• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMINDAHAN LATIHAN PROGRAM PENGLIB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODEL PEMINDAHAN LATIHAN PROGRAM PENGLIB"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PEMINDAHAN LATIHAN PROGRAM PENGLIBATAN KOMUNITI AKUAKULTUR MELALUI PEMANFAATAN KULIT KEPITING SEBAGAI KITOSAN

Dara Aisyah¹, Ibrahim Mamat¹, M. Sontang², Ambar Teguh Sulistiyani3 1Pusat Pembangunan Sosioekonomi,Universiti Malaysia Terengganu (UMT), 2Fak.Pengajian Kontemporari Islam-Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA),

Kuala Terengganu-Terenggau Darul Iman-Malaysia

3Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik -Universitas Gadjah Mada (UGM) d.aisyah@umt.edu.my

Abstrak

Model latihan untuk program pemanfaatan kulit kepiting menjadi edible coating chitosan bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan kepiting, akan tetapi juga dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus. Kajian tinjauan ini untuk memberikan pemindahan pengetahuan melalui latihan untuk memanfaatkan sisa kulit kepiting menjadi kitosan sebagai Edible Coating telah dilakukan melalui proses pengeringan, penghancuran, demineralisasi, deproteinasi, deasetilasi, netralisasi dan pengeringan. Dari hasil kajian ini nantinya dapat menunjukkan kitosan dari kulit kepiting menjadi edible coating untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan menambah daya awet produk perikanan. Penyalahgunaan formalin yang meresahkan komuniti, menjadikan para penyelidik menemukan beberapa bahan pengawet alternatif, salah satunya kitosan.Sayangnya kitosan belum dikenal oleh komuniti, sehingga diperlukan penyampaian informasi untuk mengenalkannya. Penyampaian informasi dilakukan untuk mengenalkan kelebihan kitosan sebagai pengawet yang mudah dibuat dan baik untuk kesehatan. Selain itu, komuniti pesisir diharapkan mahir memanfaatkan kulit kepiting menjadi kitosan.Kaedah atau metode pendekatan yang digunakan iaitu pemerhatian, persiapan, dan pelaksanaan penyampaian informasinya. Pelaksanaan program dilakukan dengan kaedah ceramah, tanya jawab, dan demonstrasi. Hasil penyampaian informasi kepada komuniti pesisir mampu mengolah kulit kepiting sebagai pengawet.Penilaian program dilakukan dengan kegiatan pendampingan dan program seterusnya dilakukan dengan mengadakan kerjasama dengan pihak-pihak terkait.

Kata kunci: Model Latihan, Penglibatan Komuniti, Program, Edible Coating, Formalin, Kitosan, Kulit Kepiting, Penyampaian Informasi, Komuniti Pesisir

Abstract

(2)

several preservation alternatives such as chitosan which is unknown to community. Thus the usage and benefits of chitosan as preservative is relayed to the community in the hope that they skillfully utilize the shell crab into chitosan. The approaches used are through lectures, discussion and demonstration. It is hoped that the implementation training program to coastal communities will help them utilize chitosan as preservative. Outreach program evaluation is further carried out with the cooperation of relevant authorities.

Keyword: Training model, community involvement, edible coating chitosan, formalin, shell crab, coastal community.

PENGENALAN

Penemuan kitosan (chitosan) sebagai pengawet alternatif pengganti formalin belum dikenal oleh komuniti akuakultur sehingga diperlukan suatu upaya untuk mengenalkannya. Melalui program ini komuniti akuakultur akan mengenal pasti adanya kitosan sebagai pengganti formalin. Sehingga selain untuk mengembangkan potensi perikanan dan kelautan, pemanfaatan kitosan sebagai alternatif pengganti formalin pada produk perikanan juga dapat sebagai salah satu penyelesaian masalah kasus penyalahgunaan formalin. Kasus penyalahgunaan formalin oleh komuniti merupakan faktor terpenting dilaksanakannya program penyampaian informasi mengenai pemanfaatan kulit kepiting sebagai bahan pengganti formalin berupa kitosan. Komuniti yang menjadi kumpulan sasaran dari program ini adalah nelayan akuakultur di kawasan Mengabang Bakong Kuala Terengganu-Malaysia. Sebahagian besar komuniti akuakultur kepiting bekerja sebagai peternak dan pedagang kepiting. Potensi besar yang dimiliki komuniti akuakultur sebenarnya boleh dikembangkan secara maksimum sehingga mampu mendukung kesejahteraan ekonomi penduduk. Meningkatnya jumlah sisa buangan (sampah) kulit kepiting masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya penyelesaiannya.

Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pemprosesan kepiting, akan tetapi juga dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika yang kurang bagus. Sebahagian besar sisa buangan kulit kepiting yang dihasilkan oleh usaha pengolahan kepiting berasal dari kepala, kulit dan ekornya.

(3)

glukosamin (C6H13NO5). Ketiga produk ini mempunyai sifat mudah terurai dan tidak mempunyai sifat beracun sehingga sangat ramah terhadap lingkungan (Huang et al., 2005).

