• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS TF STUDI EKSPERIMEN PERPINDAHAN PANAS PADA PENGERING JAGUNG TIPE RUMAH KACA DENGAN DUA CEROBONG PENGHAWAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS TF STUDI EKSPERIMEN PERPINDAHAN PANAS PADA PENGERING JAGUNG TIPE RUMAH KACA DENGAN DUA CEROBONG PENGHAWAAN"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

i TESIS TF092325

STUDI EKSPERIMEN PERPINDAHAN PANAS PADA PENGERING JAGUNG TIPE RUMAH KACA

DENGAN DUA CEROBONG PENGHAWAAN

YUNITA DJAMALU 2412201006

DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ir. Aulia Siti Aisjah, M.T

Dr. -Ing. Doty Dewi Risanti, S.T., M.T

PROGRAM MAGISTER

BIDANG KEAHLIAN REKAYASA INSTRUMENTASI INDUSTRI JURUSAN TEKNIK FISIKA

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

2014

(2)

THESIS TF092325

EXPERIMENTAL STUDIES ON HEAT TRANSFER OF SOLAR GREENHOUSE CORN DRYER WITH TWO CIRCULATION DUCTS

YUNITA DJAMALU 2412201006

SUPERVISOR :

Dr. Ir. Aulia Siti Aisjah, M.T

Dr. -Ing. Doty Dewi Risanti, S.T., M.T

MAGISTER PROGRAM

SPECIALIZATION INDUSTRIAL INSTRUMENTATION ENGINEERING DEPARTMENT OF ENGINEERING PHYSICS

FACULTY OF INDUSTRIAL TECHNOLOGY INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOVEMBER SURABAYA

2014

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Teknik (M.T)

di

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh:

YUNITA DJAMALU NRP. 2412 201 006

Tanggal ujian : 15 Juli 2014 Periode Wisuda : September 2014

Disetujui oleh :

1. Dr. Ir. Aulia Siti Aisjah, M.T. …………... (Pembimbing I) NIP . 19660116 198903 2 001

2. Dr. -Ing. Doty Dewi Risanti, S.T., M.T. …………... (Pembimbing II) NIP. 19740903 199802 2 001

3. Dr. Ridho Hantoro, S.T., M.T. …………... (Penguji) NIP . 19761223 200501 1 001

4. Dr. Gunawan Nugroho, S.T., M.T. …………... (Penguji) NIP . 19771127 200212 1 002

Direktur Program Pascasarjana,

Prof. Dr. Ir. Adi Soeprijanto, M.T NIP. 196404051990021001

(4)

STUDI EKSPERIMEN PERPINDAHAN PANAS PADA PENGERING JAGUNG TIPE RUMAH KACA DENGAN

DUA CEROBONG PENGHAWAAN

Nama : Yunita Djamalu

NRP : 2412201006

Pembimbing : 1. Dr. Ir. Aulia Siti Aisjah, M.T.

: 2. Dr. -Ing. Doty Dewi Risanti, S.T.,M.T

ABSTRAK

Pengeringan konvensional memiki kelemahan pada proses pengeringan diantaranya waktu pengeringan yang lama dan cuaca buruk. Untuk itu diperlukan perancangan alat pengering untuk wilayah Gorontalo untuk meningkatkan kualitas hasil panen jagung. Pengering efek rumah kaca memiliki 3 bagian utama yaitu ruang pengering, variasi bak pengering dan variasi bukaan cerobong. Dimensi dari pengering ini adalah panjang 1 m, lebar 0,8 m, tinggi 0,6 m, tebal kaca 5 mm, tebal plat alumunium 3 mm, sudut kemiringan atap 60˚ dan cerobong berdiameter 100 mm dengan tinggi 300 mm yang terbuat dari bahan pipa pvc. Mekanisme pembuatan alat ini terdiri dari evaluasi desain, persiapan alat dan bahan, pengerjaan alat dan pengujian alat. Hasil uji coba menunjukkan pengering terbaik adalah pada variasi 6 dengan bak pengering alumunium dan bukaan 100 % pada cerobong 2 dengan hasil untuk pengeringan 5 kg jagung pipilan yang diujicobakan membutuhkan waktu 9 jam waktu pengeringan. Suhu ruang tertinggi adalah 63˚C, kadar air setelah pengujian menjadi 12,9 % dari kadar air awal 20,7

%, massa akhir jagung adalah 3,1 kg dari massa awal 5 kg, Q evaporasi adalah 4212.143269 J/m².s, Mev adalah 1866.2575 gram dan efisiensi alat pengering yaitu 11 %, akan tetapi untuk efisiensi pengeringan terbaik adalah pada variasi 2 yang menggunakan bak kaca bukaan 100 % dengan nilai efisiensi 21 % dan laju aliran udara di dalam sistem pengering pada variasi 6 adalah 3.5 m/s.

Kata Kunci : Jagung, Pengering, Variasi, Kadar Air, Massa, Laju penguapan

(5)

EXPERIMENTAL STUDIES ON HEAT TRANSFER OF SOLAR GREENHOUSE CORN DRYER WITH TWO CIRCULATION DUCTS

Name : Yunita Djamalu

NRP : 2412201006

Supervisor 1. : 1. Dr. Ir. Aulia Siti Aisjah, M.T.

: 2. Dr. -Ing. Doty Dewi Risanti, S.T.,M.T

ABSTRACT

Conventional drying has several disadvantages, such as time consuming and its dependence in weather. Based on these reasons, we designed a dryer equipment which is needed in Gorontalo district for improving corn quality. The dryer employs greenhouse type consisting of 3 main components, i.e. drying chamber, dryer bed variation, and opening of duct variation. The dryer has dimension of 1m in length, 0,8 m in width, 0,6 in height, 5 mm of glass thickness, 3 mm of aluminium thickness, 60 o in roof angle, and 100 mm ducts diameter with 300 mm in height made of PVC tubes. The result showed that the best dryer performance is on 6th variation with aluminium as dryer’s bed material and 100% opening of the lower duct. It was shown that for 5kg corn grains it only requires 9 hours of drying period to achieve 12.9% water content reaching the SNI-01-03920-1995 standard. The corn grains weight is changed from 5 kg prior to drying process to 3.1 kg. The highest temperature of chamber is 63˚C. The heat of evaporation (Q) was calculated and the value is 4212.143269 J/m².s, and the evaporated mass (Mev) is 1866.2575 gram. The best dryer efficiency is about 11% with air flow rate of 3.5 m/s, while the best drying process efficiency is 21% for 2nd variation which uses 100% opening of lower duct.

Keywords : corn, dryer, variation, moisture contain, mass, evaporation rate

(6)

KATA PENGANTAR

Asslamualaykum Warahmatullah Wabarokatuh.

Setelah melalui perjuangan yang begitu panjang, alhamdulillah penulis mampu melaksanakan dan menyelesaikan tesis sebagai syarat kelulusan di kampus perjuangan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dengan judul

"STUDI EKSPERIMEN EFEK KONVEKSI NATURAL PADA PENGERING JAGUNG TIPE RUMAH KACA".

Pelaksanaan tesis ini tidak terlepas dari dukungan baik itu materi maupun moril terhadap penulis. Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan tesis ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah S.W.T yang Maha Mulia, Maha Cerdas dan Maha Segalanya.

2. Rasulullah S.A.W sebagai Suri Tauladan umat manusia.

3. Ibu tercinta, Inak, Bapak, Kakak-kakak, Adek Icha dan Ponakan-ponakan atas waktu, perhatian, support, motivasi dan banyak hal lain yang diberikan.

4. Alm Ayah dan Suami tercinta yang sangat banyak membantu memotivasi dan menguatkan.

5. Dr. Ir. Aulia Siti Aisjah, M.T. dan Dr. Ing Doty Dewi Risanti S.T., M.T, atas bimbingan yang telah diberikan selama perkuliahan dan juga dalam menyelesaikan tesis.

6. Dr. Ir. Totok Soehartanto, DEA, selaku ketua jurusan Teknik Fisika, FTI – ITS atas support dan motivasi.

7. Dr. Dhany Arifianto, S.T., M.Eng, selaku dosen wali yang selalu memberikan wejangan, perhatian dan motivasi selama 2 tahun di Teknik Fisika ITS.

