x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
UCAPAN TERIMAKASIH ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Klasifikasi Konsep ... 14
D. Tujuan Penelitian ... 17
E. Manfaat Penelitian ... 17
F. Metode Penelitian ... 18
BAB II KAJIAN TEORI A. Konflik 1. Pengertian konflik ... 20
2. Perilaku Kolektif (Collective behavior) ... 23
a. Sifat Dari Perilaku Kolektif ... 24
b. Faktor Penyebab Perilaku Kolektif ... 26
B. Resolusi Konflik 1. Pengertian Resolusi Konflik... 30
xi
3. Model The Circle of Conflict ... 40
a. Konsep-konsep pokok model the circle of conflict ... 42
b. Strategi model the circle conflict ... 45
4. Resolusi Konflik melalui Pendidikan ... 46
C. Pendidikan IPS ... 53
1. Nilai-Nilai Pendidikan ... 54
2. Resolusi konflik sebagai salah satu keterampilan ... 57
3. Pendidikan IPS sebagai salah satu solusi ... 60
4. Penelitian Terdahulu ... 63
5. Paradigma Penelitian ... 66
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 69
B. Penentuan Obyek Penelitian ... 72
C. Teknik Pengumpulan Data ... 75
D. Reliabilitas dan Validitas ... 78
E. Teknik Analisis Data ... 79
F. Lokasi Penelitian ... 83
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi 1. Tinjauan Umum Kabupaten Tuban ... 84
2. Kronologi Konflik Kerusuhan Pasca Pilkada a. Penjaringan Bakal Calon dan Penetapan ... 96
b. Masa Kampanye ... 103
c. Memasuki Minggu Tenang ... 107
d. Hari H Pemilihan ... 108
e. Tuban Membara 29 April 2006 ... 111
f. Isu-isu aksi balasan ... 129
3. Kondisi Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya Masyarakat Tuban dalam
xii 2006
a. Kebijakan Pembangunan pada Masa Pemerintahan Bupati Haeny Relawati antara Tahun 2001-2006
1) Kebijakan pembangunan jalan ... 132
2) Keramikisasi Trotoar ... 134
3) Mentalitas Birokrasi ... 135
4) Pengambilalihan paksa ... 137
5) Penghambatan Investasi ... 138
b. Kondisi sosial Masyarakat Tuban menjelang 2006 1) Pengabaian struktur sosial lama ... 141
2) Tumbuhnya Nilai Sentral ... 143
3) Ambruknya Tatanan Sosial ... 145
4) Akumulasi Kekecewaan ... 148
B. Pembahasan 1. Menguak Latar Belakang Konflik Krusuhan Pasca Pilkada Langsung Kabupaten Tuban Tahun 2006 ... 151
a. Structural conduciveness ... 151
b. Structural Strain ... 154
c. Growth and spread of a generalized belief ... 156
d. Precipitating factor ... 157
e. Mobilization of participants for action ... 158
f. The operation of social control ... 160
2. Model The Circle Conflict dan analisis nilai pendidikan dalam menguak nilai-nilai pendidikan dari peristwa konflik . 162
3. Kerangka konseptual Pembelajaran Sejarah berbasis resolusi konflik ... 173
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 182
B. Saran ... 184
xiii LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Daftar Nara Sumber dan koding Dokumen ... 3.1
B. Kisi Pedoman Wawancara ... 3.2
C. Rekaman Suara Orator ... 4.1
D. Gambar Video Kronologis ... 4.2
E. Transkrip Wawancara ... . 4.3
F. Dokumentasi Koran I ... . 4.4
G. Dokumentasi Koran II ... 4.5
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Teori-teori dalam resolusi konflik ... 37
Tabel 2.2: Penjabaran The Circle of Conflict ... 45
Tabel 4.1: Time Line ... 86
Tabel 4.2: Daftar Bupati Tuban ... 93
Tabel 4.3: Perolehan Suara di TPS Cabup/Cawabup ... 110
Tabel 4.4: Rekapitulasi hasil penghitungan suara di 20 kec ... 111
Tabel 4.5: Daftar gedung dan aset-aset yang rusak ... 131
Tabel 4.6.: Hubungan Fakta Nilai ... 168
Tabel 4.7: Pengujian Karakter Moral dalam Nilai ... 170
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1: Diagram Konflik di Indonesia 1990-2001 ... 3
Gambar 2.1: Model Problem Solving dalam Resolusi ... 32
Gambar 2.2: Model The Circle Conflict ... 42
Gambar 2.3: Keterampilan sosial ... 59
Gambar 2.4: Paradigma Penelitian ... 68
Gambar 3.1: Triangulasi ... 79
Gambar 3.2: Analisis Data ... 81
Gambar 4.1: Peta Wilayah Tuban ... 94
Gambar 4.2: Lambang Kabupaten Tuban ... 95
Gambar 4.3: Alur Kerusuhan ... 127
Gambar 4.4: Analisis Nilai ... 166
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Konflik adalah sesuatu yang alamiah terjadi dalam kehidupan manusia (Mc
Collum, 2009: 14). Terjadinya konflik merupakan sebuah keniscayaan dalam
proses interaksi antar-individu, individu dengan kelompok maupun kelompok
dengan kelompok yang masing-masing disebabkan oleh perbedaan baik dalam
latar belakang interaksi, kemampuan berinteraksi, maupun tujuan berinteraksi.
Tidak terkecuali konflik juga terjadi pada masyarakat Indonesia yang mempunyai
latar belakang politik, etnis, suku, dan agama yang berbeda. Dari latar belakang
yang beragam ini, corak konflik yang terjadi di Indonesia juga beragam
diantaranya konflik yang terjadi karena permasalahan etnis seperti yang pernah
terjadi di Solo antara etnis Cina dengan Pribumi pada Mei 1998 (Copel. 2006:
73), karena permasalahan politik dalam bentuk separatisme yang pernah terjadi di
Papua dan Aceh (Braithwaite. 2010: 49-166; 343-428; Bertrand. 2004: 161)
karena permasalahan suku antara suku Dayak dengan suku Madura seperti yang
terjadi di Sampit Kalimantan Barat (Klinken. 2007: 55; Braithwaite: 291) dan
karena permasalahan agama antara agama Islam dan Kristen seperti yang terjadi
di Ambon (Klinken: 88).
Konflik mempunyai dua sifat yaitu destruktif (merusak) dan konstruktif
(membangun). Sean Mc Collum (2009: 18) mengutip pendapat Deutsch Morton
seorang ahli dalam resolusi konflik yang berpendapat bahwa ketika konflik
2
faktor. Arah konflik dipengaruhi oleh latar belakang yang ada di balik konflik
yang terjadi; apa yang sedang dipertaruhkan; nilai-nilai dan norma apa yang
terhubung pada jaringan tersebut. Hasil yang didapatkan dari sebuah konflik juga
dipengaruhi oleh sikap dan keterampilan dalam resolusi konflik dan pengalaman
oang-orang yang terlibat dalam konflik.
Dalam konteks kehidupan masyarakat di Indonesia terutama kondisi
menjelang reformasi sampai reformasi bergulir, tercatat oleh Bapenas dan PBB
dalam rentang tahun 1997 sampai tahun 2004 terjadi sebanyak 3600 peristiwa
konflik di seluruh Indonesia (Kapanlagi.com). Dari jumlah yang tergolong banyak
tersebut menurut penelitian Klinken, (2007: 138) selama antara tahun 1999-2004
konflik yang terjadi telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 19.000 orang
meninggal dunia. Banyaknya korban jiwa dalam peristiwa konflik tersebut
menandakan bahwa selama ini konflik yang terjadi di Indonesia berjalan ke arah
destruktif yaitu merusak.
Dalam konteks skala perbandingan sebelum reformasi (orde baru) sampai
masa reformasi Sukardi Rinakit dalam Maribeth (2005: 83) memaparkan bahwa
telah terjadi peningkatan intensitas konflik pada saat sebelum dan sesudah Suharto
lengser dengan sifat yang semakin regional dan menelan korban jiwa yang sangat
besar. Peningkatan ini menurut Sukardi dikarenakan proses reformasi yang diikuti
dengan otonomi daerah tidak dijalankan dengan hati-hati mengingat Indonesia
mempunyai latar belakang yang beragam baik etnis, agama, demografi, politik
dan kelas sosial yang sangat memungkinkan terjadi konflik horizontal. Data yang
3
Indonesia yang pada mulanya hanya terjadi maksimal 8 kali dalam setahun
dengan korban jiwa ratusan dan meningkat intensitasnya menjadi ratusan kali
konflik dengan jumlah korban jiwa yang mencapai ribuan. Berikut data konflik
dari tahun 1990 sampai tahun 2001.
