• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS OLEH NAZIF FUADI NOER NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS OLEH NAZIF FUADI NOER NIM"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN NILAI KAPASITAS FUNGSIONAL YANG DIUKUR DENGAN SIX MINUTES WALK TEST (6MWT) PADA

PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS YANG DISERTAI DAN TANPA DISFUNGSI DIASTOLIK

TESIS

OLEH

NAZIF FUADI NOER NIM 167041073

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERBANDINGAN NILAI KAPASITAS FUNGSIONAL YANG DIUKUR DENGAN SIX MINUTES WALK TEST (6MWT) PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS YANG DISERTAI DAN

TANPA DISFUNGSI DIASTOLIK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Magister Kedokteran Klinik Departemen Kardiologi Dan

Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

OLEH

NAZIF FUADI NOER NIM 167041073

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(3)

Judul Tesis : Perbandingan Nilai Kapasitas Fungsional Yang Diukur Dengan Six Minutes Walk Test (6MWT) Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis Yang Disertai Dan Tanpa Disfungsi Diastolik Nama Mahasiswa : Nazif Fuadi Noer

Nomor Registrasi : 167041073

Program Studi : Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Ali Nafiah Nasution, SpJP(K) dr. Nizam Z Akbar, SpJP(K) NIP. 198104142006041002 NIP.196203211988021002

Mengetahui / Mengesahkan

Ketua Program Studi Dekan Magister Kedokteran Klinik

Dr.dr.Rodiah R.Lubis,M.Ked(Oph),Sp.M(K) Prof. Dr.dr.Aldy Safruddin Rambe,Sp.S(K) NIP. 197604172005012002 NIP.196605241992031002

(4)

Telah diuji pada :

Tanggal : 30 Januari 2020

Penguji : 1. Prof.dr.Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP (K)

2. dr. Anggia C. Lubis, M.Ked(Cardio), Sp.JP(K) 3. dr.Hilfan Ade Putra Lubis, M.Ked(Cardio),SpJP(K)

Penguji I Penguji II

Prof.dr.Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP (K) dr. Anggia C. Lubis, M.Ked(Cardio) Sp.JP(K)

NIP. 195604051983031004 NIP. 19107032006041003

Penguji III

dr.Hilfan Ade Putra Lubis, M.Ked(Cardio),SpJP(K) NIP. 198307192010121002

Mengetahui, Ketua Departemen

Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan

Prof.dr.Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP (K) NIP. 195604051983031004

(5)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka.

Nama : Nazif Fuadi Noer

NIM : 167041073

Tanda Tangan :

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya haturkan kepada Allah Ta’ala atas segala Rahmat yang telah diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2. Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K) serta dr. Cut Aryfa Andra, Sp.JP(K) selaku

Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan di saat penulis melakukan penelitian yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Ali Nafiah Nasution, Sp.JP(K) serta dr. Yuke Sarastri, Sp.JP selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), SpM(K) selaku Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

5. dr. Ali Nafiah Nasution, Sp.JP(K) dan dr. Nizam Akbar Sp.JP(K) sebagai pembimbing penulis dalam penyusunan tesis ini yang dengan penuh kesabaran

(7)

membimbing, mengoreksi, dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.

6. Guru-guru penulis : Prof. dr. T. Bahri Anwar, Sp.JP(K); Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP(K); Prof. dr. Abdullah Afif Siregar, Sp.A(K), Sp.JP(K); Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K); Alm. dr. Maruli T. Simanjuntak, Sp.JP(K); dr.Nora C.

Hutajulu Sp.JP(K); DR. dr. Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K); Alm. dr. Isfanuddin Nyak Kaoy, Sp.JP(K); dr. Parlindungan Manik, Sp.JP(K); dr. Refli Hasan, Sp.PD, Sp.JP(K); Alm. dr.Amran Lubis, Sp.JP(K); dr. Nizam Akbar, Sp.JP(K); dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP; dr. Andre Pasha Ketaren, Sp.JP(K); dr. Andika Sitepu, Sp.JP(K); dr. Anggia Chairuddin Lubis, Sp.JP; dr. Ali Nafiah Nasution, Sp.JP(K); dr.

Cut Aryfa Andra, Sp.JP(K), dr. Hilfan Ade Putra Lubis, Sp.JP, , dr. Abdul Halim Raynaldo, Sp.JP; dr. Yuke Sarastri, Sp.JP; dr. T. Bob Haykal, Sp.JP, dr. Faisal Habib, Sp.JP, dr. T. Winda Ardhini, Sp.JP, dr. Yasmine F. Siregar, Sp.JP, dr. Kamal K Ilyas, Sp.JP; serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh darah.

7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.

8. Orang tua penulis, ayah dan ibu tercinta Prof.DR. Nasruddin Noer, M.Eng.Sc. dan dra. Juwairiah, M.Sc, adik-adik yang saya banggakan dr. Azmi Noer, Zikri Noer S.Si, M.Si, Ilham Noer, Muhammad Hafiz Noer yang selama ini telah memberikan dukungan baik moril dan materi serta doa dan dukungan agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendidikan sampai selesai.

9. Kedua ayah dan ibu mertua yang sangat penulis hormati dan sayangi, drs. Samsul Rizal Lubis, Apt dan Ratna Sari Harahap yang telah memberikan kasih sayang, nasehat, dukungan doa maupun materi selama proses pendidikan dan dalam penyelesaian tesis ini.

10. Istri tercinta, dr. Melviana, M.Biomed yang selalu memberi dukungan dan perhatian

(8)

Ananda tersayang Umair Al Harits, Rumayza Hanifah, Shafiyya Khairunnisa dan Salman Abdul Aziz atas semia kasih sayang dan keceriaan yang menambah semangat belajar dan berkarya.

11. Rekan PPDS seangkatan penulis, dr. Puja Nastia, dr. Wellyani I.F. Siagian, dr. Ayub Basaldi dan dr. M. Fahrial Siregar yang telah banyak memberikan dukungan moril dan bantuan tenaga dalam pengerjaan tesis ini.

12. Rekan PPDS dr. Hery Diansyah Putra, dr. Bertha Gabriel Napitupulu, dr. Mustajir Nur Arif, dr. Fildzah Yamami Rizal dan dr. Desfrianda yang membantu Penulis dalam pengolahan dan analisis data statistik.

13. dr. Yunni Safitri Sp.JP yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti penelitian besar dan berbagi ilmu dalam penelitian ini.

14. Rekan PPDS Kardiologi yang memberikan dukungan moril terus-menerus dalam mengerjakan tugas sehari-hari khususnya dalam pengerjaan tesis ini.

15. Para perawat Pusat Jantung Terpadu RSUP HAM yang telah memberikan kesempatan kepada penulis pada waktu luang untuk mengambil data sampel penelitian.

Semoga Allah Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Akhirnya penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Medan, Januari 2020

Nazif Fuadi Noer

(9)

ABSTRAK

Latar Belakang : Penyakit Paru Obstruktif Kronis masih merupakan penyebab mortalitas utama di dunia. Peningkatan tekanan paru dan hipoksemia pada PPOK menyebabkan terjadinya gangguan fungsi diastolik ventrikel kiri.. Gangguan respirasi yang disertai dengan gangguan kardiovaskuler dapat menyebabkan penurunan kemampuan aktifitas. Kapastitas fungsional yang menggambarkan kemampuan aktifitas dapat dinilai dengan uji 6 minutes walk test. Tujuan penelitian ini adalah menilai perbandingan nilai kapasitas fungsional pada pasien PPOK dengan atau tanpa gangguan diastolik.

Metode : Penelitian ini merupakan suatu studi analitik potong lintang yang melibatkan 88 orang subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien dikelompokkan berdasarkan derajat keparahan PPOK dan adanya gangguan fungsi diastolik yang dinilai dengan echocardiography. Uji latih jantung dilakukan pada seluruh kelompok uji. Analisa data menggunakan analisis bivariat untuk menentukan perbandingan pada variabel kategorik yang dilanjutkan dengan Analisa multivariat untuk menentukan perbandingan antar kelompok uji.

Hasil : Dari total 88 pasien, terdapat 28 pasien (31%) dengan PPOK ringan tanpa disfungsi diastolik, terdapat 16 pasien (18%) dengan PPOK ringan disertai disfungsi diastolik, 15 pasien (17%) dengan PPOK berat tanpa disfungsi diastolik, 29 pasien (32%) dengan PPOK berat disertai disfungsi diastolik. Didapati perbedaan bermakna nilai kapasitas fungsional (p=0.00) antar tiap kelompok uji.

Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna pada nilai kapasitas fungsional antar kelompok PPOK dengan keparahan berbeda dan disertai atau tanpa disfungsi diastolik.

Kata kunci : PPOK, disfungsi diastolik, 6 minutes walk test, kapasitas fungsional

(10)

ABSTRACT

Introduction: Chronic Obstructive Pulmonary Disease is still the leading cause of mortality in the world. Increased pulmonary pressure and hypoxemia in COPD cause impaired left ventricular diastolic function. Impaired respiration accompanied by cardiovascular disorders can cause a decrease in activity ability. Functional capacities that describe the ability of activities can be assessed by the 6 minute walk test. The purpose of this study was to assess the comparison of functional capacity values in COPD patients with or without diastolic disorders.

Method: This study is a cross-sectional analytic study involving 88 subjects who met the inclusion criteria. Patients were grouped according to the severity of COPD and the presence of diastolic dysfunction assessed by echocardiography. Cardiac training was performed in all test groups. Data analysis uses bivariate analysis to determine comparisons on categorical variables followed by multivariate analysis to determine comparisons between test groups.

Results: Of a total of 88 patients, there were 28 patients (31%) with mild COPD without diastolic dysfunction, there were 16 patients (18%) with mild COPD accompanied by diastolic dysfunction, 15 patients (17%) with severe COPD without diastolic dysfunction, 29 patients (32%) with severe COPD accompanied by diastolic dysfunction. Significant differences in functional capacity (p = 0.00) were found between each test group.

Conclusion: There is a significant difference in functional capacity values between COPD groups with different severity and with or without diastolic dysfunction.

Keywords: COPD, diastolic dysfunction, 6 minutes walk test, functional capacity

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Lembar Pernyataan Orisinalitas ... iii

Ucapan Terima Kasih ... iv

Abstrak ... vii

Daftar Isi ... ix

Daftar Gambar ... xii

Daftar Tabel ... xiv

Daftar Singkatan dan Lambang... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pertanyaan Penelitian ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.4.1. Tujuan Umum ... 3

1.4.2. Tujuan Khusus ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

1.5.1. Kepentingan Akademik ... 4

1.5.2. Kepentingan Masyarakat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik ... 5

2.1.1. Definisi ... 5

2.1.2. Epidemiologi ... 5

2.1.3. Faktor Risiko ... 6

2.1.4. Patogenesis ... 6

(12)

2.1.6. Inflamasi Sistemik pada Penderita PPOK………. 12

2.2. Kelainan Jantung Akibat PPOK ... 15

2.2.1. Disfungsi diastolik……….. 18

2.3. Kapasitas fungsional……….. 22

2.4.6 Minutes Walk Test ... 23

2.4.1. Definisi ... 23

2.4.2. Indikasi dan kontraindikasi ... 24

2.4.3. Teknik dan metode pengerjaan……….. 26

2.4.4. Interpretasi………. 29

2.5. Hubungan PPOK dan 6MWT ... 32

2.6. Kerangka Teori……….. 36

2.7. Kerangka Konsep ... 37

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

3.1. Jenis Penelitian ... 38

3.2. Tempat dan Waktu ... 38

3.3. Populasi dan Sampel... 38

3.4. Besar Sampel ... 38

3.5. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 39

3.5.1. Kriteria Inklusi... 39

3.5.2. Kriteria Ekslusi ... 39

3.6. Definisi Operasional ... 39

3.7. Identifikasi Variabel ... 40

3.8. Alur Penelitian ... 42

3.9. Pengolahan dan Analisis Data ... 43

3.10. Etika Penelitian ... 43

3.11. Jadwal Penelitian ... 44

3.12.Perkiraan Biaya ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN……….. ... 45

4.1. Karakteristik penelitian……….. 45

(13)

4.2. Karakteristik dasar subjek penelitian………. 45

4.3. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian Berdasarkan Severitas PPOK dan Disfungsi Diastolik……… 47

4.4. Hubungan antara kapasitas fungsional dengan keparahan PPOK dengan dan tanpa disfungsi diastolik………... 49

4.5. Hubungan antara kapasitas fungsional dengan keparahan PPOK dan disfungsi diastolik……… 50

BAB V PEMBAHASAN……… . 52

BAB VI PENUTUP………. 55

6.1. Kesimpulan……….. 55

6.2. Keterbatasan penelitian dan saran……… 55

DAFTAR PUSTAKA ... .. 56

(14)

DAFTAR GAMBAR

Judul Halaman

Gambar 2.1 Patogenesis Pembentukan PPOK……….. 7

Gambar 2.2 Patogenesis PPOK……… 9

Gambar 2.3 Langkah – Langkah Diagnosis PPOK……….. 10

Gambar 2.4 Inflamasi sistemik pada PPOK………. 14

Gambar 2.5 Doppler pola aliran mitral dengan E/A >1 dan TDI dengan kecepatan e’ lateral normal ………. 18

Gambar 2.6 Algoritma diagnosis disfungsi diastolik LV pada subjek dengan LVEF normal...……….... 21

Gambar 2.7 Algoritma estimasi tekanan pengisian LV dan grading fungsi diastolik LV pada HFrEF dan pasien dengan penyakit miokardial dan LVEF normal………….………. 22

Gambar 2.8 Skematis tempat pelaksanaan 6MWT………. 27

Gambar 2.9 Contoh konversi jarak dan kecepatan berjalan menjadi METS……….. 30

Gambar 2.10 Kerangka Teori……… 36

Gambar 2.11 Kerangka konsep………. 36

Gambar 3.1 Alur Penelitian……… 42

Gambar 4.1 Grafik Grup PPOK dan disfungsi diastolik………. 47

(15)

DAFTAR TABEL

Judul Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK Berdasarkan Spirometri ... 12

Tabel 2.2 Pengaruh PPOK terhadap Sistem Kardiovaskular ... 17

Tabel 2.3 Indikasi Six Minute Walk Test……….. 26

Tabel 2.4 Skala Borg, skala angina dan dispnoe pada 6MWT………. 29

Tabel 2.5 Konversi hasil METs dengan Aktivitas Harian………. 32

Tabel 3.1 Rencana Jadwal Penelitian………. 44

Tabel 4.1 Karakteristik dasar subjek penelitian………. 46

Tabel 4.2 Karakteristik dasar subjek penelitian berdasarkan

keparahan PPOK dan disfungsi diastolik……….. 48

Tabel 4.3 Analisis I (Kategorik vs Kategorik)-Uji Silang Berganda… 49

Tabel 4.4 Analisis II (Kategorik vs Numerik) – uji Anova………….. 49

Tabel 4.5 Selisih nilai METs antara tiap kelompok………. 50

Tabel 4.6 Perbandingan kapasitas fungsional dengan keparahan

PPOK……… 51

Tabel 4.7 Perbandingan nilai kapasitas fungsional pada kelompok

(16)

DAFTAR SINGKATAN

6MWT : Six Minutes Walk Test

ACMS : American College of Sports Medicine AF : Atrial Fibrillation

ATS : American Thoraciq Society CD8 : Cluster of Differentiation 8 CPC : Cor Pulmonale Chronicum

ET : Endothelin

GM-CSF : Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor GOLD : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

HR : Heart Rate

ICAM : Intra Cellular Adhession Molecule IHD : Ischaemic Heart Disease

IL8 : Interleukin-8

INOS : inducible Nitric Oxyde Synthetase KVP : Kapasitas Vital Paksa

METs : Metabolic equivalents MMP : Matrix Metalloprotein NO : Nitrit Oxyde

PAH : Pulmonary Arterial Hypertension PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PJK : Penyakit Jantung Koroner

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronis

(17)

TIMP : Tissue Inhibitor Metalo Protease TLR : Toll-Like Receptor

TNFa : Tumor Necrosis Factor Alpha UAP : Unstable Angina Pectoris

VCAM : Vascular Cellular Adhession Molecule VEP1 : Volume Ekspirasi Paksa detik pertama WHO : World Health Organization

LAMBANG

% : persentase

< : lebih kecil

≤ : lebih kecil sama dengan

> : lebih besar

≥ : lebih besar sama dengan n : besar sampel

Zα : deviat baku alfa Zβ : deviat baku beta α : alfa

β : beta

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan komorbid utama pada PPOK dan mungkin penyakit yang paling sering dan paling penting bersamaan dengan PPOK.

Ada empat hal yang masuk kedalam penyakit kardivaskular yaitu: disfungsi ventrikel kanan, penyakit jantung iskemik (ischemic heart disease), aritmia dan gagal jantung (heart failure). Ada bukti bahwa penyakit jantung iskemik terabaikan dan tidak terdiagnosa pada penderita PPOK (GOLD, 2017).

