian latihan soal. Pada pemberian latihan ini para peserta didik diarahkan untuk menganalisa permasalahan sebelum mengerjakan masalah, selanjutnya diikuti dengan memberikan instruksi pemecahan masalah yang pada tahap ini peneliti sebagai pengajar menjelaskan sambil menyelesaikan masalah.

Faktor penunjang tingginya skor pada kelas X2sebagai kelas eksperimen lainnya

yang termasuk dalam strategi mikro adalah, diberikannya kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk menyelesaikan latihan soal yang diberikan, dan tampil menjelaskan jawaban berdasar pemahamannya dalam menyelesaikan permasalahan, sambil menjelaskan kepada teman-temannya bagaimana langkah-langkah menyelesaikan masalah tersebut menggunakan cara thinking-aloud sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya.

Perolehan skor yang tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol juga merupakan bukti dari pemahaman konsep siswa yang merata dan sebagai wujud dari pembentukan kelompok yang homogen. Pada tiap kelompok tersebut, para peserta didik diberikan keleluasaan mengekspresikan pemahamannya terhadap masalah yang diberikan.

Pemilihan pemandu kelompokpun telah didiskusikan sebelumnya terhadap guru mata pelajaran agar pemilihan tersebut memiliki dasar yang kuat. Meski terdapat beberapa peserta didik yang kurang aktif namun selama tetap berada dalam kelas dan mengikuti semua tahapan proses pembelajaran tetap hal tersebut tidak akan sia-sia meski peserta didik tersebut hanya memperoleh sedikit informasi dari proses pembelajaran.

Pada tahap selanjutnya para peserta didik diberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pengecekkan pemahaman. Perlakuan ini memberikan peluang besar bagi para peserta didik untuk memperoleh informasi penting terkait materi yang tengah dipelajari, yang secara tidak langsung mempengaruhi pemahaman siswa terkait konsep fisika. Sebagaimana Wenno (2014) menyatakan dalam temuannya terkait direct instruction bahwa pemahaman konsep siswa menjadi sangat baik dan mampu meningkatkan hasil belajar siswa.

(7)

bahwa adanya pengaruh penggunaan enhanced direct instruction terhadap kemampuan siswa dalam memodelkan pemikirannya.

Berdasar pada data yang diperoleh setelah melakukan pree-testdanpost-test pada kelas eksperimen, terlihat bahwa hanya terdapat 1 peserta didik yang memiliki peningkatan pemahaman yang tinggi dari 28 siswa yang ada, hal ini membuktikan bahwa penggunaan model enhanced direct instruction berpengaruh terhadap peningkatan pemahaman khususnya pada kelas X2.

2 PEMBAHASAN KUALITATIF

a) KarakteristikHigh Mental-Modeling Ability(HMMA)

Responden dengan kategori HMMA memiliki kemampuan yang tinggi dalam menganalisa permasalahan, hal tersebut dibuktikan dalam beberapa penyelesaian soal yang diberikan. Selama proses pemecahan pemecahan masalah tersebut responden dengan kategori HMMA menyisipkan waktu khusus yang dimilikinya untuk menganalisa permasalahan.

Selain itu responden dengan kategori HMMA ini mampu memanipulasi pemahamannya yaitu dengan menggabungkan informasi dasar yang dimilikinya ketika menghadapi permasalahan dengan informasi baru yang diperolehya dari permasalahan yang ada. Ini dibuktikan ketika responden dengan kategori HMMA mampu merepresentasikan setiap permasalahan yang diberikan dalam bentuk gambar.

Poin penting bagi responden dengan karakteristik HMMA ini ketika menggambarkan permasalahan pada nomor enam dengan tidak mengabaikan aspek penting dalam permasalahan yaitu posisi tiang yang dilewati oleh mobil A, selain itu responden dengan karakteristik HMMA ini mampu menggunakan alternatif pemecahan masalah dengan menggabungkan pemahaman dasar terhadap kasus yang dihadapinya Berdasar pada kemampuan yang dimilikinya responden dengan kategori HMMA secara umum dapat memonitor pemahamannya secara metakognitif dalam menghadapi permasalahan.

Transkripthinking-aloudRKT1 Soal Nomor Enam

Transkrip wawancara RKT1 Soal Nomor Enam

P : Ini jawabannya 60 meter yaa, berarti kalo dari mobil B?

