• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tipe hutan ini merupakan salah satu ekosistem paling produktif di dunia, dengan keragaman hayati yang sangat tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Tipe hutan ini merupakan salah satu ekosistem paling produktif di dunia, dengan keragaman hayati yang sangat tinggi"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

E8 oo

L.

=

lj

o z f,

=

I

I

I

o o J o Y IJJ

(2)

ffit1fuffiHl H11 ffi HA 1

affiffiffi$ffiffiE*ffi,a1g

,

EH* EEffiEEEEEH *eIEE E111-El ? EE a'

boGI

Iu)6

0.)o0)

do3rg o\(.'la

)

rnbI)(BH(6trC)Acd,r163OtO

aZ a_t

f-l

J

EooOiC

c€

ZQ)

5M

e

-c

EEoo)li=E0)

:EM

Efr

Ea

(l) ts'l

z H9

-) t<

EE

l-t ri

()5

AVa

I.-!-

vtr M3

E] F

v

+

i).=J4'= o0JLktr-

sfiEi

E ,orQ I- OOI-- :.+ -(

= ERK ! a ?"i-X ?

= 5 q?(\ o\

= FF= 5

I

:z 6m.{ f

4 ciE' +

= =-s = =a=- :ao

GA

z-9 fficrrl -*c

!C

f,6

-11--=.==:*=-

(3)

i PENGANTAR

Indonesia beruntung memiliki hutan hujan tropis yang sangat luas. Tipe hutan ini merupakan salah satu ekosistem paling produktif di dunia, dengan keragaman hayati yang sangat tinggi. Namun, pengelolaan hutan yang salah telah menyebabkan rusaknya sebagian besar hutan kita. Untuk mencegah kerusakan hutan lebih lanjut para mahasiswa kehutanan, praktisi kehutanan, aktivis lingkungan dan pejabat pemerintah perlu memahami hutan sebagai suatu ekosistem. Buku ini ditulis untuk mengenalkan pembaca pada ekosistem hutan: bagaimana komponen biotik berinteraksi dengan komponen abiotik dan antar sesama komponen biotik.

Penulis bersyukur pada Tuhan bahwa buku ini dapat terbit. Banyak pihak membantu penerbitan buku ini. Universitas Bengkulu menyediakan dana penerbitannya. Sebagian besar ilustrasi dibuat oleh Saudara Tedi Wahyudi dan sebagian lagi oleh Sdr Yodie Efrinaldo dan Susanto Mulyadi. Saudara Topan membantu mengetik draft beberapa bab. Saudara M. Fajrin Hidayat, S.Hut, M.Si.

membuatkan kover buku, membaca draft pertama untuk mengecek kesalahan tulis dan memberikan koleksi fotonya. Kenji Niwa, orang Jepang yang diperbantukan pada Taman Nasional Gunung Gede Prangango pada tahun 2005 memberikan koleksi fotonya, yang salah satunya saya pakai. Kepada semua pihak yang telah membantu, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga saya. Isteri saya, Steffanie Nurliana, selalu mendorong saya untuk menulis buku-buku sesuai bidang ilmu saya. Anak-anak saya, Arif Budiman, Imam Darmawan dan Kurniawan Ramadan, merupakan sumber semangat bagi saya untuk mewariskan karya yang bermanfaat.

Terakhir saya ingin memohon maaf kepada para penerbit dan pengarang buku yang ilustrasinya saya gunakan dalam buku ini tanpa terlebih dulu memohon izin kepada mereka. Semoga mereka maklum karena buku ini diterbitkan untuk tujuan pendidikan.

Semoga buku tipis ini memberikan manfaat terutama kepada mahasiswa kehutanan, biologi dan ilmu lain yang terkait, praktisi kehutanan, dan aktivis lingkungan. Kritik dan saran saya harapkan untuk perbaikan pada edisi berikutnya.

Bengkulu, 1 Februari 2009.

Wiryono

(4)

ii

DAFTAR ISI

PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

BAGIAN I... 1

RUANG LINGKUP EKOLOGI HUTAN ... 1

BAB I. ... 2

PENDAHULUAN ... 2

A. Pengertian dan ruang lingkup ekologi ... 2

B. Ekologi hutan ... 4

BAGIAN II ... 6

EKOSISTEM HUTAN ... 6

BAB II... 7

KONSEP EKOSISTEM ... 7

1. Pengertian ... 7

2. Struktur ekosistem ... 8

3. Fungsi ekosistem... 9

BAB III ... 12

INTERAKSI ANTARA ... 12

FAKTOR ABIOTIK DAN BIOTIK ... 12

A. Iklim ... 12

B. Cahaya ... 13

C. Suhu... 17

D. Air ... 19

E. Tanah ... 23

BAB IV ... 30

SIKLUS MATERI ... 30

A. Dekomposisi ... 30

B. Siklus karbon ... 32

C. Siklus nitrogen ... 34

D. Siklus hara di hutan hujan tropis ... 36

BAB V ... 39

INTERAKSI ANTAR ORGANISME ... 39

A. Tipe-tipe interaksi ... 39

B. Kompetisi dan niche ... 40

C. Predasi ... 44

D. Pertahanan organisme ... 47

E. Simbiosis mutualisme... 48

(5)

iii

F. Keseimbangan dalam ekosistem ... 50

BAGIAN III ... 52

KOMUNITAS TUMBUHAN ... 52

BAB VI ... 53

KONSEP KOMUNITAS ... 53

A. Apakah komunitas suatu kesatuan? ... 53

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi diskontinuitas komunitas... 58

C. Atribut komunitas... 60

1. Fisiognomi ... 60

2. Struktur vertikal ... 63

3. Sebaran horizontal ... 66

4. Keanekaragaman jenis ... 67

5. Dominasi jenis ... 74

BAB VII ... 76

SUKSESI HUTAN ... 76

A. Pengertian suksesi ... 76

B. Sejarah dan perkembangan studi suksesi ... 77

C. Klasifikasi suksesi ... 78

D. Pola dan mekanisme suksesi ... 79

E. Klimaks ... 89

F. Kecenderungan selama suksesi ... 92

G. Laju suksesi ... 93

BAB VIII ... 95

METODA SAMPLING ... 95

DAN ANALISIS VEGETASI ... 95

A. METODA RELEVÉ ... 95

1. Metoda Sampling ... 95

2. Analisis releve... 97

B. METODA KUADRAT ... 100

C. METODA TANPA PLOT (PLOTLESS METHODS) ... 102

1. Metoda Bitterlich ... 102

2. Metoda jarak ... 103

D. PENGUKURAN ATRIBUT KOMUNITAS ... 105

1. Dominasi Jenis ... 105

2. Keanekaragaman Jenis ... 106

3. Asosiasi antar jenis ... 108

4. Distribusi spasial ... 110

5. Kemiripan komunitas ... 113

(6)

iv

E. KLASIFIKASI KOMUNITAS ... 115

BAGIAN IV ... 117

TIPE-TIPE HUTAN ... 117

BAB IX ... 118

TIPE-TIPE HUTAN TROPIS ... 118

A. Perubahan tipe hutan menurut ketinggian ... 118

1.Perubahan lingkungan menurut ketinggian ... 118

2. Zonasi hutan menurut ketinggian ... 119

B. Hutan mangrove ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 133

INDEKS ... 139

GLOSSARY ... 141

RIWAYAT PENULIS ... 143

(7)

1

BAGIAN I

RUANG LINGKUP EKOLOGI HUTAN

(8)

2

BAB I.

PENDAHULUAN A. Pengertian dan ruang lingkup ekologi

Secara umum diakui bahwa kata ekologi ditemukan dan dijelaskan pertama kali oleh Ernst Haeckel, seorang zoologiwan dari Jerman (Namun Kormondy [1984] mengatakan bahwa Hanns Reiter lebih dulu menggunakan istilah tersebut). Haeckel mengejanya oekologie, namun para ekologiwan kemudian, kebanyakan dari Amerika Serikat dan Inggris, mengejanya ecology, yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekologi. Kata ekologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu Oikos yang berarti rumah dan logos yang berarti studi tentang. Jadi ekologi bisa diartikan studi tentang makhluk hidup di dalam rumahnya, yaitu habitatnya, atau lingkungannya. Ernst Haeckel pada tahun 1866 dan kemudian pada tahun 1870 menulis, sebagai berikut: (dikutip dari McIntosh, 1985):

Yang kami maksud dengan ekologi adalah batang ilmu pengetahuan tentang ekonomi alam-penyelidikan terhadap hubungan menyeluruh antara hewan tersebut dan lingkungannya yang organik dan inorganik; termasuk di atas yang lain, hubungannya yang ramah maupun yang tidak menyenangkan dengan binatang-binatang dan tumbuhan yang yang berhubungan dengan hewan tersebut secara langsung maupun tidak langsung- dalam arti, ekologi adalah studi tentang seluruh saling hubungan (interrelations) yang kompleks yang dirujuk oleh Darwin sebagai kondisi dari perjuangan untuk keberadaan (struggle for existence).

Pengertian Haeckel ini kemudian diperluas, tidak terbatas pada hewan tetapi juga tumbuhan, sehingga secara umum ekologi diartikan sebagai studi tentang hubungan antara makhluk hidup dan lingkungannya. Tetapi sebagian ekologiwan menganggap pengertian terlalu luas, karena dengan pengertian seperti itu, hampir tidak ada bidang ilmu yang tidak termasuk ekologi (Krebs, 1978, 1988).

