• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian dilakukan untuk menemukan dilema identitas yang dirasakan oleh Majelis Gereja Toraja dan masyarakat Toraja beragama Kristen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Penelitian dilakukan untuk menemukan dilema identitas yang dirasakan oleh Majelis Gereja Toraja dan masyarakat Toraja beragama Kristen"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

30

BAB III

HASIL PENELITIAN

Bagian ini merupakan pemaparan hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian dalam bagian ini diperoleh dari Majelis Gereja Toraja dan beberapa orang yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat Toraja.

Bagian dari kelompok masyarakat Toraja dipilih dari berbagai kalangan yang memiliki pemahaman mengenai kebudayaan dan agama. Penelitian dilakukan untuk menemukan dilema identitas yang dirasakan oleh Majelis Gereja Toraja dan masyarakat Toraja beragama Kristen.

3.1 Gambaran umum Masyarakat Toraja

Toraja merupakan sebuah suku yang berada di dataran tinggi bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan. Estimasi waktu perjalanan dari pusat Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan menuju daerah Toraja adalah 8 jam dengan jarak tempuh sekitar 300km. Wilayah pemerintahan di Toraja terbagi menjadi dua yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Masyarakat Toraja yang menetap di kedua wilayah ini berjumlah sebanyak 553.323 jiwa.69 Adat istiadat dan keindahan alam di Toraja menjadi daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk berkunjung.

Keberadaan suku Toraja dinilai unik karena masyarakat di Toraja selalu memelihara kelestarian alam dan budayanya lewat berbagai adat istiadat yang dihidupi. Sejarah sosial

69 Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2021, diakses pada Agustus 2021 melalui https://sulsel.bps.go.id/indicator/12/83/2/jumlah-penduduk.html

(2)

31

Tana Toraja menuliskan bahwa istilah Toraja diambil dari kata To yang berarti orang dan Riaja yang berarti dari atas.70 Masyarakat Toraja zaman dulu percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari nirwana yang datang menggunakan eran dilangi’ atau diterjamahkan sebagai tangga dari langit.71 Kisah ini diceritakan turun temurun dan menjadi dongeng rakyat di Toraja. Cerita tersebut dianggap tidak relevan dan hanya menjadi sebuah mitos asal mula masyarakat Toraja.

Salah satu ungkapan yang sering dikatakan masyarakat Toraja ialah “kemanapun orang Toraja pergi, maka ia akan tetap menjadi orang Toraja”. Perkataan tersebut

nampaknya sudah tertanam dalam diri masyarakat Toraja hingga saat ini. Keyakinan ini diungkapkan untuk menyatakan bahwa kemanapun orang Toraja pergi maka mereka tetap menjadi bagian dari masyarakat Toraja. Orang Toraja tetap menjadi bagian dari masyarakat Toraja yang memiliki adat istiadat dan selalu menjaga tradisinya. Masyarakat Toraja yang berdomisili di daerah Toraja maupun yang kini bermigrasi tetap mempertahankan adat istiadat mengikuti zaman yang dinamis.

Relasi antar anggota masyarakat Toraja didasari oleh rasa saling memiliki.

Masyarakat Toraja mengekspresikan rasa tersebut secara turun temurun dengan mempertahankan kebudayaannya. Masyarakat Toraja mengungkapkan tanda kasih sayangnya lewat banyak media misalnya benda, warisan, perhatian, bahkan aturan hidup.

Aturan hidup sebagai bentuk pernyataan kasih antar masyarakat Toraja diwujudkan

70 Terance W. Bigalke, Sejarah Sosial Tana Toraja, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2019), 5

71 Wawancara dengan YPG pada 1 Agustus 2021

(3)

32

melalui kepatuhan dalam menjalankan ketentuan yang sudah ditetapkan sejak dahulu.72 Kepatuhan tersebut termasuk cara masyarakat Toraja masa kini memahami serta melaksanakan adat istiadat yang didalamnya terdapat kebudayaan.

Penelitian dilakukan dengan terlibat langsung dalam upacara adat dan mengamati kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Data yang terkumpul didapatkan berdasarkan wawancara terhadap beberapa narasumber yang merupakan penduduk asli suku Toraja.

Para narasumber berdomisili di wilayah Toraja Utara dengan berbagai profesi, posisi stratifikasi sosial dalam kelompok masyarakat Toraja serta berbagai kalangan usia.

Berikut tabel yang menunjukkan data informan yang sesuai dengan kriteria partisipan dalam penilitian ini :

Tabel 3.1 Data informan penelitian Dilema Identitas Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dan pelaku adat

No. Nama Usia Status

1. RM 35 tahun Pendeta dan pelaku adat

2.

NB

35 tahun Pendeta

3.

MP

35 tahun Pendeta

72 Inencia Erica Lamba, Makna Spiritual Benda-benda Milik Keluarga : Studi Sosio Religius terhadap Anggota PKMST Salatiga, (Tugas Akhir, Ilmu Teologi, Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana Salatiga, 2019).

(4)

33

4. MM 54 tahun

Penatua, Kepala Pemerintahan, pelaku adat

5. E 51 tahun Penatua, pelaku adat

6.

HP

40 tahun Pendeta, pelaku adat

7.

MS

64 tahun Pendeta, pelaku adat

8.

AN

53 tahun Pendeta, pelaku adat

9. RL 52 tahun

Pelaku adat, anggota kelompok masyarakat

10. YPG 70 tahun

Majelis Gereja GPdi, pelaku adat

11.

JVP

22 tahun Mahasiswa, pelaku adat

12. YB 26 tahun

Guru bahasa Toraja, Tominaa, pelaku adat

Partisipan penelitian ini merupakan masyarakat Toraja yang dapat memberi penjelasan tentang agama dan adat istiadat serta terlibat langsung dalam berbagai kegiatan adat. Seluruh partisipan beragama Kristen dan beberapa terlibat aktif dalam pelayanan

(5)

34

Gereja. Partisipan menjalankan adat istiadat sebagai aturan hidup dan terus mempertahankan kebudayaan Toraja. Kebudayaan yang ada hingga saat ini dianggap sebagai perilaku menghargai leluhur dan menjadi batasan-batasan norma yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Adat istiadat yang berisi aturan-aturan serta ajaran-ajaran dalam agama sangat mempengaruhi tingkah laku dan pengambilan keputusan bagi masyarakat Toraja.

3.2 Pandangan mengenai Adat Istiadat masyarakat Toraja

Kebudayaan masyarakat Toraja diwujudkan melalui adat istiadat yang menjadi tradisi. Kebudayaan yang berwujud sebagai adat istiadat memiliki pengaruh besar terhadap keberadaan masyarakat Toraja. Adat istiadat adalah hasil karya manusia yang dipikirkan, dirembukan, dan ditetapkan oleh masyarakat untuk dijadikan tatanan hidup.73 Adat istiadat dibuat oleh manusia untuk menata kehidupan sosial masyarakat secara luas.

Adat istiadat dapat dipahami sebagai aturan atau tata kelakuan yang tumbuh,berkembang dan dijunjung oleh suatu masyarakat secara turun temurun.74 Adat istiadat merupakan tatanan kemasyarakatan yang diberlakukan dan dipegang masyarakat Toraja dalam berbagai kegiatan adat bahkan di dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Adat istiadat adalah etika yang berbentuk sebuah aturan untuk menjaga kehidupan masyarakat Toraja. Adat dapat berarti sebuah tatanan aturan yang ada dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Toraja saat masih hidup bahkan setelah meninggal.75 Adat istiadat

73 Wawancara dengan MS pada 8 Desember 2021

74 Wawancara dengan YB, pada 13 Februari 2021

75 Wawancara dengan AN pada 8 Desember 2021

(6)

35

merupakan berbagai kebiasaan dan kepercayaan yang dianggap sakral sehingga memiliki nilai dan makna yang kuat.76 Adat istiadat secara umum ditujukan untuk kebersamaan masyarakat Toraja yang menjunjung tinggi nilai persekutuan dan rasa kesatuan.