Kitin dan kitosan mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Pengeluaran komer sial kitin dan kitosan berlaku dari cangkang sisa kulit kepiting.Struktur kimia kitin mirip dengan selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang terikat pada atom C2. Jika pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH, maka pada kitin yang terikat adalah gugus asetamida. (Muzzarelli, 1985). Kitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang mempunyai sifat kimia yang lebih baik. Salah satu turunan kitin adalah kitosan. Kitosan merupakan senyawa dengan rumus kimia poli(2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa) yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis kitin menggunakan alkali kuat. Saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari kitin dan kitosan serta turunannya di industri makanan, pemprosesan makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan. (Balley, et al, 1977).

Sifat-sifat kitosan bergantung kepada berbagai parameter intrinsik seperti peratusan derajat deasetilasi (DDA/Degree of De-Acetylation) (Domand,1988;Rinaudo & Domard 1988).

Parameter kualitas kitosan berbeda dari harapan pengguna. Pada saat sekarang ini satu set stan dar parameter kualitas untuk kitin dan kitosan berku rang (Hirano, 1988; Cho et al,1998) (Doma nd,1988; Rinau do and Domard, 1988). (Hirano, 1988; Cho et al., 1998) and No et al. (2000).

Hasil kajian mendapati bahwa kitosan mampu menggantikan formalin, bahkan kualitas produksi yang dihasilkan lebih baik bila dibandingkan dengan yang menggunakan formalin. Kitosan merupakan zat anti bakteri, berkesan dalam mencegah pertumbuhan bakteri, hal ini disebabkan karena kitosan memiliki polikation alami yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Masalah utama yang dihadapi dalam menghasilkan kitin dan kitosan di Malaysia adalah kuantitas dan kualititas produksinya masih rendah. Jumlah persediaannya masih belum pasti dan belum boleh diakses oleh semua kalangan. Selain itu banyak komuniti yang belum mengetahui fungsi dari kitin dan kitosan pada produk perikanan. Banyak pihak menilai sumbangan sektor akuakultur Malaysia terhadap pembangunan ekonomi rakyat maupun negara masih sangat kecil. Sepertiga dari sumbangan yang diperoleh dari sektor perikanan adalah dari eksport kepiting. Sumber penerimaan yang diperoleh dari sektor perikanan 34 % berasal dari eksport kepiting sebesar 125.596 ton pada tahun 2010. Banyaknya produksi kepiting ini akan menghasilkan sisa buangan / sampah kepiting yang banyak mengingat hasil buangan kepiting tersebut berupa kepala, kulit, ekor dan kaki adalah sekitar 35 %-50 % dari berat awal. Sampah buangan kepiting yang dihasilkan dari proses bersalin kepiting, akan dikalengkan, setelah dilakukan pengupasan kepiting berkisar antara 30 % - 75 % dari berat kepiting tersebut.

(4)

dan merupakan salah satu zat karsinogenik. Kerana itu, diperlukan bahan/zat pengawet yang aman, efektif dan efisien.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu cara mengenalkan kitosan kepada para komuniti akuakultur, cara bagaimana memotivasikan para komuniti agar menghindari penggunaan formalin yang sangat berbahaya, cara mengolah kulit kepiting secara kimia dan fizik menjadi kitosan, dengan menggunakan kitosan agar dapat digu nakan untuk mengawetkan ikan. Tujuan dilaksanakan program ini adalah untuk mengetahui cara mengenalkan kitosan kepada para komuniti agar dapat memanfaatkan hasil pembuangan sampah kepiting tersebut berupa kulit kepiting agar lebih berguna dengan kaedah pembuatan sederhana dan tanpa alat yang mahal dan canggih menjadi kitosan, mengenal pasti cara memotivasi para komuniti agar menghindari penggunaan formalin dan bersedia menggunakan kulit kepiting sebagai alternatif pengganti formalin berupa kitosan, dan agar kumpulan sasar mengetahui cara mengolah kulit kepiting menjadi kitosan serta komuniti juga dapat menggunakan kitosan untuk mengawetkan ikan.

Program ini diharapkan untuk komuniti pesisir sebagai kumpulan sasar yang memiliki suatu kemahiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi iaitu kemampuan memanfaatkan hasil pembuangan sampah kulit kepiting menjadi kitosan yang bermanfaat sebagai pengawet pada beberapa produk perikanan. Program ini juga berguna mengurangi kebimbangan komuniti karena bahaya penggunaan formalin oleh para pengusaha kecil. Manfaat yang diperoleh setelah dilaksanakannya program ini yaitu komuniti mengetahui manfaat kulit kepiting yang diolah menjadi kitosan sebagai bahan pengawet yang lebih bermanfaat bagi kesihatan tubuh dan mampu membuat kitosan dengan teknik sederhana.Bila usaha ini berkembang bahkan boleh menjadi tambahan sebagai komoditi utama pesisir. Seperti yang terjadi di negara lain misalnya Jepang dan Amerika.