Andrewartha (1961) dalam Krebs (1978 dan 1988), mendefinisikan ekologi sebagai studi ilmiah tentang distribusi dan kelimpahan

(9)

3 (abundance) organisme. Menurut Krebs, definisi Andrewartha ini lebih baik, tetapi ada satu kata kunci yang kurang, yaitu interaksi. Oleh karena itu Krebs (1978; 1988) menyempurnakan definisi di atas menjadi: ekologi adalah studi ilmiah tentang interaksi yang menentukan distribusi dan kelimpahan organisme. Definisi ini mencerminkan pendekatan Krebs yang banyak menekankan pada studi populasi, sebagaimana tercermin pada buku teks Krebs (1978, 1988) yang berjudul Ecology, the experimental analysis of distribution and abundance. Menurut Krebs, ekologi mengambil sebagian cabang ilmu fisiologi, genetika, evolusi dan perilaku.

Dengan pendekatan yang berbeda, tokoh ekologi yang buku teksnya mendominasi pemikiran ekologiwan pada dasawarsa 1950an sampai 1980an, Odum (1953, 1971, 1983) mendefinisikan ekologi sebagai studi tentang struktur dan fungsi dari alam. Odum menitikberatkan pendekatan ekosistem, yaitu kesatuan antara komunitas biologi dan lingkungan abiotiknya. Karena pendekatan yang berbeda, buku Odum dan Krebs memiliki organisasi dan isi yang jauh berbeda. Buku Krebs sama sekali tidak memiliki bab ekosistem, sedangkan di buku Odum ekosistem menempati titik pusat perhatian.

Buku Krebs lebih dari setengahnya membahas populasi, sementara dalam buku Odum (1983) populasi hanya menempati satu bab dari delapan babnya.

Perbedaan definisi ekologi mencerminkan latar belakang keilmuan dan pendekatan yang digunakan sang ekologiwan. Charles Elton, seorang pioner dalam ekologi hewan dari Inggris mendefinisikan ekologi sebagai sejarah alam (natural history) yang membahas masalah sosiologi dan ekonomi hewan-hewan. Sementara itu, Clements, pelopor studi komunitas tumbuhan dari Amerika Serikat, mendefinisikan ekologi sebagai ilmu tentang komunitas (Kormondy, 1984). Perbedaan definisi tersebut membuat seorang ekologiwan menyatakan bahwa ekologi adalah apa yang dilakukan oleh ekologiwan. Seorang ekologiwan lain mengatakan bahwa apa saja yang termasuk dalam ekologi modern tergantung pada siapa (seorang ekologiwan atau kelompok ekologiwan) pertanyaan tersebut diajukan (McIntosh, 1985).

Sejak maraknya gerakan penyelamatan lingkungan oleh para aktivis, istilah ekologi menjadi sangat populer dan penggunaannya tidak terbatas pada ranah biologi. Hampir semua sektor kehidupan

(10)

4 menggunakan istilah ekologi, dengan pengertian yang sering menyimpang dari pengertian aslinya. Ekologi memasuki bidang ekonomi, menciptakan cabang ilmu ecological economics. Bidang politik yang secara tradisional tidak berhubungan dengan biologi juga dirambah ekologi, menciptakan istilah ecopolitics. Ekologi bahkan tidak lagi sekedar cabang ilmu, tetapi merupakan jalan hidup atau filsafat (Fox, 1990; Goldsmith, 1993). Sebuah jurnal ecoteology menggabungkan pemikiran agama dan konservasi.

Secara umum, istilah ekologi dalam penggunaan sehari-hari di luar bidang biologi dipadankan (dianggap sinonim dengan) istilah lingkungan. Penggalan kata ecology, yaitu eco sekarang ini telah menjadi kata sifat yang menunjukkan hubungan antara suatu hal (produk, kegiatan, kelompok, aliran, dll) dengan lingkungan. Misalnya ecotourism (ekowisata) adalah wisata alam yang memperhatikan kelestarian lingkungan; ecofarming adalah praktek bertani yang mempedulikan kelestarian lingkungan. Ecolabelling adalah pemberian sertifikat kepada produk, misalnya kayu, yang dalam proses produksinya memenuhi asas kelestarian lingkungan. Jumlah istilah yang menggunakan penggalan kata eco- telah mencapai ratusan dan terus bertambah (Wali, 1999).

B. Ekologi hutan

Seperti istilah ekologi, istilah hutan memiliki banyak definisi, lebih dari 200 buah. Menurut Committee on Forest Terminologies Amerika Serikat, hutan adalah suatu asosiasi tumbuh-tumbuhan yang didominasi oleh pepohonan atau vegetasi berkayu lainnya yang menempati areal cukup luas (Simon, 1999). Areal itu menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan lingkungan di sekitarnya. Menurut FAO luas kawasan hutan minimal 0,5 hektar, persen penutupan minimal 10% dan tinggi pohon minimal 5 meter.

Dari sudut pandang ekologis, Barness et al (1997) mendefinisikan hutan sebagai suatu sistem ekologi tiga dimensi yang didominasi oleh pohon dan vegetasi berkayu yang berada dalam interaksi dinamis dengan matriks udara dari bentang alamnya.

Pemerintah Indonesia dalam UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan juga mendefinisikan hutan dari sudut padang ekologis, yaitu: Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

(11)

5 sumberdaya hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Pemerintah Indonesia membedakan pengertian kawasan hutan dan hutan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Jadi kawasan hutan adalah status kawasan dilihat dari sisi hukum sedangkan hutan adalah tipe penutupan lahan. Dalam kenyataannya suatu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan dapat berupa perkampungan yang memiliki bangunan rumah, gedung sekolah dan pasar. Sebaliknya, suatu wilayah yang tidak termasuk kawasan hutan, misalnya kampus suatu perguruan tinggi atau kantor pemerintahan, dapat memiliki tipe penutupan lahan yang dapat dikategorikan sebagai hutan.

Secara ekologi, hutan adalah suatu ekosistem, yang terdiri dari komponen abiotik seperti udara, air dan tanah, dan komponen biotik yang terdiri dari tumbuhan, hewan, jamur, dan mikroorganisme.

Ekologi hutan mencakup semua studi tentang ekosistem hutan secara menyeluruh maupun yang hanya mempelajari sebagian aspek dari ekosistem hutan. Studi menyeluruh misalnya penelitian tentang suksesi hutan yang meliputi perubahan vegetasi, hewan dan tanah selama suksesi berlangsung. Studi yang spesifik, misalnya dekomposisi seresah, keragaman burung, pola distribusi suatu spesies juga termasuk dalam ekologi hutan. Jadi ruang lingkup ekologi hutan sangat luas.

Namun, tentu saja, buku ini tidak membahas semuanya. Bagian terbesar dari buku ini membahas satu komponen ekosistem hutan yang paling menonjol yaitu vegetasi.

(12)

6

BAGIAN II

EKOSISTEM HUTAN

(13)

7

BAB II

KONSEP EKOSISTEM 1. Pengertian

Sir Arthur Tansley dari Inggris pada tahun 1935 mengenalkan istilah ekosistem (ecosystem). Dia mendefinisikan pengertian ekosistem sebagai ”keseluruhan sistem (dalam arti fisik) termasuk bukan saja kompleks organisme, tetapi juga keseluruhan kompleks faktor-faktor fisik yang membentuk lingkungan dari bioma- faktor habitat dalam arti seluas-luasnya.” Meskipun istilah ini baru muncul pada tahun 1935, tetapi sebenarnya ide tentang unit alami yang menyatukan komponen abiotik dan biotik sudah lama ada, tetapi istilah-istilah yang artinya serupa dengan ekosistem baru muncul pada Abad 18 (Odum, 1983).

Pada tahun 1877, Karl Mobus di Jerman menyebut komunitas organisme pada karang tiram dengan istilah biocoenosis. Di Amerika Serikat Forbes pada tahun 1887 menulis karangan tentang danau sebagai microcosm. Di Rusia, Dokuchaev mendukung istilah biocoenosis yang kemudian dikembangkan di negara itu menjadi geobiocoenosis.

Pengertian yang lengkap tentang ekosistem diberikan oleh Odum sebagai berikut:

Setiap unit biosistem yang meliputi seluruh organisme yang berfungsi bersama (yaitu komunitas biologi) dalam suatu wilayah yang berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sehingga aliran energi menghasilkan struktur biota yang jelas dan siklus materi antara bagian hidup dan tak hidup adalah suatu sistem ekologi atau ekosistem.

Contoh tipe ekosistem perairan adalah danau, sungai dan lautan.

Contoh tipe ekosistem daratan adalah hutan, savanna dan padang rumput.

(14)

8 Gambar 2.1. Diagram ekosistem (digambar ulang dari Odum (1999).

I. Komponen abiotik. II. Produsen. (tumbuhan di darat, fitoplankton di air) III Konsumen makro (hewan di darat, zooplankton di air). IV. Pengurai (bakteri dan jamur).

2. Struktur ekosistem

Ekosistem tersusun atas komponen hayati (biotik) dan nir hayati (abiotik). Komponen hayati tersusun atas ototrof atau produsen dan heterotrof atau konsumen. Komponen abiotik terdiri dari benda-benda mati, misalnya partikel tanah, batuan, udara dan air. Komunitas biologi dapat dikelompokkan berdasarkan posisinya dalam rantai makanan.