Masyarakat Toraja menjunjung tinggi nilai Kasianggaran atau penghargaan terhadap sesama makhluk serta memegang teguh siri’ atau rasa malu untuk senantiasa menjalin kehidupan yang baik dan bertanggung jawab.77

Masyarakat Toraja hidup dalam kebudayaan yang mengikat, mempersatukan, dan menjaga kelangsungan hidup mereka. 78 Kebudayaan itu disalurkan dalam adat istiadat yang kental dengan nuansa kebersamaan, kekeluargaan, dan semangat saling menopang.

Adat istiadat masyarakat Toraja merupakan hasil kebudayaan yang ada sejak dulu dan terus dipelihara sampai saat ini. Masyarakat Toraja bergotong royong dan saling membantu untuk mengelolah adat istiadatnya. Walaupun mengalami perkembangan pola pemikiran dan pengaruh modernisasi, keberadaan adat istiadat tetap mempengaruhi kehidupan masyarakat Toraja.

Adat istiadat sebagai wujud kebudayaan ditunjukan masyarakat Toraja melalui penghayatan terhadap ritual atau prosesi dalam upacara adat. Upacara adat yang dilakukan masyarakat Toraja terbagi menjadi dua yaitu Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Rambu Solo’ disebut juga sebagai Aluk Rampe Matampu’ yang diartikan sebagai upacara adat yang dilakukan pada saat matahari terbenam. Matahari terbenam diibaratkan sebagai

76 Wawancara dengan JVP, pada 9 Desember 2021

77 Wawancara dengan AN pada 8 Desember 2021

78 Okto Kurapak, Profil Pemuda Toraja, 143.

(7)

36

masa berkabung atau menyangkut kesedihan akan kematian. Rambu Solo’ merupakan upacara adat yang berisi rangkaian ritual untuk menguburkan orang yang telah mati.

Rambu Tuka’ atau Aluk Rampe Matallo diartikan sebagai upacara adat yang dilakukan

pada saat matahari terbit. Matahari terbit diibaratkan sebagai lambang dari kebahagiaan dan kegembiraan yang dirasakan oleh masyarakat. Upacara adat ini dilakukan untuk merayakan sukacita atau syukur misalnya acara pernikahan, pengucapan syukur, Mangarara Banua (syukuran untuk rumah baru), dll.

Leluhur masyarakat Toraja membentuk agama lokal berupa animisme yang disebut Aluk Todolo.79 Aluk Todolo berisi Aluk yang memuat kepercayaan, upacara, tingkah laku, dan adat istiadat. Aluk mencakup kepercayaan masyarakat Toraja yang mengandung aspek batiniah dan aspek sosial. Aspek batiniah merupakan petunjuk untuk berelasi dengan yang transenden dan aspek sosial merupakan petunjuk hidup bermasyarakat.

Masyarakat Toraja menjalankan kehidupan sehari-hari serta mewariskan adat istiadatnya bersumber dari Aluk yang diwujud nyatakan ke dalam upacara adat. Prosesi yang dilakukan dalam ritual Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ pada dasarnya tidak terlepas dari ketentuan yang di tetapkan oleh Aluk.

Upacara adat Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ dilaksanakan dengan serangkaian ritual adat. Upacara adat dapat terlaksana selama beberapa hari bahkan beberapa minggu sesuai dengan keputusan tokoh adat dan kelompok masyarakat penyelenggara upacara tersebut. Ritual yang dimuat dalam prosesi upacara adat Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’

79 Dr. Theodorus Kobong, Aluk, adat, dan kebudayaan Toraja dalam perjumpaannya dengan Injil, 6

(8)

37

merupakan tata kelakuan masyarakat Toraja. Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ berisi kebiasaan masyarakat Toraja sejak zaman dulu hingga saat ini. Kebiasaan yang berisikan ajaran dan aturan ditetapkan oleh leluhur masyarakat Toraja dan diwariskan secara turun temurun.

Rambu Solo’ dalam ritualnya dilaksanakan selama beberapa hari bahkan ada yang

sampai 1 bulan. Ritual Rambu Solo’ sebenarnya ada banyak namun dewasa ini untuk mengirit waktu, materi serta tenaga maka ritual yang umum dilakukan saat ini hanya beberapa saja. Ritualnya diawali dengan Ma’pesulluk yang berarti mengumpulkan hewan untuk masuk ke kolong rumah panggung atau ini berarti bahwa seluruh hewan yang siap untuk dipersembahkan dikumpul menjadi satu. Hewan yang khas menjadi kurban upacara adat di Toraja adalah kerbau dan babi. Hewan ini dipercaya sebagai kendaraan yang dapat mengantar arwah orang yang sudah meninggal ke Puya atau nirwana bagi masyarakat Toraja.80 Banyaknya hewan yang dikurbankan atau dipotong akan menjadi tolak ukur seberapa banyak kendaraan yang dipakai arwah untuk sampai ke Puya. Semakin banyak kerbau dan babi yang dikurban menandakan bahwa orang yang meninggal berasal dari kasta sosial tinggi.

Ritual yang biasanya dilakukan di hari kedua adalah Ma’riu’ batu yang diartikan sebagai menarik batu. Ritual ini dilakukan dengan menarik sebuah batu besar menggunakan tali ke Rante yaitu tempat luas seperti tanah lapang. Rante pada zaman dahulu berfungsi sebagai tempat khusus pelaksanaan Rambu Solo’ tetapi kini sudah jarang

80 Wawancara dengan RL 1 Agustus 2021

(9)

38

ditempati. Batu ditarik dan ditanam sebagai lambang bahwa ada yang meninggal dan diupacarakan secara lengkap. Ma’riu’ batu dilakukan secara gotong royong dengan melibatkan seluruh laki-laki dewasa di dalam kampung tempat pelaksanaan upacara adat Rambu Solo’. Dalam ritual ini juga ada pemotongan 1 kerbau yang secara simbolis

dilakukan sebagai bentuk penghargaan terhadap arwah yang meninggal

Hari ketiga diisi dengan Massapu Lantang atau membersihkan lantang. Lantang adalah pemondokan yang dibuat sebagai tempat para tamu, keluarga, dan penyelenggara upacara adat untuk duduk ataupun melakukan aktivitas bersama. Massapu lantang berarti menetapkan dan memastikan tempat untuk melaksanakan upacara adat sudah siap digunakan. Hari keempat kadang diisi dengan 2 ritual sekaligus yaitu Ma’pasa’ tedong dan Ma’parokko alang. Ma’pasa’ tedong berarti mengumpulkan semua kerbau dari keluarga dan sanak saudara yang berduka untuk diberi tanda persiapan pemotongan.

Ma’parokko alang berarti menurunkan atau mengeluarkan peti jenazah dari rumah

menuju alang atau lumbung tradisional Toraja.

Ritual hari kelima adalah Ma’palao atau Ma’pasonglo. Ritual ini melibatkan seluruh masyarakat yang ada di kampung tempat upacara Rambu Solo’ dilakukan.

