• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA DI SEKITAR PERAIRAN PULAU KELAPA DAN PULAU HARAPAN KEPULAUAN SERIBU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA DI SEKITAR PERAIRAN PULAU KELAPA DAN PULAU HARAPAN KEPULAUAN SERIBU"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA DI SEKITAR PERAIRAN PULAU KELAPA DAN PULAU HARAPAN

KEPULAUAN SERIBU

ARIE PRASETYO RAHADIAN

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA DI SEKITAR PERAIRAN PULAU KELAPA DAN PULAU HARAPAN KEPULAUAN SERIBU

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapunkepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

ARIE PRASETYO RAHADIAN C54053471

(3)

RINGKASAN

ARIE PRASETYO RAHADIAN. Struktur komunitas foraminifera di sekitar perairan pulau kelapa dan pulau harapan kepulauan seribu. Dibimbing oleh TRI PRARTONO dan KRESNA TRI DEWI

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (mega

biodiversity) dan membutuhkan pengelolaan dan pelestarian secara berkelanjutan.

Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya explorasi sumber daya laut telah memberikan potensi terhadap kerusakan ekosistemnya.Salah satu metode analisis penentuan kondisi lingkungan yang telah berkembang adalah cangkang

mikrofauna foraminifera sebagai indikator lingkungan potensial. Foraminifera merupakan kelompok hewan yang sebagian besar hidupnya di laut yaitu sejenis mikrofauna yang hidup pada dasar perairan termasuk perairan laut

dangkal.Penelitian ini bertujuan mengindentifikasi struktur komunitas foraminifera dan sebarannya di Kepulauan Seribu.

Sebanyak 15 stasiun pengambilan contoh sedimen ditetapkan disekitar wilayah penelitian. Contoh sedimen diambil dengan alat grab sampler. Contoh sedimen dilakukan beberapa tahapan untuk mendapatkan biota foraminifera yang selanjutnya diindentifikasi dan diolah untuk mendapatkan data kelimpahan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi. Analisis biplot juga digunakan untuk mendapatkan informasi keterkaitan karakteristik keberadaan foraminifera dan kondisi kualitas lingkungan perairan.

Nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 2,386-3,530, Indeks

keseragaman berkisar antara 0,3774-0,6441 dan indeks dominansi berkisar antara 4,589-6,368. Secara umum kondisi struktur komunitas foraminifera dapat

dikategorikan ke dalam kelompok sedang. Hal ini menunjukkan tingkat kualitas lingkungan yang sudah tidak baik.Namun demikian masih terdapat wilayah yang relatif baik diantara kondisi umum tersebut. Analisis biplot menunjukkan ada 3 kategori kualitas perairan Daerah yang masih relatif baik dan merupakan daerah spot-spot terumbu karang seperti Stasiun 2, 3, 4, 11 dan 12 Stasiun 9, 10, 13, 14, 15 merupakan daerah yang memiliki kondisi yang cukup baik walaupun memiliki potensi ancaman kerusakan lingkungan. Stasiun 1, 5, 6, 7, dan Stasiun 8

mengalami penurunan kualitas lingkungan. Foraminifera yangditemukan terbagi dalam 5 ordo yaitu: Textulariida, Miliolida, Rotaliida, Lagenida dan Spirillinida.

Ordo Rotaliida dengan persentase sebesar 60,37% Ordo Milliolida dengan persentase 31,76%. Ordo Lageniida, Textulariida dan Spiriliniida memiliki komposisi rendah berturut-turut, yaitu: 5.80% , 1.85% dan 0.21%.

(4)

© Hak cipta milik Arie Prasetyo Rahadian, tahun 2012 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikankepentinganyang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(5)
(6)

STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA DI SEKITAR PERAIRAN PULAU KELAPA DAN PULAU HARAPAN

KEPULAUAN SERIBU

ARIE PRASETYO RAHADIAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(7)

LEMBARAN PENGESAHAN

JUDUL :STRUKTUR KOMUNITAS FORAMINIFERA DI

SEKITAR PERAIRAN PULAU KELAPA DAN PULAU HARAPANKEPULAUAN SERIBU

NAMA : Arie Prasetyo Rahadian

NRP : C54053471

DEPARTEMEN : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui Dosen Pembimbing,

Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc Dra. Kresna Tri Dewi, M.Sc NIP.19600727 198601 1 006 NIP. 19590427 198603 2 002

Mengetahui, Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M, Si NIP. 19580909 198303 1 003

Tanggal Lulus : 11 Oktober 2011

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karunia- Nya serta hidayah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,Institut Pertanian Bogor.Skripsi ini merupakan salah satu gagasan dalam Ilmu Oseanografi Biogeologi Kelautan.

Terucap syukur dan doa ke hadirat Allah swt atas segala rahmat dan Karunia-Nya hingga penyusunan skripsi ini selesai.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. H. Iman Budi Raharto dan Neneng rupaidah, beserta adik-adik tercinta Heru Prastowo Husodo S.Pharm dan Ardian Pramana atas dukungan mental, spritual materil dan kasih sayang yang sangat besar bagi penulis.

2. Bapak Tri Prartono berperan sebagai pembimbing pertama atas bantuan dan kesabaran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Kresna Tri Dewi berperan sebagai pembimbing kedua atas bantuan dan akomodasi yang luar biasa besar bagi penulis dalam melaksanakan penelitian.

4. Ibu Ricky Rositasari atas bantuannya meminjamkan buku dan jurnal yang penting bagi penelitian.

5. Bapak Masduki atas bantuannya memberikan izin mempergunakan sampel sedimen pada penelitian ini.

6. Diden Ganjar Permana, S.Tp, Sylvani Nugraha dan Massandre Jatilaksono atas segala dukungan teknis dan moril saat seminar serta motivasi bagi penulis.

vii

(9)

7. Muhammad Rhomdonul Hakim, Daniel Siahaandan Bapak Sabam atas konsistensinya memberikan kontribusi, masukan dan pengarahan serta saran-saran yang membangun pada format penulisan bagi penulis.

8. Ketua angkatan 43: Pramudipo memberikan dukungan moril dan kontribusi serta penghargaannya kepada penulis, keluarga besar ITK angkatan 43, 44 dan 45 atas dukungan kebersamaan

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, 11 Januari 2012

Arie Prasetyo Rahadian

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Klasifikasi Foraminifera ... 4

2.2. Morfologi Foraminifera ... 4

2.3. Bioekologi Foraminifera ... 6

2.4. Foraminifera Sebagai Bioindikator ... 10

2.5. Keterkaitan Karakteristik Oseanografi terhadap Foraminifera .... 14

2.6. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 17

2.7. Karakteristik Sedimen ... 20

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 22

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

3.2. Bahan dan Alat ... 22

3.3. Metode Pengambilan Data ... 24

3.3.1.Tahap Persiapan ... 24

3.3.2. Tahap Picking ... 25

3.3.3.Tahap Determinasi ... 26

3.4. Analisis Struktur Komunitas Foraminifera ... 27

3.4.1. Indeks Keanekaragaman (H’) ... 27

3.4.2. Indeks Keseragaman (E’) ... 28

3.4.3.Indeks Dominansi Margalef (D’) ... 29

3.5. Teknik Analisis Identifikasi ... 30

3.5.1. Analisis Deskriptif ... 30

3.5.2. Multivariate Analisis Dengan Minitab 14 ... 31

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1. Hasil penelitian ... 33

4.2. Distribusi Foraminifera ... 36

4.3. Kelimpahan Individu Foraminifera ... 42

4.4. Analisis Indeks Komunitas Foraminifera ... 43

4.4.1. Indeks Komunitas Keanekaragaman (H’) ... 43

4.4.2.Indeks Komunitas Keseragaman (E’) ... 44

4.4.3. Indeks Komunitas Dominansi Margalef (D’) ... 46

4.5. Analisis Biplot Terhadap Lingkungan Pulau Kelapa ... 47 ix

(11)

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1. Kesimpulan ... 51

5.2. Saran. ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 58

x

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Tabel 1. Letak Geografis Pengambilan Sampel Sedimen Pulau Kelapa

dan Pulau Harapan Kepulauan Seribu... 23

xi

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bagian dan struktur tubuh foraminifera ... 5

2 Morfologi reticulopodia Foraminifer ... 6

3. Spesies-spesies Foraminifera yang terdapat di perairan Indonesia (Dewi dan Darlan, 2008) ... 13

4. Lokasi Kepulauan Seribu di sebelah Utara Teluk Jakarta ... 18

5. Peta lokasi penelitian dan titik lokasi pengambilan sampel sedimen 23

6. Komposisi persentase (%) foraminifera berdasarkan Ordo ... 33

7. Diagram batang kelimpahan (Ind/m2) berdasarkan Ordo Foraminifera 34

8. Distribusi foraminifera berdasarkan klasifikasi genus ... 38

9. Kelimpahan jumlah foraminifera pada seluruh stasiun ... 43

10. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) ... 44

11. Indeks keseragaman eveness (E’) ... 45

12. Indek dominansi margalef (D’) ... 46

13. Analisis biplot foraminifera sebagai indikator lingkungan ... 48

14. Hasil kondisi lingkungan berdasarkan komponen stasiun ... 49

xii

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Foto peralatan penelitian ... 58

2. Tabulasi nama spesies foraminifera ... 59

3. Nilai analisis biplot ... 62

4. Cluster anailsis ... 63

5. Foto dokumentasi hasil penelitian di Pulau Kelapa dan Pulau Harapan 65

xiii

(15)
(16)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia negara maritim memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (mega biodiversity) di dunia dan membutuhkan pengelolaan dan pelestarian secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya eksploitasi sumber daya laut telah memberikan potensi terhadap kerusakan ekosistemnya. Salah satu metode analisis penentuan kondisi lingkungan yang telah berkembang melalui indikator cangkang mikrofauna foraminifera.

