• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI POLITIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI POLITIK"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI POLITIK

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Politik dan Media Massa yang diampu oleh Drs. Romula Adiono, M.AP)

Oleh :

Riska Dewi Aprilia 115030101111041

Devi Prahara Putri 115030101111035

Kurnia Dewi 115030107111115

Yunita Susilawati 115030101111034

Halimah Wati H. 115030107111121

Renanda Exsa P. 115030100111055

Singgih Wiliyanto 115030107111067

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(2)

A. Perspektif dan Model Komunikasi Politik Dari Paradigma ke Perspektif

Istilah paradigma berasal dari Thomas Kuhn (1974) yang digunakan untuk 21 cara yang berbeda. Namun Robert Frederich berhasil merumuskan paradigma itu secara disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Kuhn melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuna bukan terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi secara revolusi. Dalam masa tertentu ilmu sosial didominasi oleh paradigma tertentu. Kemudian terjadi pergantian dominasi paradigma, dari paradigma lama yang memudar ke paradigma baru. Paradigma baru bukanlah kelanjutan dari paradigma lama. Sosiologi misalnya dalam perkembangannya menurut George Ritzer (1985) memiliki tiga paradigma (1) fakta sosial (2) definisi sosial (3) perilaku sosial. Sehingga menurut Kuhn bahwa ilmu tidak berkembang secara kumulatif melainkan secara revolusi.

B Aubrey Fisher seorang pakar ilmu komunikasi yang terkenal dalam dekade terakhir ini telah berhasil mencatat adanya beberapa paradigma yang berkembang pada beberapa dekade terakhir ini dalam ilmu komunikasi. Sesuai dengan judul buku yang ditulisnya, yaitu Perspective on Human Communication (terbit pertama kali 1978), Fisher tidak menggunakan istilah paradigma melainkan istilah perspektif. Alasan, Fisher karena menurut pendapatnua istilah paradigma mencegah penggunaan yang netral. Namun, apa yang dimaksud dengan paradigma itu kurang lebih sama dengan perspektif. Fisher (1990:85-86), mengakui bahwa perspektif dalam arti pandangan yang realistis, tidak mungkin lengkap, sebab pasti sebagai dari fenomena yang sedang dilihat itu hilang dan lainnya mengalami distorsi. Selain itu, objek yang berada lebih jauh akan tampak lebih kecil, walaupun yang sebenarnya mereka dapat lebih besar atau sama dengan objek yang ada di latar depannya. Itu adalah resep elementer dari hakikat perspektif.

Ilmu politik dan ilmu komunikasi masing-masing telah mengalami perkembangan yang amat pesat. Bahkan ilmu komunikasi sebagai bidang kajian telah mengalami krisis dan sekaligus revolusi dalam perkembanganya. Krisis dan revolusi terjadi dalam ilmu komunikasi itu, juga terjadi dalam studi komunikasi politik, bahkan hingga kini revolusi itu belum selesai.

(3)

itu perspektif boleh diartian sebagai pendekatan strategi intelektual, kerangka konseptual komunikasi selama ini ke dalam empat perspektif tersebut.

1. Perspektif dan Model Mekanistis

Model mekanistis merupakan model yang paling lama dan paling banyak dianut sampai sekarang. Berbagai studi telah dilakukan dan banyak buku diterbitkan sehingga pengaruh model mekanistis sangat kuat dan meluas. Pengaruh model mekanistis ini, selain dikalangan masyarakat akademis juga pada masyarakat luas. Paradigma ini telah berkembang jauh melalui pergumulan yang seru dari pendekarnya.

Komponen dalam model mekanistis ini yaitu sumber, penerima, saluran, dan pesan/umpan balik/efek. Sesuai dengan doktrin dan prinsip mekanisme (idealisme mekanistis) yang berdasarkan cara berpikir sebab akibat maka titik berat kajian komunikasi pada efek. Hal ini tercermin dalam kajian mengenai persuasi, efek media masa, difusi (komunikasi pembangunan) dan jaringan komunikasi, yang seluryhnya menggunakan metode eksperimental dan kuantitatif. Model mekanistis selain telah menghasilkan banyak studi dan tidak terlalu sulit dipahami. Model ini merupakan model lama atau model klasik dalam studi komunikasi.

