• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kutipan tersebut berasal dari novel yang berjudul Akar karya Dee yang. mengetahui bentuk dari kesejatian diri yang diinginkannya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Kutipan tersebut berasal dari novel yang berjudul Akar karya Dee yang. mengetahui bentuk dari kesejatian diri yang diinginkannya."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Ini kisah perjalanan menemukan diri, yang diujung ceritanya nanti, perjalanan itu pun masih belum selesai. Kisahku pun resmi dimulai”

(Dee, 2002:37)

Kutipan tersebut berasal dari novel yang berjudul Akar karya Dee yang bercerita mengenai pencarian kesejatian diri yang berlatar belakang ajaran Buddhisme. Kutipan tersebut juga menunjukkan bahwa pada akhir cerita tokoh Aku pun masih tetap harus melakukan pencarian sebab kesejatian diri yang ia inginkan belum didapatkannya. Dari kutipan tersebut lalu timbulah pertanyaan, mengapa tokoh Aku belum mendapatkan kesejatiannya padahal perjalanan untuk menemukan diri telah dilakukannya? Jawabannya, karena tokoh Aku tidak mengetahui bentuk dari kesejatian diri yang diinginkannya.

Hal inilah yang menyebabkan tokoh Aku tetap melakukan pencarian diri sebab ia masih merasakan ketidakutuhan pada dirinya. Ketidakutuhan yang dirasakan tokoh Aku adalah wujud dari rasa kekurangan pada manusia.

Kekurangan-kekurangan inilah yang menimbulkan keinginan manusia akan sesuatu, yang dalam bahasa Lacan keinginan ini disebut hasrat. Menurut Lacan, manusia selalu berada dalam kondisi berkekurangan, dan hanya hasrat yang dapat memenuhi kekurangan tersebut. Manusia hadir dengan keinginan yang tak terbatas. Ketika suatu keinginan terpenuhi, maka akan muncul keinginan lain yang akan menghantuinya.

(2)

2

Diibaratkan manusia memiliki banyak lubang pada dirinya, saat ada satu lubang yang tertutupi maka akan ada banyak lubang lain yang masih menunggu untuk ditutupi. Namun tidak semua lubang dapat ditutup. Apakah ini karena terlalu banyaknya lubang? Apakah lubang yang ditutup bukanlah lubang yang benar? Apakah hal yang menutupi lubang itu bukanlah hal yang tepat? Manusia tidak pernah menyadari keinginannya yang sebenarnya.

Novel Akar (2002) merupakan salah satu dari seri novel Supernova yang terdiri dari Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh (2001), Petir (2005), Partikel (2012), dan Gelombang (2014). Selain seri novel Supernova, Dee juga melahirkan Filosofi Kopi, Perahu Kertas, Madre, dan Rectoverso. Melalui karya-karyanya tersebut Dee memperlihatkan ketertarikannya pada hal-hal yang berkenaan dengan religiusitas, sains, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Dee merupakan novelis yang telah melahirkan beberapa karya yang tidak sekadar laris di pasaran tetapi juga berkualitas. Hal ini terbukti dengan masuknya beberapa karya Dee dalam ajang bergengsi bagi sastrawan Indonesia yaitu Khatulistiwa Literary Award yaitu Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh, Akar, Petir, Filosofi Kopi, dan Perahu Kertas, baik dalam kategori longlist maupun shortlist.

Novel Akar sempat mengundang kontroversi pada awal kemunculannya karena dianggap melecehkan umat Hindu. Forum Intelektual Muda Hindu Dharma menolak dicantumkannya lambang omkara sebagai sampul novel Akar yang merupakan aksara suci Brahman, Tuhan Yang Maha Esa dalam Hindu, karena dianggap melecehkan simbol agama. Dee pun memberi penjelasan bahwa penggunaan simbol omkara tidak memiliki maksud melecehkan suatu simbol agama tertentu. Pada akhirnya setelah bermusyawarah dengan umat Hindu,

(3)

3

disepakati bahwa lambang omkara tidak akan ditampilkan lagi pada cetakan ke-2 dan seterusnya. Terlepas dari kontroversi tersebut, novel Akar karya Dee ini masuk ke dalam nominasi longlist dalam ajang bergengsi Khatulistiwa Literary Award 2003.

Novel Akar mengisahkan tokoh Aku yang melakukan perjalanan untuk mencari kesejatian diri. Tokoh Aku yang berlatar belakang didikan ajaran Buddha yang taat, merasa lelah atas peristiwa ganjil yang terus menerus menyiksa dirinya sedari kecil. Akhirnya tokoh Aku memutuskan untuk keluar dari wihara yang telah menjadi rumahnya selama 18 tahun. Perjalanan yang dilakukan tokoh Aku perlahan menghilangkan penderitaan yang ia rasakan semasa tinggal di wihara.

Selama perjalanan tokoh Aku menginternaisasi beberapa identitas, hingga pada akhirnya tokoh Aku merasa menemukan “rumahnya” dalam komunitas punk.

Tokoh Aku mengira ia telah mendapatkan kesejatiannya setelah melakukan perjalanan panjang dan akhirnya memutuskan hidup sebagai anak punk. Namun faktanya, tokoh Aku masih saja merasakan ketidakdamaian dalam hidupnya. Di satu sisi tokoh Aku sangat mencintai kehidupannya, tetapi di sisi lain tokoh Aku justru berharap dimatikan dari kehidupan yang ia cintai tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa manusia cenderung selalu merasa dirinya kurang setelah mencapai sesuatu yang dikira diinginkannya. Inilah yang terjadi pada tokoh Aku yang terus-menerus melakukan pencarian diri sebab ia belum menemukan apa yang membuatnya merasa utuh. Kekurangan dalam teori Lacanian akan menyebabkan subjek terus-menerus mencari objek hasratnya.

Kematian yang diinginkan tokoh Aku juga merupakan wujud dari pencarian akan objek hasrat tersebut. Dengan kata lain kematian adalah wujud dari masih adanya

(4)

4

rasa kekurangan yang dirasakan tokoh Aku. Kematian yang diharapkan tokoh Aku juga menunjukkan bahwa tokoh Aku tidak menyadari kesejatian seperti apa yang menjadi hasratnya.

Hasrat menurut Lacan mengacu pada rasa kekurangan dan keinginan untuk memenuhi kekurangan tersebut. Pencarian kesejatian oleh tokoh Aku adalah wujud dari kekurangan yang ingin dipenuhi oleh tokoh Aku. Kekurangan tokoh Aku merupakan representasi dari rasa kekurangan Dee selaku pengarang. Hal ini disebabkan karena salah satu cara pengarang dalam memenuhi kekurangan yang dirasakannya adalah dengan menghasilkan karya sastra yang tidak lain merupakan manisfestasi dari hasrat. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa novel Akar mengandung hasrat Dee selaku pengarang.

