• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESOLUSI KONFLIK PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN TUBAN 2006 MELALUI KERANGKA KONSEPTUAL PENDIDIKAN IPS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RESOLUSI KONFLIK PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN TUBAN 2006 MELALUI KERANGKA KONSEPTUAL PENDIDIKAN IPS."

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMAKASIH ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Klasifikasi Konsep ... 14

D. Tujuan Penelitian ... 17

E. Manfaat Penelitian ... 17

F. Metode Penelitian ... 18

BAB II KAJIAN TEORI A. Konflik 1. Pengertian konflik ... 20

2. Perilaku Kolektif (Collective behavior) ... 23

a. Sifat Dari Perilaku Kolektif ... 24

b. Faktor Penyebab Perilaku Kolektif ... 26

B. Resolusi Konflik 1. Pengertian Resolusi Konflik... 30

(2)

xi

3. Model The Circle of Conflict ... 40

a. Konsep-konsep pokok model the circle of conflict ... 42

b. Strategi model the circle conflict ... 45

4. Resolusi Konflik melalui Pendidikan ... 46

C. Pendidikan IPS ... 53

1. Nilai-Nilai Pendidikan ... 54

2. Resolusi konflik sebagai salah satu keterampilan ... 57

3. Pendidikan IPS sebagai salah satu solusi ... 60

4. Penelitian Terdahulu ... 63

5. Paradigma Penelitian ... 66

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 69

B. Penentuan Obyek Penelitian ... 72

C. Teknik Pengumpulan Data ... 75

D. Reliabilitas dan Validitas ... 78

E. Teknik Analisis Data ... 79

F. Lokasi Penelitian ... 83

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi 1. Tinjauan Umum Kabupaten Tuban ... 84

2. Kronologi Konflik Kerusuhan Pasca Pilkada a. Penjaringan Bakal Calon dan Penetapan ... 96

b. Masa Kampanye ... 103

c. Memasuki Minggu Tenang ... 107

d. Hari H Pemilihan ... 108

e. Tuban Membara 29 April 2006 ... 111

f. Isu-isu aksi balasan ... 129

3. Kondisi Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya Masyarakat Tuban dalam

(3)

xii 2006

a. Kebijakan Pembangunan pada Masa Pemerintahan Bupati Haeny Relawati antara Tahun 2001-2006

1) Kebijakan pembangunan jalan ... 132

2) Keramikisasi Trotoar ... 134

3) Mentalitas Birokrasi ... 135

4) Pengambilalihan paksa ... 137

5) Penghambatan Investasi ... 138

b. Kondisi sosial Masyarakat Tuban menjelang 2006 1) Pengabaian struktur sosial lama ... 141

2) Tumbuhnya Nilai Sentral ... 143

3) Ambruknya Tatanan Sosial ... 145

4) Akumulasi Kekecewaan ... 148

B. Pembahasan 1. Menguak Latar Belakang Konflik Krusuhan Pasca Pilkada Langsung Kabupaten Tuban Tahun 2006 ... 151

a. Structural conduciveness ... 151

b. Structural Strain ... 154

c. Growth and spread of a generalized belief ... 156

d. Precipitating factor ... 157

e. Mobilization of participants for action ... 158

f. The operation of social control ... 160

2. Model The Circle Conflict dan analisis nilai pendidikan dalam menguak nilai-nilai pendidikan dari peristwa konflik . 162

3. Kerangka konseptual Pembelajaran Sejarah berbasis resolusi konflik ... 173

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 182

B. Saran ... 184

(4)

xiii LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. Daftar Nara Sumber dan koding Dokumen ... 3.1

B. Kisi Pedoman Wawancara ... 3.2

C. Rekaman Suara Orator ... 4.1

D. Gambar Video Kronologis ... 4.2

E. Transkrip Wawancara ... . 4.3

F. Dokumentasi Koran I ... . 4.4

G. Dokumentasi Koran II ... 4.5

(5)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1: Teori-teori dalam resolusi konflik ... 37

Tabel 2.2: Penjabaran The Circle of Conflict ... 45

Tabel 4.1: Time Line ... 86

Tabel 4.2: Daftar Bupati Tuban ... 93

Tabel 4.3: Perolehan Suara di TPS Cabup/Cawabup ... 110

Tabel 4.4: Rekapitulasi hasil penghitungan suara di 20 kec ... 111

Tabel 4.5: Daftar gedung dan aset-aset yang rusak ... 131

Tabel 4.6.: Hubungan Fakta Nilai ... 168

Tabel 4.7: Pengujian Karakter Moral dalam Nilai ... 170

(6)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1: Diagram Konflik di Indonesia 1990-2001 ... 3

Gambar 2.1: Model Problem Solving dalam Resolusi ... 32

Gambar 2.2: Model The Circle Conflict ... 42

Gambar 2.3: Keterampilan sosial ... 59

Gambar 2.4: Paradigma Penelitian ... 68

Gambar 3.1: Triangulasi ... 79

Gambar 3.2: Analisis Data ... 81

Gambar 4.1: Peta Wilayah Tuban ... 94

Gambar 4.2: Lambang Kabupaten Tuban ... 95

Gambar 4.3: Alur Kerusuhan ... 127

Gambar 4.4: Analisis Nilai ... 166

(7)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Konflik adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam kehidupan manusia (Mc

Collum, 2009: 14). Terjadinya konflik merupakan sebuah keniscayaan dalam

proses interaksi antar-individu, individu dengan kelompok maupun kelompok

dengan kelompok yang masing-masing disebabkan oleh perbedaan baik dalam

latar belakang interaksi, kemampuan berinteraksi, maupun tujuan berinteraksi.

Tidak terkecuali konflik juga terjadi pada masyarakat Indonesia yang mempunyai

latar belakang politik, etnis, suku, dan agama yang berbeda. Dari latar belakang

yang beragam ini, corak konflik yang terjadi di Indonesia juga beragam

diantaranya konflik yang terjadi karena permasalahan etnis seperti yang pernah

terjadi di Solo antara etnis Cina dengan Pribumi pada Mei 1998 (Copel. 2006:

73), karena permasalahan politik dalam bentuk separatisme yang pernah terjadi di

Papua dan Aceh (Braithwaite. 2010: 49-166; 343-428; Bertrand. 2004: 161)

karena permasalahan suku antara suku Dayak dengan suku Madura seperti yang

terjadi di Sampit Kalimantan Barat (Klinken. 2007: 55; Braithwaite: 291) dan

karena permasalahan agama antara agama Islam dan Kristen seperti yang terjadi

di Ambon (Klinken: 88).

Konflik mempunyai dua sifat yaitu destruktif (merusak) dan konstruktif

(membangun). Sean Mc Collum (2009: 18) mengutip pendapat Deutsch Morton

seorang ahli dalam resolusi konflik yang berpendapat bahwa ketika konflik

(8)

2

faktor. Arah konflik dipengaruhi oleh latar belakang yang ada di balik konflik

yang terjadi; apa yang sedang dipertaruhkan; nilai-nilai dan norma apa yang

terhubung pada jaringan tersebut. Hasil yang didapatkan dari sebuah konflik juga

dipengaruhi oleh sikap dan keterampilan dalam resolusi konflik dan pengalaman

oang-orang yang terlibat dalam konflik.

Dalam konteks kehidupan masyarakat di Indonesia terutama kondisi

menjelang reformasi sampai reformasi bergulir, tercatat oleh Bapenas dan PBB

dalam rentang tahun 1997 sampai tahun 2004 terjadi sebanyak 3600 peristiwa

konflik di seluruh Indonesia (Kapanlagi.com). Dari jumlah yang tergolong banyak

tersebut menurut penelitian Klinken, (2007: 138) selama antara tahun 1999-2004

konflik yang terjadi telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 19.000 orang

meninggal dunia. Banyaknya korban jiwa dalam peristiwa konflik tersebut

menandakan bahwa selama ini konflik yang terjadi di Indonesia berjalan ke arah

destruktif yaitu merusak.

Dalam konteks skala perbandingan sebelum reformasi (orde baru) sampai

masa reformasi Sukardi Rinakit dalam Maribeth (2005: 83) memaparkan bahwa

telah terjadi peningkatan intensitas konflik pada saat sebelum dan sesudah Suharto

lengser dengan sifat yang semakin regional dan menelan korban jiwa yang sangat

besar. Peningkatan ini menurut Sukardi dikarenakan proses reformasi yang diikuti

dengan otonomi daerah tidak dijalankan dengan hati-hati mengingat Indonesia

mempunyai latar belakang yang beragam baik etnis, agama, demografi, politik

dan kelas sosial yang sangat memungkinkan terjadi konflik horizontal. Data yang

(9)

3

Indonesia yang pada mulanya hanya terjadi maksimal 8 kali dalam setahun

dengan korban jiwa ratusan dan meningkat intensitasnya menjadi ratusan kali

konflik dengan jumlah korban jiwa yang mencapai ribuan. Berikut data konflik

dari tahun 1990 sampai tahun 2001.