Prinsip mekanisme diwaranai oleh cara berpikir kasual atau determinisme yang sangat mudah dipahami terutama dalam merumuskan komunikasi sebagai proses. Berdasarkan prinsip inilah komunikasi dikonseptualisasikan sebagai proses mekanis. Artinya, dalam komunikasi terdapat sesuatu (pesan) mengalir melintasi ruang dan waktu dari satu titik (sumber/penerima) ke titik yang lain (sumber/penerima) secara simultan. Eksistensi empiriknya (lokusnya) terletak atau berada pada saluran. Model ini digambarkan oleh fisher (1990:154) sebagai ban berjalan.

Paradigma ini sempat memudar dan mengalami krisis karena timbulnya kekecewaan terhadap hasil studi yang dahulunya popular. Dalam perkembangan studi komunikasi politik, kepercayaan terhadap model ini masih sangat kuat, terutama di Indonesia. Dalam komunikasi politik, studi mengenai pendapatan umum, propaganda, perang urat syaraf, kampanye pengaruh media massa terhadap sosialisasi politik, masih sangat dominan.

(4)

paradigma ini adalah paradigma yang paling tua dan tunduk dibawah dominasi ilmu fisika (Arifin, 2003:30).

Paradigma baru sudah lahir dan sudah mulai berkembang dan telah menarik banyak minat ilmiah di Amerika. Paradigma atau perspektif baru yang dimaksud, sebagaimana yang diperkenalkan oleh Fisher (1990:228:360) ialah paradigma atau perspektik psikologi, perspektif interaksional dan perspektif pragmatis. Paradigma atau perspektif baru tersebut memiliki konseptualisasi yang sangat berbeda dengan konseptualisasi mekanistis yang telah dikenal luas. Dengan demikian, komponen mekanistis seperti pesan/umpan balik/efek, saluran, sumber/penerma tidaklah begitu penting. Dalam paradigma atau perspektif baru komponen mekanistis itu dapat diabaikan karea terdapat komponen lain yang lebih relevan. Alasan lainnya, bukan saja karena baru tumbuh dan berkembang, tetapi juga jauh berbeda dengan paradigma mekanistis, bahkan sama sekali bukan kelanjutan paradigma tersebut.

Di Indonesia paradigma baru yang sedang tumbuh dalam satu dekade, memang belum banyak dikenal. Pada hakikatnya, paradigma baru itu memerlukan perubahan mendasar, dan bahkan penjungkir balikan atau revolusi dari cara berpikir mekanistis yang klasik itu.

2. Perspektif dan Model Psikologi

Menurut paradigma atau perspektif baru psikologi, komunikasi dikonseptualisasikan sebagai penerimaan dan pengelolaan informasi pada individu. Perspektif yang dipengaruhi secara sporadis (tidak mendalam sebagaimana pengaruh fisika terhadap perspektif mekanisme) oleh psikologi ini adalah mengadaptasikan konsep S-R (Stimulasi-Respon) dalam komunikasi. Adaptasi ini menimbulkan orientasi komunikasi yang berpusat pada diri individu (penerima).

Komponen komunikasi dalam perspektif ini bukan lagi sumber, penerima, saluran, dan pesan/umpan balik/efek melainkan stimulasi dan respon. Dengan fokus kajian pada individu (penerima), dalam batas tertentu orientasi para penerima dari model ini merupakan reaksi terhadap model mekanisme yang bersifat satu arah dari saluran yang terkandung didalamnya. Dasar konseptual model ini, ialah bahwa penerima adalah menjadi yang aktif atas stimuli tersetruktur yang mempengaruhi esan dan salurannya.

(5)

internal dari organisme manusia dan secara esensial merupakan konsep kotak hitam (black box). Walaupun filter ini tidak dapat diminati secara langsung, namun sangat mempengaruhi setiap peristiwa komunikasi.

Filter konseptual itu dapet digambarkan sebagai sikap, keyakinan, motif, dorongan, citra, konsep diri, tanggapan dan persepsi, yang dapat menjadi pangkal atau sebaliknya dari rangsangan yang menyentuh individu. Filter konseptual dari Fisher (1990:206) itu dapat disamakan sebagai kesadaran aku yang lahir dari pola pikir dan lapangan pengalaman seseorang. Cara kerja filter konseptual (input) stimulasi (rangsangan) menjadi iuaran (output) yang berbentuk prilaku atau tindakan.