Secara ekologis, foraminifera terutama foraminifera bentonik memiliki peranan penting sebagai bioindikator (Haunold et al., 1997 in Mendes et al., 2004). Menurut Hallock et al. (2003) peran foraminifera sebagai organisme indikator ideal karena:

1. Secara luas digunakan sebagai indikator lingkungan,

2. Memiliki siklus hidup relatif singkat sehingga memfasilitasi peristiwa cekaman episodik dibandingkan siklus hidup koloni koral yang lama mewakili indikator penurunan kualitas air dalam jangka waktu yang lama,

3. Memiliki ukuran yang relatif kecil dan jumlahnya yang melimpah, 4. Mudah dikoleksi dari alam dengan biaya murah,

5. Menjadikan komponen ideal dari program pengawasan komprehensif, 6. Proses pengkoleksiannya tidak berdampak terhadap sumberdaya alam, 7. Tidak menggangu keseimbangan ekosistem lingkungan laut.

1

(17)

Cangkang foraminifera dapat terawetkan dengan baik dalam jumlah yang banyak di sedimen batuan dan substrat tanpa menghilangkan perbedaan

karateristik setiap spesiesnya (Pringgoprawiro et al., 1994) Karena perbedaan karakteristik cangkang tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidup foraminifera, foraminifera dapat berfungsi sebagai alat rekam jejak

(environmental record) yang mampu mengungkap secara kronologis parameter fisik dan kimia suatu perairan, termasuk perubahan akibat intensitas aktivitas manusia (Okvariani, 2002).

Burone et al.(2006) menegaskan foraminifera, terutama foraminifera bentik, sensitif terhadap cekaman lingkungan. Sebagai contoh penggunaan foraminifera sebagai bioindikator polutan logam di Laguna Gorro, Italia, menunjukkan adanya perubahan bentuk struktur tubuh foraminifera akibat terkontaminasi logam berat Cd (Luciani, 2007). Perubahan komposisi foraminifera sebagai respon terhadap logam berat di sedimen telah diamati di Laguna Segara Anakan, Propinsi Jawa Tengah (Gustiantini, 2001). Perubahan lingkungan terhadap kelimpahan dan distribusi horizontal foraminifera bentonik juga diamati di perairan utara Pulau Kangean, Jawa Timur (Okvariani, 2002).

Perairan Kepulauan Seribu terdiri dari ratusan pulau yang membentuk kawasan unik dan khas di sekitar Teluk Jakarta. Kawasan tersebut mempunyai nilai ekologis (daerah konservasi), ekonomis (pariwisata) dan edukatif

(laboratorium alam) yang sangat bermanfaat dan perlu dijaga kelestariannya.

Pulau Kelapa merupakan salah satu pulau di kawasan tersebut yang diperkirakan akan mengalami perubahan sesuai pertumbuhan penduduk setempat seperti hunian masyarakat pesisir dan pelabuhan. Penelitian foraminifera sebagai

(18)

bioindikator lingkungan masih terbatas. Sebelumnya beberapa kajian

foraminifera telah dilakukan di Pulau Opak (Rositasari, 2002), di Pulau Bidadari (Renema, 2008), Pulau Damar (Natsir, 2009), Pulau Nirwana (Natsir, 2009), Pulau Belanda (Natsir, 2009;2010) dan lain-lain . Hal ini sangat penting karena Teluk Jakarta juga mendapat masukan polutan bahan organik dan logam akibat berbagai kegiatan manusia. Beban limbah sampah yang masuk ke Teluk Jakarta kira-kira 494.612,17 ton/tahun dan beban yang masuk ke Kepulauan Seribu mencapai 8.095,05 ton/tahun masuk melalui sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta secara terus menerus. Disamping itu, diperkirakan terdapat sekitar 240 m3 sampah gelas plastik setiap minggunya yang akan terbawa ke Teluk Jakarta (KKP, 2009). Keadaan ini memungkinkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan Kepulauan Seribu.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi struktur komunitas foraminifera bentik yang terdistribusi secara spasial di Kepulauan Seribu khususnya Pulau Kelapa dan Pulau Harapan.

(19)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Foraminifera

Foraminifera merupakan hewan akuatik yang termasuk ke dalam Filum Protozoa, Kelas Sarcodina, subkelas Rhizophoda dan Ordo Foraminiferida.

Foraminifera diklasifikasi menurut Yassini dan Jones (1995), sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Protozoa

Subphylum: Sarcomastigophora Superclass: Sarcodina

Class: Rhizopoda

Subclass: Granulorecticulosa Ordo: Foraminiferida

2.2. Morfologi Foraminifera

Bentuk penampakan luar foraminifera menurut Boltovskoy dan Wright (1976), antara lain sebagai berikut (Gambar 1):

1. Dinding, yaitu lapisan terluar dari foraminifera yang berguna melindungi bagian dalam tubuhnya. Dinding foraminifera terbentuk dari silica keras yang disekresikan dari tubuhnya.

2. Kamar, merupakan bagian utama foraminifera yang didalamnya terdapat organel-organel yang mengatur sistem metabolisme sel, diantaranya inti sel, vakuola kontraktil, mitokondria dan vakuola makanan.

3. Protoculum, merupakan kamar utama pada cangkang foraminifera didalamnya terdapat nukleus mengatur aktivitas sel.

4

(20)

4. Septa, dinding tipis yang membagi kamar menjadi beberapa bagian yang terpisah.

5. Suture, bagian dari bidang cangkang yang memisahkan kamar-kamar yang terbentuk.

6. Aperture, merupakan lubang jalan tempat keluar masuknya zat kedalam atau dari tubuhnya berfungsi sebagai mulut dan merupakan tempat mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3) untuk menyemen tubuhnya pembentukan dalam cangkang.

Gambar 1. Bagian dan struktur tubuh Foraminifera (Suhaidi, 2008) Organisme ini memiliki pseudopodia seperti jala yang disebut reticulopodia (Gambar 2) yang merupakan penjuluran protoplasma sel yang berfungsi sebagai alat penangkap mangsa, bergerak atau berenang, menempel dan mempertahankan kedudukannya dalam badan air. Bentuk cangkangnya sangat bervariasi, mulai dari bentuk yang sederhana, bulat, lonjong, panjang sampai berduri-duri.

(21)

Gambar 2. Morfologireticulopodia Foraminifera

2.3. Bioekologi Foraminifera

Foraminifera merupakan organisme yang eukariotik uniseluler

heterotropik dan sangat tergantung oleh fitoplankton dan alga sehingga termasuk ke dalam Filum Protozoa. Berdasarkan daur hidupnya foraminifera termasuk ke dalam kelompok Holoplankton (zooplankton sejati) atau organisme plankton di seluruh siklus hidupnya. Foraminifera merupakan 2,5 % dari semua hewan Kambrium sampai resen yang diketahui (Boltovskoy dan Wright, 1976).

Foraminifera hidup di laut tersebar diberbagai karakteristik dan bentuk perairan geografis perairan seperti perairan laut dangkal, perairan laut dalam, perairan estuari, perairan pesisir laut, perairan subur, perairan tercemar, perairan hangat dan perairan dingin (kutub). Foraminifera planktonik hidup pada air laut dengan salinitas normal, tidak ditemukan pada air tawar atau pada lingkungan air

hypersaline yaitu lingkungan air dengan salinitas sangat tinggi (Boltovskoy dan Wright, 1976). Hidup pada zona yang cukup mendapat sinar matahari photic dan

(22)

sedikit pada zona yang tidak mendapat sinar matahari Batial. Foraminifera planktonik memiliki penyebaran yang luas membuat Foraminifera planktonik sangat baik untuk menentukan umur sedimen.

Foraminifera dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu foraminifera planktonik dan foraminifera benthik. Foraminifera planktonik merupakan organisme yang hidupnya melayang-layang dalam air laut dari zona permukaan sampai kedalaman 1000 m, berukuran antara 50-100 mikron, dengan ciri-ciri utama mempunyai bentuk test bulat berkomposisi gamping hyaline, susunan kamarnya pada umumnya “trochospiral”(Gustiantini, 2001). Ukuran cangkang juga ditemukan antara 5 µm sampai ukuran 20 cm.