Gambar 2.1: Angka Konflik di Indonesia antara 1990-2001 Sumber: Sukardi Rinakit (2005: 83)

Fenomena konflik yang cenderung meningkat di Indonesia dari masa sebelum

reformasi sampai terjadi reformasi menarik perhatian banyak peneliti untuk

mengkajinya. John Braithwaite (2010: 1) mempublikasikan hasil penelitiannya

tentang fenomena konflik di Indonesia dan sempat memberikan kesimpulan

bahwa kurun waktu antara tahun 1997-2004 di Indonesia secara teoritik

mengalami masa yang dalam bahasa Emile Durkheim adalah anomie yaitu sebuah

(10)

4

kurun itu telah terjadi kekacauan yang telah didukung oleh lembaga. Menurutnya

pihak keamanan di Indonesia mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi dan

bukannya mencegah terjadinya kekerasan pada semua pihak. Oleh karena itu

sangat wajar apabila kurun waktu tersebut disimpulkan sebagai kondisi anomi

bangsa Indonesia.

Intensitas konflik di Indonesia yang cenderung meningkat tidak terlepas dari

masa transisi pemerintahan yang pada waktu sebelumnya bersifat terpusat menjadi

desentralisasi. Proses desentralisasi ini juga dibarengi dengan proses politik yang

pada masa sebelumnya bersifat top down sekarang menjadi bottom up. Proses

perubahan politik praktis seperti pemilihan kepala daerah yang pada masa lalu di

pilih oleh pemerintah pusat, sekarang menjadi hak setiap warga negara untuk

memilihnya secara langsung. Proses politik inipun menjadi salah satu pemicu

terjadinya konflik yang sifatnya komunal dan regional. Sukardi Rinakit dalam

Maribeth (2005: 84) memaparkan bahwa selama kurun waktu antara tahun

1999-2001 terjadi peristiwa konflik di 18 daerah dan 16 diantaranya bersifat komunal

dan 2 lainnya bersifat separatis dengan jumlah korban jiwa sebesar 6.208. Pada

kenyatannya proses peralihan pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi

telah meminta korban jiwa yang tidak sedikit.

Proses politik pemilihan kepala daerah tingkat I dan II secara langsung

sebagai tindak lanjut desentralisasi di Indonesia juga menjadi salah satu potensi

terjadinya konflik. Terhitung sejak disahkannya Undang-undang Pemilihan

Kepala Daerah (selanjutnya disingkat Pilkada) pada tahun 2005 sampai 2010

(11)

5

menimbulkan kerusuhan (Tempointeraktif.com: 2010). Konflik pasca pilkada

yang belanjut pada kerusuhan ini terjadi di Maluku Utara, Bengkulu, Aceh

Tenggara, Sulawesi Barat dan Tuban. Dari kelima kasus tersebut penulis tertarik

untuk mengkaji adalah kasus konflik kekerasan pasca konflik pilkada yang terjadi

di Tuban Jawa Timur. Perbedaan kasus kerusuhan yang terjadi di Tuban diantara

kelima yang lainnya adalah: kasus ini terjadi di Kabupaten Tuban Jawa Timur

yang notabene terletak di Pulau Jawa dan berbeda secara geografis dengan

keempat kasus yang lainnya; kasus kerusuhan di Tuban berlangsung sangat hebat

dan singkat meskipun tidak sampai jatuh korban jiwa. Berdasarkan observasi

pendahuluan yang dilakukan penulis, konflik Tuban tahun 2006 telah

meluluhlantakkan gedung pemerintahan, hotel, rumah pribadi, gudang, pompa

bensin, kendaraan, dan yang lainnya; sisa-sisa kerusuhan berupa konflik laten

sampai sekarang masih terlihat.

Dalam konflik yang terjadi pasca pilkada di beberapa daerah biasanya tidak

berlanjut pada kerusuhan. Konflik akan berakhir seiring dengan adanya keputusan

dari Pemerintah tentang penyelesaian konflik tersebut. Konflik pasca pilkada yang

terjadi di Tuban tahun 2006 antara masyarakat pendukung Noor Nahar Husein-Go

Tjong Ping (selanjutnya disingkat Non-Stop) dengan pemerintah dalam hal ini

Bupati Tuban Haeny Relawati yang pada saat itu menjadi calon incumbent sampai

sekarang masih menyisakan konflik secara laten. Konflik laten tersebut dapat

dilihat dari masih berdiri sisa-sisa bangunan pendopo yang dibiarkan hangus tidak

diperbaiki oleh pihak pemerintah sampai sekarang, Kantor KPUD yang dirusak

(12)

6

tantangan kepada pemerintah di tembok-tembok; beredarnya kaos bernada

tantangan kepada Bupati; proses pembangunan oleh pemerintah yang timpang;

bahkan pengaturan jadual imam di Masjid jami’ Tuban pun tidak terlepas dari

konflik laten yang terjadi (wawancara: M). Beberapa karakteristik yang unik dari

kasus konflik kerusuhan di Kabupaten Tuban inilah yang menarik untuk di

jadikan sebuah kajian, terutama jika dikaitkan dengan pendidikan IPS yang

seharusnya mempunyai andil besar dalam rangka proses pemberian ketrampilan

resolusi konflik untuk menjadikan masyarakat menjadi warga negara yang baik.

Konflik kekerasan pasca Pilkada di Tuban Jawa Timur terjadi antara masa

pendukung Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dengan Pemerintah dalam hal ini

Bupati Tuban Haeny Relawati sebagai incumbent berawal dari pemungutan suara

yang dilaksanakan pada tanggal 28 April 2006. Masa pendukung Non-Stop

merasa pengumuman hasil Pilkada pada saat itu banyak sekali di warnai

kacurangan. Konsentrasi masa pendukung Non-Stop mulai terlihat sejak sore hari

pada waktu penghitungan suara di kantor KPUD Tuban hingga larut malam

(Radar Bojonegoro, 29 April 2006). Setelah penghitungan suara hasil pilkada

berakhir dan ternyata Non-Stop dinyatakan kalah, menimbulkan kekecewaan di

pihak pendukungnya. Akhirnya malam itu juga mereka terlihat melakukan

koordinasi untuk melakukan protes di KPUD keesokan harinya dengan

mengerahkan masa yang sangat banyak.

Pada tanggal 29 April pukul 09.00, sekitar 15 ribu sampai 30 ribu masa

pendukung Non-Stop mulai berkumpul di depan kantor KPUD dan melakukan

(13)

7

saudara RS, saudara R dan saudara YM. Orasi mereka antara lain mengiginkan

adanya tinjauan ulang terhadap hasil pilkada dengan membeberkan jumlah DPT

(Daftar Pemilih Tetap) dengan rekapitulasi hasil pilkada oleh KPUD. Aksi mereka

tidak mendapat respon sama sekali oleh para pimpinan KPUD dan akhirnya aksi

masa memaksa masuk ke kantor KPUD. Sempat terjadi aksi saling dorong antara

masa aksi dengan aparat kepolisian yang berjaga-jaga didepan kantor KPUD.

Akhirnya masa aksi dengan mempergunakan kendaraan truk tronton menabrak

barikade polisi dan berhasil menguasai kantor KPUD. Setelah kantor KPUD

mereka kuasai akhirnya mereka merusak dan membakarnya sampai luluh lantah

(Surya, 30 april 2006).

Karena merasa aksi mereka belum mendapatkan hasil, maka masa aksi

melanjutkan demonstrasinya di depan kantor Bupati dan Pemda di Alun-alun

Tuban. Seperti tuntutan sebelumnya, mereka meminta hasil pemilu di batalkan

dan menuntut Bupati untuk turun jabatan. Karena tidak mendapatkan respon

akhirnya masa aksi merangsek kedalam rumah dinas Bupati dan Pendopo

Kabupaten Tuban. Karena jumlah aparat keamanan tidak sebanding dengan

banyaknya masa aksi, akhirnya dengan tiada berdaya aparat keamanan

membiarkan pendopo krido manunggal, dan enam bangunan lainnya seperti

gedung Korpri, gedung PKK, guest house, gedung dharma pertiwi, gedung

organisasi wanita (GOW) (Jawa Pos, 30 April 2006). Masa dikomando oleh orator

sambil membakar semangat perlawanan terhadap Bupati meluapkan

kekecewaannya dengan melakukan pembakaran terhadap asset-aset pribadi bupati

(14)

8

Sekitar pukul 1 siang masa mulai menyebar menuju asset-aset bupati yang

lain yaitu rumah mewahnya yang berdiri diatas tanah seluas sekitar 10 hektar,

hotel mustika milik bupati, gudang 99 milik bupati, pompa bensin di jalan RE

Martadinata dan Jl. Manunggal, Rumah pribadi bupati di Jl. Agus Salim, Kantor

Golkar di Jl. Basuki Rahmat (Surya, 30 April 2006). Semua bangunan tersebut

dijarah dan di rusak. Bahkan rumah mewah, hotel dan gudang milik Bupati

sempat dibakar oleh masa. Aksi tidak hanya dilakukan pada asset-aset pribadi

bupati, akan tetapi merembet pada rumah-rumah para pimpinan KPUD

diantaranya rumah Sumitro Karmani dan rumah pendukung Bupati yang notanebe

para kontraktor. Siang itu Kota Tuban menjadi lautan api dan terjadi kepanikan

warga terutama para pendukung Bupati yang mendapatkan ancaman bahwa rumah

mereka akan dibakar. Terjadi eksodus di beberapa tempat untuk menyelamatkan

asset-aset berharga terutama oleh pihak-pihak yang selama ini mendukung bupati.