Sekuele kardiovaskular dari PPOK telah diketahui selama beberapa dekade.

Spektrum penyakit kardiovaskular termasuk disfungsi ventrikel kanan, hipertensi pulmonal (HP), penyakit arteri koroner, aritmia dan gagal jantung. Penyakit pembuluh darah paru yang terkait dengan PPOK meningkatkan angka kesakitan dan memperburuk kelangsungan hidup. Penderita dengan PPOK juga meningkatkan resiko kematian yang disebabkan aritmia, infark miokard, atau gagal jantung kongestif dibandingkan dengan yang tidak menderita PPOK (Hunninghake, 2005). The Lung Health study menunjukkan bahwa sebagian besar kematian pada penderita PPOK ringan adalah akibat dari komplikasi kardiovaskular, dan sebuah penelitian epidemiologi yang besar baru-baru ini mengungkapkan peningkatan angka kematian kardiovaskular, terutama pada pasien usia dibawah 65 tahun dengan PPOK (Lung Health Study Resecarch Group, 2000).

Pada pasien PPOK yang mengalami komplikasi kardiovaskular berupa gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal, perburukan iskemia jantung dan gangguan irama jantung yang tidak ditangani secara adekuat pada akhirnya akan menjadi gagal jantung. Adanya PPOK disertai gagal jantung menimbulkan lingkaran setan pada kedua penyakit ini, dimana kedua kondisi ini akan saling memperburuk yang satu dengan lainnya. Estimasi prevalensi gagal jantung dengan PPOK lebih tinggi dibandingkan populasi dewasa secara umum dengan odds ratio 2.57 (Interval Kepercayaan 95%, 1.90-3.47; P < 0.0001) (Chen dkk, 2015).

(19)

Pasien dengan gagal jantung yang tergolong preserve ejection fraction (pEF) lebih mungkin memiliki riwayat PPOK debandingkan pasien gagal jantung dengan penurun fraksi ejeksi. Paradigma yang didapati pada pasien gagal jantung pEF didahului dngan status pro peradangan yang dipicu dengan berbagai komorbid, seperti PPOK, DM, HT dan kegemukan (Kubota Y dkk, 2016).

Beberapa penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa gagal jantung diastolik berkaitan dengan tingginya angka kesakitan dan kematian. Pasien dengan gagal jantung diastolik memiliki angka kematian 29% pada tahun pertama dan 65% pada 5 tahun. Abusaid dkk melakukan evaluasi terhadap pasien yang dirawat karena eksaserbasi PPOK dan disertai disfungsi diastolik, didapati bahwa disfungsi diastolik meningkatkan resiko rawat inap akibat eksaserbasi (Miranda L dkk, 2013) Pasien dengan diagnosa heart failure, dengan sebab apapun, menunjukkan kapasitas fungsional yang terganggu. Adanya perubahan patofisiologi pada salah dari system kardiovaskular, respirasi dan neomuskular mempengaruhi kapasitas fungsional dan memberi dampak buruk pada pasien dengan gagal jantung (Ross Arena et.al, 2014).

Penurunan nilai kapasitas fungsional berat didapati pada populasi pasien gagal jantung dan terlihat pada kombinasi keparahan penyakit dan gaya hidup yang menetap. Secara klinis, penurunan kapasitas fungsional dan kapasitas aerobik dianggap istilah yang sama.

Sangat jelas bahwa pasien dengan gagal jantung mengalami penurunan pada kekuatan otot dan kebugaran. Kemampuan mereka dalam menjalani aktivitas harian yang bersifat aerobik dan resistif mengalami penurunan, dan penurunan pada kegiatan aerobik dan kapasitas otot yang berkontribusi pada penurunan kapasitas fungsional (Ross Arena et.al, 2014).

Kapasitas fungsional adalah istilah luas yang menggambarkan kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas yang membutuhkan mengerahkan tenaga fisik. Integritas kardiovaskular, sistem pernapasan dan otot rangka adalah penentu kapasitas fungsional yang utama. Jika satu atau lebih sistem bermasalah maka kapasitas fungsional akan terpengaruh. Kapasitas fungsional yang menurun berarti

(20)

berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan tugas pekerjaan.

Ada beberapa modalitas yang tersedia untuk evaluasi objektif kapasitas latihan fungsional. Beberapa memberikan penilaian yang sangat lengkap dari semua sistem yang terlibat dalam kinerja latihan (teknologi tinggi), sedangkan yang lain memberikan informasi dasar tetapi berteknologi rendah dan lebih sederhana untuk dilakukan. Modalitas yang digunakan harus dipilih berdasarkan pertanyaan klinis untuk diatasi dan pada sumber daya yang tersedia. Tes latihan klinis yang paling populer dalam rangka meningkatkan kompleksitas adalah memanjat tangga, 6MWT, tes ulang-alik, deteksi asma akibat olahraga, tes stres jantung (mis., Protokol Bruce), dan kardio. tes latihan paru. Organisasi profesional lain telah menerbitkan standar untuk pengujian stres jantung (ATS Guideline: 6MWT, 2002).

Telah didapati penelitian yang mengaitkan antara kapasitas fungsional yang diukur melalui 6MWT pada populasi PPOK, antara lain penelitian yang menunjukkan penurunan signifikan nilai kapasitas fungsional pada populasi PPOK berat dibandingkan dengan populasi normal (Inal-Ince, 2005). Tetapi belum ada penelitian yang membandingkan nilai kapasitas fungsional pasien PPOK yang disertai gagal jantung dibandingkan dengan kapasitas fungsional pada pasien PPOK tanpa gagal jantung.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana perbandingan nilai kapasitas fungsional yang diukur dengan 6 minutes walk test pada pasien PPOK yang disertai disfungsi diastolik dibandingkan pasien PPOK tanpa disfungsi diastolik?

1.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan antara kapasitas fungsional yang diukur dengan 6 minutes walk test pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis yang disertai disfungsi diastolik dibandingan pasien PPOK tanpa disfungsi diastolik.

(21)

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbandingan nilai kapasitas fungsional pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis yang disertai dan tanpa disfungsi diastolik jantung.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui nilai kapasitas fungsional pada pasien-pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis

2. Untuk mengetahui nilai kapasitas fungsional pasa pasien-pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis yang disertai disfungsi diastolik

3. Untuk mengetahui perbandingan antara kapasitas fungsional dengan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronis.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Kepentingan Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah mengenai hubungan antara kapasitas fungsional dengan keparahan PPOK dan gagal jantung diastolik.

1.5.2 Kepentingan Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan tatalaksana dan dapat memperbaiki kualitas hidup.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik 2.1.1. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran udara yang persisten dan bersifat progresif, yang berhubungan dengan respons inflamasi kronik berlebihan pada saluran napas dan parenkim paru. Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK merupakan gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstuksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang menyebabkan munculnya gejala seperti sesak napas, batuk kronik dan produksi sputum (PDPI, 2016).

Panduan GOLD pada tahun 2018 mendefinisikan PPOK sebagai penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang menetap (persistent) yang biasanya progresif dan disertai peningkatan respon inflamasi yang kronik pada paru dan saluran pernapasan terhadap gas atau partikel yang berbahaya. Eksaserbasi dan komorbiditi mengakibatkan progresivitas keparahan pada penderita PPOK (GOLD, 2018).

2.1.2. Epidemiologi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyebab kematian nomor 4 di dunia, dan diperkirakan menjadi urutan ke 3 pada 2020. Lebih dari 3 juta orang meninggal akibat PPOK pada tahun 2012 atau 6% dari kematian global. PPOK menjelma menjadi tantangan utama pada bidang kesehatan, baik preventif maupun kuratif. PPOK menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian kronis di dunia. Banyak penderita PPOK menahun dan meninggal akibat komplikasi dari penyakit ini. Secara global, beban PPOK akan bertambah sesuai dengan tambahan paparan faktor risiko PPOK dan bertambahnya angka harapan hidup pada masyarakat (GOLD, 2017).

(23)

Laporan dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyebutkan bahwa pada tahun 2015, sedikitnya 4,5 – 5,5 % penduduk Indonesia merupakan penderita PPOK , dan angka ini bisa meningkat mencapai 7,2% di daerah pedesaan. World Health Organization (WHO) sendiri menyebutkan bahwa pada PPOK pada tahun 2013 tercatat sebagai penyebab kematian tertinggi ketujuh di Indonesia, dan diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menduduki urutan ketiga sebagai penyebab kematian di seluruh dunia (WHO, 2015).

