• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek anti inflamasi ampas wortel [Daucus Carota L.] pada kelinci putih betina.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek anti inflamasi ampas wortel [Daucus Carota L.] pada kelinci putih betina."

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek anti inflamasi ampas wortel (Daucus carota L.) serta mengetahui perubahan histopatologi dengan adanya pemberian ampas wortel sebagai anti inflamasi.

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan rancangan acak pola satu arah. Metode uji yang digunakan adalah uji eritema yang telah dimodifikasi dengan peradang lampu TL UV 10 W, Black light, Sankyo, λ 352 nm. Hewan uji yang digunakan adalah kelinci putih betina, dewasa 4 – 6 bulan dan berat badan 1,5 – 2 kg. Empat puluh daerah uji dibagi dalam 8 kelompok secara acak, setiap kelompok terdiri 5 daerah uji @ 4 cm2. Kelompok I dan II merupakan kelompok kontrol negatif radiasi UVA selama 10 jam dan kelompok kontrol positif krim Hidrokortison asetat Bufacort®. Kelompok III–VIII merupakan kelompok perlakuan pemberian ampas wortel secara topikal selama 4 jam dengan rentang masa pemberian 1 – 6 hari. Evaluasi penilaian dilakukan melalui pengamatan eritema pada jam ke-24 dan pemeriksaan histopatologi pada daerah uji. Data keduanya diskor dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Kruskal – Wallis dan Uji Mann – Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan pemberian ampas wortel 3 dan 4 hari. memiliki efek anti inflamasi yang ditandai dengan penurunan mean skor eritema. Hal ini juga terlihat pada perubahan histopatologi kulit yang berupa berkurangnya penebalan stratum korneum beserta udem cairan inter sel.

Kata kunci : anti inflamasi, eritema, ampas wortel, UVA, kelinci

(2)

ABSTRACT

This research has been done with objective to prove the anti inflammation capability of carrot waste (Daucus carota L) and reveal the histopathology changes since carrot waste is given as an anti inflammation.

This research is experimental with one way pattern randomized plan. The test method which is used is erythema testing modified with TL UV 10 W lamp inflammation, Black light, Sankyo, λ 352 nm. The animal which is tested is a whit female rabbit. The age is 4-6 months, the weight is 1,5 – 2 kg. The 40 test daerahs are divided into 8 groups randomly. Each group consists of 5 test daerahs @ 4 cm2. Group I and II are a negative controlled group of UVA radiation for 10 hours and a Hydrocortisone Acetate Bufacort® cream positive controlled. Group III – VIII are a group receiving carrot waste treatment topically for 4 hours within 1- 6 days. The evaluation is held by observing the erythema at 24th hour and histopathology analyzing on a test daerah. The results will be ranked and analyzed statistically with Kruskal – Wallis testing and Mann – Whitney testing.

The observation results indicate that carrot waste has an anti inflammation capability. It’s shown by its capability of decreasing the erythema mean point and histopathology changes on a group receiving a carrot waste treatment within 3 and 4 days.

Keywords : anti inflammation, erythema, carrot waste, UVA, rabbits.

(3)

EFEK ANTI INFLAMASI AMPAS WORTEL (

Daucus carota

L.)

PADA KELINCI PUTIH BETINA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh : Yuda Kristama NIM : 028114025

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007

(4)

EFEK ANTI INFLAMASI AMPAS WORTEL (

Daucus carota

L.)

PADA KELINCI PUTIH BETINA

Diajukan oleh : Nama : Yuda Kristama

NIM : 028114025

Telah disetujui oleh :

Pembimbing I

Yosef Wijoyo, M.Si, Apt. Tanggal : September 2007

(5)

Pengesahan Skripsi berjudul

EFEK ANTI INFLAMASI AMPAS WORTEL (

Daucus carota

L.)

PADA KELINCI PUTIH BETINA

Oleh : Yuda Kristama NIM : 028114025

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma pada tanggal : 6 Agustus 2007

Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Dekan

Rita Suhadi, M.Si., Apt.

Pembimbing :

Yosef Wijoyo, M.Si., Apt.

Panitia Penguji :

1. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. ………..

2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. ………..

3. Drs. Mulyono, Apt. ………..

(6)

v

Va dove Ti porTa il cuore

Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang dihadapanmu

dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil, janganlah memilihnya dengan asal saja, tetapi duduklah dan

tunggulah sesaat. Tariklah napas

dalam – dalam, dengan penuh kepercayaan,

seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apapun mengalihkan

perhatianmu, tunggulah dan tunggulah

lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu.

Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah,

dan PERGILAH KEMANA HATI MEMBAWAMU...

Susanna Tamaro

Kupersembahkan karya sederhana ini bagi,

Bapak & Ibu yang membawaku ke Dunia ini

Dek I, Enci dan Ke CERIA an di hatiku “Nare”

(7)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Anti Inflamasi Ampas Wortel (Daucus carota L.) pada Kelinci Putih Betina“. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Yosef Wijoyo, M.Si, Apt, selaku dosen pembimbing yang telah berkenan membimbing, mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. Mulyono, Apt, selaku dosen penguji yang bersedia menguji dan memberikan saran demi kemajuan skripsi ini.

3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si, selaku dosen penguji yang bersedia menguji dan memberikan saran demi kemajuan skripsi ini.

4. Rita Suhadi, MSi. Apt, selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

5. dr. Luciana Kuswibawati, M. Kes selaku pembimbing akademik penulis atas segala bimbingannya selama ini.

6. Ign. Kristio Budiasmoro, M.Si., Mas Sigit, dan Mas Andre, atas bantuan determinasi dan pembuatan herbarium wortel.

(8)

7. Yohanes Sugianto, M.Si., atas bantuan dalam pembuatan preparat beserta bimbingan dan diskusinya dalam penyesaian skripsi ini.

8. Mas Parjiman, Mas Heru dan Mas Kayat selaku laboran bagian farmakologi, atas segala bantuan dan dinamika selama di laboratorium.

9. Bapak, Ibu, Dek I, dan Dek Enci yang selalu mendukung terutama doa dan kasih sayang selama ini.

10. Nina ”Nare” atas kasih sayang, Ke”Ceria”an, dukungan dan perhatiannya.

11. Ina, Jeane, Dophing, Hendra, Supri, Lian, Thomas, Antok, Riasa, Ardhiyan dan Peter atas diskusi, masukan dan bantuan di laboratorium.

12. Teman-teman seperjuangan angkatan 2002 teristimewa kelompok A, kelas A, atas kebersamaannya disinilah kita merajut persahabatan.

13. Teman – teman komunitas kontrakan Kobo, Heri, Gopa, Nowo, Danu, TP dan seluruh squadra Viola atas kebersamaan dan guyonannya selama ini.

14. Teman – teman se“Kandang Manuk” Adhit, Pak Eko, Vicky, Kirman, Beni, Bowo, Bean, Fery dan “manuk – manuk” yang lain atas “Man For Others”nya. 15. Sahabat – sahabat ku dan pihak–pihak lain yang turut membantu penulis namun

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 6 Agustus 2007

Penulis

(9)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 6 Agustus 2007 Penulis

Yuda Kristama

(10)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek anti inflamasi ampas wortel (Daucus carota L.) serta mengetahui perubahan histopatologi dengan adanya pemberian ampas wortel sebagai anti inflamasi.

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan rancangan acak pola satu arah. Metode uji yang digunakan adalah uji eritema yang telah dimodifikasi dengan peradang lampu TL UV 10 W, Black light, Sankyo, λ 352 nm. Hewan uji yang digunakan adalah kelinci putih betina, dewasa 4 – 6 bulan dan berat badan 1,5 – 2 kg. Empat puluh daerah uji dibagi dalam 8 kelompok secara acak, setiap kelompok terdiri 5 daerah uji @ 4 cm2. Kelompok I dan II merupakan kelompok kontrol negatif radiasi UVA selama 10 jam dan kelompok kontrol positif krim Hidrokortison asetat Bufacort®. Kelompok III–VIII merupakan kelompok perlakuan pemberian ampas wortel secara topikal selama 4 jam dengan rentang masa pemberian 1 – 6 hari. Evaluasi penilaian dilakukan melalui pengamatan eritema pada jam ke-24 dan pemeriksaan histopatologi pada daerah uji. Data keduanya diskor dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Kruskal – Wallis dan Uji Mann – Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan pemberian ampas wortel 3 dan 4 hari. memiliki efek anti inflamasi yang ditandai dengan penurunan mean skor eritema. Hal ini juga terlihat pada perubahan histopatologi kulit yang berupa berkurangnya penebalan stratum korneum beserta udem cairan inter sel.

Kata kunci : anti inflamasi, eritema, ampas wortel, UVA, kelinci

(11)

ABSTRACT

This research has been done with objective to prove the anti inflammation capability of carrot waste (Daucus carota L) and reveal the histopathology changes since carrot waste is given as an anti inflammation.

