PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA SISWA PADA POKOK
BAHASAN PERSAMAAN LINIER SATU
VARIABEL DI KELAS VII SMP
NURUL HASANAH MEDAN
TA 2013-2014
KARYA ILMIAH
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Riset Mini
Oleh
1. RIZKI KURNIAWAN RANGKUTI
2. JARUDIN SINAGA
3. MAISYAROH MANURUNG
Program Studi Pendidikan Matematika
Jenjang Program Strata Dua (S-2)
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA SISWA PADA POKOK
BAHASAN PERSAMAAN LINIER SATU
VARIABEL DI KELAS VII SMP
NURUL HASANAH MEDAN
TA 2013-2014
KARYA ILMIAH
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Riset Mini
Oleh
1. RIZKI KURNIAWAN RANGKUTI
2. JARUDIN SINAGA
3. MAISYAROH MANURUNG
Program Studi Pendidikan Matematika
Jenjang Program Strata Dua (S-2)
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Sahat Saragih, M.Pd.
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
ABSTRAK
TIM PENELITI. “Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Pokok Bahasan Persamaan Linier Satu Variabel Di Kelas VII SMP Nurul Hasanah Medan TA 2013-2014”. Karya Ilmiah. Program Pasca Sarjana. Universitas Negeri Medan. 2013.
Telah dilakukan penelitian tentang penerapan matematika realistik untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada pokok bahasan persamaan linier satu variabel di kelas VII SMP Nurul Hasanah Medan tahun akademik 2013-2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 hari pada bulan Oktober di SMP Nurul Hasanah Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Instrument yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah adalah observasi dan tes. Penelitian ini terdiri dari 2 siklus, dalam 1 siklus terdiri dari 1 kali pertemuan, proses pertemuan pada siklus I dan siklus II siswa diberi masalah kontekstual. Sebelum tindakan dilakukan terlebih dahulu dilakukan wawancara dengan guru bidang studi matematika untuk mengetahui kemampuan awal dan kesulitan awal siswa. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa siswa belum mempelajari materi persamaan linier satu variabel, dengan demikian sebelum penelitian diberikan pengetahuan awal siswa tentang materi tersebut. Setelah pemberian tindakan I tingkat ketuntasan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa secara klasikal adalah 48,57%, dalam hal ini hanya terdapat 17 orang siswa yang telah tuntas dalam kemampuan pemecahan masalah dengan rata-rata pencapaian kelas 60,8 termasuk dalam kategori sedang. Selanjutnya setelah pelaksanaan tindakan II tingkat ketuntasan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa secara klasikal adalah 42,86%, dalam hal ini hanya terdapat 15 orang siswa yang telah tuntas dalam kemampuan pemecahan masalah dengan rata-rata pencapaian kelas 58,94 termasuk dalam kategori rendah. Dari hal tersebut ada penurunan tingkat ketuntasan klasikal sebesar 5,71% untuk kemampuan pemecahan masalah matematika. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa pembelajaran matematika realistik tidak dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada pokok bahasan persamaan linier satu variabel di kelas VII4
SMP Nurul Hasanah Padang Bulan Medan tahun akademik 2013-2014.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karuniaNya berupa ilmu pengetahuan serta limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.
Karya tulis ini berjudul “Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Pokok Bahasan Persamaan Linier Satu Variabel Di Kelas VII SMP Nurul Hasanah Medan TA 2013-2014”, disusun dalam rangka melengkapi tugas riset mini dari Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan.
Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam menyelesaikan karya tulis ini, namun penulis menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi ilmu maupun tata bahasa, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca demi sempurnanya karya tulis ini. Kiranya karya tulis ini bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya bagi dunia pendidikan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga Allah SWT senantiasa meridhoi kita semua. Amin.
Medan, 1 Desember 2013
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 3
1.3 Batasan Masalah 3
1.4 Rumusan Masalah 4
1.5 Tujuan Penelitian 4
1.6 Manfaat Penelitian 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Kajian Teoritis 6
2.1.1 Kemampuan Pemecahan Masalah 6 2.1.2 Tinjauan Belajar dan Pembelajaran 10 2.1.3 Pembelajaran Matematika Realistik 15
2.2 Kerangka Konseptual 23
2.3 Kajian Penelitian yang Relevan 25
2.3 Hipotesis Tindakan 25
BAB III METODE PENELITIAN 26
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 26
3.1.1 Lokasi Penelitian 26
3.1.2 Waktu Penelitian 26
3.2 Subjek dan Objek Penelitian 26
3.2.1 Subjek Penelitian 26
3.3 Jenis dan Pendekatan Penelitian 26
3.3.1 Jenis Penelitian 26
3.3.2 Pendekatan Penelitian 26 3.4 Prosedur dan Rancangan Penelitian 27
3.4.1 Prosedur Penelitian 27
3.4.2 Rancangan Penelitian 28
3.5 Instrumen Data 28
3.5.1 Wawancara 28
3.5.2 Dokumentasi 29
3.5.3 Tes 29
3.5.4 Observasi 30
3.6 Analisa Perangkat Tes 30
3.6.1 Reliabilitas Tes 30
3.6.2 Validitas Tes 30
3.7 Teknik Analisa Data 32
3.7.1 Reduksi Data 32
3.7.1.1 Analisis Hasil Tes Kemampuan 32 Pemecahan Masalah
3.7.1.2 Analisis Hasil Observasi 35
3.7.2 Paparan Data 36
3.7.3 Verifikasi Data 36
3.7.4 Penyimpulan Data 36
3.8 Defenisi Operasional 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 38
4.1 Hasil Penelitian 38
4.1.1 Siklus I 38
4.1.1.1 Permasalahan 38
4.1.1.2 Tahap Perencanaan Tindakan 38 4.1.1.3 Tahap Pelaksanaan Tindakan 39
4.1.1.5 Tahap Analisis Data 41
4.1.1.6 Tahap Refleksi 42
4.1.2 Siklus II 44
4.1.2.1 Permasalahan 44
4.1.2.2 Tahap Perencanaan Tindakan 44 4.1.2.3 Tahap Pelaksanaan Tindakan 45
4.1.2.4 Tahap Observasi 46
4.1.2.5 Tahap Analisis Data 47
4.1.2.6 Tahap Refleksi 50
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian 52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 55
5.1 Kesimpulan 55
5.2 Saran 56
DAFTAR PUSTAKA 57
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan-permasalahan itu tentu saja tidak semuanya merupakan permasalahan matematis, namun matematika memiliki peranan yang sangat sentral dalam menjawab permasalahan keseharian itu (Suherman, 2003:65). Ini berarti bahwa matematika sangat diperlukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari untuk membantu memecahkan permasalahan. Oleh karena itu, tidak salah jika pada bangku sekolah, matematika menjadi salah satu mata pelajaran pokok yang diajarkan dari bangku taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Namun, pada kenyataannya masih ada sebagian siswa yang merasa kesulitan dalam belajar matematika.
Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri cenderung memperlakukan siswa berstatus sebagai obyek, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, materi bersifat subject-oriented dan manajemen bersifat sentralis. Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan nyata yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian.
Dengan demikian, tidak berlebihan kiranya apabila pemecahan masalah seharusnya dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kemampuan pemecahan masalah itu dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar matematika. Keterampilan memecahkan masalah harus dimiliki oleh siswa dan ketrampilan ini akan dimiliki siswa apabila guru mengajarkan dan menstimulus kemampuan siswa untuk dapat menyelesaikan masalah dalam pembelajaran matematika.
disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika. Selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna. Kenyataan ini masih belum sesuai dengan apa yang diinginkan dalam Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yaitu agar siswa memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh (Depdiknas, 2003:4).
Pembelajaran sejauh ini masih didominasi oleh guru, siswa kurang dilibatkan sehingga terkesan monoton dan timbul kejenuhan pada siswa. Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah suatu teori dalam pendidikan matematika yang dikembangkan pertama kali di negeri Belanda. Teori ini berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus di hubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal. Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika atau pun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita. Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) dimana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan, sebagai kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka. Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika.
Berdasarkan wawancara dengan guru bidang studi matematika kelas VII4
persamaan linier satu variabel dan kemampuan matematika mereka ternyata biasa-biasa saja. Mencermati hal tersebut pemilihan pendekatan yang tepat sangat membantu keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah tersebut yaitu melalui model pembelajaran yang dapat mudah diterima oleh peserta didik dan berhubungan erat dengan lingkungan sekitar yang bersifat kontekstual. Dalam hal ini, model pembelajaran yang tepat itu ialah model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME).
Dari uraian tersebut, peneliti merasa perlu meneliti tentang “Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) untuk meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Pada Pokok Bahasan Persamaan Linier Satu Variabel di Kelas VII SMP Nurul Hasanah Padang Bulan Medan Tahun Akademik 2013-2014”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Sebagian siswa masih merasa sulit belajar matematika.
2. Rendahnya kemampuan matematika siswa disebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika.
3. Pembelajaran sejauh ini masih didominasi oleh guru, siswa kurang dilibatkan sehingga terkesan monoton dan timbul kejenuhan pada siswa.
1.3 Batasan Masalah
Dengan adanya beberapa masalah yang teridentifikasi, maka perlu dilakukan pembatasan masalah agar pengkajian penelitian ini dapat dilakukan secara lebih terarah dan mempersempit deviasinya.
Berdasarkan permasalahan yang telah teridentifikasi maka dalam penelitian ini pembatasan masalah tersebut adalah :
matematika, oleh karena itu rendahnya kemampuan pemecahan masalah perlu dibenahi melalui pembelajaran matematika realistik.
2. Pembelajaran sejauh ini masih didominasi oleh guru, siswa kurang dilibatkan sehingga terkesan monoton dan timbul kejenuhan pada siswa. Oleh karena itu perlu diterapkan pembelajaran matematika realistik agar siswa dapat lebih aktif dalam belajar dengan menemukan kembali dengan sendiri konsep matematika melalui dunia riil.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat diberikan beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi yang berupa rumusan masalah. Dalam penelitian ini rumusan masalah yang diformulasikan akan diolah menggunakan statistik kuantitatif. Rumusan masalah tersebut adalah :
1. Apakah penerapan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dapat meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah matematika siswa pada pokok bahasan persamaan linier satu variabel di kelas VII SMP Nurul Hasanah Padang Bulan Medan tahun akademik 2013-2014?
2. Bagaimanakah penerapan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) pada siswa dan guru matematika kelas VII SMP Nurul Hasanah Padang Bulan Medan tahun akademik 2013-2014?
1.5 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang diberikan maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
2. Mengetahui penerapan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) pada siswa dan guru matematika kelas VII SMP Nurul Hasanah Padang Bulan Medan tahun akademik 2013-2014.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Bagi peneliti
a. Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti tentang pelaksanaan pembelajaran dengan PMR.
b. Peneliti mampu mengidentifikasi kelemahan penyebab terhambatnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP Nurul Hasanah Padang Bulan Medan.
c. Peneliti mampu mengetahui dan memahami bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP Nurul Hasanah Padang Bulan Medan ketika diterapkan pembelajaran dengan PMR.
2. Bagi guru
a. Dapat membantu tugas guru dalam meningkatkan kemampuan pemecaham masalah siswa selama proses pembelajaran di kelas secara efektif dan efisien.
b. Dapat memberikan masukan bagi guru, yaitu cara untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
c. Mempermudah guru melaksanakan pembelajaran. 3. Bagi siswa
a. Dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika yang dipelajari.
b. Siswa dapat membangun kemampuannya sendiri.
c. Pelaksanaan pembelajaran PMR diharapkan meningkatkan motivasi dan daya tarik siswa terhadap mata pelajaran matematika.
4. Bagi sekolah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Kemampuan Pemecahan Masalah
Pengertian ‘masalah’ dapat berbeda antara satu pakar dengan pakar yang lainnya dan juga antara satu guru dengan guru lainnya. Sebagian ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Namun, mereka juga menyatakan bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah (Shadiq, 2005:38).
Suatu pertanyaan hanya disebut sebagai masalah bagi siswa jika dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Siswa memiliki pengetahuan prasyarat untuk mengerjakan soal tersebut. b. Siswa belum tahu algoritma/ cara pemecahan soal tersebut
c. Siswa mau dan berkehendak untuk menyelesaikan soal tersebut. d. Siswa diperkirakan mampu menyelesaikan soal tersebut.
(Suyitno, 2004: 35)
Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, dengan imbuhan ke-an kata mampu menjadi kemampuan yaitu berarti kesanggupan atau kecakapan. Pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal (Wardhani, 2005:93). Jadi, kemampuan pemecahan masalah adalah kecakapan untuk menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal.
