• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN WEBINAR DENGAN DOSEN-DOSEN STT OIKUMENE KELAPA GADING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN WEBINAR DENGAN DOSEN-DOSEN STT OIKUMENE KELAPA GADING"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

LAPORAN WEBINAR DENGAN DOSEN-DOSEN STT OIKUMENE KELAPA GADING

Berdasarkan surat tugas dari STFT Jakarta No. 113h/Ketua/VII/2021 maka pada tanggal 12 Juli 2021, saya melaksanakan Webinar tentang Konstruksivisme dalam Pembelajaran nagi para dosen di STT Ekmene Jakarta.

Dalam pelaksanaan webinar itu peserta yang hadir berjumlah 50 peserta. Mereka sangat memberikan apresiasi untuk materi yang disampaikan. Dalam sesi diskusi ada banyak masukan dan pertanyaan yang disampaikan oleh para peserta. Pertanyaan-pertanyaan itu terutama berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan tugas sebagai dosen dalam melakukan konstruksi terhadap materi pembelajaran. Mereka sangat berteima kasih atas materi dan diskusi yang berlangsung karena sangat membantu mereka dalam proses belajar mengajar.

Jakarta, 16 Juli 2021

Prof. Samuel Benyamin Hakh, D.Th

(3)

TANGGAL JAM (WIB) MATERI & AKTIVITAS BELAJAR JP PENGAJAR

09.00 - 09.30 Pembukaan 0 Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis

09.30 - 11.15 Sistem Pelatihan SDM Kementerian Agama 3 Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis 11.15 - 11.30

11.30 - 12.40 Pengarahan Program Pelatihan 2 Efa Ainul Falah, MA 12.40 - 13.15

13.15 - 15.00 Konsep Dasar Pengembangan Kurikulum 3 Dr. Fauzan, M.A.

15.00 - 16.20 Tugas Mandiri

09.00 - 10.45 Konstruktivisme dalam Pembelajaran 3 Prof. Dr. Samuel Hakh 10.45 - 11.00

11.00 - 12.45 Teori Belajar dan Motivasi 3 Yudi Munadi, M.A.

12.45 - 13.15

13.15 - 15.00 Teknik Pembelajaran Orang Dewasa 3 Yudi Munadi, M.A.

15.00 - 16.30 Tugas Mandiri

09.00 - 10.45 Desain Pembelajaran 3 Dr. Fauzan, M.A.

10.45 - 11.00

11.00 - 12.45 Model-model Pembelajaran Inovatif 3 Tanenji, M.A.

12.45 - 13.15

13.15 - 15.00 Dasar Komunikasi dan Dasar Keterampilan Mengajar 3 Tanenji, M.A.

15.00 - 16.30 Tugas Mandiri

09.00 - 10.45 Penulisan Buku Ajar & Ragam Media Dalam

Pembelajaran 3 Dr. Jejen Musfah, M.A.

10.45 - 11.00

11.00 - 12.45 Evaluasi Proses, Penilaian Hasil, dan Capaian

Pembelajaran Matakuliah 3 Dr. Ahmad Sofyan, M.Pd.

12.45 - 13.15

13.15 - 15.00 Rencana Pembelajaran Semester 3 Dr. Iwan Purwanto, M.A.

15.00 - 16.30 Tugas Mandiri

09.00 - 10.45 Rencana Pembelajaran Semester (Lanjutan) 3 Dr. Iwan Purwanto, M.A.

10.45 - 11.00

11.00 - 12.10 Ujian 2 Muh. Tamam, S.Pd

12.10 - 13.00

13.00 - 16.30 Presentasi dan Evaluasi (3 Kelompok) 6 Dr. Imam Syafe'i, Dr. Jejen Musfah, Efa Ainul Falah, MA,

16.30 - 18.20 Perbaikan Hasil Presentasi Panitia

46 JADWAL PELATIHAN PEKERTI DAN APPLIED APPROACH

PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS PENDIDIKAN DAN KEAGAMAAN BEKERJA SAMA DENGAN TANGGAL, 12-16 JULI 2021

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI EKUMENE

SENIN, 12 Juli 2021

Jumlah JP

Istirahat

SELASA, 13 Juli 2021

Istirahat

Istirahat

Istirahat

Istirahat Istirahat

Istirahat

Istirahat

Istirahat

Istirahat RABU, 14 Juli 2021

KAMIS, 15 Juli 2021

JUMAT, 16 Juli 2021

(4)

KONSTRUKSIVISME DALAM PEMBELAJARAN TEOLOGI Samuel Benyamin Hakh

Pendahuluan.

Pendidikan pada masa kini tidak hanya sekedar mengalihkan hasil-hasil ilmu dan teknologi dari guru kepada siswa, melainkan perlu ada upaya agar siswa menginternalisasi nilai-nilai baru pada diri mereka. Internalisasi itu dilaksanakan secara terus menerus untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Dengan begitu tujuan pendidikan dapat dicapai secara efekti dan efesien. Tujuan pendidikan adalah supaya meningkatnya mutu pendidikan pada diri siswa. Namun untuk meningkatnya mutu pendidikan itu, perlu ada interaksi antara guru dan murid yang terjadi secara manusiawi. Interaksi itu perlu diupayakan oleh guru sebab upaya untuk mengembangkan mutu siswa, adalah misi pendidikan yang menjadi tanggung jawab profesional setiap guru. Pengembangan mutu itu merupakan suatu keharusan dalam memasuki era globalisasi ini agar siswa mampu bersaing dengan dunia luar. Oleh karena itu, perlu digaris bawahi bahwa mutu pendidikan merupakan suatu yang tidak bisa diabaikan.

Metode belajar yang lama di mana guru mengisi siswa dengan sejumlah pengetahuan lalu mereka diwajibkan menghafal sejumlah catatan dari guru sudah harus ditinggalkan. Sebaliknya siswa harus menjadi subyek dalam proses belajar mengajar.1Apalagi dengan dicanangkannya

“merdeka belajar” yang diberlakukan bagi pelaksanaan pendidikan di Indonesia oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka lembaga-lembaga pendidikan perlu menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan pasar sehingga menghasilkan lulusan yang kreatif dan inovatif dalam mengikuti perkembangan di era globalisasi ini. Dalam kaitan itu filsafat konstruksivisme menarik untuk dikaji. Sebab filsafat konservatisme menghendaki agar siswa menggunakan kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan keilmuan pada zamannya. Siswa harus aktif mengembangkan pengetahuannya sendiri bukan menerima pengetahuan yang siap saji dari guru. Itu berarti siswa harus berinisiatif untuk mengembangkan dirinya.2

1Suparlan, Teori dan Praktik Pendekatan Konstruksivisme dalam Pembelajaran” Edunomic, volume 4 No.1 (Tahun 2016), 80

2M. Yusuf, Witralail Arfansyah, “Konsep ‘Merdeka Belajar’ dalam pandangan Filsafat Konstruksivisme”, Al- Murabbi: Jurnal Studi Kependidikan dan Keislaman, Vol. 7, No. 2 (2021), 121,122.

(5)

2 Dalam upaya untuk meningkatkan mutu atau kualitas belajar mengajar, kita tidak dapat menghindari adanya teori. Teori menempati posisi yang sangat penting. Sebab teori itu memungkinkan kualitas pendidikan itu bisa tercapai. Dalam dunia pendidikan ada banyak teori namun pada kesempatan ini kita akan membahas salah satu teori yang sudah sangat terkenal dalam dunia pendidikan adalah konstruksivisme.

Mengenal Sekilas Tokoh-Tokoh Konstruksivisme dan Pandangan-Pandangan Mereka.

Sebelum kita membahas mengenai apa itu konstruksivisme maka kita perlu mengenai tokoh-tokoh konstruksivisme yang mengembangkan filsafat ini. Embrio dari filsafat konstruksivisme ini bertolak dari penelitian John Dewey, Jean Piaget, Lev Vygotky, Jerome Bruner. Karena ruang dan waktu yang terbatas maka kita hanya menyebut empat tokoh secara singkat.

Pertama, John Dewey, dalam karyanya yang berjudul “Experience and Education”

berbicara tentang pengalamannya yang didapat di sekolah progresif. Menurutnya, sejarah teori pendidikan telah dibentuk oleh dua pemikiran yang berlawanan. Pertama, pendidikan merupakan pengembangan internal yang didasarkan pada bakat alami peserta didik. Di sisi lain, ia berpendapat bahwa pendidikan adalah proses pembangunan eksternal, independen dari bakat atau kemampuan manusia. Ia mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip yang terlihat di sekolah-sekolah progresif adalah “membangun gagasan pengembangan individual dari siswa dari pada memaksakan gagasan dari atas ke bawah. Itu berati perlu ada kebebasan belajar bagi siswa. Mempraktikkan pendidikan aktif dari pada pembelajaran yang pasif dari guru dan teks;

merangkul pemikiran belajar untuk menggunakan keterampilan dan teknik sebagai sarana untuk mencapai tujuan dalam dunia yang teru berubah. Menurut Dewey pendidikan yang real dicapai melalui pengalaman, namun ia mengingatkan bahwa tidak semua pengalaman sama- sama mendidik. Bahkan sebuah pengalaman mungkin tidak benar-benar mendidik sama sekali.

Oleh karena itu, “pengalaman dan pendidikan” tidak bisa langsung disandingkan begitu saja.

Maka partisipasi aktif dan pengarahan diri oleh siswa dan pengalamannya sangat penting untuk pemecahan masalah.3 Dewey menekankan bahwa pengalaman anak itu sendiri harus diakui sebagai inti dari isi dan proses pendidikan maka ia menolak pembagian antara kelas dan "dunia

3Dewey , J. Eperience and Education. The 60th., Anniversery Edition., Lecture Part. Kappa Delta Pi, International Honor Society in Education (1998),22,23.

(6)

nyata". Ia menekankan bahwa siswa memiliki "pengalaman hidup" dari dunia nyata, yang idealnya mencakup pada satu kontinum, pengalamannya di kelas serta di luar itu.4

Kedua, Jean Piaget ((1896–1980), adalah seorang psikolog personal dan ahli teori perkembangan Swiss Prancis yang terkenal. Piaget mengembangkan teori proses berpikir seorang anak. Awalnya, ia membangun teorinya dengan mengamati anak-anaknya sendiri saat mereka belajar dan bermain bersama. Dia sama sekali bukan seorang pendidik, dan dia hanya menulis satu buku tentang pengajaran dan pedagogi. Masalah penelitian dasarnya adalah epistemologis dan filosofis, tentang: Apa hakikat pengetahuan? Bagaimana ia tumbuh dan berkembang? Piaget, yang dikutip oleh Emel Űltanir, mengemukakan bahwa hakikat pengetahuan harus dipelajari secara empiris di mana ia benar-benar dibangun dan berkembang.

Hal ini dapat dilakukan baik melalui sejarah perkembangan pengetahuan atau dapat dipelajari dalam pertumbuhan dan perkembangan individu. Fokus utama konstruktivisme Piaget berkaitan dengan individu dan bagaimana individu membangun pengetahuan. Piaget mengusulkan bahwa manusia tidak dapat diberikan informasi, yang segera mereka pahami dan gunakan; sebaliknya manusia harus membangun pengetahuannya sendiri. Menurut Piaget,“fungsi-fungsi esensial pikiran dibentuk dengan mengembangkan landasan yang terdiri dari pemahaman dan inovasi serta konstruksi realitas.5 Piaget menegaskan pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa melalui asimilasi dan akomodasi.6Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran, sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru , sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.7 Mengutip Piaget, M Yusuf, Witralail mengemukakan bahwa Piaget lebih banyak menekankan bahwa konstruksivisme merupakan proses belajar dari sisi personal (Individual Conitive Constructivist). Ia menekankan tentang bagaimana proses pengetahuan seseorang dalam perkembangan intelektual. Istilah yang banyak digunakan oleh Piaget dalam menjelaskan pengetahuan dikenal dengan perkembangan kognitif yaitu skema asimilasi, akomodasi dan equilibration (keseimbangan seseorang dengan lingkungannya).8

Ketiga, Lev Vygotsky(1896–1934), adalah tokoh kontruksivisme yang lebih menekankan proses belajar pada sisi sosial (sociocultural Construcsivist) yang

4Emel Űltanir, “An Epistemological Glance at the Constructivist Approach:Constructivist Learning in Dewey, Piaget, and Montessori”, International Journal of Instruction, vol., 5, No. 2 ( July 2012), 206

5Emel Űltanir, “An Epistemological Glance at the Constructivist Approach:Constructivist Learning in Dewey, Piaget, and Montessori”, 201

6Dahar, Teori-teori Belajar (Jakarta: Dirjen DIKTI Depsikbud, 1989), 159.

7Dahar, Teori-teori Belajar, 133

8M. Yusuf, Witralail Arfansyah, “Konsep ‘Merdeka Belajar’ dalam pandangan Filsafat Konstruksivism”, 124

(7)

4 mengembangkan teori pembelajaran konstruktivis sosial dalam karyanya Psychology of Art.9 Teori sosiokultural berfokus pada peran konteks sosial, budaya, dan fisik pada pembuatan makna dengan penekanan pada peran konteks sosial dan praktik sosial. Label lain yang diterapkan pada teori ini adalah "konstruksionisme sosial", "pandangan sosiosentris", dan

"pendekatan interaksionis". Teori-teori sosiokultural berfokus pada partisipasi pembelajar dalam praktik-praktik sosial di lingkungan, komunitas, dan budaya.10

Vygotsky, yang dikutip oleh Ahmad Nizar Rangkuti mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu perkembangan pengertian. Dalam proses belajar mengaar terjadi perkembangan pengertian yang spontan menuju yang lebih ilmiah. Menurut Vygotsky siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistik dan kemudian diberikan bantuan secukupnya dalam menyelesaikan tugas tersebut. Hal ini diharapkan agar terwujud suatu kemampuan dari siswa untuk menyelesaikan tugas kompleks tersebut.

Dengan diilhami oleh karya Vigotsky, sosiokulturalisme lebih menekankan praktek kultural dan sosial dalam lingkungan belajar. Menurut para sosiokulturalis, aktivitas mengerti selalu dipengaruhi oleh partisipasi seseorang dalam praktek sosial dan kultural yang ada.11

Keempat, Jerome S. Bruner (1915–2016) Bruner terlahir buta dan itu mungkin berdampak pada kariernya di kemudian hari. Dia sendiri mencatat bahwa, selama dua tahun buta pertama, dia telah membangun dunia visual dalam pikirannya. Oleh karena itu, ia memiliki intuisi yang kuat bahwa persepsi tidak hanya dikendalikan oleh indera tetapi juga oleh pikiran.

Studi awalnya A Study of Thinking (Bruner et al., 1956), memainkan peran penting dalam revolusi kognitif yang sekarang disebut ilmu kognitif. Belakangan, pemikiran ini terwujud sebagai psikologi kognitif dan sebagai teori belajar konstruktivis atau konstruktivisme dalam pendidikan dalam arti luas. Menurut Bruner, proses Pendidikan membawa revolusi kognitif ke diskusi pendidikan. Bruner adalah salah satu tokoh kunci teori konstruktivis modern. Ia adalah seorang ahli psikologi di bidang perkembangan dan kognitif. Menurutnya, belajar itu melewati tiga peoses yaitu mendapat informasi baru adalah suatu tahap awal yang mendapatkan pemahaman, mengolah atau mentransformasi merupakan tahap di mana seseorang mencerna memahami dan menganalisis pengetahuan yang ia dapatkan dan menguji atau mengevaluasi

9Jari Metsämuuronen, Pekka Juhani Räsänen, “Cognitive- Linguistic and Constructivist Mnemonic Triggers in Teaching Base on Jerome Bruner’s Thingking”, Hypothesis and Theory: (12 December 2018) doi:

10.3389/fpsyg.2018.02543.

10

11Ahmad Nizar Rangkuti, “Konstruksivisme dan Pembelajaran Matematika”, Jurnal Darul ‘Ilmi, vol;.02. No. 02, (Juli 2014), 63

(8)

memiliki fungsi untuk menilai bagaimana jalan dan proses transformasi telah dilalui secara tepat.12

Konstruksivisme dalam Pembelajaran

Istilah construcsivism berasal dari kata kerja dalam bahasa Inggris “to consruct”. Istilah ini merupakan serapan dari bahasa Latin conetruere yang berarti: menyusun, membuat struktur.13Konstruktivisme adalah cabang filsafat yang memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi dalam diri manusia itu sendiri. Ia mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan. Pengetahuan dianggap benar jika memiliki arti penting bagi pemecahan masalah.14Dalam filsafat konstruksivisme, pengetahuan dianggap sebagai buah dari suatu upaya konstruksi yang dikembangkan atau dibangun oleh diri sendiri. Dengan demikian, pengetahuan bukan suatu bentuk tiruan. Sebab pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari orang lain, tetapi harus ditafsirkan dan diolah dalam diri siswa.

