• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesadaran Kritis Remaja Terhadap Sinetron (Studi Literasi Media tentang Kesadaran KritisRemaja terhadap Sinetron di SMK Yayasan Pendidikan Keluarga (YPK) Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesadaran Kritis Remaja Terhadap Sinetron (Studi Literasi Media tentang Kesadaran KritisRemaja terhadap Sinetron di SMK Yayasan Pendidikan Keluarga (YPK) Medan"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma Kajian

Paradigma diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan

lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap

(afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan

bagaimana seseorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya.

(Vardiansyah, 2008: 27)

Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic

belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of

method but in ontologically and epistomologically fundamental ways.” Pengertian

tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara

memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda

tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis.

Paradigma penelitian menurut Cresswel dibagi menjadi 4 yaitu, post

positivisme, advokasi, konstruktivisme, dan pragmatisme. Peneliti memilih post

positivisme sebagai paradima kajian. Paradigma post positivisme adalah sudut

pandang yang memiliki ciri-ciri bahwa elemen setiap penelitian dapat di reduksi,

bersifat logis dan mengandalkan koleksi data empiris. Selain itu, karakter dan

penelitian postpositivisme di fokuskan pada penyebab dan efek dari penyebab

tersebut. Postpositivisme juga berasumsi di masyarakat di sebabkan oleh perilaku

namun lebih bersifat deterministik, artinya perilaku masyarakat yang

mengkonstruksi bagaimana individu harus berperilaku(Saefuddin, 2007: 2-3).

Post Positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap

memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan

pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post

positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada

dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas memang ada

(2)

dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: modified

dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa

dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara

metodologis adalah modified eksperimental/ manipulatif.

Post Positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme

dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang

membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses

verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.

Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah

diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

Penelitian ini menggunakan paradigma postpositivisme untuk melihat

remaja sebagai subjek memahami, mengevaluasi, dan memilih pada saat

menonton sinetron yang berlandaskan kesadaran kritis sebagai sebuah objek yang

mengkonstruksi bagaimana individu harus berperilaku.

Post Positivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada

positivisme. Satu sisi post positivisme sependapat dengan positivisme bahwa

realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain

postpostivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari

realita apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara

langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat

interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan

bermacam-macam metode, sumber data, data dan lain-lain (academia.edu).

2.2. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubugan

suatu teori dengan faktor – faktor yang penting yang telah diketahui dalam suatu

masalah tertentu.

2.2.1. Literasi Media

Literasi media sering diterjemahkan dengan melek media, apabila

dianalogikan dengan melek huruf maka literasi media diartikan tidak buta

(3)

apa yang tampak di luar (produk) dari media maupun dapur yang mengolah

produk tersebut. Perkembangan media yang sangat cepat terutama media massa

harus diimbangi dengan gerakan literasi media yang komprehensif. Agar

sebagian besar dari masyarakat dapat memanfaatkan media massa untuk

kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Dengan literasi media diharapkan

masyarakat dapat membedakan konten media yang bermanfaat dan yang

menimbulkan mudharat bagi kehidupannya.

Literasi media berasal dari bahasa Inggris yaitu Media Literacy, terdiri dari dua suku kata Media berarti media tempat pertukaran pesan dari Literacy berarti melek, kemudian dikenal dalam istilah Literasi Media. Dalam hal ini

literasi media merujuk kemampuan khalayak yang melek terhadap media dan pesan media massa dalam konteks komunikasi massa. (Tamburaka, 2013: 7)

Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebgai

konsumen media (termasuk remaja) menjadi sadar (melek) dalam mengonsumsi televisi tidak secara berlebihan dan memahami manfaat apa yang

disampaikan dari isi media massa tersebut.

Pondasi pengetahuan media literasi menurut Potter adalah seperangkat struktur pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang isi media, media industri, pengaruh media, informasi dunia nyata dan diri sendiri. Namun dari kelima hal tersebut, Potter amat menyoroti tiga aspek pengetahuan yang amat mendasar dalam media literasi, yaitu: pengetahuan tentang isi media, media industri dan pengaruh media (Mazdalifah, 2011: 117-118).

Pengetahuan tentang isi media berkaitan dengan pengetahuan orang

tentang banyak informasi yang dimiliki tentang acara TV. Pengetahuan

tersebut meliputi acara apa saja yang ada di televisi seperti: acara hiburan,

berita, dan iklan. Informasi ini membantu orang untuk mengakses pesan media

dan untuk alasan ini, jenis informasi sangat berguna. Pengetahuan tentang

industri media berkaitan dengn pengetahuan kepemilikian televisi, bagaimana

mereka menjalankan bisnis televisi, bagaimana mereka berinteraksi, dan

bagaimana mereka memasarkan pesan-pesan melalui televisi. Pada umumnya

orang-orang sangat sedikit mengembangkan pengetahuan ini. Semakin banyak

(4)

mengerti tentang bagaimana isi media diproduksi. Pengetahuan tentang

pengaruh media berkaitan dengan pengetahuan yang luas tentang pengaruh

yang dimiliki oleh media, dalam hal ini khususnya tentang media televisi.

Pengaruh tersebut meliputi pengaruh pada pengetahuan seseorang, sikap,

emosi, psikologi, dan perilaku.

Literasi media hadir sebagai benteng bagi khalayak agar kritis terhadap

isi media, sekaligus menentukan informasi yang dibutuhkan dari media.

Literasi media diperlukan di tengah kejenuhan informasi, tingginya terpaan

media, dan berbagai permasalahan dalam informasi tersebut yang mengepung

kehidupan kita sehari-hari. Literasi media memberikan panduan tentang

bagaimana mengambil kontrol atas informasi yang disediakan oleh media.

Semakin melek media seseorang, maka semakin mampu orang tersebut melihat

batas antara dunia nyata dengan dunia yang dikonstruksi oleh media.

Salah satu pelopor literasi media adalah James Potter yang

mendefinisikan literasi media sebagai seperangkat perspektif yang secara aktif

digunakan ketika kita membuka diri dengan media dalam rangka melakukan

interpretasi makna pesan. Literasi media berhubungan dengan bagaimana

khalayak dapat mengambil kontrol media. Literasi media merupakan skill

untuk menilai makna dalam setiap pesan, mengorganisasikan makna itu

sehingga berguna, dan kemudian membangun pesan untuk disampaikan kepada

orang lain.

Potter menekankan bahwa literasi media dibangun berdasarkan pada personal locus, struktur pengetahuan, dan skill. Personal locus merupakan tujuan dan kendali kita akan informasi. Ketika kita menyadari ajann informasi yang kita butuhkan, maka kesadaran kita akan menuntun untuk melakukan proses pemilihan informasi secara lebih cepat, pun sebaliknya. Struktur pengetahuan merupakan seperangkat informasi yang terorganissi dalam pikiran kita. Dalam literasi media kita membutuhkan struktur informasi yang kuat akan efek media, isi media, industri media, dunia nyata, dan diri kita sendiri. Sementara skill adalah alat yang kita gunakan untuk menigkatkan kemampuan literasi media kita. (Astari, 2016: 11).

Semua orang mempunyai kesempatan untuk menempati kontinum

tersebut, dan posisinya dalam kontinum tertentu didasarkan pada kekuatannya

(5)

melihat media ditentukan oleh jumlah dan kualitas struktur pengetahuan yang

dimiliki orang tersebut, dan kualitas struktur pengetahuan akan didasarkan

pada tingkatan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki. Hal ini berarti

bahwa dalam literasi media terdapat suatu hubungan yang erat antara apa yang

disebut sebagai struktur pengetahuan dan skill.

Lebih lanjut James W. Potter menjelaskan tentang literasi media yaitu a set of perspectives that we actively use to expose ourselves to the media to

interpret the meaning of the messages we encounter. (Seperangkat perspektif

dimana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan

pesan-pesan yang diterima dan cara mengantisipasinya)(Astari, 2016: 11).

Baran dan Dennis dalam memandang literasi media sebagai suatu rangkaian gerakan melek media, yaitu gerakan melek media dirancang untuk meningkatkan kontrol individu terhadap media yang mereka gunakan untuk mengirim dan menerima pesan. Melek media dilihat sebagai keterampilan yang dapat dikembangkan dan berada dalam sebuah rangkaian kita tidak melek media dalam semua situasi, setiap waktu dan terhadap semua media(Tamburaka 2013, 8).