This research is experimental with one way pattern randomized plan. The test method which is used is erythema testing modified with TL UV 10 W lamp inflammation, Black light, Sankyo, λ 352 nm. The animal which is tested is a whit female rabbit. The age is 4-6 months, the weight is 1,5 – 2 kg. The 40 test daerahs are divided into 8 groups randomly. Each group consists of 5 test daerahs @ 4 cm2. Group I and II are a negative controlled group of UVA radiation for 10 hours and a Hydrocortisone Acetate Bufacort® cream positive controlled. Group III – VIII are a group receiving carrot waste treatment topically for 4 hours within 1- 6 days. The evaluation is held by observing the erythema at 24th hour and histopathology analyzing on a test daerah. The results will be ranked and analyzed statistically with Kruskal – Wallis testing and Mann – Whitney testing.

The observation results indicate that carrot waste has an anti inflammation capability. It’s shown by its capability of decreasing the erythema mean point and histopathology changes on a group receiving a carrot waste treatment within 3 and 4 days.

Keywords : anti inflammation, erythema, carrot waste, UVA, rabbits.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

(13)
(14)

I. Keterangan Empiris ... BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 4. Orientasi penetapan lama penyinaran UV A ... 5. Orientasi penetapan waktu pengamatan eritema ... 6. Orientasi penetapan waktu pemberian kontrol positif ... 7. Orientasi penetapan lama masa pemberian ampas wortel ... 8. Pengujian efek anti inflamasi ... 9. Analisis data ... 10. Pembuatan histologi kulit ... 11. Pemeriksaan histopatologi ... BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... A. Determinasi Tanaman ... B. Uji Pendahuluan ... 1. Penetapan eritema ... 2. Orientasi penetapan lama penyinaran UV A ...

(15)

3. Orientasi penetapan waktu pengamatan eritema ... 4. Orientasi pemberian kontrol positif krim hidrokortison

asetat ... 5. Orientasi penetapan lama masa pemberian ampas wortel ... C. Pengujian Efek Anti Inflamasi ... D. Pemeriksaan Histopatologi ... E. Perbandingan Uji Eritema dan Pemeriksaan Histopatologi ... BAB V. PENUTUP ... A. Kesimpulan ... B. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... BIOGRAFI PENULIS ...

38

40 42 44 49 55 58 58 58 59 63 97

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman I

II III IV

V VI

VII VIII

Penetapa nilai skor eritema ... Hasil uji statistik orientasi penetapan lama penyinaran UV A ... Hasil uji statistik orientasi penetapan waktu pengamatan eritema .. Hasil uji statistik orientasi waktu pemberian krim hidrokortison asetat ... Hasil uji statistik orientasi lama masa pemberian ampas wortel ... Hasil uji statistik mean skor eritema pada perlakuan pemberian ampas wortel dengan kajian lama masa pemberian... Hasil uji statistik skor histopatologi daerah kulit uji ... Perbandingan uji eritema dan pemeriksaan histopatologi ...

36 37 39

41 42

45 51 56

(17)

DAFTAR GAMBAR

Struktur kulit ... Patogenesis dan gejala suatu peradangan ... Skema dari mediator – mediator yang berasal dari asam arakhidonat dan titik tangkap kerja obat anti-inflamasi ... Struktur hidrokortison asetat ... Struktur kimia all-trans ß-karoten ... Spektrum elektromagnetik ... Grafik orientasi penetapan lama penyinaran UV A... Grafik orientasi penetapan waktu pengmatan eritema... Grafik orientasi pemberian krim hidrokortison asetat ... Grafik mean skor eritema pada orientasi lama masa pemberian ampas wortel ... Grafik mean skor eritema pada perlakuan pemberian ampas wortel ... Histopatologi daerah uji kulit kelinci normal tanpa perlakuan pada perbesaran 40x ... Histopatologi daerah uji setelah diradiasi UV A pada perbesaran 100x (1) dan pemberian hidrokortison asetat Bufacort® pada perbesaran 40x (2) ...

(18)

14

15

16

Histopatologi daerah uji pemberian ampas wortel 1 hari pada perbesaran 40x (1) dan pemberian ampas wortel 2 hari pada perbesaran 40x (2) ... Histopatologi daerah uji pemberian ampas wortel 3 hari pada perbesaran 40x (1) dan pemberian ampas wortel 4 hari pada perbesaran 40x (2) ... Histopatologi daerah uji pemberian ampas wortel 5 hari pada perbesaran 40x (1) dan pemberian ampas wortel 6 hari pada perbesaran 40x (2) ...

53

54

54

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Surat pengesahan determinasi ... 2. Foto tanaman wortel dan wortel ... 3. Foto ampas wortel ... 4. Foto lampu TL UV 10 W, black light, Sankyo, λ 352 nm ... 5. Foto radiasi sinar UV A pada kelinci... 6. Foto eritema kulit punggung kelinci ... 7. Data skor eritema pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pemberian

ampas wortel ... 8. Data skor histopatologi daerah uji ... 9. Skema kerja uji efek anti inflamasi... 10. Hasil analisis statistik data orientasi penetapan lama penyinaran UV A

menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney ... 11. Hasil analisis statistik data orientasi penetapan waktu pengamatan eritema

menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney ... 12. Hasil analisis statistik data orientasi pemberian kontrol positif menggunakan

uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney... 13. Hasil analisis statistik data orientasi lama masa pemberian ampas wortel

menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney ... 14. Hasil analisis statistik data pada perlakuan pemberian ampas wortel 1 – 6 hari

beserta kontrolnya menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney... 63 64 64 65 65 66

67 68 69

70

72

78

79

85

(20)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Inflamasi merupakan mekanisme normal pertahanan tubuh. Disadari maupun tidak, setiap orang pasti pernah mengalami inflamasi. Sebenarnya inflamasi bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan suatu pembentukan keadaan yang membantu netralisasi, penghancuran jaringan nekrosis, yang dibutuhkan pada proses penyembuhan (Price dan Wilson, 1995). Akan tetapi kehadirannya selalu disertai dengan pelepasan mediator–mediator kimia yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan seperti adanya kemerahan (eritema), panas, pembengkakan, rasa sakit atau nyeri (Anonim, 2006a). Jika proses inflamasi lepas dari keseimbangan, bukan hanya sel pencedera yang dibuang, tapi sel yang sehat juga mengalami kerusakan, sehingga inflamasi menjadi lebih berat dan mengakibatkan kerusakan jaringan yang serius (Price dan Wilson, 1995). Karena dipandang dapat merugikan maka inflamasi tetap membutuhkan pengatasan dan pengendalian (Tjay dan Rahardja, 2002).

Wortel merupakan salah satu bahan alam yang dapat dikembangkan dalam industri obat. Beberapa informasi tentang khasiat tanaman wortel bukan hal yang asing lagi, seperti diantaranya sebagai anti kanker, radang, penyakit dalam pencernaan, mencegah serangan jantung dan penyempitan pembuluh darah dan masih banyak lagi (Cahyono, 2002). Beberapa penelitian juga telah membuktikan secara ilmiah khasiat wortel, diantaranya adalah sebagai hepatoprotektif (Widari, 2004), analgesik (Putra, 2003) dan anti inflamasi (Widarsih, 2003). Dari hasil

(21)

penelitian tersebut semakin meyakinkan peranan wortel dalam pengobatan dan memungkinkan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan bentuk dan khasiat wortel yang lebih baik.

Bagian dari wortel yang belum banyak diketahui pemanfaatannya adalah ampasnya. Terkadang ampas hanya dianggap sampah atau limbah. Ampas merupakan hasil samping dari pembuatan perasan wortel. Beberapa penelitian tentang khasiat wortel sebagai anti inflamasi lebih sering menggunakan bentuk infusa (Hapsari, 2003), perasan atau sari (Widarsih, 2003) dan kombinasi jus (Inaktia, 2005). Dalam kehidupan sehari – hari telah ada yang menggunakan ampas wortel sebagai masker penghalus kulit dan untuk mengatasi luka bakar (Anonim, 2006b), akan tetapi hingga saat ini sepanjang penelusuran penulis penelitian tentang khasiat wortel dalam bentuk ampasnya belum pernah dilakukan.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka ampas wortel menjadi hal baru yang menarik untuk dibuktikan secara ilmiah khasiatnya sebagai obat anti inflamasi. Penelitian ini dapat juga digunakan sebagai informasi pengembangan obat anti inflamasi dari wortel yang diaplikasikan secara topikal.

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dimunculkan permasalahan sebagai berikut:

a. Apakah ampas wortel mempunyai efek anti inflamasi yang ditandai dengan penurunan mean skor eritema?

(22)

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran penulis selama di Universitas Sanata Dharma penelitian tentang efek anti inflamasi ampas wortel belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian tentang daya anti inflamasi tanaman wortel yang telah dilakukan diantaranya adalah :

a. Daya anti inflamasi sari umbi wortel (Daucus carota, L) pada mencit jantan (kajian terhadap lama masa pemberian) (Rasmandani, 2004).

Pemberian sari umbi wortel dengan dosis 5mg/KgBB dari hari ke-1 sampai hari ke-4 menunjukkan penurunan berat rata-rata udema kaki mencit dibandingkan hari sebelumnya. Lama masa pemberian mempengaruhi daya anti inflamasi sari umbi wortel pada mencit jantan yang ditunjukkan dengan pemberian sari umbi wortel secara berlebihan ternyata menurunkan daya anti inflamasi sari umbi wortel.

b. Daya anti inflamasi perasan umbi wortel (Daucus carota L.) pada mencit jantan. (Widarsih, 2003).