Hasrat pengarang termanifestasikan melalui karya sastra, artinya melalui bahasa ketidaksadaran pengarang terepresentasikan. Hal ini sejalan dengan salah satu keyakinan utama teori Lacan yang mengatakan ketidaksadaran merupakan struktur tersembunyi yang mirip dengan bahasa (Sarup, 2003:6). Ketidaksadaran melalui bahasa tersebut merupakan representasi dari hasrat pengarang. Artinya untuk mengetahui hasrat pengarang maka dapat dianalisis bahasa yang dihadirkan pengarang di dalam karyanya. Di dalam bahasa terdapat kata yang diistilahkan Lacan dengan penanda di mana melalui penanda-penanda tersebut dapat ditelusuri hasrat yang tak disadari pengarang, tetapi tertuang melalui karya sastranya.

Mengkaji karya sastra dalam Lacanian merupakan usaha untuk menemukan kondisi bawah sadar yang dipenuhi rasa kurang dan kehilangan.

Lacan mengatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi ketidaksadaran, bahwa bahasa mencipta dan memunculkan ketidaksadaran itu (Faruk, 2012:188). Hal ini

(5)

5

menunjukkan bahwa pengarang secara tidak sadar membawa permasalahan kejiwaan mereka di dalam karya sastra. Sarup (2003:9) mengatakan bahwa Lacan membangun teori bahasa yang lengkap, ia menghubungkan teori bahasanya dengan subjektivitas.

Penelusuran hasrat yang tak disadari pengarang tertuang melalui karyanya inilah yang menjadi tujuan dari sebuah kajian psikoanalisis Lacanian.

Ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa yang mekanismenya bekerja melalui metafora dan metonimi sehingga dengan menganalisis rangkaian penanda maka akan ditemukan hasrat menjadi dan hasrat memiliki pengarang. Penelusuran hasrat pengarang pada novel Akar terfokus pada bab “Akar” dan “Selamat Menjadi: S” karena kedua bab tersebut merupakan bagian cerita dari novel Akar.

Berbeda dengan bab pertama yang terdiri dari empat belas lembar yang memiliki kaitan dengan seri novel Supernova pertama. Ketiadaan kaitan antara bab pertama dengan cerita pada novel Akar inilah yang menyebabkan penulis hanya akan menganalisis bab kedua dan ketiga pada novel tersebut.

Penelitian ini dilakukan karena novel Akar yang ceritanya berlatar belakang Buddhisme memiliki keterkaitan dengan Dee yang tertarik pada ajaran Buddha. Hal tersebut mengindikasikan adanya relasi antara hasrat pengarang dengan novel Akar. Hal utama yang membuat hasrat Dee pada novel Akar menarik untuk diteliti adalah adanya hubungan antara religiusitas ajaran Buddhisme dan pencarian jati diri yang menjadi sajian utama pada novel Akar.

Buddhisme adalah ajaran yang tidak berkaitan dengan realitas puncak (Zimmer, 2003:470), sedangkan tokoh Aku melalui perjalanan dan keinginan untuk dimatikan berharap agar mendapatkan kesejatian dalam konteks ajaran

(6)

6

Buddhisme. Hal ini menjadi paradoks sebab tokoh Aku menghasrati sesuatu yang dapat dicapai jika tidak menghasratinya. Namun yang dilakukan tokoh Aku adalah berhasrat pada sesuatu yang seharusnya tidak dihasrati. Hal ini menjadi menarik untuk mengetahui apa sebenarnya hasrat Dee yang termanifestasi melalui novel Akar.

1.2 Rumusan Masalah

Kebenaran dalam Buddhisme adalah kehampaan, dimana kehidupan seharusnya dijalankan dengan hampa. Artinya hidup itu sendiri tidak memiliki kaitan dengan realitas puncak. Akan tetapi, novel Akar karya Dee yang ceritanya berlatar belakang ajaran Buddhisme menghadirkan tokoh Bodhi yang berhasrat pada kesejatian diri dalam ajaran Buddha. Tokoh Bodhi menghasrati sesuatu yang seharusnya tidak dihasrati. Dengan menggunakan perspektif Lacanian maka menarik untuk mengetahui apa sebenarnya hasrat Dee yang termanifestasikan melalui novel Akar. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka dapat diformulasikan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana hasrat pengarang termanifestasikan dalam novel Akar?

2. Apa hasrat menjadi dan memiliki pengarang yang termanifestasikan dalam novel Akar?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan hasrat Dee yang termanifestasikan dalam novel Akar. Dari hasil pegungkapan tersebut akan diketahui apa hasrat menjadi dan hasrat memiliki pengarang. Dengan mengetahui apa hasrat menjadi dan hasrat memiliki maka akan diketahui bagaimana

(7)

7

pengarang memanifestasikan hasratnya menjadi ide dalam sebuah karya sastra.

Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam khazanah sastra Indonesia mengenai hasrat-hasrat subjek berdasarkan pendekatan psikoanalisis Lacanian.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap novel Akar karya Dee telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti dalam bentuk skirpsi. Pertama, oleh Meinina Hasta Dwiarini (2006) dari Universitas Negeri Malang dengan judul Kepribadian Tokoh Utama Novel Supernova 2.1: Akar Karya Dee Telaah Psikoanalisis Sigmund Freud.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kepribadian tokoh utama pada novel Akar menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Di dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud terdapat pembagian dimensi psikis menjadi tiga bagian yaitu id, ego, dan superego yang membentuk struktur kepribadian diri.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa struktur kepribadian tokoh bersifat dinamis dimana ketiga unsur kepribadian yaitu id, ego, dan superego bekerja sama satu dengan yang lain, meskipun distribusi penggunaan energi tidak seimbang.

Penelitian kedua ditulis oleh Dimas Wahyu dari Universitas Indonesia (2007) dengan judul, Sisi Punk dalam Diri Bodhi: sebuah tinjauan Psikologi Sosial Terhadap Tokoh Utama Novel Supernova (Akar), Bab Akar dan Selamat menjadi S. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana latar dan tokoh dapat memunculkan sisi punk pada diri tokoh utama. Analisis menggunakan teori psikologi sosial yang dilakukan penulis berfokus pada sikap (pandangan dan perasaan) dan proses pembentukannya (interaksi sosial). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada beragam peristiwa, latar, dan tokoh

(8)

8

yang mempengaruhi sikap-sikap Bodhi hingga akhirnya menerima lingkungan punk dan menjadi bagian dari punk.

Setelah memaparkan penelitian yang menggunakan objek material yang sama, selanjutnya penulis akan mengungkapkan penelitian yang menggunakan teori psikoanalisis Jaqcues Lacan dalam bentuk tesis. Penelitian ketiga ini dilakukan oleh Manik (2013) dari Universitas Gadjah Mada dengan judul, Hasrat N Riantiarno dalam Trilogi Cermin: Kajian Psikoanalis Lacanian. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hasrat Nano sebagai pengarang yang terdapat pada trilogi cermin dengan menggunakan teori psikoanalisis Lacan. Menurut Lacan hasrat adalah sesuatu yang muncul dalam ketidaksadaran yang memiliki struktur seperti bahasa. Melalui analisis bahasa dengan metode metafora dan metonimi maka akan diketahui apa hasrat dari pengarang. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan hasrat Nano akan seorang yang jujur, berani, bertanggung jawab, loyal, ulet, konsisten, pekerja keras, setia, dan demokratis diidentifikasi dari citraan ayahnya. Sedangkan identitas seniman, sutradara dan penulis dari citraan ideal identitas tersebut adalah anchoring point dari ketidakmenentuan dan ambiguitas diri, dan tetap tidak mampu memberikan pemenuhan bagi dirinya.

