• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pengaruh Suhu dan Waktu Pirolisis Biochar Bambu Betung (Dendrocalamus asper)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Evaluasi Pengaruh Suhu dan Waktu Pirolisis Biochar Bambu Betung (Dendrocalamus asper)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Evaluasi Pengaruh Suhu dan Waktu Pirolisis Biochar Bambu Betung (Dendrocalamus asper)

Andi Asmunandar1*, Fadjar Goembira2, Slamet Raharjo3, Rati Yuliarningsih4

1,2,3,4Program Studi Magister Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Andalas, Padang, Indonesia

*Koresponden email: [email protected]

Diterima: 11 Desember 2022 Disetujui: 23 Desember 2022

Abstract

The energy security crisis and environmental pollution from the excessive use of fossil fuels are contributing to the urgent search for renewable energy resources. The crisis of shortage of fossil fuels is anticipated by using alternative fuels derived from renewable biomass. In Sawahlunto Sumatera Barat province, there is one biomass potential, namely Betung Bamboo (Dendrocalamus asper) which is used as an energy generator from former mining pits. This study aims to evaluate the pyrolysis biochar from Betung Bamboo with optimum temperature and time. In the biochar process, the decomposition of organic matter produces solid materials in the form of activated charcoal, gases and vapors and aerosols. Research to determine the optimum conditions for making biochar from Betung Bamboo has a temperature variable of 400, 500, 600, 700 and 800 oC and a time variable of 30, 45 and 60 minutes. The results of carbonization were analyzed for calorific value, volatile matter content, bound carbon content, moisture content and ash content. bound carbon content The results showed that the best parameters were obtained at 600 oC and 30 minutes, calorific value 7100 cal/g, moisture content value 4.7%, ash content value 5.73%, volatile matter content. content value of 4.7% and bonded carbon value of 78.09%. All of these parameter results meet the quality standard values of SNI 01-6235-2000, which indicates that Bambu Betung biochar has the potential to be used as a renewable alternative fuel.

Keywords: bamboo, energy plant, carbonization, biochar, pyrolysis

Abstrak

Krisis keamanan energi dan pencemaran lingkungan dari penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan berkontribusi pada pencarian sumber daya energi terbarukan yang mendesak. Krisis kekurangan bahan bakar fosil diantisipasi dengan menggunakan bahan bakar alternatif yang bersumber dari biomassa terbarukan. Di Sawahlunto Sumatera Barat, terdapat satu potensi biomassa yaitu Bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang dimanfaatkan sebagai pembangkit energi bekas lubang tambang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi biochar dari Bambu Betung hasil pirolisis dengan suhu dan waktu optimum. Pada proses biochar, dekomposisi bahan organik menghasilkan bahan padat berupa arang aktif, gas dan uap serta aerosol. Penelitian untuk menentukan kondisi optimum pembuatan biochar dari Bambu Betung memiliki variabel suhu 400, 500, 600, 700 dan 800 oC dan variabel waktu 30, 45 dan 60 menit.

Hasil karbonisasi dianalisis nilai kalor, kadar zat terbang, kadar karbon terikat, kadar air dan kadar abu.

kadar karbon terikat Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter terbaik diperoleh pada suhu 600 oC dan waktu 30 menit, nilai kalor 7100 kal/g, nilai kadar air 4,7%, nilai kadar abu 5,73%, kadar zat terbang.

nilai kandungan 4,7% dan nilai karbon terikat 78,09%. Semua hasil parameter tersebut memenuhi nilai baku mutu SNI 01-6235-2000, yang menunjukkan bahwa biochar Bambu Betung berpotensi untuk digunakan sebagai bahan bakar alternatif terbarukan.

Kata Kunci: bambu, pabrik energi, karbonisasi, biochar, pirolisis

1. Pendahuluan

Sumber daya bahan bakar fosil pada akhirnya lama kelamaan akan habis sedangkan harga minyak mentah internasional dari tahun ketahun semakin meningkat. Konsumsi bahan bakar fosil yang berlebihan juga membuat masalah lingkungan seperti perubahan iklim dan pemanasan global. Oleh karena itu, banyak negara secara aktif mencari sumber energi alternatif. Biomassa merupakan alternatif yang baik yang dapat mengurangi dampak krisis energi dan masalah lingkungan karena karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan selama pemanfaatan biomassa ini merupakan bagian integral dari siklus karbon, sehingga dianggap sebagai jenis bahan bakar karbon netral. Posisi kota Sawahlunto secara geografis terletak pada 100°41’59” – 100°49’60” Bujur Timur dan 00°33’40” – 00°48’33” Lintang Selatan. Total luas wilayah sebesar 273,45 km2. Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, sebutan kota Sawalunto lebih dikenal sebagai kota

(2)

e-ISSN : 2541-1934

tambang batu bara. Revegetasi lahan bekas tambang di Sawahlunto adalah upaya mereklamasi lahan supaya lahan dapat tertutup kembali oleh vegetasi dan tidak mudah tererosi oleh air hujan.

Sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan Menteri ESDM Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010, menjelaskan bahwa area bekas pertambangan harus melakukan kegiatan reklamasi paska penambangan yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi atau keadaan lahan yang dilakukan penambangan sesuai dengan peruntukannya. Di sekitar daerah Sawahlunto, terdapat salah satu potensi tanaman yang cocok ditanam sebagai tanaman reklamasi dan juga dapat digunakan menjadi biomassa sebagai bahan bakar energi terbarukan yaitu Bambu Betung. Bambu Betung (Dendrocalamus Asper) merupakan sejenis tanaman bambu yang mempunyai ciri-ciri ukuran lingkar batang yang besar dan dimasukkan kedalam kategori suku rumput-rumputan (gramineae) dengan gugusan berbentuk rumpun (sympodial) dan berkelompok-kelompok dalam satu rumpun.