8. Direktur Politeknik Gorontalo dan teman – teman di Politeknik Gorontalo atas motivasi.

9. Buat teman-teman pascasarjana Teknik Fisika, khususnya buat tata Evy Sunarti Antu atas bantuan dan motivasi.

10. Bapak – Ibu Dosen pengajar di Teknik Fisika atas ilmu yang telah diberikan.

11. Karyawan – karyawati tata usaha jurusan Teknik Fisika FTI – ITS atas bantuan dan kemudahannya.

(7)

Penulis menyadari bahwa adanya kekurangan dalam penulisan tesis ini, namun penulis berharap bahwa dengan tesis ini masyarakat khususnya petani didaerah – daerah dapat memanfaatkan dan mengaplikasikan hasil penelitian ini.

wassalam

Surabaya, Juli 2014

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR NOTASI ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Batasan Masalah ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Pasca Panen ... 5

2.2 Pengeringan Jagung Pipilan ... 6

2.3 Pengering Efek Rumah Kaca (Greenhouse) ... 14

2.4 Perpindahan Panas ... 16

2.4.1 Konduksi ... 16

2.4.2 Konveksi ... 18

2.4.3 Radiasi ... 22

2.5 Laju Penguapan ... 25

2.6 Efisiensi ... 27

2.6.1 Efisiensi Pengeringan ... 27

2.6.2 Efisiensi Alat Pengering ... 28

2.7 Laju Pengeringan ... 28

(9)

2.8 Panas yang Tersimpan ... 29

2.9 Analisis Panas yang Berguna (𝑄𝑢) dan Panas yang Hilang (𝑄𝑙𝑜𝑠𝑠)... 29

2.8 Neraca Massa dan Energi ... 31

2.10 Analisis Biaya ... 34

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN... 35

3.1 Diagram Alir Penelitian ... 35

3.2 Alat dan Bahan ... 36

3.3 Cara Pengujian ... 36

3.4 Prosedur Pengujian ... 37

3.5 Desain Geometri Alat... 38

3.6 Skema Alat Pengering ... 39

3.7 Pengambilan Data ... 40

3.8 Pengolahan Data ... 42

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 43

4.1 Hasil Uji Lapangan ... 43

4.1.2 Intensitas Matahari ... 43

4.1.3 Suhu dan Kelembaban Relatif... 44

4.2 Perpindahan Panas ... 53

4.3 Laju Penguapan ... 57

4.4 Efisiensi ... 58

4.5 Laju Pengeringan ... 60

4.4 Panas yang tersimpan ... 64

4.6 Analisa Panas yang Berguna (𝑄𝑢) dan Panas yang Hilang (𝑄𝑙𝑜𝑠𝑠) ... 64

4.7 Neraca Massa dan Energi ... 65

4.8 Analisis Biaya ... 69

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

5.1 Kesimpulan ... 71

5.2 Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Penjemuran tradisional ... 7

Gambar 2.2 Klasifikasi pengeringan ... 7

Gambar 2.3 Pengering kabinet tenaga surya langsung jenis baki ... 8

Gambar 2.4 Sirkulasi pengering rumah kaca tunel ... 9

Gambar 2.5 Skema diagram dari transfer energi dalam pengering rumah kaca .. 9

Gambar 2.6 Pengering rumah kaca dengan konveksi paksa ... 10

Gambar 2.7 Keluaran dari pengering surya ... 10

Gambar 2.8 Penampung melintang pengering tanaman dengan pemanas air .... 11

Gambar 2.9 Pengering tanaman dengan penyimpan bantuan ... 12

Gambar 2.10 Penampung melintang dari pengering surya melalui burner ... 12

Gambar 2.11 Pengering rumah kaca hybrid ... 13

Gambar 2.12 Pengering tenaga surya dengan kipas bertenaga fotovoltaik ... 13

Gambar 2.13 Perpindahan panas dan massa dalam pengering ... 15

Gambar 2.14 Proses terjadinya pemanasan global ... 16

Gambar 2.15 Efek rumah kaca ... 16

Gambar 2.16 Perpindahan panas konduksi ... 17

Gambar 2.17 Aktifitas molekul dalam konduksi ... 17

Gambar 2.18 Jenis konveksi paksa dan konveksi alami ... 19

Gambar 2.19 Dua permukaan benda yang mempunyai sudut kemiringan ... 23

Gambar 2.20 View faktor benda tiga dimensi ... 23

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ... 35

Gambar 3.2 Skema Gambar alat pengering ERK ... 39

Gambar 3.3 Skema dimensi pengering ... 39

Gambar 3.4 Perbandingan pengeringan pengering ERK dengan tradisional ... 40

Gambar 3.5 Variasi bukaan 0 %, 50 % dan 100 % ... 40

Gambar 3.6 Variasi bak kaca dan bak alumunium ... 40

Gambar 3.7 Titik pengukuran saat pengambilan data ... 40

Gambar 3.8 Proses awal dan akhir dalam pengambilan data ... 41

Gambar 3.9 Kontrol volum dan perpindahan panas pada pengering ... 42

(11)

Gambar 4.1 Grafik intensitas matahari pada enam variasi ... 43

Gambar 4.2 Grafik suhu jagung pada pengeringan tradisional ... 45

Gambar 4.3 Grafik pengukuran suhu variasi 1. ... 46

Gambar 4.4 Grafik kelembaban ruang dan kelembaban lingkungan variasi 1. . 46

Gambar 4.5 Grafik pengukuran suhu variasi 2. ... 47

Gambar 4.6 Grafik kelembaban ruang dan kelembaban lingkungan variasi 2. . 47

Gambar 4.7 Grafik pengukuran suhu variasi 3. ... 48

Gambar 4.8 Grafik kelembaban ruang dan kelembaban lingkungan variasi 3. . 48

Gambar 4.9 Grafik pengukuran suhu variasi 4. ... 49

Gambar 4.10 Grafik kelembaban ruang dan kelembaban lingkungan variasi 4. . 49

Gambar 4.11 Grafik pengukuran suhu variasi 5. ... 50

Gambar 4.12 Grafik kelembaban ruang dan kelembaban lingkungan variasi 5. . 50

Gambar 4.13 Grafik pengukuran suhu variasi 6. ... 51

Gambar 4.14 Grafik kelembaban ruang dan kelembaban lingkungan variasi 6. . 51

Gambar 4.15 Grafik pemetaan proses perpindahan panas pada pengering ... 56

Gambar 4.16 Grafik laju penguapan (Qe) dan massa terevaporasi (Mev) ... 58

Gambar 4.17 Grafik perbandingan efisiensi alat pengering pengeringan ... 60

Gambar 4.18 Grafik nilai penurunan massa dan kadar air pada enam varisi ... 62

Gambar 4.19 Grafik laju pengeringan untuk enam variasi ... 63

Gambar 4.20 Grafik suhu setelah proses pengeringan pada variasi 2 ... 64

Gambar 4.21 Grafik pengukuran suhu pada pengeringan variasi 6 ... 65

Gambar 4.22 Grafik analisis suhu pada pengeringan variasi 6 ... 68

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan ketiga jenis pengeringan ... 14

Tabel 3.1 Variasi pengeringan ... 38

Tabel 4.1 Nilai rata-rata suhu jagung pada enam variasi ... 52

Tabel 4.2 Nilai q konduksi pada enam variasi ... 54

Tabel 4.3 Nilai q konveksi pada enam variasi ... 55

Tabel 4.4 Nilai q radiasi pada enam variasi ... 56

Tabel 4.5 Laju penguapan ... 57

Tabel 4.6 Efisiensi pengeringan ... 58

Tabel 4.7 Efisiensi alat pengering ... 59

Tabel 4.8 Massa jagung sebelum dan sesudah pengeringan ... 61

Tabel 4.9 Kadar air jagung sebelum dan sesudah pengeringan ... 61

Tabel 4.10 Panas yang berguna (Qu) dan total rugi panas pada pengering ... 65

Tabel 4.11 Biaya tetap (BT) ... 69

Tabel 4.12 Biaya tidak tetap (BTT) ... 70

Tabel 4.13 Analisis biaya pembuatan alat pengering ERK... 70

(13)

DAFTAR NOTASI

A = Luas penampang (m²)

Af = Luas lantai pengering (m²)

Ap = Luas bak pengering (m²)

Aa = Luas atap pengering (m²)

Ab = Luas bagian bawah pengering (m²)

Ad = Luas bagian depan pengering (m²)

As = Luas samping pengering (m²)

Cpc = Panas jenis kaca (KJ/kg˚C)

Cpa = Panas jenis air (KJ/kg˚C)

Cpp = Panas jenis jagung (KJ/kg˚C)

Cpu = panas jenis udara (KJ/kg˚C)

hfg = Panas laten penguapan air (KJ/kg)

ma = Massa air (kg)

mk = Massa kering (kg)

mc = Massa cover (kg)

mw = Massa air yang diuapkan (kg)

Ua = Rugi panas pada atap (W/m²K)

Ub = Rugi panas bagian bawah pengering (W/m²K) Ud = Rugi panas bagian depan pengering (W/m²K) Us = Rugi panas bagian samping pengering (W/m²K) S = Radiasi matahari yang diserap pengering (W/m²)

𝜏 = transmisivitas kaca -

𝛼 = Absorpsivitas kaca -

𝜍 = Konstanta Boltzman 5,67x10−8 (W/m.k)

𝛽 = Koefisien ekspansi -

g = Grafitasi (m/s²)

Q = Jumlah panas yang digunakan untuk pengeringan (KJ)

q = Panas yang diberikan udara (KJ)