Pada awalnya aksi masa tidak dapat di kendalikan oleh aparat Polres maupun

Kodim Tuban karena jumlah antara aparat dengan masa aksi yang tidak

sebanding. Bahkan para aparat hanya bisa menonton sambil mengamankan

beberapa tempat yang masih dapat mereka amankan. Menjelang siang konsentrasi

masa mulai terpecah menuju asset-aset pribadi Bupati dan pada saat bersamaan

didatangkan bantuan dari polres Bojonegoro, Lamongan, Jombang dan Polda

Jatim (Radar Surabaya, 30 April 2006). Kondisi inilah yang memudahkan para

aparat untuk sedikit mengendalikan aksi masa. Sampai malam tiba, kondisi

Kabupaten Tuban masih sangat mencekam karena beredar isu aka nada aksi

(15)

9

ibarat kota mati karena diberlakukan jam malam untuk mengantisipasi gerakan

masa susulan.

Keesokan harinya beredar isu akan ada aksi masa balasan dari beberapa

sektor pendukung Bupati sebagai calon incumbent. Siang itu kondisi jalan-jalan

sepi dan aktifitas perekonomian kota Tuban lumpuh total. Masa pendukung

Non-stop maupun Heany masing-masing berjaga-jaga untuk mengamankan asset

mereka masing-masing. Beberapa orang menjadi DPO dan terus di buru oleh

pihak aparat yang sudah mendapatkan bala bantuan personil yang sangat banyak

(Memo, 1 Mei 2006). Beberapa orang yang dicurigai ikut terlibat dan menjadi

provokator satu persatu ditangkap dan membuat shock terapi tersendiri bagi

warga. Akhirnya kondisi mencekam ini dapat dikendalikan meskipun masih

menyisakan berbagai permasalahan yang sampai sekarang masih terlihat.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat Tuban

pendukung calon bupati Noor Nahar Husein terhadap lawan politiknya yaitu

Haeny Relawati tidak mencerminkan sebuah perilaku kaum terpelajar ataupun

agamawan. Apabila dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat kabupaten Tuban,

seharusnya perilaku kekerasan tersebut tidak mesti terjadi dengan tingginya

tingkat pendidikan yang ada di Kabupaten Tuban (BPPS Tuban: 2010).

Disamping itu, masyarakat Tuban yang religius dengan dibuktikan adanya makam

salah satu penyebar agama Islam Sunan Bonang di Tuban dan banyaknya pondok

pesantren yang berdiri di sana, menimbulkan pertanyaan besar, mengapa

masyarakat Tuban melakukan kekerasan? Apalagi kekerasan yang dilakukan

(16)

10

dalam waktu beberapa saat saja. Apakah kekerasan tersebut memang murni

kekerasan akibat pilkada atau merupakan akumulasi dari kekecewaan yang

terpendam dan terluapkan pada saat pilkada?

Dalam hal ini perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat

Tuban pada saat pilkada tahun 2006 dapat digolongkan sebagai perilaku

kolektif/collective behavior. Kekerasan yang terjadi saat itu merupakan tindakan

kolektif dan menimbulkan kerusakan yang cukup parah dalam tempo waktu yang

sangat singkat. Perlu adanya sebuah analisis tentang sebab-sebab terjadinya

kekerasan tersebut, apakah memang murni permasalahan pilkada ataukah terdapat

permasalahan lainnya yang menjadi pemicu. Untuk menganalisis sebab-sebab

munculnya perilaku kolektif masyarakat Tuban tersebut dan bagaimana langkah

resolusinya pada saat sekarang melalui nilai-nilai yang terkandung dalam

peristiwa tersebut dapat dipergunakan analisa model the circle of conflict yang

telah dipergunakan oleh Christopher Moore dalam CDR Associates (Furlong,

2005: 30).

Beberapa langkah resolusi/penyelesaian konflik telah dilakukan setelah

terjadi konflik 2006, baik secara formal ataupun informal antara masa pendukung

Non-Stop dengan Haeny Relawati dan pendukungnya. Langkah-langkah resolusi

yang telah dilaksanakan diantaranya adjudikasi (menghukum para pelaku yang

diduga melakukan pembakaran dan pengerusakan), mediasi antara pemerintah

dengan elit politik maupun masyarakat yang pernah berseberangan (Radar

Bojonegoro,16 Mei 2006). Semua usaha resolusi tersebut agaknya belum begitu

(17)

11

eks-terpidana yang sampai sekarang merasa bahwa dirinya tidak bersalah dan

menyalahkan pihak lain. Selain itu mediasi yang dilakukan oleh LSM ataupun

pihak-pihak independen sampai sekarang belum dapat menemukan kedua belah

pihak untuk bersama-sama melakukan perdamaian. Kegagalan dalam resolusi ini

apakah disebabkan tipologi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat saat itu

memang unik dan bukan kekerasan sesaat tetapi sebuah akumulasi? Ataukah

proses resolusi konflik yang dilakukan masih kurang tepat sehingga memerlukan

sebuah pendekatan yang baru? Semua hal itu akan menjadi kajian dalam

penelitian ini.

Menurut peneliti diperlikan sebuah pendekatan baru dalam penyelesaian

konflik perlu untuk dilakukan di Indonesia khususnya di wilayah yang pernah

terjadi konflik seperti di Tuban Jawa Timur yaitu melalui pendidikan terutama

pendidikan sosial. National Curriculum for Social Studies atau disingkat NCSS

(1994: 149) sebagai salah satu lembaga yang menaungi pendidikan social/ social

studies di Amerika Serikat telah memasukkan resolusi konflik sebagai salah satu

keterampilan yang harus diajarkan dalam pembelajaran IPS di sekolah. Hal ini

tidak terlepas dari banyaknya fenomena konflik yang mengarah pada tindakan

destruktif dan mulai mendapatkan perhatian oleh para ahli yang konsen terhadap

konflik dan resolusi sebagai sebuah kajian yang baru pada tahun 1990 an

(Schlenberg, 1997: 7).

Menurut Hursh (2000: 65) mengutip pendapat Brameld sebagai seorang

pencetus filsafat pendidikan reconstructionism bahwa pendidikan diharapkan ikut

(18)

12

yang baru. Pendidikan tidak boleh jauh dari realita kehidupan social dan

diharuskan ikut bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan social.

Pendidikan harus mengawal semua transformasi social yang terjadi sehingga tidak

hanya menjadi tempat penggodokan kawah candradimuka saja.

Sekolah sangat penting sebagai tempat pendidikan resolusi konflik

sebagaimana Morton dan Susan (Frydenberg. 2005: 139) berpendapat bahwa

sekolah adalah pusat kehidupan social siswa. Perbedaan etnis, gender, usia,

kemewahan dan kemiskinan, ketrampilan menjadi lahan subur bagi konflik serta

kesempatan untuk pertumbuhan. Sekolah harus mengubah dalam cara dasar

mendidik anak-anak sehingga mereka bukan melawan satu dengan yang lainnya

akan tetapi mengembangkan kemampuan untuk mengatasi konflik secara

konstruktif daripada destruktif dan siap untuk melaksanakan kehidupan secara

damai. Hal ini berarti membangun di seluruh system sekolah, belajar bersama,

pelatihan dalam resolusi konflik, penggunaan tema kontroversi konstruktif dalam

mengajar mata pelajaran dan menciptakan resolusi pada pusat senketa. Pada saat

dewasa siswa akan bisa mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan

yang akan memungkinkan mereka untuk bekerjasama dengan orang lain dan

menyelesaikan konflik dalam kehidupan yang tidak terelakkan secara konstruktif.