Masyarakat Toraja yang berduka akan berjalan keliling kampung sambil mengarak peti jenazah diikuti dengan kain merah yang dipegang di atas kepala. Setelah dibawa berkeliling maka peti jenazah siap diangkat dan ditempatkan di atas Lakkean. Sebuah pondok yang dibuat cukup tinggi sebagai tempat khusus peti jenazah saat upacara Rambu Solo’ berlangsung selama beberapa hari.

(10)

39

Hari selanjutnya menjadi hari penerimaan tamu yang disebut Mantarima tamu.

Ritual ini dilakukan dengan menyambut tamu rombongan yang datang dari berbagai kampung. Tamu disuguhkan dengan minuman, makanan, serta pangngan atau kapur sirih.

Mantarima tamu menjadi ritual yang ramai karena banyak orang yang datang membawa

kurban mereka bagi yang meninggal. Kurbannya berupa babi ataupun kerbau berbagai jenis dan ukuran. Hari berikutnya setelah Mantarima tamu adalah ritual Mantunu.

Mantunu dalam terjamahan bahasa Indonesia diartikan sebagai membakar, maksudnya

ialah pada hari tersebut kerbau dipotong dan dagingnya dibagi kepada semua orang yang berada di tempat tersebut.

Hari keenam adalah ma’kaburu’ atau penguburan yang menjadi acara puncak dari rangkaian prosesi Rambu Solo’. Jenazah akan di masukan ke dalam Patane atau Liang sesuai dengan adatnya masing-masing. Patane adalah pekuburan modern bagi masyarakat Toraja yang berbentuk seperti rumah dengan ukuran kurang lebih 6x6 meter.81 Konstruksi pembuatan Patane dibuat seperti pembangunan rumah dan pintunya dibuat dari kayu yang sewaktu-waktu dapat dibuka. Kebanyakan masyarakat Toraja saat ini memilih patane sebagai pekuburan karena dirasa lebih praktis dibandingkan dengan pekuburan liang.

Liang terbuat dari batu berbentuk seperti gua. Pembuatan liang membutuhkan waktu yang lebih lama dari patane karena proses pengerjaannya dilakukan dengan memahat batu. Saat ini hanya tersisa beberapa kampung di wilayah Toraja yang masih menggunakan liang, sisanya membangun patane untuk tempat menguburkan jenazah. Setelah ma’kaburu’

81 Wawancara dengan YPG pada 1 Agustus 2021

(11)

40

dilaksanakan itu berarti bahwa serangkaian ritual Rambu Solo’ sudah selesai. Namun ma’kaburu bukan akhir dari adat istiadat dalam kebudayaan masyarakat Toraja.82

Adat istiadat lain yang selalu dilaksanakan di Toraja ialah Rambu Tuka’ atau Aluk Rampe Matallo. Rambu Tuka’ adalah upacara adat masyarakat Toraja untuk persembahan

ungkapan syukur. Ungkapan syukur dilakukan dengan memotong babi untuk dibagi dan dimakan bersama. Rambu Tuka’ terdiri atas beberapa upacara adat, contohnya upacara adat syukuran rumah baru, syukuran Tongkonan atau rumah adat Toraja, pernikahan, dan berbagai acara sukacita lainnya. Ritual adat dalam Rambu Tuka’ tidak seperti ritual dalam Rambu Solo’ yang dilaksanakan berhari-hari. Upacara adat Rambu Tuka’ dapat

dilaksanakan dalam 1 hari saja dan tidak melaksanakan pemotongan kerbau.

Nuansa kebersamaan dan semangat kekeluargaan membuat masyarakat Toraja hidup dengan rasa saling memiliki satu sama lain. Upacara adat yang dilaksanakan masyarakat Toraja menunjukan keberadaan masyarakat yang bergotong royong sebagai sistem sosial. Masyarakat Toraja hidup secara berdampingan dan saling membutuhkan satu sama lain. Seluruh keberadaan masyarakat Toraja didorong oleh aspek sosial yang membuatnya dapat hidup dalam adat istiadat. Adat istiadat sebagai tatanan sosial kemasyarakatan dipelihara dan ditaati masyarakat Toraja di kehidupan sehari-hari.83

Kebudayaan dan masyarakat Toraja menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Masyarakat Toraja menjadi pelaku kebudayaan melalui penghayatannya dalam

82 Wawancara dengan JVP pada 9 Desember 2021

83 Wawancara dengan AN pada 8 Desember 2021

(12)

41

menjalankan adat istiadat. Kebudayaan masyarakat Toraja berkembang secara fisik, personal, dan sosial dipraktikan dalam adat istiadat. Masyarakat Toraja melaksanakan aturan dan mempertahankan ajaran yang diwariskan secara temurun. Aturan dan ajaran tersebut menjadi pola tata kelakuan masyarakat Toraja dalam bertindak dan berperilaku.

Masyarakat Toraja tidak terlepas dari ketentuan Aluk karena wujud kebudayaan yang dipelihara telah menjadi sistem sosial.84 Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas masyarakat Toraja yang berinteraksi baik secara individu maupun berkelompok. Wujud kebudayaan yang dibentuk masyarakat Toraja dalam sistem sosial berkaitan dengan hubungan kemasyarakatan dan perilakunya sehari-hari.

3.3 Kekristenan di Toraja

Keberadaan dan kondisi kemasyarakatan orang-orang di Toraja tidak hanya tentang kebudayaan dalam adat istiadat. Perilaku masyarakat Toraja juga dipengaruhi oleh agama yang berkembang di Toraja. Masyarakat Toraja khususnya yang berdomisili di Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara mayoritas beragama Kristen Protestan. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan mencatat per tahun 2021 masyarakat Toraja yang beragama Kristen Protestan ada sebanyak 395.967 jiwa.85 Catatan lain dari Badan Pusat Statistik yaitu terdapat sekitar 2000 gereja yang ada untuk keseluruhan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan termasuk di Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara.86

84 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, 5

85 Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2021

86 Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2021

(13)

42

Kekristenan di wilayah Toraja diawali oleh kedatangan GZB dari Belanda bernama A.A Van de Loosdrecht bersama istrinya bernama Alida pada tahun 1913.87 Ajaran tentang agama Kristen oleh Van de Loosdrecht menerima banyak respon oleh masyarakat Toraja saat itu. Perjalanan GZB di wilayah Toraja mengalami banyak sekali tantangan terlebih dengan tokoh-tokoh adat yang memegang Aluk Todolo. Pertentangan ini terjadi karena perbedaan keyakinan menurut ajaran agama Kristen dan ajaran menurut keyakinan Aluk Todolo. Masyarakat Toraja zaman dulu sarat dengan kepercayaan terhadap pamali

dari Aluk Todolo sehingga tata kelakuannya dibentuk dari ajaran dan aturan leluhur yang diwariskan turun temurun.

Paham terhadap Pamali yang dipercaya masyarakat Toraja zaman dulu erat kaitannya dengan animisme dari Aluk Todolo. Kepercayaan terhadap Pemali kemudian menjadi sebuah kebiasaan yang mempengaruhi perasaan dan perilaku masyarakat Toraja.