Gerakan melek media disajikan untuk menunjukkan bahwa upaya untuk

memberikan pemahaman, penelitian, dan evaluasi terhadap konten media tidak

lagi terbatas pada tataran pendidikan. Hal ini seiring dengan perkembangan

teknologi komunikasi massa yang merambah ke sendi-sendi kehidupan secaraa

individual.

Potter juga menjelaskan bahwa literasi media tidak hanya sebatas

pemahaman seseorang dalam menerima gambaran-gambaran yang

disampaikan oleh sebuah pesan, namun lebih kepada bagaimana literasi media

sebagai sebuah kontrol. Adapun menurut Potter terdapat beberapa konsep dasar

dalam literasi. Pertama, literasi media merupakan sebuah kontinum, bukan

kategori. Artinya setiap orang memiliki pemahaman tentang media, meskipun

berbeda tingkatan. Dimana, kekuatan dalam memahami media ditentukan dari

kualitas struktur pengetahuannya.

Kedua, literasi media bersifat multi-dimensional. Artinya, struktur

(6)

dengan fakta yang terdapat dalam sebuah informasi. Dimensi Emosional yakni

kaitannya dengan perasaan. Dimensi estetika kaitannya dengan apresiasi

terhadap pesan dan dimensi moral berkaitan dengan nilai.

Ketiga, tujuan dari literasi media merupakan memberikan kontrol akan

pemaknaan sebuah pesan. Dalam hal ini, berhubungan dengan tingkat literasi

media seseorang. Dimana, semakin tinggi tingkatan literasi media seseorang,

maka makna yang diperoleh dari sebuah pesan akan semakin banyak. Namun

sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat literasi media yang rendah akan

kesulitan dalam mengenali ketidakteraturan, memahami kontroversi,

mengapresiasi ironi dan satire atau membangun pandangan yang luas.

Baran dan Davis menyatakan ada beberapa poin penting dari gerakan

melek media, yaitu:

1. Khalayak adalah aktif, tetapi mereka belum tentu sadara akan apa yang

mereka lakukan dengan media.

2. Kebutuhan, kesempatan, dan pilihan khalayak didorong secara tidak

alamiah oleh akses terhadap media dan konten media.

3. Konten media dapat secara implisit dan eksplisit memberikan tuntunan

terhadap tindakan.

4. Orang-orang harus secara realistis mengukur bagaimana interaksi mereka

dengan teks media dapat menentukan tujuan bahwa interaksi tersebut

mendukung mereka di dalam lingkungan mereka.

5. Orang-orang memiliki tingkatan berbeda dalam pengolahan

kognitif.(Tamburaka, 2013: 4)

Khalayak dipandang aktif mencari sumber informasi dan hiburan

melalui konten media massa. Selama bertahun-tahun keberadaan media massa

menjadi sumber pemenuhan akan informasi, integrasi sosial dan hiburan bagi

khalayak. Kehadiran media massa dengan beragam konten media ternyata

mampu memenuhi salah satu atau sekaligus dari kebutuhan itu.

Perpaduan antara kecakapan dengan pengetahuan, The National

(7)

seseorang yang melek media dapat mengartikan, mengevaluasi, menganalisis,

dan memproduksi pesan-pesan baik media cetak maupun media penyiaran.

Orang-orang juga butuh untuk mengetahui lima hal, yaitu:

1. Pesan-pesan yang dikonstruksikan.

2. Pesan-pesan media diproduksi dalam konteks ekonomi, sosial politik,

historis, dan estetis.

3. Interpretasi terhadap proses penciptaan terhadap makna yang ada dalam

penerimaan pesan yang berisi interaksi antara pembaca, teks, dan budaya.

4. Media memiliki bahasa yang unik, sebuahh karakteristik yang

mempresentasikan beragam bentuk, genre, dan sistem lambang

komunikasi.

5. Representasi media memainkan peranan dalam pemahaman orang tentang

realitas sosial.(Raharjo, 2012: 13).

Semua media adalah konstruksi. Apa yang ditayangkan televisi

bukanlah representasi dunia. Media massa memproduksi pesan dengan

perencanaan yang seksama dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang

menguntungkan baginya. Media mempunyai implikasi komersial yang

menyajikan media dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan komersial,

bagaimana media meramu isi, teknik produksi, dan dan distribusi isinya.

Sebagian besar produk dari media adalah untuk kepentingan bisnis yang

didasarkan untuk meraih keuntungan ekonomi. Media massa juga merupakan

wadah untuk politikus untuk mempromosikan partai-partai nya dan kegiatan

politik lainnya. Pesan media massa juga mengandung makna sejarah dan nilai

keindahan dari media massa tersebut.

Menurut Hobbs, ia melihat pada apa yang terjadi dengan pesan yang

disampaikan media massa, dan dalam pandangannya, pesan-pesan yang

disajikan media massa seperti berikut(Iriantara, 2009: 22).

1. Pesan-pesan yang dikonstruksi.

2. Pesan-pesan media merepresentasikan dunia.

(8)

4. Individu membuat makna terhadap pesan media melalui penafsiran.

Perihal tersebut menggambarkan mengenai bagaimana media

merangkai pemberitaan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat sehingga

literasi media berfungsi sebagai penyaring akan hal-hal yang dianggap

merugikan.

Ada beberapa faktor penghambat seperti yang dipaparkan oleh

Buckingham dan Domailer, bahwa di 52 negara menunjukkan bahwa

penghambat pengembangan literasi media ini adalah:

1. Konservatisme sistem pendidikan.

2. Terus berlanjutnya resistensi terhadap budaya pop yang bernilai penting

untuk dipelajari.

3. Potensi ancaman dalam bentuk-bentuk pemikiran kritis yag melekat

(inherent) pada pendidikan media. (Iriantara, 2009: 34)

Literasi media, kemudian dibutuhkan untuk memberi bekal

pengetahuan dan ketrampilan yang bisa digunakan saat berhadapan dengan

media yakni kemampuan untuk memilah, mengakses, mempergunakan

informasi, serta mampu memproduksi media sebagai alat untuk menyampaikan

gagasan. Dengan demikian remaja diharapkan tidak hanya mampu

membentengi dirinya terhadap pengaruh buruk media namun juga

menggunakan media untuk tujuan yang positif, sekaligus mampu

menggunakan media sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan ekspresi

diri.

Seseorang yang memiliki ketrampilan dan kemampuan dalam bermedia

menurut Potter setidaknya memiliki pengetahuan mengenai 5 hal berikut, yakni

isi media, industri media, dampak media, kenyataan, sehari-hari, dan diri

sendiri. Dengan memiliki pengetahuan dalam 5 bidang ini, seseorang bisa

memilah informasi, mampu bekerja dengan informasi tersebut dan membangun

(9)

Program-program berkaitan dengan literasi media telah dilakukan

dengan mengambil titik fokus yang berbeda-beda. Beberapa program menitik

beratkan pada analisa media dengan cara memberikan ketrampilan mengenai

pemahaman dan upaya interpretasi dalam suatu pesan media. Program literasi

media ada pula yang berdasarkan pada keterampilan produksi media, biasanya

menitik beratkan pada penguatan komunitas. Jenis program yang lainnya

menggunakan literasi media sebagai cara untuk memahami infrastruktur

ekonomi media massa, sebagai kunci dalam konstruksi sosial pengetahuan

umum.

2.2.2. Elemen-Elemen Literasi Media

Silverblatt mengidentifikasi beberapa elemen yang menjadi dasar dalam

literasi media (Raharjo, 2012: 15), yaitu:

1) Kecakapan berpikir kritis memungkinkan anggota khalayak untuk

mengembangkan penilaian yang independen terhadap isi media.

2) Pemahaman terhadap proses komunikasi massa.

3) Kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat.

4) Strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan media.

5) Sebuah kesadaran akan isi media sebagai suatu teks yang menyediakan

wawasan bagi budaya dan kehidupan kita.

6) Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai isi media.

7) Pengembangan keterampilan produksi yang efektif dan bertanggung jawab.

8) Pemahaman akan kewajiban etis dan moral para praktisi media.

