8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anak Usia Dini 1. Definisi
Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan hingga berusia 6 tahun (Sujiono, 2014). Sementara menurut The National Association for The Education of Young Children (NAEYC, 2012) anak usia dini adalah anak yang berada dalam rentang usia 0-8 tahun. Anak usia dini merupakan anak yang sedang dalam tahap proses pertumbuhan dan perkembangan (Priyanto, 2014). Pada usia 4-5 tahun disebut sebagai masa golden age periode, dimana anak mengalami perkembangan yang meningkat secara pesat (Yuriestien et all., 2009).
2. Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan adalah proses bertambah banyak dan besarnya sel seluruh bagian tubuh yang bersifat kuantitatif dan dapat di ukur (Mark et al, 2010) Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur (Soetjiningsih, 2015). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan keterampilan pada struktur fungsi tubuh yang kompleks dalam pola yang teersusun dan dapat diartikan sebagai hasil proses pematangan. Pada usia tersebut anak mampu berjalan mengikuti lingkaran, mampu berlari, mampu melompat dan dapat menjaga keseimbangan (Soetjiningsih, 2014).
B. Anatomi
1.
Arkus longitudinal medialArkus longitudinal medial pada kaki memiliki peranan penting dalam gerak manusia untuk memberikan peredam goncangan, stabilitas pada kaki dan daya dorong yang efisien (Prachgosin et al., 2017). Membentuk tepi medial kaki dari calcaneus merupakan tulang terbesar disebelah belakang dan mengalihkan berat badan ke belakang, talus merupakan titik tertinggi dari telapak kaki bagian sentral dari arkus, navicular & cuneiforme kearah anterior pada 3 metatarsal pertama. Plantar aponeurosis, abduktor hallucis, fleksor digitorum brevis, tibialis anterior, peroneus longus, tibialis posterior, dan fleksor hallucis, ligamen spring yang berfungsi membuat elastisitas bagian-bagian tersebut yang mendukung arkus medial (Pauk et al., 2014)
Arkus longitudinal medial merupakan arkus yang menjadi penyebab utama terjadinya flat foot dan cavus foot. Arkus ini membentuk lengkungan kaki (arkus medialis) dari calcaneus melalui talus, navicular, dan tiga cuneiforme ke arah anterior pada tiga metatarsal pertama. Talus berada pada puncak arkus dan seringkali sebagai bagian sentral dari arkus. Secara normal, arkus ini tidak pernah menyentuh tanah/lantai. Arkus ini akan lebih jelas terlihat pada posisi nonweighbearing dibandingkan pada posisi weighbearing (Franco, 2010 dalam Bachtiar, 2012)
Gambar 2.1 Arkus kaki
Sumber:
Franco, 2010 dalam Bachtiar, 2012 2. Arkus lateralArkus longitudinal lateral didukung oleh ligament plantar, plantar aponeurosis, fleksor digitorum brevis, fleksor digitiminimi, abduktor digitiminimi, peroneus tertius, peroneus brevis, dan peroneus longus. Arkus longitudinal lateral berjalan dari calcaneus melalui coboid sebagai keystone pada arkus ini. Secara normal selama weightbearing, arkus ini menyantuh tanah/lantai (Neuman, 2010)
3. Arkus Transversal
Arkus transversal berjalan dari sisi melalui tiga cuneiform ke cuboid.
Cuneiforme II (medial) merupakan keystone arkus ini. Arkus transversal melintang pada bidang coronal tapak kaki, dimana arkus ini tidak memanjang seperti arkus longitudinal (Hodge, 2010)
C. Flat foot
1.
Definisi Flat footFlat foot adalah kondisi dimana hilangnya lengkungan arkus medialis.