Q1 = Panas sensibel jagung (KJ)

Q2 = Panas sensibel air (KJ)

Q3 = Panas laten penguapan air (KJ) Qin = Panas yang masuk pada ruang pengering (W)

Qu = Panas yang digunakan (W)

Qloss = Panas yang hilang (W)

Ta = Suhu ruang pengering (˚C)

Tb = Suhu bak pengering (˚C)

Tc = Suhu cover (˚C)

Tp = Suhu akhir jagung (˚C)

T~ = Suhu awal jagung (˚C)

Tf = Suhu lantai (˚C)

𝑇𝑎𝑚 = Suhu lingkungan (˚C)

Ts = Suhu sky (𝑇𝑎𝑚1.5)

t = Waktu (s)

v = Viskositas udara (N/m²)

(14)

Va = Laju aliran udara (m/s)

V = Volume (M³)

Gr = Grashof number -

Mev = Moisture evaporated (kg)

Nu = Nusselt number -

Pr = Prandtl number -

Re = Reynold number -

Qe = Rate of heat utilized to evaporate moisture (J/m²s) x = characteristic dimension (m) h = koefisien konveksi (watt/m².k) k = konduktivitas thermal (watt/m.k)

q = laju perpindahan panas (kg/jam)

hd,b-p = Panas konduksi dari bak ke jagung (𝑊𝑚−2𝑘−1) hd, c-s = Panas konduksi dari cover ke lingkungan (𝑊𝑚−2𝑘−1) hd,f-g = Panas konduksi antara lantai dan bawah pengering (𝑊𝑚−2𝑘−1) hb,c-s = Panas konveksi dari cover ke lingkungan (𝑊𝑚−2𝑘−1) hc,b-a = Panas konveksi dari bak ke ruang (𝑊𝑚−2𝑘−1) hr,c-s = Panas radiasi dari cover ke lingkungan (𝑊𝑚−2𝑘−1) hc,c-a = Panas konveksi dari cover dalam ke ruang pengering (𝑊𝑚−2𝑘−1) hc,f-a = Panas konveksi dari lantai ke ruang (𝑊𝑚−2𝑘−1) hc,p-a = Panas konveksi dari prodak ke ruang pengering (𝑊𝑚−2𝑘−1) hr,c-s = Panas radiasi dari cover ke lingkungan (𝑊𝑚−2𝑘−1) hr,p-c = Panas radiasi dari prodak ke cover dalam (𝑊𝑚−2𝑘−1) hw = Panas konveksi dari cover ke ambien (𝑊𝑚−2𝑘−1)

Rk = Tahanan termal konduksi (m².k/W)

Rc = Tahanan termal konveksi (m².k/W)

Rr = Tahanan termal Radiasi (m².k/W)

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data rata-rata suhu matahari pada 18 hari pengukuran.

Lampiran 2. Data suhu dan kelembaban relative yang di ukur pada pengering Lampiran 3. Perhitungan perpindahan panas konduksi, konveksi dan radiasi.

Lampiran 4. Perhitungan panas evaporasi dan Mev.

Lampiran 5 Perhitungan efisiensi pengeringan.

Lampiran 6. Laju pengeringan, pengurangan massa terhadap waktu Lampiran 7. Data suhu yang tersimpan setelah proses pengeringan

Lampiran 8. Perhitungan panas yang tersimpan (𝑄𝑢) dan panas hilang (𝑄𝑙𝑜𝑠𝑠) Lampiran 9. Perhitungan neraca massa dan energy

Lampiran 10. Dokumentasi alat dan pengambilan data

(16)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara dengan penduduk sebanyak 237.641.326 jiwa, dimana 39.959.073 jiwa bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan. 5.001.220 jiwa memiliki mata pencaharian sebagai pekerja bebas di pertanian (BPS, 2010). Sebagian besar petani Indonesia menanam tanaman pangan diantaranya jagung merupakan sumber pangan yang sangat penting setelah beras. Bahkan di beberapa daerah komoditas ini menjadi makanan pokok. Karena selain nilai kalorinya hampir setara dengan beras, jagung mengandung lemak lebih tinggi. Lagipula, didalamnya terdapat asam lemak esensial yang bermanfaat untuk pencegahan penyakit arteriosclerosis.

Disamping menjadi salah satu makanan pokok, jagung juga berpotensi sebagai bahan baku industri pangan seperti diolah menjadi minyak nabati, margarin, maizena, kue, sirup dari pati jagung, bir dan makanan kecil lainnya.

Jagung juga merupakan bahan utama industri makanan ternak terutama unggas.

Tetapi hingga saat ini Indonesia masih jauh dari swasembada jagung. Dilihat dari hasil jagung per hektar masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, sedangkan kebutuhan jagung terus melonjak dari tahun ke tahun sehingga pemerintah harus mengimpor jagung dari negara tetangga. Mengingat betapa pentingnya jagung sebagai bahan pangan, maka produksi jagung perlu ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Untuk itu diperlukan usaha yang baik, termasuk penanganan pasca panen terutama pada proses pengeringan jagung.

Mayoritas, masyarakat Indonesia terutama di daerah Gorontalo mengeringkan jagung yang kurang kering saat musim panen dengan cara dijemur.

Jagung yang dijemur tidak bisa kering dalam waktu tiga hari seperti biasanya dikarenakan hujan bisa tiba – tiba terjadi. Hal tersebut cukup mengkhawatirkan bagi petani karena hasil panen mereka tidak bisa dijual cepat atau mungkin tidak bisa dijual sama sekali, sedangkan para petani membutuhkan hasil penjualan

(17)

panen untuk membeli bibit baru, penggantian biaya penjemuran, atau membayar pekerja kebun.

Jagung merupakan komoditi unggulan di daerah Gorontalo. Menurut data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Pemerintah Provinsi Gorontalo, produksi jagung tahun 2011 sebesar 605.781 ton pipilan kering, mengalami penurunan 73.386 ton (-10,81 persen) dibandingkan produksi tahun 2010. Penurunan tersebut disebabkan menurunnya luas panen sebesar 8.079 hektar (-5,62 persen), dan menurunnya produktivitas sebesar 2,60 kuintal/hektar (-5,50 persen).

Dari data tersebut menunjukkan bahwa cukup banyak petani jagung di Gorontalo yang merugi dikarenakan cuaca yang tidak pasti di samping gangguan hama dan wereng. Menurut BMKG, ada tiga faktor yang membuat hal tersebut bisa terjadi, yaitu anomali SST (Sea Surface Temperature) di wilayah Indonesia hangat sehingga menyebabkan peluang majunya musim hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia, SST dingin di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3, 4) mengindikasikan terjadinya La Nina, dan indeks Dipole Mode, diprediksi dalam kondisi negatif – normal, sehingga berpotensi menambah curah hujan (BMKG, 2010). Oleh karena itu, diperlukan suatu alat yang bisa menjadi alternatif para petani dalam meningkatkan kualitas hasil panennya.

Pengering rumah kaca yang sudah pernah dikembangkan antara lain pengering rumah kaca dengan atap setengah lingkaran oleh Sadodin (2011) dari hasil penelitiannya didapatkan kelembaban kopra dari 52.2 % menjadi 8 % dengan waktu 55 jam pengeringan. Pengeringan padi dengan variasi bukaan cerobong 0 %, 10 % dan 20 % dan menambahkan kotak kaca di dalam ruang pengering oleh Putri (2013) dan pengering rumah kaca dengan variasi jarak cermin didalam pengering oleh Yayienda (2013), kelebihan dari kedua desain ini adalah adanya kotak kaca didalam ruang pengering yang memperbesar daya serap panas sehingga suhu didalam ruang pengering dengan kotak kaca mencapai 63 ℃ dan dengan variasi jarak cermin yang menghasilkan suhu cermin tertinggi 70 ℃ akan tetapi kelemahan dari desain ini adalah adanya uap air yang terperangkap di dalam atap pengering dan jatuh ke produk sehingga memperlama proses pengeringan dan menurunkan kualitas produk.

(18)

Dalam penelitian ini digunakan pengering dengan tenaga surya menggunakan tipe greenhouse dengan desain cerobong lebih dari satu untuk sirkulasi udara dengan bukaan 0%, 50%, 100% dan bak pengering yang terbuat dari bahan kaca dan pelat alumunium. Jika pengeringan dengan cara dijemur hanya bisa mengeringkan jagung pipilan dengan waktu sekitar tiga hari dalam kondisi cuaca cerah, maka pengering yang dibuat ini diharapkan mampu mempercepat waktu pengeringan karena Pengering yang tertutup dibagian atas nantinya bisa mengantisipasi perubahan cuaca secara tiba – tiba di wilayah tersebut. Dengan adanya sistem ini diharapkan bisa meningkatkan kualitas produk hasil pertanian dan perikanan dengan waktu yang singkat.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana disain optimum pengering tipe rumah kaca dengan variasi lubang ventilasi dan bak pengering agar mengurangi nilai kelembaban relatif pada ruang pengering.