STUDI PUSTAKA

MODEL PEMINDAHAN PENGETAHUAN DAN PEMANFAATAN SISA BUANGAN(SAMPAH) KULIT KEPITING

Sisa akuakultur berupa sisa kulit kepiting adalah termasuk sisa organik pesisir yang menjadi bahan buangan atau sebarang bahan yang tidak diperlukan sama sekali yang bersumber dari sektor perdagangan atau perniagaan perikanan laut. Dari hasil peternakan di kawasan ternak akuakultur ataupun di sektor perindustrian lainnya. yang dilakukan oleh manusia. Dalam artikata lain, sisa kulit kepiting membawa maksud sebarang bahan yang tidak diperlukan atau tidak dikehendaki oleh lingkungan. Di Malaysia, pengurusan sisa organik, seperti sisa kulit kepiting adalah salah satu perhatian yang diperhatikan untuk mencapai keseimbangan lingkungan. Antara kajian tentang pengolahan sisa dan masalah-masalah yang dihadapi serta perancangan untuk pelaksanaan pengurusan yang sistematik yang pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti Barat ialah kajian oleh Reschovsky & Stone (1994) di New York, Anderson (1998) di Denmark, Bauld & Hickman (1998) di Nova Scotia, Isaacs, (1998) di Canada, dan Ishizuka, Hijasima dan Macer (1995) di Taiwan.

(5)

pengkomposan, pengkambusan (landfill), dan insinerator juga telah dilakukan oleh peneliti Barat seperti Brunner & Ernst (1986), Habitat II (1999), Cooper (1995), Cooper (1996) dan Arner (1999).

Pengelolaan sisa tersebut adalah salah satu upaya untuk diperhatikan untuk mencapai keseimbangan lingkungan. Kajian yang berkaitan dengan pengelolaan dan masalah sisa di peringkat local(setempat) banyak dilakukan di kalangan pelajar dan peneliti universitas. Kajian yang berkaitan dengan masalah dan pengelolaan yang dilakukan oleh Azahariah di Alor Setar, Mohd.Zanuddin (1987) di Kota Bharu, Ee (1988) dan Shaniza (1998) di Kajang, Bavanee (2000) di Kajang, dan Sharul Piazal (2000) di Klang. Kajian yang berkaitan dengan faktor ekonomi, sosial dan audit juga pernah dilakukan oleh Mohd.Nasir (1991)(1992), Mohd. Nasir, Rakmi, Mohd.Kamil & Wan Nor Azmin (1995), Mohd.Nasir & Rakmi (1996), Mohd.Nasir, Nurlaily, Rakmi, Saifulah (1995), Mohd.Nasir, Zulina & Rakmi (1998). Jika kita kaitkan antara pengelolaan sisa tersebut maka kajian sisa organik pun telah banyak dikaji. Sisa industri makanan merupakan suatu sumber lingkungan yang telah terkontaminasi. Kajian yang telah dilaksanakan berkaitan dengan pengembangan teknik sisa pembuangan menjadi produk-produk yang bermanfaat dilakukan oleh Perea et al., 1993; Kristinsson & Rasco, 2000; Larsen et al., 2000; Guerard et al., 2001; Coello et al., 2002; Laufenberg et al., 2003.

Berdasarkan berbagai kajian tersebut, maka perlu dilakukan kerlibatan antara universitas dan komuniti khususnya yang berkaitan dengan kajian ini yaitu pelaksanaan program pemindahan pengetahuan mengenai pemanfaatan sisa organik berupa kulit kepiting menjadi produk-produk yang bermanfaat. Program pemindahan pengetahuan berupa latihan didefinisikan sebagai suatu pembelajaran terancang yang direkabentuk untuk menyampaikan latihan bagi meningkatkan efisiensi dan keefektifan.

Setiap individu di masyarakat(komuniti) sehingga mampu merubah pemahaman, pengetahuan dan sikap mereka dengan pemindahan pengetahuan dengan adanya pelatihan merujuk kepada penggunaan pengetahuan, kemahiran dan tingkahlaku yang dipengaruhi oleh suasana, dukungan peserta dan rekan peneliti, serta dukungan teknologi (Scobby 2001; Cascio 2003 & Noe 2002). Rumusan yang boleh dibuat mengenai pemindahan pengetahuan melalui latihan berdasarkan definisi-definisi yang diutarakan oleh para pakar di atas yaitu pengaplikasian pengetahuan, kemahiran dan perlakuan baru yang diperolehi komuniti dari latihan pemanfaatan sisa kulit kepiting menjadi produk yang bermanfaat untuk keperluan komuniti agar mampu menciptakan lingkungan yang kondusif dan abadi / lestari serta mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi komuniti nantinya.

PETERNAKAN KEPITING NIPAH

Kepiting nipah atau nama saintifiknya Scylla Serrata antara spesis raja sepit yang mempunyai permintaan tinggi di pasaran pada masa kini. Harganya yang mencapai RM 28 hingga RM 40 sekilogram membolehkan pengusaha ternakan itu mendapat pendapatan lumayan berbanding ternakan akuakultur lain.

(6)

memang senantiasa tinggi. Ini dijangkakan boleh meningkatkan taraf kehidupan dan penambahan pendapatan penduduk Malaysia, seterusnya meningkatkan daya beli masyarakat di samping peruntukan yang lebih untuk program rekreasi (memancing di kolam).