Organisme yang dapat mengikat energi melalui fotosinthesis atau kemosintesis disebut ototrof, yang berasal dari kata auto, sendiri, dan thrope, makan. Jadi organisme ini dapat membuat makanannya sendiri, maka organisme ini disebut juga sebagai produsen. Contoh ototrof adalah tumbuhan berkhlorofil yang dapat mengubah cahaya matahari menjadi energi kimia dalam bentuk karbohidrat. Contoh ototrof yang lain adalah bakteri kemosintetis (chemosynthetic bacteria) yang dapat memperoleh energi dengan menguraikan zat kimia.

Organisme yang tidak dapat membuat makanannya sendiri disebut heterotrof, yang berasal dari kata hetero, lain, dan trophe,

(15)

9 makanan. Jadi secara harfiah heterotrof berarti organisme yang mendapat makanan dari organisme lain. Organisme ini disebut juga konsumen, karena dia memperoleh energi dengan cara mengkonsumsi organisme lain. Heterotrof bisa dibedakan berdasarkan tipe makanannya. Heterotrof yang memakan tumbuh-tumbuhan disebut herbivora, yang berasal dari kata herb, tumbuhan, dan voro, memakan.

Contoh herbivora adalah rusa, gajah dan badak. Karnivora adalah heterotrof yang memakan daging. Contoh karnivora adalah harimau dan serigala. Heterotrof yang memakan daging dan tumbuhan, disebut omnivora. Contoh omnivora adalah babi, ayam. Adapula heterotrof yang memakan tumbuhan dan hewan yang sudah mati, disebut detrivora, yang berasal dari detritus (sampah).

3. Fungsi ekosistem

Semua ekosistem memiliki fungsi utama yaitu aliran energi dan siklus materi. Sumber energi bagi ekosistem adalah sinar matahari yang diikat oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis. Fotosintesis mungkin merupakan fungsi yang terpenting dari ekosistem karena fotosintesis adalah satu-satunya jalan masuk energi matahari kedalam sistem kehidupan. Hasil dari ekosistem berupa biomassa merupakan bahan makanan bagi manusia dan makhluk lain, bahan bangunan, bahan pakaian. Bahkan fosil dari biomassa tumbuhan dan hewan menjadi bahan bakar minyak, gas dan batubara.

Hasil samping dari fotosintesis adalah oksigen yang merupakan kebutuhan vital bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa oksigen, sebagian besar makhluk hidup akan mati. Meskipun manusia sangat membutuhkan oksigen, seringkali kita tidak menghargainya.

Hutan atau taman kota yang merupakan penghasil oksigen sering dianggap tidak menguntungkan sehingga banyak terjadi konversi dari hutan dan taman ke peruntukan lahan lain yang dianggap lebih menguntungkan, seperti pusat perbelanjaan dan pabrik.

Energi mengalir dari tumbuhan ke herbivora, lalu ke karnivora melalui rantai makanan. Menurut hukum thermodinamika II, perubahan energi tidak seratus persen efisien. Dari 100 kalori energi yang ada pada tumbuhan hanya sebagian kecil yang bisa diikat oleh herbivora, sebagian lagi bocor dalam bentuk panas yang tidak dapat

(16)

10 dimanfaatkan. Ketika herbivora dimakan oleh karnivora, maka jumlah energi yang dapat diikat oleh karnivora lebih sedikit lagi. Karena berlakunya hukum Thermodinamika II ini maka jumlah karnivora selalu lebih sedikit dari herbivora. Itulah salah satu sebab mengapa karnivora besar, seperti harimau, berjumlah sedikit karena dia berada di puncak rantai makanan. Faktor lain yang menyebabkan terancamnya harimau adalah ukuran tubuhnya yang besar, yang berarti dia membutuhkan banyak energi padahal luas hutan selalu menyusut karena banyak dikonversi menjadi bentuk peruntukan lain. Faktor terakhir adalah adanya perburuan oleh manusia.

Fungsi lain dari ekosistem adalah siklus materi. Tidak seperti energi, materi berpindah dari satu komponen ke komponen lain dalam ekosistem secara siklus, dari komponen abiotik ke komponen biotik dan kembali lagi ke komponen abiotik. Sebagai contoh, karbon di atmosfer diserap tumbuhan, lalu sebagian masuk ke tubuh hewan dan sebagian lagi kembali ke atmosfer melalui respirasi dan dekomposisi. Sebagian dari karbon tersebut terikat dalam batuan yang tidak langsung masuk dalam siklus.

Dari sudut pandang manusia, proses siklus materi ini juga sangat penting. Jika tidak ada siklus materi masalah limbah akan jauh lebih besar dari sekarang ini. Dengan adanya siklus materi maka limbah manusia akan terurai kembali menjadi unsur-unsurnya. Sebagai contoh jika manusia membuang tinja ke sungai, maka tinja tersebut akan menjadi makanan bagi biota sungai sehingga air sungai kembali bersih.

Limbah biomassa lainnya juga mengalami proses dekomposisi.

Pencemaran lingkungan terjadi ketika produksi limbah oleh manusia melebihi kemampuan ekosistem untuk mendekomposisi limbah tersebut. Selain itu, manusia juga menghasilkan limbah yang tidak dapat terurai secara alami.

Ekosistem pada umumnya tidak memiliki batas yang tegas.

Transisi antara dua tipe ekosistem disebut dengan ekoton. Misalnya antara hutan gugur daun dan hutan daun jarum yang selalu hijau terdapat transisi berupa hutan yang memiliki pohon daun lebar gugur daun dan pohon daun jarum. Ekosistem merupakan suatu sistem yang terbuka. Energi dan materi berpindah dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya. Misalnya, hewan bergerak dari hutan ke padang rumput dan

(17)

11 sebaliknya. Air hujan yang jatuh di hutan mengalir ke sungai, lalu ke laut.

Gambar 2.2. Aliran energi dalam ekosistem

(18)

12

BAB III

INTERAKSI ANTARA

FAKTOR ABIOTIK DAN BIOTIK A. Iklim

Suatu sistem terdiri dari komponen yang saling berinteraksi dan saling tergantung membentuk suatu kesatuan. Di dalam sistem ekologi atau ekosistem terjadi interaksi antara komponen biotik dan abiotik, antara sesama komponen biotik, dan antara sesama komponen abiotik.

Ekologiwan yang beraliran holistik percaya bahwa ekosistem memiliki emergent properties (sifat yang muncul), yang tidak ditemui pada tingkatan di bawahnya. Dengan kata lain, ekosistem memiliki sifat yang bukan sekedar penjumlahan dari sifat-sifat komponennya.

Faktor abiotik berupa iklim berinteraksi dengan komunitas biologi di hutan. Di satu pihak, tipe komunitas dipengaruhi oleh iklim dan sebaliknya, iklim dipengaruhi oleh tipe komunitas. Kalau kita bergerak dari daerah tropis seperti Indonesia ke arah kutub utara, maka kita akan merasakan perubahan iklim dari daerah panas ke daerah dingin. Sejalan dengan perubahan iklim tersebut berubah pula tipe hutannya: dari hutan tropis, lalu hutan sub tropis, lalu hutan iklim sedang gugur daun, kemudian hutan daun jarum selalu hijau dan terakhir adalah komunitas tundra.

Di lain pihak, komunitas biologi juga mempengaruhi iklim.

Dalam skala kecil, hutan mempengaruhi iklim mikro. Udara di bawah pohon lebih sejuk dan lembab daripada udara di tanah terbuka. Dalam skala besar, hamparan hutan tropis yang sangat luas menguapkan banyak air sehingga membentuk lapisan awan di atasnya, menjaga iklim tetap lembab. Rusaknya hutan tropis dalam skala besar dikhawatirkan akan menyebabkan perubahan iklim.

(19)

13 Gambar 3.1. Hubungan antara iklim dan tipe komunitas (Dari Odum, 1999).

Dalam jangka panjang adanya komunitas tumbuhan di bumi selama milyaran tahun mempengaruhi susunan gas di atmosfer bumi sehingga susunan tersebut akhirnya sangat cocok bagi kehidupan. Pada awal kejadian bumi, susunan gas atmosfernya sangat sedikit mengandung oksigen dan sangat banyak mengandung karbon dioksida.

Sebagai perbandingan susunan gas di atmosfer mars dan venus yang tidak memiliki kehidupan sangat berbeda dengan susunan gas di atmosfer bumi.

B. Cahaya

Cahaya merupakan salah faktor lingkungan yang terpenting karena perannya dalam fotosintesis dan banyak proses lainnya. Cahaya yang terlihat oleh mata manusia (ungu, biru, hijau, kuning, jingga, merah) memiliki panjang gelombang sekitar 390-760 nano meter, hanyalah

(20)

14 sebagian kecil dari spektrum radiasi matahari yang lebih lebar. Radiasi yang aktif dalam fotosintesis, atau Photosynthetically Active Radiation (PAR) terdiri dari cahaya dengan panjang gelombang 400-700 nm. Ada gelombang lain yang tidak tampak yaitu ultraviolet dan merah jauh yang juga berpengaruh pada tumbuhan. Meskipun tidak tampak, tetapi keduanya seringkali dibahas dalam topik cahaya.