Berkaitan dengan permasalahan konflik pilkada di kabupaten Tuban yang

telah terjadi pada tahun 2006 dan sampai sekarang masih terlihat sisa-sisa konflik

yang bersifat laten, diperlukan sebuah langkah resolusi yang dapat meredakan

konflik dan bahkan menghilangkan potensi-potensi yang sampai sekarang masih

(19)

13

berkaitan dengan nilai-nilai yang mendorong masyarakat melakukan konflik

kerusuhan tersebut. Dibutuhkan sebuah pengungkapan kronologis kejadian untuk

mendapatkan gambaran yang jelas tentang peristiwa konflik kekerasan pasca

pilkada tahun 2006 tersebut. Dengan pengungkapan kronologi tersebut maka akan

dapat dianalisa faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa tersebut.

Pada gilirannya dari peristiwa tersebut dapat diambil beberapa nilai-nilai

khususnya nilai-nilai pendidikan yang terkandung sehingga dapat diterapkan

dalam pembelajaran IPS untuk memberikan bekal keterampilan kepada peserta

didik khususnya di Kabupaten Tuban agar peristiwa serupa tidak terulang

kembali.

B. Rumusan masalah

Berangkat dari beberapa pemaparan pada awal tulisan ini, maka penulis dapat

memformulasikan beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian

yang akan diteliti dan dibahas secara tuntas pada penelitian berikut ini:

1. Bagaimana Kronologi Konflik kerusuhan pasca pilkada di Tuban tahun

2006?

2. Apa yang menjadi latar belakang penyebab konflik kerusuhan pasca

pemilihan kepala daerah langsung 2006 di Kabupaten Tuban Jawa Timur?

3. Nilai-nilai apa saja yang dapat diambil dari konflik kerusuhan pasca

pilkada tersebut sehingga dapat dipergunakan dalam pendidikan sebagai

langkah resolusi?

4. Bagaimana resolusi konflik pilkada Tuban tahun 2006 melalui pendidikan

(20)

14 C. Klarifikasi Konsep

Klarifikasi konsep dimaksudkan untuk memberikan batasan konseptual pada

kajian yang akan dilakukan oleh peneliti. Klarifikasi ini berupa pengertian yang

diberikan untuk menyatukan persepsi agar tidak terjadi mis-konsepsi dalam

penelitian ini. Berikut ini klasifikasi konsep-konsep utama maupun konsep

pendukung yang akan dikaji diantaranya:

1. Konflik

Konflik di terjemahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 799)

sebagai sebuah percekcokan; perselisihan dan pertentangan. Dalam konteks

konflik kekerasan pasca pilkada tahun 2006 di Tuban Jawa Timur, konflik

tersebut dapat dilihat dengan teori proses social sebagai hasil interaksi social

antara individu atau kelompok dan berusaha untuk membuat generalisasi tentang

sisfat dari proses tersebut (James A Sclenberg, 1996: 13). Konflik pasca pilkada

tahun 2006 di Tuban adalah hasil dari interaksi antara pendukung calon bupati

Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dengan pendukung pasangan Haeny

Relawati-Lilik Suhardjono yang bersinggungan dalam konteks pilkada pada tanggal 28

April tahun 2006. Konflik kekerasan ini terjadi secara komunal sebagai perilaku

kolektif antara pendukung calon bupati Noor Nahar Husein-Go Tjong ping

dengan Haeny Relawati-Lilik Suhardjono. Komponen penting dalam konflik

Tuban antara lain aktor Pemerintah (bupati sebagai incumbent dalam Pilkada) dan

pendukungnya dengan pihak Noor Nahar- Go Tjong Ping sebagai representasi

(21)

15

adalah pemasalahan hasil Pilkada 2006 dan tindakan yang dilakukan adalah

pengerusakan beberapa asset pribadi dan negara.

2. Resolusi Konflik

James A Sclenberg (1996: 9) memaparkan bahwa resolusi konflik merupakan

isu sentral dalam bidang kajian konflik yang berarti setiap usaha untuk

mengurangi/menyelesaikan konflik social. Usaha ini dapat dilakukan dengan

tindakan penyadaran pada peraturan, perubahan lingkungan, pengaruh pihak

ketiga, dan kemenangan pada salah satu pihak. Dalam konteks resolusi konflik

kasus kekerasan pasca pilkada di Tuban Jawa Timur, resolusi konflik di artikan

sebagai setiap usaha untuk mengurangi/menyelesaikan konflik dengan perubahan

lingkungan. Perubahan lingkungan yang dimaksud adalah dengan melihat latar

belakang konflik dan memberikan pendidikan resolusi konflik kepada siswa

sebagai langkah perubahan lingkungan yang sebelumnya menimbulkan konflik.

Materi pembelajarannya didapatkan dari nilai-nilai yang didapatkan dari kejadian

konflik tersebut.

3. Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Pemilihan Kepala Daerah Langsung adalah sarana pelaksanaan kedaulatan

rakyat di wilyah propinsi, Kabupaten dan atau Kotamadya berdasarkan Pancasila

dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Landasan

praktis pemilihan kepala daerah langsung adalah PP No. 6 tahun 2005 tentang

pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil

kepala daerah. Dalam konteks penelitian yang saya lakukan adalah pemilihan

(22)

16

dilaksanakan untuk pertama kali dan di ikuti oleh dua kontestan yaitu pasangan

calon Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dengan pasangan Haeny Relawati-Lilik

Suhardjono.

4. Pendidikan IPS

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 353) pendidikan berarti

perbuatan memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak

dan kecerdasan pikiran. Sedangkan IPS atau social studies menurut menurut

National Council for the Social Studies (NCSS) (1994: 3)

social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned dicisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.

Artinya: ilmu-ilmu sosial adalah studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan

humaniora untuk memperkenalkan kompetensi sipil. Dalam program sekolah,

studi sosial diberikan dalam bentuk interdisipliner, studi sistematis

menggambarkan pada disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi, ekonomi,

geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi,

serta konten yang sesuai dari humaniora, matematika, dan ilmu alam. Tujuan

utama penelitian sosial adalah untuk membantu kaum muda mengembangkan

kemampuan untuk membuat kebijakan informasi dan dasar yang baik sebagai

warga masyarakat, untuk keragaman budaya dan demokrasi di dunia yang saling

(23)

17

adalah pembelajaran ilmu social yang dilakukan pada jenjang SMA/ MA

khususnya pendidikan Sejarah. Materi pembelajaran yang diberikan adalah

integrasi dari nilai-nilai yang didapat dari peristiwa konflik kerusuhan pasca

pilkada tahun 2006 di Kabupaten Tuban. Ketrampilan social yang dikembangkan

dalam pembelajaran IPS ini adalah ketrampilan berpartisipasi dalam bernegosiasi,

kompromi, berargumen dalam resolusi konflik dan perbedaan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan peneliatian ini adalah untuk mendeskripsikan:

1. Mengetahui kronologi peristiwa konflik kerusuhan pasca pilkada tahun

2006 di Tuban

2. Mengetahui penyebab konflik kerusuhan pasca pilkada tahun 2006 di

Tuban

3. Mengambil nilai-nilai dari peristiwa konflik tersebut untuk dijadikan

bahan pembelajaran dalam pendidikan IPS sebagai langkah resolusi.

4. Membuat sebuah kerangka pembelajaran IPS (sejarah) nilai-nilai dari

peristiwa konflik tersebut.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:

1. Secara teoritis, dalam kajian ilmiah menambah khazanah penelitian IPS

terutama tentang proses resolusi yang merupakan salah satu modal

(24)

18

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

terhadap penyelesaian konflik pasca pemilihan kepala daerah langsung

tahun 2006 di kabupaten Tuban Jawa Timur melalui pendidikan IPS

3. Bagi para praktisi pendidikan, pendidikan sejarah berbasis resolusi

konflik dapat dipergunakan sebagai pendekatan dalam pembelajaran.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif yaitu sebuah konsep

besar yang meliputi beberapa bentuk penyelidikan yang membantu kita

memahami dan menjelaskan makna fenomena sosial yang alami dengan tanpa

dilakukan sebuah perlakuan. Menurut Sharan (1998: 5) ada beberapa istilah yang

sering dipergunakan dalam pendekatan ini secara bergantian yaitu naturalistic

inquiry, field study, participant observation, inductive research, case study, dan

ethnography. Menurut Creswell dalam bukunya Educational Research penelitian

kualitatif adalah jenis penelitian dimana peneliti sangat tergantung terhadap

informasi dari objek/partisipan pada: ruang lingkup yang luas, pertanyaan yang

bersifat umum, pengumpulan data yang sebagian besar terdiri atas kata-kata/teks

dari partisipan, menjelaskan dan melakukan analisa terhadap kata-kata dan

melakukan penelitian secara subyektif (Creswell, 2008: 46). Menurut Gay (2006:

399) penelitian kualitatif adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi narasi

secara komprehensif pada data visual untuk mendapatkan wawasan terhadap

fenomena tertentu yang menarik.