Gambar 1. Bambu Betung Sumber : [1]

Bambu merupakan jenis tanaman yang pertumbuhannya cepat, mudah dipelihara, dan diperbaharui, sehingga lebih ramah lingkungan (environmentally friendly). Komposisi kimia Bambu Betung dari penelitian sebelumnya meliputi kadar selulosa, lignin, silika, pentosan, dan abu. Kadar selulosa yang terkandung dalam bambu berkisar antara 42,4 – 53,6%, dengan kandungan lignin antara 19,8 – 26,6%, kadar abu 1,24 – 3,77%, kandungan pentosan 1,24 – 3,77%, dan serta kandungan silika 0,1 – 1.78% [2].

Potensi yang diperoleh dengan pemberdayaan kebun bambu dapat mencegah potensi terjadinya longsor, bencana banjir, dan erosi tanah. Kemudian ada peluang untuk mengembangkan beberapa keunggulan di bidang sosial budaya, yaitu potensi manusia sebagai pengelola bambu lestari. Selain itu, bambu juga memiliki keunggulan besar dalam bidang ekonomi. Meskipun harga jualnya masih relatif rendah, namun sebagai produk turunan dapat mendatangkan nilai ekonomi yang tinggi jika dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan [3]. Selain beberapa hal tersebut, sebagai hutan tanaman industri, Bambu Betung sebagai salah satu jenis biomassa padat ini dapat dibakar langsung untuk panas dan energi listrik [4].

Gambar 2. Konversi termal biomassa Sumber: [5]

Pirolisis merupakan suatu proses untuk mendekomposisi bahan bakar biomassa secara termal. Proses pirolisi berlangsung pada temperatur moderat, dimana proses pemanasan biomassa terjadi dengan cepat tanpa menggunakan oksigen. Hasil dari proses ini terdiri dari senyawa gas, campuran cairan terkondensasi

(3)

(bio-oil), serta biochar [6]. Alur proses konversi thermal berbahan biomassa beserta produk hasil turunannya dapat dilihat pada Gambar 2.

Pirolisis adalah proses pembakaran yang menggunakan sedikit atau tanpa udara. Produk pembakaran pirolitik adalah arang dan asap cair. Reaksi yang terjadi dalam suatu proses pirolisis dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

CxHyOz → Arang + Cairan + Gas + H2O ……..(1)

Biochar merupakan produk padatan yang dihasilkan dari proses pirolisis biomassa, yang merupakan salah satu teknologi yang saat ini tersedia sebagai proses untuk menghasilkan bioenergi. Berdasarkan struktur molekulnya, secara kimiawi dan biologis bentuk bio-char dinilai lebih stabil dibandingkan dengan bentuk karbon asli bahan raw material yang digunakan sebagai pembentuk bio-char. Hal ini menunjukkan sulitnya mengubah biochar kembali menjadi CO2. Biochar berperan penting dalam pembentukan senyawa Hidrokarbon Polisiklik Aromatik (PAH) selama berlangsungnya proses pirolisis terutama yang terjadi pada saat temperatur rendah [7].

Arang bambu merupakan produk padatan (solid) yang menggunakan bahan baku bambu, dan dihasilkan setelah melalui proses pirolisis dibawah temperatur tinggi. Untuk memperoleh produk arang yang baik sangat ditentukan oleh kandungan kadar air, ukuran bahan baku, temperatur, waktu tinggal, jenis biomassa, dan tipe pirolisis [8]. Oleh karenanya, akan dilakukan evaluasi terhadap pengaruh dari temperatur optimum dan waktu tinggal (detention time) yang diberlakukan pada temperatur tersebut. Parameter- parameter ini, bersama dengan parameter lainnya seperti jenis biomassa yang digunakan, juga mempengaruhi jumlah dan jenis volatil yang dihasilkan selama terjadinya proses pirolisis [9].

2. Metode Penelitian

Sebagai bahan baku utama, yaitu Bambu Betung yang digunakan pada penelitian ini adalah Bambu Betung yang tumbuh disekitar Kota Sawahlunto, Sumatera Barat. Bambu Betung ini dicacah dengan ukuran

± 3cm, kemudian dijemur selama 3 hari dengan kondisi cuaca cerah. Untuk memperoleh hasil bioarang yang optimal perlu mempertimbangan, antara lain kandungan air dalam bambu; banyaknya air terkandung pada Bambu Betung akan mempengaruhi lamanya proses pengarangan. Apabila bambu yang digunakan mengandung kadar air cukup tinggi, maka perlu dilakukan proses pengeringan awal dengan penjemuran dibawah paparan matahari. Selanjutnya bahan baku yang sudah di dikeringkan diambil cuplikan sampelnya sebanyak ± 15 gram, selanjutnya dimasukkan kedalam cawan porselen dan di bakar di dalam furnace seperti pada Gambar 3 dan diberikan perlakuan variasi sesuai dengan desain variabel yang direncanakan penelitian ini. Hasil sampel yang dikeluarkan dari furnace kemudian didinginkan didalam desikator selama 30 menit lalu segera dilakukan analisis terhadap kandungan kadar air, analisis kadar abu, analisis kadar volatile matter dan analisis nilai kalor. Untuk analisis hasil percobaan ini dilakukan dengan menggunakan alat moisture analyzer dan bom kalorimeter. Variasi yang dilakukan dalam percobaan ini adalah kombinasi pada waktu pirolisisi 30, 45 dan 60 menit dengan temperatur 400, 500, 600, 700 dan 800 oC.

Gambar 3. Proses Pirolisis Bioarang Sumber: Foto penelitian, 2022

Analisis

Perhitungan Kadar Air

Pengujian kadar air ini menggunakan ASTM 3173-17 Moisture in the Analysis Sample of Coal and Coke.