Berhubung komunikan atau penerima kesadaran memiliki unsur pengendalian yang bersumber pada kesadaran aku atau filter konseptual pada informasi yang diproses, kemampuan konseptual komunikator untuk mengontrol komnikasi menjadi sangat terbatas. Dalam hal ini selektivitas individu dalam informasi, sangat menentukan respon dan perilaku komunikasinya.

Arifin (2003:33) mengakui bahwa sebagian permasalahan yang diajukan dalam erspektif psikologi ini memang sangat rumit dan belum terpecahkan secara tuntas. Namun, tidaklah berarti bahwa paradigma ini akan ditinggalkan melainkan akan ditumbuhkan dan dikembangkan terus. Sejak awal telah diterapkan studi komunikasi politik, terutama studi tentang persuasi dan perubahan sikap dan perilaku pemilihan dalam pemilihan umum.

Demikian juga studi tentang persepsi politik, citra diri khalayak politik, penolakan konsep politik, motif yang menggerakkan unjuk rasa dan pemberontakan, dan perubahan pola pikir, semuanya dapat dikaji dalam paradigma psikologi.

3. Perspektif Interaksional

Paradigma atau perspektif interaksional betul-betul agak baru dan bahkan merupakan reaksi dari kedua model sebelumnya (mekanistis dan psikologi). Dalam perspektif ini, menurut fisher (1990:228-266) komunikasi dikonseptualisasikan sebagai interaksi manusiawi pada masing-masing individu. Walaupun interaksi itu sering juga disamakan dengan komunikasi terutama komunikasi dua arah, namun dalam paradigma ini, konsep itu tidak berlaku.

(6)

Menurut Arifin (2003:34), karakteristik utama paradigma interaksional ialah penonjolan nilai individu di atas segala pengaruh yang lainnya. Hal itu disebabkan manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, serta mayarakat dan buah pikiran. Justru itu, setiap bentuk interaksi sosial dimuali dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Itulah sebabnya perspektif ini, dipandang paling manusiawi di antara semua perspektif komunikasi yang ada.

Paradigma interaksional dalam komunikasi amat sering dinyatakan sebagai komunikasi dialogis atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Hal itu merupakan reaksi humanistis terhadap model direndahkan yang monolog individu yang berkomunikasi direndahkan harkatnya menjadi pemberi dan penerima pesan, baik aktif maupun pasif karena mereka telah ditentukan nasibnya sebagai yang memerlukan. Sebaliknya, dalam dialog, manusia yang berkomunikasi diangkat derajatnya ke posisi yang mulia karena dialog mengandung arti pengungkapan diri dan saling pengertian bersama-sama dengan pengembangan diri melalui interaksi sosial.

Titik berat pengkajian dalam paradigma interaksional ini yaitu terletak pada tindakan sosial atau tindakan bersama. Pada waktu individu berperilaku dalam tindakan sosial, ia mengembangkan definisi tentang diri hal ini merupakan definisi tidak langsung dari cabang sosiologi yang dikenal sebagai interaksionalisme simbolik (tokoh utamanya antara lain George Herbert Mead).

Paradigma interaksional yang memberikan penekanan pada faktor manusiawi, sangat relevan diterapkan dalam komunikasi politik yang demokratis. Konsep demokrasi yang memandang manusia sebagai makhluk rasional dan menunjang hak-hak asasi manusia serta mengembangkan prinsip-prinsipegaliter dan populis sangat sesuai dengan paradigma interaksional komunikasi politik yang menghendak adanya partisipasi politik yang tinggi misalnya, sudah seyogyanya menerangkan komunikasi yang bersifat dialogis.

(7)

objek atau subjek dari pihak lain, melainkan semuanya harus merasakan diri sebagai subjek. Sehingga dengan kemampuan empati seperti inilah seseorang dalam musyawarah dapat mengambiil peran dengan mendefinisikan diri dan diri orang lain sehingga memungkinkan adanya pengembangan diri dalam proses sosial. Dengan demikian, keputusan yang diambilnya terinteraksionalisasi menjadi miliknya, dan kemudian menjadi milik bersama sebagai mufakat karena melalui komunikasi yang dialogis (musyawarah).