Pemali disebutkan sebagai bentuk kecintaan masyarakat Toraja terhadap budayanya yang

diwujudkan melalui kepatuhan menjalankan aturan Aluk.88 Pada dasarnya masyarakat Toraja baik secara individu maupun berkelompok selalu mengupayakan adat istiadatnya dilakukan dengan baik. Tujuannya agar adat istiadat yang dilakukan ini tidak melenceng dari prosesi seperti biasanya dan tidak akan ada hukuman atau bahaya yang datang jika tidak sesuai dengan aturan leluhur. Masyarakat Toraja secara konseptual tetap mewujudkan keberlangsungan hidup sesuai aturan untuk menghindari tulah. Akibat dari pelanggaran yang dilakukan dipercaya dapat berdampak buruk sehingga bisa

87 Budi Prayetno, Dari Benih Terkecil Tumbuh Menjadi Pohon Besar, diakses pada tanggal 1 Juli 2020 melalui https://budiprayetno.wordpress.com/2009/03/31/dari-benih-terkecil-tumbuh-menjadi-pohon-besar/

88 Dr. Theodorus Kobong, Aluk, adat, dan kebudayaan Toraja dalam perjumpaannya dengan Injil, 6

(14)

43

menimbulkan kerugian secara material dan non material. Keyakinan tersebut terbentuk berdasarkan pengalaman pribadi serta informasi yang berkembang dalam lingkungan masyarakat Toraja.

Penginjilan oleh GZB berdampak besar dalam pengenalan masyarakat Toraja terhadap agama Kristen. Setelah A.A Van de Loosdrecht tiada, agama Kristen di Toraja terus mengalami perkembangan baik secara populasi dan material. Jumlah masyarakat Toraja yang beragama Kristen sejak tahun 1913 terus bertambah dan pembangunan gereja khususnya Gereja Toraja dilakukan di hampir seluruh wilayah Toraja. Kedatangan GZB menjadi cikal bakal tumbuhnya Gereja Toraja dan terbentuknya himpunan jemaat, klasis, serta Sinode Gereja Toraja. Gereja Toraja disusun berdasarkan penataan Presbiterial Sinodal dengan lingkup pelayanan Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode. Sinode dipimpin oleh Badan Pekerja Sinode yang berkedudukan di Tongkonan Sangulele, Rantepao Kabupaten Toraja Utara. Sinode Wilayah terbagi ke dalam 6 wilayah pelayanan yaitu Luwu, Rantepao, Makale, Makassar, Kalimantan, serta Sulawesi Tengah dan Barat.

Tercatat bahwa di tahun 2021, Gereja Toraja terbagi atas 93 Klasis dan 1089 Jemaat dalam seluruh Sinode Wilayah di berbagai tempat. Jemaat adalah lingkup yang paling dasar di Sinode Gereja Toraja dan dipimpin oleh Majelis Gereja yang anggotanya terdiri dari semua pejabat-pejabat gerejawi meliputi Pendeta, Penatua, dan Diaken. Majelis Gereja merupakan pelaku penyebaran agama Kristen yang paling dekat dengan masyarakat Toraja.

Kehidupan masyarakat yang berdomisili di Toraja masih dipenuhi dengan tata kelakuan yang berdasarkan pada adat istiadat. Seiring dengan itu masyarakat Toraja

(15)

44

beragama Kristen tetap mempraktekan ajaran agama Kristen sebagai kebutuhan mendasar sebagai umat beragama. Maka tidak jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari dalam beberapa Klasis di wilayah pelayanan Gereja Toraja terdapat tokoh adat yang berperan sebagai Majelis Gereja Toraja. Berdasarkan fenomena yang terjadi di dalam masyarakat Toraja ini maka Majelis Gereja Toraja sebagai individu pelaku adat dan pimpinan jemaat dapat memiliki idenititas kolektif. Individu atau dalam hal ini masyarakat Toraja mengalami proses untuk mempertahankan eksistensinya dalam menjalankan dua peran sekaligus.

3.4 Realitas Agama Kristen dan Kebudayaan di Toraja

Upaya masyarakat Toraja dalam memelihara agama Kristen terbukti melalui pesatnya perkembangan Gereja Toraja.89 Peristiwa yang mewarnai keberadaan dan perkembangan Injil Kekristenan di Toraja tidak terlepas dari adat istiadat sebagai wujud kebudayaan di Toraja. Gereja Toraja sampai saat ini terus berupaya untuk menampakkan jati dirinya dalam ketaatannya kepada Yesus Kristus dalam ketorajaannya yang berintgrasi dengan adat istiadat masyarakat Toraja.90 Salib digambarkan dengan sisi vertikal dan horizontal, demikianlah adat istiadat dan agama yang dipahami masyarakat Toraja. Kolaborasi antar adat istiadat dan agama kemudian dikemas menjadi Injil yang berbudaya.91

89 Wawancara dengan RM pada 30 Juni 2021

90 Wawancara dengan RM pada 30 Juni 2021

91 Wawancara dengan RM pada 30 Juni 2021

(16)

45

Adat istiadat terus dipertahankan seiring perkembangan gereja di tengah masyarakat. Adat istiadat yang dilakukan tetap menunjukan sikap hidup seperti yang sudah diajarkan leluhur masyarakat Toraja. Hal ini berkaitan dengan aturan dan ajaran dari Aluk Todolo yang nyatanya masih berpengaruh kental dalam adat istiadat masyarakat Toraja saat ini. Sekalipun agama Kristen telah membawa perkembangan untuk kehidupan masyarakat Toraja tetapi pandangan hidup masyarakat secara eksplisit masih menghidupi aturan leluhur yang diwariskan secara turun temurun.

Masyarakat Toraja memiliki konsep untuk menyatakan idenitasnya. Masyarakat Toraja telah memiliki pegangan yaitu adat istiadatnya tetapi masyarakat tetap perlu menerima pemahaman dan pengertian agar adat istiadat dapat dikontekstualisasikan dengan keadaan masa kini.92 Agama Kristen hadir untuk menyeimbangkan bukan mengaburkan masyarakat Toraja tentang keyakinan terhadap yang transenden.

Masyakarat Toraja ialah masyarakat yang terus menghidupi adat istiadatnya sebagai bentuk penghargaan terhadap leluhur. Kegiatan adat dilaksanakan sesuai dengan kepercayaan para pemangku adat di dalam kelompok tempat masyarakat tersebut hidup.

Berbagai prosesi yang dilakukan dibuat sedemikian rupa sesuai dengan tata cara dan sarana prasana yang dikenakan atau dipakai oleh generasi-generasi masyarakat terdahulu.

Masyarakat Toraja menjadi masyarakat berbudaya yang penuh rasa hormat, segan dan patuh kepada orang tua (leluhur) sehingga atas dasar keinginan dari dalam dirinya sendiri melakukan rangkaian kehidupan yang diatur adat istiadat. Masyarakat Toraja

92 Wawancara dengan RM pada 30 Juni 2021

(17)

46

adalah masyarakat yang melestarikan adat istiadatnya dengan cara terus melakukan tradisi.93 Hal ini kerap tidak sesuai dalam prosesnya sehari-hari apabila dikaitkan dengan realitas kekuatan yang dipercaya dalam iman Kristen. Meski diupayakan berdampingan dengan pemahaman agama tetapi pengaruh kepercayaan mistis terhadap tulah dari nenek moyang masyarakat Toraja masih begitu kuat. Kepercayaan yang diidentikan dengan prosesi-prosesi adat warisan nenek moyang mempengaruhi spiritualitas masyarakat Toraja secara kelompok maupun individu. Meski mampu berkolaborasi tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kedua hal ini tetap memiliki perbedaan dan kerap mengalami gesekan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja. Perbedaan pemahaman makna terhadap adat istiadat maupun ajaran agama dapat menjadi gesekan yang menimbulkan dilema.94