Peningkatan harga dan permintaan kitosan ini seterusnya merangsang banyak peternak ikan menukar kepada ternakan kepiting nipah. Banyak kolam terbiarkan dan setelah diaktifkan kembali dan banyak sawah yang ditinggalkan mulai digali kembali untuk kolam kepiting nipah tersebut. Terdapat juga program pembangunan pertanian di wilayah yang telah menjadikan kepiting nipah sebagai spesies tumpuan untuk dimajukan, malah ada daerah yang telah memilih spesies ini sebagai produk utama pengeluaran di daerah masing-masing. Sebuah ladang akuakultur yang terbesar di pantai timur Malaysia juga ada yang telah menceburi bidang penternakan kepiting nipah ini untuk pasaran lokal dan ekspor. Kepiting nipah juga telah menjadi sebahagian menu biasa di restoran makanan laut di Malaysia dan beberapa negara Asia.

Kandungan kitosan dan karotenoid yang biasanya banyak terdapat pada kulit kepiting semuanya dapat dimakan. Bukan hanya dagingnya yang mempunyai nilai komersil, kulitnya dapat digantikan dengan ringgit. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber kitin, kitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat-obatan, kosmetik, bahan makanan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memegang peran penting sebagai antivirus dan antibakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai bahan pengawet makanan yang murah, selamat dan sehat. Meskipun perkembangan industri kepiting nipah sangat pesat di Malaysia sekarang ini, ia sebenarnya masih kecil jika di banding dengan jumlah pengeluaran dunia. Malaysia masih tertinggal jauh berbanding Vietnam, Taiwan dan Thailand yang menjadi pengeluar utama kepiting nipah dunia. Sumbangan industri kepiting nipah kepada akuakultur Malaysia juga adalah rendah. Misalnya dalam tahun 1995 industri ini hanya menyumbang sekitar 0.06 % sahaja dari nilai pengeluaran akuakultur.

Malaysia sememangnya berpotensi untuk maju dalam industri ini. Kepakaran dalam teknologi pembenihan dan ternakan juga telah lama terdapat di sini. Malah sebenarnya kajian terawal di dunia ke atas spesies kepiting nipah ini telah bermula di sini sejak akhir tahun 50'an lagi (Ling, S.W., 1969). Malaysia juga mempunyai iklim tropika yang sesuai untuk kepiting nipah. Kita mempunyai banyak sumber air tawar yang belum tercemar (di Pahang, N. Sembilan, Perak, Kelantan, Terengganu, Sabah dan Sarawak) yang sangat ideal bagi ternakan kepiting nipah ini. Aset yang bernilai ini perlu dimajukan untuk kesejahteraan rakyat Malaysia di samping dapat menghasilkan sendiri lebih bahan makanan untuk mengurangkan impor bahan-bahan makanan yang bernilai berjuta ringgit tersebut. Memang menjadi hasrat utama Jabatan Perikanan Malaysia untuk menghasilkan lebih banyak bahan makanan untuk penduduk lokal seperti yang terkandung dalam rancangan Dasar Pertanian Negara III (DPN 3).

(7)

tetapi sekiranya industri tersebut dilakukan dengan teratur dan penuh kepakaran maka masalah kerugian dapat dikurangkan dari sejak awal lagi.

Penceburan diri dalam bidang pemprosesan kepiting nipah ini memang memerlukan permodalan yang sangat besar yang tidak mampu ditanggung oleh peternak tradisional biasa atau pengusaha kecil. Pihak swasta besar bolehla membangunkan pabrik pemprosesan di samping operasi pembenihan dan ternakan manakala pihak peternak kecilan dan sederhana dapat membantu dalam penghasilan benih dan kepiting dewasa secara berterusan untuk diproses oleh pabrik tersebut. Pemerintah melalui institusi kewangan (bank) telah menyediakan skim bantuan keuangan, malahan melalui MIDA (Malaysian Investment Development Authority) juga galakan dan insentif telah di wujudkan bagi maksud menggalakkan perkembangan industri berasaskan ekspor.

METODE PELAKSANAAN PROGRAM

Metode pendekatan untuk melaksanakan program ini adalah dengan melakukan pemerhatian komuniti sebagai kumpulan sasar selama tiga minggu. Kegiatan yang dilakukan selama pemerhatian adalah mencari maklumat/informasi mengenai keadaan dan kegiatan seharian komuniti melalui wawancara langsung dengan mereka dan Kepala Kampung yang sekaligus diminta bekerjasama untuk membantu kelancaran program penerangan kepada komuniti. Persiapan pelaksanaan program meliputi kajian pustaka, pengadaan sampel kitosan, menentukan strategi yang tepat untuk menjelaskan pembuatan kitosan. Persiapan pelaksanaan program dilakukan selama enam minggu. Agar mudah di fahami komuniti maka peneliti menunjukkan sampel kitosan kepada komuniti sasar. Peneliti juga berencana bersedia untuk menayangkan video cara pembuatan kitosan agar komuniti memperoleh gambaran singkat pembuatan kitosan setelah video tersebut ditayangkan pada saat penerangan dilaksanakan.

Kaedah yang dilakukan dalam pelaksanaan penerangan kitosan dan cara pembuatannya, iaitu kaedah ceramah, soal jawab, dan demonstrasi. Selain itu juga memotivasikan komuniti untuk menggunakan kitosan dengan cara memberitahukan kelebihan kitosan sebagai zat pengawet yang baik untuk kesihatan, menekankan cara pembuatan yang tidak memerlukan alat canggih, serta penggunaan kitosan yang mudah. Pelaksanaan penerangan dilakukan selama dua minggu, kagiatan monitoring/pemantauan dan penyeliaan selama satu minggu, penilaian dan laporan akhir selama lima minggu. Kegiatan pemantauan dan penyeliaan merupakan bentuk penilaian pelaksanaan program terpadu. Seterusnya dipersiapkan alat dan bahan yang digunakan pada saat pengadaan sampel, pelaksanaan penerangan, dan tugas penyeliaan.

HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh dari pelaksanaan program ini di antaranya pemerhatian/observasi, persiapan sosialisasi, dan pelaksanaan sosialisasi. Persiapan penerangan meliputi studi pustaka, pembuatan sampel, dan penayangan video serta cara pembuatan kitosan.

(8)

Pemerhatian akan dilakukan tiga kali. Pada pemerhatian pertama yaitu dengan melakukan wawancara secara langsung dengan kepala kampung dan komuniti pesisir di kawasan program. Hasil yang diperoleh dari wawancara tersebut adalah komuniti pesisir yang berada di kawasan program (Mengabang Bakong Kuala Terengganu) sepanjang hari berada di sekitar pantai karena sebagian besar komuniti pesisir bekerja sebagai nelayan dan pedagang ikan. Oleh karena itu, pelaksanaan penerangan dilakukan malam hari setelah masyarakat setempat bekerja seharian di pantai.

Hasil tangkapan tergolong sangat besar dan banyak dari hasil tangkapan bahkan ada yang dikirim ke luar negeri. Dengan demikian, komuniti di kawasan ini berpotensi untuk menjadi komuniti sasaran pada program penerangan. Pertemuan dengan ketua kampung menghasilkan kesepakatan yakni kepala kampung bersedia membantu kelancaran program selama penerangan berlangsung.

Pemerhatian kedua dilakukan untuk memastikan pelaksanaan kerjasama dengan kepala kampung melalui rencana kegiatan yang akan dilaksanakan. Pemerhatian ketiga dilakukan untuk memastikan bentuk kegiatan dan beberapa hal yang diperlukan dalam program acara tersebut. Hasil yang diperoleh dari pemerhatian ketiga adalah tanggapan baik dari ketpala kampung yang diwujudkan dengan kesediaan kepala kampung untuk menyediakan berbagai kemudahan yang diperlukan ketika nanti pelaksanaan penerangan akan berlangsung yaitu seperti kursi, lampu, dan sound system. Adanya komuniti sasaran yang dianggap lebih tepat atau sesuai dengan tujuan program ini adalah yang memiliki potensi yang lebih besar yang sebagian besar komuniti bekerja sebagai nelayan dan pedagang ikan sedangkan mata pencaharian sebagai petani tambak hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan.

Selain dilakukan pemerhatian, dilakukan juga kajian pustaka. Menurut Hardjito (2006), kitosan memiliki gugus aktif yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Kitosan adalah tidak bertoksik, terbiodegradasi dan larut bila dicairkan dalam kandungan berasid. Kitosan menyerap air yang sangat besar jika dibandingkan dengan selulosa dan kitin (Knorr et al.,1982). Aplikasi kitosan di berbagai bidang sangat ditentukan oleh karakterisasi mutu keduanya yang meliputi derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat molekul. Untuk itu maka penelitian ini sangat penting dilakukan sehingga pemanfaatan buangan sampah kulit kepiting juga diharapkan berhasil baik secara positif dan mempunyai keupayaan untuk mengikat muatan negatif seperti lemak, lipid dan asam empedu. Selain itu,kitosan dapat digunakan sebagai pengawet pada produk perikanan. Ada beberapa cara pengolahan kulit kepiting menjadi kitosan yang diperoleh dari artikel internet, beberapa buku, dan maklumat universiti. Dari berbagai sumber tersebut diperoleh cara pembuatan kitosan yang bervariasi dengan prinsip pembuatan yang sama yaitu melalui tahap demineralisasi, deproteinisasi dan deasetilasi. Ketiga tahap dalam pembuatan kitosan ini dilakukan dengan pemanasan dalam suhu dan waktu yang bervariasi.

(9)

terakhir yaitu deasetilasi yang dilakukan dengan cara memanaskan kulit kepiting yang sudah dicuci dengan aquades dalam larutan NaOH 50 % pada suhu 120 oC selama 1-2 jam.

Kitosan yang diperoleh selanjutnya dikeringkan dan disimpan dalam tempat hampa udara. Untuk penggunaan kitosan pada pengawetan ikan adalah merendam ikan dalam larutan kitosan 1,5 % selama 10 minit. Larutan kitosan ini dapat digunakan berkali-kali sampai habis. Inilah yang membedakan antara kitosan dengan formalin.