Paradigma interaksional ini telah berhasil mengubah wawasan dan citra terhadap komunikasi. Konsep dan metodologinya sedang bertumbuh dan berkembang. Dalam arti sebagai revolusi yang belum selesai, yakni setiap penemuzn penelitian yang relatif baru akan mengarahkan ke dimensi yang baru. 4. Perspektif Pragmatis

Dalam perspektif pragmatis, pesan/ umpan balik/ efek, sumber/ penerima dan saluran sama sekali tidak penting. Titik berat pengkajian dari paradigma atau perspektif ini adalah tindakan, khususnya tindakan sosial atau tindakan bersama. Paradigma atau perspektif pragmatis menurut Arifin (2003:37), merupakan revolusi yang belum selesai dan merupakan perspektif yang relatif paling baru dan masih sedang dalam proses perkembangan. Sesuai dengan namanya, perspektif ini memusatkan perhatian pada pragma atau tindakan. Berbeda dengan model interaksi yang mengamati tindakan sosial dalam konteks budaya, model pragmatis menurut Fisher (1990:270-320) mengamati tindakan atau perilaku yang berurutan dalam konteks waktu dalam sistem sosial. Tindakan atau pengamatan tersebut dapat berupa ucapan, tindakan atau perilaku.

(8)

Jika perilaku atau tindakan sama dengan komunikasi dalam perspektif pragmatis, maka dapat dikatakan, setiap orang tidak mungkin berkomunikasi karena setiap orang tidak pernah berhenti bertindak atau berperilaku. Jika hal ini diterapkan dalam komunikasi politik, bahwa komunikasi politik dapat mencakupi tindakan atau perilaku yang memiliki kpentingan politik, yaitu tindakan yang menyangkut kekuasaan, pengaruh, otoritas, dan konflik. Misalnya penggunaan bendera partai, jaket partai, pernyataan pemimpin partai, dan skap tokoh partai. Aplikasi paradigma pragmatis ini dapat terjadi dalam bentuk komunikasi nonverbal. Misalnya seorang tokoh politik yang diam atau mengangguk saja

(nonverbal) dalam menanggapi isu penting. Hal ini sesungguhnya adalah komunikasi politik perspektif pragmatis (tindakan atau perilaku, yang mengandung kemungkinan). Jumlah massa, bendera, kendaraan, dan jumlah tokoh yang hadir dalam rapat raksasa, merupakan peristiwa yang bersifat nonverbal. Hal ini menurut paradigma pragmatis merupakan bentuk komunikasi politik yang sangat penting.

B. Teori Komunikasi Politik

Teori dapat diartikan sebagai sejumlah gagasan yang status dan asalnya bervariasi dan dapat dipakai untuk menjelaskan atau menafsirkan fenomena. Berdasarkan perspektif atau paradigma komunikasi politik yang diuraikan dimuka, menurut Arifin (2003:41-64) ada empat teori yang dapat digunakan dalam aplikasi komunikasi poitik, yaitu: (1) Teori Jarum Hipodermik (2) Teori khalayak kepala batu (3) Teori empati dan Hemofili (4) Teori informasi dan nonverbal (5) teori media kritis.

1. Teori Jarum Hipodermik

(9)

Variabel komunikator ditunjukkan dengan kredibilitas, daya tarik, dan kekuasaan. Kredibilitas terdiri dari dua unsur yaitu keahlian dan kejujuran. Keahlian diukur dengan sejauh mana komunikan menganggap komunikator mengetahui jawaban yang benar., sedangkan kejujuran dioperasionalkan sebagai persepsi komunikan tentang sejauh mana komunikator bersikap tidak memihak dalam menyampaikan pesannya. Daya tarik diukur dengan kesamaan, familiaritas, dan kesukaan. Kekuasaan (power) dioperassionalisasikan dengan tanggapan komunikan tentang kemampuan komunikator untuk menghukum atau memberi ganjaran (perceived control), kemampuan untuk memperhatikan apakah komunikan tunduk atau tidak (perceived concern), dan kemampuan untuk meneliti apakan kemampuan komunikan tunduk atau tidak (perceived secrutiny). Variabel pesan terdiri dari struktur pesan, gaya, dan appeals pesan. Struktur pesan ditunjukkan dengan pola penyimpulan (tersirat atau tersurat), pola urutan argumentasi (mana yang lebih dulu, mana argumentasi yang disenangi dan tidak disenangi), pola objektivitas (satu sisi atau dua sisi). Gaya pesan menunjukkan variasi linguistik dalam penyampaian pesan (perulangan, kemudah dimengertian, perbendaharaan kata). Appeals pesan mengacu pada motif-motif psikologi yang dikandung pesan (rasional, emosional, fear appeals, reward appeals). Variabel media boleh berupa media elektronik, media cetak, atau saluran inter-personal.