2. Bagaimana menganalisis performansi perpindahan panas dan laju pengeringan pada proses pengeringan.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Membuat disain pengering tipe rumah kaca dengan variasi lubang ventilasi dan bak pengering agar mengurangi nilai kelembaban relatif pada ruang pengering.

2. Menganalisis performansi perpindahan panas dan laju pengeringan pada proses pengeringan.

1.4 Batasan masalah

Adapun batasan masalah dalam penelitian tesis ini adalah :

1. Dimensi pengering tipe rumah kaca panjang 1 meter, lebar 0,8 m, tinggi 0,6 m dan lubang ventilasi ø 100 mm, panjang 300 mm, sudut kemiringan atap 60˚.

2. Jenis jagung yang di uji cobakan adalah jagung hibrida seberat 5 kg.

(19)

3. Variasi bukaan ventilasi yang digunakan pada pengering tipe rumah kaca adalah 0%, 50% dan 100% pada cerobong 2.

4. Variasi bak pengering yang digunakan pada pengering tipe rumah kaca adalah kaca dan alumunium.

5. Data intensitas matahari, suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan adalah data yang di ambil dari BMKG untuk wilayah Gorontalo.

6. Profil aliran udara di dalam pengering dan di lingkungan dianggap laminer.

7. Kecepatan angin dan tekanan di dalam pengering dan di lingkungan diabaikan

8. Perpindahan panas pada cerobong tidak dihitung karena cerobong hanya digunakan untuk sirkulasi udara untuk mengurangi nilai kelembaban ruang pengering.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa memiliki manfaat sebagai salah satu

alternatif bagi petani Indonesia untuk melakukan pengeringan hasil pertanian yang lebih efisien.

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Pengering Jagung

Penanganan pasca panen bisa dengan cara pengeringan, pada umumnya dilakukan dengan menghamparkan jagung di bawah terik matahari menggunakan alas tikar atau terpal, pada waktu cerah penjemuran dapat dilakukan selama 3 hari.

Kadar air yang dianjurkan menurut SNI nomor 01-03920-1995 adalah 13% s/d 14% sesuai permintaan konsumen. Agar dapat disimpan lama, proses pengeringan dengan alat pengering biasanya memerlukan waktu penjemuran 8 s/d 10 jam sesuai alat pengering yang digunakan.

Pengolahan jagung ada 2 macam yaitu :

1. Pengolahan basah (wet process), adalah pengolahan jagung yang dilakukan dengan merendam jagung terlebih dahulu di dalam air sehingga menghancurkannya lebih mudah, dan setelah itu dikeringkan.

2. Pengolahan kering (dry process), adalah pengolahan secara kering tanpa perendaman, biasanya menghancurkannya lebih sukar dibandingkan dengan cara basah.

Penanganan pasca panen jagung adalah semua kegiatan yang dilakukan sejak jagung dipanen sampai dipasarkan kepada konsumen, kegiatannya meliputi pemanenan, pengangkutan, pengeringan, penundaan, perontokan dan penyimpanan. Kegiatan penanganan pasca panen pada umumnya dilakukan oleh petani, kelompok tani, koperasi dan para pedagang pengumpul serta didukung oleh berbagai lembaga dalam masyarakat dalam satu kesatuan, maka disebut dengan istilah sistem penanganan pasca panen (BPIJ, 2010).

Cara penanganan panen dan pasca panen yang kurang baik akan memberikan dampak yang buruk terhadap mutu jagung, apabila mutu jagung menurun, maka harga jual menurun dan pendapatan petani menjadi lebih rendah. Faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi baik buruknya mutu jagung adalah adanya jamur dan cendawan yang ditandai dengan

(21)

warna kehitam-hitaman, kehijau-hijauan atau putih pada buah jagung. Salah satu diantara jamur tersebut adalah Aspergilis sp yang menghasilkan racun aslatoksin dan berbahaya bagi manusia maupun ternak lainnya, jamur tersebut dapat dimatikan dengan pemanasan tetapi racunnya tidak dapat ditangkal dengan pemanasan (BPIJ, 2010).

2.2. Pengeringan Jagung Pipilan

Pengeringan jagung pipilan dilakukan setelah jagung dipipil dari tongkol.

Pengeringan cara ini dilakukan dengan teliti, karena bila dilakukan sembarangan akan banyak hasil biji jagung yang terbuang. Pengeringan jagung dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dikeringkan secara alami dan dikeringkan secara buatan.

Pengeringan jagung secara alami dilakukan dengan menggunakan panas dari sinar matahari langsung di atas lamporan. Penjemuran sampai jagung cukup kering untuk disimpan biasanya berlangsung kurang lebih selama 2 s/d 3 hari pada cuaca cerah. Umumnya pengeringan jagung tongkol dilaksanakan sampai kadar air mencapai 18 – 20 %. Sedangkan pengeringan jagung pipil dianjurkan dilakukan sampai kadar air mencapai 13 – 14 %.

Secara umum, pengeringan berarti menghilangkan jumlah air yang relatif kecil dari bahan. Bahasa ilmiahnya pengeringan adalah penghidratan, yang berarti menghilangkan air dari suatu bahan (Hasibuan, 2005). Pengeringan bagi komoditas pertanian bertujuan untuk mengawetkan. Ada beberapa metode pengeringan yang biasa dilakukan, yaitu:

1. Pengeringan Tradisional

Pengeringan ini menggunakan media lamporan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Lamporan yang umum dipakai adalah lantai semen atau terpal, Selain dengan lamporan dapat juga dilakukan dengan rak-rak yang dibuat dari kayu atau anyaman bambu.

(22)

Gambar 2.1 Penjemuran tradisional

Pada penjemuran tradisional, sinar matahari mampu menembus ke dalam jaringan sel bahan. Sedangkan kerugiannya antara lain adalah suhu pengeringan dan kelembaban tidak dapat dikontrol, hanya berlangsung bila ada sinar matahari dan pengeringan tidak konstan juga dapat menambah polusi udara untuk warga sekitar daerah penjemuran.

2. Pengeringan dengan Oven

Selain pengeringan tradisional (penjemuran), pengeringan juga dapat dilakukan dengan oven. Alat ini menggunakan sumber panas dari tenaga listrik.

3. Pengeringan Buatan

Pengeringan buatan merupakan cara pengeringan yang menggunakan alat, namun sumber panas yang digunakan sama seperti pengeringan tradisional, yaitu menggunakan sinar matahari (Hartuti dan Sinaga, 1997).

Ada beberapa jenis pengering yang dikembangkan untuk berbagai tujuan pengeringan produk makanan sesuai dengan kebutuhan lokal dan ketersedia teknologi (Murthy, 2008).

Gambar 2.2 Klasifikasi pengering tenaga surya (Fudholi, dkk., 2009)

(23)

Gambar 2.2 adalah klasifikasi sistematis pengering tenaga surya untuk produk pertanian yang didasarkan pada desain sistem komponen dan cara pemanfaatan energi surya.

A. Pengering tenaga surya dengan konveksi alami (pengering pasif)

Ada bermacam-macam jenis pengering tenaga surya dengan konveksi alami yang telah dikembangkan oleh beberapa peneliti. Berikut ini adalah beberapa macam pengering tenaga surya dengan konveksi alami:

1. Pengering dengan kabinet

Pengering yang paling sederhana (Gambar 2.3), terdiri dari kotak kayu kecil panas. Dimensi pengering ini adalah 2 m x 1 m (panjang dan lebar). Sisi pinggir dan bawahnya bisa menjadi portabel dan dapat dibuat dari kayu atau lembaran logam. Sebuah lembaran polietilen transparan digunakan sebagai penutup di permukaan atas. Lubang udara yang terletak di sisi kering untuk sirkulasi.

Gambar 2.3 Pengering kabinet tenaga surya langsung jenis baki (Otheleno dalam Fudholi, dkk., 2009)

Telah dilakukan studi evaluasi kinerja kabinet pengering surya.

Diprediksi suhu piring untuk tanpa beban maksimum mencapai 80-85 °C pada siang hari, sedangkan untuk beban 20 kg gandum, suhu maksimumnya adalah sekitar 45 - 50 °C (Sharma, dkk., 1986). Selain itu, suhu dalam pengering kabinet dapat mencapai angka 20-30 °C di atas suhu lingkungannya, sehingga bisa berguna dalam pengeringan berbagai bahan makanan (Fudholi, dkk., 2009).

Pengeringan ini adalah desain yang sederhana dan dapat diproduksi oleh petani dari bahan lokal. Memiliki biaya yang relatif murah dan mudah digunakan (Ghaba, dkk., 2007).