Dengan demikian Nano mencari sesuatu yang dapat memberikan keutuhan dan kepuasaan pada diri yaitu dengan cara produktif dalam berkarya.

Keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2014) dari UGM dengan judul, Hasrat Pengarang dalam Kumpulan Cerpen Sampan Zulaiha:

Perpektif Lacanian. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi penanda- penanda sebagai manifestasi hasrat secara metaforik dan metonimik sehingga ditemukan apa hasrat dari pengarang. Hasil penelitian ini mengungkapkan

(9)

9

beberapa hasrat Hasan yaitu hasrat untuk menjadi anak laki-laki kesayangan merupakan hasil identifikasi dirinya terhadap kakak laki-lakinya. Lalu hasrat Hasan sebagai seorang masyarakat asli Sumatra Utara merupakan identifikasi Hasan terhadap masyarakat di lingkungannya. Selain itu juga ditemukan hasrat Hasan sebagai ‘pandai fiksi’ adalah hasil identifikasi dirinya terhadap sosok Ayah yang merupakan seorang ‘pandai besi’. Dijelaskan bahwa sebagai subjek berkekurangan Hasan tidak akan pernah mencapai kepuasaan, sebab Yang Simbolik juga selalu tidak pernah utuh. Dengan demikian Hasan terus mencari pemenuhan diri karena hasrat dan upaya pemenuhan diri tidak akan pernah selesai.

Kelima adalah penelitian yang dilakukan oleh Ganjarjati (2014) dari UGM dengan judul tesis, Hasrat Tak Terpenuhi: Kajian Psikoanalisis Jaques Lacan dalam novel Lolita karya Vladimir Nobokov. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan hasrat pengarang yaitu Vladimir Nobokov dalam novel Lolita melalui tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam novel dengan menggunakan teori Psikoanalisis Lacan. Hasil penelitian ini menunjukkan novel Lolita adalah metafora akan sisi suram kehidupan Nobokov. Sebagai subjek yang berkekurangan Nobokov memiliki hasrat menjadi seseorang yang bebas, yaitu bebas menentukan apa yang diinginkannya sedangkan dalam hasrat memiliki ditemukan bahwa Nobokov ingin memiliki kebebasan dan keutuhan.

Penelusuran yang dilakukan penulis atas kajian akademis yang telah dilakukan oleh peneliti lain menunjukkan bahwa penelitian dalam bentuk tesis terhadap novel Akar dengan menggunakan teori psikoanalisis Lacanian belum pernah dilakukan. Hal ini membuat penulis memutuskan untuk menjadikan novel

(10)

10

Akar sebagai objek material dan menjadikan teori psikoanalisis Lacan sebagai alat untuk memaknainya. Dari beberapa penelitian sebelumnya ditemukan bahwa ketiga penelitian berbentuk tesis diatas berfokus pada hasrat. Penelitian yang akan peneliti lakukan juga berfokus pada hasrat pengarang. Namun hasrat pengarang yang akan peneliti analisis ini adalah hasrat kepada sesuatu yang dapat dicapai apabila tidak dihasrati, tetapi menariknya tokoh Aku pada novel Akar ini justru menghasrati sesuatu yang seharusnya tidak dihasrati tersebut. Pengarang adalah subjek yang berkekurangan dan memiliki keinginan untuk memenuhi kekurangannya tersebut. Dengan menganalisis bahasa yang merupakan wujud dari ketidaksadaran pengarang menggunakan metode metafora dan metonimi maka akan diketahui seperti apa hasrat Dee sebagai pengarang yang termanifestasi dalam novel Akar.

1.5 Landasan Teori

Jaqcues Lacan adalah tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah psikoanalisa setelah Freud. Penemuan psikoanalisa oleh Freud menjadi semacam gugatan terhadap gagasan humanisme yang mengangap kehadiran ‘diri’ manusia disebabkan oleh adanya kesadaran (tindakan, berfikir, kehendak bebas, dll.).

Lacan menafsirkan ulang pemikiran Freud mengenai ketidaksadaran tersebut.

Teori psikoanalisa Lacan ini secara dominan dipengaruhi oleh filsafat Hegel (teori tuan dan budak), filsafat strukturalis (struktur bahasa tapi meniadakan peran subjek) dan poststrukturalis (menghadirkan kembali peranan subjek), serta pemikiran Freud (psikoanalisa ketidaksadaran). Freud menganggap wilayah ketidaksadaran memainkan peran sentral dalam hidup manusia. Namun, Freud mengangap ketidaksadaram memiliki aspek mengancam dan harus ditundukan

(11)

11

demi humanisasi. Freud bertujuan untuk memperkuat Ego atau ‘I’ , identitas rasional agar mengendalikan wilayah tidak sadar (Lukman, 2011:46-47).

Berbeda dengan Freud, Lacan melihat ketidaksadaran merupakan wilayah

‘kebenaran’, autentisitas. Lacan berpendapat bahwa ego tidak akan dapat mengendalikan, mengantikan, bahkan mengenyahkan ketidaksadaran karena sesunggguhnya ego sendiri merupakan produk ketidaksadaran: otonomi ego adalah ilusi (Lacan, 1977:6). Lacan yakin ketidaksadaran tidak dapat menjadi objek pengetahuan; ego memproyeksikan dirinya sendiri dan gagal menyadari dirinya sendiri (Sarup, 2003:15).

Lacan menganggap ego memiliki hubungan yang sangat krusial dengan ketidaksadaran. Lacan tidak menolak konsep psikoanalisis Freudian, ia hanya memodifikasinya. Lacan memodifikasi mengenai perkembangan dari bayi menuju dewasa dalam Oedipus Complex yang telah dikonsepkan oleh Freud. Eagleton (2010:37) mengatakan karya Lacan merupakan usaha original yang mengejutkan untuk ‘menulis ulang’ freudianisme dalam cara yang relevan bagi semua orang yang peduli dengan pertanyaan mengenai subjek manusia, tempatnya dalam masyarakat, dan yang terpenting hubungannya dengan bahasa. Pada konsep hasrat, Lacan tidak saja memperdebatkan kerapuhan Ego, ia juga mengembangkan teori tentang hasrat yang revolusioner. Oleh karena itu, untuk dapat memahami hasrat dalam pengertian Lacan, perlu dijelaskan bagaimana proses pembentukan subjek Lacanian tersebut.

(12)

12

1.5.1 Psikoanalisis Lacanian : Mekanisme Pembentukan Subjek

Menurut Lacan, pengalaman perkembangan manusia ada pada tahap-tahap tertentu yang dikenal dengan tripartite model: yang nyata (the Real, alam sebelum ada bahasa), yang imajiner (the Imaginary, alam ketika bahasa belum tertata), dan tahap simbolik (the symbolic, alam ketika bahasa sudah tertata). Lintasan fase-fase tersebut oleh Lacan dipertemukan dengan konsep kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire).