2.1.3. Faktor Resiko

Faktor risiko untuk PPOK termasuk status merokok, faktor penderita dan pemaparan lingkungan. Pada 90% pasien PPOK, merokok tembakau merupakan faktor penyebab yang paling penting. Faktor penderita yang paling diketahui adalah defesiensi α-1 antitrypsin herediter yang jarang dan faktor risiko lingkungan yang paling penting adalah merokok pasif dan yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti pekerja tambang dan bekerja pada lingkungan yang berdebu. Terlepas dari inflamasi paru, inflamasi sistemik terjadi pada pasien- pasien PPOK, tidak berhubungan dengan status merokok dan tingkat penyakit.

Mekanisme kunci patogenesis pada paru adalah aktifasi makrofag dan infiltrasi bronkhial dengan granulosit. Sel-sel inflamasi ini melepas proteinase dan oksidan. Ketika terjadi ketidakseimbangan anti-proteinase dan konsumsi oksidan, memicu inflamasi pulmonal kronik dan fibrosis dari jalan nafas perifer (bronchiolitis kronik obstruktif) sebagaimana terjadinya destruksi parenkim paru, dan akhirnya menyebabkan emfisema dan hilangnya elastic recoil.

(GOLD, 2018) 2.1.4. Patogenesis

Inflamasi saluran napas pada pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respons inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme terjadinya amplifikasi ini belum sepenuhnya dimengerti dan diduga ikut dipengaruhi oleh faktor genetic. Inflamasi paru diperberat oleh stress oksidatif dan kelebihan enzim proteinase, yang mana kesemua abnormalitas ini menyebabkan terjadinya perubahan patologis pada PPOK (PDPI, 2016).

(24)

Inflamasi di paru terjadi pada semua orang yang merokok yang merupakan sebuah respon proteksi tubuh terhadap racun yang dihisap. Pada pasien dengan PPOK respon ini meningkat dan menyebabkan kerusakan jaringan, gangguan pada mekanisme pertahanan tubuh, dan menghambat mekanisme perbaikan dalam tubuh. Secara umum, inflamasi dan perubahan struktural di saluran pernapasan ini meningkat seiiring dengan keparahan penyakit dan menetap bahkan hingga saat berhenti merokok. Selain inflamasi, terdapat dua proses lainnya yang terlibat dalam pathogenesis PPOK yaitu ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease serta ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan di jaringan paru (MacNee, 2006).

Gambar 2.1 Patogenesis Pembentukan PPOK (MacNee, 2006)

Berbagai studi menemukan bahwa respon inflamasi paru terhadap pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi, dan adanya stress oksidatif yang disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau yang diaktifkan oleh sel inflamasi itu sendiri. Peningkatan jumlah limfosit T yang didomisasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal (Agustí, 2007).

Makrofag yang diaktifkan asap rokok dan zat iritan lainnya akan melepaskan neutrofil, IL8 dan TNFa yang kembali menstimulasi makrofag dan neutrofil untuk mengeluarkan zat-zat protease seperti neutrofil elastase, capthesin dan Matriks Metalo Protease (MMP) yang merusak dinding alveoli,

(25)

jaringan penunjang pada parenkhim paru dan juga menstimuli terjadinya hipersekresi mukus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel epitel di saluran pernapasan untuk mengaktifkan T limfosit CD8 yang dapat langsung membuat kerusakan pada dinding alveoli dan juga mensekresikan mediator inflamasi seperti TNFa. (Barnes, Shapiro, & Pauwels, 2003).

Sel epitel yang terpajan asap rokok akan menyebabkan peningkatan aktivitas fibroblas sehingga menyebabkan terjadinya fibrosis. Fibroblas akan diaktivasi oleh Growth Faktor yang dilepaskan oleh makrofag dan sel epitel.

Enzim-enzim ini pada kondisi normal akan diatasi oleh protease inhibitor, termasuk alpha 1 antitripsin, SLPI dan Tissue Inhibitor Metalo Protease (TIMP).

Ketidakseimbangan proteinase-antiproteinase yang dijumpai pada pasien PPOK menyebabkan aktivitas enzim tersebut menjadi sangat destruktif dan mengakibatkan perubahan pada parenkim paru (GOLD, 2017; Tarigan, 2013).

Kesemua sel-sel inflamasi yang telah disebutkan di atas akan mensekresikan mediator inflamasi yang menyebabkan aktivitas inflamasi di saluran napas dan parenkim paru menjadi sangat tinggi. Beberapa mediator inflamasi yang terlibat adalah:

a. Lipid Mediator : Protanoid, Leukotrin, Platelet Activating faktor b. Peptide Mediator: Endotelin, Bradikinin, Tachykinin, Komplemen c. Kemokin : IL 8, GROa, GROß, MCP 1, MIP-1ß

d. Sitokin : TNFa, IL 1, IL 6, IL 9 , GM-CSF, IL 10, IL 12, IL 13, IL 17 dan

e. Protease : Neutrofil elastase,Cathepsin, Protease 3, MMPs f. Growth Faktor : TGFß, EGF

g. Mediator lainnya seperti interferon gamma, Reactive Oxygen Species dan Nitric Oxide (Barnes et al., 2003; Tarigan, 2013)

(26)

Gambar 2.2 Patogenesis PPOK (Sultan, 2016)

Respon inflamasi kronik ini tidak hanya mengenai saluran napas dan parenkim paru, namun juga melibatkan perubahan pada vaskular paru, merubah struktur jaringan pembuluh darah, disfungsi endotel, hilangnya elastisitas dan fungsi kapiler yang pada akhirnya menyebabkan hipertensi pulmonal. Tingkat peradangan, fibrosis dan volume eksudat di dalam lumen bronkiolus berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio pebandingan FEV1 dengan Force Vital Capacity (FEV1/FVC). Penurunan FEV1 merupakan tanda khas pada PPOK akibat terperangkapnya udara dan hiperinflasi paru. Obstruksi jalan napas perifer menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi sehingga pada akhirnya mengakibatkan retensi karbon dioksida (Spurzem, 2005; MacNee, 2006).

2.1.5. Penegakan diagnosis

Diagnosa klinis harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan sesak nafas, batuk kronis atau produksi sputum, dan atau riwayat paparan

(27)

terhadap faktor resiko penyakit. Spirometri dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis pada konteks klinis tersebut. Adanya volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1)/ kavasitas vital paksa (KVP) < 0,7 setelah diberikan bronkodilator mengkonfirmasi adanya obstruksi saluran napas dan menegakkan diagnosis PPOK (GOLD, 2018).

Sesak napas merupakan gejala cardinal pada PPOK dan gejala yang sering menyebabkan kecemasan pada pasien. Batuk kronis merupakan gejala yang paling awal terjadi. Mulanya batuk bersifat intermiten namun seiring dengan keparahan penyakit, batuk akan muncul setiap hari dan bersifat produktif. Produksi sputum regular dalam 3 atau 4 bulan selama 2 tahun berturut-turut tanpa adanya kondisi lain yang menyebabkannya merupakan definisi klasik dari bronchitis kronis. Suara napas mengi merupakan suatu tanda adanya obstruksi dan dapat terdengar tanpa menggunakan stetoskop (GOLD, 2018).

3.

Gambar 2.3 Langkah – Langkah Diagnosis PPOK ( GOLD, 2018)

Spirometri adalah suatu teknik pemeriksaan untuk mengetahui fungsi/faal paru, di mana pasien diminta untuk meniup sekuat-kuatnya melalui suatu alat yang dihubungkan dengan mesin spirometer yang secara otomatis akan menghitung kekuatan, kecepatan dan volume udara yang dikeluarkan, sehingga dengan demikian dapat diketahui kondisi faal paru pasien. Spirometri merupakan pemeriksaan keterbatasan saluran nafas yang objektif. Pengukuran aliran puncak ekspirasi tersendiri bukan hanya tes diagnostik, sensitifitasnya

Gejala : Sesak napas Batuk kronis

sputum

Faktor resiko : Faktor individu

Rokok Pekerjaan

polusi

Spirometri : untuk penegakan diagnosis

(28)

Pada spirometri terdapat dua macam kapasitas vital paru berdasarkan cara pengukurannya, yaitu kapasitas vital (KV) dengan subjek tidak perlu melakukan aktivitas pernapasan dengan kekuatan penuh dan KVP, subjek melakukan aktivitas pernapasan dengan kekuatan maksimal. Pada orang normal tidak ada perbedaan antara FVC dan KV, sedangkan pada kelainan obstruksi terdapat perbedaan antara KV dan KVP. Volum Ekspirasi Paksa pada detik pertama (VEP1) merupakan besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi pertama pada orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai KV. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan pada nilai absolutnya tetapi pada perbandingan nilai VEP1 dengan KVP. Nilai batas rasio VEP1/KVP (cut off point) 0.7 dan dievaluasi dengan nilai referensi sesuai usia, tinggi, seks, dan ras. Spirometri dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis dalam konteks klinis; dengan hasil pasca pemberian bronkodilator VEP1/KVP <0.70 diyakini terdapat penyempitan saluran nafas yang persisten dan PPOK (GOLD, 2018)).