Terdapat sekitar 30-50 spesiesforaminifera planktonik dan masuk ke dalam kelompok dari dua famili yaitu Globigerinidae (bentuk spinose) dan Globorotalidae (bentuk nonspinose). Sebagai contoh, pada sample sedimen di Laut Timor saat ekspedisi VITAL 2005, ditemukan kumpulan foraminifera planktonik sangat melimpah dalam jumlah lebih dari 80% (Okvariani, 2002). Di laut dalam seperti Laut Banda, foraminifera planktonik mendominasi sedimen dasar laut dan kelimpahannya dapat mencapai 90 % dibandingkan dengan

foraminifera benthik di kedalaman lebih dari 1000 meter (Van Marle et al.,1987).

Foraminifera bentik merupakan organisme yang hidupnya terbatas pada dasar laut (bentos). Ciri-ciri utamanya antara lain susunan kamar planispiral, bentuk cangkang yang lebih pipih (Streamline), memanjang, komposisi test aglutineous dan arenaceous. Golongan ini hidup di dasar laut mulai dari tepi sampai kedalaman lebih dari 3000 m. Kondisi optimum terjadi pada kedalaman

(23)

150-300m, dimana ada ribuan bahkan sepuluh ribu spesimen per meter persegi (Boltovskoy dan Wright, 1976).

Aktivitas kehidupan dan sebaran foraminifera bentik dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik dari lingkungan tempat hidupnya, seperti salinitas, suhu, substrat, kedalaman, nutrisi, kandungan organik dalam sedimen, kekeruhan, gelombang dan arus, serta faktor-faktor ekologi lainnya. Kemampuan beradaptasi sangat mempengaruhi kehidupan foraminifera benthik untuk dapat berproduksi dan bertahan di habitatnya, mulai dari perairan dangkal sampai laut dalam (Dewi dan Darlan, 2008).

Cangkang foraminifera sangat beranekaragam memiliki bentuk rumit dan kompleks karena pengaruh habitatnya. Keunikan foraminifera seperti bentuk, ciri struktur cangkang merupakan kunci dalam mengindentifikasi jenis dan spesies foraminifera (Dewi dan Darlan, 2008). Spesies foraminifera yang berhasil diketemukan dan diberi penamaan mencapai sekitar 275.000 spesies dan banyak jenis foraminifera yang masih belum diidentifikasi (Loeblich dan Tapan, 1994).

Cangkang foraminifera berbentuk partikel biogenis banyak ditemukan di antara partikel non-biogenisseperti mineral, fragmen batuan dan lain-lain.

Kumpulan partikel dari spesies tertentu dapat membentuk hamparan pantai berpasir putih. Sebagai contoh, Amphistegina spp. merupakan anggota dari foraminifera yang di pantai-pantai di Hawaii sejak 1500 tahun yang lalu (Dewi dan Darlan, 2008). Di Indonesia, foraminifera Shlumbergerella floresianaditemukan di pantai sekitar Kesuma Sari (Barbin, 1987 in Renema, 2008) dan menyebar di sekitar Pulau Bali sampai Pulau Lombok

(Adisaputra, 1998 in Dewi dan Darlan, 2008). Di pesisir Selatan Pulau Jawa di

(24)

dominasi oleh kumpulan Sphaerogypsina globules yang memberikan warna putih kecoklatan di Pantai sekitar Prigi, Trenggalek, Jawa Timur.

Di perairan laut dangkal terutama pada ekosistem terumbu karang foraminifera benthik merupakan salah satu kontributor penting dalam

pembentukkan hamparan terumbu karang setelah alga gampingan (Boersma, 1978). Antara forminifera benthik dan terumbu karang terjadi simbiosis mutualistis. Foraminifera merupakan organisme yang sangat melimpah di lingkungan termbu karang, untuk memproduksi material biogenik sebagai bahan pembentuk kerangka karang (Molengraaff, 1928 dan Wells, 1957, in Tomascik et al., 1997). Foraminifera merekat pada rumput laut, alga dan fragmen koral di Pulau Pari, Teluk Jakarta dan penciri utama lingkungan terumbu didominasi oleh Calcarina (Rositasari, 1993). Di paparan Spermonde, Sulawesi Selatan,

forminifera membentuk 40-80% sedimen dasar laut (Renema, 2008).

Selain terumbu karang, foraminifera juga mendiami lingkungan payau, yang umumnya berhutan mangrove, sedimennya berbutir halus, banyak

mengandung sisa-sisa tanaman salinitas rendah dan jumlah spesiesnya tidak bervariasi. Trochamina inflate, Miliammina fusca dan Jadammina polystoma merupakan spesies yang umum ditemukan di sekitar hutan mangrove (Dewi dan Darlan, 2008).

Lingkungan laguna juga sesuai bagi kehidupan foraminifera tertentu karena adanya pengaruh daratan dan lautan dalam perairan itu. Karakteristik organismenya dengan keanekaragaman yang rendah, dicirikan dengan spesies dari genera Rotalia, Ammonia, Elphidium, Ammobaculites, Reophax Textularia

(25)

Haplophragmoides dan lain-lain. Jumlah individunya juga rendah dan tidak ditemukan foraminifera planktonik (Dewi dan Darlan, 2008)

Dibandingkan dengan foraminifera planktonik, foraminifera bentik sangat sensitif terhadap berbagai perubahan lingkungan seperti temperatur, salinitas, cahaya, kedalaman, dan kandungan oksigen. Hal ini disebabkan organisme- organisme benthik ini hidup dengan menempelkan diri pada lapisan permukaan sedimen hingga kedalaman beberapa centimeter (5-10 cm), batuan, tumbuh- tumbuhan laut dan karang yang berada di dasar perairan serta berasosiasi dengan terumbu karang sehingga merupakan indikator lingkungan terumbu karang yang sangat potensial (Boltovskoy dan Wright, 1976). Alasan lain adalah karena struktur tubuhnya terdiri dari satu sel, menyebabkan organisme ini lebih cepat memberikan respon terhadap berbagai perubahan lingkungan, yang dapat berupa rendahnya spesimen dan terjadinya perubahan morfologi foraminifera itu sendiri (Rositasari, 1996).

2.4. Foraminifera Sebagai Bioindikator

Cangkang foraminifera yang keras dan sulit terurai menjadikan foraminifera dijadikan pedoman oleh Geologi sebagai penciri lingkungan pengendapan dan penentuan umur batuan (Biostratigrafi) dan dalam pencarian sumberdaya minyak, gas alam atau mineral (Natsir, 1996). Fenomena-fenomena khusus yang menyebabkan foraminifera memiliki potensi yang besar sebagai indikator menurut Dewi dan Darlan (2008), yaitu: foraminifera memiliki siklus hidup pendek, sehingga memberi respon yang cepat terhadap perubahan

lingkungan atau perubahan akibat aktifitas manusia. Terdapatnya kumpulan

(26)

foraminifera di estuarin mengindikasikan perubahan karena limbah yang masuk ke dalam lingkungan tersebut.

Banyak jenis foraminifera oportunistik mendapat keuntungan langsung atau tidak langsung dari jenis polutan tertentu. Keuntungan langsung adalah terdapatnya tambahan nutrisi bagi jenis tersebut seperti senyawa organik, nutrien, bakteri, mineral dan sebagainya. Keuntungan tidak langsung adalah dengan berkurangnya kompetisi dan predasi (Dewi dan Darlan, 2008).

Keanekaragaman jenis di daerah buangan berkurang, namun pada jarak tertentu akan tercapai keseimbangan yang mengakibatkan tingginya populasi jenis toleran. Deformasi cangkang terdapat secara alamiah, namun lebih banyak

ditemukan di perairan yang terpolusi. Sebaran jenis hidup di estuariseharusnya diamati mulai dari sebelum terjadinya pencemaran, namun hal ini tidak

memungkinkan karena hampir seluruh estuari saat ini telah mengalami pencemaran. Cara lain adalah dengan mengamati sample hasil spesimen dan membandingkannya. Walaupun telah banyak dilakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan foraminifera sebagai indikator pencemaran, masih banyak hal yang belum terungkap dengan baik. Sebelumnya Rositasari (1993) telah

mengungkapkan keunggulan foraminifera sebagai bioindikator yang sangat efektif dan ekonomis dibandingkan biota lain, yaitu:

1. Ditemukan pada hampir semua lingkungan pesisir dalam jumlah jenis yang cukup banyak. Dengan demikian untuk mendapatkan data yang signifikan hanya diperlukan sejumlah kecil sample;

2. Cangkang kosong dari foraminifera dapat bertahan dalam waktu yang lama didalam sedimen, sehingga memudahkan penganalisaan;

(27)

3. Siklus reproduksi relatif pendek, sebagian besar hanya mencapai beberapa bulan dan sebagian lain mencapai 1 tahun. Hal tersebut memungkinkan dilakukannya pengamatan pada berbagai bentuk respon organisme ini terhadap lingkungan hidupnya, yang dapat berupa variasi fenotip (morfologi) yang dapat terlihat dalam waktu relatif singkat. Perubahan morfologi inilah yang banyak digunakan sebagai indikator lingkungan tempat hidupnya;

4. Publikasikan tentang foraminifera dan lingkungan hidupnya telah banyak dibahas dalam beberapa dekade ini sehingga memudahkan dalam

mendapatkan sumber acuan.

