• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KADAR ALPHA SYNUCLEIN PLASMA DENGAN PENYAKIT PARKINSON.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN KADAR ALPHA SYNUCLEIN PLASMA DENGAN PENYAKIT PARKINSON."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KADAR ALPHA SYNUCLEIN PLASMA

DENGAN PENYAKIT PARKINSON

!

!

!

!

TESIS

!

Oleh:

DEDI SUTIA

BP. 0923093001

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RS. DR. M. DJAMIL PADANG

(2)

Abstrak

Latar Belakang: Penyakit Parkinson merupakan kelainan neurodegeneratif yang bersifat kronis progresif. Etiologi penyakit Parkinson masih belum jelas sampai saat ini. Pemeriksaan klinis masih merupakan pilihan utama dalam menegakkan diagnosis penyakit Parkinson. Alpha synuclein mulai banyak dikaitkan dengan penyakit Parkinson. Akumulasi abnormal alpha synuclein diduga bersifat toksik pada sel neuron dopaminergik. Tujuan penelitian membuktikan hubungan alpha synuclein dengan penyakit Parkinson.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional komparatif terhadap 49 pasien parkinson yang berobat ke RS. Dr. M. Djamil Padang dan Rumah Sakit jejaring dan 31 orang kontrol yang sehat sejak Desember 2013-Juni 2014. Pemeriksaan kadar alpha synuclein plasma dengan ELISA. Data dianalisis dengan SPSS.

Hasil: Rerata usia pasien 60,10+ 7,94 tahun. Jenis kelamin pria 29 orang (59,2%). Rerata kadar alpha synuclein plasma pada pasien parkinson 5,15+1,44ng/ml dan nilai mediannya pada pasien laki-laki 5,26 (3,21-8,91)ng/ml. Terdapat perbedaan kadar alpha synuclein plasma dengan penyakit Parkinson (p=0,002). Tidak terdapat perbedaan alpha synuclein plasma dengan jenis kelamin pada pasien Parkinson (p=0,189). Terdapat hubungan kadar alpha synuclein plasma dengan penyakit Parkinson (p=0,049). Tidak terdapat hubungan alpha synuclein plasma dengan jenis kelamin pada pasien parkinson(p=0,110).

Kesimpulan: Terdapat perbedaan kadar alpha synuclein plasma dengan penyakit Parkinson dan tidak terdapat perbedaan alpha synuclein plasma dengan jenis kelamin pada pasien parkinson. Terdapat hubungan kadar alpha synuclein plasma dengan penyakit Parkinson dan tidak terdapat hubungan alpha synuclein plasma dengan jenis kelamin pada pasien parkinson.

(3)

xx

THE ASSOCIATION BETWEEN PLASM ALPHASYNUCLEIN LEVEL

AND PARKINSON’S DISEASE Dedi Sutia, Meiti Frida, Basjiruddin Ahmad

Abstract

Background: Parkinson’s disease is a chronic progressive neurodegenerative disorder. Its etiology still remains unclear. Clinical examination is still believed as the main method to diagnose the disease. Currently, alpha synuclein has come to be correlated to the Parkinson’s disease. Abnormal accumulation of alpha synuclein is considered to be toxic to the dopaminergic neurons. The aim of this study is to demonstrate the correlation between the plasm alpha synuclein and the Parkinson’s disease.

Methods: It is a cross observational comparative study involving 49 patients of the Parkinson’s disease treated at the Dr. M. Djamil Padang and other networking hospitals, and the control group of 31 healthy people. It was conducted between December 2013 and June 2014. The level of plasm alpha synuclein was examined by ELISA. The SPSS was used to analyse the data.

Results: For the patient group, the mean of age is 60.10+ 7.94 years old; men is 29 (59.2%); the mean of plasm alpha synuclein level is 5.15+1.44 ng/ml and the median for male patient is 5.26 (3.21-8.91) ng/ml. There is different between Parkinson’s disease, but there is no different between plasm alpha synuclein level and sex of the patient. There is association between plasm alpha synuclein level and the Parkinson’s disease, but there is no association between plasm alpha synuclein level and sex of the patient.

