• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

2. ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI

2.1. Studi Literatur

2.1.1. Tinjauan Judul Perancangan

Buku essai adalah buku yang terdiri dari rangkaian foto-foto yang dikemas sedemikian rupa untuk memberikan informasi bagi orang yang membacanya. Foto sendiri memiliki arti cahaya. Sedangkan kawasan berarti daerah dan pecinan adalah tempat dimana masyarakat keturunan Tionghoa tinggal dan berkumpul (berdomisili). Biasanya ditandai dengan ciri khas bangunan ala Cina yang ramai di kawasan pecinan ini (“Masyarakat_Cina”, para 3).

2.1.1.1 Perancangan Buku Essai Foto Tentang Kawasan Pecinan Di Daerah Kembang Jepun.

a. Perkembangan Buku

Selama lima ratus tahun buku telah memonopoli transmisi dan gudang informasi. Tetapi seiring dengan berkembangnya teknologi peranan buku mulai terancam. Tetapi buku tetap memiliki keunikannya sendiri dan tidak dapat tergantikan oleh media lainnya, seperti tinta yang dikemas secara menarik, bentuk font yang beraneka ragam, tatanan lay out yang menambah estetika buku, dan buku dapat dimiliki secara “nyata” sehingga dapat dengan mudah dibaca dan dibawa kemana-mana. Fuad Hassan berpendapat bahwa:

Dalam perjalanan sejarah masyarakat manusia umumnya, membaca merupakan fungsi yang sangat penting artinya bagi kemajuan tingkat peradaban manusia. Kiranya beralasan untuk menyatakan bahwa tingkat perkembangan manusia berjalan seiring dengan mantapnya budaya baca.

Ketika bahan bacaan masih sangat terbatas baik jumlah maupun khalayak, membaca merupakan privilese bagi golongan tertentu saja, mis: kalangan rohaniwan, bangsawan, dan cendikiawan. Ini bukan karena bahan bacaan adalah sesuatu yang harus dilindungi serta dijaga kerahasiaannya, tetapi karena pengadaan buku bacaan memakan waktu yang sangat lama. Buku bacaan dibuat dengan cara menyalin secara tulisan sebelum

(2)

diperkenalkannya teknik cetak yang ditemukan oleh J. Gutenberg pada abad ke-15. penyalinan naskah-naskah bahan bacaan dilakukan oleh mereka yang sehari-hari bekerja di scriptorium , yaitu ruangan tempat mereka menyalin dan menggandakan bahan bacaan yang dianggap perlu diedarkan pada khalayak pembaca yang lebih luas (xiv).

Gambar 2.1 : Pecahan dari kitab injil yang tidak dikenal dan ditulis di atas papyrus.

Sumber : The complete guide to calligraphy, hal 20.

Dahulu buku tidak berbentuk lembaran-lembaran kertas seperti saat ini.

Pertama kali informasi ditulis pada lempengan tanah liat yang digunakan di Mesopotamia dan membutuhkan proses yang rumit, sedangkan gulungan lontar digunakan oleh orang Mesir sekitar 5000 SM (Jennings 132). Buku mulai dibuat dengan menggunakan format modern sekitar abad pertama atau kedua dengan menggunakan bentuk seperti naskah kuno (lembaran dari lontar atau kertas perkamen yang dilipat vertikal untuk halamannya). Buku cetakan kuno masih dapat kita temui sekarang, dan diproduksi di Cina pada tahun 868. Bukti cetak portable pertama yang ditemukan mengarah pada mesin cetak dari Cina pada abad ke-13. hal ini menjadi kunci bagi perkembangan percetakan di masa selanjutnya dengan memperkenalkan efisiensi produksi dan distribusi informasi tercetak secara massal. Inovasi buku yang sederhana dan mudah dibawa kemana-mana dengan tulisan yang dapat dibaca dengan jelas serta desain yang elegant menjadi dasar bagi penerbitan buku modern. “Pengaruh yang signifikan terhadap penerbitan modern dimulai pada abad ke-19 dan terkait dengan diadakannya produksi massal” (Jennings 132). Dengan adanya revolusi industri, maka muncul