Air perasan umbi wortel memiliki daya anti inflamasi dimana persen daya anti inflamasi perasan umbi wortel pada dosis 1,25; 2,5; 5; 10 dan 20 ml/kgBB berturut-turut sebesar 15,28%; 31,19%; 51,50%; 45,68% dan 37,80%.

c. Daya anti inflamasi infusa umbi wortel (Daucus carota L.) pada mencit jantan. (Hapsari, 2003).

(23)

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Menambah pengetahuan tentang khasiat tanaman wortel dalam bidang kefarmasian sebagai obat anti inflamasi, terutama bagian ampasnya.

b. Manfaat praktis

Memberikan informasi ilmiah dan kebenaran kepada masyarakat mengenai efek anti inflamasi ampas umbi wortel.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian dapat memberikan informasi alternatif pengembangan obat anti inflamasi dari ampas yang selama ini kurang dimanfaatkan.

2. Tujuan khusus

a. Membuktikan efek anti inflamasi ampas wortel yang ditandai dengan penurunan mean skor eritema.

(24)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tanaman Wortel

Wortel merupakan tanaman beriklim sedang (sub tropis). Menurut sejarahnya tanaman ini berasal dari timur dekat (Asia kecil, dataran tinggi, Turkmenistan, Transcaucasia, dan Iran) dan Asia Tengah. Tanaman ini diketemukan tumbuh liar sekitar 6500 tahun yang lalu (Rukmana, 1995). Dalam sistematika tumbuh–tumbuhan, tanaman wortel mempunyai nama spesies Daucus carota L yang termasuk dalam famili Apiaceae. (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963, 1965).

1. Nama daerah

Di Indonesisa wortel mempunyai nama daerah, diantaranya : Sunda / Priangan : Bortol

Jawa : Wertel, wertol, bortol

Madura : Ortel (Rukmana, 1995).

2. Morfologi

Secara morfologi organ–organ penting yang terdapat pada tanaman wortel adalah sebagai berikut :

a. Daun

Daun wortel termasuk majemuk, menyirip ganda atau tiga, dan berantai. Daun memiliki anak–anak daun yang berbentuk lanset (garis–garis). Setiap tanaman memiliki 5 – 7 tangkai daun yang berukuran agak panjang. Tangkai daun kaku dan tebal dengan permukaan yang halus, sedangkan helaian daun lemas dan tipis.

(25)

b. Batang

Batang tanaman wortel sangat pendek sehingga hampir tidak tampak, berbentuk bulat, tidak berkayu, agak keras, dan berdiameter kecil (sekitar 1 – 1,5 cm). Pada umumnya, batang berwarna hijau tua. Batang tanaman tidak bercabang, namun ditumbuhi oleh tangkai–tangkai daun yang berukuran panjang, sehingga kelihatan seperti cabang–cabang. Batang memiliki permukaan yang halus dan mengalami penebalan pada tempat tumbuh tangkai–tangkai daun.

c. Akar

Tanaman wortel memiliki sistem perakaran tunggang dengan serabut akar. Dalam pertumbuhannya, akar tunggang akan mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi menjadi tempat penyimpanan cadangan makanan. Bentuk akar akan berubah menjadi besar dan bulat memanjang, hingga mencapai diameter 6 cm dan memanjang samapai 30 cm, tergantung varietasnya. Akar tunggang yang telah berubah bentuk dan fungsi inilah yang sering disebut atau dikenal sebagai umbi wortel. Serabut akar menempel pada akar tunggang yang telah membesar (umbi), tumbuh menyebar ke samping dan berwarna kekuning–kuningan.

d. Bunga

(26)

e. Umbi

Umbi wortel terbentuk dari akar tunggang yang berubah fungsi menjadi tempat penyimpanan cadangan makanan. Kulit umbi tipis berwarna kuning kemerahan atau jingga kekuningan, karena kandungan karoten yang tinggi. Umbi wortel memiliki ukuran yang bervariasi, tergantung varietasnya (Cahyono, 2002).

3. Varietas

Jenis wortel berdasarkan bentuk umbi dikelompokan dalam 3, yaitu :

a. Tipe Imperator, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang dengan ujung runcing, hingga mirip bentuk kerucut.

b. Tipe Chantenay, yaitu golongan wortel yang umbinya bulat panjang dengan ujung tumpul dan tidak berakar kerucut.

c. Tipe Nantes, yaitu golongan wortel yang mempunyai bentuk umbi tipe peralihan antara tipe Imperator dan Chantenay.

4. Ekosistem pertumbuhan

Tanaman wortel memerlukan lingkungan tumbuh yang suhu udaranya dingin dan lembab, berkisar antara 15,6 – 21,1 °C. Suhu terlalu panas menyebabkan

umbi kecil–kecil (abnormal) dan warnanya pucat dan kusam. Sebaliknya bila suhu rendah maka umbi yang terbentuk menjadi panjang dan kecil (Rukmana, 1995).

5. Kandungan kimia

(27)

B. Kulit

Kulit merupakan organ tubuh yang penting yang merupakan permukaan luar organisme dan membatasi lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar. Kulit berfungsi :

1. melindungi jaringan dari kerusakan kimia dan fisika, terutama kerusakan mekanik dan terhadap masuknya mikroorganisme,

2. mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi penguapan air secukupnya tetap terjadi (perspiratio insensibilis),

3. bertindak sebagai pengatur panas dengan melakukan konstriksi dan dilatasi pembuluh darah kulit serta pengeluaran keringat,

4. dengan pengeluaran keringat ikut menunjang kerja ginjal, dan

5. bertindak sebagai alat pengindera dengan reseptor yang dimilikinya yaitu reseptor tekan, suhu, dan nyeri (Mutschler, 1991).

Gambar 1. Struktur kulit (Anonim, 2007a)

(28)

menghasilkan pigmen; sel Langerhans, sel fagositik berperan dalam pengambilan dan pengolahan antigen; dan sel Merkel, sel neuoroendokrin yang fungsinya belum diketahui (Sander, 2003).

Keratinosit tersusun membentuk beberapa lapisan: lapisan basal, terdiri dari sel–sel yang dapat membelah; lapisan spinosa, terdiri dari sel–sel polygonal yang dihubungkan satu sama lain melalui jembatan antar sel (intercellular bridge); lapisan granulosa, terdiri dari sel–sel yang agak gepeng dengan sitoplasma kebiruan kaya granula keratohialin; dan akhirnya, lapisan permukaan keratinisasi, terdiri dari lembaran–lembaran skuama yang tidak berinti. Lapisan epidermis ini mencerminkan pematangan bertahap keratinosit, yang bergerak dari lapisan basal ke permukaan, dalam tenggang waktu sekitar 30 hari. Perlu dicatat bahwa mitosis hanya berlangsung dilapisan basal, bahwa dalam kulit normal (berlainan dengan epitel skuamus mukosa) terdapat suatu lapisan granuler, dan bahwa skuamus pada lapisan keratin tidak memiliki inti. Lapisan keratin yang berinti bersifat abnormal dan disebut parakeratosis (Sander, 2003).

Epidermis dipisahkan dari dermis oleh sebuah membran basal, komponen utama taut epidermodermis. Dermis terdiri dari jaringan ikat longgar dan pembuluh – pembuluh darah halus, dan memiliki folikel rambut. Zona superficial membentuk papilla dermis. Sedangkan dermis dari jaringan subkutis yang terutama terdiri dari

(29)

C. Inflamasi

1. Definisi

Inflamasi adalah respon atau reaksi protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan tubuh karena suatu rangsangan yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera (Mutschler, 1991). Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan (Mycek, Harvey, dan Champe, 1997).

2. Penyebab

Penyebab inflamasi banyak dan beraneka ragam. Pengaruh yang sifatnya merusak sel sering disebut noksi. Noksius penyebab inflamasi dapat berupa kimia (obat–obatan), fisika (panas atau dingin berlebihan, radiasi, benturan), serta infeksi mikroorganisme atau parasit atau kombinasi ketiga agen tersebut (Mutschler, 1991). Secara sederhana, proses terjadinya inflamasi dapat digambarkan sebagai berikut :

Noksius

Kerusakan sel

Emigrasi leukosit

Proliferasi sel Pembebasan bahan mediator

Eksudasi Gangguan

sirkulasi lokal

Perangsangan reseptor nyeri

Pembengkaka Panas

Pemerahan Gangguan

fungsi

Nyeri

(30)

3. Gejala

Gejala reaksi radang yang dapat diamati adalah pemerahan (rubor), panas meningkat (calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan gangguan fungsi (fungsio laesa). Gejala tersebut merupakan akibat dari gangguan aliran darah yang terjadi akibat kerusakan jaringan dalam pembuluh pengalir terminal, gangguan keluarnya plasma darah (eksudasi) ke ruangan ekstrasel akibat meningkatnya ketebalan kapiler dan perangsangan resptor nyeri (Mutschler, 1986).

Rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriola yang mensuplai darah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang merenggang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia (Price dan Wilson, 1995).

Calor atau panas, berjalan sejajar dengan kemerahan reaksi peradangan

akut. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas sebab terdapat lebih banyak darah yang disalurkan dari dalam tubuh ke permukaan tubuh yang terkena daripada yang disalurkan ke daerah normal (Price dan Wilson, 1995).

Tumor atau pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi yang

(31)

Dolor atau rasa sakit dari reaksi peradangan dapat ditimbulkan melalui

berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion–ion tertentu dapat merangsang ujung–ujung syaraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit (Price dan Wilson, 1995). Beberapa mediator kimiawi termasuk baradikinin, prostaglandin, dan serotonin diketahui juga dapat mengakibatkan rasa sakit (Underwood, 1999).

Fungtio laesa atau hilangnya fungsi merupakan konsekuensi dari suatu

proses radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit, pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Underwood, 1999).

4. Respon inflamasi

(32)

menjurus kepada inflamasi kronis. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak menonjol dalam respon akut (Katzung, 2001).

Inflamasi kronis ialah inflamasi yang disebabkan jejas atau injuri yang berlangsung beberapa minggu, bulan, atau bersifat menetap dan merupakan kelanjutan dari radang akut. Disebut juga radang proliferatif karena selalu diikuti dengan terjadinya proliferasi fibroblast (jaringan ikat). Radang kronis secara umum dibagi menjadi 2 macam, yaitu : radang non spesifik dengan ciri–ciri memberikan gambaran mikroskopik yang sama pada bermacam–mcam sebab keradangan. Radang spesifik yang khas adalah radang granulomatik, yaitu radang kronik yang ditandai dengan terbentuknya sel–sel epiteloid yang dikelilingi sel radang MN dengan beberapa didapatkan giant cell. Perlu dibedakan antara granulasi dan granuloma. Granulasi adalah jaringan yang terdiri dari sel–sel radang MN, jaringan ikat fibrobalast, dan neovaskularisasi. Sedangkan granuloma adalah masa jaringan granulasi yang membentuk tumor (Sander, 2003).

Ciri–ciri mikroskopik radang akut ialah infiltrasi sel–sel radang akut, vasodilatasi dan oedema. Sedangkan ciri–ciri mikroskopik untuk radang kronis ialah infiltrasi sel–sel radang kronis (MN), proloferasi jaringan fibroblast dan neovaskularisasi (Sander, 2003).

5. Mekanisme

(33)

dapat dilihat pada gambar 3. Enzim siklooksigenase yang terlibat dalam reaksi ini terdiri dari dua isoenzim, yakni siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Enzim siklooksigenase-1 terdapat di kebanyakan jaringan antara lain di pelat-pelat darah, ginjal, dan saluran cerna (Tjay dan Rahardja, 2002). Enzim siklooksigenase-1 bersifat konstitutif (bersifat pokok, selalu ada) dan cenderung menjadi homeostasis dalam fungsinya (Katzung, 2001). Enzim siklooksigenase-2 dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan tapi dibentuk selama proses peradangan (Tjay dan Rahardja, 2002).

Asam arakhidonat yang dikatalisis oleh siklooksigenase diubah menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi zat prostaglandin. Peroksida melepaskan radikal bebas oksigen yang juga memegang peranan timbulnya nyeri. Prostaglandin yang dibentuk ada tiga kelompok yaitu prostaglandin (PG), prostasiklin (PGI2), dan tromboksan (TXA2, TXB2). Prostaglandin (PG) dapat dibentuk oleh semua jaringan. Yang terpenting adalah PGE2 dan PGF2 yang berdaya vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh dan membran sinovial sehingga terjadi radang dan nyeri. Prostasiklin terutama dibentuk di dinding pembuluh dan berdaya vasodilatasi. Tromboksan khusus di bentuk dalam trombosit berdaya vasokonstriksi (antara lain di jantung) (Tjay dan Rahardja, 2002).

(34)

menjadi arakhidonat oleh enzim fosfolipase A2 juga diubah menjadi lyso-glyseril-fosforilkolin yang kemudian diubah lagi menjadi Platelet Activating Factor (PAF). Platelet Activating Factor menyebabkan agregasi dan pelepasan trombosit,

vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan adhesi leukosit, dan kemotaksis leukosit.

Gangguan membran sel

Fosfolipida

Fosfolipase A2

Asam arakhidonat Lyso-glyseril fosforilkolin

Antagonis

tromboksan prostasiklin Penghambat

mengubah permeabilitas vaskular, konstriksi bronkus, meningkatkan sekresi

vasodilatasi

inflamasi kemotaksis

Bronkospasma, Kongesti, penyumbatan mukus fagosit,

kemotaksis

Gambar 3. Skema dari mediator-mediator yang berasal dari asam arakhidonat dan titik tangkap kerja obat anti-inflamasi (Katzung, 2001; Rang, Dale, Ritter dan Moore,

2003)

Keterangan:

OAINS = Obat Anti Inflamasi Non Steroid PAF = Platelet Activating Factor LT = leukotrien

(35)

6. Inflamasi kulit

Respon kulit terhadap jejas/injury dapat memiliki beberapa bentuk, yang secara kasar mencerminkan beberapa aspek peradangan, gangguan sirkulasi, cedera, dan nekrosis sel, regenerasi dan perbaikan, atau pembentukan tumor. Penyakit– penyakit kulit yang terpenting adalah penyakit idiopatik, penyakit akibat iritan kimia dan fisika dalam lingkungan (cedera eksogen), penyakit vaskuler, penyakit–penyakit degeneratif, penyakit infeksi, penyakit imunologis, kelainan pigmentasi, neoplasma, baik jinak maupun ganas (Sander, 2003).

Inflamasi kulit dapat dibedakan menjadi dua yaitu kronis dan akut. Inflamasi akut dapat disebabkan oleh radiasi UV, radiasi pengion, alergen, bahan kimia (sabun, deterjen, dll.). Inflamasi akut ini dapat sembuh dalam satu atau dua minggu dengan disertai penghancuran sedikit jaringan (Anonim, 2006a).

7. Obat anti inflamasi

(36)

D. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang sangat beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lipid; efek terhadap kesimbangan air dan elektrolit; dan efek terhadap berbagai pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Kerja obat ini sangat rumit dan bergantung pada kondisi hormonal seseorang. Namun secara umum efeknya dibedakan atas efek retensi Na, efek terhadap metabolisme karbohidrat (glukoneogenesis), dan efek antiinflamasi. Umumya, efek anti inflamasi sejalan dengan efek terhadap metabolisme karbohidrat sehingga pengelompokan kortikosteroid didasarkan atas potensi untuk menimbulkan retensi Na yakni efek mineralokortikoid dan efek antiinflamasi yakni efek glukokortikoid (Anonim, 2000).

Kortikosteroid bekerja melalui interaksinya dengan protein reseptor yang spesifik di organ target, untuk mengatur suatu ekspresi genetik yang selanjutnya akan menghasilkan perubahan dalam sintesis protein lain. Protein yang terakhir inilah yang akan mengubah fungsi selular sehingga diperoleh, misalnya, efek glukoneogenesis, meningkatnya asam lemak, redistribusi lemak, meningkatnya reabsorbsi Na, meningkatnya reaktivitas pembuluh terhadap zat vasoaktif, dan efek antiinflamasi. Dengan berbagai khasiat inilah kortikosteroid digunakan sebagai terapi pengganti hormon dan anti inflamasi (Anonim, 2000).

(37)

kembali. Obat–obat ini diindikasikan untuk menghilangkan simpton penekanan tanda – tanda penyakit bila cara lain yang kurang berbahaya tidak efektif.

Kortikosteroid topikal tidak berguna dalam pengobatan utikaria dan dikontra-indikasikan rosacea dan kondisi ulseratif, karena kortikosteroid memperburuk keadaan. Kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk sembarang gatal (di sini kerjanya dengan mengurangi radang) dan tidak direkomendasikan untuk acne vulgaris (Anonim, 2000).

Secara umum kortikosteroid topikal yang paling kuat hanya dicadangkan untuk dermatosis yang membandel seperti lupus erythemathosus discoid kronis, lichen simplex kronis, hypertrophic lichen planus dan palmoplantar pustulosis.

Dengan beberapa pengecualian, kortikosteroid yang kuat tidak boleh digunakan pada wajah karena dapat menimbulkan kelainan mirip rosacea dan menyebabkan atrofi kulit (Anonim, 2000).

Berbeda dengan golongan yang kuat dan sangat kuat, kelompok kortikosteroid yang sedang dan lemah jarang dihubungkan dengan efek samping. Semakin kuat sediaannya, semakin perlu untuk berhati – hati. Keduanya tergantung dari daerah tubuh yang diobati dan lamanya pengobatan. Absorpsi terbanyak terjadi dari kulit yang tipis, permukaan kasar serta daerah lipatan kulit dan absorpsi ditingkatkan oleh oklusi (Anonim, 2000).