Ada tiga aspek cahaya yang berpengaruh pada tumbuhan, yaitu irradiance (kepadatan aliran radiasi yang seringkali disebut intensitas cahaya), kualitas cahaya dan lama pencahayaan. Intensitas cahaya yang diterima tumbuhan bervariasi menurut musim, siklus harian, ada tidaknya tutupan kanopi dan cuaca yang bersifat acak. Dalam satu hari, intensitas cahaya maksimum terjadi pada siang hari ketika matahari berada tepat di zenith. Dari total cahaya yang mengenai kanopi hutan, kurang lebih 10% dipantulkan kembali (Smith, 1986). Sebagian besar cahaya hijau dipantulkan sehingga dedaunan terlihat hijau. Sebagian besar cahaya merah diserap mesofil daun untuk fotosintesis. Sampai di lantai hutan, cahaya yang diterima sangat sedikit, tergantung pada ketebalan dan kerapatan tajuk. Di hutan gugur daun yang sedang menggugurkan daunnya, intensitas cahaya di lantai hutan dapat mencapai 50-80% dari cahaya penuh, di tegakan seumur pinus mencapai 10-15%, dan di hutan hujan tropis hanya 0,1-2% (Barnes et al, 1997). Namun di lantai hutan sering terjadi kerlip sinar matahari (sunfleck) yang secara kualitatif sama dengan cahaya di atas kanopi.

Lama setiap kerlip hanya berkisar antara 5,7-7,1 menit. Dalam waktu yang singkat itu tumbuhan yang hidup di lantai hutan mampu melaksanakan fotosintesis. Studi Canham et al yang dikutip Barness et al (1997) di hutan iklim sedang dan hutan hujan tropis menunjukkan bahwa persentase photosynthetically active radiation (PAR) yang diterima tumbuhan dalam bentuk kerlip matahari mencapai proporsi 47- 68%.

(21)

15 Gambar 3.2. Perubahan intensitas cahaya pada strata hutan yang berbeda (dari Whittaker, 1975).

Pengaruh perubahan intensitas cahaya terjadi terutama pada proses yang membutuhkan cahaya sebagai energi, yaitu fotosintesis. Di tempat gelap, tidak terjadi fotosintesis, sementara respirasi terjadi.

Intensitas cahaya minimal yang memungkinkan fotosintesis bervariasi menurut spesies. Di dalam silvikultur dikenal jenis tumbuhan toleran naungan dan pohon intoleran naungan. Tumbuhan toleran naungan mampu melakukan fotosintesis pada intensitas cahaya rendah.

Pada intensitas cahaya sangat rendah, jumlah karbon yang diikat melalui fotosintesis lebih rendah daripada jumlah karbon yang dilepas melalui respirasi. Meningkatnya intensitas cahaya meningkatkan laju fotosintesis. Intensitas cahaya dimana jumlah karbon yang diikat melalui fotosintesis sama dengan jumlah karbon yang dilepas melalui respirasi disebut titik kompensasi cahaya. Ketika intensitas cahaya meningkat, terjadilah titik kejenuhan cahaya dimana peningkatan cahaya sesudah titik tersebut tidak lagi meningkatkan pengikatan karbon bersih. Tumbuhan toleran naungan mencapai titik kompensasi

(22)

16 cahaya dan titik jenuh cahaya yang lebih rendah daripada jenis tumbuhan tidak toleran naungan. Sifat tersebut membuat tumbuhan toleran naungan di habitat aslinya yang ternaungi memiliki laju fotosinthesis rendah, namun memiliki keuntungan, yaitu mereka mampu bertahan hidup pada kondisi intensitas cahaya yang rendah dimana spesies lain tidak lagi dapat bertahan hidup (Salisbury and Ross, 1992).

Pohon-pohon hutan pada umumnya memiliki kemampuan mengembangkan anatomi daun yang berbeda, tergantung apakah daun tersebut berada di bawah nauangan atau di tempat terbuka. Daun di bawah naungan biasanya tipis, memiliki luas yang lebih besar per satuan berat, epidermis tipis, palisade sel lebih sedikit, sel bunga karang lebih banyak, jaringan penopang dan jumlah stomata lebih sedikit daripa daun di tempat terbuka dari jenis pohon yang sama (Barnes et al, 1997).

Selain intensitasnya, kualitas cahaya juga mempengaruhi proses fisiologi dan perkembangan tumbuhan. Dalam percobaan ditemukan bahwa jenis tumbuhan intoleran terhadap naungan mengalami hambatan perkecambahan jika terpapar cahaya merah jauh yang memiliki panjang gelombang 768-800 nm (Fitter and Hay, 1987).

Cahaya merah jauh secara alami terdapat di lantai hutan yang gelap.

Dengan demikian, biji-biji jenis-jenis tumbuhan intoleran terhadap naungan tidak akan tumbuh dalam naungan. Ketika terjadi pembukaan, misalnya ada pohon tumbang yang menciptakan rumpang dan memungkinkan cahaya masuk, biji jenis-jenis tersebut terangsang untuk berkecambah.

Percobaan juga menunjukkan ada biji-biji yang sensitif terhadap cahaya merah dan merah jauh. Ketika terpapar cahaya merah, biji berkecambah, tetapi stimulasi tersebut dapat dibatalkan dengan memberikan cahaya merah jauh. Paparan terakhirlah yang menentukan stimulasi perkecambahan (Fitter and Hay, 1991).

Pengaruh cahaya merah jauh pada sebagian besar tumbuhan terjadi melalui pigmen fitokrom. Dalam percobaan di laboratorium ditemukan bahwa daun yang terpapar cahaya merah jauh berukuran lebih panjang, lebih sempit, jumlah stomata lebih sedikit, jumlah khlorofil lebih sedikit per satuan luas. Ini menunjukkan bahwa

(23)

17 perlakuan cahaya merah jauh membuat tumbuhan mempertahankan laju fotosintensis pada intensitas cahaya yang rendah dengan menambah luas daun (Fitter and Hay, 1987). Di alam, pemanjangan terjadi ketika tumbuhan mengalami etiolasi, yaitu ketika tumbuhan berada di dalam naungan tumbuh memanjang untuk mencari cahaya.

Selain intensitas dan kualitas cahaya, lama pencahayaan juga mempengaruhi tumbuhan, juga melalui pigmen fitokrom. Di daerah tropis, lama pencahayaan dalam satu hari relatif tidak banyak berubah dari musim ke musim, tetapi di daerah beriklim sedang terjadi perubahan lama pencahayaan sesuai dengan perubahan musim.

Tumbuhan mendeteksi musim dari lama pencahayaan ini. Dalam percobaan, tumbuhan yang diberi lama pencahayaan yang tidak berubah selalu berada pada tahap perkembangan yang sama. Misalnya, tumbuhan Epilobium hirsutum dan Lythrum salicaria mengalami pembungaan ketika diberi pencahayaan 16 jam per hari, dan tetap dalam kondisi vegetatif ketika diberi pencahayaan 9 jam per hari (Whitehead, 1971 dalam Fitter and Hay, 1987).

C. Suhu

Suhu di suatu tempat di muka bumi merupakan fungsi dari besarnya radiasi matahari yang mencapai tempat itu dan dipengaruhi oleh perpindahan panas oleh radiasi bumi dan sirkulasi udara (Barness at al, 1997). Selama siang hari, permukaan tanah menerima radiasi matahari dalam gelombang yang pendek dan memancarkannya kembali dalam gelompang panjang sehingga memanasi lapisan udara tipis di atas permukaan tanah (Smith, 1986). Suhu turun drastis di atas lapisan udara ini dan di bawah tanah.

Dalam skala besar, suhu sebagai komponen iklim, mempengaruhi tipe hutan. Dalam skala kecil, suhu di suatu tempat mempengaruhi tumbuhan dan hewan yang hidup di tempat itu. Dalam hal suhu, hewan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu poikilotherm atau hewan berdarah dingin dan homoiotherm, atau hewan berdarah panas. Poikilotherm memiliki suhu tubuh yang berubah-ubah, sedangkan homoiotherm memiliki suhu tubuh yang konstan. Hewan memiliki mekanisme perilaku maupun metabolisme untuk beradaptasi terhadap suhu yang kurang menguntungkan, baik dingin maupun panas.

Misalnya, sebagian hewan menghindari udara dingin dengan

(24)

18 melakukan migrasi, ada yang tidur dan ada pula yang berhibernasi.

Sebagian hewan beradaptasi dengan mengatur ketebalan bulu. Pada musim panas, bulu yang tebal dirontokkan diganti bulu tipis.

Tidak seperti hewan yang dapat bergerak menghindari suhu ekstrem, tumbuhan menetap di suatu tempat sehingga tumbuhan harus beradaptasi terhadap suhu ekstrem. Di daerah tropis rata-rata suhu sepanjang tahun relatif tetap. Perbedaan suhu yang lebih besar terjadi antara malam dan siang. Pada hutan iklim sedang dan kutub, suhu ekstrem dingin dapat terjadi. Sebaliknya pada komunitas gurun suhu ekstrem panas dapat terjadi.

Karena suhu suatu bagian tumbuhan tergantung pada cahaya yang diterima, maka suhu bagian tumbuhan sangat bervariasi sesuai dengan variasi penerimaan cahaya. Beberapa faktor yang mempengaruhi suhu daun adalah waktu dalam suatu hari, bulan dalam sutu tahun, ada tidaknya awan dan angin, posisinya dalam kanopi, tinggi daun di atas permukaan tanah dan ukuran daun (Fitter and Hay, 1987). Kemampuan memantul daun dan orientasinya terhadap arah datngnya cahaya matahari juga mempengaruhi suhu daun (Smith, 1986). Di saat yang sama, bagian tubuh tumbuhan yang berbeda dapat memiliki suhu yang berbeda. Bagian atas yang terkena paparan cahaya matahari memiliki suhu yang lebih tinggi daripada bagian bawah yang ternaungi.