Variabel antara ditunjukkan dengan perhatian (sejauh mana komunikan menyadari adanya pesan), pengertian (sejauh mana komunikan memahami pesan), serta penerimaan (dibatasi sejauh mana komunikan penyetujui gagasan yang dikemukakan oleh komunikan). Variabel efek diukur dari segi kognisi (perubahan pendapat, penambahan pengetahuan, perubahan kepercayaan), segi afektif (sikap, perasaan, kesukaan), dan segi behavioral (perilaku atau kecenderunagn perilaku).

(10)

politik, sistem organisasi, dan situasi, terutama yang dapat diterapkan ke dalam sistem politik yang otoriter dengan bentuk kegiatan seperti indoktrinasi, perintah, instruksi, penguasaan dan birokrasi, penerapan teori ini tetap relevan dan mampu menciptakan komunikasi yang efektif.

2. Teori Khalayak Kepala Batu

Dengan gugurnya asumsi khalayak tidak berdaya dan media perkasa seperti disinggung di muka, berkembanglah asumsi baru bahwa khalayak justru sangat bedaya dan sama sekali tidak pasif dalam proses komunikasi politik. Bahkan, khalayak memiliki daya tangkap atau daya serap terhadap semua rangsangan yang menyentuhnya. Dalam hal ini para pakar Wilby Schramm dan Roberts (dalam Arifin, 2003:46) mengoreksi teorinya dan mengakui adanya teori baru yang dikenal dengan nama Teori Khalayak Kepala Batu (the obstinate audience theory).

Teori khalayak kepala batu dikembangkan pakar psikologi-Raymond Bauer (1973). Bahkan, telah diperkenalkan oleh I.A. Richards sejak 1936, dan telah diamalkan atau di aplikasikan oleh ahli-ahli retorika pada zaman Yunani dan Romawi 2000 tahun lalu. Raymond Bauer mengeritik potret khalayak sebagai robot yang pasif. Khalayak hanya bersedia mengikuti pesan bila pesan itu memberikan keuntungan atau memenuhi kepentingan atau kebutuhan khalayak. Komunikasi tidak lagi bersifat linier tetapi merupakan transaksi. Media massa memang berpengaruh, tetapi pengaruh itu disaring, diseleksi, dan diterima atau ditolak oleh filter konseptual atau factor-faktor pribadi yang mempengaruhi reaksi mereka.

dengan teori khalayak kepala batu itu, focus penelitian bergeser dari komunikator ke komunikan atau khalayak. Para pakar, terutama para pakarpsikologi maupun sosiologi mencurahkan perhatian ke factor individu. Mereka mengkaji factor-faktor yang membuat individu itu mau menerima pesan komunikasi. Salah satu di antaranya adalah lahirnya teori atau model uses and gratifications (kegunaan dan kepuasan).

(11)

yang selektif itu akan memilih berdasarkan kegunaan dan pemenuhan kepuasan pribadinya.

Uses and Gratifications Model ( Model Kegunaan dan Kepuasan) merupakan pengembangan dari model jarum hipodermik. Model ini tidak tertarik pada apa yang dilakukan media pada diri seseorang, tetapi ia tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Studi dalam bidang ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses) media untuk mendapatkan kepuasan (gratifications) atas kebutuhan seseorang. Oleh karena itu, sebagian besar perilaku khalayak akan dijelaskan melalui berbagai kebutuhan (need) dan kepentingan individu (Ardianto dan Erdinaya, 2004:70).

Katz, Blumler, dan Gurevitch dalam Ardinati dan Erdinaya (2004:71) menjelaskan mengenai asumsi dasar dari teori uses and gratifications, yaitu :  Khalayak dianggap aktif, artinya khalayak sebagai bagian pnting dari

penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.

 Dalam proses komunikasi massa, inisiatif untuk mengaitkan pemuasan

kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada khalayak.

 Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan

kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media sangat bergantung pada perilaku khalayak yang bersangkutan.

 Tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota

kalayak. Artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.

 Penilaian tentang arti budaya dari media massa harus ditangguhkan sebelum

diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.