Alasan dipergunakannya metode ini berkaitan dengan obyek yang akan

(25)

19

Strauss dalam bukunya Basics of Qualitative Research bahwa penelitian social

harus menggunakan pendekatan kulitatif . Menurut Anselm (1998: 9-10) hal ini

dilakukan dengan alasan:

peneliti harus turun kelapangan untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi, (b) relevansi teori didasarkan pada data untuk pengembangan disiplin dan untuk aksi social, (c) kompleksitas fenomena dan tindakan manusia, (d) keyakinan bahwa manusia adalah actor yang mengambil peran aktif dalam merespon suatu situasi problematic, (e) keasadaran bahwa manusia bertindak atas dasar makna, (f) pengertian bahwa makna didefinisikan dan definisikan ulang melalui interaksi, (g) suatu kepekaan terhadap alam akan mengungkap suatu peristiwa, (h) suatu kesadaran akan keterkaitan antara kondisi (struktur), tindakan (proses) dan konsekuensi.

Berdasarkan beberapa alasan diatas, peneliti mempergunakan pendekatan

kualitataif dalam meneliti konflik kerusuhan pasca pilkada di Kabupaten Tuban

tahun 2006. Adapun strategi yang penulis lakukan adalah dalam bentuk case study

(studi kasus) dimana menekankan pada sebuah peristiwa, oleh sekelompok

(26)

69 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian

Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif yaitu sebuah konsep besar

yang meliputi beberapa bentuk penyelidikan yang membantu dalam memahami

dan menjelaskan makna fenomena sosial yang alami dengan tanpa dilakukan

sebuah perlakuan. Menurut Merriam (1998: 5) ada beberapa istilah yang sering

dipergunakan dalam pendekatan ini secara bergantian yaitu naturalistic inquiry,

field study, participant observation, inductive research, case study, dan

ethnography. Menurut Creswell dalam bukunya Educational Research penelitian

kualitatif adalah jenis penelitian dimana peneliti sangat tergantung terhadap

informasi dari objek/partisipan pada: ruang lingkup yang luas, pertanyaan yang

bersifat umum, pengumpulan data yang sebagian besar terdiri atas kata-kata/teks

dari partisipan, menjelaskan dan melakukan analisa terhadap kata-kata dan

melakukan penelitian secara subyektif (Creswell, 2008: 46). Menurut Gay (2006:

399) penelitian kualitatif adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi narasi

secara komprehensif pada data visual untuk mendapatkan wawasan terhadap

fenomena tertentu yang menarik.

Alasan dipergunakannya metode ini berkaitan dengan obyek yang akan diteliti

yaitu masyarakat manusia (social). Berdasarkan pendapat dari Anselm Strauss

(1998: 9) yang dipengaruhi oleh pendapat Park, Thomas, Dewey, Meade, Hughes

dan Blumer dalam bukunya Basics of Qualitative Research bahwa penelitian

social harus menggunakan pendekatan kulitatif . Menurut Anselm (1998: 9-10)

(27)

70

(a) peneliti harus turun kelapangan untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi, (b) relevansi teori didasarkan pada data untuk pengembangan disiplin dan untuk aksi social, (c) kompleksitas fenomena dan tindakan manusia, (d) keyakinan bahwa manusia adalah actor yang mengambil peran aktif dalam merespon suatu situasi problematic, (e) keasadaran bahwa manusia bertindak atas dasar makna, (f) pengertian bahwa makna didefinisikan dan definisikan ulang melalui interaksi, (g) suatu kepekaan terhadap alam akan mengungkap suatu peristiwa, (h) suatu kesadaran akan keterkaitan antara kondisi (struktur), tindakan (proses) dan konsekuensi.

Penelitian yang penulis lakukan tentang konflik kerusuhan pasca pilkada yang

terjadi di kabupaten Tuban Jawa Timur mengikuti pendapat Anselm diatas

berkaitan dengan tindakan masyarakat Tuban sebagai actor yang mengambil peran

aktif dalam peristiwa tersebut. Dengan memfokuskan pada para pelaku kerusuhan

yang telah ditahan dikarenakan tindakan yang mereka lakukan diharapkan dapat

diperoleh informasi sekitar kerusuhan tersebut dan latar belakang dari tindakan

yang mereka lakukan. Kemudian punulis juga akan berusahan menguak makna

dari tidakan yang telah dilakukan atas dasar kesadaran masing-masing pelaku.

Strategi yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang

menurut Creswell (2010: 20) merupakan strategi penelitian dimana didalamnya

peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau

sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktifitas, dan peneliti

mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur

pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Sedangkan menurut

Merriam (1998: 27) studi kasus adalah suatu upaya penyelidikan empiris yang

menyelidiki fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata yang belum

jelas. Desain studi kasus dipergunakan untuk memperoleh pemahaman mendalan

(28)

71

deskriptif, holistic dan intensif. Menurut Meriam (1998: 29-30) terdapat tiga ciri

strategi studi kasus dalam penelitian kualitatif yaitu: (1) partikularistik, bahwa

studi kasus difokuskan pada keadaan tertentu sebuah situasi, kegiatan ataupun

fenomena; (2) deskriptif, bahwa semua hasil akhir dari sebuah studi kasus

dideskripsikan secara “kaya” dari sebuah fenomena.; (3) heuristik, bahwa studi

kasus memberikan penjelasan kepada pembaca untuk memahami tentang

fenomena.

Dalam proses penelitian kualitatif, Creswell (2008: 52) dan Gay, Mills (2006:

400) memaparkan beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang peneliti

kualitatif yaitu:

a. Mengidentifikasi topik penelitian: Peneliti mengidentifikasi topik atau studi yang menarik bagi penelitian. Seringkali topik awal dipersempit menjadi lebih mudah dikelola.

b. Meninjau literatur: Peneliti meneliti ada penelitian untuk mengidentifikasi informasi yang bermanfaat dan strategi untuk melaksanakan penelitian. c. Memilih peserta/obyek: Peneliti harus memilih peserta untuk menyediakan

pengumpulan data. Peserta sengaja dipilih (yaitu, tidak secara acak dipilih) dan biasanya lebih sedikit jumlahnya dari pada sampel kuantitatif.

d. Pengumpulan data: Peneliti mengumpulkan data dari peserta. Data kualitatif cenderung akan dikumpulkan dari wawancara, observasi, dan artefak.

e. Menganalisis dan menafsirkan data: Peneliti menganalisis tema dan hasil data yang dikumpulkan dan menyediakan interpretasi data.

f. Pelaporan dan mengevaluasi penelitian: Peneliti merangkum dan mengintegrasikan data kualitatif dalam narasi dan bentuk visual.

Enam langkah ini yang nantinya akan kami jadikan sebuah desain penelitian

yang akan kami lakukan terhadap fenomena social pasca kerusuhan pilkada

langsung 2006 di Kabupaten Tuban Jawa Timur. Untuk langkah pertama dan

kedua dalam penelitian kualitatif ini telah dijabarkan dalam bab sebelumnya.

(29)

72 B. Penentuan Obyek Penelitian

Dalam memilih peserta/menentukan obyek dilakukan dengan secara sengaja

(purposeful) tidak secara acak untuk mengumpulkan data yang kita inginkan.

Menurut Creswell (2008: 214), dalam penelitian kualitatif, obyek/peserta yang

akan diteliti ditentukan oleh peneliti (purposeful sampling) yaitu melakukan

pemilihan/seleksi terhadap orang atau tempat yang terbaik yang dapat membantu

kita dalam memahami sebuah fenomena. Noeng Muhajir (1991: 48) juga

menyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya mengambil sampel lebih kecil

dan pengambilannya cenderung memilih yang purposive daripada acak. Cara ini

bertujuan untuk membangun sebuah pemahaman yang detail guna membangun

pemahaman yang berguna, membantu peneliti memahami fenomena, dan

mengungkap rahasia yang terpendam.

Dalam penelitian ini obyek yang akan penulis teliti adalah masyarakat Tuban

yang terlibat dalam konflik kerusuhan pasca pilkada langsung 2006 di Kabupaten

Tuban Jawa Timur. Untuk membantu penulis dalam pengambilan data, perlu

dilakukan langkah pengambilan sampel. Dalam mengambil sampel dari sebuah

obyek yang penulis teliti, ada dua tahapan yang dapat lakukan yaitu sebelum

melakukan pengumpulan data dan setelah pengumpulan data dimulai.

Pengambilan sampel data menurut Creswell (2008: 216-217) ada sembilan cara

beserta tujuan yang dapat kita lakukan dalam menentukan yaitu:

1. Typical sampling dengan tujuan untuk menggambarkan sesuatu yang

khas dan tidak biasa terhadap sebuah kasus.

2. Extreme case sampling dengan tujuan untuk menjelaskan sebuah

keadaan yang merugikan atau bermanfaat.

3. Maximal variation sampling dengan tujuan untuk mengembangkan

(30)

73

4. Critical sampling dengan tujuan untuk menjelaskan sebuah kasus yang

menggambarkan situasi yang dramatis.