Pembuatan sampel

Pembuatan sampel merupakan tindak balas dari kajian teori yang bertujuan membuat strategi yang tepat untuk menjelaskan cara pembuatan kitosan sehingga diharapkan komuniti boleh memahaminya dengan mudah. Pembuatan sampel dilakukan pada perjumpaan selanjutnya yaitu di Laboratorium Jurusan Sains Fizik (JSF) - Fakulti Sains dan Teknologi (FST)-Universiti Malaysia Terengganu(UMT). Selain membuat sampel kitosan, juga akan dilakukan perbandingan antara ikan tanpa perlakuan dengan ikan yang diawetkan dengan kitosan yang telah dibuat. Hasil yang diperoleh ikan yang telah direndam terlihat lebih segar dibandingkan dengan ikan tanpa perlakuan. Ikan tanpa perlakuan lebih cepat membusuk dan terlihat beberapa lalat yang menghinggapi dari pada ikan yang telah diawetkan dengan kitosan. Berdasarkan kajian pustaka dan aktivitas atau kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa kitosan dapat menjadi alternatif pengganti formalin dengan daya simpan sekitar 3 hari untuk ikan basah. Sampel yang dibuat akan dibagikan kepada komuniti pada saat penerangan nanti.

Pembuatan video cara pembuatan kitosan

Pada pelaksanaan pemberian maklumat mengenai kitosan akan ditayangkan video tentang cara pembuatan kitosan agar komuniti mempunyai gambaran mengenai pembuatan kitosan sehingga lebih mudah dalam menjelaskan cara pembuatan kitosan. Oleh karena itu, sebelum penerangan dilakukan perlu dibuat video cara pembuatan kitosan yang dilakukan pada perjumpaan di laboratorium tersebut. Dalam proses pembuatan video ini cara-cara membuat kitosan dari kulit kepiting dilakukan secara terperinci dan bertahap. Hasil yang diperoleh adalah sebuah video cara pembuatan kitosan yang disimpan dalam bentuk CD.

Pelaksanaan program penerangan kitosan

Pelaksanaan program penerangan kitosan dilakukan dua kali selama dua minggu dengan dua tahap yakni tahap pertama penerangan kitosan dan cara pembuatan kitosan dari kulit kepiting, tahap yang kedua adalah cara penggunaan kitosan sebagai pengawet ikan. Pelaksanaan pertama dilakukan program penerangan kitosan. Pada penerangan kitosan ini dilaksanakan secara dua tahap, tetapi lebih ditekankan kepada tahap penerangan kitosan dan teknik pembuatan kitosan dari kulit kepiting kepada komuniti pesisir di lokasi program berada.

(10)

pemutaran video cara pembuatan kitosan dari kulit kepiting yang sebelumnya telah dibuat di Laboratorium tersebut. Seluruh kumpulan sasar dan pihak-pihak yang terlibat yang hadir memperhatikan dengan sungguh-sungguh video yang akan dijalankan.

Setelah penglihatan video tersebut agenda selanjutnya ialah penjelasan cara pembuatan kitosan disampaikan oleh peneliti sebagai pemateri program. Dengan adanya penyampaian kepada peserta maka diharapkan mendapat respon positif dari kumpulan sasar dengan pertanyaan yang mereka ajukan. Adapun pelaksanaan program cara pembuatan kitosan dilakukan dengan kaedah demonstrasi dan meminta beberapa orang dari komuniti sebagai perwakilan untuk melihat lebih dekat cara pembuatan kitosan tersebut. Program acara di akhiri dengan pembagian kitosan kepada peserta. Kitosan tersebut dibagikan agar komuniti dapat mencoba menggunakan kitosan pada pengawetan ikan nantinya. Hasil yang diperoleh dari penerangan pertama ini diharapkan nantinya komuniti dapat menyambut baik dan bersemangat pada program ini.

Pelaksanaan kedua dilakukan adalah bagaimana cara penggunaan kitosan tersebut. Pada pelaksanaan ini lebih mengutamakan pada tahap cara penggunaan kitosan pada ikan. Peserta yang mengikuti program pada perjumpaan ini adalah diharapkan agar lebih mengetahui tentang cara penggunaan kitosan dengan berbagai rawatan(perlakuan), khususnya takaran atau perbandingan yang tepat antara kitosan dan air. Sebelum acara selesai, ada tanggapan tentang aktivitas ini dari perwakilan dari Persatuan Nelayan yang merupakan wadah organisasi para nelayan dan pedagang ikan yang berada di kawasan program.

Selepas program acara selesai akan dilakukan tindak balas atau rsespons dari seluruh aktivitas yang dilakukan melalui kerjasama dengan perwakilan Perhimpunan Nelayan yang disaksikan oleh pihak CSD (Community Social economics Development), Jabatan Kepala Kampug dan pihak LKIM (Lembaga Kemajuan Ikan Malaysia) dan Jabatan Perikanan. Pembahasan tersebut nanti akan menghasilkan kesepakatan bahwa akan melakukan uji pengawetan ikan dengan kitosan yang akan diberikan oleh pengelola program ini. Jika penggunaan kitosan pada pengawetan ikan dianggap lebih berkesan dan ekonomis maka mereka akan melakukan respons yang positif yaitu segera bekerjasama dengan Kerajaan Negeri(pemerintah setempat), LKIM dan Jabatan Perikanan tempatan untuk membuat kitosan sendiri dalam jumlah besar. Selain itu, komuniti meminta agar pihak pengelola untuk membantu dalam penyediaan kitosan dan membantu memberitahukan kepada pemerintah setempat bahwa nelayan dan pedagang ikan di kawasan Mengabang Bakong Kuala Terengganu sangat memerlukan penyelesaian dari pemerintah akibat masalah formalin sehingga mereka bisa meminta adanya respons yang positif adanya aktivitas ini.