Suhu mempengaruhi fotosintesis. Secara umum dapat dikatakan bahwa pada suhu rendah laju fotosintesis juga rendah. Dengan meningkatnya suhu, laju fotosintesis meningkat sampai kemudian turun lagi, dan pada suhu yang terlalu tinggi fotosintesis terhenti. Suhu optimal untuk fotosintesis bervariasi menurut jenisnya. Jenis tumbuhan yang memiliki lintasan fotosintesis C-4 (lihat penjelasannya pada sub bab air) memiliki suhu optimum yang lebih tinggi daripada tumbuhan C-3.

Proses fisiologi lainnya juga dipengaruhi oleh suhu. Namun sulit untuk menentukan suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman karena tahapan perkembangan yang berbeda membutuhkan suhu berbeda. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan tumbuhan seringkali sulit dipisahkan dari pengaruh air. Sebagai contoh tumbuhan gurun tropis berada pada kondisi cekaman (stress) air dan suhu sekaligus.

(25)

19

D. Air

Air adalah sumber kehidupan. Sebagian besar biomassa tumbuhan dan hewan terdiri dari air. Dalam skala luas, air menentukan tipe hutan. Di daerah tropis dengan curah hujan relatif tinggi sepanjang tahun terdapat tipe hutan hujan tropis yang selalu hijau sepanjang tahun, sementara di daerah tropis dengan musim kemarau yang cukup panjang terdapat tipe hutan musim. Di dalam iklim yang sama, ketersediaan air tanah juga mempengaruhi tipe hutan, misalnya di daerah dengan iklim tropis basah dengan tanah yang selalu tergenang air terdapat hutan rawa yang komposisi jenisnya berbeda dengan hutan dataran rendah di dekatnya yang tumbuh di tanah kering.

Air mentukan sebagian besar proses fisiologis tumbuhan. Proses terpenting dalam ekosistem, yaitu fotosintesis, memerlukan air.

Sebagian besar unsur hara yang diperlukan oleh tumbuhan diperoleh dalam bentuk larutan yang diserap tumbuhan melalui akar.

Metabolisme di dalam tumbuhan dan hewan juga memerlukan air. Jika ketersediaan air berkurang maka proses fisiologis tumbuhan akan terganggu, tumbuhan menjadi layu dan akhirnya tumbuhan akan mati.

Ketersediaan air di dalam tanah ditentukan oleh potensial air. Jika potensial air lebih rendah dari 1500 kilopascal (15 bar) tumbuhan akan mengalami layu permanen.

Ketersediaan air yang cukup dan suhu yang hangat sepanjang tahun membuat hutan tropis basah menjadi salah satu ekosistem yang paling produktif di dunia.

Tabel 3.1. Produktivitas primer bersih beberapa tipe vegetasi di dunia Tipe ekosistem Total berat kering (gram/m2/tahun)

Kisaran Rata-rata

Hutan hujan tropis 1.000 – 3.500 2.200 Hutan tropis musiman 1.000-2.500 1.600 Hutan iklim sedang

gugur daun

600-2.500 1.200

Hutan iklim sedang selalu hijau

600-2.500 1.300

Hutan boreal 400-2000 800

(26)

20 Belukar (woodland

dan shrubland)

250-1200 700

Savanna 200-1200 900

Padang rumput iklim sedang

200-1.500 600

Tundra dan alpin 10-400 140

Gurun dan semi gurun 10-250 90

Gurun ekstrem 0-10 3

Sumber: Terborgh (1992)

Secara ekologis air penting untuk meredam fluktuasi suhu.

Kenaikan dan penurunan suhu akibat iklim akan menjadi sangat ekstrem seandainya tidak ada air. Untuk menaikkan suhu satu gram air setinggi satu derajat Celsius diperlukan satu kalori dan untuk menguapkan satu gram air diperlukan 597 kalori. Ketika sinar matahari memanasi bumi maka terjadi penguapan sehingga kenaikan suhu tidak drastis. Tumbuhan dapat meredam kenaikan suhu dengan melakukan transpirasi.

Besarnya energi yang diperlukan untuk menaikkan suhu air dan kemampuan air untuk menghantarkan panas menyebabkan suhu badan air relatif homogen dan konstan, sehingga tidak mengganggu kehidupan air. Pada musim dingin, ketika air kehilangan panas (80 kalori per gram air), air membeku menjadi es. Karena berat jenis es lebih rendah dari air, maka es mengapung di permukaan. Es yang terapung ini menjadi isolasi sehingga di bawah es air tidak membeku.

Adaptasi tumbuhan terhadap kekurangan air

Tumbuhan memiliki mekanisme untuk mengatasi kekurangan air. Fitter and Hay (1987) mengkategorikan 3 adaptasi:

1. Adaptasi untuk memperoleh jumlah air maksimum;

2. Adaptasi untuk menghemat air yang didapat, dan

3. Adaptasi untuk melindungi sel dan jaringan dari kerusakan dan kematian selama periode kekeringan yang parah.

Untuk memperoleh air yang maksimal, tumbuhan yang hidup pada daerah kering menumbuhkan perakaran yang ekstensif. Di daerah yang basah, perbandingan biomassa akar dan batang (root to shoot

(27)

21 ratio) relatif rendah, sebaliknya pada daerah kering tinggi. Misalnya, perbandingan biomassa akar dan batang hutan pinus 21-25%, hutan savanna tropis 30-40%, dan di gurun 90% (Fitter and Hay, 1987).

Untuk menghemat air tumbuhan melakukan berbagai macam adaptasi, secara morfologis maupun fisiologis. Karena air keluar dari tumbuhan melalui stomata, sebagian tumbuhan memiliki rambut di sekitar stomata untuk mengurangi kehilangan air. Kehilangan air juga dapat dikurangi dengan menggugurkan daun, seperti pada pohon jati, flamboyan dan pohon-pohon lain di hutan gugur daun. Sebagian tumbuhan menyimpan air di umbi batang, umbi akar dan umbi lapis. Di savanna tropis beberapa jenis tumbuhan bertahan hidup di musim kemarau dalam bentuk umbi batang yang tidak berdaun. Kehilangan air juga dapat dikurangi dengan membentuk daun yang tebal, kecil- kecil dan berlapis kutikula. (Fitter and Hay, 1987).

Sebagian tumbuhan melakukan adaptasi fisiologis dengan mengembangkan mekanisme fotosinthesis yang berbeda dari mayoritas tumbuhan. Proses fotosintesis pada tumbuhan secara umum dapat dibagi ke dalam dua tahap, yaitu reaksi terang dan gelap. Dalam reaksi terang air dipecah, energi dari cahaya diikat untuk mengubah ADP (Adenosine diphosphate) menjadi ATP (Adenosine triphosphate), hydrogen ion diikat oleh NADP (nicotinamide adenine dinucleotide), dan oksigen dilepaskan. Selanjutnya dalam reaksi gelap (yang lebih tepat sebenarnya adalah reaksi yang tidak membutuhkan cahaya, tidak selalu terjadi dalam gelap) terjadi pengikatan karbon CO2 melalui stomata untuk diubah menjadi senyawa yang memiliki karbon 3, yaitu 3-PGA (phosphoglyceric acid) dengan bantuan RuBP (Ribulose biphosphate). Selanjutnya PGA diubah menjadi glukosa, dengan menggunakan energi ATP yang kemudian berubah kembali menjadi ADP dan ion hydrogen dari NADPH yang kembali menjadi NADP dan RuBP terbentuk kembali. ADP, NADP dan RuBP yang terbentuk akan kembali digunakan dalam proses yang sama, yaitu mengikat CO2 dan mengubahnya menjadi glukosa. Jadi reaksi gelap berbentuk siklus yang ditemukan oleh Calvin dan disempurnakan oleh Benson sehingga disebut siklus Calvin-Benson (sebelumnya siklus Calvin).

Proses fotosintesis yang digambarkan di atas terjadi di mesofil sel. Pada proses pengikatan CO2 terjadi ketidakefisienan karena

(28)

22 ternyata RuBP juga dapat mengikat O2. Terjadinya pengikatan oksigen oleh RuBP yang disebut fotorespirasi ini menyebabkan produksi PGA menjadi sedikit.

Di daerah panas dan kering tumbuhan harus menghemat air dengan mengatur pembukaan dan penutupan stomata, yang berfungsi sebagai lubang masuknya CO2 tetapi juga lubang keluarnya air melalui transpirasi. Mengurangi pembukaan stomata dapat mengurangi transpirasi, tetapi juga mengurangi masuknya CO2. Jadi tumbuhan di daerah panas harus lebih efisien dalam mengikat CO2, dan karena itu harus mencegah terjadinya fotorespirasi.

Salah satu mekanisme untuk mencegah fotorespirasi adalah memindahkan tempat terjadi siklus Calvin-Benson ke tempat yang lebih terlindungi, yaitu di bundle seath (seludang berkas) yang terletak tersembunyi di tengah daging daun. Tumbuhan jenis ini memiliki anatomi daun yang berbeda yang disebut Kranz anatomi. Tipe daun ini memiliki seludang berkas yang besar, sementara diferensiasi mesofil kurang berkembang dibandingkan tumbuhan C-3. Pada tumbuhan ini pengikatan CO2 bukan oleh RuBP tetapi oleh PEP (Phosphoenolpyruvate) dan hasilnya bukan PGA dengan tiga karbon tetapi senyawa malat dan aspartat yang memiliki 4 karbon. Oleh karena itu tumbuhan yang menggunakan lintasan fotosintesis ini disebut C-4.