(3)

metode mekanis untuk pembuatan kertas, penyusunan tulisan hingga percetakan (Jennings 133). Buku sangat menunjang memasyarakatkan pengetahuan dalam berbagai bidang, demikianlah buku berfungsi sangat efektif.

b. Penjelasan Tema

Tema yang diambil adalah perancangan buku yang dikemas dalam sebuah buku essai foto tentang kawasan pecinan di daerah Kembang Jepun yang bertujuan untuk memperkenalkan pada masyarakat tentang berbagai kebudayaan yang ada di kawasan pecinan tersebut. Serta menggugah hati golongan etnis Tionghoa khususnya untuk lebih mencintai serta peduli pada kebudayaan mereka.

2.1.2. Tinjauan Buku Bacaan 2.1.2.1. Pengertian Buku Essai Foto

Berdasarkan kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary, maka sebuah buku didefinisikan sebagai sejumlah lembaran kertas yang ditulisi dan dicetak serta disatukan di dalam satu sampul buku, serta merupakan sebuah komposisi penulisan. Sedangkan esaai dapat diartikan sebagai karangan. Maka dapat disimpulkan secara sederhana bahwa buku essai foto adalah buku yang terdiri dari rangkaian foto-foto yang dikemas sedemikian rupa untuk memberikan informasi bagi orang yang membacanya. Esai adalah tulisan berupa prosa yang menguraikan suatu masalah secara sepintas dari sudut pandang penulisnya. (Fajri, Senja).

Sebuah esai merupakan sebuah komposisi prosa singkat yang mengekspresikan opini penulis mengenai subyek tertentu. Sebuah esai dasar dibagi menjadi tiga bagian yaitu pendahuluan yang berisi latar belakang informasi yang mengidentifikasi subyek bahasan dan pengantar tentang subyek, tubuh esai yang menyajikan seluruh informasi tentang subyek, dan terakhir adalah konklusi yang memberikan kesimpulan dan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasan dari tubuh esai, atau menambahkan beberapa observasi tentang subyek.

(“Apakah”, para. 1). Aspek visual pada buku essai foto memiliki tujuan untuk menyampaikan secara keseluruhan cerita secara berurutan dengan kualitas yang maksimal. Tetapi aspek verbal juga digunakan sebagai pendukung karena selain

(4)

pembaca dapat menikmati kualitas estetis sebuah buku, ia juga harus dapat mendapatkan informasi yang tepat.

Tentang ukuran esai, ada yang menyatakan bebas, sedang, dan dapat dibaca sekali duduk. Sedangkan isi esai, ada yang menyatakan berupa analisis, penafsiran dan uraian (sastra, budaya, filsafat, ilmu), begitu juga mengenai gaya dan metode esai ada yang menyatakan bebas dan ada yang menyatakan teratur.

Penjelasan mengenai esai dapat lebih "aman dan mudah dimengerti" jika ditempuh dengan cara meminjam pembagian model penalaran ala Edward de Bono. Menurut De Bono, penalaran dibagi menjadi dua model. Pertama, model penalaran vertikal yang berarti memusatkan perhatian dan mengesampingkan sesuatu yang tidak relevan dan kedua model penalaran lateral yang berarti membukakan perhatian dan menerima semua kemungkinan dan pengaruh.

Dari pembagian model penalaran ini, esai cenderung lebih mengamalkan penalaran lateral karena esai cenderung tidak analitis dan acak, melainkan dapat melompat-lompat dan provokatif. Sebab, esai menurut makna katanya berarti sebuah upaya atau percobaan yang tidak harus menjawab suatu persoalan secara final, tetapi lebih ingin merangsang. Menurut Francis Bacon, esai lebih seperti butir garam pembangkit selera daripada sebuah makanan yang mengenyangkan.

Ada beberapa jenis Essai antara lain :

- Esai Deskriptif: esai deskriptif biasanya bertujuan menciptakan kesan tentang seseorang, tempat, atau benda. Bentuk esai ini mencakup rincian nyata yang membawa pembaca pada visualisasi dari sebuah subyek. Rincian pendukung disajikan dalam urutan tertentu (kiri ke kanan, atas ke bawah, dekat ke jauh, arah jarum jam, dll). Pola pergerakan ini mencerminkan urutan rincian yang dapat dirasakan melalui penginderaan.

