113 Abstract : Narcotics cases are cases of extraordinary crimes (Extraordinary Crime) which are of concern to all countries in the world, because narcotics can damage a generation of nations from a country. During the Corona Virus Disease pandemic or commonly abbreviated as the acronym COVID-19. The type of research used in this research is normative juridical with a statutory and conceptual approach. This Restorative Justice can only be applied to addicts, abusers, drug dependence, victims of abuse, and narcotics for one day use. Restorative Justice can be applied if it meets the requirements, namely when caught red-handed by Polri investigators and/or National Narcotics Agency (BNN) investigators found evidence of one-day use and also has the results of an assessment from the Integrated Assessment Team for each case file transfer.
Keywords: Criminal Law Policy, Narcotics, Restorative Justice
Abstrak : Perkara narkotika merupakan perkara atas kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang menjadi perhatian seluruh negara di dunia, karena narkotika dapat merusak satu generasi bangsa dari suatu negara. Di masa pandemi Corona Virus Disease atau yang biasa disingkat dengan akronim COVID-19. Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Restorative Justice ini hanya dapat diterapkan pada pecandu, penyalahguna, ketergantungan narkotika, korban penyalahgunaan, dan narkotika pemakaian satu hari. Restorative Justice dapat diterapkan bila memenuhi syarat yakni saat tertangkap tangan oleh penyidik Polri dan/atau penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) ditemukan barang bukti pemakaian satu hari dan juga memiliki hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu pada setiap pelimpahan berkas perkara.
Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, Narkotika, Restoratif Justice
Pendahuluan
Perkembangan narkotika di Negara Indonesia sudah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan.
Seperti yang kita ketahui Narkotika tidak hanya beredar di kota-kota yang berdominan mempunyai pendapatan yang besar tetapi juga sudah beredar di pedesaan dan pelakunya tidak hanya orang dewasa namun juga suda meluas ke semua masyarakat mulai dari pelajar, mahasiswa, wiraswasta, pejabat, hingga sampai ke anak-anak yang terbilang belum cukup umur1.1 Perkara narkotika merupakan perkara atas kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang menjadi perhatian seluruh negara di dunia, karena narkotika dapat merusak satu generasi bangsa dari suatu negara. Di masa pandemi Corona Virus Disease atau yang biasa disingkat dengan akronim
1 Defrito Bima Oktavio,”Peranan BNN Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Golongan 1 Yang Dilakukan Oleh Anak,”Konferensi Ilmiah Mahasiswa Unissula(Oktober 2019).hlm 276. Di akses pada http://lppmunissula.com/jurnal.unissula.ac.id/ind ex.php/kimuh/article/view/8825
COVID-192.
Dalam pers rilisnya, BNN mengungkapan data dari World Drug Report UNODC tahun 2020 : “tercatat sekitar 269 juta orang di dunia menyalahgunakan narkoba (penelitian tahun 2018). Jumlah tersebut 30% lebih banyak dari tahun 2009 dengan jumlah pecandu narkoba tercatat lebih dari 35 juta orang. UNODC juga merilis adanya fenomena global dimana sampai dengan Desember 2019 telah dilaporkan adanya penambahan temuan zat baru lebih dari 950 jenis. Sementara di Indonesia, berdasarkan data Pusat Laboratorium BNN sampai dengan saat ini sebanyak 83 New Psychoactive Substances (NPS) telah berhasil terdeteksi, dimana 73 NPS diantaranya telah masuk dalam Peraturan Menteri KesehatanRepublik Indonesia Nomor 22 Tahun 20203.
2 COVID-19 atau Coronavirus Disease 2019 adalah penyakit baru yang diumumkan World Health Organization (WHO) pada 11 Februari 2020 yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2).