1.5.1.1 Tataran Real

Lacan mengatakan fase ini adalah fase dimana bayi belum mengenali dirinya dan batasan egonya. Diri bayi merasa satu dengan diri ibunya bahkan juga dengan diri yang lain. Bayi dan ibu masih merupakan satu kesatuan. Pada fase ini belum terjadi identifikasi, yang ada hanya kebutuhan. Kebutuhan (need) secara sederhana dapat diartikan sebagai kebutuhan secara fisiologis atau dalam makna lain sebagai kebutuhan fisiologis yang dapat tercukupi.

Kebutuhan-kebutuhan fisiologis bayi melalui peran orang-orang terdekat terutama ibu akan senantiasa dapat tercukupi dengan mudah: saat lapar bayi memperoleh ASI, ketika membutuhkan kehangatan bayi mendapat pelukan, dll.

Artinya bayi selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh atau tanpa kekurangan, kehilangan dan kekosongan. Inilah yang dinamakan tataran Real, dimana dalam tataran ini tak ada kebutuhan yang tidak terpuaskan, tak ada kehilangan, tak ada kekurangan, dan tak ada ketiadaan sebab bahasa tidak dibutuhkan karena sifatnya yang fisiologis. Semua yang ada hanya kepenuhan dan kelengkapan.

(13)

13

Lacan menyebutkan bahwa tataran Real adalah ketidakmungkinan itu sendiri karena tataran ini tidak mungkin untuk dibayangkan dan juga tidak mungkin dimasukkan dalam Simbolik, tidak mungkin diraih. Tataran Real adalah objek dari kegelisahan yang tidak dapat dijelaskan. Tataran Real adalah tataran yang terjadi sebelum proses simbolisasi, dan yang merangsang timbulnya hasrat.

Lacan juga mengatakan tataran Real ini mendukung fantasi, dan fantasi melindungi tataran Riil ini (Lukman, 2011: 77-78).

1.5.1.2. Tataran Imajiner

Tedapat tiga hal penting dalam perkembangan tataran Imajiner. Pertama, ketika bayi menyadari keterpisahannya dengan ibunya. Penyadaran ini terjadi disaat bayi merasa segala kebutuhannya tidak langsung atau otomatis terpenuhi.

Hal ini membuat sang bayi merasa kehilangan, kekurangan, dan ingin menyatu kembali dengan ibu. Kedua, ketika bayi mulai dapat membedakan dirinya dengan yang selain dirinya meskipun pada fase awal ini bayi tetaplah belum memiliki konsep tentang yang liyan secara utuh; bayi belum memiliki kemampuan membedakan antara diri dan liyan, bayi mulai memasuki tahapan baru, yakni permintaan (demand).

Dikarenakan keutuhannya tak lagi secara otomatis terpenuhi, maka sang bayi harus memintanya. Akan tetapi, bayi tidak dapat mengartikulasikan permintaannya dengan tepat, akibatnya sang ibu atau siapa pun tidak dapat memenuhi permintaannya. Permintaan (demand) adalah sesuatu yang tidak dapat atau tidak mungkin terpenuhi. Itulah esensi utama dari permintaan; kembali pada keutuhan. Hal tersebut tentulah mustahil, karena perlahan keliyanan semakin menunjukkan diri dihadapan sang bayi.

(14)

14

Ketiga, adalah fase cermin yaitu fase dimana terjadi proses identifikasi pada bayi. Imajiner adalah istilah yang dipakai Lacan untuk menyebut proses pembentukan subyek yang didominasi oleh identifikasi dan dualitas, sebelum pengenalan pada bahasa (Hartono, 2007: 23). Identifikasi menurut Lacan adalah suatu transformasi yang terjadi pada benak subjek saat ia membayangkan suatu citra (Lacan, 1977: 2). Identifikasi pertama kali yang dilakukan oleh bayi pada saat bayi melihat cermin adalah mencampuradukkan bayangannya dengan bayangan orang lain. Disinilah bayi mengalami kesalahmengertian (misreconegnition) terhadap dirinya.

Bayi akan melihat citra dalam cermin kemudian melihat ke arah yang lain.

Saat itulah bayi mulai menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang lain, bahkan ibu. Bayi mengira dirinya yang berada dalam cermin adalah benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang akhirnya diakui sebagai “aku” atau ego. Lacan menyebut refleksi pada cermin ini sebagai imago. Imago adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang bukan diri sang anak, tetapi diidentifikasi sebagai dirinya oleh sang anak.

We have only to understand the mirror stage as an identification, in the full sense that analysis gives to the term; namwly, the transformation that takes place in thesubject when he assumes an image- whose predestination to this phase-effect is sufficiently indicated by the use, in analytic theory, of the ancint term imago (Lacan, 1977: 2).

Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi citra cermin sebagai aku.

Citra itu disebut sebagai ideal ego. Sebagai citra cermin, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan keadaan individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di dalamnya. Ego atau aku tersebut akan menjadi

(15)

15

selalu “liyan”, tidak setara dengan bahkan bukan aku yang sebenarnya. Menurut Lacan pembentukan ego pertama atau ego primordial terjadi pada tahap cermin.

Pada tahap ini anak mengidentifikasikan dirinya pada citraan yang ada di cermin.

Persepsi anak mengenai citraan di cermin adalah dirinya merupakan hasrat untuk memiliki identitas. Maka bagi Lacan ego atau ‘aku’ hanyalah ilusi yang merupakan produk dari hasrat itu sendiri. Ego terbentuk melalui hasrat untuk memiliki identitas sehingga ego merupakan sesuatu yang imajiner. Diri dalam makna ego pada tataran imajiner adalah ego yang mencintai dirinya sebagai suatu kesatuan organ yang utuh dan lengkap atau ego yang narsistik.

You know that the process of his physiological maturation allows the subject at given moment in his history, to integrated effectively his motor functions, and gain access to a real mastery of his body. Except the subject becomes aware of his body as totally prior to this particular moment, albeit in a correlative manner. That is what i insist upon my theory stage the sight alone of the whole form of the human body gives the subject an imaginary mastery over his body, one which is premature in relation to real mastery (Lacan, 1953-1954: 79)

Dalam tataran ini ada tatapan (gaze) yang menurut Lacan adalah medium bagi hasrat. Tatapan inilah yang memisahkan hasrat dengan objeknya, sehingga menciptakan sebuah gap, sebuah lubang dalam diri sang Subjek dan antara Subjek dengan dunia luar (Lukman, 2011: 75). Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan alieniasi. Alieniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Bayi adalah yang selalu kalah. Alienasi pertama bayi manusia adalah ketika terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri. Cermin dalam pemahaman fase ini merupakan metafora. Menurut Lacan, ini merupakan fase normal dalam perkembangan diri. Si anak pertama-tama harus melihat dirinya sebagaimana

(16)

16

ibunya melihat dirinya -yaitu sebagai Liyan- sebelum sang bayi dapat melihat dirinya sendiri.