Dalam perkataan lain, pengetahuan bukan hasil yang bersifat instan melainkan suatu proses yang berkembang secara terus menerus. Sebab prinsip dasar dari konstruksivisme adalah semua pengetahuan harus dikonstruksikan. Filsafat konstrukvisme memiliki asumsi bahwa semua pengetahuan itu harus dikonstruksi dalam pikiran (siswa) sendiri, berdasarkan pengalaman yang dimiliki diri sendiri maka ia bersifat idiosincratic yakni berdasarkan pada pemahaman dan pengalaman masing-masing siswa. Karena sifatnya yang idiosincratic maka filsafat konstruksivisme dikenal dengan “paradigma kesemrautan”. Berbeda dengan pandangan behavioristik yang mengagungkan “keteraturan” dalam prose pembelajaran. 15 Sebab situasi di mana individu mempersepsikan, menafsirkan, dan menjelaskan suatu objek yang sama secara berbeda-beda menurut cara pandang dan posisi individu yang bersangkutan.

Dalam konstrusivisme siswa harus membangun pengetahuan mereka sendiri - secara individu dan kolektif. Setiap siswa memiliki seperangkat konsep dan keterampilan yang dengannya dia harus membangun pengetahuan untuk memecahkan masalah yang disajikan oleh lingkungan.

Peran komunitas ( siswa dan guru lainnya) adalah untuk menyediakan latar, mengajukan

12Jari Metsämuuronen, Pekka Juhani Räsänen, “Cognitive- Linguistic and Constructivist Mnemonic Triggers in Teaching Base on Jerome Bruner’s Thingking”, 4.

13Sukiman, “Teori Pembelajaran dalam Pandangan Konstruksivisme dan Pendidikan Islam” Jurnal Kependidikan Islam, vol 3 no. 1 (2008), 59.

14Ahmad Nizar Rangkuti, “Konstruksivisme dan Pembelajaran Matematika”, 61

15M. Yusuf, Witralail Arfansyah, “Konsep ‘Merdeka Belajar’ dalam pandangan Filsafat Konstruksivism”, 123

(9)

6 tantangan, dan menawarkan dukungan yang akan mendorong siswa untuk mengkonstruksi konstruksi pengetahuannya.16

Dengan demikian, konstuktivisme adalah suatu aktivitas yang secara aktif mencari dan menemukan arti atau makna dari apa yang siswa pelajari. Untuk menemukan makna itu maka dibutuhkan proses untuk memperoleh gagasan-gagasan baru dengan berfikir secara kritis.

Dalam pengertian lain, konstruktivisme merupakan landasan berpikir kontekstual yang dibangun bukanlah berdasarkan seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diingat atau dihafal melainkan berdasarkan cara berpikir yang kritis dari siswa untuk mengkonstruksi suatu pengetahuan, lalu siswa memberikan makna melalui pengalaman nyata.

Dengan cara demikian maka siswa dibiasakan untuk memecahkan masalah dengan cara bergelut dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang ada untuk menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, Untuk itu, siswa harus mengkonstruksi sendiri pengetahuan dibenak mereka masing-masing.

Karena pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi pengetahuan, bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Berpikir kritis merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk memeriksa kebenaran dari suatu informasi menggunakan ketersediaan bukti, logika, dan kesadaran akan bias. Keterampilan berpikir kritis adalah proses kognitif siswa dalam menganalisis secara sistematis dan spesifik masalah yang dihadapi, membedakan masalah tersebut secara cermat dan teliti, serta mengidentifikasi dan mengkaji informasi guna merencanakan strategi pemecahan masalah.17

Dalam pendidikan, salah satu prinsip yang harus diperhatikan adalah bahwa seorang pendidik tidak boleh hanya memberikan sejumlah pengetahuan kepada siswa. Sebab prinsip dasar dari konstruksifisme adalah bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun atau dikembangkan), bukan diterima secara langsung oleh indra manusia (siswa).18 Siswa harus dimotovasi untuk membangun atau mengembangkan pengetahuan itu dalam pikirannya sendiri. Dengan cara yang demikian siswa dimampukan untuk mengembangkan dirinya sendiri untuk mempersiapkan masa depannya. Dalam perkataan lain, dengan model pembelajaran ini

16Emel Űltanir, “An Epistemological Glance at the Constructivist Approach:Constructivist Learning in Dewey, Piaget, and Montessori”, International Journal of Instruction, vol., 5, No. 2 ( July 2012), 196