3 Badan Narkotika Nasional, Press Release Akhir Tahun 2020 : Sikap BNN Tegas, Wujudkan Indonesia Bebas Dari Narkoba, diakses dari KEBIJAKAN HUKUM PIDANA PADA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
DALAM PERSPEKTIF RESTORATIF JUSTICE
Prima Sandika, Mas Agus Priyambodo Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Jl. Kramat Raya No. 25, Senen-Jakarta Jakarta Pusat Provinsi D.K.I. Jakarta e-mail : [email protected], [email protected]
114 Seringkali kita berpikiran bahwa
saat berhadapan dengan perkara narkotika, sistem peradilan pidana menjadi perangkat hukum yang dapat digunakan dalam menanggulangi perkara narkotika. Tetapi, sistem peradilan pidana berbeda dengan hukum acara pidana. Andi Hamzah berpendapat bahwa4:4
“hukum acara pidana di satu pihak dan sistem peradilan pidana di lain pihak sangat berbeda ruang lingkupnya. Kalau hukum acara pidana hanya tentang hukumnya, sementara sistem peradilan pidana lebih luas, juga meliputi yangbukan hukum.”
Salah satunya terkait pelaksanaan pembinaan narapidana yang dilakukan lapas sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa :
“sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat”.
Namun dalam perkembangannya, pembinaan yang dilakukan tersebut menjadi tidak optimal karena kompleksnya permasalahan yang terjadi di dalam Lapas. Salah satunya adalah masalah kelebihan daya tampung (Overcrowding). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, per tanggal 31 Maret 2020, jumlah tahanan dan warga binaan di seluruh Lapas dan Rumah Tahanan di Indonesia sebanyak 270.351 orang. Jumlah tersebut jauh melebihi kapasitas ideal yang dapat ditampung oleh Lapas dan Rutan seluruhnya yang
https://bnn.go.id/press-release-akhir-tahun-2020/, diakses pada 2 April 2021, jam 12.10 WIB
4 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2019, p.3
hanya 131.931 orang5.5
Penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif harus memenuhi persyaratan umum dan khusus. Persyaratan umum berlaku untuk kegiatan menjalankan fungsi Reserse Kriminal, penyidikan, atau penyidikan, sedangkan persyaratan khusus hanya berlaku bagi tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif dalam kegiatan penyidikan atau penyidikan. Dewasa ini tindak pidana narkoba telah bersifat transnasional dengan disertai cara-cara melakukannya melalui teknologi yang canggih. Aparat penegak hukum harapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa6.
Akibat dari adanya Overcrowding tersebut antara lain berdampak pada buruknya kondisi kesehatan dan suasana psikologis warga binaan dan tahanan, mudahnya terjadi konflik antar penghuni Lapas, pembinaan menjadi tidak optimal dan tidak berjalan sesuai ketentuan serta terjadi pembengkakan anggaran akibat meningkatnya konsumsi air, listrik, dan bahan makanan. Puncaknya, terjadinya kerusuhan dan kasus pelarian warga binaan dan tahanan karena pengawasan yang tidak maksimal akibat dari tidak seimbangnya jumlah penjaga tahanan atau petugas pemasyarakatan dengan penghuni Lapas7.
Pemerintahan Indonesia membentuk badan yang diberikan tugas
5 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Meretas Kebijakan Asimilasi Bagi Narapidana, diakses dari http://www.ditjenpas.go.id/meretas- kebijakan- asimilasi-bagi-narapidana, diakses pada 22 Maret 2021, jam 16.40 WIB.
6 Andi Hamzah, Kejahatan Narkotika Dan Psikotropika (Jakarta: Sinar Grafika, 1994).hal.15
7 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Meretas Kebijakan Asimilasi Bagi Narapidana, diakses dari http://www.ditjenpas.go.id/meretas- kebijakan- asimilasi-bagi-narapidana, diakses pada 22 Maret 2021, jam 16.40 WIB.
115 khusus untuk menangani kasus
penyalahgunaan narkotika yang sering disebut dengan Badan Narkotika Nasional . BNN dapat diartikan sebagai Lembaga pemerintahan yang tidak termasuk kementrian Indonesia dimana badan ini mempunyai tugas dibidang pencegahan dan pemberantasan narkotika8. Badan inilah yang harus bertanggungjawab dengan adanya permasalahan Narkotika di Indonesia, dimana badan ini dibentuk di setiap Provinsi diseluruh Indonesia.