1.5.1.3. Tataran Simbolik

Pada fase ini anak harus mengalami kastrasi, dimana anak harus berpisah dengan ibunya. Ketika bayi semakin dapat melakukan pembedaan dan proyeksi ide-ide tentang keliyanan, tataran Yang Simbolik dimulai. Keterpisahan anak dan ibu diperparah dengan masuknya ayah sebagai Liyan Simbolik. Lacan menyebutnya dengan ‘Atas-Nama-Ayah’ yang memiliki kuasa atas diri dan ibunya. Bersamaan dengan itu terjadilah akuisisi bahasa. Yang Simbolik adalah keberadaan “aku” dalam struktur bahasa. Keadaan dimana ‘aku’ dinyatakan melalui bahasa. Hanya saja keberadaan antara Yang Imajiner dan Yang Simbolik tidak memiliki batas yang jelas. Keduanya saling tumpang tindih. Di dalam tataran inilah hasrat (desire) berdiam.

Lacan mengangap manusia selalu berada dalam kondisi lack/

berkekurangan, dan hanya hasrat yang dapat memenuhi kekurangan (lackness) tersebut. Hasrat (desire) pada dasarnya merupakan keinginan akan kepemilikan identitas. Pada tataran simbolik bayi berkeinginan untuk memiliki identitas lengkap yang disebut “aku”. Ketika masuk ke dalam dunia bahasa, bayi, mau tidak mau harus tunduk pada aturan sistem penandaan di ruang bahasa. Hasilnya, identitas hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan; identitas adalah karya penandaan. Mengenai kekurangan (lack), secara eksistensial manusia dikendalikan oleh pelbagai rasa kehilangan dan kekurangan.

Tataran simbolik menghubungkan manusia satu dengan manusia lainnya.

Dalam tataran ini Subjek mulai memiliki hubungan dengan orang lain. Dalam

(17)

17

tataran ini juga, konsep waktu dan sejarah muncul, juga kesadaran akan kekinian dan harapan akan masa depan. Dalam tataran ini kesadaran akan kematian juga mulai hadir. Bahasa menjadi hal yang penting karena Lacan beranggapan bahasa muncul sebagai akibat dari rasa kehilangan. Dengan dimotori hasrat sang anak mulai mengidentifikasikan dirinya. Hasrat yang dimaksud adalah hasrat tidak sadar akan sesuatu yang hilang, yang tidak dapat dijangkau, dan akhirnya itu diproyeksikan dalam imago (Lukman, 2011: 76-77)

Kekurangan dalam makna yang eksistensial ini tentu tidak akan pernah menjadi penuh atau dapat terpenuhi. Lacan menegaskan bahwa tidak mungkin kembali pada Yang Nyata. Sumber kekurangan adalah kehilangan “kepenuhan”

dalam tataran Yang Real, sementara didalamnya tidak berdiam bahasa yang mungkin digunakan untuk mengenali kepenuhan tersebut. Bahasa yang muncul setelahnya, tidak dapat menjangkau ruang Yang Real, sehingga manusia dengan bahasa seperti mengejar “kepenuhan” yang tidak dikenali sama sekali.

1.5.2. Konsep Hasrat Lacanian

Hal pertama yang harus dipahami ketika berhubungan dengan hasrat adalah hasrat terhadap Liyan. Lacan mengacu pada Freud bahwa hasrat seseorang adalah hasrat yang lain. ‘Liyan’ muncul pertama kali di fase imajiner. Ide tentang

‘diri, wujud batin yang ditandai sebagai ’Aku’ adalah ‘liyan’. ‘Liyan’ adalah bukan ‘aku’ tetapi sekaligus (diaku sebagai) ’aku’. ‘Liyan’ (l kecil) menghubungkan kembali keterpisahan dengan Yang Nyata, sedangkan Liyan (dengan L besar) adalah phallus atau pusat tataran simbolik. Manusia, bagi Lacan, berada diantara perasaan kehilangan dan ke-taksampai-an, dari sanalah hasrat muncul.

(18)

18

Pada tahap pra-Imajiner, tubuh dan hasrat anak yang masih terfragmentaris mengalami proses deferensiasi, seperti perbedaan perlakuan pada bayi laki-laki dan bayi perempuan. Deferensiasi dilakukan dengan cara menteritorialisasi tubuh dan hasrat bayi lewat alat-alat kultural yang menyebabkan bayi kehilangan kontak dengan aliran hasratnya dan tunduk pada dominasi pengelolaan alat-alat kultural.

Pada tahap imajiner, bayi yang salah mempersepsikan dirinya di cermin menyebabkan hasrat bayi teralienasi.

Pengertian alienasi adalah ketidakmampuan Ego bayi yang masih fragmentaris dalam membedakan hasratnya dengan hasrat ibu. Hasrat bayi merujuk pada hasrat ibu. Lacan mengatakan bahwa hasrat pertama bayi pada ibu sebenarnya menandakan keinginan untuk memenuhi apa yang dihasrati ibu. Bayi ingin melengkapi apa yang tidak dimiliki ibu yaitu phallus; penanda organik, hasrat orisinal dan hal-hal yang dilepaskan subjek untuk mendapatkan makna.

Selain itu phallus juga merupakan penanda kultural yang mendefenisikan subjektivitas dalam masyrakat patriakal, penanda yang tetap mengisolasi perempuan.

Hasrat seseorang hanya dapat terpuaskan bila ia menjadi dihasrati oleh orang lain, menjadi objek hasrat orang lain (Lukman, 2011:53). Lacan mengunakan tahap Simbolik untuk mengambarkan manipulasi dan dominasi simbol dan subjek. Subjek memiliki kebutuhan akan citra atau identitas.

Kebutuhan akan citra adalah kebutuhan fundamental dalam diri manusia setelah ia kehilangan relasi dengan hasrat dan objek hasratnya. Citra atau identitas difiltrasi subjek dari domain sosial dengan menggunakan proses “dialektika pengakuan’.

(19)

19

Dialektika pengakuan merujuk pada gagasan bahwa identitas kita, pengetahuan tentang diri sendiri, diperoleh dari sikap orang lain kepada kita (Hartono, 2007: 24). Konsep hasrat juga berangkat dari suatu kegelisahan (auxiety) yang merupakan reaksi akan suatu kehilangan. Kehilangan merupakan gagasan fundamental dalam konsepsi subjek psikoanalisis Lacanian. Yang hilang adalah objek-penyebab-hasrat, atau yang disebut Lacan sebagai objek a. Objek a juga dipahami sebagai objek hasrat (object of desire) atau hasrat dari Yang lain.

Mengakuisisi objek a dapat memberikan suatu jouissance yaitu kenikmatan yang tidak disadari.

Lacan mengaitkan hasrat dengan kebutuhan (need) dan tuntutan (demand).

Kebutuhan dipahami sebaai suatu kebutuhan alami manusia sebagai makhluk biologis, sedangkan tuntutan dipahami sebagai ucapan. Kebutuhan mungkin untuk dipuaskan, sedangkan tuntutan tidaklah mungkin dapat dipuaskan, tetapi ada hubungan antara pemuasan kebutuhan dan tuntutan. Dalam relasi ibu dan anak terjadi tuntutan akan cinta sang ibu yang menjamin terpenuhinya kebutuhan sang anak akan hal lainnya (makanan, minuman, dll).