Masyarakat Toraja menjadikan adat istiadatnya sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Kehidupan sehari-hari dijalani dengan menimbang aturan-aturan yang telah mengikat. Aturan-aturan yang dimaksud ialah kepercayaan terhadap ajaran nenek moyang dalam adat istiadat. Aturan ini bertujuan untuk memelihara budaya nenek moyang untuk diteruskan ke masa kini.95 Masyakarat Toraja ialah masyarakat yang terus menghidupi adat istiadatnya sebagai bentuk penghargaan terhadap leluhur. Kegiatan adat dilaksanakan sesuai dengan kepercayaan para pemangku adat di dalam kelompok tempat masyarakat tersebut hidup. Berbagai prosesi yang dilakukan dibuat sedemikian rupa

93 Wawancara dengan MP pada 3 Oktober 2021

94 Wawancara dengan NB pada 8 September 2021

95 Wawancara dengan RM pada 30 Juni 2021

(18)

47

sesuai dengan tata cara dan sarana prasana yang dikenakan atau dipakai oleh generasi- generasi masyarakat terdahulu.96

Kehidupan masyarakat Toraja sarat dengan prosesi-prosesi adat warisan nenek moyang. Masyarakat Toraja memiliki niat untuk melestarikan adat istiadatnya dengan cara terus melakukan tradisi.97 Prosesi yang dulu dilakukan menurut aturan Aluk Todolo tetap ada hingga kini. Hal itulah yang seringkali memicu konflik karena terdapat beberapa prosesi yang tidak sepemahaman dengan ajaran agama Kristen. Perbedaan pemahaman ini banyak juga disebabkan karena pergeseran makna yang dipahami oleh masyarakat, sehingga proses pelaksanaannya menimbulkan polemik antara kelompok masyarakat adat dan gereja. Masyarakat bahkan ada yang lebih condong untuk melaksanakan adat istiadatnya dengan memberi makna yang berbeda dengan makna yang dipahami gereja.

Kasus dalam masyarakat Toraja yang hingga kini masih selalu diperbincangkan ialah adanya praktik perjudian sabung ayam dalam prosesi Rambu Solo’. Sabung ayam merupakan kebiasaan orang Toraja yang ada sejak zaman dahulu. Kegiatan sabung ayam dilakukan oleh nenek moyang dengan maksud untuk mengumpulkan orang-orang untuk bercakap-cakap sambil mengadu ayam. Namun pada masa kini, sabung ayam bukan hanya menjadi tempat orang-orang berkumpul melainkan menjadi sarana untuk meraup keuntungan. Sabung ayam tidak lagi dimaknai sebagaimana yang seharusnya, seiring perkembangan waktu makna dari kegiatan tersebut menjadi berbeda. Ini menjadi bahan

96 Wawancara dengan NB pada 8 September 2021

97 Wawancara dengan MP pada 3 Oktober 2021

(19)

48

perbincangan dalam gereja karena sesuai dengan aturan gereja dan ajaran kekristenan tentulah judi bukan hal yang baik dan pantas untuk dilakukan.

Masyarakat Toraja ialah masyarakat adat yang terbentuk karena adanya adat istiadat yang turun temurun tetapi telah mengalami perkembangan pikiran maupun ide-ide tentang kehidupan di zaman ini.98 Perkembangan yang terjadi baik secara positif dan negatif menggiring masyarakat untuk realistis dalam hidup. Sikap realistis yang dimaksud ialah sikap yang mengerti terhadap kebutuhan dan keinginan baik dari dalam diri sendiri maupun kebutuhan dan keinginan kelompok masyarakat. Masyarakat Toraja membutuhkan sarana dan prasarana untuk mewujudkan keberlangsungkan tradisi menurut adat istiadatnya. Proses untuk mencapai hal tersebut membuat banyak masyarakat Toraja yang merantau atau bekerja di luar daerah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat di kampung. Saat ini tercatat beberapa daerah yang menjadi domisili terbesar masyarakat Toraja untuk bekerja, antara lain Papua, Kalimantan, dan Morowali Sulawesi Tengah.99

Keberhasilan masyarakat Toraja di perantauan kini menjadi tolak ukur keberhasilan suatu upacara adat yang dilakukan di Toraja. Keberhasilan upacara adat dinilai dari seberapa banyak materi secara finansial yang digunakan dalam prosesi adat. Rasa longko’

atau siri’ menjadi pendorong mengapa masyarakat Toraja melakukan praktik pemborosan

98 Wawancara dengan HP pada 14 Juli 2021

99 Wawancara dengan HP pada 14 Juli 2021

(20)

49

dalam upacara adat.100 Materi yang digunakan tidak semata-mata hanya untuk kesenangan tertentu saja tetapi ada tujuan lain yang melatarbelakangi hal tersebut. Tingginya keyakinan masyarakat Toraja terhadap stratifikasi sosial membuat banyak masyarakat berlomba-lomba untuk unjuk diri agar garis keturunannya semakin nampak bahkan ingin ditingkatkan.

Nenek moyang masyarakat Toraja mempercayai bahwa berapapun hewan yang dikurbankan saat upacara adat, maka sesuai jumlah hewan tersebutlah kendaraan sang mati menuju nirwana yang oleh orang Toraja disebut Puya. Berbeda dengan pemaknaan

masa kini yang menganggap bahwa berapapun hewan yang dikurban akan menjadi tolak ukur berhasil atau tidak berhasilnya suatu upacara adat. Meski tidak ada pernyataan resmi tentang ukuran keberhasilan suatu upacara adat, tetapi masyarakat Toraja masa kini meyakini bahwa apabila dalam upacara adat semua prosesi dilaksanakan dengan sebaik- baiknya dan mewah maka hal itu menunjukan keberhasilan. Diungkapkan oleh salah seorang narasumber bahwa saat ini ada dilema antara To Kapua dan To Sugi’, perbedaan keduanya sangat jelas tetapi saat ini sulit untuk dibedakan lagi. To Kapua atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Orang Besar maksudnya ialah masyarakat yang memiliki garis keturunan jelas dan dalam stratifikasi sosial juga memiliki kedudukan yang tinggi. Sementara To Sugi’ dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Orang Kaya maksudnya ialah masyarakat Toraja yang mampu secara finansial tetapi belum tentu merupakan keturunan dari kasta yang tinggi.

100 Longko’ dan Siri’ dalam bahasa Toraja diterjamahkan sebagai Malu. Malu dalam hal ini merujuk pada sifat yang diisyaratkan melalui tindakan masyarakat Toraja untuk memperlihatkan kemampuan dirinya demi mendapat verifikasi atau pengakuan dari orang lain.

(21)

50

Perbedaan ini jelas apabila dijabarkan pengertiannya tetapi dalam praktik hidup sehari-hari kini sulit untuk dibedakan. Garis keturunan masyarakat Toraja mengenai kasta dalam masyarakat terus dihidupi hingga kini, sehingga garis keturunan tersebut seharusnya tidak dipengaruhi oleh berbagai kondisi individu. Namun meninjau keadaan saat ini tiap individu terus dituntut oleh kebutuhan hidup maka garis keturunan pun bahkan bisa digeser oleh pencapaian finansial. Masyarakat Toraja yang garis keturunannya berada di kasta rendah tetapi mampu secara finansial akhirnya dapat digolongkan berhasil melaksanakan upacara adat. Hal ini terjadi karena seluruh kebutuhan dan keinginan kelompok masyarakat disanggupi dan disediakan oleh penyelenggara upacara adat sehingga masyarakat lainnya tidak lagi memperdulikan aturan yang ditentukan adat istiadat sesuai stratifikasi sosial.

