• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Kecemasan a. Definisi

Kecemasan (dalam Bahasa Inggris disebut “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang artinya kaku, dan “ango, anci” artinya mencekik) adalah suatu emosi tidak menyenangkan, was-was yang kemudian ditandai dengan beberapa bentuk seperti khawatir berlebihan, kegelisahan, dan rasa takut yang dialami dalam tingkat yang berbeda – beda. Kecemasan digambarkan sebagai suatu perasaan tidak menentu yang memiliki kemampuan untuk berdampak pada psikologis manusia, yang melibatkan perasaan, perilaku, dan respon - respon fisiologis. Orang yang mengalami kecemasan dapat terjadi gangguan keseimbangan pribadi seperti tegang, resah, gelisah, takut, dan berkeringat. Orang dengan kecemasan akan merasa jauh dari perasaan bebas. (Hayat, 2014)

Kecemasan tumbuh pada individu saat sedang menghadapi situasi tidak menyenangkan baginya. Pada tingkat kecemasan sedang, persepsi individu fokus pada suatu hal penting dan mengesampingkan hal yang lain. Pada tingkat kecemasan berat atau tinggi, persepsi individu akan lebih mengalami penurunan, hanya memikirkan hal kecil bahkan mengabaikan hal lainnya, sehingga individu tidak dapat berpikir dengan suasana tenang. Kecemasan dapat melanda siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin dan kelompok usia manapun, termasuk mahasiswa. Kecemasan timbul dipicu oleh situasi dan kondisi tertentu yang membuat perasaan yang tidak nyaman dan dapat terjadi tanpa disadari. (Suratmi et al, 2017)

b. Epidemiologi

(2)

Riset Riskesdas terkait prevalensi gangguan mental emosional berupa gejala depresi dan kecemasan pada usia ≥ 15 tahun dari tahun 2013-2018. Hasil riset menyatakan bahwa prevalensi pada tahun 2013 memberikan hasil sebesar 14 juta orang atau sekitar 6% penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional berupa gejala depresi dan kecemasan. Kemudian, pada tahun 2018 kemarin, hasil riset yang didapatkan mengalami peningkatan, yakni menjadi 9,8%

dari penduduk Indonesia. Di mana prevalensi tersebut didapatkan berdasarkan wawancara dengan Self-Reporting Quistionnaire-20 (SRQ-20) (Kemenkes, 2018).

a. Patofisiologi

Terdapat gangguan pada beberapa neurotransmitter yang mendasari terjadinya gangguan kecemasan. Beberapa neurotransmitter tersebut seperti norepinefrin, serotonin, dopamin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA).

Neurotransmiter dan peptide lainnya seperti Corticotripin-Releasing Factor (CRF) juga terlibat. Pada penderita kecemasan terjadi peningkatan aliran di daerah parahipokampus kanan dan mengurangi pengikatan reseptor serotonin 1A di korteks cingulate anterior, korteks cingulate posterior, dan nukleus raphe pasien.

Kemudian didapatkan peningkatan hipokretin yang berperan dalam pathogenesis panik (Bhatt, 2019).

Amigdala merupakan bagian dengan peran penting dalam meredakan ketakutan dan kecemasan serta menyimpan ingatan emosional. Pasien yang terkonfirmasi mengalami gangguan kecemasan telah ditemukan menunjukkan respon amigdala yang meningkat terhadap tanda kecemasan. Struktur amigdala dan sistem limbik terhubung pada bagian korteks prefrontal, dan kelainan aktivasi prefrontal-limbik dapat ditangani dengan intervensi psikologis atau farmakologis (Chand & Marwaha, 2021).

b. Faktor-Faktor Kecemasan

Faktor dasar kecemasan terdiri dari hal – hal berupa stres, kondisi fisik terhadap penyakit, faktor lingkungan, hingga hal – hal yang terjadi di masa lalu hingga masa sekarang di kehidupan sehari-hari. Beberapa gangguan kecemasan