Berdasarkan definisi dan elemen utama literasi media tersebut kita

dapat mengklasifikasikan beragam tipe literasi media. Pertama, berdasarkan

media yang dituju, literasi media terdiri dari: literasi, literasi media (dalam arti

sempit), dan literasi media baru. Kedua, berdasarkan tingkat kecakapan yang

berusaha dimunculkan literasi media dapat dibedakan ke dalam tingkat awal,

menengah, dan lanjut. Tingkat awal di dalam literasi media biasanya berupa

pengenalan media, terutama efek positif dan negatif yang potensial diberikan

(10)

Literasi media tingkat menengah bertujuan menumbuhkan kecakapan

dalam memahami pesan. Kemudian literasi media melahirkan output

kecakapan memahami media yang lengkap sampai produksi pesan, struktur

pengetahuan terhadap media yang relatif lengkap, dan pemahaman kritis pada

level aksi, misalnya memberi masukan dan kritik pada organisasi dan

menggalang aksi untuk mengritik media. Literasi media berdasarkan lokasi

kegiatan dilakukannya paling tidak muncul di tiga tempat, yaitu: di

rumah/tempat tinggal, sekolah, dan di kelompok-kelompok masyarakat.

Pemahaman dalam memunculkan kecakapan individu dalam

menggunakan media adalah tujuan yang utama dalam kegiatan literasi media.

Tujuan ini lebih penting bila dibandingkan dengan tujuan mengenalkan media

atau pun menumbuhkan pemahaman kritis pada media.

Baran mengemukakan bahwa kemampun dan keahlian kita sangat penting dalam proses komunikasi massa. Kemampuan ini tidak selalu mudah untuk dikuasai tetapi ini sangat penting dipelajari dan dapat dilakukan. Kemampuan ini adalah literasi media, kemampuan yang secara efektif dan efisien memahami dan menggunakan berbagai bentuk komunikasi yang bermedia (Iriantara, 2013: 13-14).

Proses untuk mengidentifikasikan konten media meliputi kognitif,

emosi, estetika dan moral. Dari proses kognitif, khalayak berpikir kritis tentang

konten media massa. Dari segi emosi atau perasaan, khalayak coba untuk peka

apa yang dialami dan dirasakannya terhadap konten media dengan apa yang

dirasakan orang lain pula. Dari segi estetika, khalayak juga mampu melihat

konten media sebagai kretivitas seni dari pembua konten media untuk menarik

perhatian khalayak. Dari segi moral, khalayak dapat melihat konten media

sebagai sebuah makna yang dibuat oleh pembuat pesan, yaitu ada nilai-nilai

moral baik atau buruk yang diberikan.

(11)

Mengetahui posisi media sebagai penyedia konten media dan khalayak

sebagai konsumen media, sedangkan hubungan keduanya dibangun oleh

keberadaan konten media sehingga saling membutuhkan satu sama lainnya.

Media membutuhkan kita untuk menyalurkan konten media dan kita

membutuhkan beragam konten media dari media massa itt sendiri. Media

massa dan khalayak merupakan suatu hubungan simbiosis mutualisme yang

saling membutuhkan satu sama lainnya.

Komunikasi massa dalam prosesnya melibatkan banyak orang yang

bersifat kompleks dan rumit. Menurut McQuail dalam proses komunikasi

massa terlihat berproses dalam bentuk:

1. Melakukan distribusi dan penerimaan informasi dalam skala besar. Jadi

proses komunikasi massa melakukan distribusi informasi kemasyarakatan

dalam skala yang besar, sekali siaran atau pemberitaan jumlahdan

lingkupnya sangat luas dan besar.

2. Proses komunikasi massa cenderung dilakukan melalui model satu arah

yaitu dari komunikator kepada komunikan atau media kepada khalayak.

Interaksi yang terjadi sifatnya terbatas.

3. Proses komunikasi massa berlangsung secara asimetris antara komunikator

dengan komunikan. Ini menyebabkan komunikasi antara mereka

berlangsung datar dan bersifat sementara. Kalau terjadi sensasi emosional

sifatnya sementara dan tidak permanen.

4. Proses komunikasi massa juga berlangsung impersonal atau non pribadi

dan anonim.

5. Proses komunikasi massa juga berlangsung didasarkan pada hubungan

kebutuhan-kebutuhan di masyarakat. Misalnya program akan ditentukan

oleh apa yang dibutuhkan pemirsa. Dengan demikian media massa juga

ditentukan oleh rating yaitu ukuran di mana suatu program di jam yang

sama di tonton oleh sejumlah khalayak massa. (kompasiana.com)

Dampak media (media effects) adalah perubahan kesadaran, sikap, emosi, atau tingkah laku yang merupakan hasil dari interaksi dengan media. Istilah tersebut

(12)

disebabkan oleh terpaan media. Perkembangan pemikiran dan teori tentang

dampak media mempunyai sejarah alamiah karena dipengaruhi oleh setting

waktu, tempat, faktor lingkungan, perubahan teknologi, peristiwa-peristiwa

sejarah, kegiatan kelompok-kelompok penekan, para propagandis,

kecenderungan opini publik, serta beragam penemuan-penemuan dan

kecenderungan yang berkembang dalam kajian ilmu-ilmu sosial.

Strategi dalam analisis dan diskusi pesan-pesan media. Untuk

mengonsumsi pesan media secara peka, seseorang membutuhkan pondasi,

sebagai pemikiran dan refleksi awal. Jika makna ditafsirkan, maka harus

memiliki alat yang memadai untuk mencapainya. Berdiskusi mengenai konten

dari media yang dikonsumsi untuk disaring mana yang baik atau tidak, agar

dapat diaplikasikan didalam kehidupan.

Isu-isu yang berkembang dalam kaitan ini diantaranya dalam riset

dampak media, isu mengenai dampak media terhadap perilaku agresif atau

dampak media yang berkenaan dengan kekerasan dan perilaku agresif telah

menjadi objek banyak sekali penelitian, keyakinan yang sangat kuat mengenai

adanya korelasi antara kekerasan dalam layar kaca dengan kekerasan aktual

yang terjadi dalam masyarakat telah menjadi objek ribuan studi, tetapi tidak

terdapat kesepakatan mengenai derajat pengaruh kekerasan dalam layar kaca

terhadap kekerasan aktual dalam masyarakat.

Isi media tidak selalu harus dicemooh dan diburukkan ketika ada

kesalahan ataupun ketika khalayak menyadari bahwa isi dari media tersebut

tidak pantas untuk ditayangkan. Literasi media tidak bermakna apabila berada

dalam kehidupan yang tidak kompromistik atau menjadi selalu tidak percaya

terhadap efek yang merusak dan degradasi budaya. Belajar untuk menikmati,

memahami dan mengapresiasi isi dari media termasuk kemampuan untuk

menggunakan beragam titik akses guna mendekati isi media dari berbagai arah.

Penjelasan berikutnya yakni literasi tradisional beranggapan bahwa

orang yang dapat membaca juga dapat menulis. Literasi media juga

(13)

dengan pemaahaman mengenai isi media yang efektif dan efisien, tapi juga

penggunaan yang efektif dan efisien pula. Individu-individu yang melek media

seharusnya dapat mengembangkan kecakapan yang produktif sehingga

memungkinkan untuk menciptakan pesan-pesan media yang bermanfaat.

Media literasi dikatakan sempurna jika dapat memahami keseluruhan

mengenai media dan segala hal yang bersangkutn mengenai media itu sendiri,

untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana media dan isi yang

seharusnya maka langkah pertama yaitu dengan memahami

kewajiban-kewajiban praktisi media baik secara etis dan moral.

Media literasi dikatakan sempurna jika dapat memahami keseluruhan

mengenai media dan segala hal yang bersangkutan mengenai media itu sendiri,

untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana media dan isi yang

seharusnya maka langkah pertama yaitu dengan memahami

kewajiban-kewajiban praktisi media baik secara etis dan moral.

2.2.3. Karakteristik Literasi Media

Potter mencatat sembilan karakteristik dari literasi media, atau deskripsi

tentang apa yang dibutuhkan seseorang untuk berpikir dan bertindak agar

dinilai melek media (Rahardjo, 2012: 18).

1. Kecakapan dan informasi merupakan hal yang penting.

2. Literasi media adalah seperangkat perspektif di mana kita mengekspos diri

terhadap media dan mengartikan makna dari pesan-pesan yang ditemukan.