(24)

2. Pengering rumah kaca tunnel

Gambar 2.4 adalah satu pengering rumah kaca dengan konveksi alami model tunnel. Pengering model ini menggunakan plastic film dari polyethylene semi transparan. Pengering ini dibentuk agar mengarah dengan menghadap timur dan barat agar radiasi panas mataharinya lebih efisien. Tujuan lain dari model ini adalah untuk melindungi dari debu, angin, hujan, dan burung (Elicin dan Sacilik dalam Fudholi, dkk. , 2005).

Gambar 2.4 Sirkulasi pengering rumah kaca tunnel (Elicin dan Sacilik, 2005)

3. Pengering efek rumah kaca dengan atap setengah lingkaran

Pengering rumah kaca dengan atap terowongan yang diasumsikan setengah lingkaran yang ditutupi dengan UV (200μ) stabil film polietilen.

Gambar 2.5 Skema diagram dari transfer energi dalam pengering rumah kaca surya (Sadodin, 2009)

Contoh pengering rumah kaca dengan atap setengah lingkaran seperti pada gambar 2.5. Model ini dapat digunakan untuk mensimulasikan kinerja pengering surya rumah kaca untuk pengeringan dengan lokasi dan kondisi iklim yang berbeda.

(25)

B. Pengering tenaga surya dengan konveksi paksa (pengering aktif)

Pada dasarnya, pengering dengan konveksi paksa hampir sama dengan jenis pengering konveksi alami. Perbedaannya terletak pada penambahan kipas maupun blower sebagai alat bantu untuk mengalirkan udara secara merata dan lebih cepat tersirkulasi. Gambar 2.6 dan Gambar 2.7 merupakan contoh dari pengering jenis konveksi paksa.

Gambar 2.6 Pengering rumah kaca dengan konveksi paksa: (a) tampilan muka, (b) tampilan plant, dan (c) skema operasi (Condori, dkk., 2001)

Gambar 2.7 Keluaran dari pengering surya

(26)

Keterarngan gambar 2.8. 1. Kipas sentrifugal, 2. Kolektor surya,3.

Lemari penyimpanan, 4. Ruang pengering, 5. Cerobong surya). Ada dua buah lembaran bergelombang pada kolektor surya dengan jalur aliran udara menanjak serta posisi relatif dari tiga laci di ruang pengering (Fudholi, dkk., 2009)

C. Pengering tenaga surya hibrid

Sesuai dengan namanya, pengering jenis ini terdiri dari dua jenis pengering yang dijadikan ke dalam satu sistem. Berikut ini adalah beberapa contoh dar pengering tenaga surya hibrid:

1. Sitem pengeringan tenaga surya dengan penyimpan panas (Solar drying system with termal storage)

Ada beberapa teknik yang telah dikembangkan oleh beberapa peneliti, salah satunya dengan menggunakan air dan batu sebagai media pembantu penyimpan panas. Yang pertama, udara yang mengalir dalam saluran udara yang terbuat dari kaca mendapatkan panas dari matahari dan panas matahari tersebut juga memanaskan air sebagai media penyimpan panas jika sudah tidak ada sinar matahari seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9 (Tiwari, dkk., 1997).

Gambar 2.8 Penampang melintang dari pengering tanaman dengan pemanas air (Tiwari, dkk., 1997)

Dan yang kedua adalah dengan media penyimpanan berupa batu. Prinsip kerjanya hampir sama dengan sebelumnya, yang berbeda hanyalah penggunaan batu sebagai media penyimpanan panasnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9 (Tiwari, dkk., 1994).

(27)

Gambar 2.9 Pengering tanaman dengan penyimpan batuan (a) Penampang melintang;(b)Sistem kerja (Tiwari, dkk., 1994)

2. Sistem pengeringan dengan unit tambahan (Solar drying sistem with auxiliary unit)

Pengering jenis ini menggunakan unit tambahan untuk memanaskan udara seperti pemanas bertenaga listrik, pemanas dengan LPG, pemanas dengan biomass, dan pemanas dengan mesin diesel. Gambar 2.10 merupakan salah satu contoh dari pengering deangan unit tambahan (Fudholi, dkk., 2009).

Gambar 2.10 Penampang melintang dari pengering surya melalui burner, kolektor, pengeringan chamber dan cerobong surya (Madhlopa dan Ngwalo, 2007)

Kelebihan dari pengering ini adalah proses pemanasan lebih cepat dan bisa berlangsung sehari penuh. Sedangkan kekurangannya adalah menggunakan bahan bakar sebagai pemanas bantuan.

(a)

(28)

3. Pengering efek rumah kaca hybrid

Prinsip kerja dari pengering rumah kaca ini adalah desain bak berputar untuk menghasilkan kadar air yang seragam.

Gambar 2.11 Pengering rumah kaca hybrid (Triwahyudi Sigit)

Salah satu contohnya ditunjukkan pada Gambar 2.12, dimana pengering dengan rak berputar ini selain di desain dengan bak pengering yang berputar juga penyebaran panas yang merata.

4. Sistem pengeringan tenaga surya dengan fotovoltaik (Solar drying sistem with photovoltaic)

Pengering ini biasanya menggunakan energi dari PV untuk menggerakkan kipas yang berada di dalam pengering (Fudholi, dkk., 2009).

Kelebihan dari pengering ini adalah panas dalam pengering bisa terdistribusi merata dan efisiensinya tinggi. Kekurangannya adalah biayanya mahal.

Gambar 2.12 Pengering tenaga surya dengan kipas bertenaga fotovoltaik (Mumba, 1996)

(29)

Tabel 2.1 Perbedaan ketiga jenis pengering (Ong, 1999) Prosee pengeringan

Dengan Konveksi Alami

Dengan Konveksi paksa Hibrid

Instalasi mudah Instalasi cukup rumit Instalasi rumit Proses pengeringan

bergantung pada cuaca dan angin

Proses pengeringan tidak bergantung pada cuaca dan angin karena ada kipas

Proses pengeringan lebih cepat

Biaya murah Biaya cukup mahal Biaya mahal Hasil pengeringan

kurang efisien

Hasil pengeringan kurang efisien

Hasil pengeringan

lebih efisien

dibandingkan dengan pengering satu jenis

Survei di beberapa negara di wilayah Asia-Pasifik (Ong, 1999), pengering yang berpotensi dan cukup popular untuk dijadikan pengering adalah pengering dengan jenis:

- Konveksi alami jenis kabinet (Natural convection direct type)

- Konveksi paksa jenis tidak langsung (Forced convection indirect type).

- Tipe rumah kaca (Greenhouse type)

2.3. Pengering Efek Rumah Kaca (Greenhouse)

Pengering efek rumah kaca adalah alat pengering berenergi surya yang memanfaatkan efek rumah kaca yang terjadi karena adanya penutup transaparan pada dinding bangunan serta plat absorber sebagai pengumpul panas untuk menaikkan suhu udara ruang pengering. Lapisan transparan memungkinkan radiasi gelombang pendek dari matahari masuk ke dalam dan mengenai elemen- elemen bangunan. Hal ini menyebabkan radiasi gelombang pendek yang terpantul berubah menjadi gelombang panjang dan terperangkap dalam bangunan karena tidak dapat menembus penutup transparan sehingga suhu didalam menjadi tinggi.

(30)

Prinsip pengering dengan ERK

Gambar 2.13 Diagram perpindahan panas dan massa dalam pengering ERK (Nelwan 1997)

Pemanasan global terjadi karena sinar matahari yang melewati matahari terjebak oleh Gas Rumah Kaca (GRK). Gas CO2 pada lapisan atmosfer, dimana 30% gas CO2 yang ada di bumi diserap oleh air laut dan sisanya berada di lapisan troposfer. Sebagian dari radiasi matahari diserap oleh permukaan bumi sehingga permukaan bumi menjadi panas, sisanya dipantulkan kembali ke atmosfer dalam bentuk gelombang infrared. Gelombang infrared tersebut akan diserap oleh GRK yang ada pada atmosfer. Sebagian akan diemisikan kembali ke ruang angkasa dan sisanya akan direfleksikan kembali ke atmosfer bumi oleh GRK (CO2/CH4/NOx/SF6/CFC/O3) sehingga menyebabkan pemanasan global. Disebut

Konveksi

Radiasi gelombang panjang Radiasi gelombang pendek Konduksi

Aliran massa Diteruskan

Memanaskan produk Hilang ke lingkungan

Diserap oleh

pelat,lantai, didinding kaca

Radiasi gelombang panjang Ennergi surya

Dinding atap

bangunan transparan

Ke lingkungan Air menguap

Pemanasan udara Udara masuk ke bangunan

Diserap Dipantulkan

Diteruskan

Memanaskan produk Hilang ke lingkungan

Diserap oleh

pelat,lantai, didinding kaca

Radiasi gelombang panjang Ennergi surya

Dinding atap

bangunan transparan

Ke lingkungan Air menguap

Pemanasan udara Udara masuk ke bangunan

Diserap Dipantulkan

Diteruskan

Memanaskan produk Hilang ke lingkungan

Diserap oleh

pelat,lantai, didinding kaca

Radiasi gelombang panjang Ennergi surya

Dinding atap

bangunan transparan

Ke lingkungan Air menguap

Pemanasan udara Udara masuk ke bangunan

Diserap Dipantulkan

(31)

rumah kaca karena karakteristik CO2 yang mampu memerangkap panas sama seperti karakteristik kaca. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.15 dan Gambar 2.16 (BMKG, 2011).