- Esai ekspositori: esai ini menjelaskan subyek ke pembaca. Biasanya dilengkapi dengan penjelasan tentang proses, membandingkan dua hal, identifikasi hubungan sebab-akibat, menjelaskan dengan contoh, membagi dan mengklasifikasikan, atau mendefinisikan. Urutan penjelasannya sangat beragam, tergantung dari tipe esai ekspositori yang dibuat. Esai proses akan menyajikan urutan yang bersifat kronologis (berdasarkan waktu), esai yang membandingkan akan menjelaskan dengan contoh, esai perbandingan atau

(5)

klasifikasi akan menggunakan urutan kepentingan ( mulai terpenting sampai yang tak penting, atau sebaliknya), esai sebab-akibat mungkin mengidentifikasi suatu sebab dan meramalkan akibat, atau sebaliknya.

- Esai naratif: menggambarkan suatu ide dengan cara bertutur. Kejadian yang diceritakan biasanya disajikan sesuai urutan waktu. Esai naratif berusaha unutk mengubah perilaku pembaca atau memotivasi pembaca untuk ikut serta dalam suatu aksi/tindakan. Esai ini dapat menyatakan suatu emosi. Rincian pendukung biasanya disajikan berdasarkan urutan kepentingannya.

- Esai dokumentatif: memberikan informasi berdasarkan suatu penelitian di bawah suatu institusi atau otoritas tertentu. Esai ini biasanya mengikuti panduan dari MLA, APA, atau panduan Turabian. (“Apakah”, para. 9).

2.1.2.2. Sejarah Buku Bacaan di Dunia

Asal mula bacaan adalah dari ditemukannya piktograf yang banyak ditemukan di gua-gua serta prasasti purbakala. Pada piktograf ditemukan banyak gambar-gambar yang saling berurutan dan membentuk suatu cerita. Pada perkembangannya penulisan cerita maupun dokumen juga dilakukan di atas tempurung hewan seperti kura-kura tetapi bahan tersebut jumlahnya sangat terbatas. Pada perkembangan selanjutnya buku bacaan modern berasal dari abad ke-15 yang pada waktu itu berbentuk balok-balok kayu yang diukir dan pada setiap halamannya berisi teks maupun gambar ilustrasi. Buku yang menggunakan balok-balok kayu yang diukir terkenal berasal dari Jepang dan Tiongkok karena dicetak dengan menggunakan berbagai warna sehingga tampak sangat indah.

Selain itu ada juga gambar dan dokumen yang ditulis di atas papan kayu dan bambu.

(6)

Gambar 2.2. : dokumen yang ditulis di atas bambu.

Sumber : Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra, hal 36.

Gambar 2.3. : hierograf

Sumber : Practical calligraphy, hal 10.

Gambar 2.4. : hierograf

Sumber : Practical calligraphy, hal 11.

Pada abad ke-16 dan 17, penggunaan potongan kayu mulai digantikan dengan lempengan-lempengan atau papan tembaga yang diberi ukiran dan digambar dengan menggunakan semacam zat asam seperti tembaga atau mineral yang memberikan lapisan asam tipis. Proses ini kemudian berkembang menjadi percetakkan buku-buku ilustrasi dan majalah. Pada akhir abad ke-19 seni mengukir kayu dan lithografi kemudian digeser dengan teknik foto mekanik yang memungkinkan reproduksi teknik melukis dan menggambar dengan variasi yang lebih banyak.

2.1.2.3. Sejarah Buku Bacaan di Indonesia

Pada abad ke-19, kemampuan membaca mulai meningkat seiring dengan tumbuhnya penduduk perkotaan dan pendidikan Islam yang direspon baik dengan Timur Tengah (Indonesian Heritage 46). Di kota Batavia (Jakarta) dan Palembang, gagasan orang Cina menyewakan buku pun diambil. Permintaan

(7)

bukupun meningkat sehingga menjadikan buku sebagai sesuatu yang bersifat komersial. Pada tahun 1856 terjadi peristiwa penting bagi sejarah bahasa tulisan di Surabaya dimana surat kabar berbahasa Melayu pertama diterbitkan dengan judul