Menurut Imran, Kedudukan BNN merupakan Lembaga pemerintah non kementrian yang berkedudukan di bawah presiden dan bertangguung jawab kepada presiden. BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Indonesia. Dalam Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika diatur bahwa kedudukan BNN Provinsi dan BNN Kabupaten/Kota merupakan instansi vertikal. 5 Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia berada di zona yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan data yang ada di Badan Narkotika Nasional tentang Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika Di Indonesia9.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Dimana kerangka formal sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berupa proses pra peradilan atau tahapan (pre- trial process). Proses ini dimulai dari sebuah input, yang kemudian diproses (process), lalu menghasilkan sebuah output. Masukkan terhadap suatu kasus dimulai dari laporan yang
8 Esy Karsono, Mengenal Kecanduan Narkoba atau Minuman Keras, (Jakarta : Yrama Widya,2004), hal.6
9 Vivtor Ziliwu,”Penegakkan Hukum Terhadap Pengguna Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Polresta Medan,”(Tesis Magister Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015),hlm 2. Di akses pada https://www.neliti.com/publications/14298/pene gakan-hukum-pidanaterhadap- pengguna- narkotika-sebagai-pelaku-tindak-pidana
disampaikan kepada polisi dan atau kasus yang ditemukan oleh polisi itu sendiri.
Proses yang dilakukan Polri akan menghasilkan output, apakah akan diselesaikan di Polri atau diserahkan ke Kejaksaan Negeri (JPU) untuk diajukan ke persidangan. Jika kasusnya diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum, output dari Kepolisian akan menjadi masukan bagi Jaksa Penuntut Umum. Demikian seterusnya, proses dalam sistem peradilan pidana terus berlangsung, sampai ada suatu putusan inkracht dan sampai terpidana selesai menjalani hukumannya dan kembali ke masyarakat10.
Rumusan Masalah
Bagaimana kebijakan hukum pidana pada tindak pidana Narkotika dalam Perspektif Restoratif Justice .
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan kebijakan hukum pidana pada tindak pidana Narkotika dalam Perspektif Restoratif Justice .
Metode Penulisan
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
Pembahasan
Rasa keadilan masyarakat seringkali terusik karena cara penegakan hukum pidana yang sangat formalistik. Yang mana dalam praktik penegakan hukumnya menempatkan prosedur menjadi dasar legalitas untuk menegakkan keadilan, bahkan lebih penting dari keadilan itu sendiri. Padahal saat ini masyarakat merasa aparatur penegak hukum perlu menjalankan penegakan hukum pidana denganmelakukan seleksi perkara seperti tindak pidana ringan, perkara anak dan perempuan yang berhadapan dengan hukum, serta perkara penyalahgunaan narkotika yang seringkali mengundang
10 I Made Tambir, “Pendekatan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Di Tingkat Penyidikan,” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 8, no. 4 (2019): 549–74.
116 reaksi masyarakat secara luas.
Dalam hal perkara narkotika, Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengamanatkan:
“Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, serta hakim dalam memutus perkara penyalahguna narkotika wajib memperhatikan ketentuan Pasal 127 Ayat (2) dan Ayat (3).”
Kemudian, adanya fakta bahwa jumlah pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana dalam tindak pidana narkotika semakin meningkat serta upaya pengobatan dan/atau perawatannya belum dilakukan secara optimal dan terpadu. Padahal, dalam penjelasan Pasal 21 Ayat (4) Huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan.
Rufinus Hutauruk menyatakan bahwa “Restorative Justice menitikberatkan pada proses pertanggungjawaban pidana secara langsung dari pelaku kepada korban dan masyarakat. Jika pelaku dan korban serta masyarakat yang dilanggar hak-haknya merasa telah tercapainya suatu keadilan melalui usaha musyawarah bersama, maka harapannya penyelenggaraan pemidanaan dapat dihindari. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku bukannlah objek utama dari pendekatan Restorative Justice, melainkan rasa keadilan serta pemulihan konflik itu sendirilah yang menjadi objek utamanya”11.
