BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi
Penyakit dapat timbul dengan beberapa penyebab, salah satunya adalah mikroba patogen seperti bakteri, jamur, virus, dan lain-lain. Penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen ini disebut dengan penyakit infeksi. Infeksi terjadi apabila mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh menyebabkana berbagai gangguan fisiologis normal tubuh, sehingga timbul penyakit infeksi. Penyakit infeksi memiliki kemampuan menular kepada orang lain yang sehat sehingga populasi penderita dapat meluas, karena penyebab penyakit ini adalah mikroorganisme yang hidup dan berkembang dengan berbagai cara. Salah satu penyakit infeksi yang banyak terjadi di Indonesia adalah infeksi saluran kemih. (Wattimena, dkk., 1991).
2.1.1 Infeksi saluran kemih
Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan istilah umum yang dipakai untuk menunjukkan keberadaan mikroorganisme di dalam urin. Adanya bakteri di dalam urin disebut bakteriuria. Bakteriauria menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 colony forming units pada biakan urin (Sukandar, 2007).
Menurut Sukandar (2007), umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme tunggal seperti:
- mikroorganisme lain yang juga sering ditemukan adalah Proteus spp, Klebsiella spp, dan Staphylococcus,
- infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas jarang ditemukan kecuali pasca katerisasi.
Perempuan mengidap ISK 10 kali lebih sering dibandingkan dengan laki-laki, karena jarak antara kandung kemih dan uretra adalah 5 cm, sedangkan pada laki-laki adalah 20 cm (Prasetyo, dkk., 2007).
2.2 Antibiotik
2.2.1 Mekanisme kerja antibiotik
Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan spektrum atau kisaran kerja dan mekanisme aksinya. Berdasarkan spektrum atau kisaran kerjanya, antibiotik dapat dibedakan menjadi antibiotik berspektrum sempit (narrow spectrum) yang hanya mampu menghambat segologan bakteri saja, bakteri Gram negatif atau bakteri Gram positif saja, dan antibiotik berspektrum luas (broad spectrum) yang dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan Gram positif maupun Gram negatif. Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotik dibedakan atas:
1. Antibiotik dengan menghambat sintesis dinding sel
Antibiotik ini adalah antibiotik yang merusak lapisan peptidoglikan yang menyusun dinding sel bakteri, contohnya penisilin. Penisilin mengandung stuktur yang mengandung inti berupa cincin laktam. Penisilin diproduksi secara alami maupun semisintetik. Mekanisme kerjanya adalah dengan mencegah ikatan silang peptidoglikan pada tahap akhir sintesis dinding sel, yaitu dengan menghambat protein pengikat penisilin (penicillin binding protein). Contoh antibiotik yang memiliki mekanisme menghambat sintesis dinding sel adalah monobaktam, sefalosporin, karbapenem, basitrasin, vankomisin dan isoniazid (INH) (Pratiwi, 2008).
2. Antibiotik yang merusak membran plasma
membran plasma sel bakteri. Contohnya adalah polimiksin B yang melekat pada fosfolipid membran, amfoterisin B, mikonazol, dan ketokonazol yang ketiganya merupakan antifungi yang bekerja dengan cara berkombinasi dengan sterol pada membran plasma fungi (Pratiwi, 2008).
3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein
Kloramfenikol, tertrasiklin, aminoglikosida eritromisin, dan linkomisin dapat menghambat sintesis protein pada bakteri, namun mekanisme yang tepat belum diketahui seluruhnya (Brooks et al., 2005).
4. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA)
Penghambatan pada sintesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap transkripsi dan replikasi mikroorganisme. Antibiotik penghambat sintesis asam nukleat ini adalah golongan kuinolon dan rifampin (Pratiwi, 2008).
5. Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial
akan terbentuk produk berupa asam folat. Antibiotik yang saat ini sering digunakan adalah kombinasi antara trimetoprim dengan sulfametoksazol (TMP-SMZ) yang berspektrum luas kecuali pada Pseudomonas. Kombinasi ini bertujuan untuk mengurangi efek resistensi bakteri (Pratiwi, 2008).