Masyarakat Toraja ialah kumpulan orang-orang yang bekerja sama, secara gotong royong melaksanakan peraturan-peraturan yang termuat di dalam adat istiadat.101 Adat istiadat akhirnya terus dihidupi dengan maksud menjaga kelestarian ajaran nenek moyang. Masyarakat Toraja ialah masyarakat berbudaya yang penuh rasa hormat, segan dan patuh kepada orang tua (leluhur) sehingga atas dasar keinginan dari dalam dirinya sendiri melakukan rangkaian kehidupan yang diatur adat istiadat. Keyakinan terhadap adat istiadat akhirnya membangun kepercayaan mistis atau kepercayaan terhadap tulah dari nenek moyang masyarakat Toraja.102 Masyarakat Toraja mempercayai adanya nasib buruk apabila kegiatan adat tidak laksanakan sesuai yang biasanya dilakukan. Menurut

101 Wawancara dengan MM pada 10 September 2021

102 Wawancara dengan E pada 8 Agustus 2021

(22)

51

ajaran kekristenan tentulah keadaan ini dinilai sebagai kekeliruan atau salah stigma. Tidak ada hal-hal buruk yang dapat terjadi apabila semuanya dilandasi dengan iman percaya kepada Tuhan.

Dasar-dasar pembentukan identitas masyarakat Toraja antara lain adalah adat istiadat warisan leluhur, agama, maupun kekayaan secara finansial.103 Identitas individu dibentuk oleh salah satunya, keduanya, semuanya ataupun dasar-dasar diluar yang disebutkan sesuai dengan keberadaannya. Masyarakat Toraja secara tidak langsung menjelaskan identitasnya melalui adat istiadatnya dan pemahamannya mengenai agama.

Tindakan yang dilakukan individu menjadi cara mengekpresikan identitasnya.

Perkembangan kekristenan di Toraja membawa dampak terhadap perilaku masyarakat.

Spiritualitas sebagai pemahaman tentang iman Kristen didapatkan melalui pengamalan norma dan nilai kekristenan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kerohanian seseorang.104 Spiritual adalah keyakinan terhadap iman Kristen yang percaya pada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Spiritual iman Kristen berpengaruh kepada Majelis Gereja Toraja serta jemaat. Iman sebagai dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari yang tidak kelihatan menjadi motivasi dan dasar pelayanan.105 3.5 Majelis Gereja Toraja

Identitas Gereja Toraja sebagai sumber kekristenan yang ada di Toraja diwujud nyatakan oleh Majelis Gereja sebagai pimpinan jemaat. Pimpinan jemaat ialah orang-

103 Wawancara dengan HP pada 14 Juli 2021

104Wawancara dengan A pada 26 Mei 2021

105 Wawancara dengan MM pada 10 September 2021

(23)

52

orang yang diutus oleh warga gereja dan pekerja gereja lainnya karena dirasa berkompeten menjadi pelayan.106 Pimpinan jemaat secara individu memiliki pengetahuan dan tekad untuk mewartakan pelayanan Yesus sebagai kepala gereja yang mampu memelihara kepercayaannya sebagai tuntunan jemaat.107 Identitas pribadi dan identitas sebagai Majelis Gereja Toraja melekat dalam diri seseorang dan tidak bisa begitu saja.

Pelayanan Majelis Gereja Toraja pada hakikatnya melekat pada diri meski kadang ada orang yang memisahkan antara urusan kepribadiannya dan pelayanannya.108 Cara menunjukan identitas terkait dengan cara berkomunikasi, bergaul dan berelasi dengan komunitas yang lain.109

Sebagai pimpinan di bidang kerohanian Majelis Gereja Toraja mengarahkan masyarakat Toraja untuk berperilaku seturut iman Kristen.110 Perilaku ini terwujud dalam seluruh aktivitas termasuk kegiatan budaya dan kegiatan sosial dan seluruh aktivitas lainnya. Majelis Gereja Toraja tidak berhenti pada upaya memberi pemahaman tentang iman Kristen kepada jemaat. Majelis Gereja juga turut terlibat dalam adat istiadat yang dilaksanakan masyarakat Toraja. Majelis Gereja Toraja sebagai individu yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat terlibat dalam upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ melalui keikutsertaan Mantunu atau mengurbankan hewan.111

106 Wawancara dengan RM pada 30 Juni 2021

107 Wawancara dengan NB pada 8 September 2021

108 Wawancara dengan MS pada 8 Desember 2021

109 Wawancara dengan AN pada 8 Desember 2021

110 Wawancara dengan MS pada 8 Desember 2021

111 Wawancara dengan RM pada 30 Juni 2021

(24)

53

Majelis Gereja Toraja juga memahami bahwa seluruh partisipasi dalam rangkaian upacara adat maupun mengikuti kebiasaan masyarakat adalah merupakan bentuk pelayanan yang dikontekstualisasikan.112 Keikutsertaan Majelis gereja Toraja dalam melaksanakan adat istiadat tentunya telah mengalami masa pertimbangan yang mengukur efektivitas adat tersebut sesuai kebutuhan dan kepentingan gereja bersama masyarakat secara keseluruhan.113 Pertimbangan tersebut menghasilkan aksi yang menunjukan identitas Majelis Gereja Toraja sebagai identitas pelayan dan pimpinan jemaat yang berakar pada semangat atau motivasi kekristenan. Majelis gereja sebagai pimpinan jemaat merupakan penyambung dari pelayanan Yesus Kristus sebagai kepala gereja dan dipercaya oleh jemaat untuk mengabdikan diri sebagai pelayan.114 Majelis Gereja Toraja adalah individu yang dengan imannya mampu menuntun individu atau umat lainnya memelihara kekristenan dan secara sukarela memberi diri menjadi pelayan bagi gereja untuk mengatur kehidupan umat beragama secara khusus agama Kristen di tempat ia berada.115

Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan gereja adalah sosok yang diberi mandat untuk memimpin jemaat sesuai dengan sebagaimana mestinya kehidupan umat beragama.116 Majelis Gereja Toraja memberi pelayanan bagi anggota jemaat yang mengadakan upacara adat dalam kapasitas sebagai Majelis Gereja namun secara personal

112 Wawancara dengan MP pada 3 Oktober 2021

113 Wawancara dengan MM pada 10 September 2021

114 Wawancara dengan MP pada 3 Oktober 2021

115 Wawancara dengan MM dan E pada 8 Agustus dan 10 September 2021

116 Wawancara dengan HP pada 14 Juli 2021

(25)

54

telah melakukan pembaharuan sehingga tidak lagi terkungkung dalam pemahaman ritual menurut tradisi nenek moyang.117 Ritual yang terdapat dalam upacara adat tetap dilaksanakan tetapi dilakukan menurut keyakinan iman Kristen dan tidak memaksa masyarakat Toraja secara finansial guna menghindari pihak-pihak yang secara personal akan merasa dirugikan.