Secara garis besar langkah-langkah pendekatan pemecahan masalah mengacu kepada model empat-tahap pemecahan masalah yang diusulkan oleh George Polya (dalam Aisyah) sebagai berikut:
a. Memahami masalah
Pada tahap ini, kegiatan pemecahan masalah diarahkan untuk membantu siswa menetapkan apa yang diketahui pada permasalahan dan apa yang ditanyakan. Beberapa pertanyaan perlu dimunculkan kepada siswa untuk
membantunya dalam memahami masalah ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain:
1). Apakah yang diketahui dari soal? 2). Apakah yang ditanyakan soal? 3). Apa saja informasi yang diperlukan? 4). Bagaimana akan menyelesaikan soal?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, diharapkan siswa dapat lebih mudah mengidentifikasi unsur yang diketahui dan yang ditanyakan soal. Dalam hal ini, strategi mengidentifikasi informasi yang diinginkan, diberikan, dan diperlukan akan sangat membantu siswa melaksanakan tahap ini. Perhatikan contoh permasalahan berikut:
(14) ” Hasil bagi dua buah bilangan cacah adalah 5. Jika jumlah kedua bilangan cacah adalah 36, tentukan kedua bilangan cacah tersebut.
Penyelesaian: Misalkan bilangan tersebut adalah a dan b. Diketahui : a/b = 5
a + b = 36 Ditanya : a = . . . .?
b = . . . .?
b. Membuat rencana untuk menyelesaikan masalah
c. Melaksanakan penyelesaian soal
Jika siswa telah memahami permasalahan dengan baik dan sudah menentukan strategi pemecahannya, langkah selanjutnya adalah melaksanakan penyelesaian soal sesuai dengan yang telah direncanakan. Kemampuan siswa memahami substansi materi dan keterampilan siswa melakukan perhitungan-perhitungan matematika akan sangat membantu siswa untuk melaksanakan tahap ini. Perhatikan kembali contoh penyelesaian permasalahan (14).
a/b = 5 a = 5b . a + b = 36 5b + b = 36 6b = 36 . b = 6
karena b = 6 maka a = 5 x 6 = 30
Jadi bilangan-bilangan tersebut adalah 30 dan 6. d. Memeriksa ulang jawaban yang diperoleh
Langkah memeriksa ulang jawaban yang diperoleh merupakan langkah terakhir dari pendekatan pemecahan masalah matematika. Langkah ini penting dilakukan untuk mengecek apakah hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi kontradiksi dengan yang ditanya. Ada empat langkah penting yang dapat dijadikan pedoman untuk dalam melaksanakan langkah ini, yaitu:
1). Mencocokkan hasil yang diperoleh dengan hal yang ditanyakan 2). Menginterpretasikan jawaban yang diperoleh
3). Mengidentifikasi adakah cara lain untuk mendapatkan penyelesaian masalah
bahwa 30/6 = 5 bernilai benar. Hal ini menunjukkan bahwa hasil yang kita peroleh sudah sesuai dengan yang diketahui.
Mengajar siswa untuk menyelesaikan masalah memungkinkan siswa untuk menjadi lebih analitis di dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan. Dengan kata lain bila seorang siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah siswa itu mampu mengambil keputusan sebab siswa itu menjadi mempunyai keterampilan tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.
Adapun mengenai penskoran pada kemampuan pemecahan masalah, mengadopsi penskoran pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Schoem dan Ochmke (dalam Harini, 2006:24) seperti terlihat pada tabel berikut:
Skor Memahami Masalah Merencanakan Strategi Penyelesaian Melaksanakan Strategi Penyelesaian Memeriksa Kembali Hasil 0 Salah menginterpretasik an/ tidak memahami
soal/tidak ada jawaban
Tidak ada rencana strategi
penyelesaian
Tidak ada
penyelesaian sama sekali
Tidak ada
pengecekan jawaban/hasil
1 Interpretasi soal kurang tepat/salah menginterpretasik an sebagian soal/mengabaikan kondisional Merencanakan strategi penyelesaian yang tidak relevan Melaksanakan prosedur yang benar&mungkin menghasilkan jawaban yang benar tapi salah perhitungan/penyel esaian tidak lengkap Ada pengecekan jawaban/hasil tidak tuntas
2 Memahami soal dengan baik
Membuat rencana stratgi
Melakukan
prosedur/proses yg
penyelesaian yg kurang relevan shg tidak dapat dilaksanakan/ salah
benar &
mendapatkan hasil yang benar
untuk melihat kebenaran proses
3 Membuat rencana
strategi
penyelesaian tapi tidak lengkap
4 Membuat rencana
strategi penyelesaian yang benar dan mengarah pada jawaban yang benar
Skor maksimal Skor maksimal Skor maksimal Skor maksimal
2 4 2 2
Schoem dan Ochmke (dalam Harini, 2006:24)
2.1.2 Tinjauan Belajar dan Pembelajaran
pelajaran matematika dalam mengajarkan matematika kepada siswanya, yang di dalamnya terkandung upaya guru untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, kompetensi, minat bakat, dan kebutuhan siswa yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antarsiswa (Suyitno, 2004:2). Dengan kata lain, suatu proses pembelajaran dikatakan sukses apabila seorang guru dan sejumlah siswa mampu melakukan interaksi komunikatif terhadap berbagai persoalan pembelajaran di kelas dengan cara melibatkan siswa sebagai komponen utamanya. Akan tetapi untuk mewujudkan hal tersebut perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran antara lain : kondisi internal siswa, kondisi pembelajaran dan kondisi inovatif-eksploratif.
Teori belajar yang mendukung antara lain: a. Teori belajar Piaget
Piaget (dalam Aisyah) membedakan perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat taraf, yaitu (1) taraf sensori motor, (2) taraf pra-operasional, (3) taraf operasional konkrit, dan (4) taraf operasional formal. Walaupun ada perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan, tetapi teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungan. Prinsip-prinsip Piaget dalam pengajaran diterapkan dalam program-program yang menekankan pembelajaran melalui penemuan dan pengalaman-pengalaman nyata dan pemanipulasian alat, bahan, atau media belajar yang lain serta peranan guru sebagai fasilitator yang mempersiapkan lingkungan dan memungkinkan siswa dapat memperoleh berbagai pengalaman belajar. Implikasi teori kognitif Piaget pada pendidikan adalah sebagai berikut:
dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan hanya jika guru penuh perhatian terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud.
2). Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi (ready made knowledge) tidak mendapat tekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan. Oleh karena itu, selain mengajar secara klasik, guru mempersiapkan beranekaragam kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.
3). Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu-individu ke dalam bentuk kelompok-kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal. Hal ini sesuai dengan pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran khas menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif.
b. Teori belajar Bruner
Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemeroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya.
Perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lain-lain. Informasi ini mungkin bersifat penghalusan dari informasi sebelumnya yang telah dimiliki. Sedangkan proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan. Menurut Bruner (dalam Suherman, 2003:43) belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu. Siswa harus dapat menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa dalam belajar, haruslah terlibat aktif mentalnya agar dapat mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut. Menurut Bruner (dalam Aisyah), proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga model tahapan yaitu:
1). Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata, pada penyajian ini anak tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata. Ia akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu.
2). Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif. Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif. Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi dan menggunakan penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak.
3). Tahap Simbolis
terhadap objek riil. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain. Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret (misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya ini merupakan tahap enaktif). Kemudian, kegiatan belajar dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut merupakan tahap yang kedua ikonik, siswa bisa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagenary) dari kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan, yaitu : 3 + 2 = 5.
2.1.3 Pembelajaran Matematika Reaslistik (PMR)
dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Di sini dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata (Sudharta, 2004).
Zulkardi (2001), mendefinisikan pembelajaran matematika realsitik sebagai berikut:
PMR adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal ’real’ bagi siswa, menekankan keterampilan ’process of doing mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (’student inventing’ sebagai kebalikan dari ’teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik individual maupun kelompok.
PMR berdasarkan ide bahwa mathematics as human activity dan mathematics must be connected to reality, sehingga pembelajaran matematika diharapkan bertolak dari masalah-masalah kontekstual. Teori ini telah diadopsi dan diadaptasi oleh banyak negara maju seperti Inggris, Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brazil, USA dan Jepang. Salah satu hasil positif yang dicapai oleh Belanda dan negara-negara tersebut bahwa prestasi siswa meningkat, baik secara nasional maupun internasional.
Dua pandangan penting Freudenthal (dalam Hartono) tentang PMR adalah: a. Mathematics as human activity, sehingga siswa harus diberi kesempatan
untuk belajar melakukan aktivitas matematisasi pada semua topik dalam matematika, dan
seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya; siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri; pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan; pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman; setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika. Konsepsi tentang guru sebagai berikut: guru hanya sebagai fasilitator belajar; guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif; guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial (Hartono).
Karakteristik PMR adalah menggunakan konteks ‘dunia nyata’, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment) (Treeffers dalam Sudharta, 2004).
a. Menggunakan konteks ‘dunia nyata’
Gambar berikut menunjukan dua proses matematisasi yang berupa siklus di mana ‘dunia nyata’ tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika.
Dunia Nyata
Aplikasi dan Formalisai
Gambar 1. Konsep Matematisasi (De Lange dalam Sudharta, 2004).
Dalam PMR, pembelajaran diawali dengan masalah konstekstual (‘dunia nyata’), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyaringan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (dalam Sudharta, 2004) sebagai matematisasi konseptual.
Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matemika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto dalam Sudharta, 2004).
b. Menggunakan model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan Formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematika model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematik formal.
c. Menggunakan produksi dan konstruksi
sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
d. Menggunakan Interaktif
Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam PMR. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
e. Menggunakan Keterkaitan (intertwinment)
Dalam PMR pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar atau geometri tetapi juga bidang lain.
Penerapan kelima prinsip tersebut dalam penelitian ini akan dilihat pada aktivitas yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Penerapan masing-masing prinsip oleh guru dalam pembelajaran sebagai berikut: Prinsip pertama akan dilihat apakah guru memulai pelajaran dengan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari dan memberi soal-soal pemecahan masalah yang sering terjadi dalam kehidupan siswa. Prinsip kedua, apakah guru menggunakan alat peraga yang membantu siswa menemukan rumus dan membimbing siswa menggunakannya. Prinsip ketiga, apakah guru memberi waktu kepada siswa untuk membuat pemodelan sendiri dalam mencari penyelesaian formal. Prinsip keempat, apakah guru memberi pertanyaan lisan ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung dan memberi penjelasan tentang materi dan penemuan siswa. Prinsip kelima, apakah guru memberi pertanyaan yang berkaitan dengan materi lain dalam mata pelajaran matematika atau materi mata pelajaran lain.
melakukan pemodelan untuk menemukan penyelesaian dari soal-soal. Prinsip ketiga, apakah siswa membuat pemodelan sendiri dalam mencari penyelesaian formal dan menemukan sendiri (mengkonstruksi) penyelesaian secara formal. Prinsip keempat, apakah siswa merespon aktif pertanyaan lisan dari guru dan berdiskusi dengan siswa yang lain. Prinsip kelima, apakah siswa menghubungkan materi yang sedang dipelajari dengan materi lain dalam matematika dan pengetahuan dari mata pelajaran yang lain.
Dengan mencermati prinsip pembelajaran PMR, pengertian PMR dibatasi penentuan masalah kontekstual dan lingkungan yang pernah dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari agar siswa mudah memahami pelajaran matematika sehingga mudah mencapai tujuan.
Prinsip utama dalam PMR adalah sebagai berikut (Gravemeijer, 1994:90): a. Guided Reinvention and progressive mathematization
Melalui topik-topik yang disajikan siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami sendiri yang sama sebagaimana konsep matematika ditemukan. b. Didactial phenomenology
Topik-topik matematika disajikan atas dua pertimbangan yaitu aplikasinya serta konstribusinya untuk pengembangan konsep-konsep matematika selanjutnya.
c. Self developed models
dijembatani melalui pengembangan model-model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkret menuju situasi abstrak, atau model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk memecahkan masalah, dapat menciptakan kreasi dalam kepribadian siswa melalui aktivitas di bawah bimbingan guru.
Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan PMR dapat digambarkan sebagai berikut (Sudharta, 2004):
Dunia nyata Dunia
Gambar 2. Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR
Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pembelajaran matematika realistik diawali dengan fenomena yang ada di dalam dunia nyata, kenudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi dalam model matematika kemudian membuat jawaban atas model matematika tersebut. Setelah itu diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa ke ‘situasi informal’, misalnya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal). Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru dikenalkan istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan PMR) di mana siswa sejak awal sudah dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
Masalah konkrit Model matematika
Jadi, Pembelajaran matematika realistik diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain. Jika digambarkan dalam bagan, sebagai berikut:
Gambar 3. Penemuan dan Pengkonstruksian Konsep
(Diadopsi dari Van Reeuwijk dalam Sudharta, 2004)
2.2 Kerangka Konseptual
Matematika oleh sebagian siswa dianggap sulit dan menjenuhkan. Sulit karena sifat keabstrakan matematika dan menjenuhkan karena guru dalam memelajarkan mereka hanya dengan satu arah dan monoton. Belajar siswa belum bermakna.