5. Homogeneous sampling dengan tujuan untuk menggambarkan

beberapa sub kelompok secara mendalam

6. Theory or Concept Sampling dengan tujuan untuk menghasilkan teori

atau mengeksplorasi konsep.

7. Opportunistic sampling yaitu sampel yang diambil untuk mengambil

manfaat dari kasus yang terungkap

8. Snowball sampling yaitu sampel yang diambil dengan tujuan untuk

menentukan orang atau tempat yang akan dipelajari

9. Confirming / disconfirming sampling yaitu sampel yang diambil untuk

mengungkap kasus yang jelas maupun tidak jelas.

Dalam meneliti masyarakat Tuban yang terlibat konflik kerusuhan pasca

pilkada langsung 2006, penulis akan memfokuskan pada masyarakat Tuban yang

saat itu terlibat dalam aksi demonstrasi yang berakhir rusuh khususnya yang

tertangkap dan dihukum. Terdapat 120 orang yang dijadikan tersangka dan

dihukum saat itu. Tentunya tidak semua eks-tapol tersebut yang akan penulis

jadikan obyek / sumber penelitian. Oleh karena itu penulis akan mengambil

beberapa orang tersebut sebagai sampel dalam penelitian ini. Langkah penentuan

sample yang akan penulis lakukan sebagaimana telah dipaparkan diatas yaitu

dengan menggunakan critical sampling. Critical sampling dengan tujuan untuk

menjelaskan sebuah kasus yang menggambarkan situasi yang dramatis.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang kerusuhan tersebut, penulis

akan mengambil beberapa eks-tapol tersebut yang akan kami jadikan sampel yaitu

koordinator aksi, koordinator kendaraan, pengurus cabang partai, pengurus anak

cabang partai, orator, dan masyarakat nelayan. Beberapa orang ini kami pilih

dengan asumsi agar dapat memberikan informasi yang akurat tentang kronologis

(31)

74

simpatisan dan dari warga masyarakat biasa. Beberapa orang yang akan kami

jadikan sampel antara lain:

1. M : Mantan ketua DPRD Kab Tuban fraksi PKB periode 2004-2009 , saat

kerusuhan dan sekarang menjadi sekretaris DPC PKB Tuban yang sempat

menjalani hukuman selama 9 bulan.

2. R S : Koordinator lapangan yang pada waktu itu aktif di LSM Tuban

Peduli, SIROS, dan menjalani hukuman paling lama yaitu 2 tahun 1 bulan.

3. Er : Ketua Anak Cabang PKB Kecamatan Merakurak saat terjadi

kerusuhan dan menjalani hukuman paling ringan 2 bulan kurang 1 hari.

4. SH : Anggota PKB yang saat itu menjadi koordinator kendaraan dan

sempat menjalani hukuman 4 bulan 12 hari.

5. SL : Warga kecamatan Jenu yang berprofesi sebagai nelayan dan petani

dan sempat menjalani hukuman selama 4 bulan 21 hari.

6. D : Pedagang pasar baru Tuban dan ikut demonstrasi tetapi tidak sampai

tertangkap. Darmuji oleh penulis dijadikan key person yang menunjukkan

siapa saja yang terlibat saat itu.

7. AK : Pemuda asal kelurahan King-king kecamatan Tuban yang saat itu

mengikuti demo dan tidak tertangkap

8. RN : Aktivis GMNI dan pengurus PDIP Tuban yang saat kerusuhan tahun

2006 menjadi orator dan berhasil melarikan diri.

9. SI : Kepala Tata Usaha Yayasan mabarot Sunan Bonang saat kerusuhan

sampai sekarang.

(32)

75

11. R : Pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shomadiyah Tuban

12. SK : Ketua KPUD Tuban Saat itu dan saat ini

13. AC : Warga Kecamatan Senori Tuban

14. K : Warga Kecamatan Semanding pengurus PNPM dan pendukung He-li

C. Teknik Pengumpulan Data

Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data yang menurut Creswell (2009:

266); Gay (2006: 413-423) merupakan usaha membatasi penelitian,

mengumpulkan informasi melalui observasi dan wawancara baik terstruktur

maupun tidak, dokumentasi, materi-materi visual, serta usaha merancang protocol

untuk merekam dan mencatat informasi. Langkah-langkah dalam pengumpulan

data antara lain

1. Identifikasi lokasi-lokasi atau individu yang sengaja dipilih. Untuk langkah

ini sebagaimana telah dipaparkan dalam penentuan obyek diatas tentang

individu-individu yang akan dipilih dalam penelitian yaitu eks-tapol dan

para demonstran yang tidak tertangkap. Adapun lokasi-lokasi yang akan

peneliti observasi diantaranya puing-puing bangunan pasca kerusuhan 2006

yang sampai sekarang ada yang masih belum tersentuh dari renovasi.

Disamping itu beberapa lokasi yang menjadi pendukung dalam penelitian

ini juga akan diteliti diantaranya terminal wisata, trotoar keramik, pasar

besar yang mangkrak dan sebagainya.

2. Strategi pengumpulan data yang dilakukan antara lain:

(33)

76

Observasi adalah langkah pengumpulan data dengan turun kelapangan

untuk mengamati perilaku dan aktifitas individu-individu di lokasi

penelitian. Dalam langkah ini peneliti merekam/mencatat baik secara

terstruktur maupun semistruktur. Peneliti juga dapat terlibat dalam

peran-peran yang beragam, mulai dari sebagai partisipan maupun non-partisipan

hingga partisipan utuh. Observasi yang akan peneliti lakukan sebagai

non-partisipan antara lain mengamati perilaku masyarakat Kabupaten Tuban

pasca konflik tahun 2006.

b. Wawancara

Dalam wawancara kualitatif, peneliti dapat melakukan face-to face

interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan,

mewawancarai mereka dengan telephon atau terlibat langsung dalam focus

group interview yang terdiri atas enam sampai delapan partisipan per

kelompok. Wawancara-wawancara ini tentu saja memerlukan

pertanyaan-pertanyaan yang secara umum tidak terstruktur (unstructured) dan bersifat

terbuka (open-ended) yang dirancang untuk memunculkan

pandangan-pandangan dan opini dari para partisipan. Secara garis besar materi

wawancara yang akan penulis lakukan dalam bentuk pertanyaan antara

lain:

(1) Bagaimana kronologi demonstrasi pasca pilkada pada tahun 2006 yang

berakhir rusuh tersebut?

(34)

77

(3) Apa yang menjadi latar belakang ikut demonstrasi yang berakhir rusuh

tersebut?

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan dokumen-dokumen public seperti

Koran, makalah, laporan kantor ataupun dokumen privat seperti buku

harian, diary, surat dan email. Dalam studi dokumentasi pada penelitian ini

akan difokuskan pada laporan Koran Surya, Jawa Pos, Bhirawa, Duta

Masyarakat, Memo dan majalah Teropong, Akbar yang terbit mulai bulan

Maret, April, Mei tahun 2006. Disamping laporan Koran tersebut, penulis

juga meneliti laporan dari Koran online dan news online diantaranya:

detik.com, metrotv news, kotatuban.com. Selain dari laporan Koran,

peneliti juga akan mengambil data kondisi Kabupaten Tuban secara

ekonomis, politis, pendidikan, dan budaya melalui catatan laopran dari

kantor BPPS kabupaten Tuban. Peneliti juga akan mengambil data dari

dokumen privat yaitu buku putih yang dikeluarkan oleh tim Non-stop dari

Sabda Ronggolawe yang berjudul 71 Alasan Haeny Relawati Tidak Pantas

Menjadi Bupati Tuban.

d. Materi audio visual

Materi audio visual yang akan peneliti pergunakan dalam penelitian ini

antara lain rekaman video tentang kerusuhan yang didapat dari peserta

demonstaran, video laporan dari media elektronik terutama Metro TV dan

(35)

78 D. Reliabilitas dan Validitas

Dalam penelitian kualitatif, validitas tidak memiliki konotasi yang sama

dengan validitas dalam penelitian kuantitatif, tidak pula sejajar dengan

reliabilitas (yang berarti pengujian stabilitas dan konsistensi respon) ataupun

dengan generalisabilitas (yang berarti validitas eksternal atas hasil penelitian

yang dapat diterapkan pada setting, orang atau sampel yang baru). Menurut

Creswell (2009: 285) Validitas kualitatif merupakan upaya pemeriksaan

terhadap akurasi hasil penelitian dengan menerapkan prosedur-prosedur

tertentu. Terdapat delapan prosedur yang sering diterapkan dalam penelitian

kualitatif yaitu: trianggulasi, member checking, membuat deskripsi padat,

mengklarifikasi bias, menyajikan informasi yang berbeda (negatif),

menggunakan waktu yang lama, melakukan tanya jawab dengan rekan,

mengajak seorang auditor luar. Dalam penelitian ini penulis akan

menggunakan strategi trianggulasi yaitu melakukan pemeriksaan dari

bukti-bukti lain. Menurut Burhan Bungin (2009: 257) triangulasi memberi

kesempatan untuk dilaksanakannya beberapa hal diantaranya: (1) penilaian

hasil penelitian oleh responden; (2) mengoreksi kekeliruan oleh sumber data;

(3) menyediakan tambahan informasi secara sukarela; (4) memasukkan

informan dalam kancah penelitian; (5) menilai kecukupan data. Pada

penelitian ini, hasil wawancara dari narasumber akan peneliti croscek dengan

(36)
[image:36.595.120.512.104.618.2]

79

Gambar 3.1: Triangulasi

Reliabilitas kualitatif mengindikasikan bahwa pendekatan yang digunakan

peneliti konsisten jika diterapkan oleh peneliti-peneliti lain. Dalam penelitian

ini pendekatan yang peneliti pergunakan telah dipergunakan dalam meneliti

kasus “Pemberontakan Petani Banten” oleh Sartono serta telah dipergunakan

oleh saudara Sriyanto dalam meneliti kasus kerusuhan Tasikmalaya tahun

1996.