2.2.2 Kombinasi antibiotik
Menurut Brooks et al. (2005), penggunakan dua atau lebih antibiotik secara bersamaan dapat disebabkan oleh beberapa alasan seperti:
- untuk memberi pengobatan yang tepat bagi pasien yang mempunyai infeksi mikroba serius, kemudian dibuat dugaan terbaik terhadap dua atau lebih mikroba patogen yang paling mungkin, dan obat yang ditujukan untuk organisme tersebut;
- untuk menunda munculnya mutan mikroba yang resisten terhadap satu obat dalam infeksi dilakukan dengan menggunakan dua atau tiga obat yang tidak memiliki reaksi silang;
- untuk mengobati infeksi campuran, terutama akibat trauma yang luas atau yang merusak struktur vaskular;
- untuk mencapai efek sinergisme bakterisidal atau untuk memberikan efek bakterisidal. Penggunakan dua obat secara bersamaan dapat menurunkan dosis secara signifikan, sehingga menghindari toksisitas obat, namun efek antimikroba masih tetap baik.
2.2.3 Resistensi mikroba terhadap antibiotik
agen-agen di sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya secara alamiah. Dalam hal ini termasuklah racun, iritan dan mungkin juga mikroorganisme patogen lainnya (Sumadio dan Harahap, 1995). Timbulnya resistensi mikroba terhadap antibiotik pada dasarnya merupakan usaha mikroba supaya dapat tetap bertahan hidup. Menurut Gillespie dan Bamford (2008) ada beberapa mekanisme yang menyebabkan suatu populasi bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik :
- mikroba memproduksi enzim yang merusak antibiotik, contohnya Staphylococcus memproduksi enzim β-laktamase yang memecah cincin
β-laktam dari penisilin;
- mikroba mengubah permeabilitas membran selnya, contohnya Pseudomonas sp., bersifat impermeabel terhadap beberapa antibiotik
β-laktam;
- mikroba mengubah stuktur target terhadap antibiotik, contohnya resistensi bakteri terhadap aminoglikosida dan eritromisin karena terjadi perubahan pada struktur ribosom;
- mikroba mengembangkan jalan metabolisme baru, bakteri membuat suatu jalur alternatif untuk menghindari blokade metabolisme akibat atibiotik; - mikroba mengembangkan enzim yang tetap berfungsi untuk
metabolismenya, tetapi tidak dipengaruhi oleh antibiotik, contonya resistensi terhadap trimetoprim;
2.3 Kotrimoksazol
Kotrimoksazol merupakan kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim dalam perbandingan 5:1.
2.3.1 Sulfametoksazol
Menurut Ditjen POM (1995), karakteristik sulfametoksazol adalah: rumus struktur
nama kimia : N1 – (5-metil-3-isoksazolil)sulfanilamide rumus molekul : C10H11N3O3S
berat molekul : 253,28
pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih, praktis tidak berbau
kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam kloroform, mudah larut dalam aseton dan dalam larutan natrium hidroksida encer, agak sukar larut dalam etanol.
digunakan sebagai prekursor asam pteroilglutamat (PGA) (Sumadio dan Harahap, 1995).
2.3.2 Trimetoprim
Menurut Ditjen POM (1995), karakteristik trimetoprim adalah: rumus struktur
nama kimia : 2,4-Diamino-5-(3,4,5-trimetoksibenzil)pirimidina rumus molekul : C14H18N4O3
berat molekul : 290,36
pemerian : Hablur atau serbuk hablur,putih sampai krem, tidak berbau
kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, larut dalam benzilalkohol, agak sukar larut dalam kloroform dan dalam metanol, sangat sukar larut dalam etanol dan dalam aseton, praktis tidak larut dalam eter dan dalam karbon tetraklorida.
karbon yang dibutuhkan untuk biosintesis purin, pirimidin dan beberapa asam amino dalam sel bakteri (Sumadio dan Harahap, 1995).
2.3.3 Farmakokinetik
Trimetoprim diabsorpsi dengan baik di usus dan didistribusikan secara luas dalam caian dan jaringan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Trimetoprim lebih larut dalam lemak dibandingkan sulfametoksazol, maka volume distribusi trimetoprim lebih banyak dibandingkan sulfametoksazol. Jika satu bagian trimetorim diberikan dengan lima bagian sulfametoksazol, maka konsentrasi plasma puncaknya adalah pada rasio 1:20 yang merupakan konsentrasi optimal. Sulfametoksazol lebih banyak terikat pada protein plasma dibandingkan dengan trimetoprim (Chambers, 2001).
2.3.4 Kegunaan
Kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim menjadi terapi efektif untuk infeksi, meliputi infeksi saluran kemih, pneumonia akibat Pneumocystis jiroveci, shigelosis, infeksi salmonella sistemik, dan beberapa infeksi Mycobacterium non tuberculosis. Kotrimoksazol merupakan pengobatan yang efektif untuk infeksi-infeksi saluran kemih dengan komplikasi, alat kelamin (prostatitis) dan saluran cerna (Chambers, 2001).