Majelis Gereja Toraja memahami bahwa seluruh rangkaian yang ada dalam kegiatan adat merupakan bentuk pelayanan Gereja yang dikontekstualisasikan sehingga melibatkan diri dalam kegiatan adat yang dilakukan masyarakat di region pelayanannya.118 Pelayanan oleh Majelis Gereja Toraja mendapatkan bagian tersendiri dalam kelompok masyarakat. Majelis Gereja diberi kesempatan untuk mengembangkan kekristenan di masyarakat lewat ibadah atau kebaktian. Kolaborasi antara adat dan gereja menjadi jawaban untuk dilema. Identitas menjadi kolektif karena Majelis Gereja Toraja sebagai individu memegang dua tugas sebagai pimpinan jemaat dan bagian dari masyarakat sebagai pelaksana adat istiadat. Dilema terjadi apabila diantara agama dan adat istiadat ada yang tidak sesuai, misalnya adat yang tidak sesuai dengan keyakinan iman Kristen. Contoh aksi yang dapat membuat dilema ialah praktik perjudian dalam aksi sabung ayam dan silaga tedong atau adu kerbau.

Keberadaan agama Kristen saat ini di Toraja khususnya bagi para Majelis Gereja sebagai pimpinan jemaat kadang mengalami dilema. Dilema muncul karena pandangan masyarakat luas masih sering diinspirasi atau didorong oleh nilai adat yang sumbernya

117 Wawancara dengan NB pada 8 September 2021

118 Wawancara dengan MP pada 3 Oktober 2021

(26)

55

dari Aluk Todolo. Massa pengikut Aluk Todolo masih cukup kuat sehingga para Majelis Gereja Toraja masih berusaha untuk pelan-pelan mengganti nilai Aluk menjadi nilai iman Kristen.119 Para pelayan berusaha supaya pelaksanaan adat diinspirasi dan dimotivasi oleh iman Kristen untuk menggantikan nilai-nilai Aluk Todolo yang sudah tidak relevan lagi di masa kini. Masyarakat Toraja yang memiliki keyakinan Aluk Todolo melaksanakan adat istiadat sesuai aturan leluhur tetapi masyarakat Toraja yang kini beragama Kristen mesti mengadakan adat istiadat dengan nilai-nilai kekristenan.120

Majelis Gereja Toraja sebagai bagian dari masyarakat Toraja hidup dengan adat istiadat. Majelis Gereja Toraja tetap melaksanakan adat istiadat sepanjang adat tersebut tidak bertentangan dengan apa yang diimani. Adat istiadat yang dilakukan masyarakat Toraja mempengaruhi peran Majelis Gereja berdampak positif dan negatif. Sisi positifnya, Majelis Gereja Toraja dapat bekerjasama dengan masyarakat Toraja. Secara gotong royong masyarakat dan Majelis Gereja melakukan upacara adat yang mendukung pelayanan Gereja Toraja bagi jemaat. Sisi negatifnya adalah adat istiadat yang dilakukan seringkali mengandung keyakinan lama yang masih di luar iman Kristen.121 Keyakinan lama ini merupakan aturan yang bersumber dari warisan leluhur dan sarat dengan kepercayaan Aluk Todolo. Adat istiadat dipahami sebagai sesuatu yang dilakukan secara berulang menurut keyakinan masyarakat Toraja. Keyakinan ini diterima dan diikuti oleh seluruh anggota masyarakat yang berada dalam kelompok pelaku adat.122 Majelis Gereja

119 Wawancara dengan MS pada 8 Desember 2021

120 Wawancara dengan AN pada 8 Desember 2021

121 Wawancara dengan MM pada 10 September 2021

122 Wawancara dengan MM pada 10 September 2021

(27)

56

menunjukan identitasnya melalui cara mengarahkan dan memastikan setiap perilaku adat yang dilakukan tetap berada pada tatanan iman Kristen.

3.6 Pelayanan Majelis Gereja Toraja kepada Masyarakat Kristen di Toraja

Praktik keagamaan yang ada di Toraja saat ini mulai dimuat secara kontekstual agar dapat diterima oleh seluruh masyarakat Toraja. Masyarakat Toraja mengupayakan adat istiadat yang dilakukan mesti dijiwai atau diinspirasi oleh nilai-nilai keagamaan itu di dalamnya. Antar adat istiadat dan agama Kristen di Toraja terdapat kolaborasi untuk membentuk Injil yang berbudaya. Berbagai adat istiadat seperti upacara adat, kebiasaan masyakarat, dan tatanan hidup yang ada dalam masyarakat mulai berakar dari semangat iman Kristen. Upacara adat seperti Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ melibatkan gereja untuk mengambil bagian dalam pelaksanaannya. Gereja Toraja sebagai basis kekristenan terbesar masyarakat di Toraja mendapat bagian pelayanan untuk memimpin ibadah dan memberi pengajaran tentang agama Kristen.

Gereja Toraja yang di dalamnya ada pelayan dipandang masyarakat sebagai pemimpin dalam bidang kerohanian.123 Majelis Gereja Toraja sebagai pewarta agama Kristen mengarahkan masyarakat untuk dipandu dalam seluruh aktivitasnya baik itu kegiatan budaya, sosial, dan aktivitas lainnya agar seturut dengan iman Kristen.124 Majelis Gereja Toraja dan masyarakat Toraja memiliki relasi humanis yang erat kaitannya dengan hubungan kultur.125 Majelis Gereja Toraja mengupayakan pelayanan serta

123 Wawancara dengan MS pada 8 Desember 2021

124 Wawancara dengan MS pada 8 Desember 2021

125 Wawancara dengan AN pada 8 Desember 2021

(28)

57

kepemimpinannya dilakukan secara benar dan kebenaran Injil dapat dinyatakan melalui adat istiadat. Adat istiadat sebagai sebuah tatanan keberadaan hidup, mengatur masyarakat Toraja sesuai dengan apa yang dipahami tentang iman Kristen.

Pemahaman mengenai agama Kristen oleh Majelis Gereja Toraja dapat berdampak pada perkembangan spiritualitas masyarakat Toraja secara individu. Spiritualitas merupakan sebuah semangat yang memberi motivasi untuk melakukan atau mengatakan sesuatu.126 Spiritualitas Kristen adalah pemahaman iman Kristen yang memotivasi dan memberi semangat pada masyarakat Toraja untuk melakukan apa saja menurut ajaran kekristenan. Semangat ini juga mengacu pada motivasi untuk melakukan adat istiadat ataupun melakukan tindakan sosial. Spiritual Kristen itu mendorong, menginspirasi serta menjiwai masyarakat melakukan tindakannya. Spiritualitas terbentuk dari rasa yang diperoleh lewat pemaknaan Majelis Gereja Toraja memahami iman Kristen sehingga aktivitas sehari-hari masyarakat Toraja beragama Kristen khususnya Majelis Gereja Toraja kini dipengaruhi oleh ajaran agama Kristen.

Spiritualitas adalah peri hidup yang membuktikan kejujuran, komitmen, dan integritas pelayanan Gereja Toraja. Spiritualitas mendorong masyarakat Toraja untuk hidup ma’bulo lollong yang artinya hidup dengan baik serta berlaku tulus juga ikhlas.127 Majelis Gereja Toraja terus berusaha dalam pelayanannya untuk menempatkan agama, masyarakat, dan pemerintah di posisi yang sama. Tallu batu lalikan ialah upaya Gereja Toraja, pemerintah Toraja Utara dan Tana Toraja, serta tokoh-tokoh adat dalam

126 Wawancara dengan MS pada 8 Desember 2021

127 Wawancara dengan AN pada 8 Desember 2021

(29)

58

menyatukan ketiga elemen ini sehingga dapat hidup beriringan untuk menyejahterakan seluruh jemaat dan masyarakat yang ada di Toraja.

