TURNAL
No.
22-
z3Th.frr/I/
Maret
-September
2001A.
Sudeuta:
SUIIIAN HAMENGKU
BUWANAV
STRATEGI
SASTRABUDAYA
MENGHADAPI
PERUBAHAN
SOSIAL
*
S.E. PeniAitji:
GENDER
LAKI-LAKI
DALAM
KARYATITIS BASINO
DAN
NH.
DINI
Sri
Wiilati:
KENANGAN TENTANG PEREMPUAN,
OLEH PEREMPUAN
*
B.Rahmanfo; MENGUII
KESABARAN
DALAM
CERITA
KENANGAN
JEPUN
NEGERINYA
FIIROKO
KARYA
NH.
DINI
*
Yoseph
Yapi
Ttzui;;: SA*ETRA LISAI\.T
SEBAGAi
SUMBERSASTRA
i:i
lJl\E3lA
IiLIDEiU\r; KTJNTiNUITAS
DAN
DISKC\TI:{itl-{! -
i,
Prtutcit"'o Baryadl:
I-iRGENSI]
]i
FJ
A],'..J.SiD.{L.I\{
TLTTURAN
Dr. Paul Supamo, S.|. Rektor Universitas Sanata Dhnrma
Penasihat
Prof. Dr. P.|. Suwarno, S.H.
Ketua Lembaga Penelitian Uniaersitas Sanata Dhnrma
Penanggung
Jawab/Pemimpin
RedaksiDrs. B. Rahmanto,
M. Hum.
Kepala Pusat Knjinn Bahasa, Sastra, dnn Kebudttyaan Indonesia Unia ersit as S anata Dharm"a
Sidang Redaksi
Dr. I.
Kuntara Wiryamartana, S.I.,Dr.Alex
Sudewa, Drs. F.X. Santosa, M.S.Redaksi
Dr.I.
Praptomo Baryadi,M.
Hum., Drs. B. Rahmanto,M.
Hum., Drs.A. Hery
Antono, M. Hum., Dra. Fr. TjandrasihAdji, M. Hum.,
Drs. P.
Ari
Subagyo,M.
Hum., Drs. Yoseph Yapi Taum,M. Hum.
GATRA
adalahjumal
ilmiah
bahasa, sastra, dan kebudayaan Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat KajianBahasa, Sastra, danKebudayaanLrdonesiaJurusanSastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dua kali setaht;r:. setiap Maret dan September.
GATRA
menerima sumbangan karanganilmiah
khususnyahasil penelitian
dari
parapeminat
bahasa, sastra, danbudaya
Indonesia. Naskah karanganhendaknya
dikirim
dalam bentuk
cetakkomputer
disertai disketnya
yangmenggunakan
program
MS
Words 6.0/95,
atau MS
Words 97
sepanjangmaksimal30
halaman quarto spasi rangkap.Alarnat Redaksi: Pusat Yrnjian Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Indonesia., Jurusan
Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Mrican, Teromolpos 29, Telepon (0274) 513301, pesawat 403,Yogyakarta 55002
DAFTAR
ISI
CATATAN
REDAKSIA.
SudapaSULTAN HAMENGKU
BIIWANA
V
STRATEGISASTRA
BUDAYA MENGHADAPI
PERUBAHAN
SOSIAL oS.E. Puri
Adji
GENDER
LAKI-LAKI DALAM
KARYA
TITIS BASINO
DAN
NH.
DINI
o
Sri Widnti
KENANGAN
TENTANG
PEREMPUAN,OLEH
PEREMPUAN
...n...;...o
B. Rahmanto
MENGI.ry
KESABARANDALAM
CERITAKENANGAN
IEPUN NEGERTNYA
HIROKO
KARYA
NH. DINI
...;...o
Yoseph Yapi Taurn
SASTRA
LISAN
SEBAGAI SUMBER SASTRAINDONESIA
MODERN:KONTINUITAS
1DAN
DISKONTINUITAS ...o
I. Praptomo Baryadi
URGENSI INFORMASI
DALAM
TUTURAN
20
32
40
49
Yoseph
yapi
Taum
1. Pengantar
sejarah sastra ma.na
pun
selalumenunjukkan
adanyahubungan
yang erat dan kompleks antara sastra lisan dengan sastra fulisan. Para novelis danpenyair terbaik Eropa dan Amerika memperlihatkan adanya
interaksi
dengan tragediYunani Kuno; epik,
iirik,
danpuisi
dramatik
,amarrRenaisance;ian
zamarr Romantik
L.ggtrr
dan |erman. Bahkanvickery
$992:67) menyebutkanbahwa
hubungan
itu
demikian eratnya, sehingga
tidak
*rrr,gki.,
kitu
memperhatikan dan memahami yang satu dengan mengabaikan
yan;
hinnya.
Bagaimana kaitan antara sastra lisan dan sastra hrdonesia
modernf
Seiak awal sejarahnya, sastra Indonesia modern lebihberkiblat
kepada sastrattrilrl
Barat
--melalui
jendela
Belanda.
Bentuk-bentuk
sastra
yang kemudian
dikembangkan dalam
sastraIndonesia adalah
bentuk-bentukiastra
Baratseperti: roman atau norzel, sajak bebas, soneta drama, cerita pendek, esei,
kritik,
dan
lain{ain.
Karya--karya sastra para pengarangAngkatan
pujangga Baru,misalnya,
Tg''rpurqafkan
adanyapengarut
yang
kuit
dari
para ,"u"rtu*u^
Angkatan
'80 (de Tachtigers), dan sastrawanAngkaian
,45 banyak dipengaruhioleh sastrawan Belanda sesudah perang dunia pertama seperti, H. Miarsiran, J. Slauerhoff, Mermo ter Braak,
Eduirddu
perron'dan
lain-lain (Ajip Rosidi,r995:
eL).Kelya!1al)rang
ada- sekarang adalah,di
Indonesia sastra lisan maupgnsastra
tulis tidak
hanya sekadarhidup
secara berdampingan, tetapi lebihdari
ifu
merniliki
keterpaduan dan-keterjalinan antara satu aurrgurr yut g lain. Sastra yangditurunkan
dalam bentuk tulis dalampraktik
biasanla berfi.rirgsi sebagaisastra_ yang dibacakan dan dibawakan bersama-sama,
jadi
sebaga t"pe(ormingarfs- Sebaliknya sastra lisan sering kemudian
ditulis
dandijadikin
sustrut.tJ.
Selain
itu
kebiasaan sastra lisan masih terasa dalam perkenibangan sastra tulis,lampai
kepada puisi modern, dengan kgbiasaanpoetry readingsjan sebagainya. Berdasarkan kenyataan-kenyataantersebut, Teeuw (r"las: 301305)r.,*ru[ur1iur,
bahwa sastra
tulis
dan sastra lisandi
Lrdonesiajari
suduttipologi -"u,rp.rn
sejarah
sastra-
harus dipandang
se-bagaisatu
kesatrrur,.
uJ.r.rr.rti-ryu
pemisahan antara kedua jenis
sastraltu
but1rr. hanyaartifisial
melainkan jugasangat berbahaya-
Lebih-lebih
ragi
harus
dihindari
pertentangan
aaum
penilaian, seolah-olah.sastra
tulis
saja yangmemiliki
nil;i
(tinsgi).Dalam tulisan
ini
saya bennaksud untuk membicarakankif,idupan
sastraSASTRA
LISAN
SEBAGAI
SUMBER
SASTRA
INDONESIA
MODERN:
KoNTINUITAS
DAN
DISKONTINUITAS
lisan
dalarn konteks sastra danbudaya
Indonesiamodem. Tulisan
ini
tidak
berneatr<sud rnengernukakan sebuah hasil kajian yang tuntas. Tinjauanini jauh
dari serrpurna, maka hendaknya diterima sebagai sebuah
titik
tolak bagi kajian dan pernbahasan lebih lanjut.Tulisan
ini
mempunyai dua
tujuan. Pertama, sayaingin
menunjukkan kedudukan sastralisan
dalam sejarah strategi kebudayaannasionaf khususnyaselarna masa
Orde Baru. Akan
dilihat
di
sini
apakah sastra
lisan
sudah
dimanfaatkan sebagai sumber
idiom
bagi
penciptaan sastra hrdonesia mod-em" Kedua, sayairgi.
memberikan sebuah evaluasi, sejauh manakah sastralisan
sudahmasuk ke dalam
arusutama penulisan karya
sastra Indonesiamoclern. Tulisan ini akan
diakhiri
dengan beberapa pengamatan mengenai masa depan sastra lisan.2.