Program Penyeliaan

(11)

Aktivitas penyeliaan perlu dilakukan karena komuniti sangat memerlukan latihan secara langsung. Pada aktivitas penyeliaan ini pihak Pusat Pembangunan Sosioekonomi (Centre for Socioeconomic Development) UMT berfungsi sebagai fasilitator dengan membantu warga yang mengalami kesusahan dalam melakukan latihan selanjutnya. Selain itu, peneliti akan bekerja sama dengan ECER(East Coast Economic Region) dan Lembaga Kajian Ikan Malaysia(LKIM) serta Jabatan Perikanan untuk memantau aktivitas kumpulan sasar dalam pembuatan dan penggunaan kitosan tersebut. Berdasarkan atur cara yang dibuat tersebut diharapkan warga tertarik dengan program penerangan kitosan karena mereka sangat memerlukan adanya pengganti formalin yang dapat meningkatkan tingkat kehidupan ekonomi mereka. Harapan seterusnya adalah ada pihak yang bersedia membekalkan kitosan yang sudah jadi dalam bentuk larutan sehingga nelayan dan pedagang ikan boleh langsung menggunakannya. Hal ini karena komuniti pesisir untuk saat ini merasa kesusahan untuk membuat kitosan dari kulit kepiting karena bahan yang digunakan berupa bahan kimia tidak semua orang umum bisa mengetahui dan mengerti serta faham.Apalagi disebabkan oleh waktu yang mereka miliki tidak hanya diperlukan untuk membuat kitosan saja namun telah habis digunakan untuk aktivitas pergi ke laut dan berjualan ikan untuk menghidupi kehidupan mereka untuk keperluan sehari-hari.

PEMBAHASAN

Program ini sangat bermanfaat untuk mengurangi keresahan komuniti akibat kasus penyalahgunaan formalin yang dilakukan oleh para pengusaha kecil. Manfaat yang dapat diperolehi dari progam ini adalah supaya kumpulan sasaran mengetahui manfaat kitosan sebagai bahan pengawet yang lebih aman dan bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan memiliki kemahiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu memanfaatkan sampah kulit kepiting menjadi kitosan sebagai bahan pengawet pada beberapa produk perikanan dengan teknik sederhana. Jika usaha ini dihasilkan dan dikembangkan sebagai bahan pengawet ikan dapat menjadi penghasilan sebagai komoditi utama daerah atau tingkat nasional di bidang perikanan, serta mengurangi pengangguran di semenanjung Malaysia.

Pemanfaatan kulit kepiting menjadi kitosan yang merupakan bahan pengawet ikan juga dapat memperbaiki kesejahteraan komuniti pesisir pantai timur semenanjung Malaysia. Pada pengawetan ikan, daya simpan ikan untuk ikan kering adalah tiga bulan sedangkan untuk ikan basah daya simpannya selama tiga hari dengan kadar penyejuk yang relatif sedikit dibandingkan tanpa menggunakan kitosan. Atas dasar itulah kualitas produk hasil perikanan di Malaysia menjadi semakin baik. Selain itu, ikan yang diawetkan dengan kitosan tampak lebih segar dari pada ikan tanpa kitosan. Ikan yang tidak diawetkan dengan kitosan dihinggapi lalat sehingga terbebas dari penularan berbagai macam penyakit yang dibawa lalat.

(12)

1. Menyampaikan maklumat kepada komuniti guna mengetahui adanya kitosan sebagai alternatif pengganti formalin.

2. Pemberian motivasi kepada kumpulan sasar untuk menghindari formalin dan bersedia menggunakan kitosan. Hal ini dilakukan kepada komuniti melalui pelaksanaan penerangan kitosan. Selain itu, sebagai tindak lanjut dari program ini pihak UMT akan menyediakan kitosan dalam bentuk larutan. Sehingga dilakukan aktivitas pendampingan dan kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait. Sampai saat ini masih difikirkan alternatif untuk menyediakan kitosan dalam bentuk larutan.

3. Dari hasil pendampingan, komuniti dapat mengolah kulit kepiting menjadi kitosan dengan proses demineralisasi, deproteinisasi, dan deasetilasi.