17Fatimah Saguni, “Penerapan Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran”, Jurnal Paedagogia, vo; 8 No.12 (2 September 2019), 1

18H. Dadang Supardan, “Teori dan Praktik Pendekatan Konstruksivisme dalam Pembelajaran” 81

(10)

maka siswa dibimbing untuk merencanakan, memantau, dan mengevaluasi ketercapaian tujuan dan strategi pembelajaran.19

Ada beberapa asumsi dalam konstruksivisme yaitu, pertama, siswa harus aktif mengembangkan pengetahuannya bagi diri mereka sendiri. Bagi maksud itu, siswa perlu diberikan keleluasan untuk mengembangkan ilmu yang sudah diperolehnya dengan melakukan latihan-latihan atau diskusi antar sesama siswa. Melalui latihan-latihan dan diskusi itu pengetahuan dari para siswa dapat meningkat. Kedua, guru tidak perlu menyampaikan pelajaran dalam arti model yang lama atau tradisonal itu, misalnya: memberikan ceramah, mencatat beberapa bab dari buku sampai habis. Guru sebaiknya membangun situasi belajar yang sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif mengolah materi-materi pelajaran melalui interaksi sosial antara siswa. Untuk itu seorang guru perlu mengupayakan agar metode mengajarnya menarik perhatian siswa, misalnya dengan menggunakan media dalam proses belajar mengajar sehingga siswa tertarik dan termotivasi untuk secara aktif melakukan eksplorasi sendiri dengan mengumpulkan data-data, merumuskan gagasan-gagasan tertentu, menguji hipotisis dan bekerjasama dengan siswa atau orang lain. Kegiatan lain yang guru bisa lakukan bersama siswa adalah mengunjungi lokasi-lokasi di luar kelas yang berhubungan dengan pelajaran yang sedang berlansung. Misalnya, untuk mata kuliah sejarah gereja, guru dan siswa bisa mengunjungi gereja-gereja tertentu yang memiliki sejarah dari masa lampau, atau untuk mata kuliah khotbah,siswa dan guru menghadiri ibadah-ibadah minggu untuk mengevaluasi khotbah-khotbah yang disampaikan oleh para pendeta, dsbnya. Bagi maksud itu, siswa diarahkan untuk berperan aktif dalam pembelajaran dengan menentukan tujuan, memantau dan mengevaluasi kemampan belajar mereka.20

Konstruksivisme dalam Pembelajaran Teologi

Dalam bidang Teologi filsafat konstruksivisme telah membwa pengaruh terutama di bidang teologi sistematika. Teologi sistematika/konstruktif adalah disiplin ilmu integratif yang terus menerus mencari pemahaman yang koheren dan seimbang tentang kebenaran dan iman Kristen dalam terang tradisi Kristen (teologi Biblika dan Teologi Sejarah) dan dalam konteks pemikiran, budaya, dan iman yang hidup secara historis dan kontemporer. Ini bertujuan pada visi yang koheren, inklusif, dialogis, dan ramah. Sifat teologi konstruktif sebagai disiplin

"integratif" menunjukkan fitur yang paling khas dalam kurikulum teologi saat ini. Artinya,

19Fatimah Saguni, “Penerapan Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran”, 2

20H. Dadang Supardan, “Teori dan Praktik Pendekatan Konstruksivisme dalam Pembelajaran” 83,84

(11)

8 untuk mempraktekkan teologi konstruktif dengan baik, seseorang harus memanfaatkan hasil, wawasan, dan bahan dari semua disiplin teologi lainnya, yaitu: studi biblika, sejarah gereja dan teologi sejarah, teologi filosofis, serta studi pelayanan. Bidang-bidang studi agama, etika, dan misiologi yang terkait erat juga termasuk dalam tekstur kerja yang sistematis. Tetapi juga seorang teolog konstruktif harus terlibat juga dalam bidang nonteologis dan nonreligius seperti ilmu alam, studi budaya, dll.21 Dalam bukunya yang lain,22 Veli-Matti Kärskkäinen mengemukakan bahwa seorang teolog konstruktif harus juga mengaukan pertanyaan- pertanyaan yang berkaitan dengan kepedulian terhadap lingkungan, dan ilmu pengetahuan alam yang tidak dibicarakan oleh Alkitab dan sebagian besar sejarah gereja. Dengan demikian, disiplin integratif berarti bahwa untuk mempraktekkan teologi konstruktif dengan baik, seseorang harus memanfaatkan hasil, wawasan, dan bahan dari semua disiplin teologi lainnya (dalam keragaman kontemporernya), studi budaya, studi agama, dan ilmu alam (dan lainnya).