(3)

memiliki relasi yang kuat dengan faktor genetik. Selain itu, tidak jarang kecemasan disebabkan oleh peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dan rintangan. (Munir et al, 2019; Adwas et al, 2019)

Faktor predisposisi dai kecemasan meliputi hal – hal sebagai berikut:

1) Faktor Biologis

Kondisi fisiologis individu yang mampu mempengaruhi terjadinya fenomena kecemasan. Faktor biologis sendiri meliputi faktor genetik dan biologi. Faktor genetik menekankan pada komponen genetik terhadap berkembangnya perilaku kecemasan. Sedangkan faktor biologi melihat struktur fisiologis yang meliputi fungsi saraf, hormon, anatomi dan kimia saraf, yang meliputi patofisiologi dari kecemasan. (Stuart, 2016)

2) Faktor Psikologis

Menurut Stuart, berikut beberapa teori psikologis terkait kecemasan :

• Teori Psikoanalisis

Kecemasan sebagai konflik id dan superego yang merupakan elemen kepribadian. Id bertugas mewakili dorongan insting dan impuls primitif, dan superego merupakan gambaran cerminan hati nurani dan dikendalikan oleh norma budaya yang sudah ada sejak dahulu. Sedangkan Ego, bertugas menjadi penengah tuntutan dari dua elemen yang tersebut, dan Cemas menjadi reminder bahaya antara ketidakseimbangan keduanya.

• Teori Interpersonal

Rasa takut terhadap ketidaksetujuan pendapat dan penolakan interpersonal dalam diri individu sendiri mampu memicu cemas.

Kecemasan berhubungan dengan adanya perkembangan trauma selama kehidupan, seperti fenomena perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu.

• Teori Perilaku

Kecemasan sebagai penghalang individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kecemasan sebagai pertentangan dua kepentingan yang bentrok. Konflik menimbulkan kecemasan, dan ditambah lagi kecemasan

(4)

menumbuhkan perasaan tidak berdaya, yang justru meningkatkan konflik yang dialami individu. (Stuart, 2006; Yusuf et al, 2015)

3) Faktor Sosial

Faktor sosial yang mempengaruhi terjadinya kecemasan meliputi latar belakang dari aspek pendidikan dan ekonomi. Kecemasan merupakan hal yang sering ditemui di dalam sebuah keluarga. Apabila di dalam keluarga terdapat riwayat gangguan ansietas maka akan mempengaruhi respon individu dalam bereaksi terhadap konflik dan cara-cara mengatasi kecemasan. (Yusuf dkk, 2015)

c. Gejala Kecemasan

Gejala kecemasan dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) Gejala Fisiologis

Takikardi, palpitasi, sesak, nyeri dada atau tekanan pada dada, sensasi tersedak, pusing, hot flashes, menggigil, mual, sakit perut, gangguan pencernaan, gemetar, kebas di lengan dan kaki, kelemahan, pingsan, tegang otot, rigiditas, mulut kering, telinga berdenging, mengalami, dan mengalami gangguan berkemih. (Chand & Marwaha, 2021)

Selain itu, individu yang mengalami kecemasan secara umum merasakan beberapa gejala seperti kelelahan, nyeri otot, sakit kepala, keringat berlebihan, sesak napas, hingga palpitasi. (Milne, 2020)

2) Gejala Psikologis

Gejala psikologis atau kognitif kecemasan meliputi rasa gelisah berlebihan, rasa takut, sulit memusatkan konsentrasi, iritabilitas meningkat, dan cenderung mengisolasi diri. (Milne, 2020) Selain itu, penderita kecemasan juga mengalami persepsi yang tidak nyata, kewaspadaan berlebih terhadap ancaman, hingga kesulitan berbicara.