Gambar 2.1: Angka Konflik di Indonesia antara 1990-2001 Sumber: Sukardi Rinakit (2005: 83)
Fenomena konflik yang cenderung meningkat di Indonesia dari masa sebelum
reformasi sampai terjadi reformasi menarik perhatian banyak peneliti untuk
mengkajinya. John Braithwaite (2010: 1) mempublikasikan hasil penelitiannya
tentang fenomena konflik di Indonesia dan sempat memberikan kesimpulan
bahwa kurun waktu antara tahun 1997-2004 di Indonesia secara teoritik
mengalami masa yang dalam bahasa Emile Durkheim adalah anomie yaitu sebuah
4
kurun itu telah terjadi kekacauan yang telah didukung oleh lembaga. Menurutnya
pihak keamanan di Indonesia mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi dan
bukannya mencegah terjadinya kekerasan pada semua pihak. Oleh karena itu
sangat wajar apabila kurun waktu tersebut disimpulkan sebagai kondisi anomi
bangsa Indonesia.
Intensitas konflik di Indonesia yang cenderung meningkat tidak terlepas dari
masa transisi pemerintahan yang pada waktu sebelumnya bersifat terpusat menjadi
desentralisasi. Proses desentralisasi ini juga dibarengi dengan proses politik yang
pada masa sebelumnya bersifat top down sekarang menjadi bottom up. Proses
perubahan politik praktis seperti pemilihan kepala daerah yang pada masa lalu di
pilih oleh pemerintah pusat, sekarang menjadi hak setiap warga negara untuk
memilihnya secara langsung. Proses politik inipun menjadi salah satu pemicu
terjadinya konflik yang sifatnya komunal dan regional. Sukardi Rinakit dalam
Maribeth (2005: 84) memaparkan bahwa selama kurun waktu antara tahun
1999-2001 terjadi peristiwa konflik di 18 daerah dan 16 diantaranya bersifat komunal
dan 2 lainnya bersifat separatis dengan jumlah korban jiwa sebesar 6.208. Pada
kenyatannya proses peralihan pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi
telah meminta korban jiwa yang tidak sedikit.
Proses politik pemilihan kepala daerah tingkat I dan II secara langsung
sebagai tindak lanjut desentralisasi di Indonesia juga menjadi salah satu potensi
terjadinya konflik. Terhitung sejak disahkannya Undang-undang Pemilihan
Kepala Daerah (selanjutnya disingkat Pilkada) pada tahun 2005 sampai 2010
5
menimbulkan kerusuhan (Tempointeraktif.com: 2010). Konflik pasca pilkada
yang belanjut pada kerusuhan ini terjadi di Maluku Utara, Bengkulu, Aceh
Tenggara, Sulawesi Barat dan Tuban. Dari kelima kasus tersebut penulis tertarik
untuk mengkaji adalah kasus konflik kekerasan pasca konflik pilkada yang terjadi
di Tuban Jawa Timur. Perbedaan kasus kerusuhan yang terjadi di Tuban diantara
kelima yang lainnya adalah: kasus ini terjadi di Kabupaten Tuban Jawa Timur
yang notabene terletak di Pulau Jawa dan berbeda secara geografis dengan
keempat kasus yang lainnya; kasus kerusuhan di Tuban berlangsung sangat hebat
dan singkat meskipun tidak sampai jatuh korban jiwa. Berdasarkan observasi
pendahuluan yang dilakukan penulis, konflik Tuban tahun 2006 telah
meluluhlantakkan gedung pemerintahan, hotel, rumah pribadi, gudang, pompa
bensin, kendaraan, dan yang lainnya; sisa-sisa kerusuhan berupa konflik laten
sampai sekarang masih terlihat.
Dalam konflik yang terjadi pasca pilkada di beberapa daerah biasanya tidak
berlanjut pada kerusuhan. Konflik akan berakhir seiring dengan adanya keputusan
dari Pemerintah tentang penyelesaian konflik tersebut. Konflik pasca pilkada yang
terjadi di Tuban tahun 2006 antara masyarakat pendukung Noor Nahar Husein-Go
Tjong Ping (selanjutnya disingkat Non-Stop) dengan pemerintah dalam hal ini
Bupati Tuban Haeny Relawati yang pada saat itu menjadi calon incumbent sampai
sekarang masih menyisakan konflik secara laten. Konflik laten tersebut dapat
dilihat dari masih berdiri sisa-sisa bangunan pendopo yang dibiarkan hangus tidak
diperbaiki oleh pihak pemerintah sampai sekarang, Kantor KPUD yang dirusak
6
tantangan kepada pemerintah di tembok-tembok; beredarnya kaos bernada
tantangan kepada Bupati; proses pembangunan oleh pemerintah yang timpang;
bahkan pengaturan jadual imam di Masjid jami’ Tuban pun tidak terlepas dari
konflik laten yang terjadi (wawancara: M). Beberapa karakteristik yang unik dari
kasus konflik kerusuhan di Kabupaten Tuban inilah yang menarik untuk di
jadikan sebuah kajian, terutama jika dikaitkan dengan pendidikan IPS yang
seharusnya mempunyai andil besar dalam rangka proses pemberian ketrampilan
resolusi konflik untuk menjadikan masyarakat menjadi warga negara yang baik.
Konflik kekerasan pasca Pilkada di Tuban Jawa Timur terjadi antara masa
pendukung Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dengan Pemerintah dalam hal ini
Bupati Tuban Haeny Relawati sebagai incumbent berawal dari pemungutan suara
yang dilaksanakan pada tanggal 28 April 2006. Masa pendukung Non-Stop
merasa pengumuman hasil Pilkada pada saat itu banyak sekali di warnai
kacurangan. Konsentrasi masa pendukung Non-Stop mulai terlihat sejak sore hari
pada waktu penghitungan suara di kantor KPUD Tuban hingga larut malam
(Radar Bojonegoro, 29 April 2006). Setelah penghitungan suara hasil pilkada
berakhir dan ternyata Non-Stop dinyatakan kalah, menimbulkan kekecewaan di
pihak pendukungnya. Akhirnya malam itu juga mereka terlihat melakukan
koordinasi untuk melakukan protes di KPUD keesokan harinya dengan
mengerahkan masa yang sangat banyak.
Pada tanggal 29 April pukul 09.00, sekitar 15 ribu sampai 30 ribu masa
pendukung Non-Stop mulai berkumpul di depan kantor KPUD dan melakukan
7
saudara RS, saudara R dan saudara YM. Orasi mereka antara lain mengiginkan
adanya tinjauan ulang terhadap hasil pilkada dengan membeberkan jumlah DPT
(Daftar Pemilih Tetap) dengan rekapitulasi hasil pilkada oleh KPUD. Aksi mereka
tidak mendapat respon sama sekali oleh para pimpinan KPUD dan akhirnya aksi
masa memaksa masuk ke kantor KPUD. Sempat terjadi aksi saling dorong antara
masa aksi dengan aparat kepolisian yang berjaga-jaga didepan kantor KPUD.
Akhirnya masa aksi dengan mempergunakan kendaraan truk tronton menabrak
barikade polisi dan berhasil menguasai kantor KPUD. Setelah kantor KPUD
mereka kuasai akhirnya mereka merusak dan membakarnya sampai luluh lantah
(Surya, 30 april 2006).
Karena merasa aksi mereka belum mendapatkan hasil, maka masa aksi
melanjutkan demonstrasinya di depan kantor Bupati dan Pemda di Alun-alun
Tuban. Seperti tuntutan sebelumnya, mereka meminta hasil pemilu di batalkan
dan menuntut Bupati untuk turun jabatan. Karena tidak mendapatkan respon
akhirnya masa aksi merangsek kedalam rumah dinas Bupati dan Pendopo
Kabupaten Tuban. Karena jumlah aparat keamanan tidak sebanding dengan
banyaknya masa aksi, akhirnya dengan tiada berdaya aparat keamanan
membiarkan pendopo krido manunggal, dan enam bangunan lainnya seperti
gedung Korpri, gedung PKK, guest house, gedung dharma pertiwi, gedung
organisasi wanita (GOW) (Jawa Pos, 30 April 2006). Masa dikomando oleh orator
sambil membakar semangat perlawanan terhadap Bupati meluapkan
kekecewaannya dengan melakukan pembakaran terhadap asset-aset pribadi bupati
8
Sekitar pukul 1 siang masa mulai menyebar menuju asset-aset bupati yang
lain yaitu rumah mewahnya yang berdiri diatas tanah seluas sekitar 10 hektar,
hotel mustika milik bupati, gudang 99 milik bupati, pompa bensin di jalan RE
Martadinata dan Jl. Manunggal, Rumah pribadi bupati di Jl. Agus Salim, Kantor
Golkar di Jl. Basuki Rahmat (Surya, 30 April 2006). Semua bangunan tersebut
dijarah dan di rusak. Bahkan rumah mewah, hotel dan gudang milik Bupati
sempat dibakar oleh masa. Aksi tidak hanya dilakukan pada asset-aset pribadi
bupati, akan tetapi merembet pada rumah-rumah para pimpinan KPUD
diantaranya rumah Sumitro Karmani dan rumah pendukung Bupati yang notanebe
para kontraktor. Siang itu Kota Tuban menjadi lautan api dan terjadi kepanikan
warga terutama para pendukung Bupati yang mendapatkan ancaman bahwa rumah
mereka akan dibakar. Terjadi eksodus di beberapa tempat untuk menyelamatkan
asset-aset berharga terutama oleh pihak-pihak yang selama ini mendukung bupati.