Tuntutan akan cinta sang ibu ini tidak mungkin terpuaskan, sehingga menyebabkan kebutuhan sang anak juga tidak mungkin terpuaskan. Dalam hal ini terjadi gap antara kebutuhan dan tuntutan, dan disinilah letak hasrat. Tuntutan berbeda dengan hasrat. Tuntutan bersifat penguasaan (want to have), sedangkan hasrat bersifat pengakuan, pengenalan, atau identifikasi (want to be). Hasrat bersifat tidak terbatas, dan hanya kematian yang menjadi batas hasrat.

Lacan berpendapat bahwa hasrat mengungkapkan diri dalam perkataan (speech, parole). Perkataan menjadi sarana bagi hasrat. Hasrat terungkap dalam

(20)

20

mekanisme bahasa, yaitu matafora dan metonimi. Metafora memperlihatkam hasrat sebagai gejala, sedangkan metonimi menyetrukturkan hasrat yang terungkap. Hasrat manusia adalah metonimi. Lacan menyebutkan bahwa objek hasrat adalah das Ding (the Thing, Sesuatu). Sesuatu itu adalah objek tertentu, tetapi terus bergerak mencari Sesuatu lainnya. Hasrat juga dipahami sebagai

“yang lain”, sehingga hasrat terus menjadi yang lain dan tidak pernah menetap pada satu objek (Lukman, 2011: 54-55).

1.5.2.1 Bahasa, Metafora, dan Metonimia

Menurut Lacan, subjek ditentukan oleh bahasa, bahkan subjek tidak akan ada tanpa bahasa. Artinya tidak ada yang bebas dari bahasa. Semua subjek tenggelam dalam bahasa dan tidak pernah lepas dari bahasa sehari-hari. Dengan masuknya subjek ke dunia simbolik maka subjek harus menyatakan dirinya melalui bahasa. Dengan kata lain subjek masuk ke dalam “permainan bahasa”

dengan segala atribut linguistiknya. Permainan atribut bahasa inilah yang kemudian menetukan identitas subjek: menentukan wilayah sadar (Ego) subjek.

Ada dua cara kerja bahasa dalam mempengaruhi identifikasi subjek. Pertama, bahasa yang bekerja dengan hukum pembedaan dan kedua, adalah fungsi metaforitas penanda.

Hukum pembedaan bahasa menentukan identitas subjek. Misalnya seseorang harus menerima dirinya sebagai penanda laki-laki yang merujuk pada identitas pembeda. Hukum pembedaan menentukan peran subjek dalam keseluruhan konstelasi kehidupan sosial. Pada titik ini bahasa adalah pengendali peran subjek dalam hidup masyarakat atau semacam undang-undang yang mengatur relasi dan interaksi subjek dalam lingkungan sosialnya. Sementara itu

(21)

21

sistem metaforitas secara tidak langsung membentuk ‘ketidakberhinggaan refleksi’ dalam mencapai identitas.

Menurut konsep bahasa Lacanian, suatu penanda menandakan penanda lain, tidak ada kata yang bebas dari metaforisitas (metafora adalah penanda yang menandakan penanda lain). Lacan bicara tentang glissement (keterpelesetetan) dalam mata rantai penandaan, dari penanda yang satu ke penanda yang lain.

Karena setiap penanda dapat menerima pemaknaan maka tidak pernah ada yang tertutup, makna yang memuaskan (Sarup, 2003:10). Metafora merepresentasikan salah satu cara yang digunakan untuk menstruktur pelbagai macam wacana.

Lacan mengatakan dengan kemampuan metaforis manusia, kata dapat menyampaikan perbagai macam makna dan kita dapat menggunakan kata untuk menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan makna kongkretnya (Sarup, 2003:8).

Hal ini dikarenakan manusia senantiasa berada diantara sadar dan tak sadar.

Ketaksadaran cenderung hadir dalam bentuk mimpi sebagai bentuk simbolik dari keinginan tak sadar. Dalam hal ini, ketaksadaran menutupi, menghaluskan, menyimpangkan makna-makna sehingga mimpi merupakan teks-teks simbolik.

Inilah yang menjadi dasar dari pendapat Lacan bahwa ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa, karena mekanismenya serupa dengan metafora dan metonimia.

Metafora menurut Lacan (Bracher, 2005: 72) merupakan sumber point-de- capiton muncul saat sebuah pemaknaan yang ada pada ketidaksadaran

“mengubah, mengatur penggunaan penanda, sampai pada satu titik dimana setiap jenis hubungan leksikal yang sudah ada sebelumnya dipersatukan. Sedangkan metonimi dalam istilah Lacan adalah penggantian. Metafora yang dipahami Lacan (Faruk, 2008; 27) sebagai prinsip kondensasi dalam pengertian bahwa di

(22)

22

dalamnya terjadi penjajaran penanda-penanda sehingga terjadi pergeseran makna.

Sedangkan metonimi bekerja dengan prisip ‘pemplesetan’ atau pengalihan yang berfungsi antara lain untuk mengalihkan perhatian sensor.

Manusia dewasa senantiasa berada diantara sadar (conscious) dan tak sadar (unconscious) namun ketidaksadaranlah yang lebih sering menyembul dan mimpi merupakan salah satu jalan ketidaksadaran itu. Lacan (Bracher, 2009: 303) berpandangan ketidaksadaran terbentuk bersamaan dengan bahasa.

Ketidaksadaran merupakan struktur tersembunyi yang menyerupai struktur bahasa maka dapat dikatakan bahasa menunjukan alam bawah sadar seseorang. Hal ini terjadi karena formasi-formasi di dalam ketidaksadaran dan bahasa diatur oleh mekanisme yang sama yaitu metafora dan metomini.

Teori Lacan menggabungkan gagasan metafora dengan mempertimbangkan penyimpangan sebagai aspek realitas manusia itu sendiri.

Seperti yang dikatakan Nusselder (2009: 16) bahwa Lacanian theory incorporates this nation of metaphors by considering distortion as an aspect of human reality itself. Metaphors link the subject to the ‘original’ event. Penyimpangan makna ini menggunakan metafora dan metonimi sebagai alat penyampai pesan di dalam bahasa. Maka untuk memahami karya sastra adalah dengan melihat bahasa karya sastra tersebut melalui fenomena metafora dan metonimia.

1.5.3 Hasrat Menjadi dan Hasrat Memiliki

Terdapat tiga kesimpulan mengenai kodrat sang hasrat atas tafsir kritis psikoanalis Lacanian (Adian, 2009: xiii) yaitu pertama, hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, ia bekerja saat kekurangan biologis tercukupi. Kedua, jauh dari dominasi ego cogito; syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri.

(23)

23

Ketiga, hasrat yang dipicu oleh kodrat manusia sebagai makhluk yang berkekurangan secara eksistensial. Kekurangan eksistensial ini memicu dua jenis hasrat yaitu hasrat menjadi dan hasrat memiliki.