Cara Kerja:

1. Sampel uji disiapkan sebanyak 5 gram;

2. Sample uji kemudian dimasukkan ke dalam dish moisture balance;

3. Alat moisture balance kemudian ditutup dan dimulai proses analisis kadar air;

4. Alat akan langsung menghitung kadar air pada sample uji dan menampilkan nilainya pada layar.

Penjemuran Bahan

Baku Proses Pirolisis Bioarang

(4)

e-ISSN : 2541-1934

Perhitungan Kadar Volatile Matter

% VM = 𝑚2−𝑚3

𝑚2−𝑚1 𝑥 100% − % 𝐼𝑛ℎ𝑒𝑟𝑒𝑛𝑡 𝑚𝑜𝑖𝑠𝑡𝑢𝑟𝑒 ...(2)

Dimana:

m1 = massa krus kosong + tutup cawan

m2 = massa krus + tutup cawan + contoh sebelum dipanaskan m3 = massa krus + tutup cawan + contoh setelah dipanaskan Perhitungan Kadar Abu

% abu = 𝑚3−𝑚1

𝑚2−𝑚1 𝑥 100 % ... (3)

Dimana:

m1 = massa cawan porselen + tutupnya

m2 = massa cawan porselen + tutup cawan + contoh sebelum dipanaskan m3 = massa cawan porselen + tutup cawan + abu setelah dipanaskan Perhitungan karbon terikat

FC = 100% – (% M + % Ash + % VM) ... (4)

Dimana:

% Ash = Kadar Abu

% M = Kadar Air

% VM = Volatile Matter.

3. Hasil dan Pembahasan

Proses peng-arangan atau pirolisis di klasifikasikan menjadi empat tahapan yaitu:

1. Tahapan pertama adalah terjadinya proses pelepasan kadar air pada temperatur 100 - 105°C;

2. Tahapan kedua terjadi proses penguraian senyawa hemiselulosa dan senyawa selulosa pada temperatur 200 - 240°C yang terkonversi jadi larutan senyawa piroglinat;

3. Tahapan ketiga adalah terjadinya proses depolimerasi dan proses pemutusan ikatan pada rantai C - O dan C - C yang terjadi pada temperatur 240-400°C. Selain itu senyawa lignin akan mulai diuraikan dan diubah menjadi ter;

4. Tahapan keempat terjadi pembentukan lapisan senyawa aromatik pada temperatur diatas 400°C dan pada saat bersamaan penguraian senyawa lignin masih terus terjadi sehingga temperatur mencapai 500°C, sedangkan pada saat temperatur mencapai diatas 600°C, proses pembesaran luas permukaan pada arang yang terbentuk. Kemudian dilanjutkan dengan pemurnian arang atau aktifasi arang menjadi arang aktif terjadi pada temperatur antara 500 sampai 1000°C [10].

3.1. Mutu Bioarang

Hasil penelitian yang telah dilakukan akan dibandingkan dengan baku mutu bioarang SNI No 01/

6235/ 2000, yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis biochar dengan variasi temperatur dan waktu SNI 01-

6235-2000

Temperatur Waktu Kadar Air Volatile Matter Kadar Abu Karbon terikat Nilai Kalor

̊C Menit % % % % kal/g

Baku Mutu - - Maks 8 Maks 15 Maks 8 - Min 5000

1

400

30 2.73 20.86 9.05 67.35 6472

2 45 2.00 18.46 8.61 70.93 6591

3 60 2.82 20.47 8.59 68.12 6674

4

500

30 2.97 13.78 8.72 74.53 6564

5 45 2.45 9.83 10.07 77.65 6959

6 60 2.28 9.91 10.41 77.40 6982

7

600

30 4.70 4.70 5.73 84.87 7100

8 45 4.48 4.48 5.54 85.50 7009

9 60 4.82 4.51 5.62 85.05 6990

10

700

30 3.14 8.96 4.13 83.77 6712

11 45 4.01 11.21 4.10 80.68 6745

12 60 3.03 13.01 4.10 79.86 6809

(5)

SNI 01- 6235-2000

Temperatur Waktu Kadar Air Volatile Matter Kadar Abu Karbon terikat Nilai Kalor

̊C Menit % % % % kal/g

Baku Mutu - - Maks 8 Maks 15 Maks 8 - Min 5000

13

800

30 5.28 8.81 4.90 81.01 6682

14 45 3.98 12.14 7.17 76.71 6505

15 60 4.36 9.29 6.74 79.61 6498

Sumber: Hasil penelitian, 2022

Berdasarkan Tabel 1, pada Temperatur 400oC, nilai volatile matter dan kadar abu masih diluar baku mutu, sedangkan untuk temperatur 500oC, kadar abu masih diluar baku mutu. Namun, untuk nilai kalor, semua nya masuk kedalam baku mutu.

3.2. Pengaruh Waktu Tinggal dan Temperatur Terhadap Kadar Air dari Bioarang

Kadar air merupakan banyaknya jumlah air yang terkandung dalam suatu bahan. Nilai kadar air suatu bahan biasanya berbanding terbalik dengan nilai kalornya, sehingga nilai kalor biasanya akan meningkat seiring dengan penurunan kadar air bahan [11].

Gambar 4. Hubungan antara temperatur dan waktu terhadap kadar air bioarang Bambu Betung Sumber: Hasil penelitian, 2022

Berdasarkan Gambar 4 nilai kadar air cenderung meningkat seiring dengan kenaikkan temperatur.