Pada awalnya aksi masa tidak dapat di kendalikan oleh aparat Polres maupun
Kodim Tuban karena jumlah antara aparat dengan masa aksi yang tidak
sebanding. Bahkan para aparat hanya bisa menonton sambil mengamankan
beberapa tempat yang masih dapat mereka amankan. Menjelang siang konsentrasi
masa mulai terpecah menuju asset-aset pribadi Bupati dan pada saat bersamaan
didatangkan bantuan dari polres Bojonegoro, Lamongan, Jombang dan Polda
Jatim (Radar Surabaya, 30 April 2006). Kondisi inilah yang memudahkan para
aparat untuk sedikit mengendalikan aksi masa. Sampai malam tiba, kondisi
Kabupaten Tuban masih sangat mencekam karena beredar isu aka nada aksi
9
ibarat kota mati karena diberlakukan jam malam untuk mengantisipasi gerakan
masa susulan.
Keesokan harinya beredar isu akan ada aksi masa balasan dari beberapa
sektor pendukung Bupati sebagai calon incumbent. Siang itu kondisi jalan-jalan
sepi dan aktifitas perekonomian kota Tuban lumpuh total. Masa pendukung
Non-stop maupun Heany masing-masing berjaga-jaga untuk mengamankan asset
mereka masing-masing. Beberapa orang menjadi DPO dan terus di buru oleh
pihak aparat yang sudah mendapatkan bala bantuan personil yang sangat banyak
(Memo, 1 Mei 2006). Beberapa orang yang dicurigai ikut terlibat dan menjadi
provokator satu persatu ditangkap dan membuat shock terapi tersendiri bagi
warga. Akhirnya kondisi mencekam ini dapat dikendalikan meskipun masih
menyisakan berbagai permasalahan yang sampai sekarang masih terlihat.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebagian warga masyarakat Tuban
pendukung calon bupati Noor Nahar Husein terhadap lawan politiknya yaitu
Haeny Relawati tidak mencerminkan sebuah perilaku kaum terpelajar ataupun
agamawan. Apabila dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat kabupaten Tuban,
seharusnya perilaku kekerasan tersebut tidak mesti terjadi dengan tingginya
tingkat pendidikan yang ada di Kabupaten Tuban (BPPS Tuban: 2010).
Disamping itu, masyarakat Tuban yang religius dengan dibuktikan adanya makam
salah satu penyebar agama Islam Sunan Bonang di Tuban dan banyaknya pondok
pesantren yang berdiri di sana, menimbulkan pertanyaan besar, mengapa
masyarakat Tuban melakukan kekerasan? Apalagi kekerasan yang dilakukan
10
dalam waktu beberapa saat saja. Apakah kekerasan tersebut memang murni
kekerasan akibat pilkada atau merupakan akumulasi dari kekecewaan yang
terpendam dan terluapkan pada saat pilkada?
Dalam hal ini perilaku kekerasan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat
Tuban pada saat pilkada tahun 2006 dapat digolongkan sebagai perilaku
kolektif/collective behavior. Kekerasan yang terjadi saat itu merupakan tindakan
kolektif dan menimbulkan kerusakan yang cukup parah dalam tempo waktu yang
sangat singkat. Perlu adanya sebuah analisis tentang sebab-sebab terjadinya
kekerasan tersebut, apakah memang murni permasalahan pilkada ataukah terdapat
permasalahan lainnya yang menjadi pemicu. Untuk menganalisis sebab-sebab
munculnya perilaku kolektif masyarakat Tuban tersebut dan bagaimana langkah
resolusinya pada saat sekarang melalui nilai-nilai yang terkandung dalam
peristiwa tersebut dapat dipergunakan analisa model the circle of conflict yang
telah dipergunakan oleh Christopher Moore dalam CDR Associates (Furlong,
2005: 30).
Beberapa langkah resolusi/penyelesaian konflik telah dilakukan setelah
terjadi konflik 2006, baik secara formal ataupun informal antara masa pendukung
Non-Stop dengan Haeny Relawati dan pendukungnya. Langkah-langkah resolusi
yang telah dilaksanakan diantaranya adjudikasi (menghukum para pelaku yang
diduga melakukan pembakaran dan pengerusakan), mediasi antara pemerintah
dengan elit politik maupun masyarakat yang pernah berseberangan (Radar
Bojonegoro,16 Mei 2006). Semua usaha resolusi tersebut agaknya belum begitu
11
eks-terpidana yang sampai sekarang merasa bahwa dirinya tidak bersalah dan
menyalahkan pihak lain. Selain itu mediasi yang dilakukan oleh LSM ataupun
pihak-pihak independen sampai sekarang belum dapat menemukan kedua belah
pihak untuk bersama-sama melakukan perdamaian. Kegagalan dalam resolusi ini
apakah disebabkan tipologi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat saat itu
memang unik dan bukan kekerasan sesaat tetapi sebuah akumulasi? Ataukah
proses resolusi konflik yang dilakukan masih kurang tepat sehingga memerlukan
sebuah pendekatan yang baru? Semua hal itu akan menjadi kajian dalam
penelitian ini.
Menurut peneliti diperlikan sebuah pendekatan baru dalam penyelesaian
konflik perlu untuk dilakukan di Indonesia khususnya di wilayah yang pernah
terjadi konflik seperti di Tuban Jawa Timur yaitu melalui pendidikan terutama
pendidikan sosial. National Curriculum for Social Studies atau disingkat NCSS
(1994: 149) sebagai salah satu lembaga yang menaungi pendidikan social/ social
studies di Amerika Serikat telah memasukkan resolusi konflik sebagai salah satu
keterampilan yang harus diajarkan dalam pembelajaran IPS di sekolah. Hal ini
tidak terlepas dari banyaknya fenomena konflik yang mengarah pada tindakan
destruktif dan mulai mendapatkan perhatian oleh para ahli yang konsen terhadap
konflik dan resolusi sebagai sebuah kajian yang baru pada tahun 1990 an
(Schlenberg, 1997: 7).
Menurut Hursh (2000: 65) mengutip pendapat Brameld sebagai seorang
pencetus filsafat pendidikan reconstructionism bahwa pendidikan diharapkan ikut
12
yang baru. Pendidikan tidak boleh jauh dari realita kehidupan social dan
diharuskan ikut bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan social.
Pendidikan harus mengawal semua transformasi social yang terjadi sehingga tidak
hanya menjadi tempat penggodokan kawah candradimuka saja.
Sekolah sangat penting sebagai tempat pendidikan resolusi konflik
sebagaimana Morton dan Susan (Frydenberg. 2005: 139) berpendapat bahwa
sekolah adalah pusat kehidupan social siswa. Perbedaan etnis, gender, usia,
kemewahan dan kemiskinan, ketrampilan menjadi lahan subur bagi konflik serta
kesempatan untuk pertumbuhan. Sekolah harus mengubah dalam cara dasar
mendidik anak-anak sehingga mereka bukan melawan satu dengan yang lainnya
akan tetapi mengembangkan kemampuan untuk mengatasi konflik secara
konstruktif daripada destruktif dan siap untuk melaksanakan kehidupan secara
damai. Hal ini berarti membangun di seluruh system sekolah, belajar bersama,
pelatihan dalam resolusi konflik, penggunaan tema kontroversi konstruktif dalam
mengajar mata pelajaran dan menciptakan resolusi pada pusat senketa. Pada saat
dewasa siswa akan bisa mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan
yang akan memungkinkan mereka untuk bekerjasama dengan orang lain dan
menyelesaikan konflik dalam kehidupan yang tidak terelakkan secara konstruktif.