“Soerat Kabar Bahasa Melaijoe” (Indonesian Heritage 46). Pada tahun 1880-an, orang Cina peranakan Jawa mulai menerbitkan buku dan surat kabar. Buku mereka meliputi terjemahan dari roman popular, ajaran tradisional, dan kisah kontemporer Cina (Indonesian Heritage 46). Di Jawa, pusat percetakan litografis (cetakan dari batu atau logam yang ditulisi atau digambari) bermunculan di Surabaya dan Bangil pada awal abad ke-20 (Indonesian Heritage 47). Di Sumatera Selatan naskah ditulis pada kulit kayu, bambu, batang rotan, lempeng tembaga, kertas dan tanduk kambing atau kerbau (Indonesian Heritage 32). Teks pada naskah Sumatera Selatan sangat beragam. Kelompok utamanya adalah cerita kepahlawanan tradisional, teks hukum, silsilah (surat resmi untuk mengesahkan hak kepemilikan tanah tradisional), syair mistik Islam, guna0guna, sihir, dan obat- obatan, dengan unsur-unsur pra-Islam dan Islam/Arab terjalin erat (Indonesian Heritage 33).

Kebanyakan syair ditulis pada keping atau lembar bambu yang diikat menjadi satu dengan tali melalui lubang si satu ujung serta diberi nomor berdasarkan urutan abjad sedangkan buku kulit kayu berlipat kebanyakan mengandung unsur magis atau keagamaan (Indonesian Heritage 33). Di daerah Sumatera Utara khususnya orang Batak menulis pada kulit kayu yang terbuat dari kayu alim. “Kulit kayu ini dibeset dalam carikan panjang, kemudian dilipat seperti akordion, ditempelkan di dua sampul kayu yang berfungsi sebagai pengikat”

(Indonesian Heritage 35). “Orang awam tidak memanfaatkan kulit kayu pohon alim, tetapi bambu sebagai alat tulisnya, mengukir tulisannya dengan bagian paling atas dari pisau tajam ke dalam lapisan kulit ari bambu” (Indonesian Heritage 35).

(8)

Gambar 2.5. : syair ditulis pada keping atau lembar bambu yang diikat menjadi satu dengan tali.

Sumber : Indonesian Heritage : Bahasa dan Sastra , hal 33.

Gambar 2.6. : Buku kulit kayu berlipat yang kebanyakan mengandung unsur magis atau keagamaan.

Sumber : Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra, hal 33.

Gambar 2.7. : jimat yang di tulis orang Batak pada tanduk kerbau Sumber : Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra, hal 34.

Gambar 2.8. : Pustacha / naskah dengan sampul kayu yang berisi teks dengan gambar tinta merah dan hitam.

Sumber : Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra, hal 35.

(9)

Gambar 2.9. : pemuka agama yang membaca buku kulit kayu berlipat.

Sumber : Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra, hal 37.

Naskah di daerah Sulawesi Selatan disebut lontaraq yang berasal dari kata Jawa/ Melayu lontar atau palem tal, yang menandakan bahwa naskahnya ditulis pada daun palem tal ( Indonesian Heritage 36). Bentuknya unik karena mirip dengan kaset audio dan teksnya ditulis pada sebaris daun lontar yang sempit yang digulung dan hanya dapat dibaca bila gulungan diputar balik ( Indonesian Heritage 36). “Tulisan pada gulungan itu bergerak di depan mata si pembaca darikiri ke kanan di antara kedua gulungan” (Indonesian Heritage 36).

Gambar 2.10. : Lontaroq

Sumber : Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra, hal 36.

2.1.2.4. Tinjauan Kondisi Buku Essai Foto di Indonesia

Buku essai foto di Indonesia masih belum dikenal oleh orang awam. Hal ini disebabkan karena masih sedikit jumlah buku essai yang diproduksi di Indonesia, bahkan jika ada itupun sangat jarang ditemukan meskipun di toko buku terkemuka. Kebanyakan buku essai foto yang di jual di pasaran adalah buku essai foto yang diimport sehingga harganya pun relatif mahal dan hanya dapat

(10)

dijangkau oleh masyarakat kalangan atas. Inilah yang membuat keberadaan buku essai foto di Indonesia terdengar asing.

