commit to user
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ki Padmasusastra (1843-1926) adalah penulis dan pemerhati bahasa, sastra, dan budaya Jawa setelah era para pujangga Jawa antara lain Yasadipura I, Yasadipura II dan Ranggawarsita. Padmasusastra bukan seorang pujangga keraton, tetapi beliau banyak menghasilkan karya-karya besar seperti para pujangga keraton. Nama kecilnya adalah Suwardi, dan dikenal pula dengan nama Ngabei Kartadirana, Mas Gus Bei, Mas Ngabei Bangsayuda, Ngabei Kartipradata, Ki Padmasusastra, Ngabei Wirapustaka, Ki Prajapustaka (Wibowo, 2010: 113).
Ki Padmasusastra (1843-1926) memang tidak setenar Ranggawarsita, Mangkunagara IV, namun sesungguhnya ia adalah sosok yang sangat berpengaruh terhadap bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Hasil pemikirannya inspiratif, kritis, dan konstruktif. Kegiatannya menulis semakin produktif sejak menjabat Kepala Radyapustaka. Bahkan dalam kesempatan yang sama, sebenarnya sosok dari Ki Padmasusatra adalah orang yang sangat demokratis dan memiliki pengetahuan yang global. Sosok inilah yang mengawali pembentukan novel Jawa modern. Kompetensi sastra Ki Padmasusastra merupakan percampuran konstruktif dan kritis dari akar Jawa dan norma-norma sastra Eropa (Mulyanto, 2010: 50).
Cipta sastra berupa prosa ataupun puisi tidak hanya masalah bentuk, tetapi bertalian erat dengan kecenderungan ekspresi masing-masing pengarang. Setiap pengarang dalam membuat karya pasti akan memperlihatkan ciri-ciri tersendiri yang membedakan dengan pengarang lainnya. Wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra pasti memperlihatkan pola- pola yang berbeda dengan pengarang lainnya. Setiap pengarang pasti berusaha memperlihatkan ciri-ciri individualisme, originalitas, dan gaya masing-masing (Subroto, et al., 1997: 3).
Sastra sebagai produk karya seni (jenis sastra), adalah karya kreatif imajinatif yang menekankan pada aspek estetik dan artistik. Mutu karya (seni) sastra banyak ditentukan oleh kemampuan penulisnya (author, pencipta) untuk mengeksploitasi kemungkinan-kemungkinan penggunaan bahasa serta gaya bahasa yang tidak saja mempunyai nilai komunikatif-efektif, namun juga mempunyai nilai-nilai kekhasan, aspek-aspek stilistik dan estetik serta artistik (Satoto, 2012: viii).
commit to user
Pengkajian mengenai kekhasan pemakaian bahasa dalam karya sastra adalah untuk menemukan dan menandai ciri umum karya seorang pengarang, dan hal tersebut dapat terwujud manakala telah dilakukan pengkajian atau penelitian kekhasan pemakaian bahasa oleh seorang pengarang melalui karya-karyanya. Ilmu yang tepat untuk mengkaji penggunaan bahasa dalam karya sastra dengan pendekatan secara linguistik adalah stilistika. Kajian stilistika mengkaji bagaimana seorang pengarang memanfaatkan semua potensi bahasa untuk mencapai efek-efek tertentu di dalam pengungkapannya (Subroto, et al., 1997: 4).
Penggunaan bahasa dalam novel memang kadang disiasati, dimanipulasi, diekspolitasi, dan didayagunakan sedemikian rupa oleh pengarang dalam rangka untuk menuangkan ekpresinya. Oleh karena itu bahasa sastra memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan karya non sastra (Fowler, 1977: 3). Stilistika dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi dan memanfaatkan potensi bahasa (Altenbernd & Lewis, 1970: 2).
Culler (1975: 55) mengatakan sebagai berikut.
If literature is, as Valery said, a kind of extension and application of certain properties of language then the linguist might contribute to literary studies by showing what properties of language were being exploited in particular texts and now they were extended or organized.