Gambar 2.14 Proses terjadinya pemanasan global (BMKG, 2011)

Gambar 2.15 Efek rumah kaca (BMKG, 2011)

2.4. Perpindahan Panas

Seperti yang telah diketahui, panas dapat mengalir tempat dari temperatur yang tinggi menuju temperatur yang lebih rendah. Ada tiga macam jenis perpindahan panas, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi.

2.4.1. Konduksi

Konduksi adalah proses di mana panas mengalir dari daerah yang bersuhu lebih tinggi ke daerah yang bersuhu lebih rendah pada suatu medium (padat, cair atau gas) atau antara dua atau lebih medium berbeda yang

(32)

bersinggungan secara langsung (Putera, 2008). Perpindahan panas secara konduksi dapat dilihat pada Gambar 2.16.

Gambar 2.16 Perpindahan panas konduksi (Incropera dan Dewitt, 1996)

Dalam konduksi, aliran energi terjadi karena interaksi diantara molekul secara langsung tanpa disertai oleh perpindahan molekul seperti yang digambarkan pada Gambar 2.17. Energi yang dimiliki oleh suatu zat yang disebabkan oleh gerak translasi acak, gerak rotasi, dan vibrasi molekul (Incorpera dan Dewitt, 1996). Semakin cepat molekul – molekul bergerak, semakin tinggi suhu maupun energi dalam zat tersebut.

Gambar 2.17 Aktifitas molekul dalam konduksi (Incropera dan Dewitt, 1996)

Jika terjadi perbedaan suhu, molekul – molekul yang memiliki energi yang lebih besar memindahkan sebagian energinya kepada molekul – molekul di daerah yang bersuhu lebih rendah. Jika energi berpindah secara konduksi, maka laju perpindahan panasnya berbanding dengan gradien suhu normal seperti pada persamaan 2.1. (Incorpera dan Dewitt, 1996).

𝑞

𝑎~ −𝜕𝑇

𝜕𝑥

(2.1)

(33)

Jika dimasukkan konstanta konduktivitas material yang digunakan, maka persamaan 2.1. dapat di tuliskan dalam bentuk persamaan berikut:

𝑞" = 𝑘∆𝑇∆𝑥

𝑞 = −𝑘𝐴∆𝑇

∆𝑥 Dengan:

q = Laju perpindahan panas (Watt) k = Konduktivitas termal (W/m.K)

A = Luas Penampang yang terletak pada aliran panas (m2) ΔT = Perbedaan temperatur diantara dua permukaan (K) Δx = Tebal permukaan (m)

Tanda minus diselipkan untuk memenuhi hukum kedua termodinamika, yaitu bahwa kalor mengalir dari tempat bersuhu tinggi ke tempat yang bersuhu lebih rendah.

Daya hantar termal adalah suatu karakteristik dari suatu bahan dan perbandingan k/L disebut hantaran (konduktansi). Nilai konduktivitas termal beberapa bahan diberikan dalam tabel dibawah, pada umumnya konduktivitas termal suatu bahan tegantung pada suhu. Dapat diperhatikan bahwa dalam konduktivitas termal ini terlibat juga laju kalor, dan nilai angka konduktivitas termal menunjukkan berapa cepat kalor itu mengalir dalam bahan tertentu.

2.4.2. Konveksi

Konveksi adalah proses perpindahan energi dengan kerja gabungan dari konduksi panas, penyimpanan energi, dan gerakan turbulen. Konveksi sangat penting sebagai perpindahan energi antara permukaan benda padat dan cairan atau gas. Perpindahan energi dengan cara konveksi dari permukaan yang suhunya diatas suhu fluida di sekitarnya berlangsung dalam beberapa tahap. Pertama, panas mengalir melalui konduksi dari permukaan ke partikel fluida yang berbatasan. Energi yang berpindah akan menaikkan suhu dan energi dalam partikel fluida. Kemudian partikel fluida akan bergerak ke daerah yang bersuhu (2.2) (2.3)

(34)

lebih rendah di dalam fluida kemudian partikel tersebut akan berbaur dan memindahkan sebagian energinya ke partikel fluida lainnya. Alirannya berupa aliran fluida maupun energi. Energi disimpan di dalam partikel fluida dan diangkut sebagai akibat gerakan massa partikel tersebut. Perpindahan panas konveksi diklasifikasikan menurut cara percampuran alirannya, yaitu konveksi bebas atau alami (natural convection) dimana konveksi berlangsung dikarenakan oleh kerapatan perbedaan suhu dan konveksi paksa (forced convection) menurut cara menggerakkan alirannya.

Gambar 2.18 Jenis konveksi;(a) Konveksi paksa dan (b) Konveksi alami (Incropera dan Dewitt, 1996)

Konveksi alami dibagi menjadi dua jenis aliran, yaitu aliran laminar dan turbulen. Bilangan tak berdimensi digunakan untuk menghitung koefisien konveksi (h) yang digunakan untuk menghitung besarnya perpindahan panas yang terjadi dalam fluida, qp Untuk mengetahui jenis aliran dari konveksi alami, maka nilai dari bilangan Rayleigh (RaL) harus diketahui terlebih dahulu. Nilai tersebut diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

𝑅𝑎𝐿 = 𝐺𝑟𝐿 𝑥 𝑃𝑟

dimana GrL adalah bilangan Grashof sedangkan Pr adalah bilangan Prandtl.

Bilangan Grashof diperoleh dengan rumus berikut:

(2.4)

(35)

𝐺𝑟𝐿 =𝑔 𝑃𝑟 𝛽(𝑇𝑣2𝑏−𝑇)𝐿3

dengan nilai β dapat diperoleh dari:

𝛽 = 1 𝑇

dimana T adalah nilai suhu absolut, sedangkan g (Pr) diperoleh melalui persamaan di bawah:

𝑔 𝑃𝑟 = 0,75𝑃𝑟1/2

0,609+1,221𝑃𝑟1/2+1.238𝑃𝑟 1/4

Nilai bilangan Prandtl berada pada kisaran 0 ≤ Pr ≤ ∞ agar didapatkan nilai bilangan Grashof-nya.

𝑅𝑎𝐿 =𝑔𝛽 (𝑇𝑏𝑣.𝛼−𝑇)𝐿3

Aliran akan berbentuk laminer bila nilai bilangan Rayleigh-nya ≤ 109. Jika nilai bilangan Rayleigh sudah diketahui, maka nilai bilangan tak berdimensi lain yang perlu dicari adalah nilai bilangan Nusselt. Nilai dari bilangan Nusselt pada plat vertikal berbeda dengan nilai bilangan Nusselt pada plat horisontal. Untuk plat vertikal, nilai bilangan Nusselt bisa didapatkan melalui:

𝑁𝑢𝐿

=𝑕 𝐿𝑘 = 𝐶𝑅𝑎𝐿𝑛

Dengan nilai C dan n untuk aliran laminar adalah sebesar 0,59 dan 0,25. Nilai bilangan Nusselt bisa dicari dengan rumusan sebagai berikut:

𝑁𝑢𝐿

= 0,68 +[1+ 0,492/𝑃𝑟 0,670 𝑅𝑎𝐿1/49/16]4/9

Sedangkan nilai bilangan Nusselt pada plat miring atau horisontal dengan permukaan atas dipanaskan dan permukaan bawah didinginkan, dapat dicari dengan persamaan berikut:

(2.5)

(2.6)

(2.7)

(2.8)

(2.9)

(2.10)

(36)

𝑁𝑢𝐿

= 0,54 𝑅𝑎𝐿1 4 104 ≤ 𝑅𝑎𝐿 ≤ 107 atau,

𝑁𝑢𝐿

= 0,15 𝑅𝑎𝐿13 107 ≤ 𝑅𝑎𝐿 ≤ 1011

Untuk bagian bawah yang dipanaskan dan bagian atas didinginkan menggunakan persamaan berikut (Incropera dan Dewitt, 1996)

𝑁𝑢𝐿

= 0,27 𝑅𝑎𝐿14 105 ≤ 𝑅𝑎𝐿 ≤ 1010

Bila nilai bilangan Nusselt telah diketahui, maka bisa didapatkan nilai dari koefisien perpindahan konveksi (h) melalui persamaan berikut ini:

𝑁𝑢𝐿 =𝑕 𝐿𝑘

Nilai koefisien konveksi yang telah ditemukan, maka nilai koefisien tersebut dimasukkan ke dalam persamaan berikut, bila koefisien konveksi tersebut memenuhi rentang koefisien perpindahan panas konveksi (Titahelu Nicolas, 2010).