Diskontinuitas:
Masalah YangDihadapi
Kebudayaan Lrdonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua,
yakni
kebudayaan
nasional dan
kebudayaan nusantara. Yang
pertama
adalah
kebudayaan kesatuan Indonesia, yang bersifat modern; sedangkan yang kedua
adalah kebudayaan-kebudayaan daerah yang pada umumnya bersifat
tradisional. Salah satu
titik
berat
kebudayaan nasionalitu
adaiah nasionalisme dan sifat kekotaan, sedangkan kebudayaan nusantara masih tetap berorientasikepada kehidupan pedesaan, alam agraris dan kelisanan.
Kesusastraan daerah dan kesusastraan lisan, dalam
politik
kebudayaan nasional, terutama pada masa OrdeBaru,
sesungguhnya mengalami semacamkehidupan yang
tertekan.Mengikuti
pembagianHeryanto
(L988:*7),
rnakasecara
umuln di
Indonesia terdapat empat kategori tipe ideal sastra,yakni:
(1) sastraresmi
atau
yang
diabsahkan;
(2)'sastra terlarang;
(3)
sastrayang
diremehkan, dan (4) sastra yang dipisahkan.
"Sastra
resmi"
adalah
sastrayang bergerak
dalam domain
estetika humanisme universal,yffiB
mendapat kehormatanmewakili
sastra hrdonesiadan
disosialisasikan
melalui pendidikan formal.
Sastraterlarang,
adalahkesusastraan
yang harus dibasmikan dan dimusuhi oleh
iembaga resmi
pemerintahan karena dianggap mengancam status 4uo kesusastraan atau bahkan
kehidupan sosial pada umunmya. contohnya: Lekra, Ki panjikusmin, beberapa
\uryu
Rendra, dan yang lebih kemudian adalah beberapa karyaN.
Riantiarnodan
Rahra Sarumpaet. Kesusastraan yang diremehkan, adalah kesusastraanyang disisihkan
dari
kritik
dan
sejarah kesusastraan. Kesusastraanjenis
ini
misalnya sastra
pop,
sastrahiburan,
saska remaja, sastraradio,
puisi
udara.Kesusastraan yang dipisahkan, adalah berb agarl<hazanah kesusastraan daerah
(terrnasuk
sastra
lisan) yang
ditulis
dalam
bahasa
daerah dan
bahkan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia namun
tidak diakui
sebagai"karya
sastta".
Kedudukan
sastralisan "dipisahkan" dari
pembicaraanresmi
karenadipandang tidak sesuai dengan ciri formal dan kualitas yang biasanya
diterima
{
b
! *
t
i
I
t
*
*
il
*
$
#
dalam
pembicaraan'sastra Indonesia'.Dalam dunia pendidikan
tinggi
pun,
dibedakan secara tegas pengajaran sastra 'Nusantara' denganpenga;arin
sistra
'brdonesia', ]urusan Sastra Nusantara danJurusan Sasha Ltaor,"sii.-Pemisahan yang tegas
ini,
menurut hemat saya, dilatarbelakangi terutama oleh tigafaktor
penting, yakni:
a)
hasrat yang kuat
menggapai
tata
sastra
modern
danpemisahan dari tradisi; b) dominasi Estetika Humanisme Universaf c) hegemoni bahasa Lrdonesia" Secara sepintas ketiga
faktor
tersebut dibicarakandi
bawahini.
2.l
Dominasi
Tata SashaModern
Konsep
pribumi
mengenai sastra dan su-sastra dalam jagat sastramod-9rn drpandang sudah merupakan masa lampau yang harus ditinggalkan. sastra
daerah
dan
sastralisan
dianggap sebagai sesuatu-yanglain
dailpada
sastranasional, karena dianggap
tidak
dapat mencerminkan
semangit
dan
jiwa
manusia Indonesia baru. Sementara
itu
saska dan bahasa hrdonesia dianggapsebagai bahasa kebudayaan
baru.
orang tidak
melihat
kemungkinan bahasidaerah sebagai bahasa kebudayaan
baru,
yanglahir
sebagai hasil pertemuan-denqn-\ebudayaan
Eropa, dan isinya mencerminkan semangat kebudayaanbaru bahkan semangat [rdonesia baru.
Dalam artikehrya
berjudul
"Berjangkibrya Bahasa-Bangsadi
hrdonesia", Ariel Heryanto mengungkapkan bahwa sastra Indonesia modem muncul ketika-sastra'
dipahami
sebagai "literature". Kasus sepertiini
terjadi
dalam banyakbidang
lain,
misalnya dominasi pengertian
agama sebagai religian, bahasa sebagailanguage, senisebagai art,kebadayaam sebagai culture (Heryanto, 19g9:-10-1t1. serempak dengan muncuhrya sastra
'modern'
itu,
diperkenarkanpula
berbagai kategori asing yang abstrak dan universal seperti demokrasi,
r"pribtk,
sosialisme, kapitalisme,
militerisme, universitas,
ekonomi,politik,
teknologi
atauiuga emansipasi. Pandangan-pandangan
ini
demikian luas diterima tanpadipersoalkan generik dan
keabsahannya.Dalam
bidang
sastra Indonesia,munculnya
'sastramodern' diterima begifu
saja seolah-oiah sebagai sesuafuyang wajar.
Berpalingnya
kiblat
sastra Lrdonesia modern kepada kebudayaan EropaBarat memang
mulai
tampak
sejakawal lahirnya
?esusastraan
Indonesiamodern" pada sekitar
tahun
r920-an.Menurut
Teeuw (197g:ls-19), paling
kurang_ada tiga alasan bagi
pelyebutan tahun
L920 sebagai awal-.rrri.t}nyl
sastraIndonesia modern. (1)
Ketika itulah
para pemuda Indonesia
untuk
pertama
kalinya mulai
menyatakanideny+
yang berbeda denganide
umum, yangmenyimpa.g
dari bentuk-bentuk
sastraMelayu
Jawa,dan tradisi lain
yang
lebih
tua.