‘Sebagaimana dikatakan Valery bahwa jika sastra merupakan pengembangan dan penerapan atas kekayaan khusus bahasa maka ahli bahasa dapat berperan serta memberikan sumbangan terhadap kajian sastra dengan menunjukkan kekayaan bahasa mana yang sedang dieskploitir pada teks tertentu dan kekayaan bahasa tersebut telah diperluas dan diorganisir.’
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa linguis dengan kemampuan dan pengalamannya mampu memperlihatkan bagaimana bahasa itu diorganisasikan, mampu menganalisis pola- pola bentukan, kontruksi-konstruksi bahasa yang ada sehingga dapat memberikan bantuan bagi keperluan analisis karya sastra.
Salah satu kekhasan Ki Padmasusastra dalam penggunaan bahasa antara lain ditampilkan di dalam membuat karya susastra yang sangat indah dan dikemas dalam cerita yang apik. Empat karya susastranya sering disebut sebagai caturlogi yakni Rangsang Tuban, Prabangkara, Kandha Bumi dan Kabar Angin. Keempat naskah susastra ini bercerita tentang empat anasir alam yaitu anasir air (dalam Serat Rangsang Tuban), anasir api (dalam Serat Prabangkara), anasir bumi (dalam Serat Kandha Bumi), dan anasir angin (dalam Serat Kabar Angin). Nama tokoh, setting tempat, penceritaan, semua dikemas dengan apik menggunakan sastra indah dan selalu disesuaikan dengan topik unsur anasir alamnya.
commit to user
Sumber nilai setiap karya seni dalam hal ini karya sastra pada dasarnya berkaitan dengan tiga komponen yakni (1) karya sastra sebagai faktor objektif, (2) pengarang sebagai faktor genetik, dan (3) pembaca sebagai faktor afektif. Tiga komponen itu saling berinteraksi dan menentukan nilai setiap karya sastra. Oleh karena itu, untuk memperoleh pemahaman yang utuh, penelitian karya sastra tidak boleh meninggalkan salah satu dari ketiga komponen sumber nilai tersebut. Tidak sepantasnya evaluasi karya sastra dilakukan dengan mengabaikan salah satu dari komponen sumber nilai tersebut bila ingin mendapatkan pemahaman mengenai maknanya secara utuh (Abrams, 1979: 6-29, Sutopo, 1995: 8-9).
Pemahaman yang utuh mengenai kekhasan stilistika empat karya sastra Ki Padmasusastra berdasarkan ketiga komponen yang saling berinteraksi antara faktor objektif (karya sastra itu sendiri), genetik (pengarang) dan faktor afektif (pembaca) diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif/menyeluruh mengenai bagaimana kekhasan stilistika dalam empat karya sastra Ki Padmasusastra.
Ki Padmasusastra dalam kajian faktor objektif sering memanfaatkan potensi bunyi- bunyi bahasa dalam karya sastranya, yaitu masalah asonansi (purwakanthi guru swara), aliterasi (purwakanthi guru sastra), dan purwakanthi lumaksita atau basa. Setiap bunyi bahasa sebenarnya juga memiliki karakter [i, e]: halus, lembut, kecil, tinggi, ringan; [, o, u,
|]: gagah, wibawa, perkasa, besar, rendah, dan berat (Subroto, et al., 1991: 13-16).
Kepandaian Ki Padmasusastra dalam memanfaatkan bahasa ditunjukkan dalam Serat Kandha Bumi sebagai berikut.
(1) … nagari Marutamanda ingkang jumênêng nata binathara …sang prabu anêngênakên para brahmana kinèn nganggit-anggit sêrat Wedha anggancarakên pêpakêming praja saha aluraning para nata…(SKA/ 1)
‘… negara Marutamanda yang menjadi raja …sang prabu selalu mengistimewakan para brahmana supaya selalu mengarang Serat Wedha, menguraikan dan menerangkan hukum-hukum negara serta silsilah para raja, …’
Asonansi [O] dalam data (1) di atas muncul secara berulang dengan posisi yang bervariatif pada suku kata kedua dari belakang (paenultima) dan suku kata terakhir (ultima).
Pemanfaatan purwakanthi swara [O] pada data dimanfaatkan untuk melukiskan keagungan, kegagahan Prabu Sindhung Aliwawar di negara Marutamanda.