Korelasi antara temperatur dan waktu terhadap kadar air berkisar r2 = 0,8754 – 0,9289 yang menunjukkan terdapat hubungan atau korelasi yang positif dan sangat tinggi antara temperatur dan waktu terhadap kadar air [12]. Semakin lama proses pirolisis yang dilakukan, maka kadar air yang dihasilkan seharusnya mengalami penurunan, namun pada percobaan ini didapatkan hasil sebaliknya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh banyaknya kandungan uap air yang terkandung pada udara ambien, lamanya proses pendinginan yang dilakukan, serta sifat higroskopisitas dari Bambu Betung tersebut. Oleh karena pori-pori arang menjadi lebih terbuka, sehingga ketika produk arang dipindahkan dari tungku ke desikator dan alat timbang, arang menyerap uap air dalam jumlah besar karena kontak langsung antara arang higroskopis dengan udara [13].

Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, sesuai dengan yang dilakukan Hendawy [14], yang mendapatkan hasil meningkatnya total luas permukaan dan volume pori- pori pada struktur biochar tongkol jagung yang disebabkan oleh semakin lamanya waktu pirolisis dilakukan. Meskipun kadar air yang diperoleh meningkat di beberapa titik pengambilan sampel, namun rata-rata kadar air hutan bambu yang diperoleh sesuai dengan kadar air SNI mengenai arang yaitu maks 8%.

3.3. Pengaruh Waktu Tinggal dan Temperatur terhadap Volatile Matter (VM) Bioarang

Volatile Matter (VM) atau disebut zat terbang merupakan zat aktif yang terkandung dalam bahan bakar yang menghasilkan energi pada saat terbakar dan terbebaskan pada kondisi temperatur tinggi dan biasanya akan mempercepat proses pembakaran serta tidak tergantung pada keberadaan oksigen (misalnya CxHy, H2, SOx, dan sebagainya).

R² = 0,9105

R² = 0,9289

R² = 0,8754

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00

400 500 600 700 800

Kadar Air (%)

Temperatur (oC)

30 menit 45 menit 60 menit

Linear (30 menit) Linear (45 menit) Linear (60 menit)

(6)

e-ISSN : 2541-1934

Gambar 5. Hubungan antara temperatur dan waktu terhadap volatile matter bioarang Bambu Betung Sumber: Hasil penelitian, 2022

Kandungan zat terbang dalam bioarang akan terpengaruh dengan komposisi kimia bahan baku diantaranya kareana terdapat zat ekstraktif yang terkandung dalam bahan baku yang digunakan. Penetapan kadar zat terbang bertujuan untuk mengetahui senyawa yang terkandung dalam suatu bahan yang belum mengalami penguapan pada saat mengalami proses pirolisis akan tetapi menguap pada temperatur 950°C [15]. Pada temperatur 400 - 600°C (Gambar 5) terlihat kadar VM semakin menurun dengan bertambahnya temperatur pirolisis. Namun pada temperatur 700 – 800°C kadar VM yang dihasilkan akan semakin meningkat. Hasil penelitian serupa juga diperoleh [16] dengan menggunakan kulit biji Nyamplung. Ini dimungkinkan oleh interaksi karbon dan udara, sehingga meningkatkan jumlah volatil [17]. Kadar VM bioarang untuk Temperatur 400oC melebihi SNI arang yang ditetapkan maks 15%.

Hal ini disebabkan adanya kontak arang dengan udara, sehingga menghasilkan tingkat volatilitas yang lebih tinggi. Kadar nilai VM juga memberikan pengaruh penting dalam menentuakan nilai kalori, yang membuat senyawa lebih reaktif dan mencapai yang lebih baik sifat pengapian dan pembakaran [18].

Pada Gambar 5 menunjukkan korelasi antara temperatur dan waktu terhadap volatile matter berkisar r2 = 0,458 – 0,6142 yang menunjukkan terdapat hubungan atau korelasi yang positif dan sedang (t= 30 menit;

60 menit) serta tinggi (t = 45 menit) antara temperatur dan waktu dengan volatile matter [12].

3.4. Pengaruh Waktu Tinggal dan Temperatur terhadap Kadar Abu Bioarang

Kadar abu merupakan bahan anorganik yang tidak terbakar dalam proses pirolisis karena tidak memiliki unsur karbon dan hanya terdiri dari mineral yang disisakan saat pembakaran. Tergantung pada jenis dan bahan baku biomassa yang digunakan serta tipe teknologi pirolisis (suhu dan waktu pemrosesan yang bervariasi), akan menyebakan kandungan abu yang bervariasi pada hasil biochar. Secara umum, nilai kadar abu akan berbanding lurus dengan waktu dan suhu pirolisis. Kandungan abu yang tinggi pada biochar akan mempengaruhi kualitas biochar karena akan menyebabkan berkurangnya luas permukaan biochar yang disebabkan oleh mineral-mineral kandungan abu tersebut menyumbat pori-pori biochar [19].

Parameter ini sangat berguna dalam menentukan efisiensi proses pirolisis. Semakin tinggi kadar abu material, semakin besar dampak kotoran, keausan, dan korosi pada peralatan yang dilalui. Untuk pengujian nilai kadar abu, kandungan oksida logam yang terkandung dalam arang juga harus diukur. Semakin tinggi suhu dan waktu dekomposisi termal, maka semakin rendah kadar abu [15].

Kadar abu juga memberikan pengaruh terhadap nilai kalori dan kandungan karbon. Semakin kecil kandungan kadar abu suatu material, maka akan menyebabkan bertambah besar nilai kalor dan kandungan karbon nya. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya luas permukaan arang dengan ditingkatkannya temperatur pirolisis [8].