(12)

Reaksi yang diberikan khalayak terhadap terapan media didasarkan kepada member reaksi berdasarkan kegunaan dan kepuasan individu. Hal itu tidak sama antara satu dengan orang lain. Invidu, tertarik untuk mngikut sajian media massa karena ada kegunaannya dank area dapat terpenuhi kebutuhannya. Sering juga terjadi bahwa seseorang menggunakan media massa untuk menghilngkan rasa tidak enak, seperti kesepian, marah dan kecewa. Bahkan, kadang-kadang media digunakan tanpa mempersoalkan isi dan programnya.

Pada dasarnya teori khlayak kepla batu dan teori uses and gratifications serta teori lainnya dan model yang disebutkan di muka dapat dimasukkan ke dalam kelompok besar perspektif atau paradigm psikologis komunikasi politik. Meskipun individu menerima pesan karena kegunaan atau untuk memenuhi kepuasan dirinya berdasarkan perbedaan individu, kategori social atau hubungan social, namun yang terpenting dalam perspektif psikologi inilah semua pesan politik itu boleh diolah secara internal pada diri individu. Perspektif ini komunikasi politik tidak digambarkan seperti proses berjalan antara komunikator dengan penerima, melainkan dikonseptualisasi sebagai penerima dan pengolahan pesan atau informasi pada diri individu. Pusat pengajiannya para diri individu, baik sebagai pengirim pesan maupun sebagai penerima pesan politik.

Dari proses berpikir itu kemudian lahirlah pemikiran politik, yang biasa dikenal dengan nama ideology politik atau filsafat politik. Hal ini telah berkembang sebagai satu bidang kajian yang menarik banyak peminat. Pada dasarnya proses berpikir dimulai dari rangsangan pesan politik yang dating dari luar, diterima dari individu melalui panca indra. Kemudian diteruskan ke otak dan timbulah pengamatan. Dengan pengamatan itu individu sadar ada pesan dari luar dirinya. Namun, tidak semua yang diamati itu dapat menjadi perhatian karena dapt saja gugur atau digeser oleh pengamatan dari rangsangan yang lain. Justru itu diperlukan pengamatan yang terfokus dan itulah yang disebut perhatian (masuk dalam hati).

(13)

Dengan demikian, setip individu akan menyaring, menyeleksi, dan mengolah secara internal semua pesan yang berasal dari luar dirinya. Itulah proses psikologis yang sangat mendasar, dan karenanya setiap individu harus memiliki daya seleksi yang oleh B. Abrey Fisher (1990:202-208) dinamakan filter konseptul atau oleh Anwar Arifin (1986) disebut kesadaran Aku. Filter konseptual kesadaran Aku dalam komunikasi politik dapat berupa keyakinan politik, dan tanggapan politik. Cara kerja filter konseptual itu dapat diamati melalui masukan (input) rangsangan (output) yang berbentuk tindakan atau perilaku.

Banyak definisi yang dikemukakan oleh pakar tentang persuasi. Namun, pada dasarnya persuasi dapat disebut sebagaiupaya mengubah sikap mental dan perilaku orang dengan menggunakan kata-kata yang terucap dan tertulis, dengan terlebih dahulu menciptakan situasi yang mudah terkena sugesti. Situasi yang mudah terkena sugesti sangat ditentukan oleh kecakapan untuk mengsugesti atau menyarankan sesuatu kepada khalayak, dan khalayak itu sendiri diliputi oleh situasi yang mudah untuk menerima pengaruh.

Dengan demikian,persuasi yang positif dikembangkan tanpa menggunakan sugesti dan tanpa suasana yang mudah terkena sugesti. Hal ini dilakukan dengan cara terlebih dahulu memahami kerangka pemikiran dan lapangan pengalaman khalayak. Dengan pemahaman tersebut, pendapat dan perilaku khalayak dapat diubah secara rasional dan sistematis. Model semacam ini dikembangkan dalam agenda setting. Teori khalayak kepala batu ini sangat penting menjadi kerangka acuan dalam melaksanakan komunikasi politik di Negara demokrasi. Itulan sebabnya di negara-negara demokrasi kegiatan public relations itu tumbuh dan berkembang, dan sebaliknya kegiatan agitasi dan propaganda politik itu sangat tercela dan bahkan ditolak.

3. Teori Empati dan Homofili

(14)

lain. Empati memungkinkan individu untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).

Dalam komunikasi politik, kemampuan memproyeksikan diri sendiri ke dalam empati orang lain memberikan peluang ke politikus untuk berhasil dalam pembicaraan politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri sebagai orang lain itu memang sangat tidak mudah. Justru itu empati dapat ditingkatkan dan dikembangkan oleh politikus melalui komunikasi sosial dan komunikasi politik yang sering dilakukan. Dengan demikian empati dalam komunikasi politik adalah sifat yang sangat dekat dengan citra politikus tentang diri dan tentang orang lain. Itu lah sebabnya empati dapat dinegosiasikan atau dimantapkan melalui komunikasi antarpersonal.

Dalam usaha melakukan empati dalam peristiwa komunikasi itu, Rogers dan Shoemaker (1978) memperkenalkan homofili. Konsep ini diartikan sebagai kemampuan individu untuk menciptakan kebersamaan, baik fisik maupun non mental. Dengan homofili dapat tercipta hubungan sosial dan komunikasi yang intensif dan efektif. Istilah Homophily ini berasal dari perkataan Yunani Homoios, yang mempunyai arti sama (alike) atau serupa (equal). Secara etimologis homophily berarti afiliasi atau komnikasi dengan pribadi yang sama, atau yang memiliki atribut tertentu yang sama atau serupa. Jadi homofili berarti komunikasi dengan orang yang sama, yaitu derajat orang berkomunikasi memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Heterophily adalah cermin kebalikan Homophily. Konsep itu didefenisikan sebagai tingkat ketika pasangan individu yang berkomunikasi berbeda atribut tertentu, seperti pendidikan, status sosial, dan konteks sosial.

Homofili dalam komunikasi politik, dapat dilihat pada para politikus atau kader partai di Indonesia yaitu kostum seragam jas mereka miliki. Bahkan, sejumlah politikus yang memiliki agama yang sama, berkumpul membentuk partai yang sama. Demikian juga mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama, membentuk koalisi untuk memperjuangkan kepentingan politik bagi mereka.

(15)

segala pengaruh yang lainnya sangat dominan karena manusia adalah makhluk yang relatif sempurna.

Berarti empati dan homofili dapat menciptakan suasana yang akrab dan intim sehingga komunikasi politik dapat berjalan secara iinteraksional. Dalam hal ini interaksi yang berlangsung adalah interaksi antara dua subjek (bukan antara subjek dan objek) yang selevel dan sederajat (misalnya interaksi antara dua orang yang bersahabat, suami istri, atau dua orang yang berpacaran). Dalam komuniasi politik yang bersifat dialogis, tidak dikembangkan: aku atau kamu, melainkan yang menonjol adalah: kita (misalnya sebangsa dan setanah air).

Selanjutnya empati dan homofili dalam komunikasi politik diaplikasikan ke dalam bentuk idiologi politik yang sama, visi dan misi politik yang sama, doktrin politik yang sama, simbol yang sama, pakaian yang sama, dan keputusan politik bersama. Dengan adanya kebersamaan itu setiap kader partai merasa dihargai dan diangkat harktanya sebagai manusia. Hal ini disebut juga sebagai hubungan manusiawi (human relations).

4. Teori Informasi dan Nonverbal

Dalam “teori informasi” menurut B.Aubrey Fisher(1990), informasi diartikan sebagai pengelompokan peristiwa-peristiwa dengan fungsi dan tujuan untuk menghilangkan ketidakpastian. Informasi dapat disebut sebagai konsep yang absolut dan relatif karena informasi diartikan “bukan pesan” melaikan “jumlah”, benda dan energi. Informasi politik dalam “teori informasi” pada hakikatnya adalah komunikasi politik yang bersifat nonverbal (tidak terucapkan).

Komunikasi nonverbal menurut Mark L. Knapp(1972) adalah (1)repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disampaikansecara verbal, (2) subtitusi, yaitu menggantikan lambang-lamban verbal, (3) kontradiksi, yaitu memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal.(4)komplemen, yaitu melengkapi atau memperkaya pesan verbal.(5)aksentuasi. Yaitu lebih menegaskan pesan verbal. Informasi memiliki tiga pengertian. Menurut (schramm, 1977:13) pertama, informasi dipahami sama dengan pesan sebagaimana dianut dalam proses komunikasi mekanistis. Kedua, informasi adalah data yang sudah diolah, sebagaimana yang dipahami dalam SIM(sistem Informasi Manajemen). Ketiga informasi adalah segala sesuatu yang mempunyai ketidakpastian atau mempunyai jumlah kemungkinan alternatif.