3. Literasi media harus dikembangkan. No one is born media literate.

4. Literasi media bersifat multi dimensi.

5. Literasi media tidak dibatasi pada satu medium.

6. Orang yang melek media dapat memahami bahwa maksud dari literasi

media yaitu kemampuan mengendalikan pesan-pesan yang menerpanya dan

menciptakan makna.

7. Literasi media harus dikaitkan dengan nilai-nilai.

(14)

9. Orang yang melek media mampu memahami bahwa literasi media adalah

sebuah kontinum, bukan kategori.

Informasi yang dimiliki, namun tidak mempunyai kecakapan, maka

akan sulit untuk memahami informasi dengan baik. Informasi akan tersimpan

dalam memori namun tidak diintegrasikan ke dalam struktur-struktur

pengetahuan. Kecakapan dalam hal inilah yang dimaksud kemampuan untuk

menganalisis mengevaluasi, membuat sintesis, dan ekspresi persuasif. Sisi

yang lain menjelaskan, jika memiliki kecakapan-kecakapan namun tidak

merepresentasikan diri ke dalam pesan-pesan media atau pengalaman dunia

nyata, maka struktur-struktur pengetahuan kita menjadi sangat terbatas dan

tidak seimbang. Industri media, isi media, efek media, dan informasi tentang

media merupakan kawasan utama dari pengetahuan.

Perspektif dibangun dari struktur-struktur pengetahuan. Struktur

pengetahuan akan membentuk landasan untuk bisa melihat fenomena media

yang multi aspek: organisasi, isi, dan efeknya terhadap individu dan institusi.

Semakin banyak struktur pengetahuan yang dimiliki, maka akan semakin

banyak fenomena media akan dapat dilihat. Semakin berkembang struktur

pengetahuan, maka akan semakin banyak konteks yang dimiliki untuk

membantu memahami apa yang dilihat, dan hal tersebut dapat memperluas

perspektif dalam melihat media.

Literasi media merupakan sesuatu yang harus dikembangkan dan tidak

dapat muncul secara langsung dan hal tersebut mempersyaratkan usaha dari

setiap individu. Pengembangan adalah proses jangka panjang yang tidak

pernah berhenti, yakni tidak seorangpun akan mencapai tahapan literasi yang

lengkap. Kecakapan akan dapat selalu dikembangkan dalam tingkatan yang

lebih tinggi. Jika kecakapan tidak diperbaiki secara berkelanjutan, maka

kecakapan yang dimiliki akan menurun (atrophy). Selain itu, struktur-struktur pengetahuan tidak akan pernah berakhir, karena media dan dunia nyata secara

(15)

Berikutnya yaitu informasi dalam struktur-struktur pengetahuan tidak

dapat dibatasi pada elemen kognitif saja, tapi juga berisi

elemen-elemen emosional, moral dn estetika. Struktur-struktur pengetahuan yang kuat

akan berisi informasi dari empat ranah tersebut. Jika salah satu tipe informasi

hilang, maka struktur pengetahuan menjadi kurang tereleborasi.

Informasi dalam struktur pengetahuan tidak terbatas pada unsur kognitif

saja tetapi juga harus mengandung unsur-unsur emosional, estetika, dan moral.

Empat jenis elemen bekerja sama dimana kombinasi dari masing-masing ketiga

jenis elemen lainnya membantu mememberikan konteks untuk jenis yang

Struktur pengetahuan yang kuat berisi informasi dari keempat elemen tersebut.

Jika ada salah satu jenis informasi yang hilang, maka struktur pengetahuan itu

akan menjadi kurang rinci dari yang seharusnya. Sebagai contoh, orang-orang

yang memiliki struktur pengetahuan tanpa informasi emosional, akan tetap

dapat melakukan analisis dan mengutip banyak fakta tentang sejarah genre film

ketika mereka menonton film bahkan memahami sudut pandang produsernya.

Namun jika tidak dapat merasakan reaksi emosionalnya, mereka hanya

melakukan sesuatu yang bersifat akademis saja serta kering.

Gagasan lama mengenai literasi media hanya dibatasi pada kegiatan

membaca dan lambang-lambang komunikasi yang diakui saja. Literasi media

adalah hal yang luas, yakni mengkonstruksikan makna dari pengalaman dan

konteks ekonomi, budaya, politik dan lain sebagainya. Menjadi melek media

merupakan kemampuan melakukan kontrol terhadap terpaan media dan

mengkonstruksi makna dari pesan-pesan yang disampaikan oleh media. Ketika

orang-orang melakukannya, maka mereka mengendalikan dengan menentukan

apa yang penting dalam hidup mereka dan menata harapan untuk memperoleh

pengalaman dari hal-hal yang penting. Jika seseorang tidak melakukannya,

maka pesan-pesan media akan melimpah ke dalam kondisi yang kurang

menguntungkan.

Ide dasarnya adalah bahwa pemahaman awal tentang literasi hanya

terbatas pada membaca saja dan lebih jauh pada mengenali simbol. Hal inilah

(16)

sesuatu yang jauh lebih luas, yaitu membangun makna dari pengalaman dan

konteks yang ada (ekonomi, politik, budaya, dll). Setiap media memiliki

karakteristik yang berbeda, misalnya dalam menggunakan simbol-simbol, cara

memandang khalayak, motivasi mereka dalam melakukan bisnis, dan estetika

yang mereka gunakan. Semakin seseorang mengetahui perbedaan-perbedaan

ini, mereka akan semakin dapat menghargai persamaan dan semakin mereka

dapat memahami bahwa pesan memiliki sifat yang sensitif terhadap medium

yang digunakan.

Tujuan seserorang agar menjadi lebih memiliki kemampuan literasi

media adalah untuk mendapatkan kontrol yang lebih besar dari eksposur

seseorang terhadap media, dan untuk membangun sendiri makna atas

pesan-pesan media. Mereka melakukan hal tersebut ketika berada dalam kendali

untuk menentukan apa yang penting dalam hidup dan menetapkan harapan bagi

pengalaman tersebut. Jika mereka tidak melakukan hal ini untuk diri mereka

sendiri, maka banjir pesan media akan menggantikan kendali mereka. Media

tidak hanya akan mengatur agenda kita dan memberitahu orang-orang

mengenai apa yang harus dipikirkan, namun media juga akan menetapkan

standar untuk hal-hal penting dalam hidup. Misalnya, standar sukses seseorang,

kebahagiaan, sifat-sifat seseorang, dan keindahan. Media akan menetapkan

sebuah standar yang mustahil tentang bagaimana kita harus menjalani hidup

kita, penampilan tubuh seseorang, kecepatan mencapai sukses dalam karir,

nilai dari barang-barang material, dan intensitas hubungan.

Masterman berpendapat bahwa pendidikan literasi media tidak berusaha

untuk memaksakan nilai-nilai budaya tertentu. Dia melanjutkan, ini tidak

berusaha untuk memaksakan ide-ide tentang apa yang merupakan baik atau

buruk dalam televisi, surat kabar, atau film. Pendapat itu mengandung nilai

tertentu, walau para pendidik literasi media tidak dapat mendefinisikan mana

pesan buruk dan baik, mereka menyiratkan bahwa mengakses media tanpa

berpikir adalah sesuatu yang tidak baik, dan bahwa menafsirkan pesan secara

(17)

nilai atau tidak. Isunya difokuskan pada identifikasi apa nilai-nilai tersebut dan

siapa yang mengontrolnya(indonesia-medialiteracy.net).

Seseorang yang memiliki perspektif yang luas pada fenomena media,

memiliki potensi tinggi untuk bertindak dengan cara seperti orang yang

memiliki literasi media yang tinggi. Kumpulan struktur pengetahuan tidak

dengan sendirinya menunjukkan tingkat literasi media. Orang tersebut harus

secara aktif dan penuh kesadaran menggunakan informasi dalam struktur

pengetahuannya selama dia terpapar pesan media. Dengan demikian,

orang-orang yang lebih tinggi tingkat literasi medianya menghabiskan lebih sedikit

waktu untuk memproses pesan secara Mereka lebih sadar terhadp paparan

media dan secara sadar membuat keputusan tentang penyaringan psan, dan

membangun pemaknaan. Ini bukan berarti bahwa orang-orang yang memiliki

tingkat literasi media yang tinggi tidak menghabiskan banyak waktu dalam

pengolahan otomatis. Mereka tetap melakukannya. Namun demikian, pada saat

mereka berada dalam kondisi otomatis, mereka sedang diatur oleh media.

