• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Eksekusi Benda Jaminan yang Dibebani Hak Tanggungan Pada Debitur Pailit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Eksekusi Benda Jaminan yang Dibebani Hak Tanggungan Pada Debitur Pailit"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank dalam menyalurkan

dananya kepada masyarakat dengan nilai pinjaman menengah ke atas pada umumnya

akan meminta suatu jaminan terhadap debitur. Dalam pelaksanaan penyaluran

pinjaman atau yang lebih dikenal dengan penyaluran dana kredit maka jaminan yang

diwajibkan oleh kreditur terdiri dari dua jenis yaitu jaminan benda bergerak yang

diikat dengan jaminan fidusia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Jaminan

Fidusia No. 42 Tahun 1999 dan benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan

yang diikat dengan jaminan hak tanggungan sesuai dengan ketentuan yang termuat

dalam Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996.

Untuk penyaluran dana kredit dalam skala menengah dan besar pada

umumnya, kreditur lebih menyukai bentuk jaminan berupa benda tidak bergerak

berupa tanah dan bangunan yang dapat diikat dengan jaminan hak tanggungan. Hal

ini disebabkan karena benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan tersebut lebih

aman untuk dijadikan jaminan karena di samping sifatnya yang sulit untuk dialihkan

kepemilikannya juga memiliki nilai ekonomi yang cukup baik karena akan

mengalami kenaikan harga dari waktu ke waktu. Disamping itu dalam pelaksanaan

penyaluran kredit dengan jaminan hak tanggungan tersebut kreditur akan melakukan

(2)

Tanggungan (APHT) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang

dilakukan oleh debitur selaku pemberi hak tanggungan dan kreditur.1

Setelah dilakukan pengikatan jaminan hak tanggungan dihadapan PPAT maka

APHT tersebut akan didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk memperoleh sertipikat

hak tanggungan sebagai bukti bahwa tanah dan bangunan tersebut telah berada dalam

penguasaan kreditur yang telah diberikan oleh debitur pemberi hak tanggungan

hingga pelaksanaan penyaluran kredit tersebut berakhir dengan pelunasan oleh

debitur. Sertipikat hak atas tanah yang telah diikat dengan jaminan hak tanggungan

tersebut akan diberikan tanda telah dibebani jaminan hak tanggungan oleh Kantor

Pertanahan sesuai dengan peringkatnya, sehingga masyarakat umum mengetahui

bahwa tanah atau bangunan tersebut sedang dalam tahap pembebanan hutang oleh

debitur terhadap kreditur.

Hal ini mengingatkan masyarakat apabila hendak membeli tanah/bangunan

tersebut maka ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur untuk terlebih dahulu

melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur sehingga keterangan pembebanan

jaminan hak tanggungan yang termuat di dalam sertipikat hak atas tanah tersebut

dapat diroya oleh Kantor Pertanahan tempat di mana tanah tersebut berada. Dengan

terjadinya roya atas sertipikat hak atas tanah maka pembebanan hutang debitur

(3)

pemberi hak tanggungan telah dihapus karena telah dilunasi hutang-hutangnya

kepada kreditur.2

Pengikatan jaminan hak tanggungan dalam memberi pinjaman oleh kreditur

kepada debiturnya dalam suatu perjanjian kredit atau pengakuan hutang tidak

sepenuhnya aman dari tunggakan atau permasalahan dikemudian hari. Dalam praktek

pelaksanaan perjanjian kredit atau pengakuan hutang dengan jaminan hak

tanggungan, debitur pemberi hak tanggungan dapat saja tidak mampu lagi untuk

melunasi hutang-hutangnya kepada kreditur. Sehingga kreditur melakukan

upaya-upaya hukum berupa penerbitan surat peringatan sebanyak tiga kali kepada debitur,

mengadakan pendekatan secara persuasif kepada debitur atau bahkan memberikan

suatu program restrukturisasi atas hutang-hutang debitur dengan memberikan

kemudahan pemotongan bunga maupun biaya-biaya administrasi lainnya serta

memperkecil bunga kredit agar debitur dapat kembali lancar untuk membayar

hutang-hutangnya.3

Jika seluruh upaya hukum telah dilaksanakan oleh kreditur namun pihak

debitur tidak juga dapat melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutangnya

maka kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan hak tanggungan

dengan menjual objek jaminan hak tanggungan melalui lelang oleh badan lelang atau

dengan kesepakatan antara debitur pemberi hak tanggungan dengan kreditur melalui

2 M. Khoidin, 2012, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan, Hak Tanggungan dan Eksekusi

Objek Hak Tanggungan,Laksbang Justitia, Surabaya, hal 2.

3J. Satrio,2012,Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan,Citra Aditya

(4)

penjualan objek jaminan hak tanggungan di bawah tangan yang tujuannya untuk

memperoleh harga tertinggi sebagai solusi terbaik bagi para pihak yaitu kreditur dan

debitur pemberi hak tanggungan tersebut.4

Pelaksanaan penjualan objek jaminan hak tanggungan secara di bawah tangan

atau melalui badan lelang adalah upaya kreditur untuk mengambil pelunasan

piutangnya terhadap debitur pemberi hak tanggungan dan apabila ada sisa dari

penjualan objek jaminan hak tanggungan tersebut maka harus dikembalikan kepada

debitur, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UUHT No. 4 Tahun 1996 yang

menyebutkan bahwa, “Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan

pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri

melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan

tersebut”.

Selanjutnya Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT No. 4 Tahun 1996

menyebutkan bahwa:

“Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT No. 4 Tahun 1996 atau title eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT No. 4 Tahun 1996, objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya”, selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa, “Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”. Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun 1996

4Rachman Marwali,2012,Pembatalan APHT Akibat Tidak Berwenangnya Debitur Pemberi

(5)

menyebutkan bahwa, “Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperoleh menurut ketentuan undang-undang ini”.

Dari ketentuan Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun 1996 dapat dikatakan bahwa

meskipun debitur pemberi hak tanggungan telah dinyatakan pailit namun terhadap

objek hak atas tanah dan bangunan yang telah diikat atau dibebani dengan jaminan

hak tanggungan tetap menjadi kewenangan dari pemegang sertipikat hak tanggungan,

sehingga objek hak atas tanah yang telah diikat dengan jaminan hak tanggungan

tersebut tetap dapat dieksekusi oleh kreditur.5

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang

KPKPU berpengaruh besar terhadap lembaga keuangan debitur yang mengalami

kesulitan untuk membayar utangnya yang telah jatuh tempo serta mempunyai

minimal dua kreditur, maka menurut hukum debitur dapat dinyatakan pailit dengan

putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu

atau lebih krediturnya. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa

syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan adalah:

1. Terdapat minimal 2 (dua) orang kreditur;

2. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang;

3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.6

5Sunarmi, 2009,Hukum Kepailitn, USU Press, Medan, hal 16.

6 Man HS Sastawidjaja, 2006, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

(6)

Pasal 15 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan dalam, putusan pailit harus diangkat

seorang Kurator dan Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan. Dalam hal

debitur, kreditur atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pailit tidak

mengajukan usul pengangkatan Kurator, maka Pengadilan menunjuk Balai Harta

Peninggalan selaku Kurator.

Pernyataan putusan pailit seorang debitur dilakukan oleh Hakim Pengadilan

Niaga dengan suatu putusan (vonnis)dan tidak dengan suatu ketetapan (beschikking).

Hal ini disebabkan suatu putusan menimbulkan suatu akibat hukum baru, sedangkan

ketetapan tidak menimbulkan akibat hukum baru tetapi hanya bersifat deklarator saja.

Pernyataan pailit menimbulkan akibat hukum baru seperti:

1. Debitur yang semula berwenang mengurus dan menguasai hartanya menjadi

tidak berwenang mengurus dan mnguasai hartanya.

2. Terhadap perikatan yang dibuat sesudah ada putusan pernyataan pailit, maka

perikatan tersebut tidak dapat dibayar dengan harta pailit.

3. Terhadap tuntutan atas harta pailit yang ditujukan terhadap debitur pailit, hanya

dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan dalam verifikasi.

4. Terhadap eksekusi pelaksanaan putusan pengadilan atas kekayaan debitur pailit

dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat

dilaksanakan termasuk juga menyandera debitur pailit.

5. Pasal 32 UUKPKPU menyebutkan akibat kepailitan, terhadap uang paksa

(7)

6. Terhadap perjanjian timbal balik yang kemungkinan dilakukan oleh debitur

sebelum pailit, maka Pasal 36 UUKPKPU mengatur sebagai berikut:

a. Pihak yang melakukan perjanjian dapat meminta kepada Kurator untuk

memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut;

b. apabila tidak tercapai kesepakatan atas jangka waktu tersebut, maka Hakim

Pengawas menetapkan jangka waktu tersebut;

c. apabila atas jangka waktu yang ditetapkan, pihak Kurator tidak memberikan

jawaban atau tidak bersedia melanjutkan perjanjian maka perjanjian berakhir

dan pihak yang mengadakan perjanjian dapat menuntuk ganti rugi dan

berkedudukan sebagai krediturkonkuren;

d. apabila Kurator menyatakan kesangggupannya, maka Kurator memberikan

jaminan atas kesanggupannya;

e. ketentuan tersebut tidak berlaku bagi perjanjian yang mengharuskan debitur

melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan;

7. Terhadap perjanjian sewa menyewa, menurut pasal 38 UUKPKPU, maka:

a. Kurator atau yang menyewakan dapat menghentikan perjanjian sewa

menyewa dengan syarat penghentian perjanjian sewa menyewa itu dilakukan

sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan kebiasaan setempat;

b. apabila uang sewa telah dibayar dimuka, maka perjanjian sewa tidak dapat

dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya perjanjian sewa;

c. sejak tanggal putusan pailit, maka uang sewa termasuk merupakan utang

(8)

8. Pasal 39 UUKPKPU mengatur tentang akibat pailit terhadap perjanjian kerja

yaitu pekerja yang bekerja pada debitur pailit dapat memutuskan hubungan kerja

dan di pihak lain, Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan

jangka waktu menurut persetujuan atau perundang-undangan. Perlu diperhatikan,

bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan paling singkat 45 hari

sebelumnya. Di samping itu, sejak tanggal putusan pernyataan pailit, upah yang

terutang sesudah atau sebelum pernyataan putusan pailit diucapkan merupakan

utang harta pailit.

9. Terhadap harta warisan, Pasal 40 UUKPKPU menerangkan bahwa terhadap harta

warisan yang diterima debitur selama kepailitan, maka Kurator tidak boleh

menerimanya.7

10. Terhadap status hukum objek jaminan yang dibebani oleh hak jaminan berupa

gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan, UUKPKPU mengatur dalam

ketentuan Pasal 55 ayat (1) yang menyebutkan bahwa dengan tetap

memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan

Pasal 58, setiap kreditur pemegang gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan

dapat mengeksekusi haknya seolah–olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan Pasal

55 UUKPKPU sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 21 UUHT yang mengakui

hak seperatis dari pemegang hak jaminan sebagaimana ditentukan dalam Kitab

(9)

Undang-Undang Hukum Perdata. Pencantuman ketentuan Pasal 55 ini sangat

penting bagi kepentingan dan perlindungan kepada debitur separatis.8

Selanjutnya Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa, “Hak

eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak

ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur pailit atau

kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan

pailit diucapkan”. Pasal 56 ayat (2) UU KPKPU juga menyebutkan bahwa,

“Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap tagihan

kreditur untuk memperjumpakan utang (set off)”. Pasal 56 ayat (3) UUKPKPU

menyebutkan bahwa, “Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak

maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang

berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur, dalam

hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur dan pihak

ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dari ketentuan tersebut di atas dapat dikatakan, terdapat ketidak konsistenan

dengan asas hukum pada umumnya serta asas hukum jaminan pada khususnya. Pasal

55 ayat 1 UUKPKPU terdapat kata “seolah-olah” dapat menimbulkan multi tafsir.

Yang dimaksud dengan multi tafsir di sini adalah hak eksekusi kreditur sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU dan hak pihak ketiga untuk menuntut

8 Sutan Remi Sjahdeni, 2009,Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang

(10)

hartanya yang berada dalam penguasaan Debitur pailit atau Kurator, ditangguhkan

untuk paling lama 90 (sembilan puluh) sejak putusan pernyataan pailit diucapkan.9 Penangguhan tidak berlaku terhadap tagihan kreditur yang dijamin dengan

uang tunai dan hak kreditur untuk memperjumpakan hutang.10 Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1) Kurator dapat menggunakan

harta pailit berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak atau menjual harta

pailit yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha

debitur. Untuk itu disyaratkan telah diberikan perlindungan yang wajar bagi

kepentingan kreditur atau pihak ketiga.11

Dipihak lain ada konflik norma antara ketentuan hukum jaminan dengan

ketentuan UU KPKPU karena Pasal 6 Undang Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun

1996. Pasal 6 menyebutkan apabila debitur cedera janji, pemegang hak tanggungan

pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri

melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil

penjualannya.

Sebagai salah satu ciri dan preferensi hak tanggungan dan merupakan

perwujudan dari asas droit de preference. Sistem hukum jaminan yang baik adalah

hukum jaminan yang mengatur asas-asas dan norma-norma hukum yang tidak

tumpang tindih atau bertentangan satu sama yang lainnya. Asas hukum dalam hukum

9 Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

10 Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

11 Pasal 56 ayat 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

(11)

jaminan harus berjalan secara harmonis dengan asas hukum yang ada pada bidang

hukum jaminan kebendaan lainnya termasuk dengan hukum kepailitan. Ketidak

sinkronan pengaturan asas-asas hukum jaminan dengan ketentuan dalam hukum

kepailitan akan dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan hukum jaminanan

itu sendiri, terutama berkaitan dengan kedudukan benda jaminan dan proses

hukumnya.12

Ketentuan Pasal 59 Undang-Undang KPKPU, juga bertentangan dengan Pasal

21 Undang-Undang Hak Tanggungan. Menurut Pasal 21 Undang-Undang Hak

Tanggungan yang menentukan bahwa,”Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan

pailit, maka pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang

diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan”. Sementara itu,

ketentuan Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU menyebutkan dengan tetap memperhatikan

ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 UUKPKPU, kreditur seperatis harus

melaksanakan haknya tersebut dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah

dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)

UUKPKPU. Adapun ketentuan Pasal 178 ayat (1) UUKPKPU mengatur tentang

pemberesan harta pailit yang menyatakan bila dalam rapat pencocokan piutang:

1. tidak ditawarkan rencana perdamaian;

2. rencana perdamaian dari debitur tidak diterima kreditur;

3. rencana perdamaian debitur diterima kreditur tetapi tidak disahkan

(dihomologasi)oleh Pengadilan atau homologasinya ditolak berdasakan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka demi hukum kepailitan berada

12Robintan Sulaiman & Joko Prabowo, 2000,Lebih Jauh Tentang Kepailitan, Jakarta, Pusat

(12)

dalam keadaan insolvensi (fase kedua kepailitan). Hal ini menunjukkan bahwa harta pailit sudah sampai pada fase pemberesan.13

Berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU di atas, kreditur separatis

sudah mulai melaksanakan haknya dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan

setelah dimulainya fase kedua insolvensi atau fase esekutor, sehingga kreditur

separatis tidak dapat melaksanakan haknya pada fase pertama yaitu fase penitipan

(fase conservatoir). Apabila penafsiran itu benar, telah terjadi pengingkaran terhadap

azas hukum yang berlaku bagi kreditur separatis, yaitu dapat mengeksekusi haknya

seolah-olah tidak terjadi kepailitan seperti yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1)

UUKPKPU.14

Hak dari kreditur separatis yang juga dijamin oleh Undang-Undang Hak

Tanggungan. Keadaan yang demikian menunjukkan adanya konflik norma yang

menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku ekonomi khususnya pemegang hak

jaminan antara Undang-Undang KPKPU dengan UUHT yang mengatur tentang hak

kreditur separatis.15

Hak-hak kreditur pemegang hak tanggungan telah dilindungi dengan

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang secara tegas diatur dalam

Pasal 20 ayat 1 dan Pasal 21 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan. Dengan adanya konflik norma, diperlukan suatu asas untuk

13 Man S.Sastrawidjaja,op cit.,hal 133 - 134 14Ibid,hal 134.

15 Gunawan Widjaja, 2003, Tanggung Jawab Dreksi Atas Kepailitan Perseroan, Raja

(13)

menyelesaikan yaitu asaslex specialis derogate legi generalis, yaitu ketentuan mana

yang dianggap sebagai ketentuan umum dan mana dianggap ketentuan khusus.

Menurut Pasal 1131 KUH Perdata, “segala kekayaan seorang debitur baik

yang berupa benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik yang sudah ada

maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan

utangnya”. Dengan berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata itu, maka dengan

sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang debitur

kepada setiap krediturnya atas segala kekayaan debitur.16 Namun demikian, apabila debitur cidera janji dan debitur tersebut mempunyai beberapa kreditur atau apabila

debitur pailit dan harta kekayaannya harus dilikuidasi, maka kreditur mempunyai hak

terhadap harta kekayaan debitur sebagai jaminan bagi piutangnya masing-masing.

Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa harta kekayaan debitur ini

menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberi hutang

kepada debiturnya. Menurut Pasal 1132 KUH Perdata, hasil dari penjualan

benda-benda yang menjadi kekayaan debitur itu dibagi kepada semua krediturnya secara

seimbang atau proposional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing.

Namun Pasal 1132 KUH Perdata memberikan indikasi bahwa diantara para kreditur

itu dapat didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya apabila ada alasan-alasan

16Sutan Remi Sjahdeni, 2009,Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan

(14)

yang sah untuk didahulukan itu. Alasan-alasan yang dimaksud di dalam Pasal 1132

KUH Perdata adalah alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang.17

Alasan-alasan yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 1133 KUH Perdata

yaitu hak untuk didahulukan bagi kreditur tertentu terhadap kreditur lain timbul dari

hak Istimewa, gadai, hipotik atau hak tanggungan.18

Pasal 1134 KUH Perdata menyebutkan bahwa “gadai dan hipotik lebih tinggi

daripada hak istimewa kecuali dalam hal oleh Undang-Undang ditentukan

sebaliknya”.19

Dalam hal-hal tertentu, ada kalanya seorang kreditur menginginkan untuk

tidak berkedudukan sama dengan kreditur-kreditur lain. Karena kedudukan yang

sama dengan kreditur-kreditur lainnya berarti mendapatkan hak berimbang dengan

kreditur-kreditur lain dari hasil penjualan harta kekayaan debitur, apabila debitur

cidera janji menurut ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Kedudukan yang

berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian

piutangnya. Kreditur yang bersangkutan tidak akan pernah tahu akan adanya

kreditur-kreditur lain yang mungkin muncul di kemudian hari. Makin banyak kreditur-kreditur dari

debitur yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian

piutang yang bersangkutan dan apabila karena sesuatu hal si debitur berada dalam

17Ibid,hal 8.