Berkaitan dengan permasalahan konflik pilkada di kabupaten Tuban yang
telah terjadi pada tahun 2006 dan sampai sekarang masih terlihat sisa-sisa konflik
yang bersifat laten, diperlukan sebuah langkah resolusi yang dapat meredakan
konflik dan bahkan menghilangkan potensi-potensi yang sampai sekarang masih
13
berkaitan dengan nilai-nilai yang mendorong masyarakat melakukan konflik
kerusuhan tersebut. Dibutuhkan sebuah pengungkapan kronologis kejadian untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang peristiwa konflik kekerasan pasca
pilkada tahun 2006 tersebut. Dengan pengungkapan kronologi tersebut maka akan
dapat dianalisa faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa tersebut.
Pada gilirannya dari peristiwa tersebut dapat diambil beberapa nilai-nilai
khususnya nilai-nilai pendidikan yang terkandung sehingga dapat diterapkan
dalam pembelajaran IPS untuk memberikan bekal keterampilan kepada peserta
didik khususnya di Kabupaten Tuban agar peristiwa serupa tidak terulang
kembali.
B. Rumusan masalah
Berangkat dari beberapa pemaparan pada awal tulisan ini, maka penulis dapat
memformulasikan beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian
yang akan diteliti dan dibahas secara tuntas pada penelitian berikut ini:
1. Bagaimana Kronologi Konflik kerusuhan pasca pilkada di Tuban tahun
2006?
2. Apa yang menjadi latar belakang penyebab konflik kerusuhan pasca
pemilihan kepala daerah langsung 2006 di Kabupaten Tuban Jawa Timur?
3. Nilai-nilai apa saja yang dapat diambil dari konflik kerusuhan pasca
pilkada tersebut sehingga dapat dipergunakan dalam pendidikan sebagai
langkah resolusi?
4. Bagaimana resolusi konflik pilkada Tuban tahun 2006 melalui pendidikan
14 C. Klarifikasi Konsep
Klarifikasi konsep dimaksudkan untuk memberikan batasan konseptual pada
kajian yang akan dilakukan oleh peneliti. Klarifikasi ini berupa pengertian yang
diberikan untuk menyatukan persepsi agar tidak terjadi mis-konsepsi dalam
penelitian ini. Berikut ini klasifikasi konsep-konsep utama maupun konsep
pendukung yang akan dikaji diantaranya:
1. Konflik
Konflik di terjemahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 799)
sebagai sebuah percekcokan; perselisihan dan pertentangan. Dalam konteks
konflik kekerasan pasca pilkada tahun 2006 di Tuban Jawa Timur, konflik
tersebut dapat dilihat dengan teori proses social sebagai hasil interaksi social
antara individu atau kelompok dan berusaha untuk membuat generalisasi tentang
sisfat dari proses tersebut (James A Sclenberg, 1996: 13). Konflik pasca pilkada
tahun 2006 di Tuban adalah hasil dari interaksi antara pendukung calon bupati
Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dengan pendukung pasangan Haeny
Relawati-Lilik Suhardjono yang bersinggungan dalam konteks pilkada pada tanggal 28
April tahun 2006. Konflik kekerasan ini terjadi secara komunal sebagai perilaku
kolektif antara pendukung calon bupati Noor Nahar Husein-Go Tjong ping
dengan Haeny Relawati-Lilik Suhardjono. Komponen penting dalam konflik
Tuban antara lain aktor Pemerintah (bupati sebagai incumbent dalam Pilkada) dan
pendukungnya dengan pihak Noor Nahar- Go Tjong Ping sebagai representasi
15
adalah pemasalahan hasil Pilkada 2006 dan tindakan yang dilakukan adalah
pengerusakan beberapa asset pribadi dan negara.
2. Resolusi Konflik
James A Sclenberg (1996: 9) memaparkan bahwa resolusi konflik merupakan
isu sentral dalam bidang kajian konflik yang berarti setiap usaha untuk
mengurangi/menyelesaikan konflik social. Usaha ini dapat dilakukan dengan
tindakan penyadaran pada peraturan, perubahan lingkungan, pengaruh pihak
ketiga, dan kemenangan pada salah satu pihak. Dalam konteks resolusi konflik
kasus kekerasan pasca pilkada di Tuban Jawa Timur, resolusi konflik di artikan
sebagai setiap usaha untuk mengurangi/menyelesaikan konflik dengan perubahan
lingkungan. Perubahan lingkungan yang dimaksud adalah dengan melihat latar
belakang konflik dan memberikan pendidikan resolusi konflik kepada siswa
sebagai langkah perubahan lingkungan yang sebelumnya menimbulkan konflik.
Materi pembelajarannya didapatkan dari nilai-nilai yang didapatkan dari kejadian
konflik tersebut.
3. Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Pemilihan Kepala Daerah Langsung adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat di wilyah propinsi, Kabupaten dan atau Kotamadya berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Landasan
praktis pemilihan kepala daerah langsung adalah PP No. 6 tahun 2005 tentang
pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Dalam konteks penelitian yang saya lakukan adalah pemilihan
16
dilaksanakan untuk pertama kali dan di ikuti oleh dua kontestan yaitu pasangan
calon Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dengan pasangan Haeny Relawati-Lilik
Suhardjono.
4. Pendidikan IPS
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 353) pendidikan berarti
perbuatan memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak
dan kecerdasan pikiran. Sedangkan IPS atau social studies menurut menurut
National Council for the Social Studies (NCSS) (1994: 3)
social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned dicisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
Artinya: ilmu-ilmu sosial adalah studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan
humaniora untuk memperkenalkan kompetensi sipil. Dalam program sekolah,
studi sosial diberikan dalam bentuk interdisipliner, studi sistematis
menggambarkan pada disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi, ekonomi,
geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi,
serta konten yang sesuai dari humaniora, matematika, dan ilmu alam. Tujuan
utama penelitian sosial adalah untuk membantu kaum muda mengembangkan
kemampuan untuk membuat kebijakan informasi dan dasar yang baik sebagai
warga masyarakat, untuk keragaman budaya dan demokrasi di dunia yang saling
17
adalah pembelajaran ilmu social yang dilakukan pada jenjang SMA/ MA
khususnya pendidikan Sejarah. Materi pembelajaran yang diberikan adalah
integrasi dari nilai-nilai yang didapat dari peristiwa konflik kerusuhan pasca
pilkada tahun 2006 di Kabupaten Tuban. Ketrampilan social yang dikembangkan
dalam pembelajaran IPS ini adalah ketrampilan berpartisipasi dalam bernegosiasi,
kompromi, berargumen dalam resolusi konflik dan perbedaan.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan peneliatian ini adalah untuk mendeskripsikan:
1. Mengetahui kronologi peristiwa konflik kerusuhan pasca pilkada tahun
2006 di Tuban
2. Mengetahui penyebab konflik kerusuhan pasca pilkada tahun 2006 di
Tuban
3. Mengambil nilai-nilai dari peristiwa konflik tersebut untuk dijadikan
bahan pembelajaran dalam pendidikan IPS sebagai langkah resolusi.
4. Membuat sebuah kerangka pembelajaran IPS (sejarah) nilai-nilai dari
peristiwa konflik tersebut.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Secara teoritis, dalam kajian ilmiah menambah khazanah penelitian IPS
terutama tentang proses resolusi yang merupakan salah satu modal
18
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
terhadap penyelesaian konflik pasca pemilihan kepala daerah langsung
tahun 2006 di kabupaten Tuban Jawa Timur melalui pendidikan IPS
3. Bagi para praktisi pendidikan, pendidikan sejarah berbasis resolusi
konflik dapat dipergunakan sebagai pendekatan dalam pembelajaran.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif yaitu sebuah konsep
besar yang meliputi beberapa bentuk penyelidikan yang membantu kita
memahami dan menjelaskan makna fenomena sosial yang alami dengan tanpa
dilakukan sebuah perlakuan. Menurut Sharan (1998: 5) ada beberapa istilah yang
sering dipergunakan dalam pendekatan ini secara bergantian yaitu naturalistic
inquiry, field study, participant observation, inductive research, case study, dan
ethnography. Menurut Creswell dalam bukunya Educational Research penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian dimana peneliti sangat tergantung terhadap
informasi dari objek/partisipan pada: ruang lingkup yang luas, pertanyaan yang
bersifat umum, pengumpulan data yang sebagian besar terdiri atas kata-kata/teks
dari partisipan, menjelaskan dan melakukan analisa terhadap kata-kata dan
melakukan penelitian secara subyektif (Creswell, 2008: 46). Menurut Gay (2006:
399) penelitian kualitatif adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi narasi
secara komprehensif pada data visual untuk mendapatkan wawasan terhadap
fenomena tertentu yang menarik.