Keberadaanforaminifera akan dapat memberikan gambaran kondisi lingkungan hidupnya yang berbeda. Pada lingkungan perairan dengan tingkat sedimentasi tinggi, distribusi foraminifera akan menunjukkan keanekaragaman jenis yang tinggi dengan tingkat populasi spesimen hidup yang rendah (Rositasari, 2009).

Penurunan kualitas lingkungan yang terjadi pada lingkungan muara sungai menyebabkan hanya jenis tertentu yang dapat mempertahankan diri dan dapat berkembang di lingkungan ini. Rositasari (2002) menunjukkan bahwa masukan air laut kebeberapa Sungai Ciawi, muara sungai Bekasi, Sungai Dadap, dan sungai Cilincing, memiliki kesamaan beberapa jenis yang mencirikan lingkungan muara sungai, yaitu Ammonia becarii, berbagai jenis Elphidium sp. serta

beberapa jenis foraminifera bentik penciri perairan payau seperti Trochammina, Cyclammina, dan Rheopax.

(28)

Gambar 3. Spesies-spesies foraminifera yang terdapat di perairan Indonesia (Dewi dan Darlan, 2008)

Sejak beberapa dekade terakhir yang lalu mulai dipelajari mengenai pengaruh pencemaran lingkungan terhadap foraminifera bentonik oleh (Gustiantini,2001) dan disimpulkan bahwa:

1. Spesies foraminifera sensitive terhadap polusi

2. Spesies foraminifera tertentu muncul dan justru dominan pada area terkontaminasi;

3. Spesies tertentu membangun cangkang yang tidak normal pada area polusi.

Beberapa cangkang foraiminifera menunjukkan gejala abnormalitas akibat tekanan lingkungan. Rositasari (2009) menyimpulkan bahwa tingginya tingkat kematian dan kemunculan cangkang abnormal erat kaitannya dengan pola arus , sebaran sedimen dan suspensi serta kandungan logam berat di perairan.

(29)

Abnormalitas pada morfologi cangkang foraminifera telah diamati oleh Alve (1991) dengan dugaan bahwa gejala tersebut akibat polusi logam berat.

2.5. Keterkaitan Karakteristik Oseanografi terhadapForaminifera

Karakteristik oseanografi ditentukan oleh berbagai parameter oseanografi, diantaranya suhu, salinitas, total padatan tersuspensi (TSS), kedalaman,

fitoplankton, bahan-bahan terlarut, bahan anorganik, bahan organik, penetrasi cahaya, kandungan oksigen, gelombang, arus, turbiditas, substrat, nutrisi. Suhu memiliki peranan dalam pembentukan ukuran cangkang dan bentuk morfologi cangkang (Boltovskoy dan Wright, 1976). Foraminifera dapat ditemukan pada kisaran suhu (10- 300C) (Boersma dan Haq, 1984 in Okvariani, 2002), namun pada suhu hangat (tropis) foraminifera dapat tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 210 sampai 260C (Boltovskoy dan Wright, 1976). Pada suhu terendah foraminifera mempunyai ukuran cangkang yang maksimal dan komposisi yang padat, sedangkan pada suhu air yang tinggi foraminifera kurang dapat bertahan pada kondisi tersebut (Okvariani, 2002).

Salinitas mempengaruhi pertumbuhan foraminifera, siklus reproduksi dan bertahan untuk hidup. Foraminifera planktonik sangat sensitif terhadap perubahan salinitas. Foraminifera ini hidup pada salinitas normal dengan kisaran salinitas (30-40‰). Foraminifera bentonik dominan pada kisaran salinitas (18-30‰) (Boltovskoy dan Wright, 1976). Namun sebagian besar spesimen foraminifera menunjukkan pertumbuhan rata-rata tertinggi dan kelimpahan populasi besar pada perairan salinitas 34‰ (Boltovskoy dan Wright, 1976).

Kelimpahan foraminifera cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kedalaman (Adithya, 2008). Pada laut dangkal variasi jenis

(30)

foraminifera serta jumlah foraminifera semakin besar. Pada laut dalam yang memiliki tekanan yang besar menyebabkan foraminifera berdinding aglutinin saja yang dapat bertahan walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit. Pada laut dangkal kandungan oksigen masih tinggi dan nutrien phosphate dan nitrat menyebabkan jumlah foraminifera benthonik pada area ini sangat tinggi.

Bahan anorganik berupa, sisa bahan industri, buangan limbah pabrik, sampah plastik, sisa-sisa bahan kimia, bahan bakar fosil dan kemasan produk serta detergen dapat mengganggu keberadaan, pertumbuhan, perkembangan dan

diversitas foraminifera. Bahan-bahan organik berupa detergen menyebabkan perairan yang terkontaminasi bahan tersebut menjadi asam dan mengganggu metabolisme foraminifera dan mekanisme pembentukan cangkang foraminifera serta mengganggu proses sekresi kalsium karbonat (CaCO3) (Rositasari, 1993)

Penetrasi cahaya matahari berperan penting dalam fotosintesis fitoplankton dan algae yang hidup bersimbiosis dengan foraminifera (Okvariani, 2002) dan sebagai sumber makanan foraminifera (Boltovskoy dan Wright, 1976). Apabila organisme-organisme tersebut tidak dapat berfotosintesis kembali mengakibatkan jumlah foraminifera berkurang seiring menurunnya jumlah fitoplankton dan Algae tersebut.

Konsentrasi oksigen memiliki pengaruh terhadap struktur morfologi cangkang. Pada umumnya foraminifera yang beradaptasi dengan oksigen minim berukuran kecil, tidak berornamentasi, tipis, hidupnya menempel, dan berdinding cangkang gampingan. Kandungan oksigen yang minim dan pH yang asam

mengakibatkan berkurangnya kemampuan foraminifera untuk mensekresi kalsium karbonat (Rositasari, 1993).

(31)

Gelombang dan arus berperan penting dalam difusi oksigen dari udara ke dalam perairan laut serta berperan dalam distribusi nutrien dan sumber makanan bagi foraminifera. Arus juga berperan dalam distribusi organisme laut dan siklus reproduksinya. Arus membantu dalam penyebaran fase gamet dan embrio

foraminifera planktonik, dimana foraminifera tersebut sangat tergantung oleh arus (Boltovskoy dan Wright, 1976; Pringgoprawiro et al., 1994).

Foraminifera memanfaatkan material substrat untuk mensekresikan bahan penyusun cangkang melalui mekanisme kimiawi (Boltovskoy dan Wright, 1976).

Substrat lumpur dan lanau merupakan tempat yang ideal bagi foraminifera.

Foraminifera yang hidup pada substrat lumpur–lanau pada umumnya memiliki cangkang yang tipis, rapuh berbentuk bulat telur, struktur kamar trochospira.

Foraminifera jenis Elphidium sp banyak ditemukan pada area tersebut. Pada subtrat berpasir dan berkerikil kandungan bahan organiknya rendah cangkang foraminifera tebal, ornamentasi unik, lonjong dan cembung-cembung seperti Quinqueloculina sp (Rositasari, 1996).

Turbiditas dapat mengganggu proses fotosintesis antara algae dan

fitoplankton sebagai sumber makanan bagi foraminifera. Hal ini mengakibatkan ketersediaan makanan menjadi terbatas sehingga terjadi persaingan antara organisme termasuk predasi sehingga populasi foraminifera menjadi berkurang.

Turbiditas mempengaruhi proporsi jumlah foraminifera bentonik berdinding gampingan “calcareous”, sedangkan foraminifera pembentuk dinding cangkang pasira (agglutinated) semakin meningkat karena tidak memerlukan bikarbonat dari hasil fotosintesis fitoplankton (Boltovskoy dan Wright, 1976).

(32)

2.6. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Pulau Kelapa merupakan salah satu dari ratusan pulau-pulau pasir dan terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Seribu dan merupakan salah satu pulau dari sebelas pulau yang berpenghuni. Secara geografis Kepulauan Seribu terletak pada 106020’00” BT hingga 106057’00” BT dan 5010’00” LS hingga 5057’00” LS (Gambar 4), Pulau Kelapa dan Pulau Harapan termasuk kedalam tata wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu bagian dari Provinsi DKI Jakarta,

Kelurahan Pulau Kelapa termasuk dalam Kepulauan Seribu Utara bersama-sama dengan Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Berdasarkan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2010-2030, jumlah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu mencapai 117 pulau yang terbagi dalam 2 kecamatan dan 6 kelurahan.

Secara geologis Pulau Kelapa merupakan paparan benua yaitu bagian dari gugusan pulau-pulau tropis yang membentuk Kepulauan Seribu dengan kondisi perairan yang hangat sirkulasi air relatif lancar kondisi seperti ini sangat mungkin ekosistem terumbu karang dan biota-biota laut berasosiasi dengannya mencapai pertumbuhan maksimal (Dahuri, 1996 in Dewi dan Darlan, 2008). Lokasi

pengambilan contoh sedimen terletak di bagian utara Teluk Jakarta sekitar 30 mil laut dari pesisir Teluk Jakarta memiliki air yang cukup jernih dan pasir laut yang putih dengan kedalaman 20-37 meter pada umumnya kurang dari 30 m. Pada zaman purba perairan ini merupakan daratan yang tidak tergenang oleh air karena terdapat pola aliran sungai bawah laut yang sekarang terjadi endapan sedimen (Nontji, 1993), sehingga penetrasi cahaya matahari mampu mencapai permukaan dasar laut, sehingga banyak sekali terdapat spot-spot terumbu karang.