2.1.2.5. Potensi Buku Essai Foto di Indonesia

Kita semua tahu bahwa orang Indonesia tidak gemar membaca dan lebih suka menonton televisi. Karena itulah banyak orang yang mengembangkan buku bacaan yang bersifat verbal menjadi sesuatu yang bersifat visual agar tampak lebih menarik. Pengembangan dari buku bacaan yang saat ini sudah ada adalah buku cerita bergambar, di mana diyakini bahwa sebuah gambar juga dapat bercerita. Tetapi kadang kala buku dengan visualisasi gambar tampak kurang nyata, maka dari itu pasti suatu saat buku bacaan pasti berkembang menjadi sebuah buku essai foto yang menyajikan gambar yang tampak nyata dan melalui media foto. Di mana foto juga dapat bercerita

2.2. Tinjauan Tentang Pecinan

Pecinan merujuk kepada sebuah wilayah kota yang mayoritas penghuninya adalah orang Tionghoa (“Pecinan”’ para 1). Pecinan banyak terdapat di kota-kota besar di berbagai negara di mana orang Tionghoa merantau dan kemudian menetap seperti di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Asia Tenggara (“Pecinan”’ para 1). Artikel sebuah website menuliskan bahwa :

Sukubangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk (“Tionghoa-Indonesia”, para 1). Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (“Tionghoa-Indonesia”, para 1). Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di

(11)

Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya (“Tionghoa-Indonesia”, para 2).

Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan

dalam dialek Mandarin disebut Tangren (Hanzi bahasa Indonesia: Orang Tang).

Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi hanyu pinyin:

hanren, bahasa Indonesia: Orang Han) (“Tionghoa-Indonesia”, para 3). Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu (“Tionghoa-Indonesia”, para 4).

Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoapun mulai berdatangan (“Tionghoa- Indonesia”, para 5). Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia (“Tionghoa- Indonesia”, para 8). Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa (“Tionghoa-Indonesia” para 9).

(12)

Gbr.2.11: Lukisan pedagang Tionghoa tahun 1956. perhatikan paying bambu yang digunakan sebagai penahan panas. Konon payung ini adalah buatan orang

Tionghoa yang terampil membuat barbagai kerajinan tangan dari bambu.

Sumber: Tionghoa dalam pusaran politik, hal 65.

2.2.1. Sekilas Tentang Kawasan Pecinan di Daerah Kembang Jepun

Surabaya adalah kota pelabuhan yang masih tetap bertahan hingga sekarang. Hak inilah yang menjdi penyebab jalur perdagangan yang ramai di kawasan perairan Surabaya, seperti di kali Penggirian dan Kalimas yang sejak zaman pemerintahan kerajaan Majapahit (abad ke-13), banyak didatangi oleh para perantau yang hendak berdagang di nusantara. Surabaya dipilih sebagai tempat dan kawasan hunian maupun perdagangan Tionghoa karena di luar Jawa Timur pemerintah Hindia Belanda sibuk melakukan penetapan aturan-aturan yang membatasi pergerakan warga Tionghoa. Akibatnya banyak warga Tionghoa yang beranggapan bahwa Jawa Timur adalah kawasan yang menjanjikan karena jauh dari jangkauan penjajah Belanda. Selain itu, juga karena posisi yang strategis.

Dimana kawasan kali-kali di Surabaya sangat ramai dan menjadi jalur pusat perdagangan di kota Surabaya. Kali Pengirian sebenarnya merupakan sungai pertama yang ramai didatangi para pedagang Tionghoa yang memonopoli perdagangan candu dan garam. Kali Pengirian dipergunakan sebagai tempat pengontrolan oleh VOC sehingga sesuai dengan arti kata “Pengirian” yang berarti

(13)

“Ronda”. Kali ini kemudian dipecah menjadi 2, satu melalui jalan Undaan Kulon sedang yang lain yaitu Kalimas (buatan Belanda) yang melalui jalan Ahmad Jais.Para perantau Tionghoa banyak melakukan hubungan kerja dengan penduduk setempat di kawasan ini. Mereka kemudian menetap dan mendirikan tempat- tempat tinggal di tepi-tepi sungai dan pantai tempat mereka berlabuh. Para perantau Tionghoa mendirikan tempat tinggal yang menampung para awak kapal mereka di sebuah bangunan sederhana di jalan Coklat ( dahulu bernama Tepekong Straat).