[membaca soal] mobil A bermassa 1500 kg dan mobil B bermassa 2000 kg bergerak dalam arah berlawanan yang saling mendekat pada jalur yang sama di jalan lurus, dengan laju tetap masing-masiiing [ ] 15 m/s dan 10 m/s. Jika mula-mulanya 100 m [membuat lintasan lurus] saat mobil A melewati sebuah tiang listrik [menggambar sebuah tiang listrik, sebagai titik acuan] Berarti di sini mobil A, dan kapan di mana kedua mobil bertabrakan? Mobil mana yang merasakan gaya paling besar saat bertabrakan?

Jadi ini mobil B [mulai menggambarkan mobil B] mobil A itu 15 m/s mobil B 10 m/s. Kalo jaraknya 100 meter berapa sekon dia akan bertemu? Jadi kalo soal ini pake logika jadi kalo 15 m/s ini 10 m/s. Diwaktu keberapa jika dikalikan dengan angka yang sama menghasilkan 100 meter. Jadiii rumusnya ituuu 15 dikali dengan waktu, ditambah dengan 10 dikali dengan waktu, sama dengan 100 meter. Hmm berarti 15t tambah 10t sama dengan 100 meter. Jadiii 25t sama dengan 100 meter, [ ] baru yang dicari waktu yaa? t sama dengan 100 per 25, t sama dengan 4 sekon, berartii wak wak waktu mobil bertabrakan. Nah terus dicari lagi tempat mobilnya bertabrakan, misalnya kita pakai kecepatan mobil A 15 m/s ini dikali dengan waktu tadi 4 sekon, jadi hasilnya itu 60 meter, kalo mobil B 10 m/s dikali dengan waktu ini sama dengan 40 meter. Jadi mereka akan bertabrakan pada 60 meter di depan tiang listrik dan waktunya itu 4 sekon setelah mobil A melewati tiang listrik.

(8)

R : Kalo mobil B, 40 meter dari mobil B.

P : Teruus, rumus ini sudah ada memang rumusnya atau dibuat sendiri? [menunjuk persamaan untuk menentukan waktu]

R : Kaloo rumus ini, [ ] kalo dari 15 kali t ini kan dari eee v kali t kan sama dengan jarak, yang saya cari kan itu dari masing-masing, jarak di mana waktu yang sama tapi jaraknya mendapat 100 meter, jadi ini menggunakan rumus jarak sama dengan kecepatan dikali waktu, tapi karena kasusnya seperti ini, kalao mau lihat dimana mereka bertubrukan di jarak 100 meter, jadi jarak totalnya ini 100 meter. Bisa juga kita tuliskan begini ee v1kali

t sama dengan s1, terus v2kali t sama dengan s2, teruuus kedua s yang ini di cari sampai

jaraknya 100 meter. Jadi s1ditambah dengan s2sama dengan 100 meter jadi di sini stotal,

jadi ini pake rumus sekaligus pake logika juga.

P : Okee, ini apanya tadi [menunjuk ke jawaban dari pertanyaan B] R : Itu gaya tumbukannya,

P : Tumbukan ini satuannya apa yaa?

R : Eee [ ] eee, kecepatan itu, [menuliskan satuan dari tiap besaran] kilogram meter per sekon itu berarti Joule, berarti Joule ini, satuannya Joule.

P : Jadi mobil mana yang merasakan gaya paling besar?

R : Yang merasakan gaya paling besar itu mobil B soalnya yang tubrukannya paling besar itu mobil A jadi B yang merasakan ee tubrukan paling besar.

b) KarakteristikModerate Mental-Modeling Ability(MMMA)

Responden dengan karakteristik MMMA terdiri dari empat responden dan terdapat dua responden yang memiliki skor sama yaitu tujuh. Kedua responden ini terdiri dari RKT2 dan RKS1. Pada dasarnya responden dengan karakteristik MMMA ini memiliki kemampuan penganalisaan masalah yang tidak jauh berbeda, namun pada soal nomor dua RKS1 terlihat lebih teliti dalam merepresentasikan gambar.

Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh RKS1 adalah memeriksa kembali pemecahan masalah yang telah dilakukannya, hal tersebut menjadi poin penunjang tingginya pencapaian skor yang dimiliki oleh RKS1 pada soal nomor dua ini.

Secara umum keempat responden dengan karakteristik MMMA ini mampu memenuhi ketiga karakteristik MMA pada soal nomor dua, dengan RKS1 sebagai pengecualiannya karena mampu memenuhi keempat karakteristik MMA. Meski berada pada kategori yang sama yaitu MMMA namun keempat responden tersebut memiliki kadar kemampuan memanipulasi model mental yang berbeda-beda, misalnya pada permasalahan nomor enam RKT2 membutuhkan banyak waktu dalam menganalisa permasalahan.

Lembar Jawaban RKT2 Soal Nomor Enam

(9)

P :Bisa kasi tau ke saya apa maksud gambar ini [menunjuk gambar yang di atas (Gambar1)] sama gambar ini [menunjuk gambar yang di bawah (Gambar 2)]? R :hmm kalo gambar ini [mengarah ke gambar 1] ee pada saat mobil A ini mobil A

yang memiliki massa 1500 dan kecepatannya 15 m/s kemudian ini mobil B yang massanya 2000 yang memiliki kecepatan10 m/s kemudian di ketahui jarak antara mobil A dan mobil B bernilai 100 meter jika mobil A sudah melewati tiang, dan yang ditanya kapan dan dimana kedua mobil tersebut. dan kalogambar ini [menunjuk gambar 2] ini mobil A ini mobil B pada saat mereka bertabrakan, kemudian ini tiang, pada saat mereka bertabrakan, jarak antara tiang itu sebanyak 60 meter karna mobil A melaju 15 m/s selama 4 detik.

P :Bisa kasi tau ke saya bagaimana bisa dapat 4 detik?

R :Ehmm 4 detik, krna mobil A itu 15 m/s dan mobil B itu 10 m/s, ee jaraknya 100 meter, ee ini 15 meter ke arah sana [memulai dari mobil A menuju mobil B] ini 10 meter ke arah sini [dari mobil B menuju mobil A] dalam 1 detik mereka, ini mobil A mencapai 15 meter dan dalam 1 detik juga mobil B 10 meter, jadi sisa jaraknya 75 kemudian kedua detik 15 lagi 10 lagi sisa 50, 3 detik lagi 15 meter 10 meter lagi kurang kemudian pas 4 detik mereka sudah tabrakan.

P :Ini mengerjakan soal mengunakan logika atau pake rumus? R :Logika

P :Ada nda solusi lain mengerjakan ini selain menggunakan logika? R :Ee ada tp tidak tau.

c) KarakteristikLow Mental-Modeling Ability(LMMA)

Responden yang berada pada karakteristik LMMA ini terdiri dari RKR1 dan RKR2 yang keduanya memiliki pencapaian skor yang sama pula. Hal yang ditemukan pada responden dengan karakteristik LMMA ini yaitu rendahnya kemampuan analisa reponden serta kemampuan untuk menghubungkan pemahaman dasarnya terhadap masalah yang dihadapinya.

Kedua responden ini memiliki perbedaan waktu dalam menyelesaikan permasalahan nomor enam. RKR2 membutuhkan waktu yang banyak dalam memahami permasalahan jika dibandingkan dengan RKR1, namun RKR2 masih kesulitan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, sebaliknya pada RKR1 waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pada nomor enam cukup singkat karena menggunakan beberapa prediksi yang berdasar pada logika responden. Saya pun mengasumsikan bahwa faktor eksternal sangat mempengaruhi perolehan pencapaian skor siswa, salah satunya adalah waktu pelaksanaanthinking-aloud.

Lembar Jawaban RKR1 Soal Nomor 6

Transkrip Wawancara RKR1 Soal Nomor Enam

(10)

R :Kan dibilang ada tiang listrik disitu, pas ini mobil A ini massanya 1500, sedangkan mobil B massanya itu 2000, terus pas jaraknya ini dari A ke B ini 100 meter [kembali membaca soal] [saat mobil A tepat melewati sebuah tiang listrik, kapan dan dimana], iyo sudah bu'. Pas ini kan ini ada jalan ada tiang listrik disitu ada dua mobil berlawanan yang massanya itu tidak sama dan kecepatannya tidak sama terus dorang ini karena satu jalur dorang bertabrakan, bertabrakan ini ditanya kapandan dimana. Kalo ditanya kapan berarti pas mobil A ini ooo tidak dorang ini 50 50 sto bu' pas mobil B ini [ ] bukan 50, pas mobil ini di 40 meter ini di 60 meter dorang akan bertabrakan [ ] sudah itu saja bu'.