(2)Ciri
khrrsus perkembangan kesusastraan sejalan dengangerakan nasionalisme. (3)
Untuk
pertamakali difulis
kesusastraan dalams.rut"
rangka dasar yang bersifat Lrdonesia-
Ciri
yang terakhirini
berkaitan dengan cara-cara sebagaiakibat pengaruh Barat, karenanya
hal
itu
berarti
suitu
pemisahan yang jelas dengan masa silam.s*i?l
awal pertumbuhannya, sastra Indonesia modern
memang
menunjukkan hasrat yang
kuat
untuk
menggapai tata
sastramodern
dai
memisahkan
diri
dari tradisi asli. Pemisahanini
tentu saja menimbulkan dilematersendiri. Foulcher (1991.:9-L0) menulis, bahwa dalam beberapa hal kaum
muda
da,lam
periode
pembentukan Pujangga
Baru
sudah
merisa
terasing
dari
kebudayaan nenek moyangnya ----sebagai akibat pendidikan
Belanda-
kut"ttu
itu
perlu
berusaha menyesuaikan persepsiterhadap
norrna-normabudaya
Eropa ('kemoderenan' mereka) dengan
ikatan peraiaan dan kejiwaan
yangmendalam pada identitas asli.
Mempersenyawakanyahg
"modern"
itu
ke dalam usaha memperkembangkanwarisan
"tradisional,,.Berbagai periodisasi sastra
yang telah'dibuat
(antaralain:
Ajip
Rosidi, H.B. Yassiru Zttberusman, dan
Boejoeng saleh) pada umurruryamengakui
adanya tradisi sastra yang telahberkembang
di
brdonesia, tetapi denganiuatu
predikat
inherent
sebagai "sastra lama". Sastra lama berarti sastra yang telahmentradisi, dikenal secara akrab oleh manusia Lrdonesia, yang terungkap dalam
bahasa
ibu
dan memenuhi kebufuhan komunikasi personal manusiaIndone-sia.
Konotasi'lama'
dalam sastra Indonesia lama, mengimplikasikan dualismeyang tajam antara 'bakat'
melawan'didikan'
(nature oersus nurture).Dan karenadidikan berarti menjauh dari
naturemenuju
culture,maka
sastramodern
haruslah sastra yang menjangkau standar dan norma-norrna culture. Orientasi
inigkan
menjangkau norrna-norma Barat dalam berbagai bidangnya, terrnasukpula
dalam norma-norma
kesusastraan'humanisme
universal'.
Ki
Hajar
Dewantara yang
ingin
menumbuhkan budaya yang berakar dalamtradisi
ih-donesia
harus
berhadapan dengankaum intelektual
(seperti SutanTakdir
Alisjahbana)
yurg
menginginkan
Indonesia sebagai"ahli
waris
kebudayaandunia".
srA
secara terang-terangan menganjurkan, agar Indonesia-kalau
hendakmaju-
meniru kebudayaan Barat,bahkan mereguk roh dan semangat Barat sebanyak-banyaknya. Dualisme kesusastraan hrdonesia,yNrgsejakarial
telah memunculkan
polemik
kebudayaan
itu,
tampaknya kemudian
lebih
dimenangkan oleh
kelompok
literature- denganrro.*i-rror*a
modem
(Barat).2.2
Dominasi
Estetika HumanismeUniversal
sebagai kelanjutan
dari
hasrat menggapai tata sastra modernitu,
maka konsep estetika humanisme universal mencengkeramkan pengaruhnya yangsangat
kuat
terhadapkehidupan
sastra Lrdonesia. Padatingfal
18 Februar"i!?50' ditandatangani
sebuahdokumen retrospektif
yang
6"4.rau,,surat
Kepercayaan Gelanggang" _yang
dimuat
dalam
majalih
iiasat
tanggal.22oktober
1950(Teeuw,
1978: 17s-178).Dokumen
ini
sangat
meneilukan
Pgrkgmbangan kesusaskaan Indonesia selanjutrya, karena menetapkan
nilai-nilai kebudayaan yang harus diperjuangkan selanjuhrya. Isi dokumen
itu
antaralain:
(1) Kebudayaan hrdonesiatidak berarti
melap-lap
kebudayaan lama,melainkan suatu
kebudayaanlaru
yang
sehat dengan-mempertimbangkanpenempatan
nilai-nilai baru
atasnilai-nilai
usangyang harus
dihancurkan.Dokumen
itu
adalah suatu pernyataan kesetiaan terhadapnilai
humanisme universal.Tigabelas tahunkemudian, yakni tahun 1963, dicartangkan kembali suatur
pendefinisian sikap terhadap
'hurnanismeuniversal'
yang
dikenatr sebagai"Manifes
Kebudayaan"
(Goenawan, L988).Isi
dokumenini
mengembangkanmodel estetika humanisme
universaf
dan melepaskandiri
dari campur tanganmodel-model
ideologi
tertenfu, "...mempertahankan dan
mengembangkanmartabat
diri
kami
sebagai bangsa hrdonesiadi
tengah-tengah masyarakatbangsa-ban gsa...;" Dokumen ini hadir sebagai
tunfutan
zamanny asendiri, yangpenuh
denganideologi
kekuasaanyang
membelenggu kesusastraanuntuk
tujuan-tujuan
politik
yang lebih
sempit.Akan
tetapi,yang terjadi
kemudian adalah:model
estetika humanismeuniversal
mencengkamkan pengaruhnyasecara hebat dan menyeleruh, sehingga jenis estetika lairurya (seperti estetika
kontekstual) berpeluang
sedikit
sekaliuntuk
dapat diterima.Ada tiga
ciri
telpenting
paharn estetika humanisme universalitu
(lihat
Kledery 1987:
*5).
Pertama, ada keyakinanbahwa estetika adalah sesuatu yangbersifat universal,
sehinggatidak
adasangkut-pautnya
dengan perbedaankultural
atau
tingkatan-tingkatan
sosial
tertentu.
Keyakinan
semacamini
sebenamya sudah dipertanyakan keabsahaffrya sejak awal1980-andi
Indone-sia dengan argumen dasar: seni umumnya dan sastra khususnya pada dasarnya adalah bersifat kontekstual. Karenaitu,
sastra mempunyai konteks makna dannilai
tersendiri yang tak
pernahuniversal.
Kedua
ada kepercayaan bahwaestetika
itu
sesuai dengan selera
dan keinginan kaum
elit
kebudayaan.Berprestasi
dalam
kesenian samaartinya
dengan menyenangkan parakritisi
yang "memegang kunci khayangan estetika". Keyakinan
ini
kemudian
diteruskan dan
diterima
lewat pendidikan
formal
ataumelalui diklat
yang diakui secara akadernis. Seni serius dan kebudayaan seriosa dapatdidefinisikan
sebagai apa
yang diperoleh dan
dimiliki
selama prosespendidikan
formal.Ketiga
adakeyakinan bahwa
estetikamerupakan
faktor
yang
seluruhnyaotonom,
tidak tunduk
kepadafaktor lain
dan tak pernah tergantung
padakriteria
luar.
Ini
berarti
secara etis danpolitis,
estetika selalu bersifat netral. Estetika sama sekali tidak mempunyai komibrren moral dankewajibanpotitik.
Hubungan antara
sastradan unsur-unsur kebudayaan
lainnya
dipandang
merupakan hubungan yang kebefulan, atau kalau direncanakan, maka hal
itu
harus berlangsung dalam kebebasan. Hal ini berarti, penggunaan estetika
untuk
keperluan tertentu akan dikuasai oleh kepentingan tersebut.
Ketiga keyakinan seperti itulah yang
menyebabkan
model
estetika humanisme universal cenderunguntuk
memperkukuh status quo pobtrk.Inilah
pula
sebabnya, model estetika lain sukarditerima
dan berkembangdi
Indone-sia. Gejala keterasingan para satrawan hrdonesia terhadap lingkungarurya sudahbanyak diungkapkan para pemerhati
sastraIndonesia,
antara
iain
Arief
Budiman
(1985),
dan Gunawan Mohammad
(1980). Sastra
Indonesia
sesungguhnya masih berada dalam suatu dilema: masa silam yang menjauh
dan
masa
depan yang
belum pasti.