(38)

Gambar 4. Struktur hidrokortison asetat (Anonim, 2007b)

E. Beta Karoten

Karotenoid, yaitu tetraterpenoid C40, merupakan golongan pigmen yang larut lemak yang ditemukan di tanaman. Pada tumbuhan, karotenoid mempunyai dua fungsi yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai pewarna dalam bunga dan buah. Dalam bunga karotenoid kebanyakan berupa zat warna kuning sementara dalam buah dapat juga berupa zat warna jingga atau merah (Harbone, 1984). Dari 600 jenis karotenoid yang ada di alam hanya 10 persen diantaranya yang mempunyai aktivitas sebagai provitamin A diantaranya beta karoten (Anonim, 2002).

(39)

algae laut Dunaliella salina yang membentuknya dalam jumlah besar (Tjay dan Rahardja, 2002).

Beta karoten mampu menangkap oksigen reaktif dan radikal peroksil (Paiva dan Russel, 1999) lalu menetralkannya, menghambat oksidasi asam arakhidonat menjadi endoperoksida dan menurunkan aktivitas enzim lipoksigenase (Lieber dan Leo, 1999). Apabila oksidasi asam arakidonat dapat dihambat maka tidak terbentuk oksigen reaktif yang dapat menyebabkan inflamasi sehingga proses inflamasi dapat dihambat. Penurunan aktivitas enzim lipoksigenase menyebabkan tidak terbentuknya leukotrien yang dapat mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan.

Gambar 5. Struktur kimia all-trans β-karoten(Anonim, 1989)

F. Radiasi Ultraviolet

Sinar ultraviolet (UV) secara fisik mirip dengan cahaya tampak, hanya saja sinar UV tidak memungkinkan untuk dilihat. Cahaya yang memungkinkan untuk dilihat dikenal sebagai cahaya tampak dan terdiri dari warna – warna seperti dalam pelangi. Daerah ultraviolet dimulai setelah akhir warna ungu dalam pelangi. Secara ilmiah, radiasi UV merupakan radiasi elektromagnetik seperti halnya pada cahaya tampak, sinyal radar dan sinyal pemancar radio (Anonim, 2007c).

(40)

dibandingkan Sinar-X. Radiasi UV berada pada kisaran panjang gelombang 100 – 400 nm dan sering dibagi menjadi tiga berdasarkan daerah panjang gelombang, yaitu:

• UVA (315-400 nm), sering disebut gelombang panjang “black light”

• UVB (280-315 nm), sering disebut gelombang medium “medium wave”

• UVC (100-280 nm), sering disebut gelombang pendek “short wave”

(Anonim, 2007c)

Gambar 6. Spektrum elektromagnetik (Anonim, 2007c)

(41)

Sifat dari eritema yang terbentuk akibat radiasi UV bergantung pada intensitas dan dosis dari panjang gelombang UV yang digunakan. Radiasi UVC dapat menginduksi eritema dengan intensitas lemah dan akan hilang setelah beberapa jam. Sedangkan eritema yang dihasilkan dari UVB dan UVA dapat berlangsung selama beberapa hari. UVB memang lebih eritematogenik jika dibandingkan dengan UVA (Tedesco, 1997).

Perubahan histopatologi yang terjadi di kulit setelah radiasi juga bergantung pada panjang gelombang. Pada kasus UVB, perubahan tersebut dapat didahului oleh adanya sel diskeratotik dan berkurangnya jumlah sel Langerhan. Sedangkan untuk radiasi UVA perubahan histopatologi yang berarti terdapat pada dermis dan bergantung pada sebagian besar fotosensitiser (Tedesco, 1997). Studi terbaru oleh Lavker dkk (1995) pada manusia yang mengalami radiasi kronik dari UV dengan dosis sub eritematogenik juga dapat menyebabkan sel diskeratotik dan pengurangan sel Langerhans.

(42)

dijumpai Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal oksigen inilah yang dapat merusak sel termasuk menginduksi terjadinya peroksidasi lemak bahkan sampai kematian sel (Tedesco, 1997).

G. Radikal Bebas

Radikal bebas adalah senyawa dengan struktur molekul terdiri dari elektron tak berpasangan atau ganjil. Elektron yang tidak memiliki pasangan ini bersifat sangat reaktif, karena selalu berusaha untuk mencari pasangan elektron lainnya agar menjadi bentuk yang stabil (Fessenden dan Fessenden, 1997). Mekanisme reaksi radikal bebas paling tepat dibayangkan sebagai salah satu deret reaksi bertahap, yaitu: (1) permulaan (inisiasi) ialah tahap awal pembentukan radikal – radikal bebas, (2) perambatan (propagasi) ialah tahap pembentukan radikal bebas baru, (3) pengakhiran (terminasi) ialah tahap yang memusnahkan radikal bebas atau mengubah radikal bebas menjadi radikal bebas yang stabil dan tak reaktif (Anonim, 2006c).

(43)

Radikal bebas terpenting yang terdapat dalam tubuh adalah radikal derivat oksigen atau sering disebut sebagai Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal-radikal tersebut berada dalam bentuk triplet (3O2), singlet (1O2), superoksida (O2•), radikal hidroksil (OH•), nitrit oksida (NO•), dll (Kurniani, 2001).

Proses perusakan organ tubuh oleh radikal bebas dapat dihambat dengan jalan memberikan antioksidan (Tjay dan Rahardja, 2002). Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghambat oksidasi, atau juga disebut dengan inhibitor radikal bebas (Fessenden dan Fessenden, 1997). Ketika suatu radikal bebas mendapatkan pasangan elektronnya yang berasal dari suatu antioksidan, maka radikal bebas tersebut tidak perlu mencari dan berikatan dengan sel–sel dalam tubuh. Secara nyata, setelah antioksidan mendapatkan sebuah elektron dari suatu radikal bebas, maka akan terbentuk radikal bebas yang baru. Tapi pada keadaan ini, radikal bebas hasil pengikatan dengan antioksidan tidak bersifat reaktif, karena antioksidan mampu mengubah elektron tersebut ke energi yang lebih rendah (Anonim, 2004). Beberapa antioksidan yang terpenting antara lain : vitamin A, vitamin E, vitamin C, likopen, katalase, superoxide-dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx) serta asam lipogen (Tjay dan Rahardja, 2002).

H. Metode Uji Antiinflamasi

(44)

Freund). Senyawa-senyawa kimia yang dapat menginduksi radang antara lain adalah

formalin, egg white, dextran, mustard dan kaolin (Turner, 1965). Umumnya hewan percobaan yang digunakan adalah tikus, walaupun demikian terdapat juga beberapa metode yang menggunakan mencit atau marmut sebagai hewan percobaan (Anonim, 1991).Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengukur efek anti inflamasi adalah sebagai berikut :

1. Uji eritema

Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan hewan uji tikus putih, marmut, kelinci atau mencit putih. Iritan yang digunakan untuk membentuk eritema antrara lain : minyak kroton, ester–ester phorbol terisolasi, asam arakhidonat dan etil fenil propionat yang masing–masing dilarutkan dalam aseton. Iritan juga dapat berupa radiasi sinar UV (Mutschler, 1986). Antagonis yang dipakai adalah ekstrak tumbuhan dan sebagai antagonis pembanding dapat digunakan indometasin, quersetin, hidrokortison, mepyramin, thianizole, atau propanolol.

Metode ini diawali dengan mengelompokkan hewan uji, tiap kelompok terdiri dari 5-7ekor dan tiap kelompok mewakili tiap peringkat dosis. Ekstrak tanaman atau bahan anti radang diberikan pada daerah kulit yang sudah dipersiapkan sebelum diberikan iritan (pada daerah yang sama). Pelarut juga diuji untuk aktivitas inflamasi atau anti inflamasi pada hewan uji sebelumnya.

(45)

2. Radang telapak kaki belakang

Percobaan ini menggunakan hewan uji tikus atau mencit. Bahan penginflamasi yang digunakan adalah karagenin 1% dalam 0,9% natrium klorida (paling sering digunakan) dengan volume pemberian 0,1ml (tikus) dan 0,05ml (mencit), atau kapsaisin (1-10 g/kg dalam etanol 10% atau 10% tween 80 atau 0,9% natrium klorida), atau dekstrim (0,1ml dari 6%w/v dalam gom akasia 2% w/v), atau dapat juga menggunakan kaolin (0,1ml 5%). Sebagai bahan anti inflamasi digunkakn ekstrak tanaman yang disuspensikan dalam 2-5 % gom akasia atau pelarut lain yang sesuai, dan sebagai obat pembanding yaitu indometasin, kortikosteroid, difenhidramin, atau metisergid (Williamson dkk, 1996).

3. Induksi arthritis

(46)

4. Tes granuloma

Hewan uji berupa tikus putih betina galur wistar diinjenksi bagian punggung secara subkutan dengan 10-25 ml udara, kemudian 0,50 ml minyak kapas sebagai senyawa yang sama. Pada hari kedua setelah pembentukan kantong, udara dihampakan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot, selanjutnya diukur volume cairannya. Model percobaan ini lebih sensitif untuk uji obat anti inflamasi steroid daripada nonsteroid (Turner, 1965).