Pertama, hasrat memiliki (identitas) adalah hasrat memiliki Liyan (materi, benda, orang, posisi, dan kekuasaan) sebagai cara untuk memuaskan diri. Hasrat memiliki bekerja pada ranah pengalaman Imajiner dan Simbolik yaitu ranah pengalaman yang memberi keutuhan pada kekurangan primordial yang selalu membayangi subjek. Ia mengambil bentuk pada cara mendapatkan kesenangan yang bertentangan dengan diri dan orang lain. Kedua, hasrat menjadi adalah hasrat yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan identifikasi yang bekerja pada ranah pengalaman yang nyata, praideologis, dan non makna. Ia adalah potensi resistensi yang selalu menganjal hasrat untuk memiliki dalam menunaikan hajatnya (Adian, 2009: xiiii).

Dalam hal ini hasrat menjadi objek cinta-kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan Liyan. Orang merasa menjadi objek cinta sang lain (penonton, fans, rakyat), oleh sebab itu ia akan bertingkah-laku dan menciptakan citra (image) dirinya sedemikian rupa agar ia tetap dicintai. Perbedaan hasrat memiliki dan hasrat menjadi Lacanian sesuai dengan pembedaan Freud anatara libido narsistik dan libido analitik. Bracher (2009:30) menguraikan kembali menurut Lacan bahwa hasrat dapat bermanifestasi dalam empat hal, yakni:

(1) Hasrat narsistik pasif yaitu seseorang bisa berhasrat untuk menjadi objek cinta dari Liyan atau kekaguman, atau idealisasi, atau pengakuan;

(2) Hasrat narsistik aktif yaitu seseorang bisa berhasrat untuk menjadi Liyan-hasrat dimana identifikasi merupakan satu bentuk tertentu, sedangkan cinta atau pemujaan merupakan bentuk Liyan lagi; (3) Hasrat anaklitik aktif yaitu seseorang bisa berhasrat untuk memiliki Liyan sebagai cara untuk mendapatkan kepuasan; (4) Hasrat anaklitik pasif yaitu

(24)

24

seseorang bisa berhasrat untuk menjadi hasrat orang lain atau dimiliki Liyan sebagai objek dari sumber kepuasaan Liyan.

Lacan menunjukkan bahwa Liyan itu bisa menjadi subjek atau objek hasrat- pembedaan ini dirumuskan oleh Freud sebagai pembedaan antara tujuan hasrat yang aktif atau pasif. ‘Liyan; bisa berupa citra orang lain yang ada di dalam tataran Imajiner atau kode yang membentuk tataran Simbolik atau seks Liyan dan/ atau objek a dari tataran Real. Maka masing-masing objek hasrat dalam ketiga tataran ini adalah penanda, citra, dan objek a.

1.5.4 Penanda Utama, Citraan, dan Fantasi

Menurut konsep bahasa Lacanian, suatu penanda selalu menandakan penanda lain: tidak ada kata yang bebas dari metaforitas (metafora adalah penanda yang menandakan penanda lain). Lacan bicara tentang glissement (keterpelesetan, ketergelincirian) dalam mata rantai penandaan, dari penanda yang satu ke penanda yang lain. Karena setiap penanda dapat menerima pemaknaan, maka tidak pernah ada makna yang tertutup, makna yang memuaskan. Setiap kata hanya dapat dipahami melalui kata lain. Selain itu setiap kata yang diucapkan hanya akan memiliki makna lengkap bila kalimat selesai, mungkin kata terakhirlah yang memberikan makna pada setiap kata yang muncul sebelumnya (Sarup, 2003:11).

Dalam tataran Yang Simbolik, penanda utama adalah penanda pembawa identitas.

Identifikasi subyek pada otoritas penanda utama membangkitkan hasrat menjadi objek “yang diinginkan” penanda utama tersebut.

Identifikasi subyek pada penanda-penanda utama (contohnya laki-laki, muslim, mahasiswa, perempuan, buruh, dan kafir) ini mendorongnya untuk menjadi apa yang diinginkan liyan simbolik tersebut. Seorang laki-laki, misalnya,

(25)

25

akan berupaya melepaskan semua hal yang akan membuatnya menjadi perempuan. Ia akan bereaksi ketika ada orang yang mencoba merusak atau menghilangkan penanda itu darinya. Hal ini sangat penting karena melahirkan rasa aman eksistensial. Rasa identitas yang dibentuk penanda simbolik membuatnya dapat mengenal dirinya sendiri dan dikenal orang lain. Hasrat untuk diinginkan oleh liyan simbolik pada giliranya menuntut hasrat untuk mengidentikasikan diri dengan liyan.

Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda yang lain. Hubungan paradigmatik merupakan relasi penandaan yang bekerja pada otoritas tataran simbolik penanda utama. Tanda yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau satu sistem.

Kata “perempuan” mempunyai hubungan paradigmatik dengan misalnya cantik, lemah-lembut, dan feminin.

Interpelasi subyek oleh penanda utama membangkitkan hasrat mengidentifikasi diri dengan tanda satu kelas atau satu sistem dalam struktur paradigmatik penanda utama. Hubungan paradigmatik ini membawa pada asosiasi mental yang disebut dengan hubungan metaforik. Hubungan metaforik hadir karena adanya kekuatan represi suatu penanda yang diganti dengan penanda baru.

Penanda pertama akan berubah menjadi petanda sejauh penanda pengganti menempati kedudukan penanda terganti dan merepresentasikanya. Imajinasi asosiatif yang muncul dari pergantian posisi penanda mendorong subyek menuju posisi dan mengidentifikas ciri, karakter, status, dan imaji yang terhubung dengan satu atau lebih penanda utama pengganti yang mengonstitusi ego idealnya. Karena

(26)

26

itulah sebuah penanda adalah sesuatu yang mewakili suatu subjek bagi penanda lainnya.

Tataran Yang Imajiner adalah tahap dimana diri mulai dibentuk, artinya pembentukan diri yang terlihat di cermin adalah citra. Kaitannya adalah citra menyiapkan fondasi kokoh di mana tataran simbolik bekerja dalam diri seseorang sebab citra tidak menjadi citra tanpa strukturasi dunia simbolik didalamnya. Relasi penandaan yang bekerja pada level tataran imajiner adalah hubungan sintagmatik yaitu hubungan tanda dengan tanda-tanda lainya. Dalam hubungan sintagmatik orang diajak untuk mengimajinasi ke depan atau memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran sintagmatik bertujuan untuk menciptakan stuktur dengan jalan mengkombinasikan unsur yang ada. Oleh karena itu identifikasi individu pada liyan tidak cukup hanya melalui hubungan penandaan yang bersifat paradigmatik tetapi juga dengan hubungan sitagmatik. Akhirnya, identifikasi simbolik melalui penanda utama berjalan seiring dan bekerja bersama dengan identifikasi imajiner melalui citra.

Dalam konsepsi Lacan, fantasi merujuk pada apa yang tersisa dari represi tataran simbolik. Fantasi berada pada tataran Yang Nyata yang disebut objek a yang merupakan sebuah objek yang berharga atau bahan yang terkait dengan Yang Nyata. Lacan memahami kegelisahan berkaitan dengan hasrat. Fantasi dipahami sebagai pendukung bagi hasrat. Objek a yang menjadi penyebab hasrat, tetapi hasrat didukung oleh fantasi, Dengan adanya fantasi seseorang mendapatkan ilusi untuk mendekati objek a (Lukman, 2011:54).