Identitas Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dilihat dari pelayanan di tengah jemaat. Majelis Gereja Toraja menerapkan aturan serta ajaran yang bersumber dari pemahaman terhadap iman Kristen. Pemahaman tentang iman Kristen mendorong spiritualitas Majelis Gereja Toraja untuk berperilaku. Majelis Gereja Toraja mengambil bagian untuk mengarahkan pada pengetahuan akan realitas hidup keagaamaan yang ada dalam pemahaman iman Kristen.128 Meski demikian, Majelis Gereja Toraja dalam keberadaannya di tengah masyarakat Toraja seringkali mengalami pertentangan dengan adat istiadat. Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat mengemukakan bahwa dalam masa pelayanan terdapat berbagai tantangan yang berkaitan dengan adat istiadat.129 Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat dalam gereja adalah individu yang memberi diri menjadi pelayan bagi gereja serta mengatur kehidupan umat beragama secara khusus agama Kristen di tempat ia berada.130 Pimpinan jemaat adalah sosok yang diberi mandat untuk memimpin jemaat sesuai dengan sebagaimana mestinya kehidupan umat beragama.131 Peran sebagai Majelis Gereja membangun keyakinan mereka tentang iman melalui ajaran gereja. Pemahaman mengenai iman didapatkan melalui pelayanan kepada jemaat yang dipimpin. Keikutsertaan dalam mengambil bagian pelayanan pada ibadah-ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya membangun kepercayaan mereka

128 Wawancara dengan NB pada 8 September 2021

129 Wawancara dengan MP pada 3 Oktober 2021

130 Wawancara dengan E pada 8 Agustus 2021

131 Wawancara dengan HP pada 14 Juli 2021

(30)

59

terhadap Yang Transenden. Pemahaman ini terus tumbuh dan diyakini seiring dengan terbentuknya identitas mereka secara personal sebagai Majelis Gereja Toraja.

Identitas Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat ditunjukan individu melalui kemampuannya untuk mewartakan pelayanan Yesus sebagai kepala gereja.132 Majelis Gereja Toraja mengabdikan diri sebagai pelayan yang dengan imannya menuntun jemaat atau individu lainnya memelihara kekristenan.133 Identitas ini tidak terlepas dari kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Sebagai individu yang merupakan makhluk sosial maka Majelis Gereja Toraja hidup secara berdampingan dengan masyarakat bersama adat istiadatnya. Keterlibatan Majelis Gereja Toraja ditunjukan melalui keikutsertaan dalam kegiatan adat Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Identitas sebagai pimpinan jemaat ditunjukan melalui pelayanan dari gereja dalam ibadah atau kebaktian. Identitas sebagai masyarakat ditunjukan melalui partisipasi dalam prosesi kegiatan adat.

Adat istiadat berpengaruh terhadap pelayanan Majelis Gereja Toraja begitupun sebaliknya. Pengaruh adat istiadat terhadap peran Majelis Gereja Toraja dapat berdampak positif dan negatif. Sisi positifnya ialah antar gereja dan kelompok masyarakat ada kerjasama dan gotong royong yang saling mendukung pencapaian satu sama lain.

Sementara sisi negatifnya ialah kegiatan adat yang dilakukan seringkali dipengaruhi oleh keyakinan lama yang tidak sesuai dengan pemahaman iman Kristen.134 Keyakinan terhadap ajaran nenek moyang yang sekiranya sudah tidak relevan dengan ajaran gereja

132 Wawancara dengan NB pada 8 September 2021

133 Wawancara dengan MP dan MM pada 10 September dan 3 Oktober 2021

134 Wawancara dengan MM pada 10 September 2021

(31)

60

masa kini dapat membuat pertentangan antar Majelis Gereja dan kelompok masyarakat.

Keberadaan individu dapat membentuk identitas kolektif dari kedua hal ini. Sebagai masyarakat yang hidup dengan aturan adat istiadat narasumber tetap terlibat dalam berbagai prosesi adat tetapi dalam keyakinannya tetap menempatkan dirinya sebagai Majelis Gereja Toraja yang mengimani ajaran agama Kristen.

Adat istiadat kini telah banyak mengalami perkembangan dan terus dilaksanakan sesuai dengan keberadaan masyarakat Toraja itu sendiri. Perkembangan yang terjadi tidak selamanya berdampak baik bagi gereja secara keseluruhan tetapi juga dapat memicu pertentangan. Perbedaan pemaknaan dan prosesi adat yang berjalan tidak sesuai dengan iman Kristen membuat dilema bagi Majelis Gereja Toraja secara khusus. Proses untuk memberi pemahaman kepada jemaat tentang ajaran gereja kemudian dapat dicampuradukkan ke dalam adat istiadat masyarakat. Meski ada pendapat bahwa pengaruh adat istiadat terhadap pelayanan Majelis Gereja bukanlah masalah besar karena seiring dengan adanya kegiatan adat dan pertahanan eksistensi gereja melakukan pendampingan tetapi adat istiadat dalam prosesinya tetapi memberi pengaruh yang luar biasa terhadap posisi atau eksistensi keberadaan pelayanan Majelis Gereja. Pendampingan diberikan kepada masyarakat dengan metode kebudayaan yang berbasis Injil sehingga antara agama dan adat istiadat masih dapat diselaraskan dalam praktik kehidupan masyarakat Toraja beragama Kristen.135

135 Wawancara dengan RM dan NB pada 30 Juni dan 8 September 2021

(32)

61

Adat istiadat serta tradisi di Toraja berpengaruh terhadap keberadaan Majelis Gereja Toraja sebagai individu yang sudah menjadi satu bagian dengan masyarakat berbudaya.

Pengaruh ini timbul karena Majelis Gereja Toraja sebagai individu, berdomisili atau tinggal di wilayah di mana masyarakat Toraja melaksanakan kegiatan adatnya.136 Masyarakat Toraja adalah jemaat di dalam Gereja Toraja dan jemaat adalah bagian dari kelompok masyarakat Toraja yang menjalankan adat istiadat sehari-harinya. Kegiatan adat dilakukan oleh masyarakat Toraja, sementara pelayanan dilakukan oleh Majelis Gereja Toraja sebagai pimpinan jemaat. Kedua hal ini dapat dibedakan tetapi tidak dapat terpisahkan karena pelaksananya satu person dengan identitas kolektif.

136 Wawancara dengan MP pada 3 Oktober 2021

Referensi

Dokumen terkait

Upaya-upaya lain yang dapat dilakukan Kejaksaan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara/daerah dari para tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi pasal 2 ayat

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian, antara lain: (1) Bagaimanakah respon mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika Unismuh Makassar

Kerentanan merupakan upaya mengidentifikasi dampak akibat dari bencana seperti jatuhnya korban jiwa, kerugian ekonomi, kerusakan sarana prasarana, analisis kerentanan

3.2 Upaya Intervensi Perilaku yang Dilakukan Manajemen pada Pekerja Sabila Craft Upaya intervensi perilaku merupakan usaha yang dilakukan manajemen dalam menciptakan, mengarahkan,

Di halaman utama Admin terdapat beberapa menu yaitu menu validasi data siswa, input nilai psikotes, input bobot kriteria, proses evaluasi dan pengaturan akun.. Menu Admin

Satuan amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis (dalam Ihalauw, 2003:174) dan yang

Berbeda dari tulisan-tulisan tersebut, penelitian ini akan mencoba menunjukkan bahwa Aung San Suu Kyi memiliki dua peranan yang berbeda selama proses transisi politik

Tesis ini berjudul Program Pelatihan Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus UntukMeningkatkan Penerimaan dan Pengasuhan Anaknya yang Bersekolah di SLB Negeri Metro