Flat foot dibagi menjadi dua keategori yaitu fisiologi dan patologi (Atik dan Ozyurek, 2014). Pada awal usia anak normal jika seorang anak mengalami flat foot karena arkus mulai tumbuh saat anak awal berjalan, tetapi jika kondisi flat foot itu dialami hingga dewasa maka bisa menyebabkan berbagai macam permasalahan (Sonia et al, 2015). Pada sebagian besar anak-anak memiliki lengkung longitudinal yang normal berkembang pada usia 2-5 tahun dan hanya 4% di antaranya yang tetap bertahan setelah berusia 10 tahun. Kaki datar yang sering kita jumpai kebanyakan akibat dari kelemahan ligamen kaki pada kelainan struktur tulang, ketidak seimbangan otot, dan kelemahan ligamen. Salah satu gangguan yang paling sering ditemui oleh pediatris yaitu flat foot, yang ditemui sekitar 28%–35%, akan mengalami penebalan pada bagian jaringan lunak dan akan menurun seiring dengan pertumbuhannya (Pudjiastuti, et al 2012).
Kelainan bentuk pada telapak kaki atau flat foot merupakan salah satu ganguan pada kaki yang abnormal dimana dalam tahap pertumbuhannya tidak terbentuk atau menghilang lengkungan kaki sebelah dalam (arcus medialis) saat anak berdiri (Harjanto, 2009). Flat foot dilihat secara medis dimana tidak terdapatnya lengkungan atau biasanya disebut kaki yang rata atau berbentuk datar menyentuh tanah sehingga seluruh permukaan telapak kaki hampir
menempel bahkan sampai menempel pada bagian tanah atau permukaan yang rata. (Chang et al., 2014)
Gambar 2.2 a. Kaki normal, b. Flat foot Sumber: Chang et al., 2014
2.
EtiologiEtiologi dari flat foot, diantaranya sebagai berikut : a) Kongenital
Kongenital merupakan suatu kelainan bawaan sejak lahir yang terjadi karena beberapa faktor penyebab salah satunya berupa faktor genetik (diturunkan dari keluarga) (Lendra,2007 dalam Zaidah,2019).
b) Usia
Flat foot pada anak umur 7-10 tahun terjadi karena sebagian besar anak-anak mengalami perkembangan pada usia 3-5 tahun lengkung longitudinal kaki yang baik pada usia 6 tahun merupakan masa emas pembentukan arkus kaki (Mien et al.,2017)
c) Ruptur tendon
Aktivitas yang berlebih atau overuse dapat menyebabkan adanya rupture pada tendon tibialis posterior juga dapat menyebabkan kelainan pada kaki. Jika tidak ditangani dengan baik, maka akan merusak struktur jaringan pada kaki (Lendra,2007 dalam Zaidah,2019).
d) Jenis Kelamin
Flat foot pada anak perempuan lebih rendah dibandingkan anak laki- laki yaitu sebanyak 61 (16,67%) dari 183 anak, sedangkan anak laki-laki sebanyak 68 (23,78%) dari 143 anak. Bantalan lemak pada kaki pada anak laki-laki lebih tebal dibandingkan dengan anak perempuan (Mien et al.,2017)
e) Post-Trauma
Fraktur pada ankle dengan malunion (gagal menyambung), membuat adanya masalah pada telapak kaki seperti bergeser atau hilang kesejajarannya, karena hal tersebut akan mempengaruhi struktur badan.
Perubahan struktur badan dapat berdampak pada berubahnya struktur kelengkungan tulang telapak kaki sehingga dapat menyebabkan seseorang mengalami masalah flat foot (Lendra,2007 dalam Zaidah,2019).
f) Penyakit Inflamasi
Penyakit inflamasi seperti arthritis dapat menjadi hasil akhir ataupun salah satu penyebab dari adanya kondisi deformitas berat yang kronik.
Perubahan kekuatan reaksi sendi menyebabkan terjadinya beban abnormal
pada tibiotalar, tarsal transversal dan sendi subtalarsehingga hal ini dapat menimbulkan arthritis (Ridjal,2016).
g) Obesitas
Anak yang mengalami obesitas dan status gizi overweight dapat menambah dapat menambah tekanan pada lengkung kaki yang terjadi secara terus-menerus saat berjalan. Selain itu, obesitas dapat lebih besarnya tekanan pada kaki yang mengakibatkan banyaknya jumlah kondisi flat foot pada anak (Ariani et al., 2015)
3. Klasifikasi flat foot
Flat foot diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu dari fleksibel flat foot dan rigid flat foot (Halabchi et al, 2013).
a) Fleksibel Flat foot
Fleksibel flat foot adalah kondisi dimana arkus atau lengkung kaki akan terlihat pada posisi non-weightbearing namun menjadi datar ketika berdiri atau weightbearing (Halabchi et al, 2013). Fleksibel flat foot bersifat simtomatik, dimana akan menimbulkan beberapa gangguan seperti, nyeri di kaki, gait disorder, mudah lelah saat berdiri lama dan resiko jatuh yang tinggi (Halabchi et al, 2013).