3) Gejala Perilaku

(5)

Individu yang mengalami kecemasan cenderung menunjukkan perilaku menghindari ancaman, melarikan diri, gelisah. Tidak jarang pula disertai dengan terjadinya agitasi, hiperventilasi, hingga kesulitan berbicara dan bergerak.

4) Gejala Afektif

Gejala afektif yang dimaksudkan yakni individu cenderung merasa gugup, tegang yang berkepanjangan, ketakutan. Selain itu, pada beberapa kondisi, individu dengan kecemasan juga merasakan putus asa, tidak sabar, hingga frustasi. (Chand & Marwaha, 2021)

d. Jenis Gangguan Kecemasan

Terdapat dua konsep kecemasan yang, yaitu kecemasan itu sendiri (anxiety) dan gangguan kecemasan (anxiety disorder). Canadian Mental Health Association (2015) menyatakan bahwa kecemasan merupakan reaksi yang normal timbul terhadap berbagai persitiwa dalam kehidupan sehari - hari. Kecemasan adalah sistem warning atau peringatan dini yang dimiliki oleh manusia untuk mengetahui diri akan adanya bahaya dan ancaman. Kecemasan yang luar biasa, sulit dikendalikan, dan tiba-tiba dapat merujuk pada gangguan kecemasan (anxiety disorder).

Menurut Sigmund Freud dalam Feist & Feist, 2014, kecemasan terbagi tiga jenis, yaitu :

1) Kecemasan Neurosis (neurotic anxiety)

Kecemasan yang disebabkan oleh bahaya yang tidak diketahui dengan jelas.

Perasaan ini sendiri berada pada ego, tetapi muncul dari dorongan id.

2) Kecemasan Realistis (realistic anxiety)

Kecemasan berupa rasa tidak menyenangkan dan tidak spesifik yang berkaitan dengan kemungkinan bahaya itu sendiri.

3) Kecemasan Moral (moral anxiety)

(6)

Kecemasan yang berasal dari bentrok antara ego dan superego. Kecemasan ini terjadi pada proses membangun superego, di mana kecemasan hadir dari konflik antar kebutuhan realistis dan perintah superego.

e. Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan menurut Peplau (dalam Sari, 2020) terbagi menjadi 4 tingkatan 1) Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan kecemasan kehidupan sehari-hari.

Kecemasan dalam tingkatan ini justru mampu menumbuhkan motivasi belajar, menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas. Tanda dan gejala pada kecemasan ringan berupa persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif serta kemampuan belajar yang meningkat. Perubahan fisiologis ditandai dengan gelisah, sulit tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda vital dan pupil normal.

2) Kecemasan sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang mulai memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

Respon fisiologis yang muncul berupa nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, gelisah, konstipasi. Sedangkan untuk respon kognitif yaitu lahan persepsi menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.

3) Kecemasan Berat

Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang lebih terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Gejala yang dialami kecemasan berat meliputi persepsi yang sangat kurang, berfokus pada hal yang detil, rentang perhatian sangat terbatas, dan sulit berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta tidak dapat belajar secara efektif. Pada tingkatan ini individu mengalami gejala fisiologis seperti sakit kepala, pusing, mual, gemetar, insomnia, palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil maupun besar, dan diare.

(7)

4) Panik

Menurut PPDGJ III, gangguan panik ditandai dengan beberapa kali serangan ansietas berat dalam waktu sekitar satu bulan:

a. Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya

b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya (unpredictable situations)

c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode di antara serangan-serangan panik (tetapi umumnya dapat terjadi juga “anxietas antisipatorik,” yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi.

(Maslim, 2013).

