Sumber: Nota Keuangan, 2009-2020
P
emerintah selama ini telahberupaya mendorong peningkatan ekspor melalui deregulasi
kebijakan, penyediaan insentif fiskal, mendorong industri hilir berorientasi ekspor, dan selama sepuluh tahun terakhir pemerintah melakukan penguatan pada pembiayaan ekspor dalam program National Interest Account (NIA) di bawah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Pada APBN 2020, pemerintah mengalokasikan penambahan Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp5 triliun di mana Rp1 triliun untuk penugasan khusus pada sektor yang memiliki potensi ekspor, dan Rp4 triliun untuk peningkatan kapasitas lembaga dalam upaya mendorong pembiayaan berorientasi ekspor. Sejak beroperasinya lembaga tersebut hingga tahun 2020, alokasi PMN pada LPEI mencapai Rp22,93 triliun (Tabel 1).
Tujuan pemberian PMN kepada LPEI untuk mempercepat pengembangan
ekspor dalam hal pemberian
pembiayaan, penjaminan, dan asuransi dalam rangka menghasilkan barang dan jasa guna menunjang ekspor serta mendorong program ekspor nasional.
Percepatan pengembangan ekspor tersebut diharapkan mampu mendukung dan memperbaiki neraca perdagangan Indonesia di masa yang akan datang.
Namun, anggaran yang sudah
dialokasikan pemerintah kepada LPEI belum terlalu menunjukkan hasil yang optimal. Hal tersebut dapat terlihat dari neraca perdagangan yang masih negatif, tren ekspor yang mengalami penurunan dan kinerja keuangan LPEI yang belum optimal. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini ingin melihat kontribusi PMN terhadap kinerja LPEI dan apakah PMN tersebut sudah memadai untuk memperkuat LPEI dalam rangka menunjang program ekspor nasional.
Peran LPEI pada Program Ekspor Nasional
Seperti kita ketahui salah satu tugas LPEI ialah untuk mendorong program ekspor nasional melalui pembiayaan.
Oleh karena itu, negara memberikan dukungan terhadap LPEI dengan memberikan dana dalam bentuk PMN. Alokasi PMN tersebut untuk melaksanakan fungsi penugasan
Review PMN pada LPEI dalam Rangka Mendukung Program Ekspor Nasional
oleh Rastri Paramita*)
Iranisa**) Abstrak
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merupakan lembaga yang dibentuk pemerintah untuk mendorong program ekspor nasional melalui pembiayaan ekspor. Pemerintah telah menanamkan modalnya pada LPEI melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) dari modal awal disetor pada tahun 2009 hingga tahun 2020 sebesar Rp22,93 triliun dengan harapan LPEI mampu mendukung program ekspor nasional. Namun, PMN yang dialokasikan belum menunjukkan hasil yang optimal. Terlihat dari belum cukup baiknya pertumbuhan penyaluran pembiayaan, kinerja perusahaan, dan belum fokusnya penyaluran pembiayaan pada sektor Usaha Kecil Menengah berorientasi Ekspor (UKME).
*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: rastri.26@gmail.com
**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: iranisa.nisa@gmail.com
sekunder
Tabel 1. PMN pada LPEI 2009-2020 (dalam triliun Rupiah)
Keterangan 2009 2010 2014 2015 2016 2017 2019 2020 Jml
Penugasan Khusus 0 0 0 0 2 2,2 1 1 6,2
Penugasan Umum 4,23 2 1 1 2 1 1,5 4 16,73
Jumlah 4,23 2 1 1 4 3,2 2,5 5 22,93
khusus dan penugasan umum.
Penugasan umum ialah tugas yang diberikan pemerintah untuk memberikan bantuan dalam bentuk pembiayaan, penjaminan dan asuransi dalam rangka menghasilkan barang dan jasa atau usaha lain yang menunjang ekspor, menyediakan pembiayaan bagi transaksi atau proyek yang dikategorikan tidak dapat dibiayai oleh perbankan, namun mempunyai prospek peningkatan ekspor nasional, dan membantu mengatasi hambatan yang dihadapi oleh bank atau lembaga keuangan dalam penyediaan pembiayaan bagi eksportir yang secara komersial cukup potensial dan penting dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Sedangkan penugasan khusus ialah penugasan pemerintah untuk menyediakan pembiayaan bagi transaksi atau proyek yang secara komersial sulit dilaksanakan, akan tetapi dinilai perlu oleh pemerintah untuk menunjang kebijakan atau program ekspor.
Terlihat pada Gambar 1, pembiayaan dari LPEI memiliki pola yang sejajar dengan ekspor sektor industri yaitu makin bertambah pembiayaan, makin bertambah pula nilai ekspor. Namun pola ini baru terlihat sejak 2016, padahal pembiayaan ekspor telah dimulai dari 2014. Hal ini menandakan bahwa pembiayaan ekspor LPEI memberikan dampak terhadap ekspor, Meskipun dampak tersebut masih belum dapat ditentukan signifikansinya. Tahun 2014 merupakan tahun dimana LPEI menerima PMN kembali setelah
tahun 2010. Pembiayaan tahun 2014, meskipun bertambah nilainya namun pola ekspor sektor industri menurun.