(33)

Gambar 4. Lokasi Kepulauan Seribu di sebelah Utara Teluk Jakarta

Kondisi perairan laut dipengaruhi oleh dua musim antara lain musim Barat pada periode Bulan November-Maret dan musim Timur (Mei-September). Rata- rata suhu di Kepulauan Seribu rata-rata antara 250-330 Celcius, sedangkan

salinitas sangat variabel di perairan Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya curah hujan yang tinggi dan besarnya limpasan dari banyak sungai. Musim hujan terjadi pada bulan November hingga bulan April dengan intensitas hujan

mencapai 20 hari/bulan. Berdasarkan data tahun 2000, curah hujan bulanan di Kepulauan Seribu rata-rata tercatat sebesar 142,54 mm dengan curah hujan terendah pada bulan Juni dan tertinggi pada bulan September (TERANGI, 2007).

Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh perairan Teluk Jakarta dimana bermuara 13 sungai yang membawa air tawar dalam jutaan meter kubik (m3) ke laut sehingga mempengaruhi salinitas dan tingkat kesadahan dari laut serta pH. Nilai pH yang

(34)

terukur pada lokasi pengamatan rata-rata sebesar 8,00-8.50 pada semua stasiun pengamatan (Huda, 2008). Perairan Indonesia termasuk iklim tropis, salinitas meningkat dari arah barat ke timur dengan kisaran antara 30 – 34‰

(Wyrtki, 1961). Namun salinitas di Pulau Kelapa cenderung konstan berkisar antara 32‰-33‰.

Arus laut dipengaruhi angin musim barat dan musim timur. Pada musim barat angin bertiup kencang berakibat arus laut yang kuat bergerak dari barat ke timur disertai hujan deras, pada saat ini arus dapat mencapai 4-5 Knot dan tinggi gelombang mencapai 2 meter dan rata-rata 2-4 m tetapi tidak lebih dari 5 meter (Muzaki, 2008). Kecepatan arus pada musim barat dapat mencapai lebih dari 0,5 m/s dengan kecepatan arus tertinggi berada pada bagian timur (Muzaki, 2008).

Perairan Kepulauan Seribu juga merupakan air laut yang berasal dari Samudera Pasifik melalui mekanisme Arlindo (Arus lintas Indonesia) yang membawa material Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia pada umumnya, air laut dari Samudera Pasifik merupakan air laut yang hangat dan banyak ditumbuhi plankton yang merupakan salah satu makanan dari foraminifera. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian Hakim (2011) menyebutkan perairan Indonesia khususnya perairan Utara Jawa memiliki kandungan klorofil-a antara 0,5-1,0 mg/m3 Nilai kandungan klorofil-a yang tinggi di perairan tersebut disinyalir membawa banyak substrat yang mengandung unsur organik dan zat hara lainnya (Hakim, 2011).

Kondisi lingkungan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu diperkirakan mengalami berbagai perubahan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat dan diikuti dengan berubah fungsinya menjadi obyek wisata dan tempat tinggal penduduk. Hal ini ditandai dengan berbagai masalah seperti

(35)

pengaruh sampah, tumpahan minyak, deterjen, tingkat erosi dan abrasi tinggi yang secara tidak langsung merusak struktur komunitas foraminifera pada daerah ini.

Berbagai spesies foraminifera sangat memerlukan persyaratan hidup yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berkembang karena cara hidup dan struktur tubuh yang sederhana memungkinkan foraminifera berperan sebagai rantai pertama yang terkena oleh pencemaran. Karakteristik spesifik itu pula yang memungkinkan foraminifera memberikan respon terhadap kondisi lingkungan hidupnya dalam waktu relatif cepat (Rositasari,1996) sehingga foraminifera ini membentuk struktur komunitas yang mampu menggambarkan kondisi lingkungan dan sumberdaya yang terdapat pada daerah ini.

2.7. Karakteristik Sedimen

Seluruh permukaan dasar laut diselimuti oleh partikel-partikel sedimen yang merupakan endapan yang terjadi selama puluhan sampai jutaan tahun yang lalu sehingga menyimpan banyak informasi yang dapat menjelaskan fenomena- fenomena pembentukan sedimen ini terbentuk, termasuk yang berkaitan erat dengan pencemaran seperti kondisi kimia dan fisika perairan, kualitas lingkungan dan biota-biota laut serta pola hidup manusia (Hutabarat dan Evans, 1985).

Sedimen terbentuk dari hasil pembongkaran dan penguraian batu-batuan serta cangkang dan sisa rangka organisme laut terutama moluska dan foraminifera (Supriyadi, 1996).

Menurut tipe asalnya sedimen terbagi dalam dua kriteria, yaitu:

a. Sedimen Terigenous (material endapan berasal dari input daratan) dan b.

Sedimen Pelagik (material endapan berasal dari kolom laut). Partikel sedimen pelagik 85% terdiri dari endapan ooze kurang lebih 30% endapan ooze ini terdiri

(36)

dari organisme kecil yang keras. Endapan calcareous ini sebagian besar meluas pada dasar laut dan membentuk lapisan berdasarkan umur batuan sedimen.

Kebanyakan sedimen calcareous ini berukuran mikroskopis dan mempunyai cangkang yang mengandung CaCO3.Salah satu komponen biogenik kontributor materi endapan penyusun tipe sedimen ini adalah foraminifera. Foraminifera dalam sedimen laut telah banyak diteliti oleh para peneliti baik di Indonesia maupun di mancanegara dengan berbagai tujuan penelitian dan manfaatnya. Oleh karena itu, Kepulauan Seribu sendiri mempunyai sedimen terdiri dari batu-batu kapur (karang), pasir dan kerikil yang mengandung foraminifera dapat dijadikan tempat tujuan penelitian yang ideal (Muzaki, 2008).

(37)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan sampel sedimen yang diperoleh secara in situdari hasil survey Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL), Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kegiatan tersebut merupakan salah satu kerja sama dengan Pemerintah Daerah DKI untuk memperoleh berbagai aspek kelautan di Pulau Kelapa dan Pulau Harapan. Kepulauan Seribu pada koordinat 05o39’25’’-05o39’40’’LS dan 106o33’44”-106o35’27” BT pada kedalaman kurang dari 20 m (Gambar 6). Contoh sedimen diambil pada 15 titik pengamatan dengan rincian posisi ditampilkan dalam Tabel 1.

Penelitian berlangsung sejak 1 Oktober 2010 sampai dengan 31 November 2010,meliputi kegiatan koleksi foraminifera, penghitungan jumlah spesies

foraminifera. Studi ini dilakukan di Laboratorium Mikropaleontologi. Pusat Penelitian Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL), Bandung.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan lain yang digunakan adalah:

1. 15 contoh sedimen

2. Air untuk membantu pemisahan spesies foraminifera dari spesimen non foraminifera

3. Perekat organik untuk melekatkan spesimen terpilih dalam foraminiferal plat

22

(38)

Gambar 5. Peta lokasi penelitian dan titik lokasi pengambilan sampel sedimen Tabel 1. Perincian Letak geografis pengambilan sampel sedimen Pulau

Kelapa Kepulauan Seribu berdasarkan posisi koordinat No Stasiun Posisi Bujur Posisi Lintang 1 T1 106034'06"E 05039'08"S

2 T2 106034'04''E 05039'38"S

3 T3 106034'45"E 05039'22"S 4 T4 106034'36"E 05039'24"S 5 T5 106034'16"E 05039'16"S 6 T6 106034'17"E 05039'20"S 7 T7 106034'31"E 05039'13"S 8 T8 106034'31"E 05039'18"S 9 T9 106034'30"E 05039'22"S 10 T10 106034'30"E 05039'26"S 11 T11 106034'56"E 05039'11"S 12 T12 106035'01"E 05039'11"S 13 T13 106031'06"E 05039'09"S 14 T14 106034'32"E 05039'04"S 15 T15 106034'32"E 05039'01"S

(39)

Peralatan yang dipergunakan adalah:

1. Saringan bertingkat dengan bukaan 0,063 mm ,125 mm dan 0,250 mm 2. Slide foraminiferal dilengkapi penutup cover glass

3. Kuas berbagai ukuran, ukuran terkecil untuk pemisahan specimen, ukuran besar untuk memindahkan sampel dalam kantong plastic dan kuas kasar untuk membersihkan ayakan

4. Cawan logam (picking tray) untuk menabur sedimen hasil cucian, 5. Mikroskop binocular untuk determinasi foramnifera

6. Program software NIS Elemen untuk mendokumentasikan spesimen terpilih.

3.3. Metode Pengambilan Data

Sample sedimen yang dianalisis dalam penelitian ini berupa sample yang sudah dikeringkan dan disiapkan sebelumnya. Sample-sample tersebut diambil dengan menggunakan grab sampler. Sampel sedimen kemudian dicuci dalam ayakan berukuran 0.063 mm dan kemudian dikeringkan lalu sedimen diberikan larutan asam HCl agar terlihat sisa protoplasma dari organisme benthik di dalamnnya guna membedakannya dari batuan sedimen non-foraminifera, selain itu fosil cangkang terlihat lebih putih dan mengkilat. Sampel sedimen hasil cucian (washed residu) digunakan dalam pengamatan selanjutnya untuk diproses dilakukan tahapan metode berikutnya.