Menurut DSM-5, kriteria gangguan panik sebagai berikut:

a. Serangan panik tidak terduga yang berulang. Serangan panik berupa gelombang ketakutan yang sangat kuat yang mencapai puncaknya dalam hitungan menit, selama 4 menit (atau lebih). Gejala-gejala yang terjadi meliputi jantung berdetak cepat, berkeringat, gemetaran, sesak nafas, mual, pusing, menggigil.

b. Setidaknya satu serangan telah diikuti dari satu bulan (atau lebih) dari satu atau kedua hal berikut:

o Khawatir tentang munculnya panik tambahan atau dampaknya yang berupa kehilangan kontrol, mengalami serangan jantung, “menjadi gila”.

o Perubahan perilaku maladaptif yang signifikan terkait dengan serangan tersebut (contohnya, perilaku yang dirancang untuk menghindari serangan panik, seperti menghindari latihan atau situasi yang tidak biasa (APA, 2013)

f. Pemeriksaan dan Penilaian Kecemasan 1) Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS)

(8)

Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) merupakan sebuah kuesioner dengan 50 butir pertanyaan terstruktur yang pada akhirnya akan menentukan klasifikasi kecemasan menjadi tiga, yaitu kecemasan ringan (total skor < 20), kecemasan sedang (total skor 20 – 25), dan kecemasan berat (total skor > 25).

(Hadi et al, 2019)

g. Tata Laksana Kecemasan

Tata laksana Kecemasan meliputi psikoedukasi, psikoterapi, farmakoterapi, dan kombinasi psikoterapi serta farmakoterapi.

1) Psikoedukasi

Tata laksana berupa psikoedukasi dapat berupa pemberian informasi mendalam mengenai sifat kecemasan, etiologi yang memicu, hingga bagaimana perilaku menghadapi kecemasan. Dalam psikoedukasi, dokter memiliki peranan utama sebagai pemberi informasi terpercaya. (Kyrios et al, 2011)

2) Psikoterapi

Terapi perilaku kognitif adalah jenis psikoterapi pilihan pertama dalam pengobatan gangguan kecemasan. Psikoterapi yang paling efektif berupa cognitive-behavioral therapy (CBT). Terapi ini berbentuk terapi berorientasi pada tujuan, terapi terstruktur yang berfokus dalam mengidentifikasi dan memodifikasi karakteristik berfikir yang maladaptif. Bentuk terapi CBT ini berfokus pada pembangunan keterampilan perilaku sehingga pasien diharapkan dapat berperilaku dan bereaksi lebih adaptif terhadap situasi yang memicu kecemasan. Terapi eksposur digunakan untuk menggerakkan individu menghadapi situasi dan rangsangan yang memicu kecemasan yang biasanya dihindari. Eksposur ini menghasilkan pengurangan gejala kecemasan karena dengan terapi ini pasien menjadi tahu bahwa kecemasan yang terjadi menyebabkan mereka mengalami alarm palsu dan mereka tidak perlu takut pada situasi atau rangsangan tersebut serta dapat mengatasi situasi seperti itu secara efektif. (Chand & Marwaha, 2021)

(9)

3) Farmakoterapi

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) dan Serotonin Noradrenaline Reuptake Inhibitor (SNRI) merupakan lini pertama untuk pengobatan gangguan kecemasan.

o Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)

Obat – obatan yang tergolong dalam SSRI seperti fluoksetin, citalopram, escitalopram, sertralin, dan paroxentin, memiliki tingkat efektivitas yang sangat baik dalam menangani segala jenis gangguan kecemasan.

o Serotonin Noradrenaline Reuptake Inhibitor (SNRI)

Obat – obatan yang tergolong dalam SNRI seperti venlafaxin dan duloxetine, memiliki tingkat efektivitas yang sama baiknya dengan SSRI, terutama untuk General Anxiety Disorder (GAD). (Kyrios et al, 2011)

Benzodiazepine seringkali digunakan pada pengobatan gangguan panik dan General Anxiety Disorder (GAD)

o Benzodiazepine

Obat – obatan yang tergolong dalam benzodiazepine seperti alprazolam, diazepam, lorazepam, dan clonazepam, bekerja secara efektif dalam proses relaksasi, mengurangi tegangan pada otot, dan membantu menangani gejala lain dari kecemasan. Obat golongan benzodiazepine bekerja dengan cepat sehingga efektif bila digunakan pada serangan panik atau episode yang luar biasa.