Gambar 2.3 Fleksibel Flat Foot Sumber: Halabchi et al, 2013 b) Rigid flat foot
Rigid flat foot merupakan kaki datar patologis yang biasanya menimbulkan nyeri, keterbatasan, dan membutuhkan penanganan. Pada kondisi ini, seseorang tidak memiliki lengkung kaki sama sekali, baik ketika dalam posisi weightbearing ataupun non-weightbearing (Halabchi et al., 2013).
Pada keadaan tertentu, flat foot dapat menimbulkan gejala seperti rasa sakit yang bahkan dapat berkembang hingga dewasa, dan menyebabkan rasa sakit atau tidak nyaman bagi penderitanya. Oleh karena itu, penting kiranya untuk dapat mengevaluasi secara dini flat foot dengan atau tanpa gejala, serta bersifat fisiologik atau patologik, sehingga dapat dilakukan tindakan intervensi sesegera mungkin (Halabchi et al, 2013).
4.
Pemeriksaan Sidik Tapak KakiPemeriksaan tinggi rendahnya arkus atau lengkung kaki longitudinal dapat dilakukan melalui sidik tapak kaki (footprint) dengan memperhatikan batas medial kaki (Idris, 2010; Lutfie, 2007). Pemeriksaan sidik telapak kaki dapat dilakukan dengan menggunakan media tinta ataupun air biasa (wet test). Pada wet footprint test, bentuk arkus kaki diketahui dengan cara membasahi kaki, lalu menapakkannya pada selembar kertas sehingga pada kertas tadi akan tertinggal sidik tapak kaki (Miller, 2010).
Gambar 2.4 Wet footprint test Sumber: Idris, 2010 5. Tipe Arkus Pedis
Tipe arkus pedis ialah tipe lengkungan arkus pada kaki yang terdiri dari tipe normal foot, flat foot dan cavus foot. Arkus pada kedua kaki diperiksa dengan footprint test. Pengukuran kategori normal foot, flat foot dan cavus foot menggunakan Clarke’s angle. Clarke’s angle diperoleh dari
menghitung sudut dari garis singgung yang dibentuk oleh garis pertama yang menghubungan tepi medial caput metatarsal pertama dan tumit serta garis kedua yang menghungkan caput metatrsal pertama dengan puncak lengkungan arkus longitudinal mediali (Pita et al, 2015)
a) Normal foot 31º - < 45º b) Flat foot < 31º
c) Cavus foot > 45º
Gambar 2.5 Penilaian arkus dengan Clarke’s angle Sumber: Pita et al, 2015
D.
Kelincahan1. Definisi Kelincahan
Kelincahan adalah kemampuan seseorang dalam mengubah arah atau posisi tubuh dengan cepat serta dilakukan secara bersama-sama. (Sukma, 2015). Kelincahan berkaitan dengan gerakan tubuh itu melibatkan gerakan kaki dan perubahan tubuh yang cepat posisi terkait dengan lengkung pedis (Sugiharto, 2012). Kelincahan memiliki karakteristik yang unik dimana kelincahan bukan suatu kemampuan fungsi tunggal melainkan tersusun oleh
komponen kecepatan, kekuatan dan fleksibilitas yang dimana komponen tersebut saling memiliki keterkainan satu sama lain (Scheunemann, 2012).
Dalam hal ini kelincahan sangat berkaitan dengan bentuk sendi dan tulang- tulang kaki (arkus pedis) terhadap kemampuan untuk mengubah arah gerakan (Sugiharto, 2012).