Kriteria tersebut sangat simpel, independen terhadap nilai yang telah ditentukan, dan telah dipakai dalam studi-studi yang cukup banyak. Ketika penggunaan spirometri pasca pemberian bronkodilator untuk menegakkan diagnosa dan penilaian berat PPOK, tingkat kekambuhan keterbatasan saluran nafas (contoh mengukur VEP1 sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator atau kortikosteroid) tidak lagi direkomendasikan. Angka kekambuhan tidak pernah ditunjukkan untuk menambah diagnosis, diagnosis banding dengan asma, atau memprediksi respon pemakaian obat jangka panjang dengan bronkodilator atau kortikosteroid. Berdasarkan panduan dari GOLD tahun 2018 tingkat keparahan PPOK berdasarkan penilaian spirometri diklasifikasikan sebagai berikut (GOLD, 2018):

(29)

Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK Berdasarkan Spirometri (GOLD, 2018)

2.1.6. Inflamasi Sistemik pada Penderita PPOK

PPOK didefinisikan sebagai suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang mengakibatkan efek ekstrapulmonal yang signifikan. Terjadinya efek ekstrapulmonal ini merupakan efek dari inflamasi yang beredar sistemik.

PPOK telah terbukti memberikan dampak inflamasi sistemik terhadap berbagai organ tubuh. Banyak teori yang mencoba menjelaskan mekanisme terjadinya inflamasi sistemik pada PPOK ini, meskipun sampai saat ini belum ada mekanisme yang benar-benar disepakati untuk dapat menjelaskan terjadinya inflamasi sistemik ini.

Mekanisme pertama adalah bahwa inflamasi yang terjadi di jalan napas dan parenkim paru mengalami spill-over (tumpah) dan beredar secara sistemik melalui sirkulasi darah mengakibatkan inflamasi di berbagai jaringan lain. Akan tetapi teori ini tidak didukung dengan fakta bahwa ternyata jumlah neutrofil sputum tidak berbanding lurus dengan jumlah neutrofil darah. Selain itu konsentrasi sitokin pro-inflamasi paru seperti TNF-a dan IL-8 tidak menunjukkan korelasi yang sebanding dengan konsentrasi sitokin pro-inflamasi tersebut di dalam darah (Agustí, 2007).

Mekanisme lain yang mencoba menjelaskan keadaan ini adalah bahwa inflamasi sistemik ini terjadi karena efek merokok dan paparan asap itu sendiri.

Teori ini cukup masuk akal karena merokok telah terbukti mencetuskan inflamasi dan berkaitan dengan aterosklerosis. Bahkan pada perokok pasif sekalipun, terjadi peningkatan penanda stres oksidatif dan disfungsi endotel

(30)

pembuluh darah. Namun ternyata pada pasien yang sudah berhenti merokok, tetap terjadi proses inflamasi. Artinya teori ini hanya mampu menjelaskan awal mula terjadinya inflamasi, tetapi tidak menjelaskan mengapa proses inflamasi tersebut tetap bertahan (Agustí, 2007).

Selain disebabkan oleh dua mekanisme di atas, terjadinya inflamasi sistemik ini juga diduga disebabkan oleh keadaan hipoksemia dan hiperinflasi paru yang terjadi pada pasien PPOK. Pendapat ini didukung dengan temuan hasil penelitian bahwa derajat hipoksemia ternyata berbanding lurus dengan kadar IL-6 dan TNF alfa. Studi lain menyebutkan bahwa keadaan hiperinflasi dinamis terjadi seiring dengan peningkatan kadar TNF alfa, IL-8, IL-6 dan IL-1b (Bailey, Goraya, & Rennard, 2011).

Inflamasi sistemik yang terjadi pada pasien PPOK akan semakin memberat saat terjadi eksaserbasi PPOK. Studi menemukan bahwa kadar sitokin pro-inflamasi mengalami peningkatan signifikan selama periode eksaserbasi, diantaranya CRP, IL-8, TNF alfa, leptin, endothelin-1, IL-6, dan lain lain. Efek sistemik yang ditimbulkan oleh eksaserbasi ini dicetuskan oleh adanya infeksi mikroba yang menginduksi migrasi sel inflamasi akibat adanya Toll-Like Receptor (TLR). Sebagai akibtanya, leukosit akan mengalami adhesi ke endotel vaskular kemudian beredar secara sistemik (Wouters, Groenewegen, Dentener,

& Vernooy, 2007).

Inflamasi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK diperantarai oleh berbagai mediator, termasuk sel-sel inflamasi, sitokin pro-inflamasi, stress oksidatif dan faktor pertumbuhan. Sel neutrofil telah terbukti mengalami gangguan fungsi pada penderita PPOK dimana neutrophil akan menghasilkan lebih banyak spesies oksigen reaktif yang berakibat pada peningkatan respons kemotaktik, peningkatan kemampuan penghancuran jaringan ikat, dan peningkatan ekspresi molekul adhesi di pemukaan sel. Selain itu pada perokok yang mengalami PPOK, masa hidup makrofag yang harusnya berkisar beberapa bulan menjadi jauh lebih panjang hingga lebih dari 2 tahun. Selain itu, terjadi peningkatan kadar IL-6 pada pasien PPOK yang mana kadarnya akan semakin meningkat dalam keadaan eksaserbasi. IL-6 akan mengaktivasi protein fase akut

(31)

dari hepar seperti CRP yang semakin memperberat keadaan inflamasi (Bailey et al., 2011).

Gambar 2.4 Inflamasi sistemik pada PPOK (Agustí, 2007)

Beberapa penyakit maupun sistem organ yang mengalami dampak akibat inflamasi sistemik yang terjadi pada PPOK diantaranya:

a. Sistem Kardiovaskular

Inflamasi sistemik yang terjadi akibat PPOK akan memicu terjadinya disfungsi endotel dan menjadi faktor resiko aterosklerosis. Studi membuktikan bahwa angka mortalitas meningkat pada perokok yang menderita PPOK dibandingkan perokok yang tidak menderita PPOK (Sin &

Man, 2005) . b. Kanker paru

Studi menyebutkan bahwa paerokok yang menderita PPOK memliki resiko 4 kali lebih besar untuk menderita kanker paru dibandingkan perokok yang tidak menderita PPOK. Diduga inflamasi sistemik turut berperan sebagai promotor terjadinya kanker paru dimana terjadi peningkatan aktivitas NF-K beta yang tidak hanya sebagai promoter kanker, tetapi juga menginduksi angiogenesis dan metastasis (Bailey et al., 2011).

c. Osteoporosis

Penurunan berat badan DIsfungsi otot skeletal Penyakit kardiovaskular Osteoporosis

Depresi & kelelahan Kanker

Efek sistemik PPOK

Inflamasi sistemik

Gejala Intoleransi

HRQL, Eksaserbasi

Prognosis

Inflamasi jalan napas

(32)

Studi TORCH (Towards a Revolution in COPD Health) menunjukkan bahwa lebih dari setengah penderita PPOK mengalami osteopenia dan osteoporosis.. Bahkan pada penderita PPOK berat angka kejadian osteoporosis mencapai 75%. Diduga hal ini terjadi akibat peningkatan kadar IL-1, IL-6 dan TNF-alfa yang akan meningkatkan aktivitas osteoklas dan resorpsi tulang pada penderita PPOK. Penggunaan kortikosteroid sistemik juga akan semakin memperberat kejadian osteoporosis (Ferguson et al., 2009).

d. Diabetes mellitus

Penderita PPOK mengalami resiko 2 kali lebih besar menderita diabetes mellitus. Hal ini dibuktikan dengan kejadian resistansi insulin yang terjadi seiringan dengan peningkatan kadar IL-6 dan TNF-alfa. Penggunaan kortikosteroid inhalasi pada pasien PPOK juga ternyata meningkatakan resiko PPOK sebanyak 34% terutama jenis kortikosteroid fluticasone inhalasi pada dosis lebih dari 1.000 mikrogram per hari (Bolton et al., 2007) e. Disfungsi otot dan penurunan berat badan

Sekitar 50% penderita PPOK berat mengalami penurunan berat badan, sementara pada PPOK ringan-sedang, penurunan berat badan terjadi pada 10-15%. Penurunan berat badan ini tidak berhubungan dengan penurunan asupan kalori, karena ternyata kebanyakan penderita PPOK stabil mendapatkan asupan kalori yang relatif cukup. Penurunan berat badan ini lebih dikarenakan atrofi otot skeletal, yang terjadi akibat aktivitas TNF-alfa dan NF-K beta yang menginduksi inducible Nitric Oxyde Synthetase (iNOS) dan menyebabkan terjadinya degradasi myosin pada filamen otot (Bailey et al., 2011).