o Buspirone

Buspirone merupakan obat penenang ringan yang waktu bekerjanya lebih lambat bila dibandingkan dengan benzodiazepine dan butuh waktu sekitar 2 minggu untuk mulai bekerja. Buspirone tidak menimbulkan ketergantungan pada yang mengonsumsinya.

o Beta Blocker

Obat – obatan yang tergolong dalam beta blocker seperti propranolol dan atenolol, bekerja mengontrol gejala fisik dari

(10)

kecemasan yang meliputi peningkatan detak jantung, berkeringat, pusing, dan gemetar. (Chand & Marwaha, 2021)

2. Prestasi Belajar a. Definisi

Prestasi belajar adalah hasil yang didapatkan siswa setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran. Di akhir pembelajaran, perlu diketahui tingkat keberhasilan belajar sehingga dibutuhkan evaluasi yaitu suatu pengukuran, pengolahan, dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar atau prestasi belajar siswa setelah mengikuti proses pembelajaran dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

Prestasi belajar dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil dicapai oleh setiap mahasiswa dalam periode waktu tertentu dan dapat dinyatakan bahwa prestasi belajar menunjukkan hasil dari suatu kegiatan pembelajaran yang disertai perubahan maupun perkembangan yang dicapai mahasiswa. (Rosyid et al, 2019). Prestasi diperoleh dari hasil evaluasi atau penilaian. Setiap peserta didik akan memiliki hasil belajar atau prestasi yang berbeda satu sama lain.

b. Aspek – Aspek Prestasi Belajar

Terdapat beberapa indikator untuk melihat hasil belajar siswa diantaranya : 1) Aspek Kognitif

Benjamin S. Bloom dalam bukunya “Taxonomy of Educational Objective”

membagi aspek kognitif menjadi enam:

a. Pengetahuan, kemampuan mengenali, me-recall, dan mengingat adanya konsep, fakta, ide, rumus-rumus, istilah, nama.

b. Pemahaman, kemampuan memahami materi pelajaran yang disampaikan dan dapat memanfaatkannya.

c. Penerapan, kemampuan menggunakan ide-ide umum, tata cara, metode, dan teori-teori dalam situasi terkini dan konkret.

(11)

d. Analisis, kemampuan menguraikan suatu keadaan tertentu ke dalam unsur - unsur atau komponen pembentuknya.

e. Sintesis, penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian kedalam bentuk menyeluruh.

f. Evaluasi, kemampuan melakukan penilaian situasi, keadaan, pernyataan atau konsep berdasarkan kriteria tertentu.

2) Aspek Afektif

Ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ada beberapa kategori ranah afektif sebagai hasil belajar, yaitu:

a. Penerimaan (Receiving)

Kemampuan rasa peka seseorang dalam menerima stimulus atau rangsangan dari luar yang datang kepada dirinya dalam berbagai bentuk, mulai dari masalah, situasi, dapat berupa kesadaran untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala atau rangsangan yang datang dari luar.

b. Jawaban (Responding)

Reaksi yang diberikan oleh individu terhadap rangsangan yang berasal dari luar.

c. Penilaian (Valuing)

Cara individu memberi nilai terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan rugi atau menyesal.

d. Organisasi

Kemampuan individu membentuk suatu sistem penilaian sebagai pedoman dalam kehidupan, yang dinyatakan dalam pengembangan suatu perangkat nilai.

e. Karakteristik nilai

Kemampuan individu menghayati nilai-nilai kehidupan sehari-hari sehingga pelajaran yang didapat diimplementasikan secara nyata sebagai pedoman dalam berbagai bidang kehidupan.