2. Fisiologi Kelincahan
Kelincahan merupakan kemampuan tubuh dalam bergerak dan merubah arah gerakan dalam waktu yang singkat dan tanpa kehilangan keseimbangan.
Kelincahan dipengaruhi oleh faktor kecepatan, kekuatan, keseimbangan dan koordinasi (Irawadi, 2011). Kecepatan yaitu kemampuan untuk menempuh suatu jarak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. (Darwis, 2016).
Kekuatan diartikan sebagai kemampuan otot yang menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis atau statis.
Keseimbangan mempengaruhi kelincahan dimana saat terganggu keseimbangan makan seseorang tidak mampu melakukan gerakan mengubah arah secara cepat (Sugiharto, 2012). Koordinasi merupakan komponen kelincahan dimana seseorang melakukan gerakan dengan tepat (Dawes dan Roozen, 2012)
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelincahan
Menurut Kuswendi (2012) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kelincahan diantaranya:
a. Tipe Tubuh
Tipe tubuh merupakan kapasitas fisik umum sebagai suatu inkasi kecocokan seorang pemain dengan prestasi yang di peroleh dan peranan olahraga apa yang di tekuni. Orang yang memiliki bentuk tubuh tinggi ramping atau disebut ectomorf dan orang yang bentuk tubuhnya bundar atau disebut endomorf cenderung memiliki kelincahan yang kurang. Sedangkan orang yang memiliki postur tubuh sedang namun baik atau mesomorf memiliki kelincahan yang lebih baik (Kuswendi, 2012).
b. Umur
Kelincahan cenderung mengalami peningkatan sampai usia 12 tahun pada saat mulai memasuki rapid growth atau pertumbuhan cepat. Pada periode tersebut kelincahan cenderung tidak mengalami peningkatan bahkan ada yang sampai mengalami penurunan. Setelah melewati rapid growth atau pertumbuhan cepat kelincahan akan kembali mengalami peningkatan sampai anak mencapai usia dewasa, dan saat memngalami penurunan lagi ketika memasuki usia lanjut (Sukamti, 2011).
c. Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki laki cenderung memiliki kelincahan yang lebih dibandingkan perempuan. Itu dikarenakan kekuatan fisik laki laki lebih kuat dibanding perempuan (Ismoyo,2014).
E. Shuttle run Test
1. Definisi
Shuttle run test merupakan alat ukur untuk mengukur kelincahan pada anak (Garzon, 2009). Shuttle run test pada anak usia dini memiliki tingkat efektifitas yang cukup baik, dimana test ini dilakukan secara sederhana karena dapat dengan mudah menarik perhatian anak-anak (Sahri, 2017).
2. Pelaksanaan shuttle run test
Shuttle run sebaiknya jangan terlalu banyak pengulangan karena juga dapat mempengaruhi kelelahan pada anak-anak. Apabila pengulangan dalam berlari terlalu banyak pengulangan maka dapat menyebabkan faktor kelelahan seperti pernyataan diatas. Dimana faktor kelelahan tersebut akan dapat mempengaruhi kelincahan (Harsono, 2009).
Tes ini dilakukan dengan posisi awal berdiri di garis start dan mendengarkan aba-aba, kemudian setelah aba-aba “Go”, maka anak mulai melakukan lari bolak balik antara dua titik pada jarak 10 meter dimana pada setiap ujung garis tersebut menyentuh cone dengan tangan, kemudian kembali lagi ketitik awal. Indikator keberhasilan tes ini di tentukan oleh waktu. Sehingga semakin singkat waktu yang didapat, maka semakin baik hasilnya (Gilang, 2009).
Gambar 2.6 : Shuttle Run Test Sumber: Rosandic, 2009
Tabel 2.1 Nilai dan Kategori Kelincahan (Nafi’ah, 2015).
No. Kategori
Waktu
Laki-laki Perempuan 1. Kurang Sekali ≥13.0 detik ≥13.9 detik 2. Kurang 12.3–12.9 detik 13.1–13.8 detik 3. Sedang 11.8–12.2 detik 12.5–13.0 detik
4. Baik 11.2–11.7 detik 11.9–12.4 detik
5. Baik Sekali ≤11.1 detik ≤11.8 detik