18Lembaga Hak Tanggungan yang diatur oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 adalah

dimaksud sebagai pengganti dariHypotheeksebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(15)

keadaan tidak mampu bayar (insolven) yang akibatnya kemungkinan dapat

dinyatakan pailit oleh keputusan Pengadilan dan harta kekayaannya dilikuidasi.

Pengadaan hak-hak jaminan oleh Undang-Undang seperti hipotik, fidusia,

gadai dan hak tanggungan adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang

kreditur tertentu untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain. Itulah tujuan dari

eksistensi Hak Tanggungan yang diatur di dalam UUHT.20

Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel

voor Indonesie) menyebutkan “selama dalam Kitab Undang-Undang ini terhadap

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak diadakan penyimpangan khusus maka

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku terhadap hal-hal yang dibicarakan

dalam Kitab Undang-Undang ini”.21 Meskipun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, namun Hukum Kepailitan termasuk dalam ruang lingkup

hukum dagang.22

Kepailitan merupakan suatu Lembaga Hukum Perdata sebagai realisasi dari 2

(dua) asas pokok yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal 1131

KUH Perdata menentukan bahwa “semua benda bergerak dan benda tidak bergerak

dari seorang debitur, baik yang sekarang ada, maupun yang akan diperolehnya (yang

masih akan ada) menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan pribadinya”.

Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa bahwa “benda-benda itu dimaksudkan sebagai jaminan bagi para krediturnya bersama-sama dan dari hasil penjualan atas benda-benda itu akan dibagi di antara mereka secara seimbang

20Ibid,hal 10.

(16)

menurut imbangan / perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali bilamana di antara mereka atau para kreditur terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah”.23

Berdasarkan pemahaman di atas, maka ketentuan hukum jaminan hak

tanggungan yang termuat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 adalah

merupakan ketentuan hukum umum(lex generalis), sehingga Undang-Undang No. 37

Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah

merupakan ketentuan hukum khusus(lex specialis) yang merupakan penerapan lebih

lanjut dari Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata, sehingga dengan

demikian apabila terjadi konflik antara Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang

hak tanggungan dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan

penundaan kewajiban pembayaran hutang, maka sebagai lex specialis

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yang berlaku dalam pengaturannya.24

Dari uraian di atas untuk membahas lebih lanjut mengenai eksekusi benda

jaminan yang dibebani hak tanggungan saat debitur dinyatakan pailit oleh putusan

pengadilan yang telah berkekuatan tetap maka penelitian ini diberi judul “Analisis

Yuridis Terhadap Eksekusi Benda Jaminan Yang Dibebani Hak Tanggungan Pada

Debitur Pailit”.

23Ibid,hal 20.

24Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi: Segala barang-barang bergerak dan barang-barang tidak

(17)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap pelaksanaan eksekusi benda jaminan

yang telah dibebani hak tanggungan pada debitur telah dinyatakan pailit oleh

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap?

2. Bagaimanakah prosedur dan tata cara pelaksanaan eksekusi benda jaminan

yang telah diikat dengan Hak Tanggungan apabila debitur telah dinyatakan

pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap berdasarkan Undang-Undang KPKPU?

3. Bagaimanakah kedudukan kreditur pemegang sertipikat Hak Tanggungan

apabila debitur telah dinyatakan pailit oleh suatu keputusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum terhadap pelaksanaan

eksekusi benda jaminan yang telah dibebani hak tanggungan dimana debitur

telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

(18)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan benda jaminan yang telah

dibebani dengan hak tanggungan apabila debitur pailit.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur dan tata cara pelaksanaan eksekusi

benda jaminan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan apabila debitur telah

dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap berdasarkan Undang-Undang KPKPU.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

secara praktis dibidang hukum hak tanggungan dalam kaitannya dengan pailitnya

seorang debitur pada saat dilaksanakannya eksekusi objek jaminan hak tanggungan.

Hal ini didasarkan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

bidang hukum Hak Tanggungan yaitu UUHT No. 4 Tahun 1996, dan

ketentuan-ketentuan tentang UU KPKPU yang termuat di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang memuat

ketentuan tentang prosedur dan tata cara eksekusi objek jaminan hak tanggungan oleh

kreditur terhadap debitur yang telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana diketahui bahwa dalam pelaksanaan

pengikatan objek jaminan hak tanggungan antara kreditur dan debitur pemberi hak

tanggungan setelah APHT tersebut didaftarkan dan kreditur telah memperoleh

sertipikat Hak Tanggungan maka kreditur memiliki hak-hak istimewa (droit de

(19)

hak tanggungan tersebut berada (droit de suite). Namun apabila debitur dinyatakan

pailit oleh suatu keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap maka ada

ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh kreditur dalam pelaksanaan eksekusi

objek jaminan hak tanggungan tersebut.