Alasan dipergunakannya metode ini berkaitan dengan obyek yang akan
19
Strauss dalam bukunya Basics of Qualitative Research bahwa penelitian social
harus menggunakan pendekatan kulitatif . Menurut Anselm (1998: 9-10) hal ini
dilakukan dengan alasan:
peneliti harus turun kelapangan untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi, (b) relevansi teori didasarkan pada data untuk pengembangan disiplin dan untuk aksi social, (c) kompleksitas fenomena dan tindakan manusia, (d) keyakinan bahwa manusia adalah actor yang mengambil peran aktif dalam merespon suatu situasi problematic, (e) keasadaran bahwa manusia bertindak atas dasar makna, (f) pengertian bahwa makna didefinisikan dan definisikan ulang melalui interaksi, (g) suatu kepekaan terhadap alam akan mengungkap suatu peristiwa, (h) suatu kesadaran akan keterkaitan antara kondisi (struktur), tindakan (proses) dan konsekuensi.
Berdasarkan beberapa alasan diatas, peneliti mempergunakan pendekatan
kualitataif dalam meneliti konflik kerusuhan pasca pilkada di Kabupaten Tuban
tahun 2006. Adapun strategi yang penulis lakukan adalah dalam bentuk case study
(studi kasus) dimana menekankan pada sebuah peristiwa, oleh sekelompok
69 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian
Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif yaitu sebuah konsep besar
yang meliputi beberapa bentuk penyelidikan yang membantu dalam memahami
dan menjelaskan makna fenomena sosial yang alami dengan tanpa dilakukan
sebuah perlakuan. Menurut Merriam (1998: 5) ada beberapa istilah yang sering
dipergunakan dalam pendekatan ini secara bergantian yaitu naturalistic inquiry,
field study, participant observation, inductive research, case study, dan
ethnography. Menurut Creswell dalam bukunya Educational Research penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian dimana peneliti sangat tergantung terhadap
informasi dari objek/partisipan pada: ruang lingkup yang luas, pertanyaan yang
bersifat umum, pengumpulan data yang sebagian besar terdiri atas kata-kata/teks
dari partisipan, menjelaskan dan melakukan analisa terhadap kata-kata dan
melakukan penelitian secara subyektif (Creswell, 2008: 46). Menurut Gay (2006:
399) penelitian kualitatif adalah pengumpulan, analisis, dan interpretasi narasi
secara komprehensif pada data visual untuk mendapatkan wawasan terhadap
fenomena tertentu yang menarik.
Alasan dipergunakannya metode ini berkaitan dengan obyek yang akan diteliti
yaitu masyarakat manusia (social). Berdasarkan pendapat dari Anselm Strauss
(1998: 9) yang dipengaruhi oleh pendapat Park, Thomas, Dewey, Meade, Hughes
dan Blumer dalam bukunya Basics of Qualitative Research bahwa penelitian
social harus menggunakan pendekatan kulitatif . Menurut Anselm (1998: 9-10)
70
(a) peneliti harus turun kelapangan untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi, (b) relevansi teori didasarkan pada data untuk pengembangan disiplin dan untuk aksi social, (c) kompleksitas fenomena dan tindakan manusia, (d) keyakinan bahwa manusia adalah actor yang mengambil peran aktif dalam merespon suatu situasi problematic, (e) keasadaran bahwa manusia bertindak atas dasar makna, (f) pengertian bahwa makna didefinisikan dan definisikan ulang melalui interaksi, (g) suatu kepekaan terhadap alam akan mengungkap suatu peristiwa, (h) suatu kesadaran akan keterkaitan antara kondisi (struktur), tindakan (proses) dan konsekuensi.
Penelitian yang penulis lakukan tentang konflik kerusuhan pasca pilkada yang
terjadi di kabupaten Tuban Jawa Timur mengikuti pendapat Anselm diatas
berkaitan dengan tindakan masyarakat Tuban sebagai actor yang mengambil peran
aktif dalam peristiwa tersebut. Dengan memfokuskan pada para pelaku kerusuhan
yang telah ditahan dikarenakan tindakan yang mereka lakukan diharapkan dapat
diperoleh informasi sekitar kerusuhan tersebut dan latar belakang dari tindakan
yang mereka lakukan. Kemudian punulis juga akan berusahan menguak makna
dari tidakan yang telah dilakukan atas dasar kesadaran masing-masing pelaku.
Strategi yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang
menurut Creswell (2010: 20) merupakan strategi penelitian dimana didalamnya
peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau
sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktifitas, dan peneliti
mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur
pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Sedangkan menurut
Merriam (1998: 27) studi kasus adalah suatu upaya penyelidikan empiris yang
menyelidiki fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata yang belum
jelas. Desain studi kasus dipergunakan untuk memperoleh pemahaman mendalan
71
deskriptif, holistic dan intensif. Menurut Meriam (1998: 29-30) terdapat tiga ciri
strategi studi kasus dalam penelitian kualitatif yaitu: (1) partikularistik, bahwa
studi kasus difokuskan pada keadaan tertentu sebuah situasi, kegiatan ataupun
fenomena; (2) deskriptif, bahwa semua hasil akhir dari sebuah studi kasus
dideskripsikan secara “kaya” dari sebuah fenomena.; (3) heuristik, bahwa studi
kasus memberikan penjelasan kepada pembaca untuk memahami tentang
fenomena.
Dalam proses penelitian kualitatif, Creswell (2008: 52) dan Gay, Mills (2006:
400) memaparkan beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang peneliti
kualitatif yaitu:
a. Mengidentifikasi topik penelitian: Peneliti mengidentifikasi topik atau studi yang menarik bagi penelitian. Seringkali topik awal dipersempit menjadi lebih mudah dikelola.
b. Meninjau literatur: Peneliti meneliti ada penelitian untuk mengidentifikasi informasi yang bermanfaat dan strategi untuk melaksanakan penelitian. c. Memilih peserta/obyek: Peneliti harus memilih peserta untuk menyediakan
pengumpulan data. Peserta sengaja dipilih (yaitu, tidak secara acak dipilih) dan biasanya lebih sedikit jumlahnya dari pada sampel kuantitatif.
d. Pengumpulan data: Peneliti mengumpulkan data dari peserta. Data kualitatif cenderung akan dikumpulkan dari wawancara, observasi, dan artefak.
e. Menganalisis dan menafsirkan data: Peneliti menganalisis tema dan hasil data yang dikumpulkan dan menyediakan interpretasi data.
f. Pelaporan dan mengevaluasi penelitian: Peneliti merangkum dan mengintegrasikan data kualitatif dalam narasi dan bentuk visual.
Enam langkah ini yang nantinya akan kami jadikan sebuah desain penelitian
yang akan kami lakukan terhadap fenomena social pasca kerusuhan pilkada
langsung 2006 di Kabupaten Tuban Jawa Timur. Untuk langkah pertama dan
kedua dalam penelitian kualitatif ini telah dijabarkan dalam bab sebelumnya.
72 B. Penentuan Obyek Penelitian
Dalam memilih peserta/menentukan obyek dilakukan dengan secara sengaja
(purposeful) tidak secara acak untuk mengumpulkan data yang kita inginkan.
Menurut Creswell (2008: 214), dalam penelitian kualitatif, obyek/peserta yang
akan diteliti ditentukan oleh peneliti (purposeful sampling) yaitu melakukan
pemilihan/seleksi terhadap orang atau tempat yang terbaik yang dapat membantu
kita dalam memahami sebuah fenomena. Noeng Muhajir (1991: 48) juga
menyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya mengambil sampel lebih kecil
dan pengambilannya cenderung memilih yang purposive daripada acak. Cara ini
bertujuan untuk membangun sebuah pemahaman yang detail guna membangun
pemahaman yang berguna, membantu peneliti memahami fenomena, dan
mengungkap rahasia yang terpendam.
Dalam penelitian ini obyek yang akan penulis teliti adalah masyarakat Tuban
yang terlibat dalam konflik kerusuhan pasca pilkada langsung 2006 di Kabupaten
Tuban Jawa Timur. Untuk membantu penulis dalam pengambilan data, perlu
dilakukan langkah pengambilan sampel. Dalam mengambil sampel dari sebuah
obyek yang penulis teliti, ada dua tahapan yang dapat lakukan yaitu sebelum
melakukan pengumpulan data dan setelah pengumpulan data dimulai.