Dikenal empat langkah pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Polya, yaitu: memahami soal, merencanakan strategi, melaksanakan strategi dan menafsirkan atau mengecek hasil.Pembelajaran matematika selama ini, guru
Masalah Kontekstual
Strategi Informal
Formalisasi
Konsep
Pengaplikasian Konsep
langsung menyampaikan materi beserta rumus-rumusnya. Siswa tidak menemukan sendiri pengetahuan sehingga tidak bertahan lama dalam ingatan.
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan pembelajaran matematika berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal. Pembelajaran PMR dengan menerapkan kelima prinsip dapat membuat pembelajaran lebih bermakna. Dengan didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks, yaitu perhatian pembelajaran diberikan pada pengembangan model-model, situasi, skema dan simbol-simbol, dapat mengurangi keabstrakan matematika. Penerapan prinsip sumbangan dari para siswa, membuat siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif, artinya siswa memproduk sendiri dan mengkonstruksi sendiri (yang mungkin berupa algoritma, rute atau aturan) sehingga dapat membimbing para siswa dari level matematika informal menuju matematika formal. Prinsip interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika mengajak siswa untuk saling berinteraksi antarteman sehingga pembelajaran tidak sepenuhnya dipegang guru dan prinsip “Intertwinning” (membuat jalinan antartopik, antarpokok bahasan atau antar “stand”, menjadikan siswa mampu mengaitkan dengan materi yang lain atau bahkan materi mata pelajaran yang lain. Pembelajaran matematika realistik dengan menerapkan kelima prinsip khas yang dimiliki diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Dalam pembelajaran PMR dimana dalam pelaksanaannya siswa menemukan sendiri pengetahuan yang akan diperoleh melalui metode coba-coba atau menyelesaikan secara informal, membuat pengetahuan yang diperoleh dapat bertahan lama dalam ingatan. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dapat berkembang ketika menghadapai permasalahan baru.
siswa harus memahami permasalahan, sehingga dapat ditentukan arah-arah pemecahannya. Akan tetapi tidak berarti setelah memahami masalah setiap siswa akan mampu menyelesaikannya, sebab kemampuan setiap siswa tidak sama. Siswa yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi akan memiliki kemapuan pemecahan masalah yang tinggi, dan sebaliknya siswa yang tingkat kecerdasannya rendah akan memiliki kemampuan pemecahan yang rendah.
Dalam pembelajaran guru diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan memilih suatu pendekatan yang dapat mengajak siswa untuk aktif dalam memahami matematika. Salah satu pendekatan yang menjawab tuntutan ini adalah pendekatan pembelajaran matematika realistik.
Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang telah dipahami siswa untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, dengan harapan agar tujuan pembelajaran matematika dapat dipahami lebih baik dari pada masa yang lalu. Yang dimaksud dengan realita adalah hal-hal yang konkret, yang dapat diamati dan dipahami siswa melalui membayangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat siswa berada, baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami siswa.
Dalam pembelajaran matematika realistik siswa belajar mandiri atau kelompok untuk menemukan langkah dan strategi dalam memecahkan masalah kontekstual. Strategi ini dikembangkan sendiri oleh siswa berdasarkan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya. Guru hanya membantu dan membimbing siswa untuk mengambil keputusan. Melalui pemecahan masalah dalam konteks kehidupan sehar-hari siswa diberi kekuasaan untuk membentuk sendiri pengetahuan matematika mereka, dan pada akhirnya menggunakan matematika tersebut untuk memecahkan masalah. Dengan cara ini diharapkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat ditingkatkan.
Adapun penelitian yang relevan terhadap penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian dengan judul Peningkatakan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Sikap Siswa SMP Terhadap Matematika Melalui Pendekatan Matematika Realistik oleh Sarinah pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan 2013. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh Pembelajaran matematika baik dengan pembelajaran matematika realistik maupun dengan pembelajaran biasa dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan skala sikap siswa terhadap matematika.
Beliau menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan pendekatan matematika realistik dengan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran secara konvensional, kemudian proses penyelesaian jawaban siswa yang diajar dengan pendekatan matematika realistik lebih baik dan bervariasi dibandingkan dengan proses penyelesaian siswa yang diajarkan dengan pembelajaran biasa.
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka teoritis dan kerangka konseptual, maka peneliti membuat dugaan sementara sebagai berikut :
“Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dapat meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah matematika siswa pada pokok bahasan persamaan linier satu variabel di kelas VII SMP Nurul Hasanah Padang Bulan Medan tahun akademik 2013-2014”.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 hari pada semester ganjil tepatnya bulan Oktober tahun ajaran 2013-2014.
3.2 Subjek dan Objek Penelitian 3.2.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII4 SMP Nurul Hasanah Medan
tahun ajaran 2013-2014 yang berjumlah 35 siswa. 3.2.2 Objek Penelitian
Adapun objek penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa melalui pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan persamaan linier satu variabel di kelas VII4 SMP Nurul
Hasanah Medan.
3.3 Jenis dan Pendekatan Penelitian 3.3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research).
3.3.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif yang berguna untuk mengungkapkan berbagai kendala yang dialami siswa dalam hal memahami masalah, membuat rencana untuk menyelesaikan masalah, melaksanakan penyelesaian soal, memeriksa ulang jawaban yang diperoleh pada materi pelajaran persamaan linier satu variabel dan cara mengatasinya sebagai upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika.
3.4 Prosedur dan Rancangan Penelitian 3.4.1 Prosedur Penelitian
Tahapan awal yang dilakukan peneliti sebelum melaksanakan penelitian adalah wawancara. Peneliti melakukan wawancara dengan guru bidang studi matematika tempat peneliti akan melakukan penelitian dengan tujuan untuk
mengetahui keadaan awal siswa dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan siswa dalam belajar matematika. Dari hasil wawancara yang dilakukan ternyata ada sebagian siswa yang belum mengerti tentang penjumlahan dan pengurangan maka hal tersebut dijadikan sebagai dasar untuk memperbaiki permasalahan yang ditemukan melalui penelitian tindakan kelas.