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LatarBelakang

Penyakit Parkinson merupakan kelainan neurodegeneratif yang bersifat

kronis progresif. Secara umum gejala klinis penyakit ini meliputi trias klasik yang

terdiri dari resting tremor, rigiditas dan akinesia atau bradikinesia, yang disertai

dengan adanya penurunan refleks postural (TRAP) (Waters, 1999; Dewey, 2000;

Hauser, 2003; Aragon, 2007; World Health Organisation [WHO], 2008). Penyakit

ini umumnya mengenai usia di atas 50 tahun dan prevalensinya meningkat seiring

dengan bertambahnya usia. Namun demikian, sekitar 5% dari pasien Parkinson

termasuk dalam kelompok penderita Parkinson onset muda (juvenille

Parkinsonism) dengan usia awitan kurang dari 40 tahun (Sobaryati, 2010).

Angka kejadian penyakit Parkinson termasuk salah satu yang terbanyak di

antara kasus-kasus neurodegeneratif (Waters, 1999). Insiden penyakit ini di dunia

adalah 1,5 sampai 14 pasien per 100.000 penduduk (Vijver, 2001). Prevalensi di

Asia hampir sama dengan di dunia, yaitu 1,5 sampai 8,7 pasien per 100.000

penduduk (Muangpaisan, 2009). Sementara itu, di Eropa dilaporkan angka yang

lebih tinggi, yaitu 9 sampai 22 pasien per 100.000 penduduk (Campenhausen,

2005). Jumlah kasus penyakit ini juga dilaporkan meningkat dari waktu ke waktu.

Berdasarkan studi proyeksi yang dilakukan oleh Dorsey, et al. (2007), secara

umum diperkirakan akan terdapat peningkatan jumlah kasus penyakit Parkinson

sebanyak dua kali lipat pada sepuluh negara berpenduduk terbanyak di dunia,

(5)

!

! !

2!

Sampai saat ini, di Indonesia belum tersedia data nasional tentang jumlah

penderita penyakit Parkinson. Namun demikian, berdasarkan laporan Kelompok

Studi (Pokdi) Movement Disorder Perhimpunan Dokter Saraf Seluruh Indonesia

(Perdossi, 2013), diperkirakan pertambahan jumlah pasiennya mencapai 10 orang

per 100.000 penduduk per tahun, dan estimasi sementara terdapat

200.000-400.000 penderita, dimana perbandingan antara jumlah pasien laki-laki dan

perempuan adalah 3:2. Data dari Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang

menyebutkan bahwa angka kunjungan rawat jalan pasien Parkinson ke poliklinik

penyakit saraf pada tahun 2011 adalah sebanyak 320 orang (Rekam Medis RS Dr.

M. Djamil, 2011) dan pada tahun 2012 sebanyak 232 orang (Rekam Medis RS Dr.

M. Djamil, 2012). Sedangkan untuk rawat inap, pada tahun 2011 terdapat

sebanyak 12 kasus penyakit Parkinson (Rekam Medis RS Dr. M. Djamil, 2011)

dan di tahun 2012 terdapat 17 kasus (Rekam Medis RS Dr. M. Djamil Padang,

2012). Data-data tersebut di atas menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus

penyakit Parkinson dari waktu ke waktu, baik berdasarkan laporan Perdossi

maupun RS Dr. M. Djamil Padang.

Penyakit Parkinson merupakan salah satu penyebab utama disabilitas di

bidang neurologi (Sobaryati, 2010). Disabilitas yang diakibatkan oleh penyakit ini

akan memberikan pengaruh besar pada standar kehidupan pasiennya. Selain itu,

penyakit ini juga dapat menimbulkan beban yang cukup berat dalam keluarga baik

secara finansial maupun fungsi sosial (WHO, 2008). Suatu studi di Amerika

Serikat yang mengkombinasikan berbagai survei nasionalnya memperkirakan

bahwa beban ekonomi bagi setiap pasien ataupun keluarganya untuk membiayai

(6)

biaya kesehatan per tahun bagi kelompok penduduk dengan kisaran umur yang

sama namun tanpa penyakit Parkinson. Sedangkan kerugian finasial tidak

langsung yang diakibatkan oleh penyakit ini, misalnya kehilangan pekerjaan

akibat progresifitas penyakit ini, diperkirakan dapat mencapai angka USD 10.000

per pasien untuk setiap tahunnya (Kowal, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh para ahli sampai saat ini masih belum

berhasil menemukan etiologi pasti dari penyakit Parkinson. Penyakit ini sering

dikaitkan dengan proses penuaan, faktor genetik dan lingkungan dalam

mempengaruhi kerentanan sel-sel neuron dopaminergik di substansia nigra

parskompakta untuk mengalami kerusakan yang akan berakibat pada penurunan

kadar dopamin. Kadar dopamin yang rendah dianggap memiliki peranan penting

dalam patofisiologi penyakit ini. Apabila neuron dopaminergik tersebut telah

mengalami kerusakan kurang lebih 80% dan produksi dopamin mengalami

penurunan drastis hingga 60%, maka akan muncul berbagai gejala klinis penyakit

Parkinson (Waters, 1999; Lumbantobing, 2004; Joesoef, 2007; Wichman and

Delong, 2007; Hartmann, 2009).

Dalam menegakkan diagnosis penyakit Parkinson, pemeriksaan klinis

masih merupakan pilihan utama yang dipakai oleh para klinisi. Pemeriksaan

penunjang sering dianggap tidak banyak membantu. CT Scan dan MRI standar

tidak selalu dapat memberikan hasil yang bermakna untuk menegakkan diagnosis.

Positron emission tomography (PET) merupakan teknik pencitraan yang mampu

memperlihatkan penurunan ambilan fluorodopa terutama di putamen pada

penderita Parkinson bahkan pada tahap dini, namun sayangnya pemeriksaan ini

(7)

!

! !

4!

atipikal, disamping ketersediaan alat ini juga masih sangat terbatas. Sementara

pemeriksaan dengan single photon emission computed tomography (SPECT) yang

merupakan terobosan baru dalam praktek untuk mendiagnosis penyakit Parkinson

dan mampu memberikan hasil yang lebih baik, juga tergolong sebagai

pemeriksaan mahal dan tidak efisien untuk dilakukan secara rutin terhadap

pasien-pasien yang dicurigai menderita penyakit ini (Levine, 2003; Sherer, 2011).

Pemeriksaan klinis adakalanya tidak mampu menegakkan diagnosis

Parkinson secara tepat, terutama pada fase-fase awal penyakit dimana gejala

klinisnya masih belum terlalu jelas. Karena hal itulah maka telah banyak ahli yang

memikirkan perlunya pemeriksaan terhadap biomarker yang bisa dipakai untuk

mendeteksi penyakit ini, yang memungkinkan untuk membantu menegakkan

diagnosis sedini mungkin. Salah satu biomarker yang mulai banyak dikaitkan

dengan penyakit Parkinson adalah alpha synuclein (El-Agnaf, 2006; Waragai and

Sekiyama, 2010; Sherer, 2011).

Alpha synuclein adalah suatu mikroprotein baru yang ditemukan oleh

Spillantini et al pada tahun 1997. Umumnya mikroprotein ini terdapat di daerah

terminal presinap pada neuron sistem saraf pusat dan merupakan komponen utama

dari badan inklusi lewy bodies (Sidhu, et al., 2004). Meskipun fungsinya belum

sepenuhnya diketahui, namun diduga bahwa alpha synuclein berperan dalam

biosintesis domain, plastisitas sinap, dan pengangkutan dopamin ke dalam vesikel.

Pada kondisi normal, mikroprotein ini menjaga deposit cadangan produk dopamin

di dalam vesikel dalam bentuk inaktif (negative modulatory effect). Penyimpanan

(8)

oleh radikal bebas yang mungkin ada di luar vesikel yang akan menyebabkan

dopamin menjadi bersifat toksik (Goedert, 2010; Sidhu, 2004).

Akumulasi abnormal alpha synuclein akibat ketidakseimbangan produksi

dan degradasinya, dianggap dapat menyebabkan kondisi neurotoksik pada sel

neuron dopaminergik dan keadaan ini berperan dalam patogenesis penyakit

Parkinson (Goedert, 2010). Studi pada hewan percobaan tikus oleh Yasuda dan

Mochizuki (2010) menunjukkan bahwa terjadi degenerasi dan apoptosis yang

progresif pada sel neuron dopaminergik akibat adanya ekspresi yang berlebihan

dari alpha synuclein. Berdasarkan penelitian Fujiwara, et al (2002) terhadap

jaringan otak hasil otopsi pada pasien yang sebelumnya terdiagnosis dengan alpha

synucleinopathy, diketahui bahwa sekitar 90% dari fraksi alpha synuclein yang

bersifat tidak larut dalam cairan mengalami fosforilasi pada posisi rantai Ser129.

Modifikasi inilah yang secara in vitro menyebabkan agregasi dan merangsang

terbentuknya badan inklusi pada model kultur sel penyakit Parkinson.

Beberapa studi terbaru telah menunjukkan adanya bukti peningkatan kadar

alpha synuclein dalam cairan serebrospinal maupun darah pasien Parkinson.

Mukaetova-Ladinska, et al (2008) membuktikan adanya peningkatan kadar alpha

synuclein dalam cairan serebrospinal akibat proses neurodegeneratif. Park, et al

(2011) menemukan peningkatan yang bemakna pada kadar alpha synuclein

oligomerik di cairan serebrospinal pasien Parkinson dibandingkan kontrol (0.33 ±

0.25 vs 0.16 ± 0.09; p = 0.005). Sementara studi oleh Lee, et al (2006)

menemukan adanya peningkatan yang bermakna pada kadar alpha synuclein

dalam plasma pasien Parkinson dibandingkan dengan kelompok kontrol (79.9 ±

(9)

!

pada plasma pasien Parkinson (95% CI 0.353-0.687) dibandingkan dengan

kelompok kontrol (95% CI 0.014-0.281). Penelitian oleh Foulds, et al (2011)

menunujukkan bahwa level alpha synuclein terfosforilasi pada plasma pasien

Parkinson lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

Sementara itu, terdapat perbedaan pendapat oleh para peneliti lain

mengenai kadar alpha synuclein pada pasien Parkinson. Hasil yang berbeda

ditemukan oleh Tokuda, et al (2006) dan Mollenhauer, et al (2011). Mereka

berkesimpulan bahwa pasien Parkinson memiliki kadar alpha synuclein dalam

cairan serebrospinalnya yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan

kelompok kontrol. Li, et al (2007) melaporkan penurunan yang bermakna pada

kadar alpha synuclein plasma pasien Parkinson dibandingkan dengan kontrol.

Sedangkan Shi, et al (2010) dan Park, et al (2011) menemukan tidak ada perbedan

yang bermakna pada kadar alpha synuclein plasma antara pasien Parkinson dan

kontrol. Selain itu, terdapat pula laporan studi bahwa kadar alpha synuclein total

memiliki hubungan dengan jenis kelamin pasien, dimana terdapat korelasi lebih

bermakna dengan pasien Parkinson berjenis kelamin laki-laki (Caranci, 2013).

Pada studi ini didapatkan bahwa rata-rata kadar alpha synuclein total plasma

pasien Parkinson laki-laki adalah 11.01 ± 4.33 ng/ml sedangkan untuk pasien

perempuan didapatkan rata-rata kadar alpha synuclein total plasma adalah 9.90 ±

3.10 ng/ml.

Meskipun berbagai studi tentang keterkaitan alpha synuclein dengan

(10)

dipahami dan perlu dipelajari lebih lanjut. Studi ini dianggap perlu guna

memperdalam pemahaman tentang peran alpha synuclein dalam patogenesis

penyakit Parkinson guna mendapatkan acuan yang jelas untuk aplikasinya dalam

hal penegakan diagnosis serta pilihan terapi yang bisa dikembangkan di masa

yang akan datang. Hal ini berkaitan dengan agregasi alpha synuclein yang dapat

membentuk lewy bodies, yang merupakan salah satu hipotesis patogenesis

penyakit Parkinson.

Mengingat adanya prediksi peningkatan jumlah penderita Parkinson di

masa yang akan datang yang disertai dengan peningkatan berbagai beban sosial

dan finansial bagi pasien, keluarga bahkan masyarakat, serta masih terbatasnya

studi tentang kadar alpha synuclein yang bisa berperan sebagai biomarker untuk

membantu menegakkan diagnosis penyakit Parkinson sedini mungkin (termasuk

belum adanya publikasi penelitian tentang kadar alpha synuclein pasien Parkinson

di Indonesia), maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang kadar

alpha synuclein plasma pasien Parkinson yang berobat ke poliklinik rawat jalan

dan instalasi rawat inap RS.DR. M. Djamil Padang serta rumah sakit jejaring

lainnya serta hubungan kadar alpha synuclein plasma dengan penyakit Parkinson.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini akan menilai

bagaimana hubungan peningkatan kadar alpha synuclein plasma dengan penyakit

Parkinson pada pasien Parkinson yang berobat ke poliklinik rawat jalan dan

instalasi rawat inap Neurologi RS. DR. M. Djamil Padang dan rumah sakit

(11)

!

! !

8!

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menilai hubungan antara peningkatan kadar alpha synuclein plasma

dengan penyakit Parkinson.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Membuktikan perbedaan kadar alpha synuclein plasma antara kelompok

pasien dengan penyakit Parkinson dan kelompok kontrol.

2. Membuktikan perbedaan antara kadar alpha synuclein plasma dengan jenis

kelamin pada pasien dengan penyakit Parkinson.

3. Membuktikan adanya hubungan antara peningkatan kadar alpha synuclein

plasma pasien dengan penyakit Parkinson dan kelompok kontrol.

4. Membuktikan adanya hubungan antara peningkatan kadar alpha synuclein

plasma dengan jenis kelamin pada pasien dengan penyakit Parkinson.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Pengembangan ilmu pengetahuan

Meningkatkan pemahaman tenaga medis tentang hubungan antara kadar alpha

synuclein plasma dengan penyakit Parkinson.

2. Kepentingan pelayanan kesehatan

Dapat dijadikan dasar untuk pengembangan terapi penyakit Parkinson ke depan

(12)

3. Untuk kepentingan masyarakat

Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang penyakit Parkinson dan faktor

resikonya serta upaya pencegahan dengan mengurangi paparan terhadap zat

Referensi

Dokumen terkait

Dengan diketahuinya bahwa terdapat pengaruh yang positif antara variabel kegunaan , variabel kualitas informasi dan variabel kualitas interaksi layanan website

Hasil pre-test subjek penelitian menunjukkan bahwa seluruh anggota kelompok yang terdiri dari 8 peserta didik yang teridentifikasi sebagai perilaku cyber bullying

[r]

Oleh karena itu, dengan menambahkan suatu sistim komputerisasi menggunakan software Visual Basic 6.0 sangatlah membantu dalam pengolahan dan pengelolahan pelayanan peminjaman

Lapangan Identifikasi Masalah dan Perumusan Masalah Penetapan Tujuan Pengumpulan Data Analisis Pemilihan Tata Letak Paling Efisien Kesimpulan dan Saran SELESAI Perancangan

Osteomyelitis is an infection of the bone and bone mar- row. It can involve any bone of the human body and can occur through a variety of mechanisms. The difference in

BNI ATM memiliki fitur yang sangat lengkap, lebih dari 110 fitur, yang meliputi layanan tarik tunai, transfer antar rekening dan antar bank, pembelian (tiket

Derap prajurit wirosuto dari kraton dan rebana / menghantarkan proses deklarasi jusuf kalla dan wiranto (JK-WIRANTO) / sebagai capres dan cawapres 2009-2014 // deklarasi