Pengambilan sampel data menurut Creswell (2008: 216-217) ada sembilan cara
beserta tujuan yang dapat kita lakukan dalam menentukan yaitu:
1. Typical sampling dengan tujuan untuk menggambarkan sesuatu yang
khas dan tidak biasa terhadap sebuah kasus.
2. Extreme case sampling dengan tujuan untuk menjelaskan sebuah
keadaan yang merugikan atau bermanfaat.
3. Maximal variation sampling dengan tujuan untuk mengembangkan
73
4. Critical sampling dengan tujuan untuk menjelaskan sebuah kasus yang
menggambarkan situasi yang dramatis.
5. Homogeneous sampling dengan tujuan untuk menggambarkan
beberapa sub kelompok secara mendalam
6. Theory or Concept Sampling dengan tujuan untuk menghasilkan teori
atau mengeksplorasi konsep.
7. Opportunistic sampling yaitu sampel yang diambil untuk mengambil
manfaat dari kasus yang terungkap
8. Snowball sampling yaitu sampel yang diambil dengan tujuan untuk
menentukan orang atau tempat yang akan dipelajari
9. Confirming / disconfirming sampling yaitu sampel yang diambil untuk
mengungkap kasus yang jelas maupun tidak jelas.
Dalam meneliti masyarakat Tuban yang terlibat konflik kerusuhan pasca
pilkada langsung 2006, penulis akan memfokuskan pada masyarakat Tuban yang
saat itu terlibat dalam aksi demonstrasi yang berakhir rusuh khususnya yang
tertangkap dan dihukum. Terdapat 120 orang yang dijadikan tersangka dan
dihukum saat itu. Tentunya tidak semua eks-tapol tersebut yang akan penulis
jadikan obyek / sumber penelitian. Oleh karena itu penulis akan mengambil
beberapa orang tersebut sebagai sampel dalam penelitian ini. Langkah penentuan
sample yang akan penulis lakukan sebagaimana telah dipaparkan diatas yaitu
dengan menggunakan critical sampling. Critical sampling dengan tujuan untuk
menjelaskan sebuah kasus yang menggambarkan situasi yang dramatis.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang kerusuhan tersebut, penulis
akan mengambil beberapa eks-tapol tersebut yang akan kami jadikan sampel yaitu
koordinator aksi, koordinator kendaraan, pengurus cabang partai, pengurus anak
cabang partai, orator, dan masyarakat nelayan. Beberapa orang ini kami pilih
dengan asumsi agar dapat memberikan informasi yang akurat tentang kronologis
74
simpatisan dan dari warga masyarakat biasa. Beberapa orang yang akan kami
jadikan sampel antara lain:
1. M : Mantan ketua DPRD Kab Tuban fraksi PKB periode 2004-2009 , saat
kerusuhan dan sekarang menjadi sekretaris DPC PKB Tuban yang sempat
menjalani hukuman selama 9 bulan.
2. R S : Koordinator lapangan yang pada waktu itu aktif di LSM Tuban
Peduli, SIROS, dan menjalani hukuman paling lama yaitu 2 tahun 1 bulan.
3. Er : Ketua Anak Cabang PKB Kecamatan Merakurak saat terjadi
kerusuhan dan menjalani hukuman paling ringan 2 bulan kurang 1 hari.
4. SH : Anggota PKB yang saat itu menjadi koordinator kendaraan dan
sempat menjalani hukuman 4 bulan 12 hari.
5. SL : Warga kecamatan Jenu yang berprofesi sebagai nelayan dan petani
dan sempat menjalani hukuman selama 4 bulan 21 hari.
6. D : Pedagang pasar baru Tuban dan ikut demonstrasi tetapi tidak sampai
tertangkap. Darmuji oleh penulis dijadikan key person yang menunjukkan
siapa saja yang terlibat saat itu.
7. AK : Pemuda asal kelurahan King-king kecamatan Tuban yang saat itu
mengikuti demo dan tidak tertangkap
8. RN : Aktivis GMNI dan pengurus PDIP Tuban yang saat kerusuhan tahun
2006 menjadi orator dan berhasil melarikan diri.
9. SI : Kepala Tata Usaha Yayasan mabarot Sunan Bonang saat kerusuhan
sampai sekarang.
75
11. R : Pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shomadiyah Tuban
12. SK : Ketua KPUD Tuban Saat itu dan saat ini
13. AC : Warga Kecamatan Senori Tuban
14. K : Warga Kecamatan Semanding pengurus PNPM dan pendukung He-li
C. Teknik Pengumpulan Data
Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data yang menurut Creswell (2009:
266); Gay (2006: 413-423) merupakan usaha membatasi penelitian,
mengumpulkan informasi melalui observasi dan wawancara baik terstruktur
maupun tidak, dokumentasi, materi-materi visual, serta usaha merancang protocol
untuk merekam dan mencatat informasi. Langkah-langkah dalam pengumpulan
data antara lain
1. Identifikasi lokasi-lokasi atau individu yang sengaja dipilih. Untuk langkah
ini sebagaimana telah dipaparkan dalam penentuan obyek diatas tentang
individu-individu yang akan dipilih dalam penelitian yaitu eks-tapol dan
para demonstran yang tidak tertangkap. Adapun lokasi-lokasi yang akan
peneliti observasi diantaranya puing-puing bangunan pasca kerusuhan 2006
yang sampai sekarang ada yang masih belum tersentuh dari renovasi.
Disamping itu beberapa lokasi yang menjadi pendukung dalam penelitian
ini juga akan diteliti diantaranya terminal wisata, trotoar keramik, pasar
besar yang mangkrak dan sebagainya.
2. Strategi pengumpulan data yang dilakukan antara lain:
76
Observasi adalah langkah pengumpulan data dengan turun kelapangan
untuk mengamati perilaku dan aktifitas individu-individu di lokasi
penelitian. Dalam langkah ini peneliti merekam/mencatat baik secara
terstruktur maupun semistruktur. Peneliti juga dapat terlibat dalam
peran-peran yang beragam, mulai dari sebagai partisipan maupun non-partisipan
hingga partisipan utuh. Observasi yang akan peneliti lakukan sebagai
non-partisipan antara lain mengamati perilaku masyarakat Kabupaten Tuban
pasca konflik tahun 2006.
b. Wawancara
Dalam wawancara kualitatif, peneliti dapat melakukan face-to face
interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan,
mewawancarai mereka dengan telephon atau terlibat langsung dalam focus
group interview yang terdiri atas enam sampai delapan partisipan per
kelompok. Wawancara-wawancara ini tentu saja memerlukan
pertanyaan-pertanyaan yang secara umum tidak terstruktur (unstructured) dan bersifat
terbuka (open-ended) yang dirancang untuk memunculkan
pandangan-pandangan dan opini dari para partisipan. Secara garis besar materi
wawancara yang akan penulis lakukan dalam bentuk pertanyaan antara
lain:
(1) Bagaimana kronologi demonstrasi pasca pilkada pada tahun 2006 yang
berakhir rusuh tersebut?
77
(3) Apa yang menjadi latar belakang ikut demonstrasi yang berakhir rusuh
tersebut?
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan dokumen-dokumen public seperti
Koran, makalah, laporan kantor ataupun dokumen privat seperti buku
harian, diary, surat dan email. Dalam studi dokumentasi pada penelitian ini
akan difokuskan pada laporan Koran Surya, Jawa Pos, Bhirawa, Duta
Masyarakat, Memo dan majalah Teropong, Akbar yang terbit mulai bulan
Maret, April, Mei tahun 2006. Disamping laporan Koran tersebut, penulis
juga meneliti laporan dari Koran online dan news online diantaranya:
detik.com, metrotv news, kotatuban.com. Selain dari laporan Koran,
peneliti juga akan mengambil data kondisi Kabupaten Tuban secara
ekonomis, politis, pendidikan, dan budaya melalui catatan laopran dari
kantor BPPS kabupaten Tuban. Peneliti juga akan mengambil data dari
dokumen privat yaitu buku putih yang dikeluarkan oleh tim Non-stop dari
Sabda Ronggolawe yang berjudul 71 Alasan Haeny Relawati Tidak Pantas
Menjadi Bupati Tuban.