P :Iya kenapa bisa 40 dengan 60 meter? R :Karena ini kecepatannya beda. berarti ini hanya 60 : 40 dari 100

P :Teruus jawaban dari pertanyaannya bagaimana?

R :Mobil A itu pas ada di 60 m, dan mobil B itu ada di 40 meter, diiii pas di kan dia bilang disini tepat melewati sebuah, pas di sini diukur mobil A itu ada di pas-pas ditiang sini [menunjuk tiang] berarti 60 meter dari tiang.

P :Yang merasakan gaya paling besar?

Berdasar pada perlakuan yang telah diberikan pada kelas eksperimen dengan menggunakan enhanced direct instruction dan thinking-aloud serta wawancara yang dilakukan terhadap responden yang terpilih ditemukan bahwa siswa yang memiliki pemahaman dasar yang tinggi serta mampu menghubungkan segala informasi yang dimiliki dan diperolehnya secara komprehensif berpengaruh terhadap mental-modeling ability siswa itu sendiri. Hal ini seperti dalam temuan Mansyur and Darsikin (2016) yang menyatakan bahwa enhanced direct instruction dapat mendukung kemampuan

mental-modeling abilitysiswa.

Kemampuan responden dalam mengelola segala informasi yang diperolehnya tersebut secara tidak langsung mempengaruhi kepercayaan dirinya dalam mengambil keputusan saat melakukan tahapan problem-solving, selain itu juga responden yang memiliki keyakinan akan kebenaran jawaban yang dimilikinya berpengaruh terhadap setiap jawaban dalam wawancara.

Chittleborough and Treagust (2007) mengungkap bahwa kemampuan seseorang mengeksplorasi apa yang dipikirkannya dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan dan pemahaman konsep dasar yang kuat mampu memberikan keuntungan besar bagi seseorang. Sehingga hal tersebut dapat memberikan kepercayaan diri dan kemampuan dalam memvisualisasikan, menjelaskan, membayangkan, dan membuat prediksi penggunaan model mental serta mudah mengucapkan hal-hal yang terkait dengan pemahamannya.

KESIMPULAN

Berdasar hasil penelitian yang dilakukan diperoleh beberapa data baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Secara kuantitatif, diperoleh bahwa terdapat pengaruh enhanced direct instruction terhadap mental-modeling ability siswa. Selain itu, perolehan skor merupakan identifikasi nyata bahwa penggunaan enhanced direct instruction yang diterapkan berpengaruh terhadap kelas yang menerima perlakuan tersebut. Hal ini diperkuat dengan uji gain yang dilakukan.

(11)

kelompok dan pemilihan pemandu kelompok mempengaruhi siswa untuk terbiasa dalam mengeksplorasi pemahaman yang dimilikinya, dengan menggunakan berbagai pendekatan sepertithinking-aloudkepada teman sebayanya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi mental-modeling ability responden dalam memecahkan masalah yaitu penggunaan waktu pemecahan masalah, kebebasan responden yang mengarah pada kenyamanan responden dalam memecahkan masalah, tekanan eksternal, serta minimnya pemahaman dasar yang berpengaruh langsung terhadap kemampuan mengembangkan pemahaman..

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kami sampaikan kepada Kemristekdikti atas pembiayaan Penelitian ini melalui Hibah Tim Pascasarjana.

DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2008.Direct Instruction Methodology. Mc Graw Hill.

Bodner, G. M., and Domin, D. S. 2002. Mental models: The role of representations in Problem Solving in Chemistry. Department of Chemistry, Purdue University, 4(1), 24-30.

Chittleborough, G and Treagust, D.F. 2007. The Modelling Ability of Non-Major Chemistry Students and Their Understanding of The Sub-Microscopic Level. Australia: Educational Reserch. 8 (3): 274-292.