Hal ini dapat menjadi perhatian bahwa kondisi internal perusahaan. Pada
periode 2014-2015, LPEI memiliki kinerja keuangan yang menurun dibandingkan tahun sebelumnya dan di tahun 2016- 2017 (Tabel 2). Sementara itu, hadirnya PMN bagi LPEI tidak memberikan dampak pada pertumbuhan pembiayaan ekspor di tahun yang bersangkutan (Gambar 2).
Peran PMN terhadap Kinerja LPEI dalam Mendukung Program Ekspor Nasional
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44/2005, PMN merupakan salah satu bentuk investasi negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas (PT) lainnya. Negara dapat melakukan penyertaan modal untuk i) pendirian BUMN atau PT, ii) PMN terhadap PT yang didalamnya belum terdapat saham milik negara guna menyelamatkan perekonomian nasional, dan iii) PMN pada BUMN atau PT yang terdapat saham negara yang ditujukan untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha.
Berdasarkan Nota Keuangan APBN 2020, PMN kepada LPEI ditujukan untuk penguatan kelembagaan LPEI baik berupa penguatan daya saing barang dan jasa dalam negeri di pasar internasional, terciptanya pasar ekspor baru, eksportir baru, produk unggulan ekspor baru maupun kombinasi Gambar 1. Pembiayaan Ekspor LPEI dan Ekspor, 2014-2018
Sumber: LPEI dan Kemendag, diolah
Gambar 2. Kegiatan Pembiayaan Ekspor LPEI, 2009-2018
Sumber: Laporan Keuangan LPEI, 2009-2019
ketiganya, serta peningkatan investasi dalam negeri
Alokasi PMN kepada LPEI telah
meningkatkan kemampuan LPEI dalam kapasitas penyaluran pembiayaan menjadi Rp108.585 milar, penjaminan menjadi Rp11.307 miliar, dan asuransi menjadi Rp11.322 miliar pada tahun 2018 (Gambar 2). Namun, pertumbuhan year on year (yoy) pembiayaan,
penjaminan, dan asuransi menunjukkan tren penurunan. Pertumbuhan
pembiayaan pada tahun 2010 mampu mencapai 69,59 persen, namun hanya 7,77 persen pada tahun 2018. Sama halnya dengan pertumbuhan penjaminan yang mampu tumbuh sebesar 215,79 persen pada tahun 2012 dan turun drastis menjadi 7,16 persen di tahun 2018. Asuransi tidak jauh berbeda,
pertumbuhannya juga mengalami tren penurunan. Padahal hingga tahun 2018, LPEI memperoleh alokasi PMN sejumlah Rp15,43 triliun dan pada tahun 2019 dan 2020 LPEI juga memperoleh alokasi PMN berturut sebesar Rp2,5 triliun dan Rp5 triliun (Tabel 1). Seharusnya dengan alokasi dana tersebut, mampu meningkatkan kapasitas kinerja operasional LPEI. Hal ini berarti PMN belum mampu mendorong kapasitas LPEI walaupun jumlahnya mengalami peningkatan.
Dilihat dari sisi kinerja keuangan LPEI, beberapa rasio yang berkaitan dengan kemampuan perusahaan dalam menghadapi risiko juga tidak terlalu baik. Terlihat pada Tabel 2, rasio kecukupan modal (CAR) LPEI periode 2009-2018 mengalami tren penurunan Tabel 2. Rasio Keuangan LPEI, 2009-2018
Sumber: Laporan Keuangan LPEI 2010-2019
dari 42,11 persen menjadi 17,49 persen, yang berarti bahwa aktiva tertimbang menurut risiko yang dikelola oleh bank semakin besar, namun tidak sebanding dengan peningkatan modal LPEI, angka tersebut hampir menyentuh batas minimal CAR yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia (BI) yaitu 8 persen.
Pembiayaan merupakan salah satu inti produk dari LPEI, untuk mengukur kinerjanya dapat melalui rasio Non Performing Loan (NPL). Pada tahun 2018, baik NPL gross maupun NPL netto menunjukkan kinerja tidak terlalu baik. NPL gross dan NPL netto tahun 2018 sebesar 13,73 persen dan 10,31 persen yang masuk ke dalam kategori tidak sehat. NPL netto sebesar 10,31 persen bermakna dari total pembiayaan tahun 2018 sejumlah Rp108.858 miliar sebanyak Rp11.223 miliar termasuk ke dalam kategori kredit macet atau tidak dapat ditagih sama sekali. Hal ini harus menjadi perhatian bagi LPEI dan Pemerintah. LPEI sudah menerapkan manajemen risiko melalui tahapan identifikasi, pengukuran, pengendalian, dan pemantauan secara individual maupun secara portofolio. Namun, aksi yang dilakukan oleh manajemen LPEI belum menunjukkan hasil yang optimal.