3.3.1. Tahap persiapan

Persiapan bahan sampel yang diamati yaitu 15 kantong contoh sedimen yang mewakili 15 stasiun di daerah penelitian. Setiap preparat foraminifera

(40)

(foraminiferal slide) disiapkan dan diberikan nomor lokasi serta tahun

pelaksanaan kegiatan. Tutup setiap preparat dibuka dan alas bagian hitam dipoles dengan cairan Perekat organik secara tipis untuk mencegah tenggelamnya

spesimen dalam lem.

Sampel sedimen hasil cucian dibagi ke dalam microsplitter bila sampel dalam volume besar. Pembagian dapat dilakukan menjadi setengah, seperempat atau seperdelapan dan seterusnya. Jika volume sampel sedimen sedikit (<50 gram), maka pembagian tidak diperlukan atau langsung digunakan.

3.3.2. Tahap Picking

Proses picking adalah pemisahan spesimen sebagai objek yang

diinginkan (foraminifera) dari organisme-organisme atau partikel-partikel lain yang terdapat dalam suatu sedimen pengamatan (Pringgoprawiroet al., 1994).

Sample sedimen ditaburkan kedalam picking tray secara merata dan tidak menumpuk. Spesimen foraminifera dipisahkan dari komponen sedimen non foraminifera dengan bantuan kuas halus yang telah dicelupkan ke dalam air.

Picking ini dilakukan dengan bantuan mikroskop binokuler dengan perbesaran 40x. Spesimen yang telah diambil dimasukkan pada kotak bernomor 1 dari fossil foraminiferal slides sampai bernomor 60 sebagai nomor kelompok spesiman. Jika dalam satu kotak jumlah spesimen lebih dari lima, maka spesimen tersebut

diletakkan pada kotak berikutnya karena umumnya satu kota hanya mampu terisi 5 spesimen. Karena keterbatasan jumlah kotak, spesimen yang diperhitungkan dan terkumpul adalah sampai kotak ke 60 atau total maksimum adalah 300 spesimen, dan kelebihannya tidak diperhitungkan karena 300 spesimen tersebut sudah dianggap terwakili untuk satu sample sedimen. Setelah selesai sampel

(41)

sedimen dimasukkan kembali kedalam kantong dan dilanjutkan perlakuan sampel sedimen lain hingga lima belas lokasi.

Dalam satu slide foraminiferal yang dihasilkan dari proses picking selanjutnya dilakukan proses koleksi. Hal ini dilakukan dengan cara mengambil keterwakilan dari setiap kelompok spesimen yang memiliki bentuk sempurna.

Setiap wakil spesimen tersebut dikumpulkan ke dalam kolektor slide foramiferal.

Fungsi spesimen yang dikoleksi adalah hanya untuk proses identifikasi dan dokumentasi spesies dengan menggunakan peranti lunak NIS Elemen berupa foto spesies dilengkapi dengan ukuran/perbesaran dari cangkangnya. Untuk

menghasilkan kelimpahan dilakukan seluruh spesimen yang diperoleh dari hasil picking pada setiap sample.

3.3.3. Tahap Determinasi

Determinasi/identifikasi adalah penentuan nama genus dan spesies foraminifera. Kedudukan taksonomi setiap spesimen dilakukan sampai tingkat genus dan spesies jika memungkinkan teridentifikasi. Penentuan taksonomi menggunakan acuan dari Barker (1960); Yassini dan Jones (1995); Loeblich dan Tappan (1994), serta beberapa acuan dari hasil penelitian foraminfera terdahulu dari sekitar Kepulauan Seribu.

Determinasi berdasarkan bentuk dan bahan pembentuk struktur cangkang (hialin, pasiran, gampingan), apertura, bentuk tubuh, jumlah kamar/chambers, dan lain-lain. Kemudian spesimen dibandingkan dengan yang ada dalam pustaka untuk validasi nama spesies.

(42)

3.4. Analisis StrukturKomunitas Foraminifera

Analisis struktur menggunakan beberapa indeks-indeks yang merupakan hasil analisis unvariabel, Indeks Keanekaragaman Shanon-Weinner (H’),

Keseragaman (E’), dan Dominansi Margalef (D’) (Clarke & Warwick, 2001).

3.4.1. Indeks Keanekaragaman (H’)

Indeks H’(log2) digunakan untuk mengukur keragaman hayati (Clarke &

Warwick, 2001), dengan cara merangkum komposisi dan kelimpahan jenis setiap stasiun. Indeks ini menunjukkan nilai kelimpahan relatif dan keragaman jenis pada pada tiap-tiap stasiun. Indeks yang digunakan dengan spesifikasi dari Shanon-Wiener. Semakin besar nilai indeks H’(log2), maka kelimpahan relatif dan keragaman jenis serta variasi jenis di setiap stasiun akan semakin besar.

Penggunaan H’(log2) dilakukan menurut Mendes et al. (2004), yaitu jika nilainya 0-2 disebut keranekaragaman rendah, 2-4 keanekaragaman sedang, dan lebih besar dari 4 disebut dengan keanekaragamn tinggi. Berikut adalah rumus indeks keragaman Shannon-Wienner.

..

...

(1)

Keterangan rumus:

H’= Indeks Shannon-Wienner pi = Proporsi jenis ke-i

n = Individu ke-n

(43)

Logaritma log2 digunakan untuk komunitas foraminifera karena

merupakan spesies yang tersedia disedimen, memiliki kelimpahan relatif tinggi dan preferensi habitat tertentu.

3.4.2. Indeks Keseragaman (E’)

Indeks (E’) digunakan untuk mengukur meratanya kelimpahan jenis yang tersebar dalam suatu komunitas. Nilai tersebut selalu dalam kisaran 0 dan 1.

dalam hal ini nilai 1 adalah keseragaman sempurna, sedangkan nilai 0

menunjukkan sebaran sangat tidak merata (Drinia et al., 2004; Setiawati, 2005;

Burone dan Pires-Vanin, 2006). Berikut merupakan definisi indeks keseragaman (E’).

...

(2) Keterangan:

E’ = Indeks Keseragaman Equitability

H’ = Indeks Shannon-Wienner (Indeks keanekaragaman).

H’ max = Nilai Kemungkinan Maksimum Indeks Shannon-Wienner(logs) S = Jumlah total jenis.

Nilai indeks berkisar antara 0-1 dengan kriteria sebagai berikut : E’ ≤ 0,4 = Keseragaman kecil, komunitas tertekan 0,4 <E’ ≤ 0,6 = keseragaman sedang, komunitas labil 0,6<E’≤ 1.0 = keseragaman tinggi, komunitas stabil

H’ max dapat tercapai jika semua jenis sama-sama melimpah artinya jika dan keanekaragaman pada setiap stasiun pengamatan tinggi dan jumlah spesies relatif sama dan tidak terjadi kesenjangan spesifik antar stasiun pengamatan maka

(44)

keseragaman dapat tercapai. Hal tersebut berarti semua data kelimpahan tetap dapat dianalisis, meskipun terdapat selang perbedaan besar diantara data kelimpahan masing-masing jenis. Analisis data kelimpahan tersebut dapat dilakukan karena nilai S dimasukkan ke dalam fungsi log, menjadi log S.

3.4.3. Indeks Dominansi Margalef (D’)

Indeks D’menunjukkan nilai dominan dari suatu jenis kelimpahan jumlahnya pada tiap-tiap stasiun; semakin besar nilainya, maka dominansi jenis dan keragaman komunitas pada stasiun tersebut semakin besar karena dominansi margalef dipengaruhi hubungan antara jumlah spesies dan jumlah total individu pada area pengambilan sample serta keterkaitan kelimpahan pada stasiun pengambilan sample (Drinia et al., 2004; English et al., 1994; Setiawati, 2005;

Burone & Pires-Vanin, 2006).

...