Pengaturan Restorative Justice selama ini telah diatur dalam berbagai peraturan antara lain:
1) Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor
11 Rufinus Hutahuruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013), h. 106-107.
SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana;
2) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesiia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif;
3) Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 01/PB/MA/111/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor Per005/A/JA/03/2014, Nomor 1
Tahun 2014, Nomor
Perber/01/111/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi;
4) Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) di lingkungan Peradilan Umum pada 22 Desember 2020.
5) Peraturan Bersama Tahun 2014 Tentang Penanganan Pecandu
Narkotika Dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.
6) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
7) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Keadilan Restoratif.
Berdasarkan hal tersebut, ternyata Negara mulai memikirkan bagaimana mengambil langkah-langkah yang dapat memulihkan dan/atau mengembangkan fisik, mental, dan sosial tersangka, terdakwa, atau narapidana kasus
117 narkotika yang dilakukan dengan
pengobatan, perawatan dan program pemulihan dengan menerbitkan Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 01/PB/MA/111/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor
Per005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/111/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (disingkat
“Peraturan Bersama” mulai berlaku sejak tanggal 11 Maret 2014).
Penerapan Restorative Justice akan menimbulkan pergeseran arah pemidanaan dan tujuan pemidanaan yang bersifat menghukum atau balas dendam dengan cara mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang dilakukan menjadi suatu penyelesaian yang lebih menekankan pada usaha untuk menyembuhkan/memulihkan pada keadaan semula sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Untuk mewujudkan suatu keadilan restoratif dalam rangka penegakan hukum di Indonesia diperlukan peran masyarakat yang tidak hanya menjadi objek dari hukum itu sendiri tetapi berperan aktif dalam penegakan hukum12. Tujuan penegakan hukum adalah untuk membangun kepercayaan masyarakat umum terhadap hukum dengan menunjukkan bahwa hukum secara luas peduli akan harapan masyarakat.
Penghargaan nilai moral individu seseorang oleh hukum memberi ruang yang lebih luas terhadap moral mereka untuk melaksanakan aturan hukum secara sukarela. Dalam hal ini, kaitannya dengan diversi sebagai upaya mengurangi penggunaan kekuatan hukum, berusaha menyelesaikan dan mengakhiri konflik.
PERMA Nomor 4 Tahun 2014 menyebutkan perlu dilakukan
12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 181.
musyawarah yang melibatkan beberapa unsur untuk mencapai suatu keadilan Restoratif, Restorative Justice dapat dilakukan dengan cara musyawarah diversi antara pelaku dan korban, reparasi pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak, konferensi korban-pelaku yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya)”13. Politik Hukum Nasional masih mengedepankan unsur penghukuman dan pemidanaan (penjara) terhadap semua tersangka kasus narkoba termasuk kepada penyalah guna narkoba. Kondisi over crowded Lembaga Pemasyarakatan mencapai 186%. Jumlah warga binaan 252.384 orang sementara kapasitas yang tersedia hanya untuk 135,704 orang. Lebih dari 50% penghuni terkait dengan kasus narkoba. RPJMN 2020-2024 perbaikan sistem hukum pidana melalui pendekatan keadilan restoratif. Hal ini yang mendorong adanya reorientasi kebijakan penegakan hukum dan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika14.
Selain itu tentang narkotika penanganan penyalahgunaan narkotika dilakukan dengan dua metode yaitu prevention without punishment melalui wajib lapor pecandu dan implementasi penegakan hukum rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif.
Restorative Justice (keadilan restoratif), merupakan model pendekatan penyelesaian perkara pidana dimana semua pihak yang berkepentingan dalam perkara tersebut bertemu bersama untuk menyelesaikan secara adil dengan menekankan pengembalian seperti keadaan semula dan bukan pembalasan.
13 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 180.
14 Tri Sulistya HW, “Rehabilitasi Bagi Pengguna Narkoba Dalam Implementasi Restorative Justice,” yogyakarta.bnn.go.id, 2021, https://yogyakarta.bnn.go.id/rehabilitasi-bagi- penyalahguna- narkoba-dalamimplementasi- restorative-justice/.