PEP lebih kuat mengikat CO2 daripada RuBP. Pengikatan CO2 ini terjadi di mesofil seperti pada tumbuhan C-3, tetapi senyawa asam malat dan asam aspartat yang dihasilkan kemudian dipindahkan ke seludang berkas di mana CO2 dikeluarkan lagi dari senyawa malat dan aspartat untuk selanjutnya diproses dalam siklus Calvin-Benson. Di dunia terdapat kurang lebih 285.000 tumbuhan berbunga, 0,4% di antaranya diketahui termasuk tumbuhan C-4 (Salisbury and Ross, 1992). Contoh tumbuhan C-4 adalah jagung, dan contoh pohonnya adalah Oak (Quercus).

Selain itu, ada satu lagi lintasan fotosintesis yang dapat menghemat air, yaitu yang disebut CAM (crassulacean acid metabolisme) yang dikembangkan oleh tumbuhan sukulen di gurun.

Nama ini diambil dari famili Crassulaceae. Untuk menghemat air, tumbuhan CAM menutup stomatanya pada siang hari. Pada malam hari tumbuhan ini membuka stomata untuk mengikat CO2 dengan PEP

(29)

23 untuk menghasilkan asam malat dan menyimpannya di vakuola. Pada siang hari ketika ada cahaya matahari untuk mendapatkan energi, tumbuhan CAM mengeluarkan CO2 dari asam malat untuk diubah menjadi gula dengan siklus Calvin-Benson.

E. Tanah

Sebagian besar tumbuh-tumbuhan di ekosistem daratan tumbuh di atas tanah sehingga sifat-sifat tanah sangat mempengaruhi tumbuh- tumbuhan. Ada empat komponen penyusun tanah, yaitu bahan mineral (45%), udara (25%), air (25%) dan bahan organik (5%). Bahan mineral diperoleh terutama dari batuan induk, sedangkan bahan organik dari organisme yang masih hidup maupun yang sudah mati. Tanah menyediakan unsur hara yang diperlukan tumbuhan, kecuali karbon.

Unsur hara essensial makro meliputi karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur, kalium, kalsium, dan magnesium, sedangkan unsur hara mikro meliputi klorine, besi, mangan, boron, zink, tembaga, molybdenum dan kobalt.

Tekstur tanah

Salah satu sifat fisika tanah adalah tekstur, yang merupakan proporsi relatif dari ketiga penyusun partikel halus tanah, yaitu pasir, debu dan liat. Departemen Pertanian Amerika Serikat atau United States Department of Agriculture (USDA) memberikan batasan sebagai berikut: Pasir berdiameter 0,05–2,0 mm, debu berdiameter 0,002-0,05 mm dan liat berdiameter < 0,002 mm. USDA telah membuat segitiga tekstur untuk menentukan tekstur suatu tanah.

(30)

24 Gambar : 3.3. Segitiga tekstur tanah USDA

Untuk menentukan tekstur tanah di lapangan kita menggunakan dua jari kita. Jika tanah terasa kasar, berarti kandungan pasirnya banyak, jika terasa liat maka kandungannya liatnya banyak. Tetapi untuk memastikan tekstur kita harus melakukan test di laboratorium.

Tekstur tanah menentukan permeabilitas tanah atau kemudahan air melalui tanah. Permeabilitas berbanding lurus dengan ukuran partikel. Pasir memiliki permeabilitas tinggi, sedangkan liat sangat rendah sampai rendah, dan debu sedang. Pergerakan udara juga cepat pada pasir, sangat lambat sampai lambat pada liat, dan sedang pada debu. Sebaliknya, kapasitas memegang air berbanding terbalik ukuran partikel. Liat memiliki kapasitas memegang air yang tinggi, debu sedang, dan pasir rendah. Tanah yang memiliki tekstur lempung (loam) berpasir mudah mengalirkan air, memiliki aerasi yang bagus, tetapi juga cepat kering. Sebaliknya tanah yang bertesktur liat memiliki ruang yang sangat sedikit untuk pergerakan air dan udara. Akibatnya tanah sulit untuk mengalirkan air.Semakin kecil ukuran partikel semakin besar luas permukaannya, dan semakin besar potensinya untuk reaksi kimia. Liat memiliki luas permukaan yang besar dan karenanya lebih reaktif secara kimia daripada debu dan pasir. Partikel liat penting untuk penyediaan hara tumbuhan karena selain luas permukaannya yang besar

(31)

25 juga karena dia bermuatan listrik negatif. Akibatnya, partikel liat mengikat ion-ion positif dari hara tumbuhan seperti kalsium, natrium, kalium, zink dan besi. Pengikatan ion-ion tersebut menghindarkan terjadinya pencucian hara.

Struktur tanah

Sifat fisik tanah yang lain adalah struktur tanah, yang merupakan penggabungan partikel tanah menjadi suatu agregat. Ada beberapa tipe struktur, yaitu butiran (granular), balok (blocky), lempengan (platy), dan prisma (prismatic). Ada sebagian tanah yang strukturnya belum terbentuk, dapat berupa tanah massif atau butiran tunggal. Struktur tanah juga mempengaruhi permeabilitas tanah. Tanah butiran dan butiran tunggal memiliki permeabilitas tinggi, tanah berstruktur balok sedang dan tanah berstruktur lempengan dan massif rendah.

Gambar 3.4. Struktur tanah.

a. Prisma b. Kolom

c. Balok bersudut (angular blocky)

d. Balok ber sub-sudut (sub- angular blocky)

e. Lempeng f. Butiran

(digambar ulang dari Smith, 1986).

Bahan organik dan organisme tanah

Bahan organik tanah meliputi semua bahan organik dalam berbagai tingkat dekomposisi yang ada dalam tanah, yang dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Yang pertama adalah humus, yang merupakan bahan organik yang relatif stabil dan tidak lagi mengalami dekomposisi yang cepat. Kelompok kedua adalah bahan organik yang masih segar, seperti seresah, yang masih akan mengalami dekomposisi dengan cepat.

(32)

26 Bahan organik di dalam tanah memiliki peran penting, yaitu (Chiras and Reganold, 2005):

1. memperbaiki struktur tanah;

2. meningkatkan porositas tanah sehingga air dan udara dapat masuk dengan mudah;

3. menjadi buffer (tameng) terhadap perubahan pH yang cepat;

4. mengurangi erodibilitas tanah;

5. meminimalkan pencucian hara;

6. meningkatkan kemampuan penyimpanan hara dan air; dan 7. menyediakan habitat yang cocok bagi organisme tanah yang

berguna seperti cacing tanah dan bakteri.

Di dalam dan di permukaan tanah terdapat berbagai jenis makhluk hidup, baik yang berukuran besar, sedang maupun yang sangat kecil.

Ada dua proses dekomposisi yang dilakukan organisme tanah, yaitu comminution dan katabolisme (Desmukh,1986). Comminution adalah pengecilan ukuran partikel bahan organik yang terjadi ketika hewan tanah memakan bahan organik. Katabolisme adalah penguraian bahan organik secara biokimiawi dalam sistem pencernaan hewan tanah dan mikroflora. Secara umum hutan hujan tropis memiliki kepadatan bakteri yang lebih tinggi tetapi kepadatan hewan tanah yang lebih rendah daripada hutan gugur daun iklim sedang.

Salah satu hewan tanah, yaitu cacing tanah, memiliki peran besar dalam dekomposisi seresah. Dalam sebuah percobaan di tanah bekas tambang batu bara di Ohio, Amerika Serikat, cacing tanah Lumbricus terrestris mampu mengkonsumsi lapisan seresah dan humus setebal 6 cm atau ekuivalen dengan 52.600 kg per hektar dalam waktu 174 hari (Vimmerstedt and Finney, 1973). Di stasiun percobaan Rohamstedt, Inggris, cacing tanah dilaporkan mengkonsumsi seresah pohon oak (Quercus) dan beech (Fagus) lebih banyak daripada jumlah yang dikonsumsi semua hewan invertebrata digabungkan (Edward and Heath, 1963). Banyaknya seresah yang dikonsumsi cacing tanah berbeda antara satu jenis seresah dan lainnya (Wiryono dan Darmi, 2003). Pembahasan lebih lanjut tentang peran organisme dalam dekomposisi dibahas pada Bab IV.

Kemasaman tanah

(33)

27 Sifat kimia tanah yang penting adalah kemasaman tanah, yang dinyatakan dalam pH. Tinggi rendahnya pH mempengaruhi kelarutan mineral, jadi pH tanah sangat mempengaruhi ketersediaan hara bagi tumbuhan. Secara umum, ketersediaan hara cukup baik pada pH sekitar 7. Tanah hutan umumnya bersifat masam, dengan pH di bawah 7, antara 4 – 6,7 (Barness et al, 1997). Pada pH rendah (<4) terdapat peningkatan ion Al dan Fe yang bersifat toksik bagi tumbuhan.

Kegiatan industri di banyak negara menghasilkan polutan yang berakibat hujan asam yang menyebabkan meningkatnya kemasaman tanah dan membunuh pohon-pohon di hutan. Penambangan batu bara, yang menghasilkan sulfur, seringkali juga menyebabkan peningkatan kemasaman tanah.