Setelah
puing-puing
suram dunia
koionialisme
dan pemandangan bersahajadari udik
negeri
ini
menghilang,suatu poster modem total yang intens, resah dan
individualis
belumterwujud
benar.
Latar
kebudayaantradisional
tetap merupakan
sejarahyang
hidup,
seperti raksasa yang
tidur.
Para perencana pembangunandi
Indonesia gagalmelihat kebangkitannya.Memang, ada kelahiran kembaii (gerakan kembali ke
tradisi)
padazanan
1960-an, generasiAjipRosidiyangberciri:
a) ungkapannyalebih
manis,kurang polemis, diperindah
denganwama lokal,
b)
tema-tema legenda mulai dibangkitkan. Namun perwnusan dan penemuan suatu 'identitas nasional' dalam warna sastra Indonesia yang mengakar belum juga dilakukan.Kesusastraan
yang diidentifikasikan
sebagai
"kesusastraan Indonesia"memang selalu tak terpisahkan dari pergolakan
politik
masyarakafrrya. Paham estetika humanisme universal telah menunjang kematian Lembaga KebudayaanRakyat
(Lekra)yang sebeluin tahun
L966menjadi kekuatan
raksasa dalam dinamika kesusastraan brdonesia. Serempak dengan kenrnfuhan Lekra, terjadi pula berbagai peristiwapolitik
penting, seperti: runtuhnya pemerintahan Soe-kamo, bangkibrya kekuatan Orde Baru, saling membunuh ratusanribu
wargaIndonesia, dan perubahan tata
nilai
dankiblat
politik
ekonomilrdonesia.
2.3
Hegemoni
BahasaIndonesia
Sebelum bahasa
Indonesia terbentuk menjadi
bahasaNasional
untuk
tujuan membina kesafuan dalam negara modem pasca-kolonial, bahasa-bahasa
daerah merupakan bahasa sastra. Bahasa-bahasa daerah
ifu
masing-masing mengekspresikanidentitas dan
tradisi
budaya kelompok
efirisnya. Sampai sekarang amat jarang orang menggunakan bahasa nasionalitu
sebagai bahasaibu.
Dalam pergaulan sehari-hari oranglebih
banyak
menggunakan bahasadaerahnya sendiri yang berasal
dari
tempat kelahiran dan tempat dia
dibesarkan. Bahasa-bahasa daerah itu masih tetap digunakan dalam percakapan
yang
intim,
kontak sosial, juga dalam berbagai ekspresi seni budaya termasuksaska, lisan maupun fulisan. Sastra lisan merupakan salah safu bentuk ekspresi
kebudayaan daerah yang
jumlahnya
beratus-ratus
di
seluruh
Nusantara.Bahasa-bahasa daerah yang menjadi wahana pengucapan sastra lisan itu, juga
merupakan bagian
dari
kebudayaan daerah
tradisional.
Kesusastraanitu
dianggap yang
paling
tepat dapat
mengekspresikanisi
kebudayaan daerahyang bersangkutan.
Tidak
dapatdisangkaf bahwa
sastra mendapatjulukan
sebagai 'sastraIndonesia'
karena penggunaan
Bahasa
Indonesia
sebagai
sarana pengungkaPannya. Pengakuan terhadap Bahasa Indonesia berkaitan denganmunculnya
nasionalisme
dan keinginan
politik
rakyat
Indonesia
untuk
membentuk nation state, yang
diawali
oleh Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Bahasaini
secara luas telah dijadikan sebagailinguafranca dalambahasa Melayu yang telah dianggap sebagaibahasa h:rdonesia nnerupakan suatu
\epltu,san
politik,
sehingga bahasa Indonesia itu terutama adalah bahasapolitik
dan bukan bahasa kebudayaan.
Bahasa
Indonesia merupakan suatu
nilai
yang
dibutuhkan untuk
menyalurkan gagasan, khayalan, danpemikiran
arushidup
orang hrdonesia"Nilai itu
diciptakan melalui
kehendakuntuk
mernbentukiuatu
bangsa yangbarlrr' di atas'bangsa yang 'rana' ,dan unfuk menjadi sarana kornunikasi
umum
di
dalambangsa tersebut. Perkembangan yang terjadi selanjutorya adalah,nilai
itu
dianggap seolah-olah ada padadirinya
sendiri
dan n'rempunyai jamrnanmutlak,
dalambidang
sastra misalirya:untuk diakui
sebagai "sastraIndone-sia".
Kecenderunganifu
telah membuat ba.hasaini
mengurung manusia Indo-nesiadalam
nilai-nilai
ciptaannya
sendiri.
Dengan
demikiarl
penguasaan terhadapnilai itu
membawa jaminan kuasa tersendiri.Hal
ini
tampak jelas dalam masaawal
perkembangan kesusastraanIn-donesia modern. Masyarakat Sumatra, yang merupakan masyarakat Melayu
dan dengan demikian lebih menguasai bahasa Indonesia, mendorninasi perkem-bangan awal sastra Indonesia.
Di
luar kelompok Sumaka (khususnya Minang-kabau) karya-karya sastra kebanyakanditulis
dalam bahasa Belanda.Penga-rang-pengarang
seperti Muhammad Yamin,
RustamEffendi,
Sanusi Pane,Armijn
Pane, SutanTakdir
Alisyahbana,Marah
Rusli,Abdul
Muis,
dan l",lur Sutan Iskandar merupakan pengarang-pengarang terpenting dalam masa per-fu:rrbuhan awal kesusastraan Indonesia. Tidaklah suatu kebetulan saja, bahwamerekaberasal dari Sumatra. Konsep-konsep estetika Melayu juga jelas kelihat-an dalan'l perkembangan
ini,
yang memandang kehidupan manusia yangse-sungguh-sunggulmya hanya
mungkin terwujud
dengan suatu'pengatraman bersama tentang penyatuan dengan Roh Semesta Alam menurutteeuw
(1978: 25).Perkembangan bahasa
Indonesia
dan
estetika
Melayu
ini
kemudian
mendapat'perlawanan',
dengan munculnya estetika |awa sekitar tahun 1970-an. Estetika Jawaini
dipelopori
oleh
Linus
Suryadi
AG
dengan penerbitanP eng aku
an
P ariy em-nya, Y. B.Mangunwijaya
dengar, p"r,eib itai
Burung-burung Manyar-nya. Perkembangan baru ini sesungguhnya merupakan sesuafu
yang waiar, karena telah
mulai
tumbuh
'kesadaran akanlingkungan'
serta'sem"angat mmgaknrkan kentbnli sastra' dalam setting budaya berbagai daerah etris.
Estetika Jawa sebagaimana tampak dalam tradisi etis dan mistisnya mulai
pula
mewarnai Poetika Indonesia.
Penelitian para
ahli
sosiolinguistik menghasilkan
pandangan, bahwabahasa
tidak
hanya dibentuk dan ditentukan melainkan juga membentuk danmenentukan sejarah sosial.