Disamping metode uji anti inflamasi secara in vivo diatas juga terdapat metode secara in vitro, diantaranya yaitu dengan metode kultur sel. Salah satu model uji ini adalah uji in vitro inflamasi gastrointestinal. Uji ini terdiri dari mikroporus beserta selapis sel epitelial yang kontak dengan medium nutrisi di dalam sumur kultur. Uji ini dilakukan dengan menempatkan sel yang bertanggung jawab terhadap sistem imun (PMN) beserta material uji pada medium. Selanjutnya dilakukan penentuan terhadap perubahan pada penanda imunologis terutama sitokinin (TNF dan agr) atau IL-8 sebagai respon dari material uji. Material ujinya dapat berasal dari galur Lactobacillus atau Bifidobacterium atau material lain yang berupa probiotik (Dianzani, Massimo, Margherita G, and Roberto, 2006).

I. Keterangan Empiris

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang efek anti inflamasi ampas wortel terhadap kelinci putih betina merupakan penelitian ekperimental murni dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel utama

a. Variabel bebas : Lama masa pemberian ampas wortel

Dosis ampas wortel yang digunakan adalah lama masa pemberian ampas wortel selama 1 – 6 hari. Ampas wortel yang diberikan seberat 2 gram, yang ditempelkan selama 4 jam dalam daerah kulit kelinci seluas 4 cm2.

b. Variabel tergantung : Nilai skala eritema yang terbentuk.

Efek anti inflamasi ampas umbi wortel merupakan kemampuan yang dimiliki ampas wortel dalam menurunkan pembentukan eritema, berdasarkan pengurangan mean skor eritema setelah diradiasi dengan lampu TL UV A, pada panjang gelombang 352 nm.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali 1. Jenis kelamin kelinci : betina 2. Berat badan : 1,5 – 2 kg 3. Umur kelinci : 4 – 6 bulan

(48)

4. umur wortel : 3,5 bulan

5. varietas : Imperator

6. Pembuatan ampas wortel : pemerasan ampas wortel

b. Variabel pengacau tak terkendali yaitukeadaan patologis kelinci

C. Subyek dan Bahan Penelitian

1. Subyek penelitian

Subyek uji yang digunakan berupa daerah kulit punggung seluas 4 cm2 dari kelinci putih betina, umur 4 – 6 bulan dengan berat badan berkisar antara 1,5 – 2 kg diperoleh dari peternakan Bpk Suparno, Jl.Godean km 10, Sleman, Yogyakarta.

2. Bahan penelitian

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Wortel : Tipe imperator, umur 3,5 bulan, diperoleh dari perkebunan penduduk daerah Kopeng, Magelang, Jawa Tengah.

b. Kontrol positif : Hidrokortison asetat (Bufacort ®), diperoleh Apotek Sahabat Keluarga, Jl. Godean, km 7,5.

c. Alkohol 75% : diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(49)

D. Alat Penelitian

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Lampu TL UV 10 W, black light, Sankyo, λ 352 nm b. Alat gelas Pyrek Iwaki Glass, Japan

c. Neraca analitik Merk Mettler Toledo tipe AB 200 d. Kain tipis

e. Parutan wortel

f. Pisau cukur, gunting, silet Goal ® g. Kapas, kasa steril, plester (perekat kasa) h. Holder

i. Kamera Digital merk Canon

E. Tata Cara Penelitian

1. Penyiapan bahan uji

a. Pengumpulan dan determinasi tanaman

Tanaman wortel yang digunakan berasal dari tanaman perkebunan sayur Kopeng, Magelang, Jawa Tengah. Determinasi tanaman dilakukan menurut Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963, 1965) di laboratorium Farmakognosi Fitokimia Univesitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Pembuatan ampas wortel

(50)

70%), diambil dan ditimbang 2 gram untuk kemudian diberikan selama 4 jam dan disesuaikan pada lama masa pemberian yang telah ditentukan.

2. Penyiapan hewan uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci putih betina, usia 4 – 6 bulan, tidak sedang mengandung dan mempunyai berat 1,5 – 2 kg. Sebelum digunakan, pada bagian punggung kelinci dicukur bulunya hingga bersih sesuai daerah yang ditentukan yaitu 4 cm2 dan diadaptasikan dalam kandang secara individual selama 10 hari. Selama adaptasi kelinci hanya diberi makan rumput dan kangkung.

3. Penetapan eritema

Eritema yang akan diamati terlebih dahulu ditetapkan dengan memberi nilai skala dan skor sesuai dengan warna merah yang terbentuk dan tingkat keparahannya.

4. Orientasi penetapan lama penyinaran UV A

(51)

5. Orientasi penetapan waktu pengamatan eritema

Lima daerah kulit punggung kelinci yang sudah disiapkan seperti sebelumnya diradiasi dengan UV A selama 10 jam. Selanjutnya kelima daerah tersebut di amati pada jam ke-0, 12, 24, 36, dan 48. Waktu pengamatan eritema ditetapkan pada saat eritema maksimal terbentuk.

6. Orientasi penetapan waktu pemberian kontrol positif

Sebanyak sembilan daerah kulit uji @ 4 cm2 dibagi menjadi 3 kelompok. Tiap kelompok diolesi tipis-tipis krim hidrokortison asetat (Bufacort®) dengan variasi waktu pemberian 15, 30, dan 60 menit sebelum diradiasi dengan UV A selama 10 jam. Selanjutnya eritema diamati pada jam ke-24. Dosis pemberian kontrol positif yang dipilih adalah pemberian yang lebih efektif dalam menghambat terbentuknya eritema.

7. Orientasi penetapan lama masa pemberian ampas wortel

Delapan belas daerah kulit punggung kelinci dibagi dalam 6 kelompok. Tiap kelompok diberikan ampas wortel dengan cara ditempelkan menggunakan plester dan kain kasa selama 4 jam. Lama masa pemberian yang digunakan adalah 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 hari. Selanjutnya untuk setiap kelompok diradiasi UV A selama 10 jam dan diamati eritemanya pada jam ke-24.

8. Pengujian efek anti inflamasi

Empat puluh daerah uji kulit punggung kelinci yang sudah di adaptasikan, di bagi menjadi 8 kelompok secara acak, tiap kelompok terdiri dari 5 daerah uji.

Kelompok I : Kontrol negatif, diradiasi lampu UV A, λ 352 selama 10 jam Kelompok II : Kontrol positif, diberi krim hidrokortison asetat (Bufacort®)

(52)

Kelompok III – VIII : Kelompok perlakuan, diberi 2 gram ampas wortel ditempel selama 4 jam dengan lama masa pemberian 1 – 6 hari dan kemudian di radiasi lampu

UV A, λ 352.

Masing–masing kelompok diberi perlakuan, yang pertama membuat daerah uji dengan mencukur bulu pada daerah punggung kelinci seluas 4 cm2 menggunakan pisau cukur dan telah diadaptasikan. Bersihkan daerah dengan alkohol 75% sebelum perlakuan. Selanjutnya tiap daerah yang sudah dibersihkan, untuk kelompok I tidak diberikan apa–apa sedangkan untuk kelompok II diberikan krim hidrokortison asetat sebagai kontrol positif. Sedangkan untuk kelompok IV – VIII diberikan ampas wortel selama 4 jam dengan lama masa pemberian 1 – 6 hari. Setelah itu semua

kelompok diradiasi dengan lampu UV A, λ 352 selama 10 jam dan eritema yang

muncul diamati pada jam ke-24.

9. Analisis data

Data mean skor eritema yang diperoleh dari kelompok perlakuan ampas wortel dibandingkan dengan kontrolnya diuji dengan statistik non parametrik Kruskal-Wallis untuk mengetahui perbedaan antar kelompok. Untuk mengetaui perbedaan yang bermakna antar kelompok dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney U.

10.Pembuatan preparat histologi kulit

(53)

suhu 60°C. Setelah itu dipindahkan ke dalam parafin cair selama satu setengah jam dalam blok preparat. Setelah dicetak, preparat dipotong setebal 6 mikron dengan mikrotom. Pita irisan ditempelkan pada gelas benda dengan perekat gliserin albumin. Kemudian dimasukkan kedalam larutan etanol secara bergantian, berturut – turut etanol 96%, 90%, 70%, dan 50%, masing – masing selama 5 – 10 menit, cuci dengan air, kemudian baru dimasukkan ke dalam larutan hematoksilin-eosin (HE) dalam alkohol selama 12 menit. Akhirnya preparat dikeringkan dalam suhu kamar dan ditutup dengan kanada balsam serta obyek gelas. Proses pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratoriun Anatomi dan Fisiologi Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada.

11.Pemeriksaan histopatologi

(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman uji merupakan langkah awal sebelum dilakukan penelitian. Determinasi bertujuan untuk memastikan kebenaran bahan uji tanaman yang akan digunakan dalam penelitian. Berdasarkan hasil determinasi yang dilakukan maka dapat dipastikan bahwa spesies tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah Daucus carota L.

B. Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan sebagai orientasi untuk mempersiapkan hal–hal yang diperlukan pada pengambilan data sebenarnya di dalam perlakuan. Uji ini bertujuan untuk memvalidasi metode uji anti inflamasi yang akan digunakan, sehingga hasil yang diperoleh dalam perlakuan lebih akurat dan dapat diterima. Dalam penelitian ini uji pendahuluan yang dilakukan meliputi: penetapan kriteria skor eritema, penetapan lama waktu penyinaran UVA sebagai penginduksi eritema, penetapan waktu pengamatan eritema, penetapan dosis kontrol positif krim Bufacort®, dan penetapan lama masa pemberian ampas wortel.

Data yang diperoleh uji pendahuluan merupakan hasil skoring dari eritema yang teramati pada daerah uji. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar kelompok, data tersebut dianalasis secara statistik dengan uji Kruskal-Wallis dan untuk mengetahui perbedaan tersebut bermakna atau tidak dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney

(55)

1. Penetapan eritema

Eritema merupakan salah satu gejala inflamasi yang ditandai dengan warna merah pada kulit dan disebabkan oleh peningkatan aliran darah dalam kapiler (Anonim, 2007a). Dalam penelitian ini terbentuknya eritema merupakan bagian yang penting karena berperan sebagai variabel tergantung yang akan diamati. Untuk menghindari subyektifitas yang berlebih dalam pengamatan maka diperlukan penetapan nilai skala eritema dalam bentuk skor berdasarkan tingkat kemerahan. Penetapan ini bertujuan agar hasil yang diperoleh lebih valid dan untuk selanjutnya data hasil skoring eritema ini dapat dianalisis secara statistik. Hasil penetapan nilai skor eritema dapat dilihat pada tabel I.

Tabel I. Penetapan nilai skor eritema

Tingkatan eritema Eritema Skor Keterangan Tidak ada eritema 0 0 Tidak ada warna merah Eritema ringan + 1 bercak merah

Eritema ++ 2 merah merata Eritema kuat +++ 3 merah kuat, kulit menebal dan kasar

2. Orientasi penetapan lama penyinaran UV A

(56)

efektif dalam mengiduksi eritema kuat pada daerah uji. Variasi lama penyinaran yang dipilih adalah 3, 6 , dan 10 jam. Hasil orientasi dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Hasil uji statistik orientasi penetapan lama penyinaran UV A

Uji Mann-Whitney Kel. Waktu

penyinaran UV A (Jam)

n Mean skor eritema

Uji Kruskal-Wallis

Pembanding Ket. I 3 3 0,33 III

II

Bb Btb II 6 3 1,33 III

I

Bb Btb III 10 3 3

Ada Perbedaan

I, II -

Bb Btb Keterangan :

Kel. : kelompok Btb : Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) n : jumlah Bb : berbeda bermakna (p ≤ 0,05) Ket. : keterangan

(57)

0.33

1.33

3

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

3 jam 6 jam 10 jam

lama penyinaran

skala eritema

Gambar 7. Grafik orientasi penetapan lama penyinaran UVA

3. Orientasi penetapan waktu pengamatan eritema

(58)

Tabel III. Hasil uji statistik orientasi penetapan waktu pengamatan eritema

Uji Mann-Whitney Kel. Waktu

Pengamatan (jam ke-)

n Mean skor eritema

Uji

Kruskal-Wallis Pembanding Ket. I 0 5 0 II, III, IV, V Keterangan :

Kel. : kelompok Btb : berbeda tidak bermakna (p > 0,05) n : jumlah Bb : berbeda bermakna (p ≤ 0,05) Ket. : keterangan

(59)

0

2.2

2.6

1.8

1

0.6

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

0 jam 12 jam 24 jam 36 jam 48 jam 72 jam

waktu pengamatan (setelah)

skala eritema

Gambar 8. Grafik orientasi penetapan waktu pengamatan eritema

4. Orientasi waktu pemberian kontrol positif krim hidrokortison asetat

Hidrokortison asetat dalam krim Bufacort® yang digunakan sebagai kontrol positif berlaku sebagai pembanding terhadap kelompok perlakuan. Hidrokortison asetat merupakan salah satu obat inflamasi golongan steroid yang dapat mengurangi eritema akibat radiasi UV (Richard, Kathryne, Henry, and Mary, 2004). Orientasi kontrol positif ini bertujuan untuk menentukan waktu pemberian krim hidrokortison asetat yang efektif dalam mengurangi terbentuknya eritema akibat radiasi UV A. Dosis umum pemakaian luar krim hidrokortison asetat pada manusia adalah satu sampai dua kali sehari dioleskan tipis dan merata (Anonim, 2000). Menurut Williamson dkk (1996), pemberian kontrol positif dilakukan kurang lebih 15 menit sebelum peradangan. Untuk itu dalam orientasi ini variasi waktu pemberian kontrol positif yang dipilih adalah 15, 30 dan 60 menit sebelum diradiasi UVA dan pemberian ini disesuaikan dengan dosis krim hidrokortison asetat topikal Bufacort®. Hasil orientasi waktu pemberian kontrol positif disajikan pada tabel IV.

(60)

Tabel IV. Hasil uji statistik orientasi waktu pemberian krim hirdokortison asetat

Kel. Waktu pemberian krim Bufacort® (sebelum diradiasi)

n Mean skor eritema

Uji Kruskal-Wallis I 15 menit 3 0,33

II 30 menit 3 1 III 60 menit 3 1

Berbeda tidak bermakna (p=0,348)

Keterangan :

Kel. : kelompok n : jumlah Ket. : keterangan

Terlihat dari tabel tersebut bahwa pemberian krim hidrokortison asetat Bufacort® 15 menit sebelum diradiasi UV A mempunyai mean skor eritema paling kecil. Akan tetapi secara statistik perbedaan antara ketiga kelompok pemberian kontrol positif tersebut tidak bermakna. Sehingga untuk perlakuan lebih lanjut dapat menggunakan pemberian kontrol positif dengan waktu pemberian 15 menit sebelum radiasi UV A.

0.33

1 1

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

15 menit 30 menit 60 menit

waktu pemberian (sebelum diradiasi)

skala eritema

(61)

5. Orientasi penetapan lama masa pemberian ampas wortel

Penentuan lama pemberian ampas wortel perlu dilakukan terlebih dahulu untuk mencari waktu yang tepat agar ampas wortel sebagai bahan yang akan diuji dapat bekerja sebagai anti inflamasi. Ketika terjadi aksi anti inflamasi dari ampas wortel maka akan ditunjukkan dengan adanya penurunan mean skor eritema yang teramati. Jika mean skor eritema kecil maka menunjukkan adanya kerja anti inflamasi ampas wortel yang maksimal. Variasi waktu pemberian ampas wortel yang digunakan adalah 1 sampai 6 hari.Data dan hasil orientasi ditunjukkan pada tabel V

Tabel V. Hasil uji statistik orientasi lama masa pemberian ampas wortel

Uji Mann-Whitney Kel. Lama masa

Keterangan :

Kel. : kelompok Btb : Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) n : jumlah Bb : berbeda bermakna (p ≤ 0,05) Ket. : keterangan

(62)

penurunan yang bermakna secara statistik terjadi pada pemberian ampas selama 3 hari. Pada pemberian hari ke-4 sampai ke-6 mengalami peningkatan mean skor eritema jika dibandingkan dengan hari sebelumnya. Oleh sebab itu diputuskan untuk menghentikan pemberian ampas wortel setelah hari ke-6. Grafik hasil orientasi tersebut dapat dilihat pada gambar 10.

2.67

1.67

0.67

1.33 1.33

2

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

skala eritema

1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari

lama masa pemberian

Gambar 10. Grafik orientasi lama masa pemberian ampas wortel

(63)

C. Pengujian Efek Anti Inflamasi

Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan efek anti inflamasi ampas wortel pada daerah uji kulit punggung kelinci yang ditandai dengan penurunan mean skor eritema. Metode yang digunakan adalah metode uji eritema (Williamson, Okpako, dan Evans, 1996) yang telah dimodifikasi. Alasan penggunaan metode ini karena merupakan metode yang sederhana dari segi perlakuan, pengamatan, pengukuran, pengolahan data serta metode ini sangat relevan terhadap bahan uji ampas wortel yang diaplikasikan secara topikal. Walaupun metode ini agak subyektif tapi tetap valid dan dapat diterima (Williamson, Okpako, dan Evans, 1996). Penginduksi eritema yang digunakan adalah UV A yang berasal dari lampu TL UV 10 W, black light, Sankyo, λ 352 nm. Adanya radiasi UV A akan menimbulkan radikal bebas yang dapat merusak membran sel dan memacu peroksidasi lemak sehingga terjadi peradangan dengan disertai pelepasan mediator– mediator inflamasi seperti histamin, kinin, prostaglandin, leukotrien dan sebagainya, yang dapat mengakibatkan vasodilatasi serta peningkatan aliran darah dan terbentuklah eritema (Tedesco, 1997). Efek anti inflamasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan ampas wortel untuk mengurangi mean skor eritema pada daerah kulit uji akibat radiasi UV A.

(64)

Data dari perlakuan ini kemudian dibandingkan dengan kelompok kontrol, baik kontrol negatif maupun positif. Perlakuan terhadap kontrol negatif bertujuan untuk melihat seberapa kuat eritema hasil radiasi UV A tanpa perlakuan apapun, jika dibandingkan dengan pemberian krim obat / ampas wortel sebelum diradiasi UV A. Sedangkan perlakuan terhadap kontrol positif bertujuan untuk mengetahui seberapa kuat efek anti inflamasi dalam menghambat munculnya eritema dari radiasi UV A jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Hasil uji statistik mean skor eritema pada uji efek anti inflamasi tiap kelompok disajikan pada tabel VI.