E. Teknik Analisis Data

1. Analisis Data dan Interpretasi

a. Analisis data menurut Gay (2006: 480) adalah upaya peneliti kualitatif

untuk meringkas data yang dikumpulkan secara akurat dan dapat di

andalkan. Hal ini adalah penyajian temuan penelitian dengan cara yang

lazim dilakukan. Creswell (2009: 276-283) memberikan enam tahapan

dalam proses analisis data antara lain

1) Mengolah data dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah ini

termasuk transkripsi wawancara, men-scaning materi, mengetik data

lapangan, memilih dan menyusun data berdasarkan sumber informasi Hasil

wawancara

Laporan Koran Kronologis, latar

(37)

80

2) Membaca keseluruhan data dengan merefleksikan makna secar

keseluruhan dan memberikan catatan pinggir tentang gagasan umum

yang diperoleh

3) Menganalisis lebih detail dengan men-coding data. Creswell (2009: 279)

mengutip pendapat Bogdan dan Biklen dalam tahapan coding yaitu:

a) Konteks setting dan konteks

b) Perspektif-perspektif subyek

c) Kecenderungan berfikir subyek tentang orang lain

d) Kode proses

e) Kode aktivitas

f) Kode strategi

g) Kode relasi dan struktur social. Adapun langkah konkrit coding

sebagaimana di lampiran

4) Menerapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang,

kategori-kategori dan tema-tema yang akan ditulis

5) Menunjukkan bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan ditulis dalam

narasi atau laporan kualitatif.

6) Menginterpretasikan data

(38)
[image:38.595.117.509.111.640.2]

81

Gambar 3.2: analisis data

b. Interpretasi data adalah upaya peneliti untuk menemukan makna dalam data

dan menjawab pertanyaan penelitian sebagai implikasi dari temuan penelitian.

Menurut Gay (2006: 482) interpretasi data meliputi:

1) Interpretasi data didasarkan pada keeratan hubungan, aspek umum, dan

keterkaitan antara bagian-bagian data, kategori, dan pola. Interpretasi

bermakna dapat dicapai jika peneliti mengetahui data dengan sangat rinci.

Dalam hal ini peneliti menghubungkan antara data yang didapat dari

wawancara, laporan Koran dan video. Memvalidasi

keakuratan informasi

Data mentah (transkripsi, data tangan, gambar dan sebagainya Mengolah dan mempersiapkan

data untuk dianalisis Membaca keseluruhan data Men-coding data (tangan atau

computer)

Tema-tema

deskripsi Menghubungkan tema-tema/deskripsi (studi kasus)

Menginterpretasikan tema-tema/deskripsi-deskripsi

Transkrip wawancara dengan pelaku, video kerusuhan dan

laporan media masa Memilah data dalam kategori, kronologi, penyebab, nilai dan kondisi pasca sampai sekarang Membaca keseluruhan data Memberi tanda dengan di blok

untuk transkrip dan ditandai bolpoin untuk koran Menghubungkan tema-tema/deskripsi (studi kasus)

Menginterpretasikan tema-tema/deskripsi-deskripsi

Kronologi,peny ebab, nilai dan kondisi skr

(39)

82

2) Tujuan interpretasi adalah untuk menjawab pertanyaan yaitu: bagaimana

kronologi peristiwa?; apa yang yang menjadi latar belakang peristiwa?;

nilai-nilai apa yang terkandung?; dan kerangka konseptual penerapan

dalam pendidikan IPS?

3) Memperluas analisis adalah strategi interpretasi data dimana peneliti hanya

memperpanjang analisis data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan

tentang studi ini, mencatat implikasi yang mungkin ditarik tanpa

mempengaruhi data. Pertanyaan yang dimunculkan peneliti dalam

interpretasi ini antara lain mengapa mereka terlibat dalam konflik

kerusuhan tersebut? Apa posisinya mereka pada peristiwa tersebut? Apa

keuntungannya? Dan sebagainya.

4) Menghubungkan temuan dengan pengalaman pribadi adalah strategi yang

mendorong peneliti untuk melakukan personalisasi interpretasi

berdasarkan pengetahuan yang mendalam dan pemahaman tentang setting

penelitian. Peneliti menghubungkan pengalaman peneliti saat itu (tahun

2006) dengan hasil wawancara dan laporan media masa.

5) Mencari saran kritis dari teman-teman adalah strategi untuk melibatkan

dan mengundang seorang rekan terpercaya untuk menawarkan wawasan

tentang penelitian yang mungkin telah terlewatkan karena kedekatan

peneliti dalam meneliti. Penulis mengambil saran kritik dari teman penulis

yaitu saudara Najib.

6) Mengontekstualisasikan temuan penelitian dalam literatur terkait

(40)

83

memberikan dukungan bagi temuan penelitian dan mendorong peneliti

untuk melakukan hubungan dengan "otoritas eksternal". Dalam strategi

ini telah penulis lakukan pada bab I dengan mengakaitkan kodisi

kerusuhan Tuban dengan kerusuhan yang

7) Mengalihkan kepada teori adalah strategi yang mendorong peneliti untuk

menghubungkan temuan mereka dengan isu-isu yang lebih luas. Dengan

demikian, untuk mencari dan meningkatkan tingkat abstraksi dan untuk

mengembangkan deskriptif yang melampaui perhitungan asal. Hal ini

sudah penulis lakukan di bab I.

8) Mengatur interpretasi dengan bijaksana dan menghindari evangelis tentang

penafsiran Anda. Memberikan hubungan yang jelas antara pengumpulan

data, pengumpulan, dan interpretasi.

F. Lokasi Penelitian

(41)

182 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari kajian terhadap peristiwa konflik kerusuhan pasca pilkada tahun 2006 di

Kabupaten Tuban, maka dapat diperoleh hasil diantaranya bahwa konflik

kerusuhan pasca pilkada tahun 2006 murni dilakukan oleh masyarakat Kabupaten

Tuban yang kecewa terhadap pemerintahan Bupati Haeny relawati dan terluapkan

ketika menemukan momentum pilkada tahun 2006 yang terbukti terjadi

kecurangan.

Konflik kerusuhan kerusuhan pasca pilkada tahun 2006 dilatarbelakangi oleh

beberapa factor yaitu: pertama adanya pemaksaan struktur baru dari struktur lama

(structural conduciveness) yang menyebabkan masyarakat terutama yang sering

bersinggungan dengan kebijakan memendam perasaan kecewa terhadap

pemerintah. Penyebab kedua adalah adanya pengabaian struktur sosial yang telah

ada terutama berdasarkan agama dalam hal ini NU (Structural strain). Pengabaian

ini menyebabkan warga NU Tuban mulai memendam kekecewaan terhadap

penguasa Tuban terhitung sejak tahun 2003. Penyebab ketiga adalah terbentuknya

satu nilai (Growth and spread of a generalized belief) yaitu keadilan yang dituntut

masyarakat Tuban untuk mencapai tujuan bersama. Keempat adalah hancurnya

tatanan sosial (precipitating factors) yaitu hubungan yang semakin hancur antara

rakyat Tuban yang kecewa dengan pemerintah dengan saling menghujat. Hal ini

(42)

183

dilakukan melalui pertemuan pengajian dan do’a bersama. Penyebab kelima yaitu

adanya pengumpulan masa (mobilization of participants for action) melalui

konsolidasi ikatan-ikatan formal PKB Tuban dan informal untuk melakukan aksi.

Penyebab terakhir adalah adanya momentum pilkada yang terbukti terjadi

kecurangan sehingga menyebabkan masyarakat Tuban meluapkan

kekecewaannya. Penyebab terakhir ini tidak sesuai dengan teori Smelser tentang

memudarnya kontrol pemerintah, dan yang menyebabkan konflik kerusuhan di

Tuban hanya berjalan sebentar dengan eskalasi yang begitu besar.