Literasi media bukan bersifat kategorikal dimana seseorang memiliki

atau tidak memiliki literasi media. Sebaliknya, literasi media lebih tepat

dipandang sebagai sebuah kontinum seperti informasi yang ditunjukkan dalam

termometer, dimana ada derajat yang tinggi dan derajat yang rendah. Kita

semua menempati dalam beberapa posisi pada literasi media yang bersifat

Tidak ada gunanya mengatakan bahwa seseorang tidak memiliki literasi media

sama sekali, dan tidak ada titik di ujung yang tinggi dimana kita dapat

mengatakan bahwa seseorang memiliki tingkat literasi media yang sempurna.

Selalu ada ruang untuk meningkatkan literasi media. Orang-orang diposisikan

sepanjang kontinum yang didasarkan pada kekuatan perspektif mereka secara

keseluruhan terhadap media. Kekuatan perspektif seseorang, didasarkan pada

jumlah dan kualitas struktur pengetahuan yang mereka miliki. Dan kualitas

struktur pengetahuan didasarkan pada tingkat keterampilan dan pengalaman

mereka. Karena orang-orang bervariasi secara substansial pada keterampilan

(18)

pengetahuan mereka. Oleh karena itu, akan ada variasi yang besar dalam

literasi media di masyarakat.

Orang-orang yang beroperasi pada tingkat literasi media yang rendah

memiliki perspektif yang lemah dan terbatas tentang media. Mereka memiliki

struktur pengetahuan yang lebih kecil, lebih dangkal, dan kurang terorganisir,

yang memberikan perspektif yang tidak memadai untuk digunakan dalam

menafsirkan makna pesan media. Orang-orang ini biasanya enggan atau tidak

mau menggunakan keterampilan mereka yang tetap terbelakang dan karena itu

lebih sulit untuk kemungkinannya untuk berhasil.

2.2.4. Kesadaran Kritis dalam Literasi Media

Menurut Paulo Freire, ada tiga bentuk kesadaran yang dimiliki manusia,

yang pertama kesadaran kritis yaitu kesadaran yang paling tinggi dalam

arkeologi kesadaran manusia menurut Paulo Freire adalah kesdaran kritis.

Manusia dalam kesadaran ini mampu berpikir dan bertindak sebagai subjek

serta mampu memahami realitas keberadaannya secara menyuluruh, mampu

memahami pemahaman yang kurang baik dalam teks dan realitas. Dan yang

perlu diingat pada perkataan Freire adalah kesadaran kritis tidak bisa diimpose

atau didepositokan, tapi harus dilahirkan lewat usaha yang kreatif dari dalam

diri sendiri. Masyarakat dengan tingkat kesadaran kritis masih sedikit ditemui

saat ini mungkin karena masyarakat sudah terbiasa dininabobokan. Sehingga susah untuk berpikir kritis. Akibatnya susah untuk mencapai keadilan. Karena

jumlah mereka yang berpikir kritis ini msih sedikit kalah dengan suara mereka

yang memiliki kekuasaan.

(19)

Kemunculan literasi media menjadi pendorong khalayak untuk harus

bersikap kritis terhadap media beserta kontennya, terlebih lagi dengan

kehadiran berbagai media sosial yang menuntut khalayak untuk lebih aktif lagi

dalam bermedia, tetapi juga lebih menuntut untuk tetap menjaga diri mereka

dengan memiliki kesadaran kritisnya masing-masing sehingga media tetap

marak namun tidak kebablasan dalam menyampaikan informasi.

Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis akan dapat berpikir

kritis, tidak membeo saja, tetapi dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan kritis. Kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir kritis untuk dapat

menjawab tantangan masa depan pada era globalisasi yang serba tidak pasti

dan berubah sangat cepat.

“Berpikir kritis seperti dikatakan Steven D. Schafersman dalam mencakup seluruh proses mendapatkan, membandingkan, menganalisis mengevaluasi, internalisasi dan bertindak melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Berpikir kritis bukan sekedar berpikir logis sebab berpikir kritis harus memiliki keyakinan dalam nilai-nilai, dasar pemikiran dan percaya sebelum didapatkan alasan yang logis dari padanya (Murwani 2006:62).”

Berpikir kritis berarti berpikir tepat dalam pencarian relevansi dan andal

tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang dunia. Berpikir kritis adalah

berpikir yang beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan terampil berpikir

yang fokus dalam pengambilan keputusan yang dapat dipercaya. Seseorang

yang berpikir kritis dapat mengajukan pertanyaan dengan tepat, memperoleh

informasi yang relevan, efektif dan kreatif dalam memilah-milah informasi,

alasan logis dari informasi, sampai pada kesimpulan yang dapat dipercaya dan

meyakinkan tentang dunia yang memungkinkan untuk hidup dan beraktifitas

dengan sukses di dalamnya. Adalah tidak mungkin untuk mendapatkan

aktualisasi diri tanpa melatih berpikir kritis. Kebiasaan berpikir kritis itu tidak

akan terjadi tanpa didahului oleh kesadaran kritis.

(20)

terhadap program-program sebagai cara mempelajari kebudayaan. Terakhir yaitu mengetahui pola hubungan antara pemilik media dan pemerintah (Baran, 2003: 51).

Kesadaran kritis dalam konteks literasi media menjadi sebuah hal yang

fundamental jika melihat dari dua gagasan yang dikemukakan oleh silverblatt,

yang menjadi tujuan dan dampak dari literasi media bagi khalayak, sehingga

tersebut. Tameng untuk menghadapi media telah terbentuk sedemikian rupa

ketika kesadaran dan kekritisan sudah dimiliki oleh seseorang, ia tidak hanya

dapat melindungi diri sendiri tetapi juga dapat menjadi seorang pelindung bagi

khalayak.

Dampak literasi media pada individu yang dipaparkan oleh Silverblatt, yaitu kesadaran kritis, diskusi, pilihan kritis, dan aksi sosial. Penjelasan Silverblatt tersebut pada dasarnya sama dengan konsep kompetensi media yang dikemukakan oleh Gapski dan Gehrke yang menekan pada daya kritis, refleksi, dan indepedensi. Kesadaran kritis, pilihan kritis, pada dasarnya merupakan hal yang bersangkutan satu dengan yang lain, yaitu kemampuan untuk melihat, menganalisa, menilai, dan menginterpretasikan pesan yang ada kemudian segala informasi yang diterima disaring dan dipilih berdasarkan tingkat kebutuhan dan seberapa tinggi nili faktualitas dan aktualitas, serta bagaimana informasi tersebut dapat berdampak bagi kehidupan (Iriantara, 2009: 35).

Kegiatan literasi selain meningkatkan keterampilan sebagaimana

dijelaskan sebelumnya juga bisa digunakan untukk menumbuhkan kesadaran

kegiatan ini dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap proses, konteks,

struktur, dan nilai produksi. Selain itu, peningkatan kesadaran bisa dilakukan

melalui denaturalisasi media dengan cara menciptakan pemahaman baru bahwa

pesan-pesan media adalah konstruksi dan tidak terjadi secara alamiah. Media

merepresentasikan realita, bukan merefleksikan realita.

Darmawan menjelaskan bahwa literasi media merupakan gerakan

membangun kesadaran dan kemampuan publik untuk mengendalikan

penggunaan media dalam memenuhi kebutuhannya. Kesadaran dan

kemampuan yang dimaksud bukan hanya kemampuan memilih media, namun

juga dengan isi dari media tersebut (Sasangka dan Darmanto, 2010: 21), dan

dengan memiliki media literasi yang kritis, masyarakat memiliki kemampuan

(21)

berhadapan dengan media biasa sampai kepada mereka harus menghadapi

persaingan media yang semakin ketat sehingga dimulai dari industri media

raksasa hingga ke media-media baru yang memiliki kekuatan yang

diperhitungkan dengan tampilan dan gaya barunya dalam menyajikan

informasi. Khalayak harus mengetahui bagaimana memposisikan diri agar

melek dengan semua pesan-pesan media yang ada dengan daya persaingan

mereka yang semakin sengit. Cara berpikir juga menjadi salah satu faktor

apakah khalayak sudah cukup kritis atau tidak. Hal tersebut dapat dilihat dari

bagaimana prilaku seseorang setelah mengetahui sebuah informasi yang

didapatnya dari media apakah ia akan langsung membenarkan apa yang

diterimanya atau kembali mencari referensi dari sumber yang berbeda.