d. Materi audio visual
Materi audio visual yang akan peneliti pergunakan dalam penelitian ini
antara lain rekaman video tentang kerusuhan yang didapat dari peserta
demonstaran, video laporan dari media elektronik terutama Metro TV dan
78 D. Reliabilitas dan Validitas
Dalam penelitian kualitatif, validitas tidak memiliki konotasi yang sama
dengan validitas dalam penelitian kuantitatif, tidak pula sejajar dengan
reliabilitas (yang berarti pengujian stabilitas dan konsistensi respon) ataupun
dengan generalisabilitas (yang berarti validitas eksternal atas hasil penelitian
yang dapat diterapkan pada setting, orang atau sampel yang baru). Menurut
Creswell (2009: 285) Validitas kualitatif merupakan upaya pemeriksaan
terhadap akurasi hasil penelitian dengan menerapkan prosedur-prosedur
tertentu. Terdapat delapan prosedur yang sering diterapkan dalam penelitian
kualitatif yaitu: trianggulasi, member checking, membuat deskripsi padat,
mengklarifikasi bias, menyajikan informasi yang berbeda (negatif),
menggunakan waktu yang lama, melakukan tanya jawab dengan rekan,
mengajak seorang auditor luar. Dalam penelitian ini penulis akan
menggunakan strategi trianggulasi yaitu melakukan pemeriksaan dari
bukti-bukti lain. Menurut Burhan Bungin (2009: 257) triangulasi memberi
kesempatan untuk dilaksanakannya beberapa hal diantaranya: (1) penilaian
hasil penelitian oleh responden; (2) mengoreksi kekeliruan oleh sumber data;
(3) menyediakan tambahan informasi secara sukarela; (4) memasukkan
informan dalam kancah penelitian; (5) menilai kecukupan data. Pada
penelitian ini, hasil wawancara dari narasumber akan peneliti croscek dengan
79
Gambar 3.1: Triangulasi
Reliabilitas kualitatif mengindikasikan bahwa pendekatan yang digunakan
peneliti konsisten jika diterapkan oleh peneliti-peneliti lain. Dalam penelitian
ini pendekatan yang peneliti pergunakan telah dipergunakan dalam meneliti
kasus “Pemberontakan Petani Banten” oleh Sartono serta telah dipergunakan
oleh saudara Sriyanto dalam meneliti kasus kerusuhan Tasikmalaya tahun
1996.
E. Teknik Analisis Data
1. Analisis Data dan Interpretasi
a. Analisis data menurut Gay (2006: 480) adalah upaya peneliti kualitatif
untuk meringkas data yang dikumpulkan secara akurat dan dapat di
andalkan. Hal ini adalah penyajian temuan penelitian dengan cara yang
lazim dilakukan. Creswell (2009: 276-283) memberikan enam tahapan
dalam proses analisis data antara lain
1) Mengolah data dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah ini
termasuk transkripsi wawancara, men-scaning materi, mengetik data
lapangan, memilih dan menyusun data berdasarkan sumber informasi Hasil
wawancara
Laporan Koran Kronologis, latar
80
2) Membaca keseluruhan data dengan merefleksikan makna secar
keseluruhan dan memberikan catatan pinggir tentang gagasan umum
yang diperoleh
3) Menganalisis lebih detail dengan men-coding data. Creswell (2009: 279)
mengutip pendapat Bogdan dan Biklen dalam tahapan coding yaitu:
a) Konteks setting dan konteks
b) Perspektif-perspektif subyek
c) Kecenderungan berfikir subyek tentang orang lain
d) Kode proses
e) Kode aktivitas
f) Kode strategi
g) Kode relasi dan struktur social. Adapun langkah konkrit coding
sebagaimana di lampiran
4) Menerapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang,
kategori-kategori dan tema-tema yang akan ditulis
5) Menunjukkan bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan ditulis dalam
narasi atau laporan kualitatif.
6) Menginterpretasikan data
81
Gambar 3.2: analisis data
b. Interpretasi data adalah upaya peneliti untuk menemukan makna dalam data
dan menjawab pertanyaan penelitian sebagai implikasi dari temuan penelitian.
Menurut Gay (2006: 482) interpretasi data meliputi:
1) Interpretasi data didasarkan pada keeratan hubungan, aspek umum, dan
keterkaitan antara bagian-bagian data, kategori, dan pola. Interpretasi
bermakna dapat dicapai jika peneliti mengetahui data dengan sangat rinci.
Dalam hal ini peneliti menghubungkan antara data yang didapat dari
wawancara, laporan Koran dan video. Memvalidasi
keakuratan informasi
Data mentah (transkripsi, data tangan, gambar dan sebagainya Mengolah dan mempersiapkan
data untuk dianalisis Membaca keseluruhan data Men-coding data (tangan atau
computer)
Tema-tema
deskripsi Menghubungkan tema-tema/deskripsi (studi kasus)
Menginterpretasikan tema-tema/deskripsi-deskripsi
Transkrip wawancara dengan pelaku, video kerusuhan dan
laporan media masa Memilah data dalam kategori, kronologi, penyebab, nilai dan kondisi pasca sampai sekarang Membaca keseluruhan data Memberi tanda dengan di blok
untuk transkrip dan ditandai bolpoin untuk koran Menghubungkan tema-tema/deskripsi (studi kasus)
Menginterpretasikan tema-tema/deskripsi-deskripsi
Kronologi,peny ebab, nilai dan kondisi skr
82
2) Tujuan interpretasi adalah untuk menjawab pertanyaan yaitu: bagaimana
kronologi peristiwa?; apa yang yang menjadi latar belakang peristiwa?;
nilai-nilai apa yang terkandung?; dan kerangka konseptual penerapan
dalam pendidikan IPS?
3) Memperluas analisis adalah strategi interpretasi data dimana peneliti hanya
memperpanjang analisis data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang studi ini, mencatat implikasi yang mungkin ditarik tanpa
mempengaruhi data. Pertanyaan yang dimunculkan peneliti dalam
interpretasi ini antara lain mengapa mereka terlibat dalam konflik
kerusuhan tersebut? Apa posisinya mereka pada peristiwa tersebut? Apa
keuntungannya? Dan sebagainya.
4) Menghubungkan temuan dengan pengalaman pribadi adalah strategi yang
mendorong peneliti untuk melakukan personalisasi interpretasi
berdasarkan pengetahuan yang mendalam dan pemahaman tentang setting
penelitian. Peneliti menghubungkan pengalaman peneliti saat itu (tahun
2006) dengan hasil wawancara dan laporan media masa.
5) Mencari saran kritis dari teman-teman adalah strategi untuk melibatkan
dan mengundang seorang rekan terpercaya untuk menawarkan wawasan
tentang penelitian yang mungkin telah terlewatkan karena kedekatan
peneliti dalam meneliti. Penulis mengambil saran kritik dari teman penulis
yaitu saudara Najib.
6) Mengontekstualisasikan temuan penelitian dalam literatur terkait
83
memberikan dukungan bagi temuan penelitian dan mendorong peneliti
untuk melakukan hubungan dengan "otoritas eksternal". Dalam strategi
ini telah penulis lakukan pada bab I dengan mengakaitkan kodisi
kerusuhan Tuban dengan kerusuhan yang
7) Mengalihkan kepada teori adalah strategi yang mendorong peneliti untuk
menghubungkan temuan mereka dengan isu-isu yang lebih luas. Dengan
demikian, untuk mencari dan meningkatkan tingkat abstraksi dan untuk
mengembangkan deskriptif yang melampaui perhitungan asal. Hal ini
sudah penulis lakukan di bab I.
8) Mengatur interpretasi dengan bijaksana dan menghindari evangelis tentang
penafsiran Anda. Memberikan hubungan yang jelas antara pengumpulan
data, pengumpulan, dan interpretasi.
F. Lokasi Penelitian
182 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari kajian terhadap peristiwa konflik kerusuhan pasca pilkada tahun 2006 di
Kabupaten Tuban, maka dapat diperoleh hasil diantaranya bahwa konflik
kerusuhan pasca pilkada tahun 2006 murni dilakukan oleh masyarakat Kabupaten
Tuban yang kecewa terhadap pemerintahan Bupati Haeny relawati dan terluapkan
ketika menemukan momentum pilkada tahun 2006 yang terbukti terjadi
kecurangan.