Bahasabukan hanya sekadar
'aIat'
untuk
mengungklpkan pikiran,
melainkan
lebih dari
itu,
bahasaharus mampu
memenuhi
kebutuhan komunikasi
personal(Heryanto,
1989: 3-'L6;oetorio,
1989:17-29).Keputusan
politik
untuk
menjadikan
bahasaMelayu
sebagaitelah
lama
mengakar dalarn kebudayaanetris di
Lrdonesia. Kongres Bahasa IndonesiaV
tahun
1988, misalnya,ditandai
dengan hasrat yangkuat
untuk
melengkapkan disiplin nasional d.engan disipli:r berbahasa brdonesia yang
baik
dan benar. Bahkan diusulkan pula pengawasan melekat terhadap penggunaan bahasa para pejabat, karena merekalah panutan masyarakat. Dalam taraf seperti
ini,
berbahasaIndonesia menghadapi tantangan budaya:
mampukah
dia
meiaksanakan proses transpolitisasi dan menerima berbagai variasi bahasa yang memang fungsional pada masanya sebagai ekspresi aktualisasi
diri?
Penggunaan bahasa
Indonesia
yar.g
baik
dan
benar telah
menjadi
kekuatan
politik
bangsa menegakkan hegemoni kekuasaan bangsa, yang berdfuidi atas berbagai kelompok ebrik kebudayaan
ini.
Pemerintah Indonesia memangmenghadapi
pilihan
yang sulit,tetapi
telah dengan mudahmemilih
mitos danetos
kesetiakawanan
sosial
bangsa
menuju
era
pembangunan
dan
industriaiisasi. Dalambidang kesusastraan, penggunaanbahasa hrdonesia yang
kreatif,
yang mengurai dan memadu, yang kontekstual dan rnanusiawi sertabermuatan budaya
lokal
Indonesiaseringkali
menghadapi tantangan: antaramobilisasi atau partisipasi kesusastraan. Besamya intervensi
politik
penguasadalam
bidang
sastra telahrmembuat para pengarang "mem-bonsai" hasil
sastranya
sendiri.
Bahasa
Indonesia
seakan
tidak
pernah
mampu
merepresentasi sumber-sumber
pemaknaan
dari dunia
desadan
budaya-budaya lokal.Ketiga faktor tersebut
di
atas, yakni: a) hasrat yang kuat menggapai tatasastra rnodern dan pemisahan dari tradisi asli; b) dominasi Estetika Humanisme Universal dan
c)
hegemoni bahasa Indonesia, dan telah membuat kehidupansastra daerah dan sastra lisan seperti tertekan dalam kebudayaan nasional"
3.
Kontinuitas:
Resistensi Budaya?Sastra yang baik seharusnya mampu mengrmgkapkan wawasan/ citarasa, pengalaman dan peradaban yang muncul melalui refleksi, dialog, dan dialektika dengan sistem
pemikiran
dan
sistemnilai
suatu bangsa.Hasil
cipta
sastratersebut
haruslah
memancarkan pengalamanrohani
suafu bangsa. Sebagai bangsa yang masih muda, bangsa Indonesia masihperlu
mencarijati dirinya,
mata rantai dan kontinuitasnya
dengan sejarah masa lampaunya, termasukjuga
dalam bidang kesusastraan.Tetrah disebutkan
di
atasbahwa
sastra Indonesiamodern
adalah suatubentuk
kesusastraan yang baru, yang sebelumnyatidak
dikenal dalamkadisi
sastra asli, dan ).ang merupakan hasil persentuhan dengan tradisi sastra asing,
khususnya Kesusastraan Barat. Perubahan
di
bidang
sastraitu
dapat terjadisecara
internal,
karenakeinginan mencari
pengucapanbaru,
menciptakankejutan baru; tetapi juga yang bersifat eksternal, yakni disebabkan oleh
perubah-an sosiaf intelektual, dan perubahanbudaya lainnya (Wellek, 1989:361).
Persen-tuhan
itu
tidak
hanya
terbatas menghasilkan perubahan-perubahan dalamstruktur
kesusastraan tapi juga dalam tema, sikap danvisi
kepengarangan.-
l**bangunan
nasional dalam banyak
hal
memang
mengancam
keanekaragarnan budaya
lokal
yang merupaican asetkekaya*i
uurrgu?.Akan
tetapi, sambil melestarikan budaya tersebut, kadang-kadang kita meiemehkan
daya tahan-budaya dan identitas
lokal
terhadap pengaruh dari luar. Sekalipnnkondisi
kehidupan
sastra daerahdan
sastraliian
dalam
eraOrde
earu-itti
termarginalisasi dan kurang menguntungkan, kekuatan resistensi tidak padam
Pugit-u saja, karena bagaimanapun kuahrya sebuah rezirn, dia tidak
dapailestari
bertahan hanya dengan kekuatan eksternal saja. Dalam
sub-uraianbirikut
ini,
secara singkat
atal
{ibyarakan
daya tahan sastra lisan bahkan kemampuanadaptasinya dalam kehidupan sastra Indonesia modem. Akan dibahas
meriurut
masing-masing genre sastra,
yaifu puisi,
ce{pen, dan novel.3.l
Tradisi Puisi
Khazanah sastra daerah dan sastra lisan
di
Indonesia sangat kaya akantradisi puisi,
khususnya
jenis puisi formulaik.
para
ahli
sastra urnunrnyasependapat
bahwa
bentuk
awal
(pratotipeJpuisi
brdonesia
adalahmantia.
Nyanyian-nyurfaT
suku
primitif
pada
zatnal: pra-sejarahyang
digunakanuntuk
membangkitkan tenagasihir
dan magis termasuk beniuk-6entukpuisi
lisan yang
paling
tTu.ITturr
juga merupakan sebuah bentukpuisi
asii yanggukup penting
kedudukannya
dan
sangat memasyarakatdilam
berbaga-i kebudayaan Nusantara. Penerimaangurindam
(yang berasatrdari Tamil)
d*
gyair (yang
berasal
dari
dunia Arab) dimungkinkan karena
kedekatan
bentuknya dengan model
pantun
yang sudah tedih datrulu ada dalamtradisi
sastra Indonesia. Sambutgn yang diberikan terhadap jenis puisi so neta
olehpara
penyair
Pujangga Baru disebabkan karena soneta masihiangat
dekat denganmodel pantun yang telah lebih
dahulu
ada dallarn tradisi sastra Indonesia._
Parapelopor
puisi
Indonesiamodern
sepertiMuhammad
yamin
danSanusi Pane memperlihatkan model penulisan
puisi
Melayu tradisional.Akan
tgtani dalam perkembangan selanjutrya
puisi-puisi
modem kian menjauh sajadari puisi
Y"luy".
Memang,untuk
sekian lamatradisi
puisi lokal
danpuisi
lisan tidak berkembang dalam kehidupan puisi Indonesia-modern.
srA
sangat keras mengejekbentuf
laltun
dan syair sebagai "ucapan nenek-nenek tuuyir,g
terbuaj antara
kuap
dankantuk".
Kelompok
ini
tidak melihat
te*ungt
irrai
{!ir
{an
pantun sebagai wadahuntuk
mengekspresikan seni Indoneuiubu*
(Ajip
Rosidi, 1995: 90-96).Akan
tetapi
kejutanbaru
mulai
muncul dalam
tahun
l97}-arit, denganmunculnya
p91lar
Sutardji Calzoum Bachri berusaha membangkitkan kemiaH'roh puisi
asli'
Indonesiayaitu
mantra
sebagaibentuk
pengucapan puisinya.Perubahan yang cukup
radikal
ini
memberikan
*arna
tersendiri
dan
menumbuhkan kesadaran
baru
dalam jagatpuisi
Indonesia modern: bahwa sastra daerah dan sastra lisan-merupakan kekayaan kesenian hrdonesia yang dapat diPergunakan sebagaiidiom
atau sumbei oleh para seniman b:rdonesiiditerima dalam kehidupan
puisi
lndonesiamodern.