Pembentukan tanah

Tanah terbentuk dari bahan induk dalam proses yang memakan waktu ratusan sampai jutaan tahun. Jenny merumuskan pembentukan tanah terjadi karena interaksi faktor-faktor: iklim, bahan induk, organisme, topografi dan waktu. Komponen iklim yang terpenting dalam pembentukan tanah adalah curah hujan dan temperatur. Keduanya mempengaruhi pelapukan batuan, melalui proses fisik dan kimia.

Perubahan suhu dari panas menjadi dingin dan sebaliknya menyebabkan retak pada batuan. Air hujan yang masuk ke dalam retakan yang mengalami pembekuan menyebabkan retakan bertambah besar. Air juga menjadi pelarut bahan kimia yang menyebabkan reaksi kimia. Di daerah tropis dengan curah hujan tinggi proses pelapukan dan pembentukan liat berlangsung cepat, demikian juga pencucian dan erosi. Akar tumbuhan yang masuk kedalam celah batu juga mempercepat pelapukan batuan.

Dalam jangka panjang, bahan induk yang mengalami pelapukan dan menjadi tempat tumbuh bagi organisme akan mengalami diferensiasi, membentuk lapisan-lapisan tanah yang disebut horizon.

Yang paling atas adalah horizon O (organik) yang merupakan lapisan bahan organik dari seresah tumbuhan. Di bawah horizon O adalah horizon A, yang merupakan lapisan mineral yang kaya humus. Horison ini biasanya berwarna gelap dan merupakan horizon yang subur. Di bawahnya lagi kadang-kadang dijumpai horizon E (eluviation) yaitu horizon pencucian, di mana material tanah seperti humus, liat silica, Fe oksida dam Al oksida terlarut dan tercuci ke bawah. Horizon ini

(34)

28 berwarna terang. Di bawah horizon E adalah horizon B yang merupakan horizon akumulasi (illuviation). Material yang tercuci dari horizon E terakumulasi di horizon B. Di bawahnya adalah horizon C yang merupakan bahan induk, yang baru sedikit mengalami pelapukan.

Terakhir adalah horizon R yang merupakan batuan yang belum menunjukkan adanya proses pelapukan.

Horison O, bahan organik dari berbagai tingkat dekomposisi.

Horison A,. mineral tetapi kaya humus; biasanya berwarna gelap.

Horison E, zona pencucian, warna terang.

Horison B, zona akumulasi materi yang tercuci dari atas.

Horison C, bahan induk yang sebagian mulai mengalami pelapukan.

Horison R: batuan keras.

Gambar 3.5. Horison tanah (dari Chiras and Reganold, 2005) Hubungan antara tanah dan vegetasi

Tipe tanah mempengaruhi tumbuhan di atasnya. Hutan yang tumbuh di tanah asin dan tergenang air seperti hutan mangrove berbeda dari hutan yang tumbuh di tanah kering dan tidak asin. Hutan di tanah kapur terdiri dari pohon-pohon yang banyak menyerap kalsium dan magnesium dan tidak tahan terhadap ion aluminium dan besi yang menghambat penyerapan posfor. Sebaliknya hutan di tanah masam tidak tahan kandungan kalsium yang tinggi yang menghambat penyerapan natrium dan besi. Di Amerika Serikat hutan di tanah masam memiliki jenis-jenis antara lain oleh oak (Quercus), chestnut

(35)

29 (Castanea), laurel (Kalmia) dan blueberi (Vaccinum), sedangkan hutan di tanah kapur memiliki jenis-jenis hickory, cedar merah, dan maple (Smith, 1986). Studi di Sarawak, Malaysia, oleh Proctor et al (1983) dalam Whitten et al (1984), menunjukkan hutan yang tumbuh pada tanah kapur dalam satu hektar hanya memiliki 74 jenis pohon, sedangkan hutan dipeterocarp di dekatnya memiliki 215 jenis.

Kepadatan jenisnya juga rendah, diameternya kecil (10-20 cm, diameter setinggi dada) dan tingginya juga rendah.

Tanah bukan hanya mempengaruhi vegetasi, tetapi juga dipengaruhi oleh vegetasi. Padang rumput memiliki sistem perakaran yang rapat. Setiap tahun biomassa di atas tanah dan sebagian dari akar akan mati dan dikembalikan ke tanah sebagai bahan organik. Meskipun dekomposisi berlangsung cepat, tetapi sebelum semua bahan organik terdekomposisi, terjadi lagi penambahan biomassa dari akar dan batang dan daun. Berkat aktivitas organisme tanah, lapisan humus bercampur dengan tanah mineral, sehingga tanah di padang rumput memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Karena padang rumput memiliki curah hujan yang rendah maka jumlah air tidak cukup untuk mencuci kalsium dan magnesium karbonat dan juga liat (clay). Maka, horizon B kurang berkembang di tanah padang rumput, sedangkan horison A tebal, kaya bahan organik dan kalsium. Tingginya kalsium terjaga karena rumput mengambil banyak kalsium dan mengembalikannnya kembali ke permukaan tanah ketika batangnya mati (Smith, 1986).

Lain dari biomassa di padang rumput, biomassa hutan tidak semuanya kembali ke tanah setiap tahun. Hanya sebagian kecil akar yang mati dan kembali ke tanah. Batang dan cabang tidak mati setiap tahun. Hanya daun yang gugur setiap tahun. Hutan berada pada daerah yang curah hujannya cukup tinggi, yang cukup untuk mencuci kalsium, magnesium, kalium, besi dan aliminiun. Pencucian yang intensif menyebabkan terjadinya horison E yang berwarna terang. Karena pohon mengambil basa lebih sedikit daripada rumput, maka basa yang dikembalikan ke tanah juga sedikit, sehingga tanah hutan cenderung bersifat masam (Smith, 1986).

(36)

30

BAB IV

SIKLUS MATERI

Di dalam ekosistem, materi berpindah dari komponen abiotik ke dalam komponen biotik, lalu kembali ke komponen biotik dan seterusnya dalam suatu siklus yang abadi. Sebagai contoh air jatuh dari langit berupa hujan dan salju ke bumi. Sebagian dari air itu mengalir ke laut melalui sungai, sebagian diserap tanah dan tumbuhan. Air di tanah sebagian diserap tumbuhan muncul ke permukaan dalam mata air.

Selanjutnya, air di tumbuhan sebagian dimakan hewan dan manusia, dan sebagian keluar lagi ke udara melalui transpirasi. Air di badan air seperti sungai, danau dan laut akan menguap ke langit karena terkena sinar matahari, dan kemudian turun lagi menjadi hujan. Siklus materi sering juga disebut dengan siklus biogeokimiawi karena dalam siklus terlibat proses biologi, geologi (termasuk fisik) dan kimia.

A. Dekomposisi

Salah satu proses yang terpenting dalam siklus materi adalah dekomposisi bahan organik. Biomassa tumbuhan dan hewan setelah mati akan dipecah kembali menjadi unsur-unsurnya. Dalam bab III telah diuraikan sedikit tentang peran organisme tanah dalam proses dekomposisi. Ada banyak proses yang terlibat dalam dekomposisi yaitu pencucian senyawa terlarut, konsumsi oleh hewan, pemecahan materi, penguraian bakteri dan jamur, pengeluaran senyawa organik dan anorganik oleh organisme dan penggabungan koloid bahan organik menjadi partikel yang lebih besar (Smith, 1986).

Daun-daun sudah mulai mengalami proses awal dekomposisi sejak masih berada di pohon. Ketika daun menjadi tua, sebagian nutrisinya diserap kembali oleh tumbuhan untuk dialokasikan ke daun yang lebih muda, sebagian hilang karena otolisis, sebagian hilang karena pencucian oleh air hujan dan sebagian dimakan oleh ulat. Daun yang jatuh di atas tanah segera dikolonisasi oleh bakteri dan jamur.

(37)

31 Organisme pemakan seresah atau saprofagus dapat dikelompokan menjadi dua berdasarkan ukurannya, yaitu makroskopik dan mikroskopik. Dalam volume tanah hutan daun lebar di iklim sedang seluas 1m2 dan kedalaman 10 cm dapat dijumpai lebih dari satu juta organisme saprofagus, 40% di antaranya adalah bakteri, 50% jamur mikroskopik, 5-9% protozoa, 0,05% jamur sesungguhnya (mushroom), dan hewan yang terlihat dengan mata telanjang hanya 0,04% (Smith, 1986).

Hewan tanah hutan yang memakan seresah antara lain cacing tanah, bekicot, kelabang dan kaki seribu. Cacing tanah memecahkan bahan organik menjadi lebih kecil secara mekanik maupun melalui pencernaan, lalu mencampurnya dengan tanah, dan mengeluarkannya dalam bentuk kascing (casting). Kascing memiliki zat tambahan yang merangsang pertumbuhan mikroba. Ada hubungan yang saling melengkapi antara pengurai mikro dan makro. Pengurai makro memecah bahan organik sehingga menjadi lebih tersedia bagi pengurai mikro. Oleh pengurai mikro bahan tersebut dipecahan lagi menjadi lebih kecil sampai akhirnya sudah tidak dapat lagi diuraikan oleh mirkoorganisme tersebut. Kemudian materi itu diasimilasi oleh mikroorganisme sehingga menjadi senyawa yang lebih besar dan terkonsentrasi. Selanjutnya mikroorganisme ini menjadi makanan bagi pengurai makro (Smith, 1986).