Bunyi asonansi [O] di atas merupakan aspek penting untuk membangun struktur pengucapan bahasa prosa. Tuturan sang prabu anêngênakên para brahmana ‘sang prabu selalu mengistimewakan para brahmana’ diakhiri dengan bunyi [O]. Tuturan tersebut masih
commit to user
dilanjutkan dengan tuturan yang juga diakhiri dengan bunyi [O] yaitu kinèn nganggit-anggit sêrat Wedha ‘supaya selalu mengarang Serat Wedha’, serta tuturan anggancarakên pêpakêming praja saha aluraning para nata ‘menguraikan hukum-hukum negara serta silsilah para raja’. Sungguh suatu pemilihan bahasa yang mampu menimbulkan irama ritmik yang sangat indah.
(2) … nandhang gêrah sarira sadaya, … ingkang putra sami ingandikan, wontên ing dagan … sarta sami lara karuna …ingkang rama sampun asawang kunarpa, … ora waluya dening usada… sang prabu mapat lajêng seda, tangis gumuruh salêbêting pura. (SRT/2-3).
‘…terkena penyakit semua, …semua putera diberi pesan, serta menangis tersedu-sedu
…sang raja sudah bagaikan mayat, tidak akan sembuh oleh usaha, …sang raja akhirnya meninggal, tangis memenuhi seluruh istana.’
Pemanfaatan asonansi [dalam data (2) yang berasal dari Serat Rangsang Tuban difungsikan untuk melukiskan kesedihan putera putri sang raja yang akan ditinggal mati sang raja. Bunyi asonansi [adalah terbuka, berat, mengasosiasikan kesedihan yang teramat berat oleh para keluarga karena Sang Prabu Sindupati akan segera pergi untuk selamanya.
Bunyi [sebagai ciri formal keikonikan, berkaitan dengan wujud bibir atau bentuk mulut ketika mengucapkan bunyi [tersebut. Wujud itulah yang dimanfaatkan sebagai alat pengikonikan. Mulut ketika mengucapkan [akan terbuka lebar dengan bibir atas agak tertarik ke atas dan bibir bawah tertarik ke bawah, jadi saling menjauhi. Wujud yang demikian itulah yang dimanfaatkan oleh Ki Padmasusastra untuk menunjukkan kesedihan keluarga raja atas wafatnya Sang Prabu Sindupati.
Bahasa Jawa kaya dengan bentuk-bentuk lingual yang bersifat ikonik itu. Kekayaan itu bukan hanya sekedar dimiliki oleh penutur-penuturnya dan digunakan secara mekanistis, akan tetapi juga diperkembangkan secara kreatif, baik dalam rangka pertuturan biasa maupun dalam rangka seni yang menggunakan bahasa, yaitu seni sastra (Sudaryanto, 1989: 115-116).
Pemanfaatan unsur bunyi (fonem) dalam susastra ini tidak sekedar untuk mendukung keindahan dalam sastra, melainkan juga untuk menimbulkan nuansa tertentu, misalnya jengkel, marah, sedih, maupun senang. Hal tersebut sesuai dengan ciri dan karakter bunyi, yakni bunyi vokal [O, o, u] berciri bersuara, terbuka, belakang, dipakai untuk menggambarkan suasana atau sesuatu yang besar, berat, berwibawa. Bunyi vokal [e, i] sesuatu yang kecil, ringan, tinggi, lembut, dan yang mengasosiasikan suasana hati yang ringan, riang (Slametmuljana, 1956: 72, Pradopo, 1997: 29).
commit to user
Abrams (1981) mengungkapkan bahwa warna lokal inilah sebagai ciri khas yang tampak dalam karya fiksi. Gejala ini karena pengaruh kebudayaan lokal, bahasa, adat atau sistem religi yang secara sadar atau tidak dipergunakan pengarang untuk tujuan tertentu (Hal.
98). Sebagai seorang stylist, seorang peneliti harus mampu menguasai norma bahasa yang dipakai dalam karya sastra (Wellek dan Warren, 1978: 2).