1. Secara Teoretis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi

perkembangan hukum hak tanggungan pada umumnya, prosedur dan tata cara

pengikatan objek jaminan hak tanggungan oleh debitur dan kreditur, dan prosedur

tata cara pelaksanaan eksekusi objek jaminan hak tanggungan apabila debitur telah

dinyatakan pailit oleh suatu keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan:

a. Kepada masyarakat

b. Kepada praktisi,

c. Kepada pihak-pihak terkait

Mengenai hukum hak tanggungan pada umumnya, prosedur dan tata cara pelaksanaan

pengikatan objek jaminan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit atau

perjanjian pengakuan hutang berdasarkan UUHT, dan pelaksanaan eksekusi objek

jaminan hak tanggungan apabila debitur telah dinyatakan pailit oleh suatu putusan

(20)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas

Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister

Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum

pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan

dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Kiki Puspita Maya Sari, NIM. 107011119/MKn, dengan judul tesis “Analisis

Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Secara

Cross Collateral(Studi di PT Bank Mandiri (Persero, Tbk) Cabang Medan Imam

Bonjol)”.

Pemasalahan yang dibahas:

a. Bagaimana prosedur dan tata cara pemberian pelaksanaan kredit secaracross

collateralpada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk?

b. Bagaimana pelaksanaan sistem pemberian kredit secara cross collateral

dengan pemberian jaminan Hak Tanggungan pada PT Bank Mandiri

(Persero), Tbk?

c. Bagaimana penyelesaian kredit bermasalah bagi debitur yang wanprestasi

dalam pengikatan kredit secara cross collateral pada PT Bank Mandiri

(Persero), Tbk?

2. Marcell Soekendar, NIM 067011049, dengan judul tesis “Pelaksanaan

pembebanan Hak Tanggungan atas tanah sebagai jaminan kredit pada PT. Dipo

(21)

Pemasalahan yang dibahas:

a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur dan debitur dalam

perjanjian jaminan kredit bank berdasarkan UUHT?

b. Bagaimana pelaksanaan APHT atas tanah sebagai jaminan kredit?

c. Bagaimana hambatan yang dihadapi PT Bank Dipo Internasional Cabang

Medan dalam melakukan eksekusi Hak Tanggungan atas tanah sebagai

jaminan kredit?

3. Manusun Nainggolan, NIM. 137011019/MKn, dengan judul tesis “Kedudukan

Hukum Kreditur Terhadap Objek Hak Tanggungan Atas Pembatalan Akta

Pemberian Hak Tanggungan Oleh Pengadilan Akibat Tidak Berwenangnya

Pemberi Hak Tanggungan (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1842

K/Pdt/2003)”

Pemasalahan yang dibahas:

a. Bagaimana proses pembebanan Hak Tanggungan atas objek Hak

Tanggungan sebagai jaminan kredit?

b. Bagaimana dasar pertimbangan majelis hakim dalam putusan Mahkamah

Agung No. 1842 K/Pdt/2003 dalam perkara pembatalan APHT akibat tidak

berwenangnya pemberi Hak Tanggungan ?

c. Bagaimana akibat hukum pembatalan APHT oleh pengadilan terhadap bank

(22)

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang

penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga

penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,25dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau

permasalahan(problem)yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis.26

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepastian

hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya

aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh

atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari

kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum

itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh

Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam

undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hukum antara

25JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, 1996,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,(Jilid

I), FE UI, Jakarta, hal 203.

(23)

putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa

yang telah diputuskan.27

Hukum pada hakikatnya adalah bersifat abstrak meskipun dalam

manifestasinya bisa berwujud konkret. Eksekusi benda jaminan yang dibebani hak

tanggungan pada debitur pailit juga harus menimbulkan suatu kepastian hukum bagi

kreditur pemegang sertipikat jaminan hak tanggungan, sehingga dalam pelaksanaan

pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan tersebut, kreditur pemegang

sertipikat jaminan hak tanggungan dapat menuntut hak-haknya atas objek jaminan

hak tanggungan, meskipun debitur telah dinyatakan pailit oleh suatu putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

UUHT No. 4 Tahun 1996 sebagai dasar hukum pelaksanaan pengikatan

jaminan hak tanggungan memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang

sertipikat hak Tanggungan untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan hak

Tanggungan tersebut sebagai dasar pengambilan piutangnya dari debitur yang telah

wan prestasi dengan adanya ketentuan bahwa objek jaminan hak tanggungan

mengikuti ditangan siapapun objek jaminan hak tanggungan berada. Hal ini dikenal

dengan droit de suite. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun objek

jaminan hak tanggungan tersebut telah berada dalam pengawasan kurator karena

debitur telah dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap, namun kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan tetap memiliki hak

27Meter Mahmud Marzuki, 2008, Penganar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,

(24)

untuk menuntut pengembalian objek jaminan hak tanggungan tersebut dari tangan

kurator sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam UUHT No. 4 Tahun 1996.