Prosedur tindakan kelas terdiri dari dua siklus. Selama pemetaan tindakan dilakukan observasi terhadap perilaku peneliti dan siswa. Pada setiap pembelajaran diberikan Lembar Aktivitas Siswa (LAS). Di dalam Lembar Aktivitas Siswa tersebut berisi masalah kontekstual yang berkaitan dengan kehidupan nyata siswa yang mencakup matematika realistik dengan indikator yang akan di ukur adalah kemampuan pemecahan masalah. Apabila siklus I pembelajaran telah selesai di mana telah diketahui beberapa informasi dari hasil analisis data penelitian dan kemudian dilakukan refleksi guna membuat pembelajaran yang lebih baik, maka dari itu dilakukan siklus II untuk memperbaiki beberapa kelemahan pada siklus I sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran. Apabila hasil pembelajaran dari siklus I ke siklus II sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan berarti pada penelitian ini cukup dilakukan pada siklus II.
Dalam satu siklus terdiri atas enam tahapan yaitu : (1) Permasalahan, (2) Perencanaan tindakan, (3) Pelaksanaan tindakan, (4) Observasi, (5) Analisis data, (6) Refleksi. Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan tindak lanjut. Untuk lebih jelasnya prosedur tindakan kelas dapat dilihat sebagai berikut :
3.4.2 Rancangan Penelitian
Secara lebih rinci, prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas menurut tim pelatih proyek PGSM (dalam Rangkuti, 2012:88) adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1 Prosedur Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (Menurut Tim Pelatih Proyek PGSM)
Pelaksanaan Tindakan I Alternatif Pemecahan
(Rencana Tindakan I) Permasalahan
SIKLUS ISiklus I
Terselesaikan Refleksi I Analisis Data I Observasi I
Belum Terselesaikan Alternatif Pemecahan (Rencana Tindakan I)
Tabel
Sesuai dengan prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas tersebut maka dalam ini ditetapkan bahwa dalam penelitian ini menggunakan prosedur seperti di atas.
3.5 Instrumen Data
Alat yang digunakan untuk mengumpul data dalam penelitian ini adalah wawancara, dokumentasi, tes, dan observasi.
3.5.1 Wawancara
Wawancara dilaksanakan oleh peneliti sebelum penelitian dilakukan. Wawancara yang dilaksanakan lebih difokuskan pada keadaan siswa dalam memahami matematika dengan kemampuan menyelesaikan soal matematika sebagai parameternya. Hasil wawancara ini dilakukan peneliti sebagai tindakan awal untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika melalui pembelajaran matematika realistik.
3.5.2 Dokumentasi
Metode ini dilakukan untuk memperoleh daftar nama siswa yang termasuk dalam subjek penelitian serta untuk memperoleh hasil video rekaman selama proses aktivitas pembelajaran berlangsung.
3.5.3 Tes SIKLUS ISiklus II
Pelaksanaan Tindakan II Alternatif Pemecahan
(Rencana Tindakan II) Belum Terselesaikan
Metode tes digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan pemecahan masalah matematika pada pokok persamaan linier satu variabel. Soal tes ini dalam bentuk uraian.
Suatu soal hanya disebut sebagai problem (masalah) bagi siswa jika dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Siswa memiliki pengetahuan prasyarat untuk mengerjakan soal tersebut. b. Siswa belum tahu algoritma/ cara pemecahan soal tersebut
c. Siswa mau dan berkehendak untuk menyelesaikan soal tersebut. d. Siswa diperkirakan mampu menyelesaikan soal tersebut.
(Suyitno, 2004: 35)
Kelebihan penggunaan soal uraian adalah: a. Mudah disiapkan dan disusun.
b. Tidak memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi atau untung-untungan.
c. Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun dalam bentuk kalimat yang bagus.
d. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan maksudnya dengan gaya bahasa dan caranya sendiri.
e. Dapat diketahui sejauh mana siswa mendalami sesuatu masalah yang diteskan.
(Arikunto, 2002: 162-164).
3.5.4 Observasi
3.6 Analisis Perangkat Tes 3.6.1 Reliabilitas tes
Untuk keperluan mencari reliabilitas tes, Arikunto mengemukakan : “Koefisien reliabilitas tes berbentuk uraian (essay test) dapat digunakan rumus Alpha sebagai berikut” :
r11=
n n−1
(
1−∑
σi2 σT2
)
, Arikunto(2011:109)dimana :
r11 : Reliabilitas tes secara keseluruhan.
∑
σi2 : Jumlah varians skor tiap-tiap item.
σT2 : Varians total. n : Banyak item.
Dengan
X
∑
¿ ¿ ¿2¿ ¿ ¿
∑
X2−¿σ2=¿
dimana :
∑
X2 : Jumlah kuadrat skor item.(
∑
X)2 : Kuadrat jumlah skor item.Untuk tabel harga kritik rtabel Product Moment dengan α=0,05. Jika r11>rtabel maka keseluruhan tes dinyatakan reliabel.
3.6.2 Validitas Tes
X Y
∑
¿ ¿ ¿ ¿X
∑
¿Y
∑
¿N
∑
Y2−(¿¿2) ¿(¿¿2)¿
X2−¿
N
∑
¿ ¿∑
¿ ¿XY−¿
N
∑
¿rXY=¿
Arikunto(2011:72)
dimana :
rXY : Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y. X : Skor yang diperoleh siswa.
Y : Skor total. N : Banyak siswa.
Koefisien korelasi selalu terdapat antara -1,00 sampai +1,00. Namun karena dalam menghitung sering dilakukan pembulatan angka-angka, sangat mungkin diperoleh koefisien lebih dari 1,00. Koefisien negatif menunjukkan hubungan kebalikan sedangkan koefisien positif menunjukkan adanya kesejajaran untuk mengadakan interpretasi mengenai besarnya koefisien korelasi. Arikunto(2011:72) mengatakan bahwa penafsiran harga koefisien korelasi ada dua cara yaitu :
1. Dengan melihat harga rXY
dan diinterpretasikan validitas tes sebagai
berikut :b. 0,60<rXY≤0,80 Validitas tinggi. c. 0,40<rXY≤0,60 Validitas cukup. d. 0,20<rXY≤0,40 Validitas rendah.
e. 0,00<rXY≤0,20 Validitas sangat rendah.
2. Dengan membandingkan rXY ke tabel harga kritik r product moment sehingga dapat diketahui signifikan tidaknya korelasi tersebut. Jika harga rXY lebih besar dari harga kritik dalam tabel pada
α=0,05 yaitu rXY≥ rtabel , maka korelasi tersebut signifikan.
Tetapi apabila dipenuhi rXY<rtabel maka korelasi tersebut tak signifikan.