Seseorang dalam mengungkap makna suatu karya sastra diperlukan pengetahuan mengenai kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra tersebut. Latar belakang kehidupan pengarang akan dapat membantu menjelaskan proses kreatif kepengarangannya sekaligus dapat membantu dalam interpretasi makna karya-karyanya.
Ki Padmasusastra sejak kecil sering bermain di perpustakaan kraton. Di sana sering diminta untuk membantu menulis, sekedar menyalin buku atau membantu menyelesaikan suatu pekerjaan. Buku-buku lama akhirnya menjadi sumber inspirasi bagi Ki Padmasusastra untuk giat belajar dan menguasai ilmu. Walaupun Ki Padmasusastra sejak kecil tidak pernah menikmati bangku sekolahan formal, akan tetapi Suwardi tetap belajar sendiri dengan arahan orang tuanya. Kemampuan Ki Padmasusastra dalam mengarang tidak kalah dengan para pujangga sebelumnya (Supardjo, 2010: 70). Berdasarkan latar belakang kecerdasan dan pengaruh pendidikan dari orang tua maupun dalam masyarakat tersebut, maka tidak mengherankan bahwa empat karya sastra Ki Padmasusastra yaitu Serat Rangsang Tuban, Serat Prabangkara, Serat Kandha Bumi, dan Serat Kabar Angin merupakan karya sastra yang indah dengan memanfaatkan semua kekayaan bahasa Jawa.
Empat karya Ki Padmasusastra dihiasi penggunaan bahasa dengan memanfaatkan bunyi-bunyi asonansi, aliterasi, maupun purwakanthi lumaksita secara bergantian. Empat karya sastra Ki Padmasusastra ini walaupun dalam bentuk prosa, tetapi dihiasi dengan tuturan-tuturan yang khas yaitu pemanfaatan bunyi-bunyi yang hampir sama silih berganti ditekankan. Ada kemerduan di balik penggunaan purwakanthi-purwakanthi tersebut. Rima ini menyebabkan suatu ritma. Ritma yang teratur ini menyebabkan keindahan musikalis dalam setiap tuturannya.
Empat karya Ki Padmasusastra tersebut apabila dicermati secara lebih mendalam dengan menghubungkan bahwa ekspresi bahasa Ki Padmasusastra ini mencerminkan sistem pengetahuan lokal, pola-pikir, pandangan dunia, pandangan hidup yang dimiliki oleh Ki Padmasusastra sebagai bagian dari masyarakat Jawa, maka akan sangat menarik. Berdasarkan faktor afektif bahwa bahasa ini sebenarnya mencerminkan bagaimana Ki Padmasusastra harus
commit to user
bersikap untuk tetap dalam keselarasan dengan alam raya beserta segala isinya. Ada kearifan lokal di balik penggunaan keselarasan bunyi dalam empat karya Ki Padmasusastra.
Keteraturan dan keselarasan bunyi-bunyi yang berupa asonansi, aliterasi maupun purwakanthi lumaksita sebenarnya mempunyai fungsi komunikasi. Kehidupan jika memiliki keselarasan, kehalusan, dan keteraturan, maka akan menjadi teratur. Manusia akhirnya mampu menyelaraskan hidup dan dapat berkomunikasi dengan Wujud Tertinggi dan alam sekitarnya yaitu dunia mikrokosmos maupun makrokosmos mereka.
Bahasa Ki Padmasusastra sebagai ekspresi kejiwaan tidak pernah mengesampingkan efek penikmat. Ada kreasi untuk kenikmatan diri sendiri dan penikmat atau pendengar. Ada kemerduan atau keselarasan-keselaran bunyi sehingga menjadikan bahasa tersebut indah, misalnya asonansi [O], [, [u], yang seolah-olah mampu mendekatkan makna yang ada.
Ki Padmasusastra juga sering menulis karyanya dalam bentuk prosa, padahal pada waktu itu bentuk puisi Jawa tembang Macapat masih digemari, maka dalam Serat Rangsang Tuban juga masih banyak dijumpai bentuk tembang Macapat sekitar 60-an bait, sedangkan dalam Serat Prabangkara terdapat sekitar 11 bait. Bentuk prosa yang diselipi tembang Macapat menunjukkan bahwa Ki Padmasusastra tertarik pada norma-norma sastra Eropa (novel) akan tetapi juga tidak mau meninggalkan sastra dan budaya Jawa tradisional.