118 Implementasi dari keadilan restoratif
adalah dengan mencari alternatif
pemidanaan dengan tidak
mengedepankan pemenjaraan. Pasal 54 Undang- Undang Nomor 35 tahun 2009 menyebutkan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Perkara penyalahgunaan narkotika adalah perkara menggunakan narkotika untuk dikonsumsi dengan jumlah kepemilikan narkotika terbatas untuk sehari pakai. Gramasinya ditentukan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010. Pasal 4 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyebutkan, dimana penempatan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi, selain itu juga harus diperhatikan juga pada Pasal 127 serta SEMA No 4 Tahun 201015. tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Sosial, yang merupakan Pedoman Hukum untuk pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam Lembaga rehabilitasi16. Peranan aparat penegak hukum maupun lembaga yang berwenang dalam menangani Kasus Tindak Pidana Narkotika menjadi sangat penting dengan diterapkannya Keadilan Restoratif khususnya bagi pelaku dan korban penyalahgunaan narkotika itu sendiri karena dari peranan mereka bisa mencinptakan suatu rekomendasi sehingga dapat menjadi pertimbangan hakim. Pada dasarnya pemberian rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika itu sendiri harus melalui putusan hakim terlebih
15 Indonesia, Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Sosial, Sema No. 4 Tahun 2010, Ps. 1
16 Nurul Huda,” Asasmen Terpadu : Penerapan Restorative Justice Penanggulangan Kejahatan Di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum(Februari 2020). Di akses Pada https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebij akan/article/view/582 , pada tanggal 25 Agustus 2021, pukul 20.00 WIB.hlm 112.
dahulu17.17Kewajiban penyidik dan penuntu untuk melakukan penyidikan dan penuntutan secara ilmiah apakah penyalah guna berpredikat sebagai pecandu atau pecandu merangkap pengedar. Syarat Restorative Justice dalam Tindak Pidana Narkotika:
1) Orang tua/wali/penjamin yang membuat pernyataan pertanggungan berobat jalan
2) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahguna dan Pecandu Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial
3) Tidak terlibat dalam jaringan narkotika 4) Urin positif
5) Status jelas (PNS / Pegawai) ditanggung institusi
6) Bukan residivis (tidak terlibat Tindak pidana narkotika) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
7) Posisi hukum dalam peran peristiwa tindak pidana narkotika
8) Pelaku terkategori anak sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 5,6 dan 7 Tentang Diversi. Persyaratan tambahan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif untuk tindak pidana narkoba, meliputi:
Pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba yang mengajukan rehabilitasi;
1) Pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti narkotika pemakaian 1 (satu) hari dengan penggolongan narkotika dan psikotropika sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan tidak ditemukan barang bukti tindak pidana narkoba namun hasil tes urine menunjukkan positif narkoba;
2) Tidak terlibat dalam jaringan tindak pidana narkoba, pengedar, dan/atau bandar;
3) Telah dilaksanakan asesmen oleh tim
17 Ibid.hlm.9
119 asesmen terpadu;
4) Pelaku bersedia bekerja sama dengan penyidik polri untuk melakukan penyelidikan.
Beberapa hambatan yang dapat timbul dalam penerapan restorative justice :
1) Kesulitan mempertemukan keseimbangan pelbagai kepentingan pihak-pihak (pelaku, korban, masyarakat dan Negara);
2) Ketidaktaatan terhadap pedoman dan asas-asas dasar yang telah dirumuskan atasdasar prinsip
3) Perasaan korban yang merasa mengalami karena merasa ditekan;
4) Percobaan dari sistem peradilan pidan aformal untuk mengambil alih gerakan keadilan restoratif dengan alasan agar sesuai dengan sistem tradisional yang ada beserta birokrasinya;
5) Penerapan keadilan restoratif harus dilakukan secara sistematik dengan terlebih dahulu memantapkan sistem hukum yang mendasari, baik struktur substansi maupun yang akan terlibat langsung.