Konflik kerusuhan kerusuhan pasca pilkada tahun 2006 dilatarbelakangi oleh
beberapa factor yaitu: pertama adanya pemaksaan struktur baru dari struktur lama
(structural conduciveness) yang menyebabkan masyarakat terutama yang sering
bersinggungan dengan kebijakan memendam perasaan kecewa terhadap
pemerintah. Penyebab kedua adalah adanya pengabaian struktur sosial yang telah
ada terutama berdasarkan agama dalam hal ini NU (Structural strain). Pengabaian
ini menyebabkan warga NU Tuban mulai memendam kekecewaan terhadap
penguasa Tuban terhitung sejak tahun 2003. Penyebab ketiga adalah terbentuknya
satu nilai (Growth and spread of a generalized belief) yaitu keadilan yang dituntut
masyarakat Tuban untuk mencapai tujuan bersama. Keempat adalah hancurnya
tatanan sosial (precipitating factors) yaitu hubungan yang semakin hancur antara
rakyat Tuban yang kecewa dengan pemerintah dengan saling menghujat. Hal ini
183
dilakukan melalui pertemuan pengajian dan do’a bersama. Penyebab kelima yaitu
adanya pengumpulan masa (mobilization of participants for action) melalui
konsolidasi ikatan-ikatan formal PKB Tuban dan informal untuk melakukan aksi.
Penyebab terakhir adalah adanya momentum pilkada yang terbukti terjadi
kecurangan sehingga menyebabkan masyarakat Tuban meluapkan
kekecewaannya. Penyebab terakhir ini tidak sesuai dengan teori Smelser tentang
memudarnya kontrol pemerintah, dan yang menyebabkan konflik kerusuhan di
Tuban hanya berjalan sebentar dengan eskalasi yang begitu besar.
Dari peristiwa konflik kerusuhan pasca pilkada langsung tahun 2006 di Tuban
didapatkan nilai-nilai pendidikan yang diambil dari peristiwa konflik tersebut
antara lain: nilai keadilan, nilai kejujuran, nilai cinta damai, nilai kebersamaan,
nilai berfikir jernih, nilai nrimo ing pandum/qona’ah. Keenam nilai ini dapat
diterapkan sebagai sebuah resolusi konflik melalui pendidikan.
Dapat dibuat sebuah kerangka pembelajaran IPS (sejarah) berbasis resolusi
konflik dengan cara mengintegrasikan antara nilai-nilai pendidikan yang
diperoleh, ketrampilan resolusi konflik yang dikembangkan NCSS dan
kompetensi dasar yang relevan sebagai sebuah langkah praktis resolusi konflik
pasca pilkada tahun 2006 di kabupaten Tuban. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa realita sosial berupa konflik kerusuhan dapat diselesaikan /
dilakukan tindakan resolusi konflik melalui pendidikan IPS yang terintegrasi
184 B. Saran
Dari penelitian yang penulis lakukan terhadap peristiwa konflik kerusuhan
pasca pilkada di Tuban Tahun 2006, maka akan diberikan beberapa saran yang
mudah-mudahan berguna bagi masyarakat Tuban khususnya dan untuk kemajuan
pendidikan di Indonesia antara lain:
1. Kasus konflik kerusuhan Tuban telah lima tahun berlalu, tetapi
benih-benih konflik akan selalu muncul apabila beberapa pihak yang terkait tidak
dapat menginsafi kejadian tersebut. Oleh karena itu untuk pemerintah
Tuban saat ini harus bersikap adil, jujur, qona’ah, dan cinta damai agar
kasus serupa tidak terulang kembali.
2. Untuk masyarakat kabupaten Tuban, bahwa kebersamaan itu penting.
Akan tetapi kebersamaan akan jadi berbahaya ketika dipergunakan untuk
hal-hal yang kurang baik. Sebaliknya kebersamaan akan mendatangkan
manfaaat apabila dipergunakan untuk jalan yang baik.
3. Untuk masyarakat Tuban, segala sesuatu tidak harus diselesaikan dengan
kepala panas, akan tetapi harus diselesaikan dengan kepala dingin yaitu
berfikir yang jernih. Permasalahan yang baik akan bisa mendatangkan
keburukan jika dilakukan dengan cara yang kurang baik.
4. Khusus untuk para pelaku kerusuhan yang ditahan, kata maaf harus selalu
kita dengungkan kepada orang yang telah sedikit merugikan kita. Tanpa
kata maaf, maka letupan konflik akan selalau muncul dan mengarah pada
185
5. Untuk para pengkaji resolusi konflik, ada satu rancangan resolusi konflik
melalui pendidikan yang dapat dipraktekkan dari hasil penelitian ini .
6. Untuk pemerintah khususnya pusat kurikulum, bahwa hasil penelitian
penulis tentang nilai-nilai yang didapatkan dari peristiwa konflik
kerusuhan Tuban 2006, dapat diakomodir untuk dapat dibelajarkan kepada
seluruh siswa di Nusantara mengingat Indonesia adalah negara yang
186
DAFTAR PUSTAKA Referensi Buku:
Abu-Nimer, M. (1999). Dialogue, Conflict Resolution, and Change : Arab-Jewish
Encounters in Israel SUNY Series in Israeli Studies. New york: State University of New York Press
Aureli, F, Frans B.M Dee Wall. (2000). Natural Conflict Resolution. London: University of California Press.
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum. (2010). Pengembangan
Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa (Draf Final). Jakarta: Kementrian
Pendidikan Nasional.
Bertrand, Jacques. (2004). Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. New York: Cambridge University Press.
Braithwaite, John. (2010). Anomie and violence. Canberra: ANU E Press
Bungin, Burhan. (2009). Penelitian Kualitatif (Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group
Campbell, Jack, Nick Baikaloff. Ed. (2006). Towards a Global Community:
Educating for Tomorrow’s World Global Strategic Directions for the Asia-Pacific Region. The Netherlands: Springer
Coppel. Charles A. ed. (2006). Violent Conflicts in Indonesia Analysis,
Representation, Resolution. New York: Routledge
Charles Webel and Johan Galtung ed. (2007). Handbook of peace and conflict
studies. Oxon: Routledge
Collins, Randall. (2008). Violence A Micro-Sociological Theory. New Jersey: Princeton University Press
Cooser, Lewis. (1964). The Function of Social Conflict. London: The Free Press
Creswell, John.W. (2008). Educational Research (Palnning, Conducting, and
Evaluating Quantitative and Qualitative Research. USA: Pearson.
Creswell, John.W. (2009). Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed). terj. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Deutsch, Morton, Peter T. Coleman, Ed. (2000). The Handbook of Conflict
187
Diah Pitaloka, Rieke. (2004). Kekerasan Negara menular ke Masyarakat. Yogyakarta: Galang Press
Elmubarok, Zaim. (2009). Membumikan Pendidikan Nilai (Mengumpulkan yang
Terserak Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai).
Bandung: Alfabeta
Frydenberg, Erica. (2005). Morton Deutsch: A Life and Legacy of Mediation and
Conflict Resolution. Brisbane: Australian Academic Press
Furlong, Gary T. (2005). The Conflict Resolution Toolbox: Models&Maps for
Analyzing Diagnozing and Resolving Conflict. Canada: Wiley&Sons Ltd
Gay, L.R, G.E. Mills. (2006). Educational Research (Competencies for Analysis
and Applications). USA: Pearson.
Goldstone, Jack A. (1991). Revolution and Rebellion in the Early Modern World. USA: University of California Press
Heider, Karl G. (2006). Landscapes Of Emotion : Mapping Three Cultures Of
Emotion In Indonesia. New York: Cambridge University Press
Hursh, David. W. (2000). Democratic Social Education (Social Studies for Social
Change). London: Falmer Press
Jeong, HO-W. (2008). Understanding Conflict and Conflict Analysis. London: Sage.
Kartodirjo, Sartono. (1984). Pemberontakan Petani banten 1888. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
Kattsoff, Louis. (1989). Elements of Philosophy, terj. Yogyakarta: Tiara Wacana
Kheel, Theodore Woodrow. (1999). The Keys to Conflict Resolution : Proven Methods of Settling Disputes Voluntarily. New York: Four Walls Eight Windows
Klinken, Gerry van. (2007). Communal. Violence democratization in Indonesia :
small town wars. USA and Canada:Routledge
Koellhoffer, Tara Tomczyk. (2009). Being Fair And Honest (Character
Education). New Yory: Chelsea House.
188
LeBlanc, Patrice R, Nancy P. Gallavan. (2009). Affective Teacher Education:
Exploring Connections Among Knowledge, Skills, and Dispositions.
Maryland: The Association Of Teacher Educators
Maftuh, Bunyamin. (2008). Pendidikan Resolusi Konflik (Membangun Generasi
Muda yang Mampu Menyelasaikan Konflik secara Damai). Bandung:
Yasindo Multi Aspek.
Maribeth Erb, Priyambudi ed. (2005). Regionalism in Post-Suharto Indonesia. New York: RoutledgeCurzon
McCollum, Sean. (2009). Character Education: Managing Conflict Resolution. Ne