2.2. Kelainan jantung akibat PPOK

Penyakit kardiovaskular merupakan komorbid utama pada PPOK dan mungkin penyakit yang paling sering dan paling penting bersamaan dengan PPOK.

Ada empat hal yang masuk kedalam penyakit kardivaskular yaitu: disfungsi ventrikel kanan, penyakit jantung iskemik (ischemic heart disease), aritmia dan

(33)

gagal jantung. Ada bukti bahwa penyakit jantung iskemik terabaikan dan tidak terdiagnosa pada penderita PPOK. (GOLD, 2017)

Sekuele kardiovaskular dari PPOK telah diketahui selama beberapa dekade.

Spektrum penyakit kardiovaskular termasuk disfungsi ventrikel kanan, hipertensi pulmonal (HP), penyakit arteri koroner, aritmia dan gagal jantung. Penyakit pembuluh darah paru yang terkait dengan PPOK meningkatkan angka kesakitan dan memperburuk kelangsungan hidup. Penderita dengan PPOK juga meningkatkan resiko kematian yang disebabkan aritmia, infark miokard, atau gagal jantung kongestif dibandingkan dengan yang tidak menderita PPOK (Hunninghake, 2005). The Lung Health study menunjukkan bahwa sebagian besar kematian pada penderita PPOK ringan adalah akibat dari komplikasi kardiovaskular, dan sebuah penelitian epidemiologi yang besar baru-baru ini mengungkapkan peningkatan angka kematian kardiovaskular, terutama pada pasien usia dibawah 65 tahun dengan PPOK (Lung Health Study Resecarch Group, 2000). Karena kelainan jantung jelas berkontribusi terhadap seluruh angka kesakitan yang berkaitan dengan PPOK.

PPOK dan gagal jantung sering bersamaan pada praktek klinis. Kedua kondisi ini memperlihatkan faktor risiko merokok, usia lanjut, dan inflamasi sistemik. Angka kejadian PPOK diantara penderita gagal jantung berkisar 20-32%, dan 10% penderita gagal jantung yang dirawat inap juga menderita PPOK. Pada sisi yang berlawanan, angka kejadian gagal jantung lebih dari 20% penderita PPOK.

Selain itu, risiko terjadinya gagal jantung diantara penderita PPOK 4.5 kali lebih besar dari pada tanpa penyakit PPOK, sesuai usia dan faktor risiko kardiovaskular.

Gejala dan tanda fisik dari PPOK dan gagal jantung dapat bersamaan. Lelah dan sesak nafas saat aktivitas merupakan gejala yang sering pada kedua kondisi tersebut, dan hal itu bisa mengakibatkan tanda intoleransi aktivitas. Bagaimanapun, sesak nafas akut atau ortopnoe, batuk malam hari, sesak saat malam hari, mudah lelah, dan penurunan toleransi latihan tanpa adanya eksaserbasi infeksi pada PPOK meningkatkan diagnose gagal jantung.

(34)

Tabel 2.2 Pengaruh PPOK terhadap Sistem Kardiovaskular (Klinger, 1991)

(35)

Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat lagi memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah balik masih dalam keadaan normal. Dengan kata lain, gagal jantung merupakan suatu ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward failure) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau keduanya.

Tingginya tekanan pengisian jantung dapat dilakukan dengan menilai fungsi diastolik dari ventrikel kiri. Teknik yang paling sederhana untuk menentukan disfungsi diastolik dengan menggunakan modalitas echocardiography.

2.2.1. Disfungsi diastolik

Disfungsi diastolik ventrikel kiri merupakan perubahan awal yang sering terjadi pada berbagai penyakit kardiovaskular. Diantaranya pada penyakit jantung hipertensi, diabetes dan hipertrofi kardiomiopati. Banyak pasien yang bergejala gagal jantung kongestif, tetapi memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri normal, dan gejala ini disebabkan oleh disfungsi diastolik ventrikel kiri.

Kelompok pasien ini disebut memiliki gagal jantung diastolik (Yanni M, 2019).

Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa disfungsi diastolik ventrikel kiri berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Strong Heart Study (SHS) menunjukkan bahwa rasio diastolik awal mitral dengan pengisian akhir ventrikel kiri (E/A) > 1,5 (tekanan pengisian ventrikel kiri yang tinggi), berhubungan dengan peningkatan 2 sampai 3 kali lipat semua penyebab dan mortalitas jantung, sedangkan dengan nilai E/A mitral

< 0,6 dihubungkan dengan 2 kali lipat peningkatan semua penyebab dan mortalitas jantung. Pada penelitian kohort oleh Kane et al (2012) ditemukan peningkatan prevalensi disfungsi diastolik selama 4 tahun dan disfungsi diastolik ini dihubungkan dengan peningkatan insidensi gagal jantung selama 6 tahun.

Ekokardiografi sendiri merupakan alat standar untuk mengukur fungsi diastolik karena aksesibilitasnya yang luas, resolusi temporal yang tinggi, dan

(36)

istirahat dapat sangat berbeda dengan toleransi latihan dan severitas gejala gagal jantung. Oleh karena itu intoleransi latihan mempunyai implikasi diagnostik yang bermakna. Memperoleh data ekokardiografi di saat aktifitas diperlukan untuk menilai disfungsi diastolik sebenarnya yang berhubungan dengan keluhan sesak napas pasien.

Diastolik ventrikel kiri dapat didefinisikan sebagai fase yang terlihat pada siklus jantung setelah penutupan katup aorta. Selama interval waktu ini, ventrikel menerima darah dari atrium kiri sebelum ejeksi. Diastolik mempunyai empat fase; fase relaksasi isovolumetrik (isovolumetric relaxation/IVR), fase pengisian cepat awal, diastasis, dan fase pengisian lanjut karena sistol atrium.

Selama fase IVR, tekanan ventrikel kiri (left ventricle, LV) menurun dengan cepat karena penutupan katup aorta, dan ketika tekanan ini turun di bawah tekanan atrium kiri (left atrial pressure, LAP), katup mitral terbuka, sehingga mengakhiri fase IVR. Dengan pembukaan katup mitral, ada pengisian cepat awal dari atrium kiri (left atrium, LA) ke LV. Pada orang sehat yang normal, selama bagian awal pengeluaran ini, sekitar 70%-80% darah dikosongkan dari LA secara pasif. Sisa 20%-30% dikosongkan oleh kontraksi aktif LA selama sistol atrium. Interval antara dua fase pengosongan ini disebut diastasis (pemerataan tekanan antar ruang), dimana ada sedikit pergerakan darah antara LA dan LV dan dimana katup mitral tetap dalam posisi setengah terbuka. Segera setelah kontraksi atrium, katup mitral menutup karena penurunan tekanan yang cepat di LA pada akhir diastol, membuka jalan bagi katup aorta untuk terbuka. Fase singkat ini setelah penutupan katup mitral dan sebelum pembukaan katup aorta disebut kontraksi isovolumetrik, yang mengawali onset sistolik LV.

Pada ekokardiografi Doppler transthorakal standar, dua fase diastolik utama dapat ditentukan yaitu; kecepatan gelombang mitral E (pengisian awal) dan A (pengisian akhir), dengan menempatkan volume sampel Doppler pulsed- wave (PW) antara ujung katup mitral dengan kursor sejajar dengan aliran darah.