Corpuz, E. D. and Rebello, N. S. 2011. Investigating Students Mental Models and Knowledge Construction of Microscopic Friction. I. Implications For Curriculum Design and Development. Physical Review Special Topics- Physics Education Research. USA: American Physical Society. 7 (2): 1-9.

Darsikin, dan Mansyur. J. 2015. Model Enhanced Direct Instruction Berorientasi Mental-Modeling Ability Berbasis Kajian Physics Problem Solving dan Representasi Eksternal. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Pembelajarannya2015. 47-54 Didi , N., Ery lmaz. A. and Erkoç, S. 2014. Investigating Students Mental Models About

The Quantization Of Light, Energy, And Angular Momentum. Physical Review Special Topics-Physics Education Research. Turki: American Physical Society. 10 (2): 1-28. Ewing, B. 2011. Direct Instruction In Mathematics: Issues For Schools With High

Indigenous Enrolments: A Literature Review. Australian Journal of Teacher Education. 36 (5): 63-91.

Gerace, W.J. and Beatty, D.I. 2005. Teaching vs. Learning: Changing Perspectives on Problem Solving in Physics Instruction. USA: Developments and Perspectives in Physics-New Technologies and Teaching of Science.

Gobert, J. D. and Buckley, B. C. 2000. Introduction to Model-Based Teaching and Learning in Science Education. International Journal of Science Education. USA: Taylor & Francis Ltd.

Heasty, M., McLaughlin, T. F, and Williams, R. L. 2012. The Effects of Using Direct Instruction Mathematics Formats to Teach Basic Math Skills to a Third Grade Student With a Learning Disability. Academic Research International. 2 (9): 382-387. Ibrahim, B. and Rebello, N.S. 2013. Role Of Mental Representations In Problem Solving:

Students Approaches To Nondirected Tasks. Physical Review Special Topics-Physics Education Research. USA: American Physical Society. 9 (2): 1-17.

Kanfush, P. M. 2014. Dishing Direct Instruction: Teachers and Parents Tell All!. The Qualitative Report. 19 (1): 1-13.

(12)

Rahmilia, S., Mansyur, J. dan Saehana, S. 2014. Mental-Modeling Ability Mahasiswa Pada Konsep Dasar Listrik Statis. Prosiding Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika(SNFPF), 5 (1): 71-76.

Rosenshine, B. 2012. Principles of Instruction-Research Based Strategies That All Teachers Should Know. American Educator.

Vosniadou, S. 1994. Capturing and Modeling The Process of Conceptual Change. Learning and Instruction, 4, 45-69.

Wang, C. Y. 2007.The Role Of Mental-Modeling Ability, Content Knowledge, And Mental Models In General Chemistry Students Understanding About Molecular Polarity.

Disertasi diterbitkan. Columbia: The Faculty of the Graduate School University of Missouri.

Gambar

Gambar 1. Desain Hipotetik Enhanced Direct Instruction (Darsikin &Mansyur, 2015)
Tabel 1. Data Hasil Pengolahan Skor
Tabel 3. Kategorisasi Responden Berdasar Karakteristik Mental-Modeling Ability

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan khususnya meliputi : (1) mengembankan kebijakan pengembangan Desa Siaga Aktif di Pemerintahan Desa/Kelurahan; (2) meningkatkan komitmen dan kerjasama semua

[r]

Pulau Kalimantan dikenal sebagai suatu pulau yang memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah, akan tetapi kabupaten - kabupaten pada Pulau Kalimantan dapat dikatergorikan

Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui untuk mengetahui komposisi juvenil dan spat Geloina erosa, dan (2) mengetahui rasio juveli dengan spat pada kawasan muara, aliran dan

Sebagai motivsi untuk lebih meningkatkan ketrampilan dalam memilih model pembelajaran yang bervariasi dan dapat dapat memperbaiki sistem pembelajaran, sehingga

[r]

dengan prestasi belajar siswa kelas X SMK Muhammadiyah 1 Sragen Tahun Ajaran 2012/2013.. Berdasarkan simpulan, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut : 1)

Orang tua dapat menemani siswa mengukur panjang benda yang ada di rumah menggunakan alat ukur tidak baku.. Misalnya mengukur panjang tempat tidur menggunakan jengkal, mengukur