relevan) ilmu. Namun, pada akhir tugas konstruktif, teolog konstruktif harus memastikan bahwa proposal tersebut sesuai dengan wahyu alkitabiah dan, semoga, dengan tradisi dan teologi kontemporer terbaik. Peter Lampe, seorang teolog Konstruktif dalam bukunya: New Testament Theology in a Secular World mengkaji pokok-pokok teologi dalam Perjanjian Baru.

Menurutnya, dalam memasuki dunia sekular pada masa kini pokok-pokok teologi perlu dikaji lebih dalam sehingga memberikan suatu kebaruan bagi para pembaca.23

Di Asia misalnya kita mengenal teologi Bambu. Kita memahami bambu sebagai simbol agama dan budaya Minjung di mana kesopanan, kesederhanaan, dan integritas masyarakat di tingkat akar rumput diartikulasikan dalam konteks budaya Cina. Ini juga menyiratkan kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang marginalitas dalam suatu masyarakat.

Dalam orientasi terhadap teologi bambu dan minjung Asia yang tidak teratur secara hermeneutis pasca-fondasi, penting juga untuk menyebutkan kritik estetika dan keinginan utopis yang mengacu pada kehidupan dan tragedi tujuh sarjana di Tiongkok kuno. Mereka mendemonstrasikan pentingnya perspektif kaum terpinggirkan yang dengan berani membawa rasionalitas Konfusianisme ke dalam filosofi alam Taois dalam semangat interpretasi kreatif dan hibriditas. Pada tahun 2003, seniman yang berbasis di Shanghai: Yang Fudong,

21Veli-Matti Kärskkäinen; Constructive Christian Theology For the Pluralistic World, vol 1 (Grand Rapids MI/Cambridge UK: William B. Eerdmans Pub.Co, 2013), 21; Lihat juga: Veli-Matti Kärskkäinen; Constructive Christian Theology For the Pluralistic World, vol 2 (Grand Rapids MI/Cambridge UK: William B. Eerdmans Pub.Co, 2013), 18

22Veli-Matti Kärskkäinen, Constructive Christian Theology For the Pluralistic World, Trinity and Revelation, vol 3 (Grand Rapids MI/Cambridge UK: William B. Eerdmans Pub.Co, 2014), 16

23Peter Lampe, New Testament Theology in a Secular World, Aconstructivist Work in Philosophical

Epistemology and Christian Apologetics, trans.,by Robert L. Bawley (New York: T&T International, 2012),1-4

(12)

mempresentasikan “Tujuh Intelektual di Hutan Bambu.” Film ini merupakan adaptasi dari cerita tradisional Tiongkok yang dikenal sebagai “Tujuh Orang Bijak dari Hutan Bambu.”

Yang mencerminkan sulitnya menemukan dan mengadopsi sikap memberontak dan kritis dalam masyarakat yang mengalami perubahan, baik yang cepat maupun yang mendalam.

Dalam karya seni dan interpretasinya menekankan pada ekspresi cita-cita dan jalan yang menyatukan orang dan mendorong mereka untuk membentuk solidaritas, kemitraan, dan persaudaraan24

Di Indonesia, ada Sekolah Teologi tertentu yang sudah mengembangkan Teologi Konstruktif. Misalnya, di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta. Dalam mata kuliah itu dosen hanya memberikan sedikit penjelasan mengenai bagaimana mengembangkan suatu teologi konstruktif. Kemudian mahasiswa di minta untuk memilih pokok bahasan dari minat studi mereka masing-masing (misalnya: teologi Biblika, Teologi Sistematika, Teologi Pastoral, Teologi Pak, Teologi Publik, dll). Mereka diberikan waktu tertentu untuk mengembangkan teologi mereka berdasarkan pokok bahasan mereka masing-masing. Ke mudian pokok bahasan itu dipresentasikan dan dibahas bersama oleh mahasiswa dan dosen. Perlu dicatat bahwa dalam mata kuliah itu diberlakukan team teaching. Maksudnya mata kuliah itu diasuh paling sedikit oleh dua dosen. Oleh sebab, tinjauan terhadap pokok bahasan itu dilakukan dari berbagai sudut pandang; tidak hanya dari sudut pandang ilmu-ilmu teologi tetapi juga dari ilmu-ilmu sosial dan budaya. Oleh sebab itu, jika mata kuliah teologi konstruktif itu diasuh oleh dua dosen maka mereka bisa saling melengkapi dalam menanggapi pekerjaan siswa.