Sinyal Doppler dapat dianalisa lebih baik, ketika menggunakan kecepatan sapuan 100 m/s atau lebih. Kecepatan sapuan lebih lambat mungkin digunakan dalam irama jantung yang tidak teratur, seperti pada atrial fibrilasi atau ketika

(37)

ada banyak denyut ektopik. Dalam praktek rutin, penilaian fungsi diastolik LV harus mencakup; pengambilan sampel Doppler darah pada ujung katup mitral, pencitraan Doppler jaringan (Tissue Doppler Imaging, TDI) pada anulus mitral (Gambar 2), pengukuran volume LA dan pengukuran regurgitasi trikuspid (untuk memperkirakan tekanan arteri pulmonalis). Dengan menggunakan parameter ekokardiografi seperti kecepatan E-mitral, e’ pada annulus mitral, rasio E/e’, volume LA dan tekanan sistolik arteri pulmonalis (pulmonary artery sistolic pressure, PASP), diagnosis disfungsi diastolik dapat ditegakkan dan tekanan pengisian LV dapat diperkirakan. Grading disfungsi diastolik LV dilakukan dengan mengambil pendekatan integratif menggunakan beberapa parameter Doppler darah dan TDI, yang kadang-kadang mungkin memerlukan pengukuran kecepatan Doppler vena pulmonalis juga.

Gambar 2.5. Doppler pola aliran mitral dengan E/A >1 dan TDI dengan kecepatan e’ lateral normal

Penilaian Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri Terdapat beberapa variabel yang harus dievaluasi ketika menentukan apakah fungsi diastolik LV normal atau abnormal. Pada fraksi ejeksi ventrikel kiri (left ventricle ejection fraction, LVEF) yang normal, empat variabel yang direkomendasikan beserta nilai cutoff abnormalnya adalah:

a. Kecepatan e’ annular (septal e’ < 7 cm/detik, lateral e’ < 10 cm/detik) b. Rasio E/e’ rata-rata > 14

c. LA indeks volume maksimal >34 ml/m2

(38)

Pada Gambar 2.6 terlihat apabila terdapat 50% kriteria tersebut maka sudah bisa ditentukan mengalami disfungsi diastolik. Akan tetapi jika hanya terdapat 50% kriteria yang positif, maka fungsi diastolik belum dapat ditentukan.8 Dikarenakan pasien dengan LVEF yang menurun (Heart failure with reduced ejection fraction, HFrEF) juga mempunyai gangguan fungsi diastolik, evaluasinya mempunyai fokus yang berbeda dari LVEF normal. Pada kondisi ini terdapat variabel tambahan yaitu rasio E/A dan kecepatan puncak E.

Pada Gambar 2.7 terlihat jika pola aliran mitral E/A ≤0,8 dan kecepatan puncak E ≤50 cm/s, tekanan atrium kiri (left atrial pressure, LAP) normal atau rendah dan berhubungan dengan disfungsi diastolik tingkat I. Jika rasio E/A ≥2, LAP meningkat dan terdapat disfungsi diastolik tingkat III. Jika E/A ≤ 0,8 dan E

>50 cm/sec atau jika E/A >0,8 tetapi <2, diperlukan evaluasi lain yaitu kecepatan puncak regurgitasi trikuspid, rasio E/e’, indeks volume atrium kiri (left atrium volume index, LAVI). Jika 2 dari 3 atau 3 dari 3 kriteria negatif, maka LAP nya normal dan termasuk disfugsi diastolik tingkat I. Atau jika hanya terdapat 2 kriteria dan jika 2 dari 2 kriteria tersebut negatif, maka juga termasuk ke dalam disfungsi diastolik tingkat I. Jika dua dari tiga kriteria tersebut atau tiga dari tiga kriteria positif atau dua dari dua kriteria yang positif, maka termasuk dalam kategori LAP meningkat dan disfungsi diastolik tingkat II. Dari algoritma di atas, dijelaskan bahwa LAP normal dan disfungsi diastolik tingkat I yang mempunyai gejala dapat dipertimbangkan untuk dilakukan Diastolic Stress Test.

(39)

Gambar 2.6. Algoritma diagnosis disfungsi diastolik LV pada subjek dengan LVEF normal

Gambar 2.7. Algoritma estimasi tekanan pengisian LV dan grading fungsi diastolik LV pada HFrEF dan pasien dengan penyakit miokardial dan LVEF normal

Oh et al menyebutkan bahwa disfungsi diastolik tingkat I terjadi karena adanya keterlambatan relaksasi, tingkat III terjadi kekakuan saat pengisian pada fase diastolik awal yang disebut juga dengan pola pengisian restriktif. Di antara

(40)

keduanya, yaitu terdapat keterlambatan relaksasi dan peningkatan tekanan pengisian dikategorikan sebagai disfungsi diastolik grade II yang juga disebut sebagai pola pseudonormal (Yanni M, 2019)

2.3. Kapasitas fungsional

Kapasitas fungsional adalah istilah luas yang menggambarkan kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas yang membutuhkan mengerahkan tenaga fisik. Integritas kardiovaskular, sistem pernapasan dan otot rangka adalah penentu kapasitas fungsional yang utama. Jika satu atau lebih sistem bermasalah maka kapasitas fungsional akan terpengaruh. Kapasitas fungsional yang menurun berarti berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan tugas pekerjaan.

Ada beberapa modalitas yang tersedia untuk evaluasi objektif kapasitas latihan fungsional. Beberapa memberikan penilaian yang sangat lengkap dari semua sistem yang terlibat dalam kinerja latihan (teknologi tinggi), sedangkan yang lain memberikan informasi dasar tetapi berteknologi rendah dan lebih sederhana untuk dilakukan. Modalitas yang digunakan harus dipilih berdasarkan pertanyaan klinis untuk diatasi dan pada sumber daya yang tersedia. Tes latihan klinis yang paling populer dalam rangka meningkatkan kompleksitas adalah memanjat tangga, 6MWT, tes ulang-alik, deteksi asma akibat olahraga, tes stres jantung (mis., Protokol Bruce), dan kardio. tes latihan paru. Organisasi profesional lain telah menerbitkan standar untuk pengujian stres jantung (ATS Guideline: 6MWT, 2002).

2.4. 6-Minute Walk Test (6MWT) 2.4.1 Definisi

Six minute walk test merupakan uji latih jantung yang paling sering digunakan dalam menilai kapasitas fungsional seseorang, pengukuran respon terapi, bahkan bermanfaat dalam memprediksi morbiditas dan mortalitas.

Keunggulan uji latih jantung ini sangat sederhana, tidak memerlukan biaya serta fasilitas yang memadai namun hasil yang akurat dan validitas yang tinggi (Bitter, 1999).

(41)

Six Minute walk Test (6MWT) adalah suatu bentuk uji latih jantung submaksimal dengan cara mengukur jarak yang dapat ditempuh seseorang yang berjalan pada bidang datar yang keras selama 6 menit sebagai refleksi dari kapasitas fungsionalnya (Bitter, 1999; ATS, 2002).

Penilaian kapasitas fungsional secara tradisional dilakukan hanya dengan bertanya kepada pasien tentang berapa anak tangga yang dapat kamu panjat atau berapa blok yang dapat kamu jalani. Namun, jawaban pasien bervariasi dan mungkin tidak tepat. Karena itu diperlukan adanya pengukuran yang objektif.

Pada awal 1960, Balke mengembangkan uji sederhana untuk mengevaluasi kapasitas fungsional dengan mengukur jarak tempuh dengan berjalan terhadap periode waktu tertentu. Kemudian dikembangkan uji selama 12 menit. Uji ini juga diperuntukkan bagi pasien dengan bronchitis kronis (McGavin, 1976).

Namun uji latih selama 12 menit sangat melelahkan bagi pasien, sehingga dipersingkat menjadi 6 menit (Butland, 1982).

Dengan penelitian lebih lanjut disimpulkan bahwa 6MWT mudah dilakukan, lebih dapat ditoleransi, dan lebih menggambarkan aktivitas sehari-hari daripada uji latih berjalan lainnya (Solway, 2001).

6MWT merupakan tes sederhana yang praktis yang memerlukan jalur sepanjang 100 kaki (30 meter), tidak memerlukan peralatan latihan yang rumit maupun tenaga pegawas yang sarat pengalaman dan latihan khusus. Berjalan adalah aktivitas yang dilakukan harian orang setiap orang, namun dapat menjadi terganggu pada orang sakit. Tes ini pada prinsipnya mengukur jarak yang dapat ditempuh pasien dengan berjalan pada jalur datar dan permukaan keras dalam waktu 6 menit. Tes ini secara keseluruhan mengevaluasi respon semua sistem organ yang terlibat selama latihan termasuk sistem paru, jantung dan sirkulasi, darah, neuromuskular dan metabolisme otot. Tes ini tidak memberikan informasi spesifik mengenai fungsi tiap organ yang terlibat ataupun mekanisme terjadinya keterbatasan aktifitas, yang mana hal ini dapat dihasilkan dari uji latihan sistem kardiopulmonal yang maksimal. Uji ini mengevaluasi pada tingkat submaksimal dari kapasitas fungsional. Hampir seluruh pasien tidak mencapai kapasitas latihan

(42)

latihan mereka sendiri dan diperbolehkan untuk berhenti dan istirahat selama uji berlangsung. Namun, karena hampir seluruh aktivitas harian dilakukan pada kecepatan submaksimal, uji ini sangat baik dalam menggambarkan tingkat kapasitas fungsional pasien (Perk, 2012; Piepoli, 2010).