Menurut Potter, terdapat keterampilan (skill) yang dibutuhkan untuk meraih kesadaran kritis bermedia melalui literasi media. Ketujuh keterampilan

atau kecakapan tersebut adalah analisis, evaluasi, pengelompokkan, induksi,

deduksi, sintesis, dan abstracting( Tim Peneliti PKMBP, 2013-17).

Kemampuan analisis menuntut kita untuk mengurai pesan yang kita

terima ke dalam elemen-elemen yang berarti. Evaluasi adalah membuat

penilaian atas makna elemen-elemen tersebut. Pengelompokan (grouping) adalah menentukan elemen-elemen yang memiliki kemiripan elemen-elemen

yang berbeda untuk dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang berbeda.

Induksi adalah mengambil kesimpulan atas pengelompokkan di atas

kemudianmelakukan generalisasi atas pola-pola elemen tersebut ke dalam

pesan yang lebih besar. Deduksi menggunakan prinsip-prinsip umum untuk

menjelaskan sesuatu yang spesifik. Sintesis adalah mengumpulkan

elemen-elemen tersebut menjadi satu struktur baru. Abstracting adalah menciptakan

deskripsi yang singkat, jelas, dan akurat untuuk menggambarkan esensi pesan

secara lebih singkat dari pesan aslinya

National Association for media Literacy Education (NAMLE) menyebutkan bahwa literasi media merupakan kemampuan untuk mengakses,

menganalisis, mengevaluasi, dan mengomunikasikan informasi dalam

(22)

untuk menjadi pemikir kritis dan menjadi produsen yang kreatif untuk

memperluas pesan. Sementara itu, Art Silverblatt menekankan pengertian

literasi media pada beberapa elemen, diantaranya:

1. Kesadaran akan pengaruh media terhadap individu dan sosial

2. Pemahaman akan proses komunikasi mssa

3. Pengembangan strategi untuk menganalisisdan mendiskusikan pesan media

4. Kesadaran bahwa isi media adalah teks yang menggambarkan kebudayaan

dan diri kita sendiri pada saat ini

5. Mengembangkan kesenangan, pemahaman, dan penghargaan terhadap isi

media.

Kelima elemen Silverblatt ini kemudian dilengkapi oleh Baran dengan

pemahaman akan etika dan kewajiban moral dari praktisi media, serta

pengembangan kemampuan produksi yang tepat dan efektif (Tim Peneliti

PKMBP, 2013: 18-19).

Berbagai defenisi diatas sebenarnya merujuk pada hal yang sama, yaitu

literasi media berusaha memberikan kesadaran kritis bagi khalayak ketika

berhadapan dengan media. Kesadaran kritis menjadi kata kunci bagi gerakan

literasi media. Literasi medi sendiri bertujuan untuk, terutama memberikan

kesadaran kritis terhadap khalayak sehingga lebih berdaya di hadapan media.

Silverblatt menyebutkan empat tujuan literasi media yaitu kesadaran kritis,

diskusi, dan aksi sosial.

Kesadaran kritis pada masyarakat membutuhkan dukungan untuk

mengembangkan pemahaman mengenai kesadaran dalam melek media dan lebih membimbing dalam memnggunakannya, yang disebut sebagai kelompok

strategis. Kelompok ini disebut strategis karena ada kemungkinan

menyebarluaskan kembali pengetahuan dan ketrampilan melek media yang

dimilikinya kepada warga masyarakat yang lain. Kelompok-kelompok strategis

ini dapat menjadi agen penyebarluasan kemampuan melek media di

lingkungannya. Salah satu yang termasuk ke dalam kelompok strategis tersebut

(23)

siswa dan ada kalanya menjadi sosok panutan untuk siswa-siswinya. Para guru

dapat menyelipkan informasi-informasi dan seputar mengenai melek media ini

ditengah pelajaran yang disampaikan. Secara sosial, guru mempunyai posisi

sosial yang istimewa di tengah lingkungannya, sehingga kerap menjadi panutan

bagi warga sekeliling lingkungannya. Sisi strategis lainnya yang membuat

sosok guru istimewa adalah perannya dalam mempersiapkan generasi muda,

yang artinya guru merupakan pembentuk generasi melek media di tengah

semakin pesatnya media berkembang nanti (Iriantara, 2009: 65).

Kelompok strategis lainnya adalah ibu rumah tangga yang bekerja pada

sektor formal maupun informal dan ada beberapa alasan yang menjadi latar

belakang mengapa ibu rumah tangga merupakan kelompok strategis, yaitu:

1. Ibu rumah tangga yang tidak bekerja maupun bekerja menjalankan peran

penting dalam mendidik putra putrinya, dalam posisi seperti itu, maka ibu

rumah tangga mampu menyebarluaskan permasalahannya atas literasi media

pada anggota keluarga dan sesama warga masyarakat.

2. Ibu rumah tangga yang tidak bekerja pada umumnya memiliki waktu luang

yang lebih banyak, sehingga sering mengisi waktunya dengan menonton

televisi, mendengarkan siaran radio atau membaca koran/ majalah, oleh

sebab itu ibu rumah tangga masuk ke dalam salah satu kelompok khalayak

sasaran penting bagi media massa baik media cetak maupun media

elektronik. Khalayak yang menjadi sasaran media yang penting berarti

menjadi sasaran iklan-iklan komersial yang mendorong sikap konsumtif,

sehingga diperlukan kemampuan untuk secara kritis mengonsumsi

pesan-pesan media.

3. Ibu rumah tangga merupakan pelaksana pendidikan keluarga yang

dilakukan oleh berbagai organisasi seperti ibu PKK (Pendidikan

Kesejahteraan Keluarga), dan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), maka

pendidikan literasi media dapat dikatakan sebagai bagian dari pendidikan

keluarga yang bertujuan untuk menyebarluaskan dan memperkaya

pengalaman anggota-anggota keluarga untuk berpartipasi dengan terampil

(24)

4. Media massa sendiri sering menempatkan ibu rumah tangga sebagai

khalayak sasaran utama, sehingga pengelola media menyediakan program

khusus yang ditujukan untuk ibu rumah tangga.

Peran ibu rumah tangga juga sebagai sasaran utama terkait posisi

strategis mereka dalam menyebarkan kesadaran media kepada keluarga,

terutama anak-anak, yang dalam hal ini ketika seseorang mendidik seorang ibu

rumah tangga, maka sama dengan mendidik dua generasi sekaligus, sehingga

peran ibu dalam sebuah keluarga sangat penting untuk mengayomi dan

membimbing keluarga dan anak-anaknya dalam menggunakan media (Tim

Peneliti PKMBP, 2013: 77).

Kesadaran kritis dalam literasi media disebut sebagai suatu hubungan

yang mutlak dan saling terikat satu dengan yang lainnya karena apabila

memiliki kesadaran kritis sudah dipastikan orang tersebut melek media, begitu

pula sebaliknya jika benar-benar memahami dan mengaplikasikan literasi

media dalam kehidupan, maka akan terbentuk kesadaran kritis di dalam diri

sehingga dapat menyaring berbagai informasi yang diterima untuk

masing-masing individu.

Kesadaran kritis memberikan manfaaat bagi khalayak untuk mendapat

informasi secara benar terkait coverage media dengan membandingkan antara

media yang satu dengan yang lain secara lebih kritis, lebih sadar akan pengaruh

media dalam kehidupan sehari-hari, menginterpretasikan pesan media,

membangun sensitivitas terhadap program-program sebagai cara mempelajari

kebudayaan, mengetahui pola hubungan antara pemilik media dan pemerintah

yang memengaruhi isi media, serta mempertimbangkan media dalam

keputusan-keputusan individu. Kesadran kritis khalayak atas realitas media ini

yang menjadi tujuan utama literasi media. Ini karena media bukanlah entitas

yang netral. Ia selalu membawa nilai, baik ekonomi, politik, maupun budaya.