3) Aspek Psikomotor

(12)

Ranah yang berkaitan dengan keterampilan atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Aspek psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif. Hal ini bisa dilihat apabila peserta didik sudah mampu menunjukan perilaku sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya (Khotimah & Darwati, 2017).

c. Faktor - Faktor Prestasi Belajar

Menurut Muhibbin Syah (Wahab, 2016) faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar, yaitu :

1) Faktor internal

• Faktor Fisiologis

Keadaan sehat, segar, dan bugar akan memiliki dampak yang positif terhadap kegiatan pembelajarannya. Peran fungsi fisiologis keseluruhan pada tubuh manusia sangat memengaruhi hasil belajar, terlebih lagi terkait dengan kesehatan panca indera.

• Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang dimaksud meliputi komponen seperti intelegensi, motivasi, minat, sikap, hingga bakat individu. Inteligensi ialah kompetensi psikofisik dalam merespon rangsangan dengan baik. Motivasi, tentunya salah satu faktor semangat belajar mahasiswa. Minat mengarahkan kecenderungan dan gairah yang tinggi dalam mencapai prestasi. Kemudian, sikap dikatakan sebagai cara individu untuk merespon terhadap objek, , peristiwa, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sedangkat bakat ialah kemampuan potensial individu untuk mencapai keberhasilan.

2) Faktor eksternal

o Lingkungan sosial

Lingkungan sosial yang dimaksud menjadi faktor eksternal prestasi belajar meliputi lingkungan masyarakatsekitar, lingkungan di dalam keluarga, dan lingkungan belajar itu sendiri, kampus atau sekolah.

(13)

o Lingkungan nonsosial

Lingkungan nonsosial atau alamiah seperti kondisi udara yang segar, suhu, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana sejuk dan tenang, serta lingkungan instrumental berupa perangkat belajar perangkat keras (gedung sekolah, alat dan fasilitas belajar, lapangan olahraga), perangkat lunak (kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, buku panduan) mampu mempengaruhi prestasi belajar individu.

d. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)

Prestasi akademik termasuk aspek kognitif dari prestasi belajar dan dapat ditentukan melalui pengukuran dan penilaian, yang di mana dalam hal ini, keberhasilan studi diukur menggunakan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).

Penilaian prestasi ini dilakukan guna mengukur pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam kurikulum. IPK merupakan salah satu indikator keberhasilan mahasiswa selama menjalankan masa perkuliahan, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki IPK yang baik maka memiliki kemampuan yang baik pula dalam kegiatan belajarnya dan akan berpengaruh baik pula bagi perkembangannya di masa depan.

Hasil penilaian akhir pembelajaran di tiap semester dinyatakan dalam Indeks Prestasi Semester (IPS), sedangkan pada akhir program studi dinyatakan dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK). (Hodsay, 2016)

Menurut Peraturan Rektor Universitas Sebelas Maret Nomor:

5821/UN27/HK/2016 Tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan Program Sarjana, Bab XIII Pasal 20 ayat (1) sampai (4), yang menyatakan bahwa :

Kelulusan mahasiswa pada program sarjana dinyatakan dengan predikat memuaskan (IPK 2,76 – 3,00), sangat memuaskan (IPK 3,01 – 3,50) atau dengan pujian (cumlaude) (IPK 3,51 – 4,00)

(14)

Indeks Prestasi Komulatif (IPK) dihitung dari beberapa semester atau akhir program dengan rumus :

IPK = ∑(𝑁 𝑋 𝐾)1

∑𝐾 + …. + ∑(𝑁 𝑋 𝐾)𝑛

∑𝐾

Keterangan :

K = SKS tiap mata kuliah pada semester

N = Bobot nilai tiap mata kuliah

∑K = Jumlah SKS seluruh mata kuliah yang ditempuh

3. Pembelajaran Dalam Jaringan (Daring) di Masa Pandemi COVID-19 a. Pembelajaran Dalam Jaringan (Daring)

Pembelajaran daring merupakan sistem pembelajaran yang mengandalkan jaringan internet yang membutuhkan aksesibilitas, konektivitas, fleksibilitas, dan kemampuan untuk memunculkan berbagai jenis interaksi pembelajaran. (Sadikin dan Hamidah, 2020)

Sejak awal 2020, WHO menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi berskala global. Sejalan dengan rekomendasi WHO melalui International Health Regulations (2005) Emergency Committee, Januari 2020, social distancing diberlakukan dengan tujuan melindungi pihak yang berisiko tinggi terhadap morbiditas dan penyakit terkait COVID-19 (Le et al, 2020).

Pembelajaran konvensional tatap muka yang mengumpulkan kerumunan banyak mahasiswa dalam satu ruangan harus menjalani peralihan total menjadi sistem pembelajaran daring, yang dinilai mampu meminimalisir kontak fisik atau tatap muka antara mahasiswa dengan mahasiswa lain, ataupun antara mahasiswa dengan dosen (Firman & Rahayu, 2020).

(15)

Berdasarkan keputusan pemerintah, seluruh kampus di seluruh Indonesia sepakat untuk menaati kebijakan pemerintah terkait pembelajaran kuliah online.

Sekolah dan kampus dengan berbagai jenjang secara nasional sepakat menjalankan sistem pembelajaran daring. Dengan begitu, tanpa disadari, pandemi COVID-19 berdampak serius terhadap sektor pendidikan secara global (Hasanah et al, 2020).

b. Adaptasi Mahasiswa terhadap Pembelajaran Daring

Peralihan dari situasi pembelajaran konvensional tatap muka menjadi pembelajaran daring tentu memberikan dampak pada mahasiswa. Hal yang menjadi perhatian dalam pembelajaran daring ini adalah implementasi dari pembelajaran.

Mahasiswa berkenalan dengan berbagai fitur dan aplikasi baru yang cukup awam seperti Whatsapp, Google Form, Google Meet, Zoom, Google Classroom, dan lain sebagainya. Berbagai aplikasi inilah yang kemudian menjadi media pembelajaran sebagai pengganti pembelajaran tatap muka konvensional (Kossassy, 2020). Bagi sebagian besar mahasiswa, fitur dan aplikasi tersebut merupakan hal yang cukup awam dan dibutuhkan waktu untuk mengadaptasikannya pada kegiatan belajar sehari – hari. Perkuliahan daring juga sangat bergantung pada akses internet yang mencukupi di daerah masing – masing. Dibutuhkan cara dan usaha yang berbeda untuk memahami materi yang biasanya disampaikan secara lisan, berubah menjadi dalam bentuk tulisan dan video atau live streaming. (Sari, 2020)

Selanjutnya, perlu diperhatikan dalam pembelajaran daring, mengenai model pembelajaran yang digunakan oleh pendidik yaitu dosen dan para guru. Pada masa pembelajaran daring, mahasiswa dituntut untuk menjadi lebih mandiri terutama dalam memahami materi. Keterbatasan pemahaman terkait teori yang didapat mahasiswa juga sangat berpengaruh sehingga mampu memberi tekanan karena tuntutan pada kemampuan mahasiswa untuk menjalankan kegiatan belajar dan mengerjakan tugas pembelajaran. Keterbatasan ruang membuat mahasiswa tidak bisa leluasa bertanya baik kepada dosen pengajar maupun kepada teman. Apalagi sistem pembelajaran daring yang berbeda sehingga materi yang didapat mahasiswa tidak se efektif biasanya. (Kartika, 2020)

(16)

Beberapa hal yang patut dikhawatirkan terkait peralihan ini ialah mahasiswa menjadi pasif, dan mengalami penurunan kreativitas maupun produktivitas dalam mengembangkan potensi belajarnya. (Kossassy, 2020)

4. Hubungan Kecemasan Selama Pembelajaran Daring di Masa Pandemi COVID-19 dengan Prestasi Belajar

Peneliti sudah memaparkan beberapa pendapat ahli mengenai masalah yang berhubungan langsung dengan proses perkuliahan daring sehari-hari. Namun, selain adaptasi dengan faktor eksternal yang ada, terdapat pula hal yang menjadi stresor dari kehidupan sehari-hari mahasiswa itu sendiri yang dapat berisiko mengakibatkan munculnya masalah pada kesehatan mental. (Fauziyyah et al, 2021)

Kecemasan merupakan prediktor utama bagi kinerja akademik berupa prestasi belajar. Tumbuhnya kecemasan dalam lingkungan belajar tentunya akan memicu muncul nya gejala - gejala terkait kecemasan, baik dari aspek fisiologis, psikologis, perilaku, maupun afektif. Fenomena ini mampu memberi pengaruh secara langsung pada lingkungan belajar. Di sisi lain, demi tercapainya prestasi belajar yang baik, terdapat faktor-faktor fundamental yang mendasarinya, baik faktor internal (psikologis dan fisiologis) maupun faktor eksternal (lingkungan sosial dan nonsosial). Penurunan kondisi psikologis yang disebabkan oleh kecemasan berlebihan dapat menjadi faktor yang menghalangi individu dalam proses pencapaian prestasi.

Individu yang tanpa perasaan cemas berlebihan cenderung mampu mengatasi situasi pembelajaran dengan lebih baik. Sebaliknya, individu yang mengalami perasaan cemas berlebihan cenderung memiliki persepsi negatif sehingga tidak mampu menumbuhkan motivasi belajar yang dibutuhkan dalam pengembangan potensi belajar. (Vivin et al, 2019)

(17)

B. Kerangka Pemikiran

= Tidak Diteliti

= Diteliti

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Psikologis

Fisiologis

Tingkat Kecemasan Selama Pembelajaran

Daring di masa Pandemi

Prestasi Belajar

Afektif Perilaku

(18)

C. Hipotesis

Ho: tidak terdapat hubungan antara Tingkat Kecemasan selama Pembelajaran Daring di Masa Pandemi Covid dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Semester 7 FK UNS

Ha: terdapat hubungan antara Tingkat Kecemasan selama Pembelajaran Daring di Masa Pandemi Covid dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Semester 7 FK UNS

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Psikologis Fisiologis Tingkat Kecemasan Selama Pembelajaran Daring di masa Pandemi  Prestasi Belajar Afektif Perilaku

Referensi

Dokumen terkait

Geometry and Building Flat (GBF) yang dapat digunakan sebagai media pendukung belajar siswa dalam pelajaran matematika khususnya pada materi bangun ruang dan

Hubungan yang positif berarti jika nilai suatu faktor modal kerja meningkat (yakni tingkat perputaran kas, tingkat perputaran persediaan, tingkat perputaran piutang,

Laporan Akuntabilitas Kinerja Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar ini menjelaskan pencapaian kinerja Balai selama Tahun 2015, capaian kinerja

Diantara kombinasi antibiotik yang digunakan beberapa pola kombinasi pada puskesmas A adalah amoksisilin kaplet dengan oksitetrasiklin salep mata, amoksisilin sirup

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai pola penggunaan antibiotik profilaksis dilihat dari jenis antibiotik, rute, dosis, frekuensi, durasi dan

Penelitian dengan meggunakan metode-metode dalam pendekatan kuantitatif yang selanjutnya disebut penelitian kuantitatif, adalah suatu bentuk penelitian ilmiah yang

 Megaphyllus, yaitu paku yang mempunyai daun besar sehingga mudah dibedakan atas batang dan daun , misalnya pada Asplenium.  Macrophyllus, yaitu paku yang memiliki

Buku ilmiah populer Etnobotani Tumbuhan Leucosyke capitellata di Kawasan Hutan Bukit Tamiang Kabupaten Tanah Laut mempunyai nilai 92,71% dengan kriteria sangat valid yang