Dari peristiwa konflik kerusuhan pasca pilkada langsung tahun 2006 di Tuban

didapatkan nilai-nilai pendidikan yang diambil dari peristiwa konflik tersebut

antara lain: nilai keadilan, nilai kejujuran, nilai cinta damai, nilai kebersamaan,

nilai berfikir jernih, nilai nrimo ing pandum/qona’ah. Keenam nilai ini dapat

diterapkan sebagai sebuah resolusi konflik melalui pendidikan.

Dapat dibuat sebuah kerangka pembelajaran IPS (sejarah) berbasis resolusi

konflik dengan cara mengintegrasikan antara nilai-nilai pendidikan yang

diperoleh, ketrampilan resolusi konflik yang dikembangkan NCSS dan

kompetensi dasar yang relevan sebagai sebuah langkah praktis resolusi konflik

pasca pilkada tahun 2006 di kabupaten Tuban. Dari hasil penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa realita sosial berupa konflik kerusuhan dapat diselesaikan /

dilakukan tindakan resolusi konflik melalui pendidikan IPS yang terintegrasi

(43)

184 B. Saran

Dari penelitian yang penulis lakukan terhadap peristiwa konflik kerusuhan

pasca pilkada di Tuban Tahun 2006, maka akan diberikan beberapa saran yang

mudah-mudahan berguna bagi masyarakat Tuban khususnya dan untuk kemajuan

pendidikan di Indonesia antara lain:

1. Kasus konflik kerusuhan Tuban telah lima tahun berlalu, tetapi

benih-benih konflik akan selalu muncul apabila beberapa pihak yang terkait tidak

dapat menginsafi kejadian tersebut. Oleh karena itu untuk pemerintah

Tuban saat ini harus bersikap adil, jujur, qona’ah, dan cinta damai agar

kasus serupa tidak terulang kembali.

2. Untuk masyarakat kabupaten Tuban, bahwa kebersamaan itu penting.

Akan tetapi kebersamaan akan jadi berbahaya ketika dipergunakan untuk

hal-hal yang kurang baik. Sebaliknya kebersamaan akan mendatangkan

manfaaat apabila dipergunakan untuk jalan yang baik.

3. Untuk masyarakat Tuban, segala sesuatu tidak harus diselesaikan dengan

kepala panas, akan tetapi harus diselesaikan dengan kepala dingin yaitu

berfikir yang jernih. Permasalahan yang baik akan bisa mendatangkan

keburukan jika dilakukan dengan cara yang kurang baik.

4. Khusus untuk para pelaku kerusuhan yang ditahan, kata maaf harus selalu

kita dengungkan kepada orang yang telah sedikit merugikan kita. Tanpa

kata maaf, maka letupan konflik akan selalau muncul dan mengarah pada

(44)

185

5. Untuk para pengkaji resolusi konflik, ada satu rancangan resolusi konflik

melalui pendidikan yang dapat dipraktekkan dari hasil penelitian ini .

6. Untuk pemerintah khususnya pusat kurikulum, bahwa hasil penelitian

penulis tentang nilai-nilai yang didapatkan dari peristiwa konflik

kerusuhan Tuban 2006, dapat diakomodir untuk dapat dibelajarkan kepada

seluruh siswa di Nusantara mengingat Indonesia adalah negara yang

(45)

186

DAFTAR PUSTAKA Referensi Buku:

Abu-Nimer, M. (1999). Dialogue, Conflict Resolution, and Change : Arab-Jewish

Encounters in Israel SUNY Series in Israeli Studies. New york: State University of New York Press

Aureli, F, Frans B.M Dee Wall. (2000). Natural Conflict Resolution. London: University of California Press.

Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum. (2010). Pengembangan

Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa (Draf Final). Jakarta: Kementrian

Pendidikan Nasional.

Bertrand, Jacques. (2004). Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. New York: Cambridge University Press.

Braithwaite, John. (2010). Anomie and violence. Canberra: ANU E Press

Bungin, Burhan. (2009). Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan

Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group

Campbell, Jack, Nick Baikaloff. Ed. (2006). Towards a Global Community:

Educating for Tomorrow’s World Global Strategic Directions for the Asia-Pacific Region. The Netherlands: Springer

Coppel. Charles A. ed. (2006). Violent Conflicts in Indonesia Analysis,

Representation, Resolution. New York: Routledge

Charles Webel and Johan Galtung ed. (2007). Handbook of peace and conflict

studies. Oxon: Routledge

Collins, Randall. (2008). Violence A Micro-Sociological Theory. New Jersey: Princeton University Press

Cooser, Lewis. (1964). The Function of Social Conflict. London: The Free Press

Creswell, John.W. (2008). Educational Research (Palnning, Conducting, and

Evaluating Quantitative and Qualitative Research. USA: Pearson.

Creswell, John.W. (2009). Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

dan Mixed). terj. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Deutsch, Morton, Peter T. Coleman, Ed. (2000). The Handbook of Conflict

(46)

187

Diah Pitaloka, Rieke. (2004). Kekerasan Negara menular ke Masyarakat. Yogyakarta: Galang Press

Elmubarok, Zaim. (2009). Membumikan Pendidikan Nilai (Mengumpulkan yang

Terserak Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai).

Bandung: Alfabeta

Frydenberg, Erica. (2005). Morton Deutsch: A Life and Legacy of Mediation and

Conflict Resolution. Brisbane: Australian Academic Press

Furlong, Gary T. (2005). The Conflict Resolution Toolbox: Models&Maps for

Analyzing Diagnozing and Resolving Conflict. Canada: Wiley&Sons Ltd

Gay, L.R, G.E. Mills. (2006). Educational Research (Competencies for Analysis

and Applications). USA: Pearson.

Goldstone, Jack A. (1991). Revolution and Rebellion in the Early Modern World. USA: University of California Press

Heider, Karl G. (2006). Landscapes Of Emotion : Mapping Three Cultures Of

Emotion In Indonesia. New York: Cambridge University Press

Hursh, David. W. (2000). Democratic Social Education (Social Studies for Social

Change). London: Falmer Press

Jeong, HO-W. (2008). Understanding Conflict and Conflict Analysis. London: Sage.

Kartodirjo, Sartono. (1984). Pemberontakan Petani banten 1888. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Kattsoff, Louis. (1989). Elements of Philosophy, terj. Yogyakarta: Tiara Wacana

Kheel, Theodore Woodrow. (1999). The Keys to Conflict Resolution : Proven Methods of Settling Disputes Voluntarily. New York: Four Walls Eight Windows

Klinken, Gerry van. (2007). Communal. Violence democratization in Indonesia :

small town wars. USA and Canada:Routledge

Koellhoffer, Tara Tomczyk. (2009). Being Fair And Honest (Character

Education). New Yory: Chelsea House.

(47)

188

LeBlanc, Patrice R, Nancy P. Gallavan. (2009). Affective Teacher Education:

Exploring Connections Among Knowledge, Skills, and Dispositions.

Maryland: The Association Of Teacher Educators

Maftuh, Bunyamin. (2008). Pendidikan Resolusi Konflik (Membangun Generasi

Muda yang Mampu Menyelasaikan Konflik secara Damai). Bandung:

Yasindo Multi Aspek.

Maribeth Erb, Priyambudi ed. (2005). Regionalism in Post-Suharto Indonesia. New York: RoutledgeCurzon

McCollum, Sean. (2009). Character Education: Managing Conflict Resolution. Ne

Gambar

Gambar 2.1: Angka Konflik di Indonesia antara 1990-2001  Sumber: Sukardi Rinakit (2005: 83)
Gambar 3.1: Triangulasi
Gambar 3.2: analisis data

Referensi

Dokumen terkait

Telkom Akses Kudus dengan menggunakan variabel motivasi, stres kerja dan disiplin kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan dengan besarnya pengaruh

Ekstraksi cair-cair adalah metode pemisahan berdasarkan pada distribusi atau partisi suatu analit berdasar dua pelarut yang tidak saling bercampur.. Prisip dasar ekstraksi ini

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Kusumawati (2016) yang menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan go public terdaftar pada BEI yang melakukan merger

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsumen menaruh tingkat kepuasan yang tinggi terhadap belanja yang dilakukan secara langsung dibandingkan dengan belanja

Respon Mahasiswa Terhadap LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) (Setiawan, 2015)  Pengetahuan  Respon Deskriptif Kuantitatif ada pengaruh pengetahuan

Nomor antrian dapat dipanggil dengan klik tombol “Panggil Nomor Antrian”, selanjutnya sistem akan merespon dengan membuka koneksi ke database “sistem antrian” dan

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil validitas isi materi pengembangan modul dari 3 validator kemudian dianalisis menggunakan mean dengan hasil pada table 1,

(1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan