• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membedah Anatomi Pembaharuan Hukum Islam"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Mohamad Abdun Nasir

Abstrak: Para penggagas pembaharuan Hukum Islam menilai telah terjadi fosilisasi hukum Islam sehingga ia tidak mampu lagi menjawab kompleksitas problematika sosial. Oleh karena itu, hukum Islam harus didesign ulang guna menyelaraskan dirinya dengan aspirasi-apirasi masyarakat dan tantangan modernitas. Struktur bangunan pembaharuan hukum Islam tidak jauh berbeda dengan bentuk reformasi hukum Islam yang terjadi secara global. Persisnya, kesamaan itu dapat dilihat dari arsitektur pembentukannya, bahkan dalam banyak hal persis pula dalam bahan material pembuatannya, terutama yang menyangkut hukum keluarga Islam. Kalau pembaharuan hukum Islam di Indonesia diperhatikan secara lebih seksama, maka strukturnya meliputi penggagas, metode, materi serta tujuan pembaharuan itu sendiri. Selain berorientasi internal, reformasi hukum tersebut secara eksternal ditujukan pula bagi terciptanya relasi yang harmonis antar umat beragama.

Kata Kunci: pembaharuan, reformasi, tajdîd, takhayyur, siyâsah, fiqh sosial, fiqh minoritas dan fiqh lintas agama.

Umat Islam percaya bahwa hukum Islam bersifat ilahiyah. Dalam pandangan mereka, Tuhan sendirilah yang menentukan hukum untuk diterapkan kepada para hamba-Nya. Oleh karena ia berasal dari Tuhan, maka kebenarannyapun diyakini bersifat absolut dan tidak boleh diubah.1 Akan tetapi, studi kesejarahan menunjukkan bahwa dalam praktiknya, hukum Islam mengalami banyak perubahan. Hasil penelitian paling akhir tentang hukum keluarga Islam secara jelas menggambarkan terjadinya

Penulis adalah dosen tetap Jurusan Syari’ah IAIN Mataram

1Sifat ketuhanan menjadi pembeda yang jelas antara hukum Islam dengan sistem

(2)

reformasi hukum dalam bidang tersebut.2 Ini menguatkan hipotesis bahwa jika dilihat dari perspektif sosio-historis, hukum Islam merupakan fenomena perdaban, kultur, dan sosial manusia. Pada level ini sebagian hukum Islam telah teraplikasikan melalui institusi-institusi sosial, seperti pengadilan, yang dipengaruhi oleh dinamika perubahan masyarakat. Dengan demikian, hukum Islam yang bersifat universal tersebut, pada level praktis tidak bisa menghindar dari keniscayaan, yakni perubahan-perubahan yang menjadi ciri fundamental kehidupan sosial. Di sinilah pembaharuan hukum sangat diperlukan dalam rangka menjawab perubahan zaman. Demikian pula dengan yang terjadi di Indonesia. Pada tahapan tertentu hukum Islam berubah untuk menyelaraskan dirinya dengan dinamika perubahan masyarakat.

Tulisan ini akan mengupas struktur bangunan pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Pembahasannya dimulai dari penyingkapan arti pembaharuan dan keterkaitan organis-terminologisnya dengan gerakan pembaharuan Islam secara umum. Bagian berikutnya adalah diskusi di seputar gejala umum reformasi hukum Islam di beberapa negara dengan menitikberatkan pada pendekatan dan metode pembaharuan hukumnya. Ini dimaksudkan untuk melacak keterkaitan antara pembaharuan hukum Islam dalam konteks global dengan gagasan pembaharuan hukum Islam dalam konteks keindonesiaan. Bagian terakhir mendiskusiakan secara lebih mendalam reformasi hukum Islam di Indonesia, yang meliputi: tema-arah, metode-materi, penggagas-gagasannya serta munculnya tema-tema baru dalam fiqh di Indonesia.

Arti dan Signifikansi Pembaharuan Hukum Islam

Secara organis ide pembaharuan hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari munculnya grand theme pembaharuan Islam secara general. Hal ini bisa dilacak dari istilah-istilah yang dipakai untuk menjelaskan arti pembaharuan itu sendiri. Pada mulanya ide pembaharuan lebih banyak ditujukan pada bidang teologi dan akidah daripada bidang hukum. Berbagai istilah sering dipergunakan untuk melukiskan gerakan pembaharuan Islam, seperti

2Lihat, Abdullahi A. An-Na’im (ed.), Islamic Family Law in a Changing World: A

(3)

“reformasi”, “pemurnian”, “pembaharuan”, rethingking Islam,3 resurgent

Islam,4 dan lain sebagainya. Reformasi mempunyai pengertian membentuk

kembali pemahaman baru sebagai antitesa dari pola pemahaman lama. Sejalan dengan itu, para penulis tentang gerakan pemikiran Islam, misalnya Persatuan Islam, menyebutnya dengan istilah Islamic reform.5 Adapun kata pemurnian lebih banyak diarahkan pada bidang akidah dan ibadah dengan dasar pertimbangan bahwa perkembangan sejarah telah membawa akibat semakin kaburnya kemurnian iman dan ibadah serta munculnya kurafat dan bid’ah sehingga diperlukan upaya untuk mengembalikan pemahaman ajaran agama Islam ke bentuk aslinya.

Sedangkan istilah pembaharuan adalah upaya memahami kembali sumber Islam dengan melepaskan diri dari pemahaman lama dengan maksud untuk merelevankan Islam dalam menatap masa depan. Kata pembaharuan mengandung uraian sasaran pembaharuan yang ditujukan kepada pengembangan pemikiran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Karena itu, pembaharuan bukan ditujukan untuk mempertanyakan keabsahan sumber ajaran Islam, melainkan upaya mengubah pola pemikiran umat Islam agar tidak terikat secara kaku kepada pola pemahaman dan pemikiran masa lampau.6 Pembaharuan ini timbul sebagai akibat dari perubahan-perubahan besar dalam segala bidang kehidupan manusia yang dibawa oleh kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.7 Salah satu implikasinya, menurut

3Mohammed Arkoum, Rethingking Islam: Common Questions Uncommon Answers,

Translated and Edited by Robert D. Lee (Colorado and Oxford: Westview Press, 1994).

4Istilah lain adalah tajdîd atau islah. Tajdid biasanya diartikan “pembaharuan” dan

islah di artikan “reformasi”. Secara bersamaan kedua kata tersebut merefleksikan sebuah tradisi yang berlanjut dari revitalisasi praktik dan kepercayaan Islam dalam komunitas-komunitas masyarakat muslim. Ia memberikan dasar bagi keyakinan bahwa gerakan-gerakan dari pembaharuan tetap merupakan bagian yang sah dari penjabaran wahyu Islam dalam sejarah. Lihat, John O. Voll “Renewal and Reform in Islamic History, Tajdid and Islah,” dalam John L. Esposito (ed.), Voices of Resurgence Islam

(Oxford: Oxford University press, 1983), 32.

5Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,

terj. Yudian W. Asmin dan Affandi Mukhtar (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996).

6Ridwan Lubis dan Syahminan, Perspektif Pembaharuan Pemikiran Islam (Medan:

Pustaka Widyasarana, 1994), 7-8.

7Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam

(4)

Sharon Shiddiq, adalah munculnya usaha yang giat untuk mangarahkan tatanan masyarakat yang harmonis atas dasar sistem tata hakum yang aspiratif.8

Secara lebih spesifik, Iskandar Usman menggarisbawahi inti pembaharuan hukum Islam. Menurutnya inti pembaharuan adalah ijtihad.9 Ijtihad diartikan sebagai usaha untuk menetapkan hukum guna menjawab permasalahan dan perkembangan baru dengan cara kembali kepada

al-Qur’an dan hadis dan tidak mesti terikat kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam hasil ijtihad ulama sebelumnya. Dengan demikian diharapkan bahwa ketentuan hukum Islam yang dihasilkan dengan cara ini akan betul-betul mampu menjawab permasalahan umat dan mampu merealisasikan kemaslahatan yang menjadi inti dan tujuan hukum Islam.

Menurut al-Zahawî dalam Our Women in Religious Law and in Society, seperti dikutip H. A.R. Gibb, hukum-hukum dalam al-Qur’an dan berbagai rumusan hukum dari fuqaha seharusnya tidak dianggap final serta tidak dapat diubah, tetapi merupakan pandangan yang bersifat evolusioner.10 Tujuan al-Qur’an dalam tatanan sosial adalah untuk menciptakan suatu sistem kemasyarakatan yang etis dan egalitarian. Oleh sebab itu, Fazlur Rahman memandang hukum Islam bersifat dinamis dan harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.11 Bersikeras dalam implementasi harfiah dari aturan-aturan al-Quran dengan menutup mata terhadap perubahan sosial yang terjadi secara real, sama saja artinya dengan mengabaikan tujuan moral-sosial al-Qur’an. Syari’ah, menurut Bassam Tibbi

adalah “tekstur terbuka”, yaitu sebuah struktur norma yang tertulis secara baku, tetapi terbuka atas intepretasi. Oleh karenanya, dalam era modern ini dituntut untuk memikirkan hukum sebagai gagasan yang lebih fleksibel sehingga dapat memberikan kontribusi akomodasi budaya untuk sebuah perubahan.12

8Abdul Aziz (ed.), Gerakan Kontemporer Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1989), 1.

9Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Rajawali dan

LSIK, 1998), 111.

10H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnum Husein (Jakarta:

Rajawali Press, 1993), 154.

11Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung:

Pustaka, 1983), 55.

12Bassam Tibbi, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Ahsin Muhamad dan

(5)

Dalam konteks inilah gagasan untuk melakukan pembaharuan hukum Islam mendapatkan signifikansinya. Para ahli dan cendekiawan hukum Islam ingin mengkaji kembali hukum Islam dalam konteks kekinian, sehingga hukum Islam itu bisa menjadi hukum yang aktual pada masa ini sebagaimana aktualnya hukum Islam pada masa perumusannya oleh

mujtahid pada masa dulu. Hal inilah yang menyebabkan usaha untuk

mengkaji hukum Islam dengan tujuan untuk mengembalikan aktualitasnya menjadi sebuah discourse yang menarik.

Trend Pembaharuan Hukum Islam

Beberapa ahli hukum Islam dari Barat tak kurang seriusnya dalam mengkaji perkembangan dan pembaharuan hukum Islam yang terjadi di beberapa negara dewasa ini. Anderson, salah seorang peneliti hukum Islam, menyimpulkan adanya beberapa poin penting dalam proses pembaharuan di beberapa negara.13 Pertama, sejak kira-kira tahun 1850 terjadi dikotomi hukum dalam dunia Islam; satu bagian diwarnai oleh aturan-aturan yang khas berinspirasi Barat, seperti hukum dagang,

sementara bagian lainnya tetap berada di bawah naungan syari’ah, seperti

hukum keluarga. Berikutnya, sejak tahun 1915 proses perubahan hukum keluarga itu berkembang dengan pesat. Pembaharuan di sini dilaksanakan dengan tiga bahan pokok, yaitu (a) adanya sarana untuk memperoleh pengakuan berlakunya hukum atas tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh

syari’ah. (b) Prinsip yang mengatakan bahwa sebagai pengganti pelaksanaan pandangan-pandangan dominan dari mazhab tertentu, seperti dari mazhab Hanafi, mengenai persoalan yang rinci (furû’). Di sini badan legislatif diperbolehkan menerapkan variasi tertentu dari pandangan-pandangan tersebut, seperti yang dikemukakan oleh beberapa mazhab lain dan (c) diperlakukannya aturan-aturan hukum acara untuk melengkapi syari’ah yang pelaksanaannya disertai dengan sanksi-sanksi pidana.

Sedangkan Coulson mengklasifikasikan pembaharuan hukum Islam ke dalam empat bentuk.14 Pertama, adanya upaya kodifikasi hukum Islam menjadi undang-undang hukum negara; sejumlah hukum Islam dijadikan sebagai hukum negara, sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat

13J.N.D. Anderson, Ibid., 109-111.

14N.J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press,

(6)

bagi warga negara dan memiliki sanksi bagi pelanggarnya. Ini disebut prinsip siyâsah. Kedua, munculnya prinsip takhayyur,15 yaitu kaum muslimin bebas memilih pendapat para imam mazhab dan menggunakannya sesuai dengan kemaslahatan masyarakat. Ketiga, munculnya upaya untuk mengantisipasi perkembangan peristiwa hukum yang baru dengan mencari alternatif-alternatif hukum dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum Islam yang luwes dan elastis. Ini disebut prinsip tathbîq. Keempat, timbulnya upaya perubahan hukum dari yang lama kepada yang baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang bersifat dinamis yang disebut konsep tajdîd (neo-ijtihad).

Sementara menurut analisis Abdullahi Ahmad an-Na’im,16 pembaharuan hukum keluarga dan waris Islam di beberapa negara bangsa mengambil beberapa teknik, yaitu takhayyur dan siyâsah, seperti penjelasan Coulson tersebut. Namun, ia menambahkan tiga bentuk yang lain, yaitu, pertama, takhsîsh al-Qadha atau hak penguasa untuk memutuskan dan menguatkan keputusan pengadilan. Ini digunakan sebagai prosedur untuk

membatasi penerapan syari’ah pada persoalan-persoalan hukum perdata. Prosedur yang sama juga digunakan untuk mencegah pengadilan dari

penerapan syari’ah dalam keadaan yang spesifik tanpa mengubah substansi

aturan-aturan syari’ah yang relevan. Kedua, reinterpretasi atas ketentuan -ketentuan hukum yang berlaku, misalnya dalam Hukum Status Personal Tunisia Tahun 1956 dinyatakan bahwa perceraian tidak sah kecuali dengan keputusan pengadilan. Ketiga, pembaharuan dilakukan dengan cara yang digunakan dalam tradisi hukum adat tanpa menentang dan mengubah prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang berdasarkan al-Qur’an dan hadis seperti yang terjadi di India.17

Fenomena lain yang perlu disimak dari ide reformasi hukum Islam adalah apa yang kini tengah terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya non-Islam. Di Eropa Barat, misalnya, kalangan umat Islam tengah melangsungkan diskusi mengenai hukum Islam bagi status minoritas

15Prinsip takhayyur juga dianjurkan oleh Abdurrahman I. Doi. Lihat,

Abdurrahman I. Doi, Muamalah: Syari’ah III, terj. Nurhadi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985), 207-213.

16Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. A. Suaedi dan

Amiruddin (Yogyakarta: LkiS, 1997), 74.

17Contoh dalam kasus-kasus yang dimaksud, lihat, A. A. Fayzee, Outlines of

(7)

Muslim. Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah hukum Islam yang berlaku di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bisa diterapkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya tidak memeluk Islam? Pertanyaan ini muncul seiring dengan timbulnya masalah yang jauh lebih kompleks di negara-negara tersebut. Sebagai contoh adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Mufti Besar al-Azhar terkait soal pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri di Prancis. Menurut fatwa tersebut, wanita Muslim di Prancis tidak wajib memakai jilbab, karena Prancis bukan negara Islam. Tentu saja fatwa ini menimbulkan pertanyaan besar di seputar aplikasi hukum Islam dan menyeret persoalannya ke wilayah wacana negara Islam dan negara non-Islam.

Oleh karena itu, muncullah gagasan untuk memformulasikan hukum Islam bagi umat Islam minoritas. Istilah ini dikenal dengan Fiqh al-Aqalliyat.18 Probematika hukum yang terkait soal makanan, kawin campur, perceraian, partisipasi politik, transaksi perbankan dengan sistem kartu kredit di negara-negara nonmuslim sangat kompleks dan memerlukan metode dan pendekatan tersendiri dalam mencari solusinya. Persoalan politik bagi umat Islam untuk memberi prioritas ketundukan mereka kepada hukum Islam atau hukum penguasa turut pula memperuncing masalah ini. Beberapa langkah metodologis pun disuguhkan dalam memecahkan masalah ini meskipun masih muncul ketidaksetujuan terhadapnya. Pertama, mengidentifikasi jenis masalah dan melakukan analisis isi atas masalah tersebut. Kedua, telaah komparatif atas pendapat fuqaha dalam masalah tersebut. Ketiga, pendekatan sosial-budaya sebagai alternatif pemecahannya.19

Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia

1. Tema dan Arah. Bagaimana dengan pembaharuan hukum Islam di Indonesia? Menurut Amir Syarifuddin, pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia tidak lepas dari pembaharuan hukum Islam yang terjadi di dunia Islam pada umumnya. Para ulama Indonesia merasakan bahwa hukum Islam seperti yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh banyak yang kehilangan aktualitasnya. Banyak terjadi kesukaran dalam menjalankan

18Welmoet Boender, “Islamic Law and Muslim Minorities,” ISIM Newsletter, No.

12, June 2003, 13.

(8)

bagian-bagian dari hukum Islam. Adanya kesukaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang wajar karena ia diformulasikan oleh mujtahid dalam masa yang sudah lama dan dalam situasi yang berbeda. Hal inilah yang mendorong para ahli saat ini untuk mengadakan kajian ulang dalam rangka reaktualisasi hukum Islam.20

Pembaharuan kalau diletakkan dalam konteks hukum Islam di Indonesia maka konotasinya lebih bersifat meluruskan kembali pemahaman umat Islam. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman yang menganggap fiqh sudah final, baku dan tidak bisa berubah. Pemahaman seperti ini sering berakibat pada upaya pengkultusan pemikiran keagamaan atau taqdîs al-afkâr al-dînî, termasuk terhadap fiqh. Disamping itu, pembaharuan ini juga berarti upaya mengadaptasikan hukum Islam dengan perubahan sosial. Konsep yang kedua ini sering disebut dengan modernisasi hukum Islam. Secara garis besar, ada dua tema besarpembaharuan hukum Islam di Indonesia, yaitu kembali ke al-Qur’an dan isu keindonesiaan.21

Tema pertama ditandai dengan langkah-langkah yang bertujuan untuk membersihkan praktik-praktik peribadatan umat Islam yang disinyalir terpengaruh oleh unsur-unsur non Islam yang sering didefinisikan

sebagai TBC (Tahayul, Bid’ah dan Khurafat). Kemudian tema besar lainnya

seperti membuka pintu ijtihad yang lama dianggap tertutup, mengganyang

taqlîd, membolehkan talfîq dengan cara memperkenalkan kembali studi

perbandingan mazhab. Reformasi model ini dimotori oleh ulama yang kurang menguasai sistem hukum Indonesia, seperti A. Hasan, Munawar Cholil, dan Hasbi as-Siddiqy. Disamping itu, tentunya juga tidak berlebihan untuk menyebut organisasi-organisasi Islam semisal Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al-Irsyad ke dalam kategori pendukungnya.22

Keindonesiaan pada dasarnya merupakan kelanjutan dari tema kembali ke al-Qur’an dan sunnah. Di sisi lain, ini merupakan sikap kembali kepada pandangan tradisional yang berusaha mempertahankan adat

20Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam hukum Islam (Medan: Angkasa

Raya, 1993), 5.

21Yudian W. Asmin “Reorientasi Fiqh Indonesia,” dalam Sudarnoto Abdul

Hakim (ed.), Islam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1995), 224.

22Ibid. Untuk membatasi masalah dan obyek kajian, maka dalam artikel ini,

(9)

Indonesia yang dulu justru ditolak oleh kaum reformis yang hendak

menyesuaikan dengan syari’ah. Ada dua kecenderungan utama dalam tema

keindonesiaan, yaitu cita-cita untuk membangun hukum Islam yang berciri khas Indonesia dengan cara membebaskan budaya Indonesia dari budaya Arab dan menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu sumber hukum

Islam. Kecenderungan pertama ini ditandai dengan munculnya konsep “fiqh

Indonesia” (Hasbi, 1940), “mazhab nasional” (Hazairin, 1950-an),

“pribumisasi Islam” (Abdurrahman Wahid, 1988), “reaktualisasi ajaran Islam” (Munawir Sadzali, 1988), dan “zakat sebagai pajak” (Masdar, 1991).

Kecenderungan yang kedua ialah keindonesiaan yang berorientasi konstitusional yang dimotori oleh para sarjana umum yang menguasai

sistem hukum Indonesia, tetapi kurang mendalami prinsip “kembali ke al

-Qur’an dan Sunnah”.23

2. Metode dan Materi. Kalau memakai pola sebagaimana yang diajukan baik oleh Anderson, Coulson maupun an-Naim, maka akan ditemukan common denominator model pembaharuan hukum Islam di dunia dewasa ini dengan apa yang terjadi di Indonesia, terutama sekali bila diterapkan dalam konteks perundang-undangan maupun bentuk hukum positif lainnya. Sementara Amir Syarifuddin dalam melihat pembaharuan hukum Islam di Indonesia lebih suka menyebut sebagai upaya reaktualisasi hukum Islam yang ditandai dengan diterapkannya beberapa metode antara lain; kebijaksanaan administratif, aturan tambahan, takhayyur, reinterpretasi dan reformulasi.24

Secara lebih elaboratif Ahmad Rofiq membongkar lebih jauh nuansa-nuansa pembaharuan hukum Islam di Indonesia dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.25 Dalam bidang perkawinan, misalnya, terdapat beberapa bentuk pembaharuan seperti pencatatan perkawinan, batas usia kawin, persetujuan calon mempelai, izin poligami, perceraian di depan sidang pengadilan, dan semua tindakan hukum yang merupakan upaya-upaya untuk mewujudkan perkawinan dengan segala akibat hukumnya. Makinudin secara lebih spesifik dan komparatif mencoba menganalisis ketentuan fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai rujuk. Dalam

23Ibid., 225.

24Amir Syarifuddin, Ibid., 121-125.

25Ahmad Rofiq, Nuansa dan Tipologi pembaharuan hukum Islam di Indonesia (Jakarta:

(10)

penelitiannya, ia menemukan adanya bentuk ketentuan baru yang selama ini belum diatur, bahkan di dalam fiqhempat mazhab sekalipun.26

KHI, misalnya, telah mengatur secara lengkap tentang rujuk, baik yang bersifat normatif, teknis maupun administratif, yaitu diatur dalam Bab XVIII Pasal 163, 164, 165 dan 166, sedang secara teknis diatur dalam Pasal 168 dan 169. Persoalan yang bukan bersifat normatif tidak disinggung dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 maupun Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sedangkan yang bersifat teknis dan administratif, KHI hanya memperkuat ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Permenag No. 3 Tahun 1975, bahkan hampir semua kata yang dipakai sama. Hal ini dapat dimaklumi karena KHI dibuat untuk memperkokoh atau mencari rujukan undang-undang atau peraturan-peraturan sebelumnya dan menambah yang belum ada. Oleh karena itu, materi KHI tidak hanya terbatas pada satu mazhab, tetapi beberapa mazhab.27 Pasal 163 (2) point b menegaskan bahwa rujuk tidak dapat dilakukan jika perpisahan itu terjadi disebabkan zina yang pelaksanaannya berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Pasal ini juga menegaskan bahwa rujuk dapat terjadi dengan putusnya perkawinan berdasarkan putusan Pengadilan Agama dengan satu atau beberapa alasan. Dalam hal ini, KHI tidak menyebutkan secara rinci, selain zina dan khulu’. Alasan-alasan ini bersifat umum, yakni dapat berwujud istri tidak diberi nafkah, istri selalu disakiti, suami pergi tanpa ada berita dan suami dipenjara. Tentang bunyi Pasal 163 (2) point b, kompilasi berbeda dengan kebanyakan ulama. Menurut KHI, alasan yang dapat dimasukkan ke dalam talak raj’i yang dapat dilakukan rujuk hanya talak yang diputuskan pengadilan karena suami tidak memberi nafkah, sebagaimana pendapat Hanafiyah.

Oleh karena itu, pasal ini merupakan hasil ijtihad ulama Indonesia yang concern terhadap persoalan yang muncul antara suami dan istri. Jika dicermati lebih mendalam, maka pasal ini merupakan pengembangan atau analog dari pendapat ulama Hanafiyah yang memasukkan thalaq raj’i dengan alasan tidak memberi nafkah. Dalam hal ini ditemukan alasan adanya bahaya kepada istri. Pasal 164 KHI menegaskan bahwa mantan istri yang akan dirujuk memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas kehendak

26Makinudin, “Komparasi Studi Hukum Islam tentang Ruju’: Problematika

Hukum Ruju’ antara Fiqh dan KHI,” Jurnal Akademika, (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 1999), 68-84.

(11)

rujuk mantan suaminya, yang akan merujuk. Artinya, jika dia keberatan dirujuk, maka suami tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk rujuk. Pernyataan ini berbeda dengan pendapat mayoritas fuqaha. Demikian juga Pasal 165 KHI menegaskan bahwa rujuk yang tidak mendapat persetujuan mantan istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama. Unsur kerelaan menjadi faktor determinan. Pasal ini juga berbeda dengan seluruh pendapat fuqaha. Kewajiban untuk mencatatkan rujuk yang dimaksudkan sebagai bukti otentik dalam kepastian hukum, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 165, juga merupakan ketentuan baru dalam proses rujuk28.

Dalam bidang kewarisan juga dapat ditemukan beberapa ketentuan yang tidak terdapat dalam fiqh. Menurut bunyi Pasal 49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hukum waris yang dipraktikkan di Pengadilan Agama adalah Hukum Waris Islam. Selama ini, ketika disebut hukum waris Islam, maka asumsinya adalah hukum waris

menurut mazhab Syafi’i atau menurut pendapat Hazairin. Hukum Waris Islam adalah hukum waris yang bercorak patrilineal. KHI ternyata

memperkenalkan beberapa cara yang tidak lazim menurut mazhab Syafi’i,

antara lain tentang pembagian warisan dengan cara damai (Pasal 183), penggantian kedudukan, mawali atau Platsvervullings (Pasal 185), pembagian warisan ketika pewaris masih hidup (Pasal 187), dan ketentuan harta bersama atau gono-gini (Pasal 190).29

Demikian pula halnya dengan yang terjadi pada bidang pewakafan. Pengertian pewakafan menurut Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Pasal 1 dan KHI Pasal 215 adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan cara memisahkan sebagian dari harta benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.30 Prinsip mu’abbad pada dasarnya dianut oleh semua mazhab fiqh. Namun dalam perkembangan selanjutnya terdapat variasi lain. Contoh, dalam PP No. 28 Tahun 1977, Bab IV Pasal 11 ayat 1 dinyatakan: “Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud

dalam ikrar wakaf”. Tampaknya pasal ini berangkat dari prinsip mu’abbad

28Ibid., 81-82.

(12)

dalam wakaf, disamping untuk memelihara kelestarian benda wakaf. Tetapi penyimpangan dimungkinkan dengan tercantumnya ayat 2 pada bab dan

pasal yang sama. Disebutkan bahwa “Penyimpangan dari ketentuan

tersebut ayat 1 hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari menteri agama, yakni (a) karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti yang diikrarkan oleh wakif dan (b) karena kepentingan umum.31

Ketentuan lain yang perlu disebutkan adalah mengenai kewajiban untuk mendaftarkan benda wakaf (Pasal 223 KHI). Sebenarnya masalah pencatatan atau sertifikasi wakaf lebih dekat untuk diqiaskan kepada soal utang-piutang (Q.S. Al-Baqarah : 282). Namun pencatatan ini belum disinggung dalam kitab-kitab fiqh. Itu artinya sekarang ini, menurut Ahmad Rofiq, rumusan yang dikemukakan dalam kitab-kitab fiqhpengamalannya perlu dilengkapi dengan penambahan-penambahan yang bersifat yuridis adiministratif. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan jangkauan kemaslahatan yang ingin dicapai oleh pelaksanaan wakaf itu sendiri, misalnya, dengan disertai akta ikrar wakaf atau pengganti akta ikrar wakaf atau sertifikat tanah wakaf.32

3. Penggagas dan Gagasannya. Dengan mendiskripsikan beberapa contoh kecenderungan hukum Islam tersebut, kini menjadi terbukti kebenaran pernyataan bahwa terdapat semacam kesamaan pola dasar pembaharuan antara hukum Islam di Indonesia dengan hukum Islam di beberapa negara. Prinsip siyasah, takhayyur, maupun tatbiq secara jelas dapat dilihat dari contoh-contoh di atas. Kenyataan ini sekali lagi memperkuat tesis bahwa model atau kecenderungan pembaharuan hukum Islam di dunia sekarang ini, sebagaimana ditemukan beberapa pakar hukum Islam sebelumnya, dalam beberapa hal cocok dengan apa yang terjadi di Indonesia, khususnya jika diletakkan dalam konteks perundang-undangannya. Meskipun pembaharuan hukum Islam di Indonesia relatif agak terlambat, seperti komentar Daniel S. Lev,33 bila dibandingkan dengan beberapa negara di Timur Tengah dan di Afrika Utara; di sana pembaharuan

31Cucu Cuanda dan Miftah Fauzi Rahmat (peny), Gerakan Kembali ke Islam,

Warisan Terakhir A. Lathief Muchtar (Bandung: Rosdakarya, 1998), 268-289.

32Ahmad Rofiq, Ibid., 137.

33Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia, terj. Zaini Ahmad Noeh (Jakarta:

(13)

hukum Islam dengan cara positivisasi hukum Islam telah dimulai sejak era 1950-an, sedang di Indonesia baru mulai sekitar era 1970-an.

Munculnya gerakan pembaharuan yang dimotori A. Hasan (1887-1958) melalui organisasi Persatuan Islam (Persis) adalah dilatarbelakangi oleh persepsi bahwa praktik Islam, termasuk hukumnya, di Indonesia tidaklah pure, tetapi telah diwarnai oleh tradisi-tradisi lokal atau bid’ah. Melalui karya utamanya, Soal Jawab Masalah Agama, A. Hasan menghadirkan sejumlah kritik keras terhadap pemahaman dan praktik-praktik keagamaan

kaum tradisionalis yang dianggap telah “menyimpang” dari ajaran Islam.

Praktik-praktik itu seperti qunut, melafalkan niat shalat (ushalli) dan talqin dipandang tidak berdasar pada Islam. Oleh karena itu, ia mengajak umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan sunnah, dan menganjurkan pentingnya ijtihad serta menjauhkan diri dari praktik-praktik taqlid.34 Seruan Hassan ini kemudian menimbulkan reaksi kontra, terutama dari kalangan tradisionalis.35

Perbedaan pada masalah furû’ ini ternyata berimbas pada perdebatan yang lebih substansial yang menyangkut dasar perumusan ushûl. Memang tidak terdapat perbedaan antara A. Hassan dengan kaum tradisionalis tentang sumber-sumber hukum, yaitu al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Menurut Hassan, seorang muslim harus kembali kepada al-Qur’an dan sunnah, dan menjadikan keduanya sebagai sumber bagi sumber hukum lain di bawahnya. Sementara Sirajuddin Abbas berpendapat sebaliknya. Dia berpendapat al-Qur’an dan sunnah harus dipahami berdasarkan ijma’ dan qiyas. Kritik serupa juga disampaikan oleh NU, hanya saja tidak seperti Perti

yang mengharuskan mazhab Syafi’i, NU mengakui tiga mazhab lainnya,

yaitu Hanafi, Maliki, dan Hambali.36

Tidak seperti A. Hasan yang ide pembaharuannya mendapat banyak tantangan, Hasbi as-Siddiqi tidaklah demikian. Idenya tidak dirilis dengan cara menyerang praktik-praktik hukum Islam yang telah established, tapi

34Akhmad Minhaji, “Islamic Reform in Contest: Ahmad Hasan and His

Trodisionalist Oppenents,” Studia Islamika, vol. 7 no. 2, 2000, 87-88, Ibid, Ahmad. Hasan and Islamic Reform in Indonesia (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999).

35Dalam artikel tersebut, Akhmad Minhaji menyebutkan beberapa pihak yang

secara keras mengkritik gerakan pemikiran Ahmad Hasan, antara lain adalah Sirajuddin Abbas dan Persatuan Tarbiah Islamiyah (Perti), Husein al-Habsyi, seorang ulama keturunan Arab yang mewakili kaum tradisionalis, serta beberapa ulama dari Nahdlatul Ulama (NU). Lihat, ibid.

(14)

disampaikan dalam frame yang lebih bersifat dialogis. Disamping itu, menurut penulis, Hasbi termasuk salah seorang pembaharu yang menawarkan ide-idenya secara komprehensif, mulai dari konsep “fiqh

Indonesia”-nya, sampai pembaharuan hukum yang meliputi prinsip dan sekaligus metodenya.

Ide pembaharuan hukumnya sebagian mulai masuk dalam diskursus hukum Islam di Indonesia pada tahun 1940 dan kemudian diulangi lagi pada tahun 1961. Gagasan utamanya adalah pentingnya formulasi fiqh Indonesia. Menurut Hasbi, fiqh Indonesia adalah fiqh yang sesuai dengan budaya dan karakter masyarakat Indonesia. Artinya fiqh yang berkepribadian Indonesia.37 Menurut pengamatannya, jika fiqh diharapkan bisa dipakai dan memasyarakat di Indonesia, maka ia bukan saja harus mampu memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat dengan adil dan mashlahah, tapi fiqh juga harus mudah dipahami dan tidak asing. Menurutnya fiqh yang berkepribadian Indonesia dapat diwujudkan. Jika ‘urf di Arab bisa menjadi sumber fiqhyang berlaku di Arab, maka ‘urf Indonesia tentunya juga bisa menjadi sumber hukum yang bisa ditetapkan di Indonesia.38

Sistem hukum yang dianut Hasbi berpijak pada prinsip mashlahah

mursalahah yang berdasarkan keadilan dan kemanfaatan serta sad al-dzari’ah.

Hasbi berpendapat, prinsip yang merupakan gabungan dari prinsip-prinsip yang dipegang para imam mazhab, khususnya aliran Madinah dan Kufah, mampu membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat serta akan memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi dilakukannya ijtihad-ijtihad baru.39 Dalam penggalian hukum, ia menggunakan metode analogi deduksi yang memberi kebebasan berijtihad seperti yang dipakai oleh Abu Hanifah dalam membahas masalah-masalah yang tidak diperintah dan tidak pula dilarang serta yang belum ada ketetapan hukumnya. Adapun terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapan hukumnya, Hasbi memakai metode komparasi, yakni membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain dari seluruh aliran hukum yang ada dan memilih yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran serta didukung oleh dalil yang kuat (tarjih).

37Nouruzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, Cet. I, 1986), 218.

38Ibid., 230-231.

(15)

Dengan demikian, Hasbi menganut sistem berpikir eklektif.40 Inilah kelebihan Hasbi dibanding dengan pembaharu yang lain. Jika ulama tradisionalis dalam membahas hukum berpijak pada salah satu mazhab secara utuh, karena menolak talfiq, Hasbi secara tegas menerima talfiq dan secara eklektif memilih mana yang lebih cocok dengan kondisi Indonesia. Jika ulama pembaharu selain Hasbi, baik secara kolektif maupun perorangan, membahas materi ketetapan hukum terhadap suatu masalah, seperti transplantasi organ tubuh, atau seperti Hazairin yang hanya membahas materi hukum waris, maka Hasbi selain membicarakan materi hukum seperti tranfusi darah, pendayagunaan harta wakaf dan sebagainya,41 juga memberikan alternatif metodologi hukumnya.

Pembaharuan hukum versi Hasbi ternyata bergema cukup banyak dan telah membuka wacana baru fiqhdi Indonesia. Perubahan sentral studi dari orientasi pada satu mazhab telah melebar pada studi hukum dengan pendekatan komparatif. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya kitab-kitab

ushûl yang dianjurkan sebagai bahan rujukan di lingkungan perguruan

tinggi Islam (IAIN), kitab-kitab itu antara lain :

- Irsyâd al-Fukhûl oleh al-Syaukanî;

- Jam al-Jawâmi’ oleh Taj al-Dîn as-Subhî;

- Al-Mustasyfa oleh al-Ghazâlî;

- Al-Muwâfaqat oleh al-Syathibî;

- Ushûl al-Fiqh oleh Muhammad Abû Zahrah;

- Ushûl al-Fiqh oleh Muhammad Khudhari Bek;

- ‘Ilm Ushûl al-Fiqh oleh Abd al-Wahaf Khallaf;

- Al-Ijtihâd fî al-Syarî’ah al-Islamiyah oleh Yusûf Qardhawi;

- Al-Ijtihâd oleh Muhammad Yusûf Mûsâ;

- Ushûl al-Fiqh al-Islâmî oleh Wahbah al-Zuhailî;

- Al-‘Uddah oleh Abû Ya’la;

- Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm oleh Saif al-Dîn al-‘Amidî;

- Asbâb al-Ikhtilâf al-Fuqahâ fî Ahkâm as-Syarî’ah oleh Mushthafa Ibrâhîm;

- Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmî oleh ‘Ali Hasballah;

- Mabâhits al-Hukûm ‘Ind al-Ushûliyyîn oleh Muhammad Salâm Madkûr;

(16)

- Tafsîr al-Nushûsh oleh Muhammad Adib Shalîh.42

Disamping itu, pembaharuan hukum Islam dalam bidang tertentu, dalam hal ini waris, juga muncul dari beberapa tokoh. Misalnya apa yang

dikemukakan oleh Hazairin dengan konsep hukum “waris bilateral”.43

Hazairin memiliki pandangan lain tentang sistem keluarga menurut

al-Qur’an. Menurut Anwar Harjono, ketika mengomentari pendapat Hazairin

ini, pandangan fiqhtersebut didasarkan atas susunan masyarakat Arab yang menurut ilmu antropologi sosial disebut patrilineal, sedangkan pandangan Hazairin didasarkan atas susunan masyarakat al-Qur’an, yang menurut ijtihadnya, adalah masyarakat bilateral. Dalam masyarakat patrilineal, pihak laki-laki senantiasa mendapat keistimewaan hampir dalam segala hal ihwal kekeluargaan. Dalam hukum kewarisan model ini, hukum mewarisi bahkan hanya ada pada pihak laki-laki saja, sedangkan pihak perempuan tidak mempunyai hak mewarisi. Berbeda dari itu, dalam masyarakat bilateral baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak untuk sama-sama mewarisi. Dalam masyarakat bilateral biasa, bagian dari laki-laki dan perempuan itu tergantung pada kedudukan mereka dalam ahli waris dan peranan perempuan dalam ekonomi rumah tangga mereka; oleh karena itu, keadaan di suatu tempat mungkin sekali berbeda dengan keadaan di tempat lain.44

Ide pembaharuan dalam bidang waris juga datang dari mantan Menteri Agama Munawir Sadzali. Idenya terkenal dengan istilah

“reaktulisasi ajaran Islam”.45 Ini berawal dari pernyataan dia bahwa umat Islam di Indonesia memiliki sikap ambiguitas dalam beragama, terutama berkaitan dengan hukum Islam.46 Dia mencontohkan umat Islam bersikap

42Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Topik Inti

Kurikulum Faulitas Syari’ah (Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama Islam, 1995).

43Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta:

Tintamas, 1982).

44Anwar Harjono, “Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur’an, Komentar

Singkat atas Teori Prof. Hazairin,” dalam Sayuti Thalib (ed.), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, in Memoriam Prof. Mr. Dr. Hazairin (Jakarta: UI Press, 1976), 62-63.

45Lihat, Muhammad Wahyu Nafis dkk. (ed.), Kontekstualitas Ajaran Islam, 70 tahun

Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, M.A (Jakarta: IPHI-Paramadina, 1995).

46Penilaian serupa secara implisit dikemukakan oleh David Bonderman dan

(17)

mendua dalam dua hal, yaitu dalam hal bunga bank dan pembagian warisan. Kebanyakan umat Islam masih menganggap bunga bank itu riba, tetapi mereka juga terlibat dalam transaksi-transaksi dengan perbankan yang memakai sistem konvensional ini. Sedangkan dalam masalah warisan, mereka masih memegang teguh pendirian bahwa perbandingan perolehan harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 dibanding 1. Akan tetapi, menurut laporan yang dia terima sebagai Menteri Agama saat itu, dalam praktiknya ketentuan ini sering dilanggar, kasus ini terjadi di daerah yang Islamnya terkenal cukup kental seperti di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Di kedua daerah itu ketentuan faraid banyak yang tidak berlaku, sebaliknya mereka membawa kasus harta warisan ke Pengadilan Negeri. Ada juga pembagian waris dengan mengambil langkah preventif, yaitu dibagikan sebelum pewaris meninggal dunia. Bahkan menurutnya, dari hasil penelitian tokoh Muhammadiyah tentang pelaksanaann waris di salah satu wilayah di Daerah Istimewa Aceh, ternyata 81% dari sejumlah kasus yang ia teliti melepaskan ketentuan-ketentuan faraid dan mencari penyelesaiannya di Pengadilan Negeri.47 Oleh karenanya, Munawir menghimbau agar diadakan kajian ulang atau reaktualisasi atas beberapa ketentuan hukum Islam yang dianggap tidak aktual lagi. Dengan menyandarkan argumennya pada beberapa ulama, seperti Ibn al-Katsîr, Mushthafa al-Maraghî, Muhammad Rasyid Ridha, Izz al-Din Ibn Abd as-Salam, maka ia berkesimpulan bahwa hukum itu memang fleksibel dan dengan demikian perlu adanya reaktualisasi, ketika dirasa hukum tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat saat ini.48

4. Wacana Baru Fiqh di Indonesia. Bentuk pembaharuan hukum Islam yang lainnya adalah berkaitan dengan aspek pemahaman terhadap fiqh. Sebagaiman yang telah penulis jelaskan sebelumya, bahwa berdasarkan penilaian dari beberapa ahli hukum Islam, salah satu masalah laten yang berkaitan dengan hukum Islam adalah masalah pemahaman. Fiqh sebagai

tampaknya umat Islam lebih baik terus menerus berpura-pura tidak melanggar syari’ah, sebagai satu-satunya hukum yang mempunyai otoritas fudamental, dan menghindar untuk mengamalkannya dengan memakai doktrin darurat, daripada mencoba untuk menyesuaikan hukum tersebut dengan kehidupan kontemporer”. Dikutip dari Ahmad an-Na’im, Ibid., 43.

47Munawir Sadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Iqbal Abdur Rauf (ed.),

Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 2-4.

(18)

sebuah produk pemikiran ulama telah salah dipersepsikan dengan mendudukkanya sebagai hukum agama, atau hukum Tuhan itu sendiri, yang dengan demikian ia bersifat absolut.

Dalam konteks ini ada fenomena yang cukup menarik yang terjadi di tubuh Nahdhatul Ulama (NU). NU yang biasanya diasosiasikan sebagai golongan tradisionalis, yang konotasinya cenderung ortodoks, telah mengalami perubahan visi pemahaman fiqh-nya. Ini terlihat dari hasil Munas Alim Ulama di Bandar Lampung Tahun 1992 dan Konferensi Besar NU di Nusa Tenggara Barat Tahun 1997 yang memutuskan untuk mengubah cara bermazhabnya, yaitu dari qaulî ke manhajî. Kyai Sahal secara

lebih elaboratif menjelaskan “gejolak ijtihad santri” ini dalam memandang

produk pemikiran ulama fiqhyang umumnya tertuang dalam kitab kuning. Akibatnya adalah adanya pergeseran pemahaman dari fiqh sebagai

kebenaran ortodoksi menjadi paradigma “pemaknaan sosial”. Jika yang

pertama menundukkan realitas kepada kebenaran fiqh, maka yang kedua menggunakan fiqh sebagai counter discourse dalam belantara politik pemaknaan yang tengah berlangsung. Jika yang pertama memperlihatkan

watak “hitam putih” dalam memandang realitas, maka yang kedua

memperlihatkan wataknya yang bernuansa dan kadang-kadang rumit dalam menyikapi realitas.49

Ada lima ciri menonjol dari paradigma baru itu. Pertama, selalu diupayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru. Kedua, bermazhab secara metodologis. Ketiga, verifikasi mendasar atas ajaran yang pokok dengan cabang. Keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran fisolofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial. Fiqh dengan demikian telah mengemban tugas baru sebagai perangkat hermeunetika, yang implikasinya sangat besar dalam kehidupan. Sifat fiqhsebagai perangkat hermeunetika ini di satu sisi mempunyai watak relatif yang sangat tinggi karena itu harus mengakomodasi pluralitas realitas (dengan demikian pluraritas kebenaran), dan karena itu ia harus melunakkan kepastian normatifnya.50

Gagasan untuk terus mengaktualkan hukum Islam dalam rangka

menjawab tantangan modernitas adalah munculnya istilah “Fiqh Lintas

(19)

Agama”. Ide ini dilalarbelakangi oleh paradigma fiqh klasik yang dianggap

kurang bersahabat terhadap orang-orang non-Muslim. Istilah “kafir”,

“murtad” maupun “musyrik” yang ditujukan pada kelompok non-Muslim

oleh para penggagas fiqh ini dipandang sebagai sebuah stigma yang menghalangi terajutnya kerjasama antarumat beragama.51 Untuk itu perlu dipikirkan ulang konsep fiqhguna menopang terciptanya masyarakat yang multi kultural dan multi relijius. Untuk memuluskan proyek ini, maka landasan utama yang hendak dibangun oleh para penggagasnya adalah dengan meletakkan dasar yang kokoh bagi fiqh lintas agama ini. Diantaranya dengan cara menemukan kalimatun sawa (titik temu) antaragama, pengakuan terhadap ahl kitab serta menegaskan kesinambungan dan kesamaan agama-agama.52 Gagasan ini diakhiri dengan appeal untuk berdialog serta membangun kerja sama antar umat beragama.53

Meskipun dalam mukaddimahnya tidak disebut background empiris

yang melatarbelakanginya, penulis berasumsi bahwa ide “fiqih lintas agama” ini banyak didorong oleh sebuah fakta di lapangan berkaitan

dengan konflik antarumat beragama yang akhir-akhir ini sering terjadi dan bahkan konflik ini telah menjadi salah satu bentuk kerusuhan yang paling mencolok secara nasional di Indonesia dewasa ini. Sisa-sisanya pun masih terasa, sebagaimana yang baru saja terjadi di Ambon dan yang secara sporadis terjadi di Poso. Sejauh ini memang belum tampak ada respon dari masyarakat atas gagasan ini. Perlu dilakukan studi lebih mendalam untuk mengevaluasi sejauh mana ide ini diterima (maupun ditolak) serta pengaruhnya di kalangan umat Islam secara spesifik dan dalam skala nasional secara lebih luas.

Penutup

Itulah beberapa bentuk, metode, langkah dan gagasan pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Reformasi hukum Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari ide pembaharuan Islam secara umum. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa secara metodologis-tematis ada kesamaan pola yang terjadi antara pembaharuan hukum Islam di beberapa negara dengan apa

51Mun’in A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis

(Jakarta: Paramadina, 2004), 2.

(20)

yang terjadi di Indonesia. Selain itu, reformasi hukum Islam di Indonesia juga diproyeksikan untuk lebih mengakrabkan fiqh dengan realitas keindonesiaan. Melangkah sedikit ke depan, fiqh juga diproyeksikan sebagai sebuah sarana untuk menjembatani terciptanya dialog dan kerjasama yang baik antarumat beragama di Indonesia. Dengan demikian, reformasi hukum Islam tidak saja berorientasi ke dalam (umat Islam saja), tapi juga ke luar, yakni demi tercapainya masyarakat yang plural dan toleran.■

Daftar Pustaka

Anderson, J.N.D., Islamic Law in the Modern World (Connecticut: Greenwood Press, 1975).

Arkoum, Mohammed, Rethingking Islam: Common Questions Uncommon

Answers, Translated and Edited by Robert D. Lee (Colorado and

Oxford: Westview Press, 1994).

Aziz, Abdul (ed.), Gerakan Kontemporer Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989).

Boender, Welmoet, “Islamic Law and Muslim Minorities,” ISIM Newsletter, No. 12, June 2003.

Coulson, N.J., A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1971).

Cuanda, Cucu dan Miftah Fauzi Rahmat (peny), Gerakan Kembali ke Islam,

Warisan Terakhir A. Lathief Muchtar (Bandung: Rosdakarya, 1998).

Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Topik Inti Kurikulum Faulitas Syari’ah (Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama Islam, 1995).

Doi, Abdurrahman I., Muamalah: Syari’ah III, terj. Nurhadi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985).

Esposito, John L. (ed.), Voices of Resurgence Islam (Oxford: Oxford University press, 1983).

Fayzee, A. A., Outlines of Muhammadan Law (Oxford: Oxford University Press, 1964).

(21)

Gibb, H.A.R., Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnum Husein (Jakarta: Rajawali Press, 1993).

Hakim, Sudarnoto Abdul (ed.), Islam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1995).

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: Tintamas, 1982).

Lev, Daniel S., Peradilan Agama di Indonesia, terj. Zaini Ahmad Noeh (Jakarta: Intermasa, 1982).

Lubis, Ridwan dan Syahminan, Perspektif Pembaharuan Pemikiran Islam (Medan: Pustaka Widyasarana, 1994).

Mahfudz, M.A. Sahal, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1994).

Makinudin, “Komparasi Studi Hukum Islam tentang Ruju’: Problematika Hukum Ruju’ antara Fiqh dan KHI,” Jurnal Akademika, (Surabaya: PascasarjanaIAIN Sunan Ampel, 1999).

Minhaji, Akhmad, “Islamic Reform in Contest: Ahmad Hasan and His Trodisionalist Oppenents,” Studia Islamika, vol. 7 no. 2, 2000.

an-Na’im (ed.), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed Books, 2002).

_______, Abdullah Ahmad, Dekonstruksi Syari’ah, terj. A. Suaedi dan Amiruddin (Yogyakarta: LkiS, 1997).

Nafis, Muhammad Wahyu dkk. (ed.), Kontekstualitas Ajaran Islam, 70 tahun

Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, M.A (Jakarta: IPHI-Paramadina, 1995).

Nasir, Mohamad Abdun, Positivisasi Hukum Islam di Indonesia 1970-2000, Tesis,(Semarang: IAIN Walisongo, 2002).

Nasution, Harun dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Obor, 1985).

Rahman, Fazlur, Tema-tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983).

Rofiq, Ahmad, Ahmad. Hasan and Islamic Reform in Indonesia (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999).

______, Nuansa dan Tipologi pembaharuan hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Rosada, 1998).

Sadzali, Munawir, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” Iqbal Abdur Rauf (ed.),

Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).

(22)

Sirry, Mun’in A. (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat

Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004).

Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam hukum Islam (Medan: Angkasa Raya, 1993).

Thalib, Sayuti (ed.), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, in Memoriam Prof.

Mr. Dr. Hazairin (Jakarta: UI Press, 1976).

Tibbi, Bassam, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Ahsin Muhamad dan Zainul Abbas (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 17.Distribusi Frekuensi Tanggapan Tentang Prosedur Peminjaman Yang Diterapkan Dalam Layanan Sirkulasi Di Perpustakaan SMA Negeri 10 Makassar.. Dari data

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan manajemen laba riil sebelum dan sesudah dilakukan

Nilai-nilai humanisme di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah dapat di lihat dalam bentuk bagaimana seorang pendidik disana memperlakukan siswa bukan hanya sebagai obyek didik

Selain pendapat Imam az-Zuhrī di atas, pendapat lain yang digunakan oleh MUI adalah pendapat mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi, yang membolehkan wakaf uang dinar dan

Tempe yang paling tidak disukai oleh pa- nelis adalah tempe kacang tunggak dengan menggunakan ragi dari tepung tempe kare- na tekstur dari tempe tersebut memiliki ka- pang

Koreksi oleh Bagian Keuangan Sekretariat Nasional merupakan proses pemeriksaan pertama dan bersifat internal terhadap catatan dan laporan Komunitas, sebelum proses

Telah dilakukan penelitian penentuan tingkat intrusi air laut menggunakan metode geolistrik resistivitas konfigurasi wenner schlumberger dan konduktivitimeter di

Dari rangkaian ayat 238-242 surat al-Baqarah di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai pemahaman, manusia harus melalui proses, dengan mendayagunakan akalnya,