Teori kepastian hukum ini akan digunakan sebagai pisau analisis untuk

mengkaji tentang pelaksanaan eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan oleh kreditur

pada saat debitur telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadian Landasan hukum

yang menjadi dasar bagi kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan untuk

menuntut pengembalian objek jaminan hak tanggungan tersebut dari kurator adalah

UUHT No. 4 Tahun 1996 yang menganut asas droit de suite tersebut. Apabila

kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan tersebut tidak dapat menuntut

pengembalian objek jaminan hak tanggungan yang merupakan kewenangannya dari

tangan kurator maka telah terjadi ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan

pengikatan jaminan hak tanggungan sebagaimana yang dijamin oleh UUHT No. 4

Tahun 1996 tersebut.

Teori kepastian hukum akan menganalisa ketentuan hukum yang termuat di

dalam UUHT No. 4 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

KPKPU dan akan membandingkan kepastian hukum pengikatan jaminan hak

tanggungan dimana debiturnya telah dinyatakan pailit oleh suatu putusan pengadilan

yang telah berkekuatan hukum tetap.

Kewenangan kurator dalam menguasai objek jaminan hak tanggungan

sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang

KPKPU dan menyatakan bahwa kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan harus

(25)

objek jaminan hak tanggungan tersebut merupakan suatu penundaan kepastian hukum

atas kewenangan kreditur dalam menguasai objek jaminan hak tanggungan apabila

debitur wanprestasi yang dijamin kepastian hukumnya oleh UUHT No. 4 Tahun

1996.

2. Konsepsi

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi

suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational defenition. Pentingnya definisi

operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran

mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab

permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar

secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah

ditentukan, dalam Undang-Undang yaitu :

1. Hak Tanggungan merupakan jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah

dan bangunan berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah itu, untuk jaminan pelunasan utang tertentu dimana

kreditur pemegang sertipikat hak tanggungan tersebut memiliki kedudukan yang

diutamakan dalam pengambilan piutangnya terhadap objek hak tanggungan

tersebut dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya.28

2. Kreditur adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang piutang

tertentu;29

(26)

3. Debitur adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang piutang

tertentu;30

4. Pejabat Pembuat Akte Tanah yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat

umum yang diberi wewenang untuk membuat akte perpindahan hak atas tanah,

akte pembebanan hak atas tanah, dan akte pemberian kuasa membebankan Hak

Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;31

5. Akte Pemberian Hak Tanggungan adalah akte PPAT yang berisi pemberian Hak

Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan

piutangnya;32

6. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah

kabupaten, kotamadya atau wilayah administratif lainnya yang setingkat, yang

melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum

pendaftaran tanah.33

Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Undang-Undang Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, disebutkan:

1. Kepailitan adalah sita yang umum atas semua kekayaan Debitur pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan

Hakim Pengawas;34

30Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 31Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 32Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 33Pasal 1 ayat 6 Undang–Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

34 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

(27)

2. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

Undang-Undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan;35

3. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau

Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan;36

4. Debitur pailit adalah debitur yang sudah pailit dengan putusan Pengadilan;37 5. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat

oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitur pailit di

bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang;38

6. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah

uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara

langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari,yang timbul karena

perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila

tidak dipenuhi memberikan hak bagi Kreditur untuk mendapatkan

pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.39

7. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.40

35 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

36 Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

37 Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

38 Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

39 Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

40 Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

(28)

8. Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan

pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.41

9. Hari adalah hari kalender dan apabila hari terakhir dari suatu tenggang waktu

jatuh pada hari Minggu atau hari libur, belaku hari berikutnya.42

10. Tenggang waktu adalah jangka waktu yang harus dihitung dengan tidak

memasukkan hari mulai berlakunya tenggang waktu tersebut.43

11. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang

berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi.44 Berdasarkan tingkatannya Kreditur Kepailitan dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu:

1. Kreditur Seperatis adalah kreditur yang dapat melaksanakan haknya seolah-olah

tidak terjadi kepailitan;

2. Kreditur Preferen adalah kreditur yang diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata dan

pasal 1149 KUHPerdata;

3. Kreditur Konkuren adalah kreditur yang tidak mempunyai hak istimewa sehingga

kedudukannya sama satu dengan lainnya.45

41 Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

42 Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

43 Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

44 Pasal 1 ayat 11 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

(29)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu

masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas

terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian

metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk

memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.46

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana pendekatan

terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan

yang berlaku mengenai hukum jaminan Hak Tanggungan yang termuat di dalam

ketentuan UUHT No. 4 Tahun 1996, dan Hukum Kepailitan yang termuat di dalam

UU KPKPU No. 37 Tahun 2004 dimana pelaksanaan eksekusi objek jaminan hak

tanggungan oleh kreditur pemegang hak tanggungan dilaksanakan pada saat debitur

pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit oleh suatu keputusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, maksudnya adalah dari

penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang

permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta

46Bambang Waluyo, 1996,Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, hal