3.7 Teknik Analisa Data 3.7.1 Reduksi Data
Proses reduksi data dilakukan dengan cara menyeleksi, menentukan fokus, menyederhanakan, meringkas, dan mentrasformasikan data mentah dalam bentuk transkrip catatan lapangan. Dalam proses reduksi ini dilakukan penajaman, pemfokusan, penyisihan data yang kurang bermakna, dan menatanya sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi. Data yang direduksi adalah data kualitatif dan data kuantitatif yang berasal dari pengamatan peneliti pada saat proses pembelajaran dan pada saat dilakukan tes.
Kegiatan reduksi data ini bertujan untuk memilih dan mengelompokkan jawaban siswa dari jenis kesalahan yang dilakukan dalam menyelesaikan soal-soal persamaan linier satu variabel dan mengamati kesulitan yang dialami siswa dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut :
Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika No Soal No. Urut
Siswa
Banyaknya Siswa Menjawab Salah
Letak Kesalahan
Bentuk/jeni s Kesalahan
Upaya Perbaikan
3.7.1.1 Analisis Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Setelah tes diberikan kepada siswa selanjutnya diperoleh informasi dari hasil tes tersebut kemudian peneliti menganalisis hasil penelitian yang telah diseleksi berdasarkan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dan menyajikannya dalam bentuk tabel kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal-soal persamaan linier satu variabel serta upaya tindakan penanggulangan yang akan diberikan. Dari sini akan diperlihatkan hasil kemampuan pemecahan masalah matematika serta observasi siswa setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik.
Dimana hasil kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sesuai dalam petunjuk pelaksanaan proses belajar mengajar Depdikbud bahwa terdapat kriteria ketuntasan belajar perorangan dan klasikal, yaitu :
a. Seorang siswa telah tuntas belajar jika siswa tersebut telah mencapai skor 65% atau nilai 65.
b. Suatu kelas dikatakan telah tuntas belajar jika dalam kelas tersebut terdapat 85% siswa yang telah mencapai daya serap lebih dari 65%.
Ketuntasan belajar perorangan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan : DS = Daya Serap.
DS=P
P = Skor yang diperoleh siswa. Q = Skor maksimal.
Data skor daya serap siswa dianalisis dengan menghitung persentase siswa dan mengubah data kuantitatif persentase daya serap menjadi data kualitatif, dalam hal ini daya serap siswa dinyatakan sebagai ketuntasan belajar sehingga dapat dinyatakan dengan DS=X . Berpedoman pada acuan konversi nilai menurut Borg, W.R & Gall, M.D dalam Irvan & Lubis (dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya : Program Bantu Pembelajaran Mata Kuliah Kalkulus Menggunakan Multimedia, 2011)
90≤ X ≤100 Sangat Baik
80≤ X<90 Baik 70≤ X<80 Cukup
60≤ X<70 Kurang
0≤ X<60 Sangat Kurang
Dan kriteria ketuntasan belajar menurut Rahmaida (dalam Rangkuti, 2012:95) adalah sebagai berikut :
0≤ DS<65 Siswa belum tuntas belajar.
65≤ DS≤100 Siswa telah tuntas belajar.
Secara individu, siswa telah dikatakan tuntas belajar apabila DS≥65. dan ketuntasan belajar klasikal dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan :
D = Persentase kelas yang tuntas belajar. X = Banyaknya siswa yang telah tuntas belajar. N = Banyaknya seluruh siswa.
D=X
N
x 100%
dalam Rangkuti,2012 :95
Suatu kelas dikatakan tuntas dalam belajar jika persentase ketuntasan klasikal (D) telah mencapai paling sedikit 85%. Untuk melihat apakah ada peningkatan kemampuan pemecahan matematika siswa dalam memahami materi dengan baik jika telah memenuhi :
a. Skor (nilai) secara perorangan
Hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika I (siklus I) lebih rendah daripada hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika II (siklus II).
b. Rata-rata Skor Perkelas
Rata-rata skor perkelas pada siklus I lebih rendah daripada rata-rata skor perkelas pada siklus II.
Selain dengan melihat ketuntasan belajar klasikal dan ketuntasan belajar perorangan, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika juga dapat dilihat dengan menggunakan analisis komparatif untuk menguji satu kelompok sampel dengan dua data terpisah yang digunakan untuk membandingkan perbedaan dua data dalam satu kelompok sampel penelitian. Subjek penelitian di dalam analisis ini adalah subjek yang terpisah dikemukakan oleh Rahmaida (dalam Rangkuti, 2012:97) disebut “non-independent sample”. Teknik analisa yang digunakan adalah t-test (Rahmaida dalam Rangkuti, 2012:97). Rumus yang digunakan adalah:
D
∑
¿ ¿ ¿2 ¿ ¿N¿ ¿
D2−¿
∑
¿ ¿√¿
t=D´¿
Keterangan:
D´ = Rata-rata perbedaan antar data yang berpasangan
∑
D2 = Jumlah kuadrat skor perbedaan D∑
¿ ¿ ¿ ¿= Kuadrat jumlah skor perbedaan
N = Banyak pasangan data
Pada taraf signifikan α=5 dengan derajat kebebasan dk = N – 1 maka dapat diperoleh harga t tabel. Apabila t hasil perhitungan lebih besar dari harga t tabel (thitung>ttabel) maka dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara dua kelompok data penelitian itu. Tetapi apabila sebaliknya, jika
harga t hitung lebih kecil atau sama dengan t tabel (¿¿hitung ≤ tt tabel)
¿
maka tidak
terdapat perbedaan antara kedua kelompok data tersebut.
3.7.1.2 Analisis Hasil Observasi
Dari hasil observasi yang dilakukan oleh observer yaitu guru bidang studi matematika kelas VII4 SMP Nurul Hasanah Padang Bulan Medan, data yang
diperoleh di analisis dengan rumus:
Pi=
Jumla h seluru h aspek yang diamati Banyaknya aspek yang diamati
Dimana Pi adalah hasil pengamatan pada pertemuan ke i.
Adapun kriteria rata-rata penilaian observasi menurut Rahmaida (dalam Rangkuti, 2012:97-98) adalah sebagai berikut :
0 – 1,1 artinya hasil observasi bernilai kurang.
1,2 – 2,1 artinya hasil observasi bernilai cukup.
3,2 – 4,0 artinya hasil observasi bernilai sangat baik.
3.7.2 Paparan Data
Data kesulitan siswa dalam menjawab soal yang telah direduksi kemudian disajikan dalam bentuk paparan. Pemaparan data yang sistematis akan memudahkan pemahaman terhadap apa yang telah terjadi sehingga mudah dalam menarik kesimpulan. Demikian juga dengan data tindakan yang telah dilakukan disajikan dalam bentuk pemaparan tindakan.