Husni Djarnaluddin danRusli Marzuki
Saria
menulis
puisi
yang bertolak
dari
sastra
lisan
kaba Minangkabau (Esten, 1987: 83). Sanusi Pane, Surachman R.M., Ramadhan K.H.dan
Ayatrohaedi menulis
puisi
dalam
bahasa
Indonesia
dengan
mempergunakan
bentuk puisi tradisional
Sundayang
disebut
"dangding"(Rosidi, 1995: L03).
Ibrahim
Sattah danHamid
labbarmengikuti
jejak SutardjiCalzoum Bachri menulis pttisimantra. Lintts Suryadi AG dan Darmanto Yatman
dan
beberapapenyair
lain
dari
kebudayaan
]awa menulis puisi
dengan
menggunakan cita rasa dan warna
tradisi
daerahnya.Di
bidang
sastralisan, dalam
penghayatannya sekarangini,
terdapat
sastra
yang
isinya
mencerminkan bukan
saja semangat kebudayaanbaru,
melainkan jelas-jelas mencerminkan senungat hrdonesia baru. Sastra dan seni bagi orang Lamaholot
di
Flores Timur, misalnya, adalah kenyataan sehari-hari.Dalam
bahasa-bahasa daerah mereka mengenal ragam-ragam sastra,puisi
maupun
prosa.Nololo,
Mamunu,
danTei
(Fataluku),Hamulak, Aiknanoik,
Aibabelen,
(Tetun), Gaze (Kemak), Tea (Bunak) adalah ragam-ragampuisi
rakyatyangbangunkomposisidanisinaratifnyabenar-benarmemenuhikriteria
Horatio
"dulceet
utile"
(indah dan
berguna).
Melalui
sastramasyarakat
mengaktualisasikan
dirinya.
Sastradalam
konseppribumi Timtim
adalahsesuatu yang
dipandangrealistik
imrnanen di tengah dunia wadagbiasa, tetapi juga yang mengaktualisasikandimensi-dimensi
transendensnya.Pengungkapan sastra
di
Flores-juga
kebanyakanwilayah lainnya
di
kawasantimur
Indonesia-
dilaksanakan selalu dengan gairah dan kreativitas yang menakjubkan, yang tentu saja bersifat estetis dan metaforis.Akan
tetapi bukan estetikaitulah
yang dipentingkan. Mereka berseni dan bersastrauntuk
menghayati dimensi transendensnya, sambil mewartakanperistiwa
eksistmsinlmengenai
realita-realita
paling
besardalam
eksistensi manusia: kelahiran,kehidupan" kesakitan, ketakutan,
pendambaan keselamatan,permohonan
mengatasi
maut,
dan sebagainya.Itu
semuadiungkapkan
dalam gerak yangsimbolis, dalam bahasa yang berwibawa, dalam kesadaran partisipasi dengan
totalitas Sang Realitas Sejati.
Di
desa-desadi
seluruh Timor Timur,
sastrabukanlah hal
yang asing. Mereka yang menguasai, mendengar, memahami, dan menghayati sastra lisandianggap
tinggi
kedudukannya. Dalam bahasa-bahasa daerahTimtim, dikenal
istilah "Nawarana" (Fataluku), "Makoan", Makdean", "Lia
Nain"
(Tefun), yang meiukiskan orang yang'berilmu tinggi'
danmemiliki
kedudukanti.ggi
dalammasyarakatkarena menguasai'cipta sastra'. Tuturan-tuturarurya dianggap lebih
berharga
daripada mutiara.
Kata-katanya
dianggap
menyampaikan dan
menunjukkan kebenaran.
Sastra lisan telah menjadi perbendaharaan kehidupan rohani masyarakat
berbagai masyarakat
lokal.
Perhatikan misalrrya sastralisan
Bini
masyarakatPulau Rote (Fox, 1986) dan W or masy arakat suku Biak di Irian Jaya (Rutherford, 1996J. Berbagai jenis
puisi
lisan tersebut masih bertahan sebagai sarana yangmengungkapkan
semangat
baru, bahkan dapat disebut sebagai "alat
transformasi" masyarakatnya dengan
dunia
luar.Perkembangan
sastralisan yang
semacamini
patut
terus-menerusdidorong
dengan lebih banyak mengrrngkap dan mengenal secara mendalarnnilainilai
dan tradisi
puisi
lisan
di
berbagai daearahdi
Nusantara. Sarnpai sekarang masihterlalu
banyak kekayaantradisi
lisan Nusantara yangbehm
digali.
3.2
Tradisi
CerpenCerita pendek (cerpen) hrdonesia merupakan sebuah genre saska
mad-ern yang mulai berkembang pada dekade tahun 1930-an. Sangat menarik
untuk
dicatat bahwa dua orang perintis penulisan cerpen hrdonesia, yakni Muhammad
Kasim dan Suman Hs menulis cerpen yang justru berakar dari khasanah sastra
tradisional hrdonesia, yang jujur, segar, jernih dan sederhana (lihat Soemardjo,
1983). Efek tertawa gembira adalah tujuan yang hendak mereka capai dengan ce{pen-ce{pennya. Mereka banyak mengambil tokoh-tokoh rakyat biasa yang
bodoh, yang
dijadikan buian-bulanan untuk
berseloroh.
Untuk
lelucon-leluconnya
itu,
M.
Kasim dan
SumanHs.mencari
segi-segihumor
dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka sebenarnya rnenimba dan melanjutkan cerita-cerita lisan seperti Si Kabayan atau Demang Kedangkrang.
Dalam
perkembangan selanjutnya, sistem konvensi saskayang
sudahdirintis
jalannya oleh
M.
Kasim dan
SumanHs
ini
tidak dilanjutkan
oleh pengarang-pengarang lairrnya.Dalam
sejarah cerpen Indonesia hanya sekaliitu timbul
ienis cerita yang demikian: cerita yang penuh humor, optimis dalamkehidupan, dan yang
mengangkat
dan melaniutkan tradisi cerita
rakyat
tradisional
Dengan lenyapnya pengaruh cerita-cerita M. Kasim dan Suman Hs, rnaka
lepaslah
pula mata rantai penghubung
dengan
cerita rakyat tradisional
nusantara. Sebaliknya mulailah tradisi penulisan cerpen menurut konsep Barat,
yang berorientasi
pada
masalah-misalah
sosial
maupun
kedaiaman
ide
pemikiran.
Iniberarti,
model cerita 'asli'itu
tidak
dapat memasuki arus utama cerpen Indonesia,tidak
menjadi'
official'.3.3
Tradisi
Novel/Roman
'Novel' atau'roman'
adalah narnabaru
yangditerima
dari persenhrhan dengan kesusastraan Barat.Akan
tetapi pada hakikatnya jenis cerita panjangini
cukup
akrab
denganmasyarakat
Indonesiayang
sudah mengenal seni bercerita dalam bahasa daerah seperti pantundi
Tanah Sunda, babsddi
Tanahlawa,
kabadi
Minangkabau, kzntrungdi
JawaTimur.
Dalam berbagaitradisi
Iisan
di
berbagaiwilayah di
Nusantarapun,
jenis cerita paniangitu
sudah mempunyai tradisi yang panjang. MisalnyaLiana'in
dalam kebudayaan Tetun di Timor Timur,tutukoda tutu maring d,alam lingkungan masyarakat Lamaholotpanjang bahkan dapat berlangsung beberapa malarn secara suntuk.