Serat Rangsang Tuban walaupun berbentuk gancaran ’prosa’, di dalamnya terdapat pula bentuk tembang Macapat sebagai berikut.
(3) Pangkur wuryaning gitaya/ sadurunge kaki sira dumadi/ anèng ngêndi dunungipun/ yêktine saking ora/ bapa biyung dadi lantaran tumuwuh/ tan nêdya yoga mring sira/ mung nêkakkên ardèng budi// (SRT/65)
‘Pangkur tersohor bentuk tembangnya/ sebelum kamu ada/ di manakah kamu berada / sesungguhnya dari tidak ada / ayah ibu sebagai sarana kita berada / tidak menginginkan berputra kamu / hanya melampiaskan pikiran dan hawa nafsu //’
Tembang Pangkur di atas, ternyata Ki Padmasusastra masih memegang teguh konvensi tembang yang ada. Konvensi guru gatra, guru wilangan dan guru lagu masih dipatuhi oleh Ki Padmasusastra dalam menggubah tembang Pangkur. Ki Padmasusastra dalam tembang tersebut juga memberikan sasmita tembang dengan kata ’Pangkur’.
Teks di atas menunjukkan bahwa ternyata Ki Padmasusastra walaupun tertarik pada norma-norma sastra Eropa (novel) akan tetapi juga tidak mau meninggalkan sastra tradisional.
Hal ini mengingatkan kita bahwa secara umum karya sastra termasuk work of art ‘karya seni’
yang bermedium dan berpiranti bahasa, pasti dalam setiap bahasa tersebut memiliki a set of
commit to user
devices ‘seperangkat piranti’ memiliki unsur-unsur (bunyi, baik segmental maupun suprasegmental), suku kata, morfem, kata, kelompok kata, klausa, kalimat, wacana), memiliki keseluruhan kaidah yang bersifat mengatur atau sistem, memiliki pola-pola bentukan atau konstruksi, sistem semantik, dan potensi-potensi (Subroto, et al, 1997: 12).
Sudjiman (1993: 7) mengatakan bahwa medium yang digunakan oleh pengarang dalam membuat karya sastra adalah bahasa, maka pengamatan bahasa ini pasti akan membantu untuk menafsirkan makna suatu karya atau bagian-bagiannya. Kajian inilah yang disebut stilistika. Selain membantu seseorang untuk menafsirkan makna suatu karya sastra, kajian ini juga membantu bagaimana pengarang memanfaatkan potensi bahasa untuk mencapai efek-efek tertentu dalam pengungkapannya. Wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra oleh seorang pengarang pasti memperlihatkan pola-pola yang berbeda dengan pengarang lainnya.
Karya sastra sering menampakkan penyimpangan penggunaan bahasa atau ungrammaticality. Penyimpangan ini memang disengaja dalam rangka memperoleh efek estetis (Riffaterre, 1978: 2). Menurut Dita (2010: 188-189) bahwa dalam sastra baik prosa maupun puisi, bahasa yang dipergunakan terdapat penyimpangan-penyimpangan pemilihan kosakata. Pengarang memang menggunakan ekspresi yang menyimpang dalam rangka untuk memberikan efek kepada pembaca dan menghasilkan makna tertentu.
Hal ini cukup beralasan jika peneliti melakukan telaah linguistik dalam rangka menemukan dan memerikan kekhasan pemakaian bahasa terhadap karya-karya Ki Padmasusastra. Peneliti pada kesempatan ini akan melakukan kajian stilistika terhadap karya- karya sastra Ki Padmasusastra karena memiliki keunikan dan kekhususan (uniqueness and specialty) yaitu Serat Rangsang Tuban, Serat Prabangkara, Serat Kandha Bumi, dan Serat Kabar Angin dengan perspektif kritik holistik.