Keseluruhannya memberikan dampak bagi individu bagaimana ia menjalani

(25)

2.2.5. Media Massa dan Literasi Media Massa

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengartikan bahwa media

sebagai: (1) alat, dan (2) alat atau sarana komunikasi seperti majalah, radio,

televisi, film, poster, dan spanduk. (Tamburaka, 2013: 39)

Media massa tidak hanya sekadar memberikan informasi dan hiburan

semata, tetapi juga mengajak khalayak untuk melakukan perubahan perilaku.

Hubungan antara media massa dan khalayak dibangun oleh pesaan media,

sedangkan pesan media itu sendiri sesuatu yang khas. Langkah awal dalam

memahami bagaimana hubungan antara media massa, pesan media dan

khalayak.

Mulyana mengidentifikasi adanya khalayak aktif tidak sekedar sebagai

pemerhati atau pengamat tapi aktif melakukan sesuatu jika media massa telah

melakukan penyimpangan. Penyimpangan ini bisa mengenai informasinya

yang salah, kurang tepat, tidak seimbang dan sebagainya. Jika itu yang terjadi

maka khalayak dapat melakukan protes (Guntarto, 2009: 161).

Pemilihan media pada tingkat yang menyeluruh dan umum dapat

dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut, yaitu:

1. Hambatan pengembangan dan pembelajaran yang meliputi faktor-faktor

dana, fasilitas dan peralatan yang telah tersedia, waktu yang tersedia (waktu

mengajar dan pengembangan materi dan media), sumber-sumber yang

tersedia (manusia dan material).

2. Persyaratan isi, tugas, dan jenis pembelajaran. Isi pelajaran beragam dari

sisi tugas yang ingin dilakukan siswa, misalnya penghafalan, penerapan

ketrampilan pengertian hubungan-hubungan, atau penalaran dan pemikiran

tingkatan yang lebih tinggi.

3. Hambatan mempertimbangkan kemampuan dan keterampilan awal.

4. Pertimbangan lainnya adalah tingkat kesenangan (preferensi lembaga, guru,

dan pelajar) dan keefektifan biaya.

5. Pemilihan media sebaiknya memprtimbangkan kemampuan

(26)

6. Media sekunder harus mendapat perhatian karena pembelajaran yang

berhasil menggunakan media yang beragam (Arsyad, 2013: 69-71).

Perkembangan televisi membawa masyarakat Indonesia hidup dalam apa yang biasa diistilahkan sebagai “dunia sesak media” (media saturated world). Media massanya sendiri berubah dari media yang pada saat orde baru sering dipandang sebagai “instrumen pembangunan” menjadi “media komersial”. Dari tiga kategori media yakni media publik, media komunitas dan media komersial, yang paling pesat perkembangannya untuk media cetak dan elektronik adalah media komersial (Iriantara, 2011: 72-73).

Perkembangan media komersial seperti yang diuraikan tadi, menurut

Subiakto, membuat khalayak media diposisikan menjadi konsumer

(consumers)dan bukan sebagai warga negara (citizens). Karena tujuan utama

media komersial adalah menghasilkan keuntungan bagi pemilik dan pemegang

sahamnya, dan bukan mendorong mengembangkan warga negara yang aktif.

Konsekuensi dari perkembangan tersebut, media komersial mendorong

khalayaknya “menikmati dirinya sendiri dan membeli produk, sehingga media

massa menyajikan apa yang laku atau populer di masyarakat tanpa

memperdulikan apakah hal tersebut melecehkan logika, mengacak-acak

budaya, menumpulkan hati nurani, atau mengabaikan kepentingan publik”.

Gejala yang ada menunjukkan bahwa dampak media lebih dekat dengan dengan mereka yang percaya bahwa dampak media membahayakan khalayak terutama remaja. Pola konsumsi dan interaksi pada anak dengan media menunjukkan intensitas yang cukup tinggi dan kurang terkontrol, serta melihat bahwa isi media yang dikonsumsi remaja tidak cukup aman bagi perkembangan psokologisnya. Banyaknya materi dewasa, gaya hidup yang ditawarkan oleh media dengan cara yang sangat persuasif, iklan yang menggoda, dan berbagai materi yang lain yang dipandang belum semestinya dikonsumsi oleh remaja masuk dengan derasnya ke dalam dan pikiran anak. Waktu yang digunakan untuk mengakses dan mengkonsumsi media sekitar 7 jam sehari, adalah sebuah pemborosan waktu yang sangat besar dan sia-sia (Guntarto, 2009: 159).

Kegiatan yang dilakukan untuk merespon gejala ini adalah berupaya

untuk menekan pengaruh negatif sekecil mungkin dengan memberi penguatan

dan tips kepada orangtua, guru, dan bahkan remaja. Cara pandang seseorang

terhadap pesan media massa menentukan cara dalam menyikapi setiap pesan

yang datang kepadanya dan bagaimana dia bersikap. Pada kondisi ini sering

(27)

gambaran realita yang ditampilkan berita, iklan dan film kemudian membentuk

persepsi terhadap sebagian orang tentang cara dia memandang dunia nyata.

Kondisi ini sesuai apa yang dikemukakan Baran bahwa kebanyakan apa yang

terjadi di otak kita tidak pernah kita sadari. Walaupun aktivitas ini sering kali

mempengaruhi pikiran sadar kita, hal tersebut tidak secara langsung

mempengaruhi proses kognitif lainnya. Kesadaran kita bertindak sebagai

pengawas tertinggi dari aktivitas kognitif ini, tetapi hanya mampu mengontrol

secara terbatas dan secara tidak langsung.

Gebner dalam membandingkan dengan media massa lainnya, televisi

telah mendapat tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan

sehari-harisehingga mendominasi lingkungan simbolik kita dengan cara

menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana

mengetahui dunia lainnya(Nur 2011, 45).

Televisi mampu menjangkau daerah-daerah yang jauh secara geografis,

ia juga hadir di ruang-ruang publik hingga ruang yang sangat pribadi. Televisi

merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidudp yang bisa bersifat

politis, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga

unsur tersebut.

Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media B The Extensions of Man, 1999 mengemukakan ide bahwa A medium is massage. McLuhan menganggap media sebagai perluasan manusia dan bahwa media yang berbeda-beda mewakili pesan yang berbeda-beda. Media juga menciptakan dan mempengaruhi cakupan serta bentuk hubungan-hubungan dan kegiatan-kegiatan manusia. Pengaruh media telah berkembang dari individu kepada masyarakat. Dengan media, setiap bagian dunia dapat dihubungkan menjadi desa global.Pengaruh media yang demikian besar kepada masyarakat menghantarkan pemikiran McLuhan untuk menyampaikan TeoriDeterminime Teknologi yang mulanya menuai banyak kritik dan menebar berbagai tuduhan. Ada yang menuduh bahwa McLuhan

Masyarakat dapat menyaksikan bahwa teknologi komunikasi terutama

(28)

manusia (masyarakat). Kita semua pasti menyaksikan realitas baru setiap saat

di masyarakat, dimana realitas itu tidak sekedar sebuah ruang yang

merefleksikan kehidupan masyarakat nyata dan peta analog atau

simulasi-simulasi dari suatu masyarakat tertentu yang hidup dalam media dan alam

pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang di mana manusia bisa hidup di

dalamnya. Media massa merupakan salah satu kekuatan yang sangat

mempengaruhi umat manusia di abad-21. Media ada di sekeliling kita, media

mendominasi kehidupan kita dan bahkan mempengaruhi emosi serta

pertimbangan kita.

Keberadaan media di mana-mana dan juga periklanan telah mengubah

pengalaman sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Media merupakan

unsur penting dalam pergaulan sosial masa kini. Kebudayaan masyarakat tidak

terlepas dari media, dan budaya itu sendiri direpresentasikan dalam media.

Selain bahwa media massa dapat memberikan salah satu atau sekaligus

kebutuhan kepada khalayak, hal lain dari fokus pengetahuan literasi media

adalah terhadap pesan itu sendiri atau konten media. Konten media telah

melalui proses konstruksi, perubahan, dan pembingkaian makna sebelum

diberikan kepada khalayak, sehingga pesan media merupakan produksi media

massa.