Novel sehagaibentuk cerita panjang yang diperkenalkan dari dunia Barat
ini sesunggutrrnya telah dihayafi dengan baik dalam sastra lisan harnpir di semua
wiiayah Nusantara. Cerita panjang dalam tradisi lisan ini temyata menjadi arus dasar dalarn sejarah perkernbangan novei Indonesia selanjubrya. Cerita-cerita
paniangyangberasaldarisastra daerahtersebutsebenarnya teiahmemperlancar
adaptasi
masyarakat sastraIndonesia
denganbentuk
cerita panjang
yang diperkenalkandari dunia
Barat.Proses adaptasi itu sudah
dimulai
dalam kegiatan persuratkhabaran yang berkembang sejak pertengahan abad ke-1,9 (lihatAbdullah,
$9A: U).
Roman-roman pertama yang mengisahkan kehidupan nyata sehari-hari muJai
dimuat
secara bersarnbung dalam koran-koran
itu
yangditulis
dalam bahasa MelayuRendah. Ada
beberapa
nama yang disebut:
H.
Moekti
menulis
cerita
bersambung Hikayat
Siti Mariah; Rd. Mas
Tirto Adhisuryo
menulis roman
Boesono (1910)dan
Nyi
Permana (19L2), semuanyaditulis
secara bersarnbungdalarn
koran
MedanPrijaji,
Bandung.Di
sampingitu
dua
orang pengarangberpaham
kiri
keti.kaitu
menulis
pula
sejumlahroman
berbahasaMelayu
Rendah. Mas Marco
Martcdikromo menulis
Mata Gelap (1.914), Studen Hidjo(19L9), Syair Rempah-runpah (L919), dan Rasa Merdeka (1924). Semaun menulis
sebuah roman
berjudul
Hikayat Kndiroen (1924).Dalam
kurun waktu
tahun 20-an dan 30-an, muncul banyak roman yangbersamaan
pula
dengan penerbitan beberapamitos
dan legendatradisional
dalam
bentuk
prosa (Teeuw, 1978). Cerita Minangkabaumisalnya:
Sabai nanAluih
(1931)oleh
Tulis
St.Sati;
TjeritaMalim
Deman (1932\oleh Aman
Dt. Madjoindo danTjerita siUmbut Muda (1930). Dari Minahasa:Pahlarnan Minahnsa (1935) oleh IvI.R.Dajoh;
Bintang Minahasa (1931)oleh
H.M.
Taulu.
Penulisandan penerbitan kembali cerita-cerita
rakyat
masih terus berlangsung sampai sekarang. Perhatikanmisalnya:
Roro longrang, Sang Kuriang,dan
sebagainya.Ada pula
gubahan cerita rakyatuntuk
konsumsi anak-anak yangditerbitkan
oleh Penerbit Gramedia (Grasindo).
Keadaan
ini
secaratidak
langsung menunjukkan bagaimana
prosesadaptasi antara
cerita panjang dalam
futuran
lisan
dengannovel
modern.Persoalannya, apakahnovel atau rornanberhasilmenjadipelanjut ceritapanjang yang telah ada dalam khazanah sastra lisan daerah?
Ciri-ciri
kedekatanstruktur
antaratradisi
cerita panjang dengan novel denganmudah
dapatkita
lihat.
Susunan kejadiandalam
kebanyakan novel selaluberlangsung
secarakronologis
(plot
lurus),
seringkali relasi
sebab-akibatorya agak longgar sehingga unsur digresi banyak dijumpai. Susunanplot
semacamini
jelas menunjukkan kedekatannya dengan susunanplot
hikayat,kaba dan berbagai cerita lisan lainnya. Demikian
pula teknik
pengembangan ceritalewat'mimpi','ramalan','perbedaan
garis kefurunan', dan teknik klasiklainnya masih
sering
kita jumpai dalam novel-novel
Indonesia modern.
Kedekatan
lainnya tampak
dalam penggambarantokoh
gadisdan
pemuda.Sekalipunbahan cerita telah
diambil dari dunia
nyata, tetapi pelukisan keduatokoh tersebut merupakan transformasi
putri
dan putra raja, sebab kebanyakan pengarang novel menggambarkan tokohnya sebagai pemuda atau gadis terbaik di desanya. Perwatakan tokoh jahat dan tokoh baik juga masih tampak.Tarnpakdi sini bahwa akar budaya nusantara terangkat menjadi landasan dan wawasan sastra para pengarang, terutama
di
masa Balai Pustaka dan Fujangga Baru.Pengamatan
yang
cermat
(lihat
rnisainya
.{bdullah,
1990} terhadapperkembangan novel Indonesia modern menunjukkan bahwa sampai sekarang, jenis novel yang memasuki 'inner circle' hanyalah novel yang bercerita dengan
teknik
piotrya
yang menarik. Daya tarik novel masih bertumpu pada kekuatannarasinya.
Itu
berarti:
aru.sutarna
ncvel
Indonesi.amasih
bertatran daiarn konvensi tradisional dan sukar menerirna kebaruan-kebaruan yang asing, yangtidak
berasaldari
konvensinyasendiri.
itutrah sebabnyanovel-novel
absurdseperti karya
Iwan
Simatupang,Futu
Wijaya, Budi Darma dan Danarto tetapberada
di
luar
lingkaran
pernovelan Indonesia. Sebaliknya novel-novelpop
bisa memasuki
lingkaran
dalam.4. Penutup
Daiam teori sastra masalah sistem konvensi seringkali dipandang sebagai salah satu masalah pokok, sebab sistem konvensi sastra sangatlah rnenentukan
kemungkinan identifikasi,
pengenalan cian pemberian rnakna oleh perxbaca" Jelaslahdi
sini
peranan ataufungsi
sistem konvensi sastra yang rnerupakanalat yang
membataskandan
mengarahkankemungkinan
pemberian rnaknayang
sesuaiterhadap
sebuahkarya
sastra (Teeuw"
1983: 20-21).ltu
pula
sebabnya mengapa Rene Wellek menyebut jenis saska sebagai'lembaga sastra'
yang
memaksa sastrawanmematuhi
hukum-hukum
yang teiah
ditentukan.Mukarovsky
(1978:5) mengungkapkanbahwa
setiapkarya
seni, bagaimanapun
originalnya, tetap menjadi bagian arus kesinarnbungan sepanjang nnasa.Tidak
adakarya
seni yangbukan
bagiandari
arusini,
sekalipun ada karyaseni yang kelihatannya agak sukar
diperhitungkan
hubungannya dengan aruskesinambungan
tersebut.Konvensi-konvensi saska
tidak
pernah kaku dan statis melainkan selaludalam proses perubahan dan pengembangan. Perubahan dapat terjadi secara
internal, karena keinginan mencari pengucapan baru, menciptakan kejutan baru;
tetapi juga
yang bersifat eksternal,yakni
disebabkan oleh perubahan sosiafintelektual,
dan perubahanbudaya lainnya (Weilek,
1989: 361).Perubahan-perubahan
ini
sesuai dengan hakikat pelembagaan sebuah genre sastra, yangberproses secara lamban untuk menjadi genre
yang'fficial'
(Guillen, 1971:125). Maksudnya, gerue tersebut mendapat sambutandari
masyarakat sastra. Jika sarnbutanini
diberikan
makajenis
itu
telahmenduduki
ams
utarnatradisi
sastra, menjadi 'inner circle'. Jika tidak, maka ia berada di iingkaran luar sebagai arus
pinggiran
yangtidak
pemah berhasil masuk kelingkaran
inti.
perkealbangan
'arus'
kesusastraan Indonesiamodern dalam kaitan
dengansastra lisan dan sastra daerah sebagai berikut.
t.