Prinsip utama dari diversi dan Restorative Justice adalah menghindarkan pelaku tindak pidana dari sistem peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan pelaku menjalankan sanksi alternatif tanpa pidana penjara. Terkait pemaparan mengenai tujuan pemidanaan dengan konsep restorative justice, dapat dilihat beberapa pendapat sarjana yaitu Barda Nawawi Arief yang menyebutkan bahwa
”syarat pemidanaan ada dua hal yang fundamental yaitu asas legalitas dan asas kesalahan, dengan kata lain pemidanaan berhubungan erat dengan dengan pokok pikiran mengenai tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana18.
Penerapan Restorative Justice ini hanya diberlakukan dalam proses penyelesaian tindak pidana ringan, perkara anak, perempuan yang
18 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 88.
berhadapan dengan hokum, dan perkara narkotika. Khusus untuk perkara narkotika, penerapan Restorative Justice ini hanya dapat diterapkan pada pecandu, penyalahguna, ketergantungan narkotika, korban penyalahgunaan, dan narkotika pemakaian satu hari19.19 Menurut Cicero, adanya hukum itu harus bertumpu pada rasa hormat dan adanya perlindungan bagi kesejahteraan martabat manusia. Keadilan restoratif merupakan hal yang sudah ada di Indonesia, dimana keadilan ini memiliki cara pandang yang tidak sama dengan yang lain20.20 Konsep Keadilan restoratif dapat diartikan sebagai dimana pendekatan yang menitikberatkan pada keadaan yang dapat menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi pelaku mancakup juga sebagai korbannya sendiri. Restorative Justice itu juga mempunyai arti sebagai “Keadilan yang Merestorasi” artinya dimana didalam suatu proses pengadilan pidana dikenal dengan adanya ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi mempunyai arti yang sangat luas, maksudnya Restorasi ini dapat dijadikan sebagai tolak ukur atau jalur pengobatan hubungan antara kedua belah pihak.
Namun adanya persetujuan atau kesepakatan bersama itulah yang menjadi kunci utamanya21.
Menurut Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tanggal 22 Desember 2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Restorative Justice Di lingkungan Peradilan Umum,
19 Haposan Sahala Raja Sinaga, “Penerapan Restorative Justice Dalam Perkaraa Narkotika Di Indonesia,” Jurnal Hukum Lex Generalis (Juli 2021), hlm. 536.
20 Citra Permata Sari,”Pendekatan Restoratif Dalam Penjatuhan Sanksi Tindakan Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum,”(Tesis Magister Universitas Hassanuddin Makassar,2018),hlm 10.
21 Rospita Adelina Siregar,”Restorative Justice Bagi Terpidana Pemakai Narkorika Golongan 1,” Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia(April 2021), hal.15
120 Restorative Justice wajib berlaku dan
diterapkan oleh seluruh pengadilan negeri di Indonesia terutama dalam hal penyelesaian perkara dalam tindak pidana ringan, perkara anak, perempuan yang berhadapan dengan hukum dan perkara narkotika. Penerapan Restorative Justice dalam perkara narkotika bisa dilakukan selamadapat dikategorikan sebagai pecandu, penyalahguna, korban penyalahgunaan, ketergantungan narkotika, & narkotika pemakaian satu hari sebagaimana diatur di Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 01/PB/MA/111/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor Per005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/111/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (disingkat
“Peraturan Bersama” mulai berlaku sejak tanggal 11 Maret 2014).
Kesimpulan
Restorative Justice ini hanya dapat diterapkan pada pecandu, penyalahguna, ketergantungan narkotika, korban penyalahgunaan, dan narkotika pemakaian satu hari. Restorative Justice dapat diterapkan bila memenuhi syarat yakni saat tertangkap tangan oleh penyidik Polri dan/atau penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) ditemukan barang bukti pemakaian satu hari dan juga memiliki hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu pada setiap pelimpahan berkas perkara. Diharapkan dengan adanya alternatif penyelesaian perkara melalui Restorative Justice ini dapat mewujudkan asas-asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan dengan keadilan seimbang. Kedepannya hanya tinggal menunggu pada tataran implementasi dari lingkup aparat penegak hukum agar lebih memahami dan dapat menerapkan upaya Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana
sebagai salah satu solusi menyelesaikan permasalahan Overcrowding di lembaga permasyarakatan (Lapas) dan menjadi alternatif penyelesaian perkara pidana yangselama ini terlalu bersifat formalistik dan positivistik.