4. Komuniti juga dapat menggunakan kitosan pada pengawetan ikan.

Dampak program ini untuk masa mendatang berdasarkan hasil yang kami peroleh dari pemerhatian dan pelaksanaan program ini adalah memberi peluang usaha terhadap komuniti pesisir yang ingin menghasilkan kitosan dalam bentuk larutan dengan jumlah besar. Pada masa mendatang, pengangguran di pantai timur semenanjung Malaysia berkurangan. Jika kitosan berhasil dikembangkan sebagai pengawet ikan akan mengurangi keresahan terhadap penggunaan formalin sebagai pengawet khususnya pada ikan serta memenuhi keinginan para nelayan dan pedagang ikan di berbagai kawasan untuk mengganti formalin dengan pengawet lain yang lebih aman, ekonomis dan sehat.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penglibatan komuniti melalui pemanfaatan kulit kepiting perlu dilaksanakan melalui pengenalan kitosan kepada komuniti akuakultur yang dilakukan dengan menggunakan kaedah ceramah, wawancara dan demonstrasi. Memotivasi para komuniti agar mencegah penggunaan formalin dengan memberikan maklumat mengenai manfaat atau kelebihan kitosan sebagai pengawet pada produk ikan yang juga baik untuk kesehatan. Kitosan dapat dibuat dari kulit kepiting dengan proses pencucian, demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Pada proses demineralisasi, kulit kepiting yang ditumbuk dipanaskan dalam larutan HCl 1 M selama 1 jam pada suhu 90 oC. Setelah tahap demineralisasi, dilakukan tahap deproteinasi yang sebelumya kulit kepiting dicuci dengan aquades hingga menjadi netral. Pada tahap proteinasi, kulit kepiting yang sudah dicuci dipanaskan dalam larutan NaOH 3,5 % pada suhu 90 oC selama 1 jam. Tahap terakhir yaitu deasetilasi yang dilakukan dengan cara memanaskan kulit kepiting yang sudah dicuci dengan aquades dalam larutan NaOH 50 % pada suhu 120 oC selama 1 jam. Sedangkan untuk menggunakan kitosan untuk mengawetkan ikan adalah merendam ikan dalam larutan kitosan 1,5 % selama 10 menit. Larutan kitosan ini dapat digunakan berkali-kali sampai habis.

RUJUKAN

(13)

kusha, Ltd., Tokyo.

2 Cho YI, No HK, Meyers SP.1998.Physico–chemical characteristics and functional proper ties of various commercial chitin and chitosan products. J. Agricul. Food Chem. 46 (9): 3839 -3843.

3 Hardjito, L.2006.Kitosan Lebih Awet dan Aman (online),(http://www.mail-archive. com / majelis muda@yahoogroups.com/msg00980 html.

4 Hirano S.1988. Production and application of chitin and chitosan in Japan. In: G. Skjak B, Anthonsen T, Sandford P (eds.), Chitin and Chitosan, Proceeding of the fourth international conference on chitin and chitosan, Trondham, Norway, August 22 – 24, Elsevier Science Publishers Ltd., London, UK. 37- 43.

5 Huang, C.J., Wang, T.K., Chung, S.C., Chen, C.Y.2005. Identification of an Antifungal Chitinase from a Potential Biocontrol Agent, Bacillus cereus 28-9. Biochemistry Molecu lar Biology. 38 (1). 82-88

6 Knorr, D. 1982. Functional properties of chitin and chitosan. Journal of Food Science. 47 : 593-595.

7 Marganof. 2003.Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan.Surabaya

8 Meyers, S.P., No, H.K. 1995. Utilization of crawfish pigment and other fishery process ing by-products. Ch. 20. In Lim, C.E., Sessa, D.J., Nutrition and Utilization Technology in aquaculture, Ed. 269-277. Aocs Press, Champaign, II. 415-422

9 Muzzarelli, R.A.A., 1985.Chitin in the Polysaccharides. vol. 3, pp. 147, Aspinall (ed) Academic press Inc., Orlando, San Diego

10 No. HK, Cho. YI, Kim HR, Meyers SP. 2000. Effective deacetylation of chitin under conditions of 15 psi/121 degrees C. J Agric Food Chem; 48(6): 2625–7.

11 Peter Michael Oduor-Odote. Marcin H. Struszczyk. Martin G. Peter. 2005.Western Indian Ocean J. Mar. Sci. Vol. 4, No. 1, pp. 99–107.

12 Peter, Marcin, Martin.2005. Characterisation of Chitosan from Blowfly Larvae and Some of chitosan. In:Skjak – Break G, Anthonsen T, Sandford P (1988). (eds.), Chitin and Chito san, Proceeding of the fourth international conference o chitinand chitosan, Trondham, Nor way, August 22-24, Elsevier Science Publishers Ltd., London, UK.pp. 71- 86.

13 Rinaudo M, Domard A. 1988.Solution properties of chitosan. In: Skjak - Break G, Anthon sen T, Sandford P, (eds.), Chitin and Chitosan, Proceeding of the fourth international confe rence of chitin and chitosan, Trondham, Norway, August 22 - 24,. Elsevier Science Publis hers Ltd., London, UK 1988; 71-86

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: a) Untuk mengetahui kemampuan bicara anak usia 4-5 tahun di TK Negeri Pembina 3 Pekanbaru sebelum

Salah satu asas penting yang wajib diperhatikan adalah bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut

Kemudian setelah mekanik sistem pengukur kedalaman selesai dibuat, maka dilakukan proses kalibrasi sensor rotary encoder, untuk mengetahui respon rotary encoder terhadap

Sebagai tindak lanjut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan bahwa Perangkat Daerah disusun sesuai dengan kebutuhan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang Penggantian Biaya Kepada Saksi Atau Ahli Dalam

2. Pendingin diperlukan untuk meredam suhu dan membersihkan kotoran selama proses penggerindaan pada saat putaran roda gerinda yang sangat tinggi memerlukan langkah

Oleh karena itu Satgas RPI2JM daerah merumuskan strategi peningkatan investasi pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya, sebagai berikut : Pada pelaksanaan

Kajian ini menunjukkan bahwa: (1) Dalam hal perencanaan, seluruh guru dan staf KB Islam Al Azhar 29 Semarang mampu merencanakan tugasnya dengan baik, di