Adaptasi khazanahpuisi
lisan dalampuisi
Indonesia modern terasalebih
dinamis dan prospektif.
Bahkan sastralisan
dalambentuk
aslinyadapat
menjadi
wadah
untu.k mengekspresikanjiwa
kebudayaan Indonesiabaru
(rnisalnya: Hamulak masyarakat Tetun
(di
NTI
danTimor
Timur),
Binidi
Pulau Rote
dan
Wor dalam neasyarakat Biak). Kehidupanpuisi
hrdonesiamodern
akanlebih "bhineka tunggal
ika" jika
berbagaitradisi
puisi
lisan Nusantara Lainnyadikaji
dan dipergrrnakan sebagai wadah atausekurang-kurangnya
idiom
dan sumber inspirasibagi
para seniman hrdonesia.2.
Dalam bidang cerpen, tanrpak bahwa tradisi penuturan cerpen yang berakardarikhasanah sastra tradisionallirdonesia: yang jujur, segar, jemih, optimistis
dan sederhana
tidak
rnemasuki arusutama
penulisan cerpen Indonesiamodern, tidak menjadi 'official'. Di lain pihak, tampak bahwa perkembangan
cerpen dalam sastra Indonesia modern iebih cepat, dan lebih gampang
pula
menerima kebaruan-kebaruan yang asing
3.
Berbeda dengan cerpen" perkembangan novel lndonesia modern tampaknya berjalan lebih lamban. Dalam hal teknik, sampai sekarang, jenis novel yangmemasuki 'inner circle' hanyalah novel yang bercerita dengan teknik
piotnya
yang menarik. Arus utama novel Indonesia masih bertahan dalam konvensi tradisional dan sukar menerima kebaruan-kebaruan yang asing, yang
tidak
berasal dari konvensinya sendiri. Ihrlah sebabnya novel-novel absurd seperti karya Iwan Simatupan& Putu Wijaya, Budi Darma dan Danarto tetap beradadi luar
lingkaran
pernovelan Indonesia. Sebaliknya novel-novelpop
bisamemasuki
lingkaran
da1am,termasuk
pula
kisah-kisah
telenovelayang
mendapat sambutan marak dalam bebeiapa dekade terakhir
ini.
Melihat perkembangan yang demikian,
patut
disimpulkan bahwauntuk
sebagian, sastra lisan telah dipergunakan sebagai
idiom
atau sumber inspirasibagi
para seniman Indonesia dalam menciptakan kesusastraan Indonesia mod-ern..Denganberakhirnya
eraOrde
Baru,maka reformasi
di
bidang
politik
kebudayaan
pun harus
dilaksanakan. Yang
diperlukan
sekarang adalah
redefinisi dan reorientasi kebudayaan nasional agar lebih mencakup dan
lebih
apresiatif terhadap sastra
lisan dan kebudayaan
daerah. Dengan demikian,dalam beberapa tahun mendatang khazanah sastra lisan dan sastra Nusantara
dapat memasuki 'i1mer circle', memasuki
lingkaran
inti
sastra Indonesiamod-ern, dan lebih mencerminkan falsafah "bhineka tunggal
ika".
Hal
itu
akan terjadi apabila sastra lisan dan sastra daerah tidak dipandangsebagai ancanuln atau tandingan terhadap sastra nasional. Sebaliknya sastra hrdonesia modern
perlu
dipandang sebagai jawabankolektif
yangdiberikan
kepada perubahan-perubalr-anyang
terjadidi
sekitar kita, dansistrilisanperlu
diakui
sebagai salahsatu
wadah pengungkap semangat manusia Indonesia baru.'l
6it
Dari
sekarang pemerintahperlu mempunyai
suatu kebiiaksanaan yang memberikandorongan
atasupaya
inventarisasi, perekaman, penerjemahan, dokumentasi dan penerbitan sastra lisan dan daerah secara teratur dan sistematis dan terencana. Upaya-upaya sejak awal tahun 199&an melalui Pusat Fembinaan Bahasadan Asosiasi
Tradisi
Lisan Nusantara (ATL) berupa inventarisasi,
dokumentasi, dan penerbitan sastra lisan barangkali akan mernberi sumbangan
yang
berarti bagi
penulisan
sastraIndonesia modern
di
masa depan. Parailmuwan
sastra
juga diharapkan dapat menyumbangkan
gagasan dan
pemikirannya
untuk
mengernbangkanteori
di
bidang
sastra lisanini.
Selainitu,
pengajaran sastradi
sekolah-sekolahfonnal
melalui
kurikulum
muatanlokal perlu melibatkan materi
sastra
lisan dan
sastra daerah.
Untuk
itu
pemerintah daerah yang
kini
diberi otonomi
yanglebih
luas, terrnasuk jgg-a-ttalam
bidang pendidikan
dan kebudayaan,perlu
merencanakan secara lebihserius dan sistematis pengajaran sastra
di
sekolah. Kegiatan terencana harusdimulai dari
seleksi materi, penyusirnan materi pelajaran maupun dalarn caramengajarkannya.
Daftar
PustakaAbdullah, Imran
T.,lgg0.
"Ikhtisar
SejarahNovel
Indonesia". MakalahSemi--
nar Nasional
Sejarah SastraIndonesia
1990HiSKI
-
Fakultas
SastraUniversitas Diponegoro, Semarang.
Foulcher,
Keith,
1991. Pujangga Baru: Kesusastrsan danNasionalisme di Indanesin 1933-L942. ]akarta:Girimukti
Pasaka.Fo>,; ]ames J.,1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: KumVulan Karangan Mercgenai
Masynrakat Pulau Roff. Seri ILDEP. Jakarta: Fenerbit Djambatan.
Guilleru
Claudio,
t97L. Literature as Systun. Essays taward Theary of LiteraryHis-tory. Princeton
University
Press.Heryanto,
Ariel,
1988. "MasihkahPolitik
]adi
Panglima?Politik
Kesusastraan IndonesiaMutakhir"
dalam Prismn,Nornor
8 TahunXVII
- 1"988.1989.
"Berjangkitlya
Bahasa Bangsa di hrdonesia" dalamPrisma,Nomor
1 TahunXVIiI
- 1989.Kleden" Ignas, L987.'Kebudayaan Pop:
Kritik
danPengakuan"
dalarn PrismaNomor
5 Tahun XVT- 1987.Mukarovsky,
Jan, \978. Structure, Sign, and Function. Diterjernahkan oLeh]ahn
Burbank&
Peter Steiner.New
Haven: YaleUniversity
Press.Rosidi,
Ajilb,1995. Sastra dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakafia:Pustaka Jaya.
Rutherford,
Danilyn
dan
Sam Kapissa, 1996."Barang
Ranepasan{ari'Sup
Arnber':
Wor
Biak SebagaiAlat
Transformasi" dalam WartaATL
EdisiII/Maret/1996.
Welleki
Rene&
Austin
Warren, 1989. Teori l(esusastraan Diteriemahkan oleh Melani Budianta.]akarta:
Gramedia.Vickery,lohn
8., 1982."Utetature
andMyth"
dalam Interrelatisn ofLit*ature.
]ean-Pierre Barricelli (Ed). New York: The Modem Language Association of America
j
d
ii
I