R² = 0,458 R² = 0,6142 R² = 0,5318

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

400 500 600 700 800

Volatile Matter (%)

Temperatur (oC)

30 menit 45 menit 60 menit

Linear (30 menit) Linear (45 menit) Linear (60 menit)

(7)

Gambar 6. Hubungan antara temperatur dan waktu terhadap kadar abu bioarang Bambu Betung Sumber: Hasil penelitian, 2022

Gambar 6 menunjukkan bahwa kadar abu menurun seiring dengan kenaikkan temperatur, namun pada temperatur 800oC, pada waktu 45 dan 60 menit kadar abu kembali meningkat. Namun untuk temperatur 500oC waktu 45 dan 60 menit, nilai kadar air melebihi baku mutu SNI. Sehingga korelasi antara temperatur dan waktu terhadap kadar abu berkisar r2 = 0,3474 – 0,8266 yang menunjukkan terjadinya hubungan atau terdapat korelasi yang positif dan sangat rendah (t = 45 menit), sedang (t = 60 menit) dan sangat tinggi ( t = 30 menit) antara temperatur dan waktu tinggal terhadap kandungan kadar abu [12].

3.5. Pengaruh Waktu Tinggal dan Temperatur terhadap Nilai Karbon Terikat Bioarang

Karbon terikat merupakan kandungan unsur karbon dalam bahan bakar, namun tidak terikat dengan unsur-unsur lain atau disebut juga dengan kadar karbon murni yang terkandung dalam arang ni. Kandungan karbon terikat dapat menggambarkan nilai kalor yang dimiliki suatu bahan. Kadar karbon terikat memiliki pengertian berbeda jika dibandingkan dengan kadar unsur karbon (C) yang diperoleh dari hasil pengujian ultimat suatu bahan, karena di dalam hasil pengujian ultimat sebagian karbon yang berikatan berbentuk senyawa volatil hidrokarbon [19].

Temperatur tinggi bahan bakar yang terpapar dalam proses pirolisis memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas arang yang dihasilkan, termasuk terhadap kandungan karbon. Penentuan nilai kadar karbon terikat juga dimaksudkan untuk mengetahui kadar kandungan karbon yang terdapat dalam arang setelah melalui proses pirolisis. Pada Gambar 7, Semakin tinggi temperatur dan waktu pirolisis, semakin banyak karbon yang terikat. Semakin tinggi waktu tinggal dan temperatur pirolisis, maka akan menyebabkan proses pembentukan biochar menjadi lebih cepat, hal ini disebabkan karena proses penguraian yang terjadi dari bahan baku menjadi biochar semakin cepat.

Gambar 7. Hubungan temperatur dan waktu terhadap karbon terikat bioarang Bambu Betung Sumber: Hasil penelitian, 2022

R² = 0,8226 R² = 0,3474

R² = 0,4087

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00

400 500 600 700 800

Kadar Abu (%)

Temperatur (oC)

30 menit 45 menit 60 menit

Linear (30 menit) Linear (45 menit) Linear (60 menit)

R² = 0,8226 R² = 0,3474

R² = 0,4087

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00

400 500 600 700 800

Kadar Abu (%)

Temperatur (oC)

30 menit 45 menit 60 menit

Linear (30 menit) Linear (45 menit) Linear (60 menit)

(8)

e-ISSN : 2541-1934

Namun, saat temperatur 700 oC dan 800oC, nilai karbon terikat mulai turun, penyebab terjadinya hal ini adalah karena lamanya waktu dan tingginya temperatur pada proses pirolisis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan secara perlahan rantai karbon, karena terjadinya reaksi oksidasi yang berlebihan.

Meningkatnya reaksi oksidasi yang disebabkan oleh temperatur tinggi dan adanya gas pengoksidasi keduanya merusak dinding pori, sehingga mengurangi luas permukaan dinding pori arang dan menghasilkan kadar kandungan karbon yang lebih rendah [20]. Pada Gambar 7 korelasi antara temperatur dan waktu terhadap karbon terikat berkisar r2 = 0,3474 – 0,8226 yang menunjukkan terdapat hubungan atau terdapat korelasi yang positif dan rendah (t = 45 menit), sedang (t = 60 menit) dan sangat tinggi (t= 30 menit) antara temperatur dan waktu terhadap karbon terikat [12].

3.6. Pengaruh Waktu Tinggal dan Temperatur Terhadap Nilai Kalor Biochar

Nilai Kalor merupakan nilai yang menggambarkan banyaknya jumlah kalori yang tersimpan di dalam bahan bakar. Nilai kalori suatu bahan bakar adalah parameter kualitas terpenting yang menjadi perhatian dalam pemilihan bahan bakar [11], [21] Semakin tingginya nilai kalor yang terkandung dalam suatu bahan, maka akan menjadi semakin baik pula kualitas arang, kualitas pelet maupun kualitas briket yang dihasilkan.

Namun selain itu, tinggi maupun rendahnya nilai kalor pada suatu bahan juga dapat dipengaruhi oleh kandungan kadar air, nilai kadar abu, dan nilai kadar karbonnya.

Berdasarkan Gambar 8, nilai kalor tertinggi mencapai puncaknya pada Temperatur 600oC dengan waktu 30 menit. Kenaikan nilai kalor arang sebanding dengan kenaikan suhu proses pirolisis, tetapi kenaikan suhu meningkatkan penguapan volatil, mengurangi kadar air, dan akhirnya meninggalkan karbon.

Akibatnya, nilai kalor arang meningkat. Namun setelahnya, mulai temperatur 700oC, kalor mengalami penurunan seiring dengan dinaikkannya temperatur. Hal ini terjadi karena adanya proses devolatilisasi lanjutan pada kandungan volatile matter yang tersimpan dalam bahan bakar tersebut dan juga terjadinya dekomposisi lignin yang lebih banyaknya. Pada Gambar 8 korelasi antara temperatur dan waktu terhadap karbon terikat berkisar r2 = 0,0763 – 0,1567 yang menunjukkan terdapat hubungan atau terdapat korelasi secara positif namun sangat rendah antara temperatur dan waktu terhadap nilai kalor [12].