Oleh karena itu, LPEI sudah sepatutnya mengevaluasi kembali manajemen risiko yang sudah diterapkan.
Dari sisi pendapatan yang dilihat dari sisi aset mengalami penurunan mencapai 0,1 persen yang bermakna bahwa ketidakefektifan manajemen LPEI dalam mengelola asetnya dan didukung oleh nilai Net Interest Margin (NIM) dan rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Nasional (BOPO) yang tidak terlalu baik. Pada tahun 2018, aset produktif LPEI hanya mampu menghasilkan pendapatan sebesar 1,83 persen. Indikasi ketidakefektifan dan belum efisiennya manajemen dalam pengelolaan LPEI juga didukung oleh rendahnya nilai Return On Equity (ROE) yang hanya 0,83 persen. Hal tersebut bermakna bahwa modal sebesar
Rp21.189 miliar pada tahun 2018 hanya mampu menggerakkan 0,83 persen atau Rp171 miliar pendapatan bersih
pada tahun tersebut. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa alokasi PMN pada LPEI belum mampu mendorong ekuitas LPEI terhadap perolehan pendapatan bersih.
Dilihat dari sektor penyaluran pembiayaan, berdasarkan statistik keuangan lembaga khusus yang dirilis OJK tahun 2019, penyaluran pembiayaan LPEI tahun 2018 lebih berkonsentrasi di tiga sektor besar yaitu sektor industri sebesar 50,1 persen atau Rp54.538 miliar, sektor pertanian, perburuan dan sarana pertanian sebesar 14,2 persen atau Rp15.457 miliar,
serta sektor pertambangan sebesar 11,3 persen atau Rp12.301 miliar dari total pembiayaan. Padahal ketiga sektor tersebut telah established dalam kegiatan ekspor yang dapat terlihat pada kontribusi ekspor dari sektor tersebut.
Sementara kontribusi ekspor pada sektor lainnya masih sebesar 0,004 persen (Kemendag, 2009).
Penyaluran pembiayaan tersebut tidak selaras dengan tujuan pembiayaan LPEI yang juga dimandatkan untuk memberdayakan sektor UKME. Hal tersebut terlihat jelas pada rata-rata penyaluran pembiayaan LPEI dari tahun 2014-2018 pada UKME hanya sebesar 9,35 persen dari rata-rata pembiayaan, sedangkan 90,57 persen disalurkan pada korporasi. Bahkan, pada tahun 2016, penyaluran pembiayaan pada UKME hanya sebesar 1,33 persen atau Rp10.502 miliar dari total Rp790.231 miliar. Seperti kita ketahui, salah satu tujuan dibentuknya LPEI ini ialah agar dapat mengisi gap pembiayaan yang tidak dapat dilakukan oleh bank. LPEI dapat menjadi penerangan bagi UKME yang belum bankable, namun berpotensi melakukan ekspor. Oleh karena itu, LPEI hendaknya memerhatikan tugas utama lainnya yaitu menyalurkan pembiayaan pada sektor UKME, tidak hanya pada sektor unggulan saja agar selaras dengan salah satu tujuan pembiayaan LPEI dalam rangka menciptakan pasar ekspor baru, eksportir baru, produk unggulan ekspor baru, dan memberi kontribusi dalam memperbaiki neraca perdagangan Indonesia.
Rekomendasi
Beberapa rekomendasi dapat dilakukan agar PMN pada LPEI dapat memberi hasil optimal. Pertama, negara dapat melakukan pengawasan secara berkala terhadap kinerja LPEI atas pemberian PMN dan laporan tersebut dapat diakses secara eksternal. Kedua, manajemen LPEI dapat mengidentifikasi kembali risiko-risiko yang akan dihadapi, sehingga di masa yang akan datang kinerja LPEI lebih baik dan mampu menjadi penggerak utama dalam meningkatkan ekspor nasional. Ketiga, LPEI dapat lebih memfokuskan penyaluran
pembiayaan sehingga kontribusi UKME pada ekspor nantinya juga akan
meningkat dan mendukung program ekspor nasional. Uraian di atas diharapkan dapat menjadi insight bagi stakeholder dan mampu mengembalikan tujuan awal pembentukan LPEI dan mendukung program ekspor nasional.
Daftar Pustaka
Kementerian Perdagangan. 2020.
Ekspor Indonesia Tahun 2019. Diakses pada http://statistik.kemendag.go.id/
export-import tanggal 5 Februari 2020.
LPEI. 2019. Laporan Tahunan 2018:
Unlocking Developmental Potential Expanding Export Boundaries. Jakarta.
OJK. 2019. Statistik Lembaga Keungan Khusus tahun 2018. Jakarta
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.