Kelebihan Konstruksivisme

Perlu diingat bahwa tidak ada yang sempurna di bawah matahari. Demikian juga dengan filsafat konstruksivisme, ada kelebihannya tetapi uga ada kekurangannya juga.

Pertama, guru bukan satu-satunya sumber belajar. Sebab dalam proses belajar mengajar, guru hanya sebagai pemberi ilmu, sementara siswa dituntut untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran, misalnya banyak bertanya, melakukan praktik, dll. Guru hanya sebagai pemberi arah dalam pembelajaran dan menyediakan apa saja yang dibutuhkan oleh siswanya. Sebab dalam konstruksivisme, pengetahuan tidak hanya didapatkan dalam proses pembelajaran, akan tetapi bisa juga diperoleh melalui diskusi, pengalaman dan lingkungan sekitar.

24Paul S. Chung, Constructing Irregular Theology, Studies in Systematic Theology, Bamboo and Minung in East Asian Perspective, ed. by Stephen Bevans, Miikka Roukanen (Leiden, Boston: Brill, 2009), 11,12

(13)

10 Kedua, siswa lebih aktif dan kreatif. Untuk itu siswa dituntut untuk memahami pembelajarannya baik di sekolah maupun di dapatkan diluar sekolah. Maka siswa dituntut untuk memahami ilmu-ilmu baru dan dapat dihubungkan dengan ilmu yang sudah ada.

Ketiga, pembelajaran menjadi lebih bermakna, yakni siswa mengkonstruksi informasi dalam struktur penelitian lainnya. Dalam perkataan lain, siswa tidak hanya mendengarkan dari guru, akan tetapi mereka harus bisa mengaikan dengan pengalaman-pengalaman pribadinya dan informasi-informasi yang mereka dapatkan, baik dari temannya, tetangganya, keluarga, surat kabar, televisi dan lain sebagainya.

Keempat, siswa memiliki kebebasan dalam belajar. Maksudnya siswa bebas mengaitkan ilmu- ilmu yang dia peroleh baik dilingkungannya dengan yang dapatkan di sekolah sehingga tercipta konsep yang diharapkan.

Kelima, perbedaan individual terukur dan dihargai.

Keenam, guru berpikir proses pengetahuan baru sedangkan siswa berpikir untuk menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan.25

Kekurangan Konstrusivisme.

Pertama, proses belajar konstruktivisme secara konseptual adalah proses belajar yang bukan merupakan perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran sruktur kognitif.

Kedua, peran siswa. Menurut pandangan ini, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan.

Ketiga, peran guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri Keempat, sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peran utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengonstruksi pengetahuannya sendiri.

Kelima, evaluasi, pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.

25Suparlan, “Teori dan Praktik Pendekatan Konstruksivisme dalam Pembelajaran”, 85,86

Referensi

Dokumen terkait

Lepore (1997) mengungkapkan bahwa berbagi pengalaman dari pemikiran dan perasaan akan memfasilitasi terjadi asimilasi kognitif dan emosional, yaitu individu mulai

Tugas utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun) adalah untuk menciptakan teknologi inovasi komoditas perkebunan dalam bentuk varietas unggul,

Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk pada jalan nasional dan propinsi yang menghubungkan ibukota kabupaten dan

Lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah kajian preferensi untuk mengetahui karakteristik pelajar beserta perjalanannya, atribut-atribut pelayanan bus sekolah

Hasil secara keseluruhan perhitungan response bias pada kedua teknik pengukuran menunjukkan bahwa responden cenderung memberikan respon konservatif dibandingkan respon

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas kerja dan penegakan disiplin (reward dan punishment) baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh

Untuk mendeskripsikan kemampuan penalaran analogi matematika siswa setelah melakukan pembelajaran pendekatan SAVI dengan setting pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered

Kemampuan dosen adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh dosen dalam melaksanakan