Gambar 8. Hubungan temperatur dan waktu pirolisis terhadap nilai kalor pada biochar Bambu Betung Sumber: Hasil penelitian, 2022

3.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pirolisis [1] Temperatur

Parameter utama yang memainkan peran penting dalam hasil pirolisis salah satunya adalah temperatur. Pada temperatur pirolisis yang semakin tinggi, semakin banyak gas yang dihasilkan, tetapi jumlah padatan dan minyak yang dihasilkan berkurang. [9]. Juga, peningkatan suhu meningkatkan konsentrasi maksimum dan mempersingkat waktu reaksi, sehingga meningkatkan produksi molar.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suhu maksimum yang dibutuhkan untuk melakukan penguraian bahan organik yang terjadi pada kisaran suhu 450-650°C, akan tetapi proses dekomposisi melambat ketika

R² = 0,1398

R² = 0,0763

R² = 0,1567

6100 6200 6300 6400 6500 6600 6700 6800 6900 7000 7100 7200

400 500 600 700 800

Kalor (cal/g)

Temperatur (oC)

30 menit 45 menit 60 menit

Linear (30 menit) Linear (45 menit) Linear (60 menit)

(9)

suhu melebihi 750°C. [22]. Pada temperatur yang berada diatas 750°C, pembentukan syngas merupakan produk utama yang dihasilkan dalam proses pirolisis.

[2] Waktu tinggal (detention time) pembakaran dalam reaktor

Waktu tinggal dalam zona reaksi terhadap bahan baku merupakan parameter penting dan biasanya bervariasi mulai dari beberapa detik sampai beberapa jam. Waktu tinggal yang lebih lama menyebabkan peningkatan proses dekomposisi tar yang mengarah ke produksi gas yang lebih tinggi [23]. Di sisi lain, waktu tinggal yang lebih lama juga menyebabkan pengurangan kelembaban dan kandungan lilin dari produk cair, tetapi dapat meningkatkan kualitas produk. Waktu tinggal yang lebih lama memungkinkan lebih banyak eneergi panas yang masuk ke dalam reaktor dan meningkatkan laju penguapan air. Proses penguraian tar menjadi molekul yang lebih kecil dan penguapan bahan organik dari arang menghasilkan gas pirolisis yang tinggi.

[3] Laju pemanasan (heating rate)

Laju pemanasan diperoleh bervariasi mulai dari sekitar 4°C/menit hingga 670°C/s. Laju pemanasan yang lebih cepat menghasilkan lebih banyak volatile matter (seperti tar dan gas) dan lebih sedikit residu [24]. Laju pemanasan yang lebih tinggi menghasilkan waktu pembakaran yang lebih lama dan hasil syngas yang lebih tinggi dari proses perengkahan tar. Ekstraksi langsung komponen volatil menghasilkan lebih banyak produk pirolisis cair. Pada penelitian ini, dengan menggunakan furnace, heating ratenya adalah 16,77oC/menit.

[4] Ukuran bahan baku

Ukuran bahan baku yang semakin halus/ kecil, maka akan menyebabkan luas permukaan material semakin besar dan menyebabkan percepatan pada laju pemanasan. Ukuran bahan baku yang semakin kecil maka akan menyebabkan semakin tinggi pirolisis, sehingga menghasilkan bentuk cair atau gas yang lebih banyak. Semakin besar ukuran bahan baku maka semakin lama waktu tinggalnya, karena lambatnya proses pemanasan terjadi dari permukaan sampai ke seluruh bagian bahan baku. Pada dasarnya, ukuran partikel memberikan pengaruh terhadap kombinasi dari laju pemanasan dan rasio volatil terhadap arang. Hal ini dapat terjadi karena volatile matter akan berdifusi dari dalam ke luar.

[5] Kelembaban Bahan Baku

Kelembaban dalam bahan baku akan mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah produksi gas dan meningkatkan waktu terjadinua reaksi pada suatu proses pirolisis. Konsentrasi hidrogen dan jumlah minyak akan meningkat selaras dengan terjadinya peningkatan kadar kelembaban pada bahan baku. Selanjutnya, peningkatan kadar kelembaban bahan baku juga mengurangi konsentrasi CO, CH4 dalam proses pirolisis, akan tetapi meningkatkan konsentrasi CO2 [23].

3.8. Pengaruh Nilai Kalor terhadap Karbon terikat Bioarang

Gambar 9 menunjukkan bahwa hubungan antara kadar karbon terikat adalah berbanding lurus terhadap nilai kalor, sehingga dengan meningkatnya kadar karbon terikat maka nilai kalor akan meningkat dan begitu juga sebaliknya.

Gambar 9. Pengaruh kadar karbon terikat terhadap nilai kalor pada bioarang Bambu Betung Sumber: Hasil penelitian, 2022

6400 6500 6600 6700 6800 6900 7000 7100 7200

60,00 65,00 70,00 75,00 80,00 85,00 90,00

Kalor (cal/g)

Fixed Carbon (%) FC vs Kalor

(10)

e-ISSN : 2541-1934

Menurut teori, ketika karbon terikat rusak, maka nilai kalor material juga menurun [11]. Semakin tingginya kadar karbon terikat akan menyebabkan semakin tingginya nilai kalor suatu bahan karena terjadinya reaksi oksidasi saat pembakaran dan akan menghasilkan kalori (reaksi eksothermis). Sebaliknya, semakin rendah kandungan karbon bahan, semakin rendah panas yang akan dihasilkan. Hal ini dikarenakan oleh, pada proses pembakaran membutuhkan senyawa karbon untuk dapat bereaksi dengan oksigen yang akan menghasilkan panas [18].