Daftar Pustaka
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2019, p.3
Andi Hamzah, Kejahatan Narkotika Dan Psikotropika (Jakarta: Sinar Grafika, 1994).hal.15
Badan Narkotika Nasional, Press Release Akhir Tahun 2020 : Sikap BNN Tegas, Wujudkan Indonesia Bebas Dari Narkoba, diakses dari https://bnn.go.id/press-release- akhir-tahun- 2020/, diakses pada 2 April 2021, jam 12.10 WIB
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 88.
Citra Permata Sari,”Pendekatan Restoratif Dalam Penjatuhan Sanksi Tindakan Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum,”(Tesis Magister Universitas Hassanuddin Makassar,2018),hlm 10.
COVID-19 atau Coronavirus Disease 2019 adalah penyakit baru yang diumumkan World Health Organization (WHO) pada 11 Februari 2020 yang disebabkan oleh virus Severe Acute
Respiratory Syndrome
Coronavirus-2 (SARS-CoV-2).
Defrito Bima Oktavio,”Peranan BNN Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Golongan 1 Yang Dilakukan Oleh Anak,”Konferensi
Ilmiah Mahasiswa
Unissula(Oktober 2019).hlm 276.
Di akses pada
http://lppmunissula.com/jurnal.unis sula.ac.id/index.php/kimuh/articl e/view/8825
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Meretas Kebijakan Asimilasi Bagi Narapidana, diakses
121 dari
http://www.ditjenpas.go.id/mereta s- kebijakan- asimilasi-bagi- narapidana, diakses pada 22 Maret 2021, jam 16.40 WIB.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Meretas Kebijakan Asimilasi Bagi Narapidana, diakses dari
http://www.ditjenpas.go.id/mereta s- kebijakan- asimilasi-bagi- narapidana, diakses pada 22 Maret 2021, jam 16.40 WIB.
Esy Karsono, Mengenal Kecanduan Narkoba atau Minuman Keras, (Jakarta : Yrama Widya,2004), hal.6 Haposan Sahala Raja Sinaga, “Penerapan Restorative Justice Dalam Perkaraa Narkotika Di Indonesia,” Jurnal Hukum Lex Generalis (Juli 2021), hlm. 536.
I Made Tambir, “Pendekatan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Di Tingkat Penyidikan,”
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 8, no. 4 (2019): 549–74.
Indonesia, Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Sosial, Sema No. 4 Tahun 2010, Ps. 1.
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 180.
Nurul Huda,” Asasmen Terpadu : Penerapan Restorative Justice Penanggulangan Kejahatan Di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum(Februari 2020). Di akses Pada
https://ejournal.balitbangham.go.i d/index.php/kebijakan/article/view/
582 , pada tanggal 25 Agustus 2021, pukul 20.00 WIB.hlm 112.
Rospita Adelina Siregar,”Restorative Justice Bagi Terpidana Pemakai Narkorika Golongan 1,” Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia(April
2021), hal.15
Rufinus Hutahuruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 106-107.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h.181.
Tri Sulistya HW, “Rehabilitasi Bagi Pengguna Narkoba Dalam Implementas Restorative Justice,”
yogyakarta.bnn.go.id, 2021, https://yogyakarta.bnn.go.id/rehab ilitasi-bagi-penyalahguna- narkoba- dalamimplementasi-restorative- justice/.
Vivtor Ziliwu,”Penegakkan Hukum Terhadap Pengguna Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Polresta Medan,”(Tesis Magister Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015),hlm 2. Di akses pada https://www.neliti.com/publication s/14298/penegakan-hukum- pidanaterhadap-pengguna- narkotika-sebagai-pelaku-tindak- pidana.