(16)

ucapan itu sesungguhnya boleh dianalisis sebagai sebuah pesan, melainkan adalah sebuah kemungkinan atau alternatif.

Teori informasi itu dapat diterapkan dalam komunikasi politik dalam banyak bentuk seperti (1) memasang bendera, umbul-umbul, spanduk dan mendengarkan musik karena akan ada upacara partai politiki.(2) memakai pakaian seragam karenan ada pertemuan kader. (3) mempromosikan anggota partai yang berprestasi. Teori ini sangat beragam dalam menentukan pilihan penempatan kader dalam menduduki jabatan-jabatan politik.

5. Teori Media Kritis

Teori media kritis menurut Hollander dikutip (Arifin, 2003:61) adalah teori media yang menempatkan konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam mempelajari fungsi media massa. Dalam hal ini dapat diketahui fungsi media massa dipengaruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan dan sejarah.

Kajian tentang peranan media massa dalam mempengaruhi masyarakat tidaklah begitu penting sehingga teori jarum suntik hipodermik atau teori peluru tidak berlaku. Bertolak dari aspek kemasyarakatan, pendukung teori media kritis seperti Ardono dan Horkheimer (dalam Arifin, 1997:52), memandang bahwa media massa merupakan produsen utama dari kebudayaan massa. Penganut teori komunikasi kritis memusatkan perhatian pada pengertian kontrol terhadap sistem komunikasi.

Teori permainan yang dikembangkan oleh Willian Stephenson menjelaskan bahwa mengikuti pesan melalui media hanyalah demi kesenangan. Teori kesenangan diturunkan dari gagasan kesenangan berkomunikasi, dan kegembiraan yang diperoleh orang dari mengobrol tanpa tujuan, atau kepuasan dalam menonton film.

Penggagas teori parasosial berpandangan bahwa media massa berfungsi dalam memenuhi kebutuhan manusia akan interaksi sosial. Hal ini tercapai apabila media massa member peluang hubungan parasosial yang akrab.

Akhirnya, Malvin L. DeFleur memperkenalkan beberapa teori dalam mengukur efek komunikasi massa terhadap masyarakat antara lain :

1. Teori perbedaan-perbedaan individu 2. Teori penggolongan sosial

(17)

4. Teori norma-norma budaya C. Kesimpulan

Robert Frederich berhasil merumuskan paradigma itu secara disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Kuhn melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahuna bukan terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi secara revolusi. Dalam masa tertentu ilmu sosial didominasi oleh paradigma tertentu. Kemudian terjadi pergantian dominasi paradigma, dari paradigma lama yang memudar ke paradigma baru. Empat paradigma atau perspektif komunikasi dari Fisher tersebut diterapkan dalam komunikasi politik. Keempat perspektif tersebut yaitu mekanisme, psikologi, interaksional, dan pragmatis. Justru itu perspektif boleh diartian sebagai pendekatan strategi intelektual, kerangka konseptual komunikasi selama ini ke dalam empat perspektif tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Pembuangan sampah pada mall pada umumnya adalah dengan menggunakan tempat sampah, yaitu sampah dari masing-masing ruangan maupun bangunan, dikumpulkan pada kantong-kantong

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketrampilan proses sains dan penguasaan konsep siswa melalui problem based learning (PBL) berbantuan real-virtual

Kajian ini adalah bertujuan untuk mengenalpasti satu garis panduan keselamatan dan kesihatan di tapak bina bagi kontraktor binaan dan mengenalpasti persepsi.. penggunaan

Komitmen merek sangat terkait dengan loyalitas merek (Kim et al ., 2008), beberapa berpendapat bahwa komitmen adalah syarat cukup diperlukan pada loyalitas merek

Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari pe- nelitian, diperoleh pertumbuhan ha- rian rata-rata ikan nila dan ikan le- le sangkuriang adalah 0,011 g/hari ± 0,004 dan 0,002 g/hari

terdahulu tentang Hukum Kepelabuhanan, sangat sulit penulis dapatkan, bahkan bisa dikatakan tidak ada sumber yang benar-benar secara utuh mengkaji tentang Hukum Kepelabuhanan, buku

Penelitian ini bertujuan ini untuk membuat konsep alat peraga interaktif yang dapat digunakan di taman kanak-kanak berbasis Media Interactive Whiteboard .Pengujian