Pembatasan masalah yang perlu dijelaskan di sini adalah telaah linguistik pada sebuah karya maksudnya bukanlah melakukan telaah sastra secara menyeluruh seperti halnya kajian sastra, tetapi penelitian ini merupakan telaah linguistik terhadap karya sastra Jawa yang merupakan karya dari salah seorang pengarang Jawa yaitu Ki Padmasusastra. Penelitian ini akan mengkaji semua aspek kebahasaan yang terdapat dalam empat karya sastra Ki Padmasusastra. Penelitian ini terutama diprioritaskan pada segi-segi kebahasaan yang paling gayut peranannya yang ikut menentukan wujud ekspresivitas daya pengungkapan. Juga dipusatkan pada pemerian keunikan-keunikan pengungkapan kebahasaan oleh seorang
commit to user
pengarang. Pemerian terhadap keunikan itu juga dalam rangka pemahaman dan penafsiran makna yang terdapat dalam karya tersebut.
Penelitian ilmiah tentang Ki Padmasusastra beserta karya-karyanya belum banyak dikerjakan. Mulyanto (2003) menulis tesis S2 dengan judul Tinjauan Kritis Tingkat Tutur Bahasa Jawa oleh Ki Padmasusastra. Masalah pokok yang dibahas dalam penelitiannya mengenai pemikiran Ki Padmasusastra ihwal tingkat tutur bahasa Jawa. Quinn (1982) mengadakan penelitian tentang Serat Rangsang Tuban dengan judul Padmasusastra’s Rangsang Tuban. A Javanese Kebatinan Novel dengan pendekatan sastra. Supardi (1961) pernah mengadakan penelitian mengenai biografi Ki Padmasusastra beserta karya-karyanya dengan judul Ki Padmasusastra Wong Mardika kang Marsudi Kasusastran Djawi ing Surakarta. Penelitian Supardi ini berhasil menginventaris karya-karya Ki Padmasusastra serta menulis kisah kehidupan Ki Padmasusastra.
Penelitian terhadap karya sastra dengan mengaitkan latar sosiohistoris dan ideologi pengarang serta fungsinya bagi pemaknaan sastra secara memadai, sepanjang pengamatan penulis relatif belum banyak dikerjakan. Selama ini penelitian stilistika karya sastra mayoritas memfokuskan kajiannya pada analisis linguistik. Kajian stilistika terhadap Novel Berbahasa Jawa Tahun 1980-an pernah dilakukan oleh Subroto, et al. (1999) dengan menitikberatkan pada pemanfaatan aspek bunyi, pemilihan kosakata, struktur morfosintaksis, semantik dan gaya bahasa yang digunakan dalam rangka mendukung keindahan bahasa dalam novel tersebut. Sutarjo (2002) melakukan penelitian secara stilistika terhadap bahasa pedalangan gaya Surakarta dengan menitikberatkan pada pilihan diksi.
Penelitian secara stilistika yang dilakukan oleh pakar asing kebanyakan menitikberatkan pada analisis kebahasaan saja. Stockwell (2008) mengkaji kekhasan aspek- aspek kebahasaan dalam wacana sastra dan nonsastra. Li (2009) mengkaji gaya bahasa iklan serta menganalisis dari aspek gaya sintaksis, gaya gramatikal, maupun gaya leksikal. Dita (2010) memfokuskan analisis kebahasaan khususnya pemanfaatan berbagai bentuk gaya bahasa dan pilihan diksi dalam puisi. Shuaibu, et al. (2013) mengkaji kekhasan gaya bahasa jurnalistik. Quinto (2014) mengkaji kekhasan gaya bahasa yang dipergunakan Presiden Benigno. Penelitian-penelitian di atas kebanyakan hanya membatasi pada bentuk dan struktur sastra, dan belum melakukan pengkajian secara holistik.