𝑕 =𝑁𝑢. 𝑘 𝐿

Dimana:

h = Koefisien perpindahan kalor konveksi pada kaca (W/m2.K) k = Konduktivitas termal (W/m.k)

Nu = Bilangan nusselt L = Panjang bak pengering

𝑞 = 𝑕. 𝐴 𝑇𝑏 − 𝑇𝑎

(2.11)

(2.12)

(2.13)

(2.14)

(2.16) (2.15)

(37)

Dimana:

h = Koefisien perpindahan kalor konveksi (W/m2.K) A = Luas permukaan (m2)

Tb = Temperatur bak (K) Ta = Temperatur ruang (K)

q = Laju perpindahan panas konveksi (Watt) 2.4.3. Radiasi

Tidak seperti konduksi dan konveksi yang melakukan perpindahan panas melalui medium perantara, kalor juga dapat berpindah melalui ruang hampa. Pada termodinamika, radiator (sumber penyinaran) ideal, atau benda hitam (blackbody) dapat memancarkan energi sebanding dengan pangkat empat suhu absolut benda yang berbanding lurus dengan permukaan benda tersebut. Oleh karena itu, perpindahan panas secara radiasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑞𝑟𝑎𝑑 = 𝜍𝐴𝑇4

Dimana 𝜍 adalah konstatanta Stefan-Boltzman dengan nilai 5,669 x 10-8 W/m2. Persamaan 2.18 berlaku untuk radiasi benda hitam saja, di mana nilai emisivitasnya adalah 1. Namun, kebanyakan radiasi terjadi bukan pada benda hitam sehingga bisa dirumuskan menjadi berikut.

𝑞 = 𝜍𝜀(𝑇14− 𝑇24

Untuk perpindahan panas secara radiasi pada dua buah penampang yang berhadapan view factor dari masing-masing permukaan harus diketahui terlebih dulu agar bisa diketahui besarnya radiasi yang mengenai permukaan tersebut.

View factor adalah bagian dari radiasi dari permukaan i (yang meneruskan radiasi) yang bertemu dengan pemukaan j (permukaan yang berhadapan dengan permukaan yang meneruskan radiasi).

Nilai view factor berbeda-beda untuk benda dengan geometri dua dimensi. Yang dipakai dalam penelitian ini salah satunya adalah benda yang kaca (2.17)

(2.18)

(38)

yang meneruskan radiasi mempunyai posisi sejajar seperti pada Gambar 2. dan kotak kaca yang distandratkan berbentuk kubus. Untuk view factor dari dua benda pada posisi sejajar yang memancarkan radiasi i pada benda j dapat dituliskan pada rumus 2.19.

Gambar 2.19 Dua permukaan benda yang mempunyai sudut kemiringan (Incropera dan Dewitt, 1996)

𝐹𝑖𝑗 dicari dengan persamaan 2.19, dimana nilai 𝛼 sudut kemiringan atap yaitu 60˚

𝐹𝑖𝑗 = 1 − 𝑠𝑖𝑛𝛼 2

Dan untuk view factor kotak kaca dapat dirumuskan pada persamaan sebagai berikut. Pertama, dicari nilai 𝑋 dan 𝑌 terlebih dahulu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.20 .

𝑋 =𝑋𝐿, 𝑌 =𝑌𝐿

Gambar 2.20 View factor pada benda tiga dimensi (Incropera dan Dewitt, 1996)

(2.19)

(2.20)

(39)

Kemudian dicari nilai view factor-nya mengikuti urutan dari rumus yang ada di bawah ini.

𝑎 = 1+𝑥 1+𝑥 2 1+𝑌 2+𝑌 22

𝑏 = 𝑋 (1 + 𝑌 2)1/2 𝑡𝑎𝑛−1(1+𝑌 𝑋 2)1/2

𝑐 = 𝑌 (1 + 𝑋 2)1/2 𝑡𝑎𝑛−1(1+𝑋 𝑌 2)1/2

𝑑 = 𝑋 𝑡𝑎𝑛−1𝑋 − 𝑌 𝑡𝑎𝑛−1𝑌

Jika persamaan 2.21 sampai 2.24 telah di ketahui maka dapat di masukan ke persamaa 2.25 di bawah ini.

𝐹𝑖𝑗 = 2

𝜋𝑋 𝑌 𝑙𝑛 𝑎 + 𝑏 + 𝑐 − 𝑑

Sedangkan radiositas didefinisikan jumlah total emisivitas dan irradiasi yang terserap dari permukaan yang memancarkan radiasi. Radiositas dapat dtiuliskan menjadi:

𝐽𝑖 = 𝜀𝑖𝐸𝑏𝑖 + 1 + 𝜀𝑖 𝐺𝑖

Dengan εi adalah emisivitas benda dari sumber radiasi dan Gi adalah irradiasi yang mengenai permukaan sumber radiasi (W/m2). Hubungan view factor dengan perpindahan panas secara radiasi dapat dituliskan menjadi (Incropera dan Dewitt, 1996).

𝐹𝑖𝑗 = 𝑞𝑖𝑗 𝐴𝑖𝐽𝑖

(2.21)

(2.22)

(2.25)

(2.26)

(2.27) (2.24) (2.23)

(40)

Dengan, Fij adalah view factor dari permukaan i ke permukaan j, qij adalah perpindahan panas secara radiasi dari i ke j (W), Ai adalah luas permukaan i (m2) dan Ji adalah radiositas dari permukaan i

2.5. Laju Penguapan

Evaporasi secara umum dapat didefinisikan dalam dua kondisi, yaitu, evaporasi yang berarti proses penguapan yang terjadi secara alami dan evaporasi yang dimaknai dengan proses penguapan yang timbul akibat diberikan uap panas (steam) dalam suatu peralatan.

Evaporasi dapat diartikan sebagai proses penguapan dari pada liquid (cairan) dengan penambahan panas. Panas dapat disuplai dengan berbagai cara, diantaranya secara alami dan penambahan steam. Evaporasi didasarkan pada proses pendidihan secara intensif yaitu, pemberian panas ke dalam cairan, pembentukan gelembung-gelembung (bubbles) akibat uap, pemisahan uap dari cairan dan mengkondensasikan uapnya. Evaporasi atau penguapan juga dapat didefinisikan sebagai perpindahan kalor ke dalam zat cair mendidih. Evaporasi tidak sama dengan pengeringan, dalam evaporasi sisa penguapan adalah zat cair – kadang-kadang zat cair yang sangat vuskos – dan bukan zat padat. Perbedaan lainnya adalah, pada evaporasi cairan yang diuapkan dalam kuantitas relatif banyak, sedangkan pada pengeringan sedikit. Adapun 𝑞𝑒 dapat dicari dengan persamaan 2.28 di bawah ini (Tiwari, 2010).

Qe = 0.016kxvc Re. pr n. PTp − (γ. PTe)

Dimana 𝑘𝑣 adalah konduktifs termal sesuai suhu dalam kelvin, x adalah luas dibagi keliling, Re adalah nilai Reynold number, Pr adalah Prandtl number, dan P adalah nilai tekanan. Sedangkan Mev adalah massa awal dikurangi massa akhir produk dan dapat dirumuskan seperti persamaan 2.29 dibawah ini.

Mev =Qλe

(2.28)

(2.29)

(41)

Dimana λ yang digunakan adalah λ udara dan untuk mendapatkan hasil dari Qe maka perlu dicari nilai Reynold number, untuk itu dapat menggunakan persamaan 2.30 di bawah ini (Tiwari, 2010).

Re = Vav.Dh

a

Va adalah laju aliran udara, va adalah viskositas udara (Tiwari, 2010). Dan untuk mencari Dh dapat menggunakan persamaan berikut.

Dh = 2(W+D)4.W.D (2.31)

Dimana, D adalah jarak antara cover dan lantai yang di rata – rata dan W adalah lebar lantai pengering. Adapun untuk mencari nilai Qe dan Mev, terlebih dahulu mencari nilai Z untuk menghasilkan nilai C. Untuk mencari nilai z menggunakan persamaan sebagai berikut (Tiwari, 2010).

𝑍 = 0.016𝑥.λ𝑘𝑣 𝑝 𝑇𝑝 − 𝛾. 𝑝 𝑇𝑒 . 𝑡. 𝐴 (2.32)

maka persamaan 2.32. dapat di tuliskan dalam bentuk persamaan berikut :

𝐶(𝑅𝑒. Pr)n =M2ev (2.33)

Kemudian persamaan 2.32 di logaritma seperti pada persamaan 2.34 berikut.

ln 𝑀2𝑒𝑣 = ln 𝐶 + 𝑛 ln (𝑅𝑒. Pr) (2.34) Kemudian dicari analogi persamaan garis lurus dari persamaa 2.34 sehingga mendapatkan persamaan 2.35 di bawah ini (Tiwari, 2010).