(3) Keterangan :

D = Indeks Dominansi Margalef S = Jumlah Total Spesies

N = Jumlah Total Individu

Menurut Jorgensenet al.,( 2005). Indeks dominansi memiliki kisaran 0-10, apabila nilai mendekati 1 maka ada kecenderungan nilai dominansinya rendah sedangkan apabila nilai dominansi lebih besar dari 4,0 maka nilai dominansinya tinggi, dengan kriteria:

(45)

0 <D’≤ 2,0 : Nilai Dominansi rendah 2,0 <D’≤ 4,0 : Nilai Dominansi sedang 4,0<D≤ 10,0 : Nilai Dominansi Tinggi

3.5. Teknik Analisis Identifikasi

Penelitian ini analisis mempergunakan analisis deskriptif untuk menggambarkan atau mendeskripsikan hasil pengamatan dari foraminifera, berdasarkan ciri-ciri fisik foraminifera tersebut yang berupa bentuk tubuh, struktur tubuh, pola hidup, jenis, aperture dan jumlah kamar, struktur tubuh dan bahan pembentuk dinding foraminifera melalui pengamatan langsung dari objek

penelitian. Hal ini memungkinkan karena foraminifera memiliki spesifikasi untuk hidup pada daerah-daerah lingkungan tertentu dan sangat peka sekali terhadap lingkungan sehingga organisme ini sesuai sebagai bioindikator lingkungan.

3.5.1. Analisis Deskriptif

Data-data penelitian akan dianalisis menggunakan beberapa analisis deskriptif, yaitu antara lain:

a) Analisis Deskriptif kuantitatif

Analisis deskriptif kuantitatif adalah metode analisis yang

menitikberatkan jumlah individu dalam kandungan sedimen. Foraminifera dilakukan penghitungan hingga tingkat taksonomi terendah yaitu spesies foraminifera. Spesies foraminifera dikoleksi kemudian dikumpulkan dan diklasifikasikan dan terlihat struktur komunitas foraminifera benthik di Pulau Kelapa. Kemudian selanjutnyaagar dapat terlihat lebih spesifik dipergunakan indeks-indeks secara kuantitas bertujuan mendukung penelitian. Nilai kelimpahan

(46)

dan dominansi serta keseragaman yang terhitung dapat mendeskripsikan kondisi lingkungan daerah penelitian secara kuantitas. Foraminifera melalui metode ini dapat diketahui jumlahnya di alam, seberapa besar jenis spesiesnya, seberapa besar cakupan wilayah keberadaannya yang dapat dijelaskan melalui angka

b) Analisis Deskriptif Kualitatif

Model Analisis Deskriptif Kualitatif yang menekankan kondisi lingkungan dimana foraminifera tersebut hidup dan sebagai makhluk penciri lingkungan secara spesifik (Dewi dan Darlan, 2008). Hasil Analisis Deskriptif berdasarkan habitat dimana organisme ini hidupmelalui nilai rata-rata indeks-indeks dan kelimpahan marga tiap-tiap stasiun yang sudah dikelompokkan ke dalam masing- masing stasiun yang mencerminkan daerah pada stasiun-stasiun penelitian yang menginformasikan spesies yang dominan apakah memberikan pengaruh terhadap lingkungan atau lingkungan yang memberikan dampak sehingga spesies tersebut mendominasi. Metode ini dapat mempergunakan spesies foraminifera sebagai penciri dilihat dari keberadaannyapada stasiun-stasiun pengamatan yang mencerminkan deskripsi kualitatif suatu lingkungan daerah penelitian.

3.5.2. Multivariate Analisis dengan Minitab 14

Penelitian menggunakan instrumen statistik multivariat analisis Biplot yang bertujuan memperkuat hasil analisis menggunakan indeks komunitas.

Analisis Biplot merupakan analisis yang dapat menggambarkan berbagai parameter menjadi suatu faktor kriteria yang lebih sederhana. Analisis Biplot menghasilkan komponen baru yang mampu menjelaskan berbagai komponen parameter yang terdapat dalam penelitian. Analisis multivariate analisis dapat menggambarkan hubungan atau korelasi antara satu stasiun pengamatan dengan

(47)

stasiun pengamatan lain yang memiliki karakteristik stasiun yang berbeda satu sama lain. Analisis ini dapat memperlihatkan kemiripan atau similarity antar stasiun sehingga mampu menunjukkan stasiun yang memiliki kemiripan yang besar ataupun stasiun yang memiliki keunikan serta perbedaan dari stasiun lain.

(48)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Foraminifera yang berhasil ditemukan di perairan sekitar Pulau Kelapa dan Pulau Harapan terbagi dalam 5 ordo yaitu: Textulariida, Miliolida, Rotaliida, Lagenida dan Spirillinida. Ordo Rotaliida merupakan kelompok terbesar dari populasi Foraminifera di sekitar perairan Pulau Kelapa dan Pulau Harapan dengan persentase sebesar 60,37% dengan proporsi lebih dari 50% dari total jumlah keseluruhan (Gambar 6). Kelompok besar lainnya Ordo Milliolida dengan persentase 31,76%. Sedangkan Ordo Lageniida, Textulariida dan Spiriliniida merupakan kelompok dengan komposisi rendah berturut-turut, yaitu: 5,80% , 1,85% dan 0,21%.

Gambar 6. Komposisi persentase (%) foraminifera berdasarkan Ordo

ORDO ROTALIIDA 60,37%

ORDO TEXTULARIIDA

1,85%

ORDO LAGENIDA

5,80% ORDO SPIRILLINIDA

0,21%

Komposisi foraminifera

33

(49)

Dominansi Rotaliida hampir terjadi pada seluruh wilayah pengamatan dan hanya beberapa stasiun yang menunjukkan terjadinya dominansi pada Ordo Milliolida (St-7 dan St-8; Gambar 8).

Gambar 7. Diagram batang kelimpahan (Ind/m2) berdasarkan Ordo Foraminifera

Ketersediaan kelompok foraminifera pada dasarnya menunjukkan karakter kehidupan organisme tersebut terkait dengan kondisi lingkungan, sebagai contoh anggota dari Ordo Rotaliida sebagian besar merupakan foraminifera yang bersifat oportunistik dan memiliki nilai toleransi terhadap lingkungan yang tinggi. Hal ini berbeda dengan Ordo Milliolida jenis ini mengindikasikan secara umum daerah penelitian cukup mendapatkan sinar matahari dan kaya akan kandungan

bikarbonat dari fitoplankton. Sedangkan Ordo Lageniida, Textulariida dan spriliniida merupakan kelompok foraminifera yang hidup pada perairan yang jernih dan kondisi ini biasanya ditandai dengan kondisi sedikit berpasir.

Kehadiran anggota Ordo Lageniida dan Spriliniida pada lokasi pengamatan mencapai 5,80% memberi indikasi adanya pengaruh arus laut di daerah penelitian.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Individu/m2

Stasiun

Ordo Rotaliida Ordo Milliolida Ordo Textulariida Ordo Lagenida Ordo Spirillinida

(50)

Pada Gambar Terlihat stasiun pengamatan dengan proporsi antara Ordo Rotaliida dan Ordo Milliolida tidak terlalu jauh perbedaannya terdapat pada Stasiun 1, 4, 9 dan Stasiun 13. Dimana pada stasiun tersebut lingkungan mendukung foraminifera lain untuk dapat tumbuh berkembang lebih banyak.

Pada Stasiun 3, 5, 6, 10, 11, 12, 14 dan Stasiun 15 jelas terjadi dominansi Ordo Rotaliida yang nyata terutama pada Stasiun 5 dan Stasiun 6. Ordo Rotaliida dapat bertahan hidup pada area yang mengalami tekanan lingkungan. Ordo ini

mengambil keuntungan dari situasi kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan foraminifera lain untuk hidup. Hal ini disebabkan Ordo Rotaliida ini memiliki interval rentang toleransi yang lebih besar dari organisme Ordo Foraminifera yang lainnya dan unggul dalam kompetisi perolehan nutrisi yang terbatas

(Nybakken, 1988). Keberadaan Ordo Rotaliida pada sebagian besar stasiun pengamatan memberikan pertanda terjadinya dominansi spesies pada area penelitian. Kelimpahan yang relatif besar menunjukkan bahwa pada lingkungan tersebut banyak mengandung kalsium karbonat CaCO3 dan pada area yang terdapat foraminifera jenis ordo ini cukup mendapat penetrasi sinar matahari dan fitoplankton (Dewi dan Darlan, 2008). Pada Stasiun 11 dan Stasiun 12

mendominasi Ordo Rotaliida dengan jenis Calcarina sp dan Amphistegina sp yang hidup pada area terumbu karang dan banyak memanfaatkan kalsium karbonat CaCO3 berasosiasi dengan terumbu karang (Rositasari, 1993). Jenis Calcarina sp dan Amphistegina sp berkembangbiak pada perairan yang jernih pada umumnya perairan dangkal dan membutuhkan penetrasi sinar matahari yang tinggi, dapat diduga bahwa pada stasiun 11 dan Stasiun 12 merupakan perairan yang jernih dan mendapat sinar matahari yang cukup (Natsir, 2010).

(51)

4.2. Distribusi Foraminifera

Foraminifera diklasifikasikan secara lebih detail bertujuan mengetahui kondisi lingkungan daerah penelitian secara lebih mendalam rinci dan spesifik.

Karakteristik komunitas foraminifera yang digambar secara umum kurang menggambarkan karakteristik oseanografi sesungguhnya pada daerah penelitian.

Distribusi foraminifera secara spesifik dapat memperlihatkan parameter-parameter lingkungan dimana foraminifera hidup dan berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan variasi komposisi foraminifera pada masing-masing stasiun (Gambar 8).