Produk arang yang bermutu baik adalah arang dengan kandungan karbon terikat dan nilai kalor yang tinggi namun dengan kandungan kadar abu rendah. Jika kandungan karbon tetap melebihi 60%, maka hal itu dapat dianggap sebagai material yang memiliki kandungan karbon terikat yang tinggi. Kadar abu juga memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas bahan bakar karena dapat menyebabkan penurunan nilai kalor bahan tersebut. Salah satu komponen utama abu adalah senyawa silika, dan senyawa ini dapat memberikan pengaruh yang kurang menguntungkan terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Semakin rendah kadar abu yang terkandung dalam suatu bahan, maka semakin baik arang, produk pelet ataupun briket arang tersebut [25]. Batasan maksimal kadar abu dalam suatu bahan dikatakan rendah apabila lebih rendah dari 8%. Tingkat abu yang berlebihan dapat menyebabkan endapan di bagian bawah peralatan pirolisis yang digunakan dan mengotori peralatan tersebut.

3.9. Pengaruh Volatile Matter Terhadap karbon terikat Bioarang

Gambar 10 memperlihatkan bahwa bahan bakar dengan kandungan VM yang lebih rendah akan memiliki kandungan karbon terikat yang lebih tinggi, dan begitu pula sebaliknya, bahan bakar dengan kandungan VM yang lebih tinggi akan memiliki kandungan karbon yang lebih rendah, yang diperlihatkan oleh tren penurunan pada grafik yang diperoleh.

Gambar 10. Pengaruh kadar karbon tetap terhadap nilai volatilitas biochar Bambu Betung.

Sumber: Hasil penelitian, 2022

3.10. Pengaruh Kadar Abu Terhadap Karbon terikat Bioarang Bambu Betung

Kadar arang tetap menurun dengan bertambahnya kadar abu karena kadar air, kadar abu, dan zat terbang yang terkandung dalam arang mengalami penurunan.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

60,00 65,00 70,00 75,00 80,00 85,00 90,00

Volatile matter (%)

Fixed Carbon (%) VM vs FC

(11)

Gambar 11. Pengaruh kadar abu terhadap karbon terikat dalam biochar Bambu Betung Sumber: Hasil penelitian, 2022

4. Kesimpulan

Bambu Betung (Dendrocalamus Asper) yang diproses pada temperatur pirolisis diatas 600oC memiliki potensi yang baik untuk digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil (alternatif) karena tellah memenuhi baku mutu SNI 01-6235-2000. Temperatur dan waktu pirolisis memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan nilai kalor dan perbaikan nilai proximate analysis arang yang dihasilkan. Nilai kalor yang diperoleh memperlihatkan hasil yang berbanding lurus dengan kandungan karbon tetap, dengan semakin tingginya kandungan karbon tetap maka nilai kalor semakin tinggi dan juga sebaliknya.

5. Daftar Pustaka

[1] T. W. Widayati, D. Jaya, A. Danujatmiko, and B. D. Irimulyo, “Pirolisis Limball Pangkal Bambu Bctung (Dendrocalmnus asper),” in Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan,” 2020, pp. B8-1-B8-5.

[2] Hasri, Muharram, and F. Nadwi, “Sintesis Nanosilika Daun Bambu (Bambusa sp.) Menggunakan Metode Hidrotermal,” J. Kartika Kim., vol. 3, no. 2, pp. 96–100, 2020, doi: 10.26874/jkk.v3i2.56.

[3] H. R. Hanafi, B. Irawan, D. C. Pertiwi, and A. Litania, “Pemanfaatan dan pengelolaan bambu berkelanjutan di Desa Cijedil, Cianjur, Jawa Barat sebagai upaya perwujudan Sustainable Development Goals (SDGs),” Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon, vol. 3, no. 2, pp. 230–235, 2017, doi: 10.13057/psnmbi/m030212.

[4] L. Parinduri and T. Parinduri, “Konversi Biomassa Sebagai Sumber Energi Terbarukan,” JET (Journal Electr. Technol.), vol. 5, no. 2, pp. 88–92, 2020.

[5] T. Bridgwater, “Review of Fast Pyrolysis of Biomass and Product Upgrading,” Biomass and Bioenergy, vol. 38, pp. 68–94, 2012, doi: 10.1016/j.biombioe.2011.01.048.

[6] A. Pattiya, “Fast Pyrolysis,” in Direct Thermochemical Liquefaction for Energy Applications, L.

Rosendahl, Ed. Woodhead Publishing Limited and Maney Publishing Limited, 2018, pp. 3–28.

[7] C.-Y. Wang, Y. Wang, and S. Herath, “Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in biochar – Their formation, occurrence and analysis: A review,” Org. Geochem., vol. 114, 2017, doi:

10.1016/j.orggeochem.2017.09.001.

[8] P. Parthasarathy, H. R. Mackey, S. Mariyam, and S. Zuhara, “Char Products From Bamboo Waste Pyrolysis and Acid Activation,” Front. Mater., vol. 7, no. 624791, pp. 1–15, 2021, doi:

10.3389/fmats.2020.624791.

[9] E. K. Kuryani, “Pirolisis Sampah dengan Variasi Jenis Ranting dan Kantong Plastik HDPE,” Dep.

Tek. Lingkung., p. 162, 2017.

[10] S. Siahaan, M. Hutapea, and R. Hasibuan, “Penentuan Kondisi Optimum Suhu Dan Waktu Karbonisasi Pada Pembuatan Arang Dari Sekam Padi,” J. Tek. Kim. USU, vol. 2, no. 1, pp. 26–30, 2013, doi: 10.32734/jtk.v2i1.1423.

[11] E. Junary, J. P. Pane, and N. Herlina, “Pengaruh Suhu Dan Waktu Karbonisasi Terhadap Nilai Kalor Dan Karakteristik Pada Pembuatan Bioarang Berbahan Baku Pelepah Aren (Arenga pinnata),” J.