𝑦 = 𝑏1. 𝑥 + 𝑏0 (2.35) (2.30)

(42)

Dimana y adalah ln 𝑀2𝑒𝑣 , 𝑏1 adalah 𝑛, 𝑥 adalah ln⁡(𝑅𝑒. Pr), 𝑏0 adalah ln C, C adalah 𝑒𝑏𝑜.

2.6. Efisiensi

2.6.1. Efisiensi Pengeringan

Efisiensi pengeringan adalah hasil perbandingan antara panas yang secara teoritis dibutuhkan dengan penggunaan panas yang sebenarnya dalam pengeringan dimana evaluasi ini lebih kepada proses pengeringan (Setiawan, 2008). Jumlah kalor (panas) yang digunakan untuk pengeringan dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

𝑄 = 𝑄1 + 𝑄2 + 𝑄3 (2.36) Dimana Q1 (jumlah panas yang digunakan untuk memanaskan bahan) didapat dari:

𝑄1 = 𝑚𝑘. 𝑐𝑝(𝑇𝑝 − 𝑇~) (2.37)

Q2 (Panas sensible air) yaitu panas yang digunakan untuk menaikkan suhu air di dalam bahan yang didapat dari rumus :

𝑄2 = 𝑚𝑎. 𝑐𝑎(𝑇𝑝 − 𝑇~) (2.38)

Q3 (Panas laten penguapan air) yaitu jumlah panas yang digunakan untuk menguapkan air bahan yang didapat dari :

𝑄3 = 𝑚𝑤. 𝑕𝑓𝑔 (2.39)

Untuk menentukan banyaknya kalor (panas) yang diberikan oleh udara panas pada bahan yang dikeringkan digunakan rumus sebagai berikut:

(43)

𝑞 = 𝜌. 𝑉. 𝑐𝑢(𝑇1− 𝑇2) (2.40)

Untuk menentukan efisiensi pengeringan dapat digunakan rumus :

𝜂 = 𝑄𝑞 𝑥 100 % (2.41) 2.6.2. Efisiensi pengering

Efisiensi pengering dievaluasi berdasarkan panas yang dihasilkan dalam rumah kaca, dimana jumlah kalor yang di gunakan di bagi dengan energi input.

Jumlah kalor (panas) yang digunakan :

𝑄 = 𝑄1 + 𝑄2 + 𝑄3 (2.42)

Energi input pada rumah kaca dapat di tuliskan dalam persamaan :

𝑄𝑖𝑛 = 𝐼(𝑡). 𝐴. 𝑡 (2.43)

Dimana ; 𝐼(𝑡) adalah rata – rata intensitas matahari, A adalah luas bak pengering dan t adalah waktu dalam menit (Setiawan, 2008).

2.7. Laju Pengeringan

Massa jagung yang diteliti setiap harinya ditimbang dengan timbangan analitik setiap harinya pada awal dan akhir proses pengeringan. Massa jagung awal yang akan diteliti sudah ditentukan terlebih dahulu yaitu 5 kg jagung pipilan.

Pengeringan di lakukan selama 9 (sembilan) jam setiap harinya dan ditimbang setiap jamnya untuk mengetahui laju pengeringan yang di hasilkan.

Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dipanaskan atau dikeringkan. Pada prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan dengan cara memanaskan atau mengeringkan, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan (Zulidar, 2011).

Untuk mencari pengurangan kadar air dari suatu bahan dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu menggunakan basis basah atau menggunakan basis

(44)

kering (Ekechukwe, 1997). Pengurangan air dengan menggunakan basis basah dapat dituliskan pada persamaan:

𝑀𝑤𝑏 = 𝑤0− 𝑤𝑑

𝑤0 𝑥100%

Sedangkan pengurangan dengan menggunakan basis kering dapat dituliskan menjadi :

𝑀𝑑𝑏 = 𝑤0− 𝑤𝑑

𝑤𝑑 𝑥100%

Dimana Mwb adalah Kadar air basis basah (%), w0 adalah Massa awal bahan (kg), wd adalah Massa akhir bahan (kg) dan Mdb adalah Kadar air basis kering (%)

2.8. Panas yang Tersimpan

Analisa panas yang tersimpan dilakukan dengan mengukur suhu pada alat pengering setelah proses pengeringan berlangsung yaitu, pada pukul 17.00 sampai dengan 22.00 WITA. Titik pengukuran panas yang tersimpan dilakukan pada 5 (lima) titik pengukuran yaitu pada atap bagian dalam, pada bak pengering, pada dinding bagian dalam, pada ruang pengering dan pada lingkungan sekitar.

2.9. Analisa Panas yang Berguna (𝑸𝒖) dan Panas yang Hilang (𝑸𝒍𝒐𝒔𝒔)

Panas yang berguna pada pengering rumah kaca dijabarkan dalam persamaan 2.46 berikut (Rosa, 2007).

𝑄𝑢 = 𝑣. 𝐶𝑃𝑐. (𝑇𝑜𝑢𝑡 − 𝑇𝑖𝑛) (2.46)

Dimana, 𝑄𝑢 adalah energi yang berguna (watt), 𝑣 adalah laju aliran udara didalam pengering (m/s).

(2.44)

(2.45)

(45)

Energi yang hilang dari pengering besarnya didapatkan dari nilai energi input dikurangi energi yang berguna. Energi input (𝑄𝑖𝑛) dicari menggunakan persamaan 2.47 berikut.

𝑄𝑖𝑛 = 𝑆. 𝐴𝑐. 𝑡 (2.47)

Dimana, t adalah waktu, 𝐴𝑐 adalah luas cover dan S adalah radiasi matahari yang diserap oleh kaca dihitung berdasarkan persamaan berikut

𝑆 = 𝜏. 𝛼. 𝐼𝑡 (2.48)

Dimana 𝜏 adalah transmissivitas kaca, 𝛼 adalah absorptivitas kaca dan 𝐼𝑡 adalah intensitas matahari (W/m²).

Energi yang hilang adalah energi berupa panas yang lepas ke lingkungan akibat losses-losses dari dalam pengering. Adapun persamaan yang umum digunakan untuk mencari 𝑄𝑙𝑜𝑠𝑠 adalah sebagai berikut (Rosa, 2007).

𝑄𝑙𝑜𝑠𝑠 = 𝑄𝑖𝑛 − 𝑄𝑢𝑠𝑒𝑓𝑢𝑙 (2.49)

Analisa Panas Hilang (𝑄𝑙𝑜𝑠𝑠) pada pengering ini meliputi rugi panas melalui bagian atas, rugi panas melalui bagian samping, rugi panas melalui bagian bawah dan rugi panas melalui bagian depan pengering ERK. Adapun untuk menentukan rugi panas pada pengering dengan menggunakan persamaan 2.50 berikut. (Rosa, 2007)

𝑈𝑎 = 𝐴𝑎. 𝑅𝑘+𝑅𝑅𝑐.𝑅𝑟

𝑐+𝑅𝑟

−1. 𝑇𝑇𝑎−𝑇𝑐

𝑎−𝑇𝑎𝑚 (2.50) Untuk mencari 𝑅𝑘, 𝑅𝑐, dan 𝑅𝑟 dengan menggunakan persamaan 2.51 sampai dengan 2.53 dibawah ini.

𝑅𝑘 =𝑡𝑘𝑐 (2.51)

Gambar

Gambar 2.1 Penjemuran tradisional
Gambar  2.6  Pengering  rumah  kaca  dengan  konveksi  paksa:  (a)  tampilan  muka,    (b) tampilan plant, dan (c) skema operasi (Condori, dkk., 2001)
Gambar 2.11 Pengering rumah kaca hybrid  (Triwahyudi Sigit)
Gambar 2.13 Diagram perpindahan panas dan massa dalam pengering ERK      (Nelwan 1997)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas dalam meningkatkan motivasi belajar dalam pembelajaran IPA pada siswa kelas VI SD Negeri Kliwonan 2 tahun ajaran 2014/2015

Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu dari status sosial tertentu ke status sosial yang tidak sederajat.. Sedangkan mobilitas sosial horizontal adalah

Pengaruh Persepsi Kualitas Terhadap Niat Beli Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda dalam penelitian ini, diperoleh hasil yang menunjukkan adanya pengaruh positif

[r]

Analisa peramalan curah hujan Kota Samarinda, Kalimantan Timur dengan menggunakan metode Adaptive Neuro Fuzzy Inference System (ANFIS) telah diimplementasikan.. Hal

Bagi penulis, konsep pengambilan makna dari Tembang Macapat ini nantinya akan memiliki dampak positif di masyarakat (pegiat musik), selain memperkenalkan budaya dengan konsep

Pada sampel campuran stronsium ferrite dengan komposisi pasir magnet lebih dari 30% memiliki ketahanan kuat tekan relatif baik dengan nilai lebih dari 500

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa liturgi GKJ yang telah dibangun belum diletakkan pada kenyataan pergumulan dan harapan umat di