Kajian stilistika karya sastra dengan mengaitkan fungsinya bagi pemaknaan karya sastra perlu dikembangkan. Dengan demikian pembatasan masalah dalam kajian stilistika ini
commit to user
tidak hanya berhenti pada pemerian fenomena kebahasaan saja melainkan sampai pada pemaknaan sastra yang menjadi esensi sastra. Keempat karya Ki Padmasusastra tersebut dianalisis secara stilistika, dikomparasikan, dipergunakan bersama-sama saling mengontrol dan saling melengkapi untuk memberikan gambaran stilistika Ki Padmasusastra dengan mempertimbangkan latar belakang penciptaan karya sastra dan tanggapan pembaca.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah keunikan dan kekhususan pemakaian bahasa (bunyi-bunyi bahasa, pembentukan kata, diksi, pengkalimatan, semantik, gaya bahasa, pencitraan, narasi/dialog) yang dipergunakan oleh Ki Padmasusastra lewat empat karya sastranya (faktor objektif) ? 2. Bagaimanakah pengaruh latar sosiohistoris dan ideologi pengarang terhadap pemakaian
bahasa yang dipergunakan oleh Ki Padmasusastra di dalam empat karya sastranya (faktor genetik) ?
3. Bagaimanakah tanggapan/resepsi pembaca terhadap makna stilistika empat karya sastra Ki Padmasusastra (faktor afektif) ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan keunikan dan kekhususan pemakaian bahasa (bunyi-bunyi bahasa, pembentukan kata, diksi, pengkalimatan, semantik, gaya bahasa, pencitraan, dan narasi/dialog) yang dipergunakan oleh Ki Padmasusastra dalam empat karya sastranya (faktor objektif).
2. Menjelaskan pengaruh latar sosiohistoris dan ideologi pengarang terhadap pemakaian bahasa yang dipergunakan oleh Ki Padmasusastra di dalam empat karya sastranya (faktor genetik).
3. Menjelaskan tanggapan/resepsi pembaca terhadap makna stilistika empat karya sastra Ki Padmasusastra (faktor afektif).
commit to user D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoretis maupun praktis.
1. Manfaat Teoretis
a. Memberi sumbangan penerapan teori stilistika yang bermakna bagi pengembangan studi stilistika di Indonesia, khususnya di Program S3 Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kajian stilistika sangat problematik, terdapat kekhasan karakteristik karya sastra Ki Padmasusastra yang tidak dimiliki oleh pengarang lain.
b. Mengisi kekurangan pengkajian analisis stilistika terhadap karya sastra daerah khususnya karya sastra Jawa yang berbentuk prosa.
c. Menyempurnakan penelitian mengenai Ki Padmasusastra beserta karya-karyanya maupun penelitian-penelitian stilistika terdahulu dengan menerapkan pendekatan secara holistik.
2. Manfaat Praktis
a. Menumbuhkan minat peneliti lain untuk ikut menggali dan melestarikan sastra Jawa lewat pengkajian secara stilistika.
b. Mengungkapkan kekayaan kosakata bahasa Jawa yang dapat didokumentasikan oleh Ki Padmasusastra.
c. Memperkenalkan Ki Padmasusastra, karya-karya beserta ajaran-ajarannya.
E. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika.
Bab II Kajian pustaka meliputi penelitian terdahulu tentang Ki Padmasusastra dan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian Ki Padmasusastra dalam disertasi ini. Orientasi teoretik berisi deskripsi teoretik meliputi pengertian stilistika, unsur stilistika, kritik holistik, sekilas Ki Padmasusastra dan karya- karyanya, teori strukturalisme dinamik, teori semiotik, teori hermeneutik, serta kerangka pikir.
Bab III Metode penelitian berisi jenis penelitian, teknik penarikan sampel, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pemeriksaan keabsahan data, dan teknik analisis data.
commit to user
Bab IV Analis data berisi keunikan dan kekhususan pemakaian bahasa (bunyi bahasa, pembentukan kata, diksi, pengkalimatan, semantik, gaya bahasa, pencitraan, dan kekhasan dalam bagian narasi serta dialog) yang dipergunakan oleh Ki Padmasusastra dalam empat karyanya (faktor objektif); pengaruh latar sosiohistoris dan ideologi pengarang terhadap pemakaian bahasa yang dipergunakan oleh Ki Padmasusastra di dalam empat karyanya (faktor genetik);
dan tanggapan/resepsi pembaca terhadap makna stilistika empat karya Ki Padmasusastra (faktor afektif). Di samping itu juga disajikan temuan penelitian, dan pembahasannya.
Bab V Penutup berisi simpulan, implikasi, dan saran.