Tek. ITS, vol. 4, no. 2, pp. 46–52, 2015.

60 65 70 75 80 85 90

3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 11,00

Fixed carbon (%)

Kadar Abu(%) Kadar Abu vs FC

(12)

e-ISSN : 2541-1934

[12] Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, 26th ed. Bandung: Alfabeta, 2015.

[13] S. Hartanto and Ratnawati, “Pembuatan Karbon Aktif Dari Tempurung Kelapa Sawit Dengan Metode Aktivasi Kimia,” Indones. J. Mater. Sci., vol. 12, no. 1, pp. 12–16, 2010.

[14] A.-N. A. El-Hendawy, “Influence of HNO3 oxidation on the structure and adsorptive properties of corncob-based activated carbon,” Carbon N. Y., vol. 41, pp. 713–722, 2003, doi: 10.1016/S0008- 6223(03)00029-0.

[15] R. Sudradjat, Anggorowati, and D. Setiawan, “Pembuatan Arang Aktif dari Kayu Jarak Pagar,” J.

Penelit. Has. Hutan, vol. 23, no. 4, pp. 299–315, 2005, [Online]. Available:

https://media.neliti.com/media/publications/179500-ID-none.pdf.

[16] S. Wibowo, W. Syafii, and G. Pari, “Karakteristik Arang Aktif Tempurung Biji nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn),” J. Penelit. Has. Hutan, vol. 28, no. 1, pp. 43–54, 2010.

[17] G. Pari, D. Tohir, Mahpudin, and J. Ferry, “Activated Charcoal from Wood Sawdust as Adsorbent Material for Frying Oil Refinery,” J. Penelit. Has. Hutan, vol. 24, no. 4, pp. 309–3223, 2006.

[18] R. Yuliarningsih, F. Goembira, P. S. Komala, N. P. Putra, and M. Nasra, “Oil Sludge and Biomass Waste Utilization as Densified Refuse-Derived Fuels for Alternative Fuels: Case Study of an Indonesia Cement Plant,” J. Hazardous, Toxic, Radioact. Waste, vol. 24, no. 4, p. 05020001, 2020, doi: 10.1061/(asce)hz.2153-5515.0000511.

[19] S. Herlambang, D. Yudhiantoro, M. Gomareuzzaman, and I. Lestari, BIOCHAR: Amandemen Tanah dan Mitigasi Lingkungan. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UPN Veteran Yogyakarta, 2021.

[20] K. D. L. . Lestari, R. D. Ratnani, Suwardiyono, and N. Kholis, “Pengaruh Waktu Dan Suhu Pembuatan Karbon Aktif Dari Tempurung Kelapa Sebagai Upaya Pemanfaatan Limbah Dengan Suhu Tinggi Secara Pirolisis,” Inov. Tek. Kim., vol. 2, no. 1, pp. 32–38, 2017.

[21] K. Nabawiyah and A. Abtokhi, “Penentuan nilai kalor dengan bahan bakar kayu sesudah pengarangan serta hubungannya dengan nilai porositas zat padat,” J. Neutrino, vol. 3, no. 1, pp. 44–

55, 2010.

[22] W. Cao, J. Li, T. Martí-Rosselló, and X. Zhang, “Experimental Study on the Ignition Characteristics of Cellulose, Hemicellulose, Lignin and Their Mixtures,” J. Energy Inst., vol. 92, 2018, doi:

10.1016/j.joei.2018.10.004.

[23] D. Chen, Y. Lijie, H. Wang, and P. He, “Pyrolysis technologies for municipal solid waste: A review,”

Waste Manag., vol. 37, pp. 116–136, 2015, doi: 10.1016/j.wasman.2015.01.022.

[24] I. Velghe, R. Carleer, J. Yperman, and S. Schreurs, “Study of the pyrolysis of municipal solid waste for the production of valuable products,” J. Anal. Appl. Pyrolysis, vol. 92, no. 2, pp. 366–375, 2011, doi: 10.1016/j.jaap.2011.07.011.

[25] M. L. Umrisu, R. K. Pingak, and A. Z. Johannes, “Pengaruh Komposisi Sekam Padi Terhadap Parameter Fisis Briket Tempurung Kelapa,” J. Fis. Sains dan Apl., vol. 3, no. 1, pp. 1–6, 2018.

Referensi

Dokumen terkait

5.7.3 Program dan kegiatan di dalam dan di luar proses pembelajaran, yang dilaksanakan baik di dalam maupun di luar kelas, untuk menciptakan suasana akademik yang kondusif

Penerapan metode demonstrasi dapat meningkatkan hasil belajar geografi tentang sejarah pembentukan bumi pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Salem Kecamatan Salem Kabupaten

Dengan menggunakan metode SAW dalam sistem seleksi siswa baru di SMK Miftahul Huda Ciwaringin bertujuan untuk memudahkan panitia dalam menentukan perankingan calon siswa

Gejala sindrom radikular tergantung pada lokasi radiks saraf yang terkena (yaitu pada servikal, torakal, atau lumbal). Nyeri radikular yang bangkit akibat lesi iritatif di

Pemilik kos di satu sisi membutuhkan makelar untuk memasarkan tempat kosnya, namun di sisi lain pemilik kos juga harus memberikan imbalan yang telah di sepakati

Berdasar dari fenomena pengharokatan yang masih menjadi permasalahan hingga saat ini dan dampaknya yang begitu besar, serta di lain sisi perkembangan teknologi yang kian

Apabila dikemudian hari ternyata ini tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, saya bersedia dikenakan sanksi administrasi dan/atau dituntut ganti rugi dan/atau lainnya

lepas.Oleh karena itu sangat menarik jika daerah penelitian dilakukan dari palung Jawa (Samudera Indonesia) sampai dengan pantai Utara Jawa Tengah dan Timur dengan