(30)

yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan

dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.47

2. Sumber Data

Dalam penelitian umumnya, jenis data dibedakan antara data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama, data

sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang

berwujud laporan dan sebagainya.48Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder dalam hal ini dibagi

menjadi 3 bagian yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai

otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan

resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim dipengadilan.49 Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini adalah antara lain:

1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan;

2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan

kewajiban pembayaran hutang;

3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

4) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

47Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,2001,Penelitian Normatif,UI Press, Jakarta, hal 30. 48Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006,Pengantar Metode Penelitian Hukum,Raja Grafindo,

Persada, Jakarta, hal 30.

(31)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang fungsinya memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan Undang-Undang,

buku-buku, artikel, pendapat pakar hukum, maupun hasil penelitian yang relevan

dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang berfungsi memberikan petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang

berupa bahan hukum pustaka, seperti kamus hukum, majalah, surat kabar, jurnal

hukum, laporan ilmiah dan situs-situs internet yang dijadikan bahan bagi

penelitian ini, bila ada dan sepanjang memuat informasi yang relevan terhadap

penulisan penelitian ini.50

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

cara penelitan kepustakaan (library research). Tinjauan kepustakaan adalah suatu

langkah (review) sitesis bahan kepustakaan, mencakup kegiatan yang sistematik

dalam mengidentifikasi, mencari, menganalisa, mempelajari serta mengevaluasi

dokumen/literatur yang memuat informasi yang berkaitan dengan masalah.51

Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam

penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder mempunyai ruang

50 Nomensen Sinamo, 2010, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi

Intitama Sejahtera, Jakarta, hal 16.

(32)

lingkup yang sangat luas, meliputi surat-surat pribadi, buku-buku dan

dokumen-dokumen resmi.

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi

penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau

doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual. Dapat berupa peraturan

Perundang-undangan dan karya ilmiah, kasus-kasus yang terjadi melalui putusan dan penetapan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

b. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan studi dokumen dan pedoman wawancara. Studi dokumen merupakan

salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis

dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang

subjek. Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk

dokumentasi. Sifat utama data ini tidak terbatas pada ruang dan waktu sehingga

member peluang untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam.

Disamping menggunakan studi dokumen, penelitian ini juga menggunakan

pedoman wawancara sebagai alat pengumpulan data. Pedoman wawancara dilakukan

dengan membuat pertanyaan terlebih dahulu dan memberikan kepada pihak-pihak

terkait yaitu kurator yang mengurus harta benda pailit di kota medan yang dalam

(33)

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara metode

kualitatif, yaitu data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan

pengukuran, akan tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan serta pandangan

informan untuk menjawab permasalahan pada penelitian ini.52

Analisis kualitatif menghasilkan data yang dinyatakan oleh sasaran penelitian

yang bersangkutan secara tertulis, lisan dan perilaku nyata.53 Setelah itu ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu menyimpulkan

pengetahuan-pengetahuan konkrit mengenai kaidah yang benar dan tepat untuk

diterapkan dalam menyelesaikan suatu permasalahan (perkara) tertentu.54 Dengan begitu, kesimpulan yang didapat berupa apakah permasalahan atau perkara tertentu

telah sesuai atau tidak dengan pengetahuan-pengetahuan konkrit yang diyakini.

52 Sri Mamudji, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 67.

53Ibid,hal 68.

54Bambang Sunggono, 1996,Metodologi Penelitian Hukum,Raja Grafindo Persada, Jakarta,

Referensi

Dokumen terkait

To explore this hypothesis, we studied motor performances in 15 patients with hemispheric stroke and in 14 patients with total knee arthroplasty, which have a reduced motility in

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan service high availability dengan sistem failover dan failback pada dua arsitektur server yang berbeda yaitu native

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan umpan dan pelarut (f/s), jenis antisolvent dan jenis pelarut terhadap ekstraksi likopen

kemudian diumpankan ke separator untuk meisahkan cairan dengan uapnya. Umpan kedua yaitu oksigen yang didapat dari udara lingkungan sekitar. Meskipun yang digunakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa, akreditasi prodi, dan promosi berpengaruh terhadap keputusan mahasiswa memilih program studi Akuntansi

kemampuan yang berbeda, serta kekuatan dan kelemahan yang berbeda pula, oleh karena itu perlu ditetapkan sasaran pembinaan dan program latihan mental sesua

The change in outlook to positive reflects the substantial improvement evident in Indosat's operational and financial profiles, with the company -- over the

[r]