2.4.2 Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi utama 6MWT adalah untuk mengukur respon pasien terhadap pengobatan pada keadaan penyakit jantung atau paru tingkat sedang maupun berat. Tes ini juga telah digunakan sebagai pengukuran tunggal kapasitas fungsional pasien sebagai prediktor untuk morbiditas dan mortalitas . Pada kenyataannya tes ini tidak membuktikan sebagai tes terbaik untuk menentukan kapasitas fungsional ataupun perubahannya akibat pengobatan pada kasus-kasus tersebut (Bitter, 2007; Lavie, 2009; Du, 2009).

Uji latih jantung maksimal/formal memberikan informasi tentang respon latihan, gangguan kapasitas latihan, menentukan intensitas yang diperlukan untuk memperpanjang latihan, menilai faktor-faktor yang menyebabkan keterbatasan latihan, dan menjelaskan mekanisme patofisiologi yang mendasari keterbatasan tersebut misalnya organ apa yang terlibat. 6MWT tidak menilai pengambilan oksigen puncak, penyebab sesak napas pada saat aktivitas, atau mengevaluasi penyebab keterbatasan latihan. Hasil atau informasi yang didapat dari 6MWT harus dipertimbangkan sebagai pelengkap dan bukan pengganti uji latih jantung maksimal/formal. Meskipun didapati perbedaan mendasar dari kedua tes ini, beberapa penelitian mengenai korelasi antara keduanya telah dilaporkan.

Misalnya, korelasi signifikan antara 6MWT dan pengambilan oksigen puncak telah dilaporkan pada penderita penyakit paru stadium akhir(Crapo, 2002).

Pada beberapa keadaan klinis tertentu, 6MWT memberikan informasi yang lebih baik terhadap index kemampuan penderita untuk melakukan aktifitas harian dibandingkan pengambilan oksigen puncak. 6MWT berkorelasi lebih baik dengan pengukuran kualitas hidup. Perubahan pada 6MWT setelah mendapat pengobatan berkorelasi dengan perbaikan dyspnea secara subjektif. Reprodubilitas 6MWT lebih baik daripada reprodubilitas uji kapasitas ekspirasi paksa detik

(43)

pertama pada pasien COPD (koefisien reprodubilitas 8%). Penilaian kapasitas fungsional tes ini lebih baik dibandingkan dengan penilaian dengan kuisoner (Bitter, 2007).

Menurut pernyataan dari American Thoracic Society (ATS) kontraindikasi absolut tes ini adalah angina tidak stabil (UAP) dan infark miokardium akut.

Kontraindikasi relatif adalah denyut jantung (HR) saat istirahat lebih dari 120 kali permenit, tekanan darah sistolik lebih dari 180 mmHg, dan diastolik lebih dari 100 mmHg. Pasien dengan kelainan seperti ini harus dirujuk kepada dokter ahli untuk mengawasi tes tersebut. Hasil dari EKG saat istirahat dari 6 bulan sebelumnya harus dievaluasi. Angina eksersional yang stabil bukan merupakan kontraindikasi absolut uji ini, namun uji dilakukan setelah pasien mengkonsumsi obat antiangina, dan harus tersedia nitrat untuk keadaan darurat(Morales, 2000).

Pasien dengan faktor resiko diatas dikatakan mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya aritmia atau masalah kardiovaskular selama menjalani tes.

Kontraindikasi ini telah digunakan oleh para peneliti berdasarkan keinginan mereka untuk keamanan dan keinginan untuk mencegah kemungkinan buruk pada penderita saat melakukan 6MWT. Kapan terjadinya risiko tersebut belum diketahui sehingga risiko-risiko tersebut menjadi relatif (Lavie, 2009).

Tabel 2.3 : Indikasi Six Minute Walk Test Membandingkan sebelum dan sesudah terapi

- Transplantasi paru - Reseksi paru

- Operasi reduksi volum paru - Rehabilitasi paru

- PPOK

- Hipertensi pulmonal - Gagal jantung

Status Fungsional (single measurement) - PPOK

- Kista fibrosiss

(44)

- Gagal jantung

- Penyakit arteri perifer - Fibromyalgia

- Pasien orang tua

Memprediksi morbiditas dan mortalitas - Gagal jantung

- PPOK

- Hipertensi pulmonal primer

2.4.3 Teknik dan Metode Pengerjaan Lokasi

Tes ini hendaknya dilakukan dalam ruangan tertutup, dilakukan pada koridor yang panjang, datar dan lurus dengan permukaan yang keras dan jarang dilalui orang. Menurut beberapa pusat rehabilitasi jantung, tes ini dapat dilakukan di ruang terbuka jika cuaca dalam keadaan baik. Panjang rute jalan setidaknya 30 meter (100 kaki). Tiap 3 meter dari koridor hendaknya diberi tanda. Titik putaran biasanya ditandai dengan kerucut jingga. Titik awal yang menandakan permulaan dan akhir yang mempunyai jarak 60 meter hendaknya ditandai dengan warna cerah (Crapo, 2002).

Gambar 2.8 Skematis tempat pelaksanaan 6MWT(Lavie, 2009)

Peralatan Penunjang

(45)

Beberapa pusat rehabilitasi jantung dinegara maju seperti Amerika dan Eropa menganjurkan adanya peralatan pendukung dalam pelaksanaan uji latih ini.

Diantaranya yang dipandang sebagai standar adalah (Crapo, 2002; Lavie, 2009):

1. Stopwatch

2. Mechanical lap counter

3. 2 buah pembatas/kerucut untuk menandai titik putar 4. Kursi yang mudah dipindahkan sepanjang rute jalan 5. Bagan Kerja (Worksheet)

6. Sumber oksigen 7. Sphygmomanometer 8. Telpon

9. Defibrilator elektrik otomatis

Persiapan pasien

Tidak ada persiapan khusus terhadap pasien yang diperlukan dalam pelaksanaan uji ini. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pasien sebelum pelaksanaan uji ini adalah sebagai berikut (Crapo, 2002; Lavie, 2009) :

1. Pakaian yang nyaman 2. Sepatu/alas kaki yang sesuai

3. Obat-obatan yang biasa digunakan tetap dikonsumsi 4. Makan ringan pagi atau sore sebelum dilakukan tes

5. Pasien tidak melakukan aktifitas berat 2 jam sebelum memulai tes

Prosedur Pelaksanaan 6MWT

1. Tidak perlu dilakukan periode pemanasan sebelum memulai tes

2. Jika perlu dilakukan pengulangan latihan hendaknya dilakukan pada waktu yang sama dengan hari sebelumnya, untuk menambah akurasi

Gambar

Gambar 2.1 Patogenesis Pembentukan PPOK (MacNee, 2006)
Gambar 2.2 Patogenesis PPOK (Sultan, 2016)
Gambar 2.3 Langkah – Langkah Diagnosis PPOK ( GOLD, 2018)
Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK Berdasarkan Spirometri (GOLD, 2018)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mata kuliah ini memberikan kemahiran berbahasa Jawa yang meliputi berbicara- mendengarkan dan membaca-menulis untuk keperluan komunikasi antaranggota masyarakat terkait dengan

Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Pada Dinas Kesehatan dan RSUD Kabupaten Pulang Pisau akan melaksanakan Pelelangan SEDERHANA dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan Barang

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan berkat dan segala Karunia -Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”

atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat, hidayah, dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan

Gambar 3 Struktur (Stadia) Cendawan Entomophthorales (a) Resting spores berdinding tebal dan berwarna coklat, (b) Konidia primer/ kapilokonidia, (c) Konidia primer

Pada Bab ini akan dibahas seluruh hal yang berkaitan dengan kondisi saat ini, mulai dari tempat, kondisi ekonomi Regional Provinsi Sumatera Selatan , kondisi alur pelayaran

Persentase daya anti-inflamasi semua kelompok kontrol dan perlakuan produk jamu pegel linu kemudian dibandingkan dengan persentase daya anti- inflamasi natrium diklofenak

Hasil wawancara dengan AH, yang merupakan Guru Seni sekaligus sebagai pelatih pada kegiatan Program Ekstrakurikuler Seni, untuk tahapan optimalisasi unsur sekolah