Keberadaan media massa dewasa ini dinilai telah dijejali oleh informasi

atau berita-berita yang menakutkan, seperti kekerasan, pencurian, pelecehan

seksual, dan sebagainya. Media massa telah menjadi penyebar pesan

pesimisme, mengakibatkan media massa justru sangat menakutkan bagi

masyarakat. Negara-negara berkembang, banyak sekali dijumpai kenyataan

bahwa harapan-harapan yang diciptakan oleh pesan komunikasi dalam media

massa menimbulkan frustrasi, karena tidak terpenuhi harapan yang dipaparkan

media.

Upaya menyikapi pengaruh media massa saat ini berkembang

pemikiran tentang media literasi. Kajian ini merupakan gerakan penting di

kalangan kumpulan-kumpulan advokasi di negara maju untuk mengendalikan

(29)

dan masyarakat serta membantu kita merancang tindakan dalam menangani

pengaruh tersebut. Dalam kata lain, kajian ini membantu individu menjadi

melek media.

Tujuan dasar literasi media ialah mengajar khalayak dan pengguna

media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa,

mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan

media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang

diimplikasikan oleh pesan atau citra itu. Seseorang pengguna media yang

mempunyai literasi media atau melek media akan berupaya memberi reaksi dan

menilai sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Kajian literasi media menyediakan pengetahuan, informasi, dan statistik

tentang media dan budaya, serta memberi pengguna media dengan satu set

peralatan untuk berfikir dengan kritis terhadap idea, produk atau citra yang

disampaikan dan dijual oleh isi media massa.

Dengan begitu, sesungguhnya literasi media membuka wawasan baru

pengguna media bahwa semua tentang pesan media dibentuk. Sehingga dengan

begitu khalayak dapat mengetahui cara konten media mempengaruhi

pikirannya dan cara bereaksi secara tepat terhadap konten media.

2.2.6. Sinetron

Sinetron atau sinema elektronik menjadi primadona hiburan masyarakat

sejak kondisi perfilman nasional mengalami ketepurukan pada dekade 1990-an.

Seiring booming industri pertelevisian dan menjamurnya era selebriti instan bentukan televisi, sinetron merajai program layar kaca. Pengertian sinetron

sendiri, jika ditilik dari konsep yang sederhana bisa didefinisikan sebagai

sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Di Indonesia,

istilah ini pertama kali dicetuskan oleh pengarang dan penulis skenario

Arswendo Atmowiloto. Penyebutan sinetron sesungguhnya khas istilah

Indonesia karena dalam bahasa Inggris, sinetron disebut opera sabun (soap

opera), sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela

(30)

Format sinetron semakin beragam dalam masa perkembangannya, dari

sinetron serial, sinetron seri, sinetron lepas, sinetron miniseri, hingga film

televisi (misalnya FTV yang populer di SCTV atau I-Sinema yang

dipopulerkan ANTV). Genre sinetron berkembang dari drama, keluarga,

komedi, laga, misteri, kolosal, dan sebagainya.

Segmen psikografis penonton sinetron tersebar dari anak-anak, dewasa

sampai orang tua. Dari segmen geografis menyebar dari wilayah pedesaan

sampai perkotaan. Menurut survei terakhir yang pernah dilakukan oleh

beberapa lembaga survei dan litbang internal televisi swasta, remaja adalah

konsumen yang paling banyak menonton sinetron, di samping kalangan ibu

rumah tangga. Fenomena ini tidak mengherankan mengingat dua kategori

penonton tersebut paling banyak menghabiskan waktu luang di depan televisi

(Wirodono, 2005).

Motif remaja menonton sinetron umumnya dilandasi rasa ingin tahu,

mengisi waktu luang, menghilangkan kebosanan, belajar sesuatu (gaya hidup,

berpakaian, berbahasa, sampai gaya pacaran), dan yang paling pokok,

dorongan menonton sinetron bagi mereka adalah mengikuti tren. Jika sudah

menyangkut urusan gaul, tren, dan lifestyle, tentu remaja dengan segala pernak-pernik perilakunya menjadi objek dan sasaran empuk industri, termasuk

produsen berbagai produk yang menjajakan barang jualannya lewat iklan.

Berbagai motif, baik dari penonton maupun pengiklan ini bagi pemilik media

tentu menjadi lahan bisnis yang menguntungkan.

Kualitas sinetron pada televisi diukur dari angka rating dan share yang

pada akhirnya memengaruhi perolehan iklan sehingga televisi hanya berkiblat

pada rating dan share yang menentukan layak tidaknya suatu program acara

yang akan ditayangkan, termasuk dalam hal ini sinetron. Rating menjadi

kekuatan hegemonik yang menetukan definisi selera audiens, mutu sinetron,

serta menetukan keputusan dan strategi televisi. Baik-buruk atau nilai-nilai

kepatutan menjadi nomor sekian dari hal-hal yang harus diperhatikan di luar

(31)

televisi, itupun setelah ada keberatan dari masyarakat. Pihak televisi seolah

selalu punya argumen bahwa apa yang mereka tawarkan adalah semata-mata

hiburan. Konsep hiburan (entertainment) bagi industri televisi sebagai bahan jualan utama memang tidak bisa dibantah karena secara mendasar, media

hiburan memiliki formula yang ampuh untuk menarik dan mempertahankan

perhatian audiens.

Praktik-praktik industri sinetron Indonesia, jika ditilik di luar konteks

makro, yakni dari aspek internal produksi dan kebijakan pengelola televisi

sendiri, menunjukkan beberapa penyakit yang kontraproduktif bagi sebuah

karya seni. Ironisnya, praktk-praktik ini justru mewabah. Jika diurutkan secara

sederhana, penyakit itu antara lain tampak dari hal-hal seperti, epigon

(mengekor), jiplakan, episode yang dipanjang-panjangkan, sekuel yang

dipaksakan berlanjut, skenario monoton, adopsi mentah dari luar, menjual

wajah tampan/cantik, berkedok religius, meski sebenarnya mengarah pada

kesyirikan, memaksakan lagu hits menjadi tema/daya tarik sinetron sinetron,

banyaknya hal-hal klise ditampilkan, jam tayang yang cenderung seragam, dan

menampilkan unsur SARA.

Hal-hal tersebut hanya beberapa persoalan yang mengemuka, di luar

pemaparan di atas masih banyak kenaifan lain dalam industri sinetron

Indonesia yang bisa ditambahkan, sebutlah misalnya Jakartasentris, bias

gender, stereotipe yang berlebihan, iklan yang mendominasi durasi tayang,

mengumbar makian dan umpatan, eksploitasi tubuh perempuan, kekerasan,

sadistis, mistik, dan sebagainya.

2.3. Kerangka Pemikiran

Kerangka berpikir ialah penjelasan sementara terhadap gejala yang

menjadi objek permasalahan kita. Kerangka berpikir disusun berdasarkan tinjauan

pustak dan hasil peneloitian yang relevan. Dalam pengertian ini, kerangka

(32)

Kesadaran kritis:

1. Menonton

2. Memahami

3. Mengevaluasi

4. Memilih

Sinetron Literasi

Referensi

Dokumen terkait

Market Needs 2016 Market Needs adalah analisis terhadap keinginan pasar saat ini, di antaranya adal ah: Mencari nilai produk yang kuat Mencari Excellent Services dalam

Although, previous studies have approached the study of the CEO compensation and company performance through the measurement of one or a limited number of variables, but

Impementasi Program keluarga Harapan (PKH) Bidang Kesehatan di Desa Kalianyar Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk. Jurnal Ilmu Adinistrasi Negara FISH Unesa. Investasi

Hasil pengolahat data arus dengan menggunakan current rose untuk arus kedalaman dasar (12 m) dimana pergerakan arus dominan ke arah timur dan barat dimana kecepatan tertinggi

Analisis QOS(Quality Of Service) Kampus UKSW Studi kasus gedung G dan F Yang dibimbing oleh :6. Felix

Pola sebaran sedimen di Teluk Lampung mengarah dari utara ke selatan atau dari dalam teluk menuju ke luar teluk dengan sebaran terluas adalah pada saat surut bulan purnama

Belajar Sendiri Exchange Server 2007, Jakarta : PT Elex Media Komputindo.. [6] TIPHON.“Telecommunications and Internet Protocol Harmonization Over

Tujuan: Untuk menentukan korelasi antara kalsium, fosfor dan produk kalsium fosfor dengan skor pruritus pada pasien hemodialisis di RSUP Haji Adam Malik