Sebagian daun tumbuhan mengalami dekomposisi melalui jalur herbivora yang kemudian dimakan karnivora, yang selanjutnya mengeluarkan feses. Jumlah dan sifat feses hewan, terutama feses herbivora bergantung antara lain pada kemudahan dicerna dari bahan tumbuhan yang dimakan. Bahan yang sulit dicerna seperti lignin biasanya dihindari oleh herbivora. Lignin yang dikonsumsi herbivora dikeluarkan kembali dalam bentuk setengah tercerna, yang kemudian menjadi bahan makanan bagi mikroba. Sebagian herbivora, misalnya kelinci, mencerna kembali fesesnya. Dengan demikian kelinci mendapatkan karbohidarat pada mikroba yang berhasil mencerna bahan organik yang sebelumnya sulit dicerna oleh kelinci (Smith, 1986).

Ada tiga faktor yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi (Desmukh, 1986)

(38)

32 1. kualitas bahan organik yang terdekomposisi (misalnya, kayu

terdekomposisi lebih lambat daripada daun);

2. faktor abiotik, misalnya suhu dan kelembaban;

3. tipe organisme pengurainya.

Tabel 4.1. Kecepatan dekomposisi seresah daun pada beberapa tipe ekosistem hutan.

Tipe hutan Kehilangan berat kering (% per tahun)

Rata-rata Kisaran

Hutan hujan tropis dataran rendah

200* 35-550

Hutan hujan tropis pegunungan

55 25-100

Hutan gugur daun iklim sedang

80 20-200

Sumber: Desmukh (1986) yang mengutip beberapa sumber. *Angka di atas 100% adalah hasil ekstrapolasi.

B. Siklus karbon

Salah satu siklus materi yang penting untuk dipelajari adalah siklus karbon karena energi sinar matahari masuk ke dalam sistem biologi melalui siklus karbon. Karbon adalah unsur makro bagi tumbuhan.

Hampir setengah biomassa kering terdiri dari karbon. Sumber karbon bagi tumbuhan adalah gas karbon dioksida (CO2) yang merupakan salah satu gas penyusun atmosfer dengan konsentrasi sekitar 0.03 persen. Karbon diikat oleh tumbuhan melalui fotosintesis dan kemudian diubah menjadi glukosa yang selanjutnya diubah menjadi berbagai senyawa lain untuk membangun biomassa tumbuhan. Sebagian karbon dalam tumbuhan akan masuk ke herbivora dan kemudian karnivora melalui rantai makanan. Ketika tumbuhan dan hewan melakukan respirasi, CO2 dilepaskan kembali ke udara. Tumbuhan dan hewan akhirnya mati dan biomassnya kembali ketanah dan diuraikan oleh organisme pengurai, sehingga CO2 kembali ke udara. Sebagian biomassa tumbuhan menjadi kayu bakar dan ketika dibakar CO2 akan kembali ke udara. Tumbuhan dan hewan yang terpendam di dalam

(39)

33 tanah selama jutaan tahun akan menjadi bahan bakar fosil, yaitu batu bara, minyak dan gas. Ketika bahan bakar ini dibakar maka CO2

kembali ke udara.

Karbon dioksida di atmosfer berfungsi antara lain menghalangi panas yang dipantulkan bumi sehingga membuat suhu di bumi hangat.

Dalam Abad 20 terjadi peningkatan kadar CO2 di atmosfer sejalan dengan peningkatan industri dan transportasi di satu pihak dan penggundulan hutan di pihak lain. Indonesia termasuk salah satu negara yang paling cepat kehilangan luasan hutannya. Akibat dari meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer adalah pemanasan global.

Dikhawatirkan jika konsentrasi karbon dioksida tidak dapat dikendalikan pemanasan bumi akan terus terjadi dan menimbulkan banyak dampak negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah mencairnya es di kutub yang dapat menaikkan permukaan air laut sehingga kota-kota di pantai dan negara-negara kepulauan dapat tenggelam.

Dari gambar siklus karbon terlihat bahwa pengurangan CO2 dari atmosfer hanya dapat dilakukan dengan satu jalan, yaitu fotosintesis, sementara jalan untuk meningkatkan konsentrasi CO2 banyak sekali.

Untuk mencegah peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer hanya ada satu jalan, yaitu meningkatkan fotosintesis, artinya menanam tumbuh- tumbuhan, terutama pohon karena pepohonan akan menyimpan karbon dalam bentuk biomassa dalam jumlah yang banyak. Beberapa perjanjian internasional telah disepakati untuk mengatasi pemanasan global ini. Namun apakah perjanjian itu efektif menekan pemanasan global tidak ada jaminan. Yang lebih penting adalah membentuk cara pandang atau paradigma yang benar pada setiap warga dunia untuk mengurangi emisi karbon.

(40)

34 Gambar 4.1. Siklus karbon di ekosistem daratan

C. Siklus nitrogen

Nitrogen dalam bentuk N2 merupakan gas penyusun utama atmosfer (79%) bumi. Meskipun melimpah di atmosfer, nitrogen tidak dapat diikat langsung oleh tumbuhan. Penambat nitrogen yang utama (75%) adalah bakteri dari genus Rhizobium yang bersimbiosis dengan tumbuhan legum. Ada banyak jenis bakteri dari genus Rhizobium, dan masing-masing memiliki inang yang spesifik. Kemampuan menambat nitrogen berbeda antar jenis dan juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di mana akar tumbuh.

Selain Rhizobium ada bakteri lain dan ganggang hijau biru yang juga mampu menambat nitrogen bebas. Ada yang bersimbiosis dan adapula yang hidup bebas. Azotobacter dan Clostridium adalah contoh bakteri penambat nitrogen yang hidup bebas. Ganggang biru hijau Anabaena Azolla mempunyai hubungan simbiotik dengan tumbuhan paku air Azolla.

Tumbuhan legum yang mengikat nitrogen tidak terbatas pada tumbuhan herba tetapi juga pohon, misalnya dari genus Acacia. Selain tumbuhan legum, tumbuhan dari famili lain juga memiliki bintil akar

(41)

35 yang dapat menambat nitrogen, misalnya dari famili Betulaceae, Myricaceae dan Casuarinaceae.

Jalan lain masuknya nitrogen ke dalam sistem biologi secara alami adalah terjadinya petir, tetapi relatif jumlahnya sedikit. Pada zaman pertanian modern, nitrogen juga banyak ditambat melalui pembuatan pupuk. Tanaman pertanian dan hutan tanaman tidak dapat mengandalkan ketersediaan nitrogen dari siklus nitrogen alami, tetapi harus diberi pupuk nitrogen secara periodik.

Nitrogen adalah unsur pembentuk protein dalam tumbuhan maupun hewan. Ketika tumbuhan dan hewan mati maka biomassa mereka akan terdekomposisi. Proses perubahan nitrogen organik menjadi nitrogen mineral disebut mineralisasi. Ada beberapa tahapan yang terjadi. Pertama, protein akan diubah menjadi grup amino dalam proses yang disebut aminisasi. Kemudian grup amino akan diubah menjadi ammonia (NH3), lalu menjadi ammonium (NH4+

) dalam proses amonifikasi.

Ada empat kemungkinan yang terjadi pada ammonium:

1. Ia diubah menjadi nitrit dan nitrat dalam proses nitrifikasi;

2. ia diserap langsung oleh tumbuhan;

3. ia digunakan oleh heterotrof untuk mendekomposisi bahan organik

4. ia mungkin terikat pada lapisan liat;

5. ia secara perlahan dapat kembali ke udara menjadi nitrogen (Tisdale et al, 1985).

Gas nitrogen di udara dapat beraksi menjadi asam nitrat yang ketika turun ke bumi bersama hujan dan salju dapat menimbulkan kematian pada pohon-pohon di hutan, merusak gedung-gedung dan mematikan biota perairan. Persoalan lingkungan lainnya adalah terjadinya polusi nitrogen di perairan karena pencucian nitrogen dari pupuk dan limbah ternak. Polusi nitrogen ini menyebabkan eutrofikasi, atau peningkatan kesuburan air danau. Akibatnya tumbuhan di danau akan tumbuh dengan cepat sehingga mengurangi oksigen di perairan dan mengganggu kehidupan fauna perairan.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mencapai hasil tersebut Perpustakaan Nasional telah menetapkan target capaiannya dan mengupayakannya melalui kegiatan sebagai berikut; pelestarian fisik dan

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur telah mengambil langkah kebijakan dalam upaya meningkatkan efektifitas bantuan luar negeri di daerah maupun efektifitas kerjasama

Penciptaan sebuah karya seni yang menarik dan unik membutuhkan pemahaman dan pengetahuan tentang perkembangan trend jaman sekarang yang terjadi dilingkup masyarakat,

Dalam peran ini PEG dapat berfungsi sebagai template, yang membungkus partikel sehingga tidak terbentuk agregat lebih lanjut, dikarenakan PEG menempel pada

Metode penelitian menggunakan desain research and development dengan 5 tahapan, tahap 1 yaitu mengidentifikasi kompetensi preseptor berdasarkan buku dan jurnal, tahap 2 uji

A financial asset or a group of financial assets is deemed to be impaired if, and only if, there is an objective evidence of impairment as a result of one or more events

Hasil nilai korelasi (r) yang didapatkan antara biaya promosi TBN dengan banyaknya pengunjung adalah sebesar 0,308 dimana hasil nilai korelasi tersebut lebih dari 0 (r &gt;

Sehingga pada tahun 1937 Romo Yoso mendirikan padepokan seni sebagai wadah dalam penyelenggaran ritual-ritual bersih desa maupun pentas seni, salah satunya Tradisi Suran