Objek a berfungsi sebagai objek utama yang menjadi pusat dorongan dan tempat dibangunnya fantasi. Bracher (2009:59) mengatakan dorongan tersusun

(27)

27

dari yang real, dari tubuh seorang subyek melalui rantai penanda tidak sadar yang dibentuk oleh tuntutan liyan yang berlangsung simbolik. Hal ini terjadi ketika kita mengidentifikasikan diri dengan penanda-penanda utama (dosen, buruh, majikan, dsb.) demi strukturasi dan interpelasi penanda tersebut dan demi kenyaman eksisitensial kita membedah diri kita dan mematikan bagian-bagianya.

Bersamaan dengan itu munculah larangan-larangan yang tak sesuai dengan kehendak penanda simbolik. Fantasi beroperasi untuk menjaga supaya keinginan tepat, untuk melindungi keinginan dari perubahan terlalu banyak (Hill, 2002: 76).

Meskipun demikian, kenikmatan yang dikorbankan tetap bertahan dan tampil dalam berbagai bentuk. Modus-modus hasrat yang direpresi ini tertanam dalam diri subyek membentuk fantasi yang memberikan hasrat terhadap rasa suka cita.

1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Data dan Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Akar karya Dee. Data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah teks yang terdapat di dalam novel Akar, sedangkan data sekunder berupa karya tulis, jurnal, majalah, koran, dan lain-lain yang berfungsi memperkaya dan mempertajam analisis mengenai hasrat pengarang.

Penelitian ini dibedakan atas dua objek yaitu objek formal dan objek material. Objek formal berkaitan dengan sudut pandang yang akan digunakan dalam penelitian untuk memahami objek material yang penulis pilih, sedangkan objek material berkaitan dengan materi penelelitian, wilayah penelitian, dan lapangan penelitian. Objek material penelitian ini adalah novel Akar sedangkan

(28)

28

objek formalnya adalah hasrat diri sebagai subjek yang dilihat dengan perspektif Lacanian.

1.6.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada dasarnya adalah mengumpulkan fakta- fakta empirik yang terkait dengan masalah penelitian (Faruk, 2012: 25).

Berdasarkan sumber data penelitian yang berupa teks yakni novel Akar karya Dee maka pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak.

Metode simak merupakan metode yang digunakan dalam penelitian bahasa dengan cara menyimak penggunaan bahasa pada objek yang diteliti (Sudaryanto, 1993:132). Selain digunakan dalam penelitian bahasa, metode simak juga dapat digunakan dalam penelitian sastra. Menyesuaikan dengan objek materi yang akan penulis analisis adalah berupa teks maka pemahaman metode simak akan disamakan dengan pembacaan berulang. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data penelitian ini antara lain: 1) membaca data berupa teks secara intensif dan berulang-ulang; 2) melakukan penyeleksian data; 3) mencatat data-data yang dinilai relevan; 4) melakukan analisis data sesuai dengan teori; 5) menyusun laporan penelitian.

1.6.3. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data yang dilakukan adalah mencari hubungan antar data yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan.

Diharapkan hasil analisis data menjadi pengetahuan ilmiah, pengetahuan mengenai aturan atau mekanisme yang memungkinkan adanya keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik yang menjadi sumber data (Faruk, 2012;

(29)

29

25). Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode psikoanalisis Lacanian yang berasumsi bahwa hasrat pengarang termanifestasikan melalui rangkaian penanda yang mekanismenya bekerja secara metafora dan metonimi.

Dengan demikian untuk mengidentifikasi hasrat pengarang dalam novel Akar, secara umum analisis yang dilakukan dengan mengidentifikasi bahasa (teks sastra) yang mengandung rangkaian penanda yang mekanismenya bekerja secara metafora dan metonimi sehingga dapat ditemukan hasrat pengarang yang tersembunyi.

Langkah analisis secara umum ini kemudian akan dibagi menjadi beberapa langkah khusus. Mengidentifikasi bahasa (teks sastra) merupakan kegiatan awal dengan menganalisis teks dalam novel Akar yang berupa penanda-penanda.

Identifikasi bahasa sebagai manifestasi hasrat subjek dilakukan dengan 1) mengumpulkan penanda-penanda utama dalam teks; 2) menganalisis hubungan antara penanda dengan penanda-penanda lain; 3) pemaknaan penanda berdasarkan mekanisme metafora dan metomini. Setelah diketahui hubungan dan makna tersembunyi dalam rangkaian penanda-penanda di dalam teks novel Akar maka akan dilihat hubungannya dengan hasrat pengarang.

Tahap identifikasi hasrat subjek merupakan kegiatan analisis yang mencari hasrat-hasrat tersembunyi dari penanda-penanda novel Akar yang sebelumnya telah dianalisis melalui rangkaian penanda yang bekerja dalam mekanisme metafora dan metonimia. Identifikasi ini dilakukan dengan 1) mengidentifikasi hasrat subjek melalui citraan liyan sebagai cermin tokoh Aku; 2) mengidentifikasi hasrat subjek melalui rasa kurang (lack) dan kehilangan subjek; 3) analisis objek a sebagai objek yang diinginkan; 4) pengelompokan hasrat menjadi dan hasrat

(30)

30

memiliki subjek. Dengan dilakukannya identifikasi-identifikasi hasrat melalui bahasa pengarang tersebut maka akan diketahui hasrat pengarang dalam novel Akar.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian yang berjudul “Hasrat Pengarang dalam Novel Akar: Perspektif Lacanian” ini terdiri dari tiga bab. Bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis dan variabel, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang latar belakang kehidupan Dee. Sedangkan Bab III membahas mengenai hasrat pengarang yang termanifestasikan melalui rangkaian penanda yang bekerja dengan mekanisme metafora dan metonimia. Lalu ada Bab IV berisi pembahasan mengenai hasrat menjadi dan memiliki pengarang. Terakhir, Bab V merupakan kesimpulan hasil analisis dari penelitian terhadap hasrat pengarang dalam novel Akar.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang telah diuraikan tersebut maka penulis berpendapat bahwa tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan dapat

didasarkan pada pemikiran bahwa pada dasarnya penelitian ini hendak menganalisis terhadap sinkronisasi hukum mengenai peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

Berapa orang yang diperlukan untuk menggali selokan itu dalam setengah

Dengan mengetahui kebutuhan serta sumber dokumen standar yang digunakan oleh mahasiswa, maka pihak- pihak terkait dengan informasi standardisasi bisa memperoleh gambaran

KELOMPOK TANI CIKEBO MUKTI Alamat : RT.03 RW.04 Kelurahan Talagasari Kecamatan Kawalu.. Kota Tasikmalaya Jawa Barat

Akan tetapi sebagai tontonan yang mengedukasi dan dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada penonton terutama

(2) Hampir semua penelitian (46 judul) berkaitan dengan kegiatan pendidikan dan pembelajaran, dan tidak ada satupun kegiatan penelitian yang ada kaitannya dengan

Berdasarkan analisis bivariat yang telah diuji statistik Korelasi Rank Spearman tentang Peran petugas kesehatan terhadap umur pemberian MP-ASI dini diperoleh ρ