Perbedaan karakteristik foraminifera dapat menjelaskan perubahan kondisi lingkungan pada area penelitian yang kemungkinan mencerminkan kondisi ekosistem yang terbentuk. Perbedaan kondisi lingkungan pada setiap area penelitian mengakibatkan terjadinya variasi distribusi foraminifera. Variasi ini meliputi perbedaan jumlah spesies dan total individu spesies dalam satu area pengamatan dimana antara satu area pengamatan dengan area pengamatan yang lain berbeda. Variasi distribusi foraminifera dapat ditunjukkan pada Gambar 8.

Informasi mengenai komposisi sebaran foraminifera berdasarkan tingkat taksonomi genus dari masing-masing stasiun pengamatan pada Gambar 8

memperlihatkan bahwa terdapat sepuluh jenis foraminifera yang memiliki jumlah kelimpahan individu yang secara signifikan cukup tinggi di sekitar Perairan Pulau Kelapa dan Pulau Harapan. Jenis-jenis tersebut antara lain: Elphidium sp,

Ammonia sp, Calcarina sp, Amphistegina sp, Triloculina sp, Operculina sp, Spiroloculina sp, Peneroplis sp, Quinqueloculina sp, dan Cellanthus sp. Pola sebaran foraminifera terlihat pada beberapa stasiun memiliki kemiripan komunitas

(52)

dan ada pula beberapa yang berbeda. Salah satu kemiripan komposisi terjadi pada beberapa stasiun yang terletak dekat muara sungai dan pelabuhan.

Menurut Huda (2008) salinitas daerah muara memiliki kisaran 25-31‰

dan dapat mencapai 18‰. Hal tersebut mengakibatkan hanya jenis-jenis tertentu yang dapat bertahan pada kondisi perairan tersebut.

Pada Stasiun 1 proporsi foraminifera Quinqueloculina sp memiliki nilai kelimpahan relatif tinggi (19%) . Hal ini mencirikan pada Stasiun 1 merupakan daerah yang memiliki penetrasi sinar matahari cukup baik (jernih). Pada Stasiun 2 proporsi foraminifera Calcarina sp memiliki nilai kelimpahan tinggi (17%). Hal ini mengindikasikan banyaknya spot-spot terumbu karang. Hal ini juga

diindikasikan adanya jenis foraminifera dari Ordo Peneroplis sp (10%). Pada Stasiun 3didominasiforaminifera Elphidium sp (22%) yang merupakan tergolong foraminifera oportunistik. Hal ini menandakan kondisi lingkungan perairan pada Stasiun 3yang kurang mendukung kehidupan secara baik. Hal yang sama juga terjadi pada Stasiun 4 yang letaknya berdekatan. Khusus pada Stasiun 5 dan 6 Elphidium sp menguasai struktur komunitas berturut-turut mencapai 40% dan 27%. Nilai tersebut merupakan nilai yang nyata sangat banyak atau mendominasi wilayah perairan tersebut. Hal tersebut juga mengindikasikan kondisi perairan yang telah mengalami penurunan kualitas nyata, karena wilayah tersebut merupakan daerah muara sungai selain bersalinitas rendah daerah tersebut juga mendapat masukan limbah domestic (bahan detergen) yang dapat mempengaruhi pertumbuhan foraminifera (Rositasari, 1996). Daerah estuari dengan salinitas rendah karena masukan air tawar dapat menyebabkan jenis foraminifera lain kurang mampu hidup baik (Boltovskoy dan Wright,1976).

(53)

Gambar 8. Distribusi foraminifera berdasarkan klasifikasi genus

38

(54)

Komposisi foraminifera pada Stasiun 7 memiliki kelimpahan tertinggi dari jenis foraminifera Quinqueloculina sp (28%) yang dapat dikatakankondisi

perairan cukup baik namun pada stasiun tersebut juga memiliki kelimpahan relatif tinggi pada jenis foraminifera Ammonia sp mencapai 21%. Hal ini mencerminkan situasi kontradiktif terjadi, disamping Stasiun 7 memiliki kondisi daya dukung lingkungan yang baik dimana suhu, cahaya matahari, type substrat sedimen merupakan faktor-faktor penting bagi populasi foraminifera bentik tersedia, namun Stasiun 7 sedang mengalami tekanan lingkungan dikarenakan daerah ini dekat dengan pelabuhan menyebabkan terbentuk lingkungan oportunistik dengan dicirikan foraminifera Ordo Rotaliida seperti: Ammonia sp, Elphidium sp

akumulasinya mendominasi daerah Stasiun 7. Oleh karena itupada daerah Stasiun 7 mengalami degradasi lingkungan. Pada stasiun 8 proporsi jenis foraminifera dengan kelimpahan relatif tinggi (28,8%) dicapai oleh jenis Quinqueloculina sp.

Genus Foraminifera ini hidup pada dasar perairan jenis ini hidup sebagai bentik pada dasar perairan genus ini hidup meliang di dalam dasar perairan hidupnya bersama fitoplankton sebagai sumber makanannya sehingga jenis ini selalu berada pada daerah yang selalu mendapatkan penetrasi sinar matahari di perairan laut jenis ini juga terdapat di estuarin dan pada umumnya hidup pada perairan dangkal.

Hal ini mengindikasikan kondisi lingkungan perairan Stasiun 8 diduga memiliki kondisi lingkungan relatif baik selain berdekatan dengan Stasiun 7;

Stasiun 8 memiliki lokasi cukup terlindung dari perairan yang mengalami kontaminasi bahan pencemar dari Teluk Jakarta. Hal yang unik terjadi pada komunitas Stasiun 9 foraminifera yang ditemukan dengan jumlah kelimpahan tertinggi dimiliki oleh foraminifera berjenis Quinqueloculina sp dan Elphidium sp

(55)

masing-masing sebesar 11%. Hal ini dapat diintrepretasikan kondisi perairan Stasiun 9 masih cukup baik namun tingginya Elphidium sp diduga diakibatkan banyaknya aktivitas manusia karena letaknya secara geografis dan oseanografis yang pada mulanya terlindung dari kontaminasi bahan pencemar kini akibat berdekatan dengan dermaga dan pelabuhan daerah tersebut menjadi lintasan kapal-kapal nelayan sehinggan memiliki kecenderungan terjadi pencemaran. Hal sama juga terjadi pada Stasiun 10 komposisi foraminifera jenis oportunistik meningkat tajam pada area ini jenis Elphidium sp mencapai 38% dan Ammonia sp mencapai 12%. Hal ini diduga kondisi lingkungan stasiun 10 kurang memiliki daya dukung optimal dan faktor pembatas bagi pertumbuhan foraminifera sehingga hanya jenis-jenis oportunistik yang dapat berkembang yang memiliki toleransi dan kisaran yang tinggi terhadap lingkungan (Odum, 1964). Fenomena ini juga mengakibatkan jarang sekali ditemukannya foraminifera selain

foraminifera oportunistik. Komunitas yang unik terjadi pada bagian timur Pulau Harapan yaitu pada Stasiun 11 dan Stasiun 12 pada wilayah perairan ini memiliki komunitas yang berbeda dari wilayah perairan lain karena memiliki karakteristik perairan yang berbeda pula. Pada Stasiun 11 jenis foraminifera yang

mendominasi perairan ini adalah Amphistegina sp (21%). Amphistegina sp merupakan foraminifera penciri terumbu karang merupakan indikator komunitas terumbu karang (Dewi et al., 2010). Daerah ini merupakan kumpulan atol dan laguna serta reef flat bergabung membentuk gugusan pulau karang (UN reef flat).

Berdasarkan hasil penelitian Huda (2008) bagian timur Pulau Harapan memiliki spot-spot terumbu karang yang termasuk dalam kategori baik dengan proporsi (57%-59%). Oleh karena itu, area ini merupakan area yang masuk kedalam area

Referensi

Dokumen terkait

Pada RS Elisabeth, kantong parkir pengunjung berkapasitas 40 mobil , tetapi pada keseharian lebih dari 60 mobil dapat parkir di lahan tersebut karena tenaga

Dalam bab ini penulis membahas tentang analis terhadap jual beli dengan sistem Online di Maritza Butik kabupaten Kediri, analisis hukum Islam terhadap jual beli dengan sistem

Sekitar 20-30% pasien dengan infeksi sekunder dengue tidak menghasilkan Ig M anti dengue pada kadar yang dapat dideteksi hingga hari ke 10 dan harus didiagnosis

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perjanjian dalam e-commerce (elektronik commerce) mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak dan

Dari grafik pad Gambar 4.4 dapat dilihat waktu dari proses percobaan FADE pada citra kabut tipis, dimana pada percobaan patch size 50x50 memiliki waktu yang paling rendah

Kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap

Sehingga asumsi yang menyatakan perubahan iklim yang mewujudkan timbulnya virus-virus baru seperti covid-19 karena disebabkan oleh pemanasan global yang akhirnya

• tangan, jabatlah dengan erat (tidak terlalu keras namun tidak lemas). • Tetaplah berdiri sampai anda dipersilakan untuk duduk. Duduk dengan posisi yang tegak dan seimbang. •