3.7.3 Verifikasi Data
Kegiatan verifikasi dilakukan terhadap kesalahan jawaban siswa dengan menafsirkan dan membuat kesimpulan tindakan-tindakan apa yang dilakukan untuk memperbaiki kesalahan jawaban siswa dalam menyesaikan soal-soal persamaan linier satu variabel.
3.7.4 Penyimpulan Data
Penarikan kesimpulan tentang peningkatan atau perubahan yang terjadi dilakukan secara bertahap mulai dari kesimpulan sementara yang ditarik pada akhir siklus I hingga kesimpulan terevisi pada akhir siklus berikutnya. Kegiatan penarikan kesimpulan dilakukan terhadap paparan data yang berupa kesalahan-kesalahan jawaban siswa serta tindakan untuk mengatasi kesulitan siswa tersebut dalam menyelesaikan soal.
3.8 Defenisi Operasional
Peneliti menggunakan pendekatan pembelajaran matematika realistik untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada pokok bahasan persamaan linier satu variabel di kelas VII4 SMP Nurul Hasanah Padang
Pembelajaran matematika realistik (PMR) adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Karena itu, siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Di sini dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia nyata.
Kemampuan pemecahan masalah adalah sebuah proses pada suatu situasi yang diamati kemudian bila ditemukan adanya masalah dibuat penyelesaiannya berdasarkan sistematika pemecahan masalah dengan cara memahami masalah, membuat suatu rencana atau cara untuk menyelesaikannya, melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa kembali semua langkah yang telah ditentukan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Siklus I
Sebelum melakukan perencanaan tindakan terlebih dahulu diadakan wawancara dengan guru bidang studi matematika kelas VII4 untuk mengetahui
keadaan awal siswa dalam mempelajari matematika, setelah diadakan wawancara ternyata siswa kelas VII4 belum mempelajari materi persamaan linier satu variabel
dan kemampuan matematika mereka ternyata sedang-sedang saja. Oleh karena itu sebelum dilakukan penelitian tindakan ini peneliti sedikit memberikan penjelasan mengenai persamaan linier satuu variabel, kemudian setelah itu siswa diberi tugas melalui Lembar Aktivitas Siswa.
4.1.1.2 Tahap Perencanaan Tindakan (Alternatif Pemecahan)
Pada tahap ini peneliti membuat perencanaan tindakan kelas (alternatif pemecahan masalah) dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami siswa. Alternatif pemecahan yang dilakukan antara lain :
1. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang akan dialami siswa pada tahap pelaksanaan tindakan diberikan, beberapa alternatif pemecahan yang dilakukan sebagai berikut :
a. Guru mempersiapkan Lembar Aktivitas Siswa.
b. Guru memastikan alat peraga dalam pembelajaran matematika realistik dalam keadaan tersedia.
c. Guru mempersiapkan buku pendukung pembelajaran, spidol, dan penghapus papan tulis.
d. Guru membagikan Lembar Aktivitas Siswa (LAS) kepada siswa yang berisi soal-soal dari Masalah Kontekstual A.
e. Mempersiapkan lembar observasi, dan lembar penilaian.
2. Guru membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang memuat langkah-langkah kegiatan belajar mengajar melalui pembelajaran matematika realistik untuk meningkatkan kemampuan pemecahann masalah matematika pada pokok bahasan persamaan linier satu variabel.
4.1.1.3 Tahap Pelaksanaan Tindakan
Guru dalam hal ini peneliti melaksanakan kegiatan belajar mengajar berdasarkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun dan
melaksanakan alternatif pemecahan masalah yang telah dibuat. Pada siklus I terdiri dari satu kali pertemuan, yaitu pertemuan pada jam pertama. Pada pertemuan di jam pertama siswa hanya diberikan Lembar Aktivitas Siswa untuk Masalah Kontekstual A.
Adapun kegiatan belajar mengajar yang dilakukan antara lain:
1. Guru membimbing siswa untuk membentuk kelompok belajar dan menyajikan masalah kontekstual A (LAS).
2. Guru sebagai fasilitator memberi bantuan pada siswa untuk memahami masalah kontekstual A (LAS).
3. Guru sebagai fasilitator, berkeliling dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain mengamati dan memberi dorongan tentang berbagai kemungkinan model of yang sesuai.
4. Meminta salah seorang siswa untuk menyajikan model of dan cara penyelesaian soal dari masalah kontekstual A pada LAS di depan kelas.
5. Memberi kesempatan pada beberapa orang siswa yang lain untuk menyajikan model of lain yang berbeda.
6. Memberi kesempatan pada siswa untuk menanggapi dan memilih model of yang sesuai dan benar.
7. Guru melakukan negoisasi, intervensi kooperatif, penjelasan, refleksi dan evaluasi, untuk membimbing siswa hingga sampai memahami konsep matematika formal.
8. Guru membimbing siswa membuat kesimpulan dari materi pelajaran yang baru dibahas.
9. Guru menilai secara pribadi proses pembelajaran yang baru dilakukan.
4.1.1.4 Tahap Observasi
peneliti belum maksimal dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar melalui pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan persamaan linier satu variabel. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi terhadap guru (peneliti) pada lampiran 8 bahwa persentase skor dalam pertemuan pertama sebesar 30,55%.
Dari Hasil Observasi Penerapan Prinsip PMR oleh Guru dapat diperoleh beberapa informasi sebagai berikut:
1. Guru kurang mampu memulai pelajaran dengan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari.
2. Guru kurang mampu menggunakan alat peraga yang membantu siswa menemukan rumus.
3. Guru kurang mampu membimbing siswa menggunakan alat peraga.
4. Guru kurang mampu memberi waktu kepada siswa untuk membuat pemodelan sendiri dalam mencari penyelesaian formal.
5. Guru kurang mampu memberi penjelasan tentang materi dan penemuan siswa. 6. Guru kurang mampu memberi pertanyaan yang berkaitan dengan materi lain
dalam mata pelajaran matematika.
7. Guru kurang mampu memberi pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan dari mata pelajaran yang lain.
Kemudian dari Hasil Observasi Aktivitas Siswa diperoleh informasi bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa kurang, hal tersebut dapat dilihat pada lampiran 9 dengan persentase skor dalam pertemuan pertama sebesar 34,375%.
Dari Hasil Observasi Aktivitas Siswa dapat diperoleh beberapa informasi sebagai berikut:
1. Siswa kurang mampu membuat pemodelan sendiri dalam mencari penyelesaian formal.
2. Siswa kurang mampu menemukan sendiri (mengkonstruksi) penyelesaian s