Tabel VI. Hasil uji statistik perlakuan pemberian ampas wortel dengan kajian lama masa pemberian.

Uji Mann-Whitney Kel. Perlakuan n Mean II hidrokortison asetat

(Bufacort®)

5 0,6 I, III, IV, VI, VII, VIII V

Bb Btb III Pemberian ampas 1

hari VII Pemberian ampas 5

hari

5 2,4 II, V I, III, IV, VI, VIII

Bb Btb VIII Pemberian ampas 6

hari Keterangan :

(65)
(66)

Dalam tabel pengujian efek anti inflamasi tersebut juga dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara beberapa kelompok perlakuan pemberian ampas wortel dengan kelompok kontrol. Dari hasil tersebut mengindikasikan bahwa pada perlakuan ampas wortel 2 gram/4 cm2 dengan lama masa pemberian bervariasi kemungkinan memberikan efek anti inflamasi dengan menghambat pembentukan eritema pada daerah uji. Disamping itu juga terlihat adanya penurunan mean skor eritema pada kelompok pemberian ampas wortel 1 sampai 3 hari. Akan tetapi penurunan yang berarti adalah pada kelompok pemberian ampas wortel 3 hari. Sedangkan pada pemberian ampas pada 4, 5, dan 6 hari mengalami peningkatan kembali mean skor eritema dibandingkan pada pemberian 3 hari. Peningkatan yang berarti secara statistik baru ditunjukkan pada pemberian 6 hari.

Hasil analisis statistik menunjukkan beberapa kelompok perlakuan yang mempunyai perbedaan dengan kontrol negatif, yaitu kelompok pemberian ampas wortel selama 3 hari dan 4 hari. Pada kelompok perlakuan ini terjadi penurunan mean skor eritema yang berarti, karena secara statistik berbeda bermakna dengan kelompok kontrol negatif, sehingga dapat dimungkinkan adanya efek anti inflamasi dari kelompok perlakuan tersebut. Kemungkinan adanya efek anti inflamasi pada kelompok perlakuan tersebut diduga berasal dari senyawa anti oksidan yang masih terdapat dalam ampas wortel sehingga dapat menangkap radikal bebas hasil radiasi UV A. Seperti yang telah diketahui dalam wortel kaya akan senyawa antioksidan salah satunya adalah beta karoten. Beta karoten sendiri telah terbukti mempunyai efek anti inflamasi (Utami, 2006).

(67)

memiliki perbedaan yang berarti dengan kontrol negatif. Hal ini berarti bahwa pada kelompok perlakuan tersebut belum mampu memberikan efek anti inflamasi.

(68)

2.8

0.6 2.6

1.8

1.4 1.6

2.4 2.2

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

skala eritema

1 2 3 4 5 6 7 8

kelompok perlakuan

Gambar 11. Grafik perlakuan pemberian ampas wortel dengan kajian lama masa pemberian.

Keterangan :

1. Kelompok kontrol negatif penyinaran UV A 10 jam.

2. Kelompok kontrol positif krim Bufacort® dengan penyinaran UV A 10 jam. 3. Kelompok pemberian ampas wortel dosis 2 gram/4 cm2 dengan lama masa

pemberian 1 hari dan penyinaran UV A 10 jam.

4. Kelompok pemberian ampas wortel dosis 2 gram/4cm2 dengan lama masa pemberian 2 hari dan penyinaran UV A 10 jam.

5. Kelompok pemberian ampas wortel dosis 2 gram/4cm2 dengan lama masa pemberian 3 hari dan penyinaran UV A 10 jam.

6. Kelompok pemberian ampas wortel dosis 2 gram/4cm2 dengan lama masa pemberian 4 hari dan penyinaran UV A 10 jam.

7. Kelompok pemberian ampas wortel dosis 2 gram/4cm2 dengan lama masa pemberian 5 hari dan penyinaran UV A 10 jam.

8. Kelompok pemberian ampas wortel dosis 2 gram/4cm2 dengan lama masa pemberian 6 hari dan penyinaran UV A 10 jam.

D. Pemeriksaan Histopatologi

(69)

diantaranya yaitu terjadinya hiperkeratosis (penebalan stratum korneum), spongiosis (udem yang berisi cairan intersel), vesicula, dan yang paling parah adalah kerusakan sel bahkan sampai nekrosis. Hiperkeratosis terjadi karena mekanisme pertahanan kulit yaitu dengan membentuk lebih banyak sel keratin sehigga menjadi tebal. Sedangkan spongiosis terjadi karena adanya gangguan terhadap sel sehingga menyebabkan cairan dalam sel keluar membentuk udema. Vesicula hampir sama dengan spongiosis akan tetapi hanya berongga satu dan hanya sebesar biji kapri. Nekrosis merupakan kerusakan sel permanen atau mati yang disebabkan gangguan yang hebat terhadap sel (Mutschler,1991).

Gambar 12. Histopatologi daerah uji kulit kelinci normal tanpa perlakuan pada perbesaran 40x

Keterangan :

A : stratum korneum C : stratum spinosum B : stratum granulosum

(70)

Tabel VII. Hasil uji statistik mean skor histopatologi daerah kulit uji

Uji Mann-Whitney Kel. Perlakuan n Mean skor III Pemberian

ampas 1 hari

3 3 II, V, VI I, IV, VII, VIII

Bb Btb IV Pemberian

ampas 2 hari

3 2,67 -

I, II, III, V, VI, VII, VIII Bb Btb V Pemberian

ampas 3 hari

3 2 I, III II, IV, VI, VII, VIII

Bb Btb VI Pemberian

ampas 4 hari

3 2 I, III II, IV, V, VII, VIII

Bb Btb VII Pemberian

ampas 5 hari

3 2,33 -

I, II, III, IV, V, VI, VIII Bb Btb VIII Pemberian

ampas 6 hari Keterangan :

Kel. : kelompok Btb : Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) n : jumlah Bb : berbeda bermakna (p ≤ 0,05) Ket. : keterangan

(71)

(1) (2)

Gambar 13. Histopatologi daerah uji setelah diradiasi UV A pada perbesaran 100x (1) dan pemberian hidrokortison asetat Bufacort® pada perbesaran 40x(2)

Keterangan (1) : Keterangan (2) :

A : penebalan stratum korneum A : penebalan stratum korneum B : udem cairan inter sel B : stratum granulosum

C : stratum spinosum Menurut hasil analisis statistik juga terlihat bahwa tidak terjadi perbedaan yang bermakna antara kontrol positif dengan semua kelompok perlakuan yang lain. Hal ini bisa dikarenakan mekanisme kerja krim hidrokortison asetat adalah menghambat enzim fosfolipase sehingga menghalangi pembentukan prostaglandin dan leukotrien sebagai mediator inflamasi, tidak seperti anti oksidan yang dapat melindungi sel dari serangan radikal bebas. Sehingga pada kelompok perlakuan ini masih tetap terlihat adanya perubahan histopatologi pada daerah uji. Akan tetapi meskipun demikian adanya pemberian tersebut juga dapat mengurangi keparahan histopatologinya.

Gambar

Grafik orientasi penetapan lama penyinaran UV A..........................
Gambar 1. Struktur kulit (Anonim, 2007a)
Gambar 2. Patogenesis dan gejala suatu peradangan (Mutschler, 1986)
Gambar 3. Skema dari mediator-mediator yang berasal dari asam arakhidonat dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) Portofolio optimal yang disusun dengan menggunakan model indeks tunggal, 2) Kinerja portofolio yang dinilai dengan menggunakan

kolaborasi dengan tim kesehatan lain, merencanakan asuhan, melaksanakan asuhan yang telah direncanakan, mengevaluasi asuhan dan mendokumentasikan dengan metode SOAP

Tina populasi panalungtikan, dipilih 100 ayat anu réprésentatif pikeun dijadikeun sampel, kalawan téknik milih sampel sacara purposif, kalawan tinimbangan, waktu,

Sous cette réserve, le Comité Exécutif est tenu d'inscrire à l'ordre du jour et de soumettre à l'Assemblée Générale suivante toute proposition de modification des statuts

Pada penyakit glaukoma, rule yang dibentuk terdiri dari 5 anteseden berupa gejala - gejala penyakit mata dengan tingkatan ringan atau berat antara lain mata merah,

Pekerjaan bukan merupakan halangan bagi ibu untuk memberikan ASI saja atau tidak memberikan MP-ASI terlalu dini untuk bayinya yang masih berumur 0 sampai 6

Dengan melihat hasil penelitian Nitiasih (2010) bahwa model pelatihan ‘Reflective’ mampu meningkatkan kemampuan peserta pelatihan dalam membuat proposal PTK maka

3. Memiliki kemampuan mengelola kelompok dalam lingkup tanggung jawabnya, menggunakan komunikasi secara lisan dan tertulis serta menyusun laporan tertulis secara