Daerah pecinan di Kembang Jepun pada mulanya terbentuk sekitar tahun 1900 dengan komunitasnya sebagai pusat perdagangan yang menjadi ciri khas orang tionghoa (“kya-kya”, para 1). Kawasan kembang Jepun merupakan salah satu kawasan tertua di Surabaya, bahkan usia daerah pecinan di Kembang Jepun hamper setua kota Surabaya sendiri. Kawasan ini merupakan kawasan yang fenomenal bahkan ketika kawasan ini mengawali sejarahnya. Kawasan ini terletak di tepi Kali Mas, anak cabang Kali Brantas yang melintas di jantung kota itu, dahulu dikenal sebagai sentra niaga Surabaya (“kya-kya”, para 2). Pada zaman penjajahan Belanda Surabaya di bagi menjadi 3 bagian besar, jalan utamanya adalah Kembang Jepun dan Kalimas (“kya-kya”, para 3). Kampung Cina di selatan Kalimas, kawasan timur dihuni orang Arab dan Melayu dan kawasan Kembang Jepun sebagai pembatasnya (“kya-kya”, para 3). Sedangkan bangsa Belanda tinggal di sebelah Barat Kalimas dan kemudian mendirikan komunitas

“Eropa Kecil” (“kya-kya”, para 3). Jalan Kembang Jepun dahulu dinamakan Handelstraat (handel berarti perdagangan, dan straat berarti jalan) (“kya-kya”,

para 4). Pada zaman pendudukan Jepanglah nama Kembang Jepun terkenal, karena saat itu banyak serdadu Jepang (Jepun) yang memiliki teman-teman wanita (kembang) di daerah ini (“kya-kya”, para 4). Kawasan ini terkenal sebagai pusat perdagangan grosir yang dikenal sebagai central business district (CBD) I kota Surabaya. Saat ini kawasan ini memiliki prosentase penduduk Tionghoa tertinggi yaitu sekitar 74,3%. Di ujung jalan Kembang Jepun terdapat seni pahat dan seni ukir pada batu khas Tionghoa. Di daerah jalan Slompretan dan jalan Coklat sekarang tetap menjadi pusat perdagangan tekstil yang pemilik tokonya sebagian besar warga Tionghoa. Di jalan Songoyudan dan sekitarnya tetap berfungsi

(14)

sebagai tempat perdagangan warga Tionghoa yang bangunannya masih terkesan kuno (kecuali daerah masjid Ampel yang banyak dihuni warga Arab), juga terdapat pasar Pabean yang merupakan pasar terlengkap di Surabaya.

Gambar 2.12. : Kembang Jepun dahulu.

Sumber : dokumen pribadi.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penghitungan dengan analisis faktor diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan perpustakaan sekolah sebagai prasarana belajar siswa SMA negeri 7

Kami mengundang para pembaca untuk berperan serta menyumbangkan buah pikiran yang sesuai dengan misi media ini, berupa pendapat atau tanggapan tentang bahasa, pengajarannya, dan

Responden pada kategori usia muda dan usia dewasa cenderung memiliki persepsi yang positif terhadap pembangunan kebun raya di Kabupaten Sambas. Pada kedua kategori usia

Berdasarkan tanggapan dari informan di atas dan semua informan yang diteliti, menyatakan hal yang sama yaitu, dengan adanya pembangunan megaproyek reklamasi CPI Makassar

Merekomendaskan tata kelola TI yang sesuai dengan kondisi TI di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jeneponto dengan menggunakan kerangka kerja COBIT 5.

Terimakasih telah menemani hari-hari peneliti dari zaman kecil / SMA hingga saat ini yang masih setia menemani dan selalu memberikan semangat, kesenangan, motivasi,

pewangi Laundry sekarang telah mboten Lagi khusus buat Laundry Mawon, parfum Laundry juga ramai digemari Dari ibu Rumah Tangga hingga Cah Milenial8.