2.3.5 Efek samping
hendaknya disertai dengan pengawasan darah. Risiko kristaluria dapat dihindari dengan meminum lebih dari 1,5 liter air sehari (Tjay, 2002).
2.3.6 Bentuk sediaan
Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral yang mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim atau 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim. Untuk anak-anak tersedia dalam bentuk suspensi oral yang mengandung 200 mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim per 5 ml, serta tablet pediatrik yang mengandung 100 mg sulfametoksazol dan 20 mg trimetoprim. Untuk pemberian intravena tersedia sediaan infus yang mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim per 5 ml (Gunawan, 2007).
2.3.7 Dosis
Pemberian secara oral: 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol, untuk dosis dewasa 160 mg trimetoprim dan 800 mg sulfametoksazol. Dalam sediaan suspensi 40 mg trimetoprim dan 200 mg sulfametoksazol per 5 ml. Pemberian secara parenteral: 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol per 5 ml ( Chambers, 2001).
2.3.8 Mekanisme kerja
dihidrofolat secara kompetitif menghambat sintesis asam tetrahidrofolat (Pratiwi, 2008).
2.3.9 Resistensi terhadap sulfonamida dan trimetoprim
Sulfonamida dan trimetoprim menghambat reaksi yang berbeda pada jalur metabolisme yang memproduksi asam tetrahidrofolat (tetrahydrofolic acid), yang merupakan kofaktor esensial dalam sintesis asam nukleat. Resistensi terhadap sufonamid dan trimetoprim disebabkan oleh mutasi pada gen pengkode enzim yang terlibat dalam jalur metabolisme sintesis asam tetrahidrofolat. Enzim berubah berfungsi secara normal namun tidak dihambat oleh sulfonamida dan trimetoprim. Pencegahan resistensi dapat dilakukan dengan menggunakan penakaran obat yang relatif tinggi, melebihi dosis efektif minimal, dan digunakan dalam waktu yang singkat. Cara pencegahan yang lain adalah dengan pembatasan pemberian antibiotik hanya untuk penyakit infeksi yang parah dan penggunaan dosis yang benar dan sesuai aturan (Pratiwi, 2008).
2.4 Bakteri
2.4.1 Klasifikasi bakteri
Berdasarkan bentuk morfologinya, bakteri dapat dibagi atas tiga golongan (Dwidjoseputro, 1990) yaitu:
a. Golongan Basil
Berbentuk seperti tongkat pendek, silindris dan dapat dibedakan atas : - Streptobasil, yaitu basil yang bergandeng-gandengan panjang. - Diplobasil, yaitu basil yang bergandengan dua-dua
b. Golongan Kokus
Bakteri yang bentuknya serupa bola-bola kecil. Bentuk kokus ini dapat dibedakan atas:
- Streptokokus, yaitu kokus yang bergandengan panjang serupa rantai. - Diplokokus, yaitu kokus yang bergandengan dua-dua.
- Tetrakokus, yaitu kokus yang mengelompok berempat.
- Stafilokokus, yaitu kokus yang mengelompok berupa suatu untaian. - Sarsina, yaitu kokus yang mengelompok serupa kubus.
c. Golongan Spiril
Spiril adalah bakteri yang berbengkok-bengkok serupa spiral. Bakteri yang berbentuk spiral ini tidak banyak dan merupakan golongan yang paling kecil dibandingkan golongan kokus dan basil.
2.4.2 Pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan bakteri
a.Suhu
Seperti halnya makhluk hidup tingkat tinggi, untuk pertumbuhannya bakteri memerlukan suhu tertentu. Berdasarkan suhu yang diperlukan untuk tumbuh, bakteri dapat dibagi menjadi :
- bakteri psikrofil, yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu antara 0-200C, dengan suhu optimal 250C;
- bakteri mesofil, yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu antara 25-400C, dengan suhu optimal 370C;
- bakteri termofiL, yaitu bakteri yang tumbuh antara suhu 50-600C. b. pH
Bakteri juga memerlukan pH tertentu untuk pertumbuhannya. Umumnya bakteri memiliki jarak pH yang sempit, yaitu sekitar 6,5-7,5 atau pada pH netral. Beberapa bakteri ada yang dapat hidup pada pH 4, dan ada juga yang dapat hidup pada pH alkalis.
c. Kelembaban
Bakteri pada umumnya memerlukan lingkungan dengan kelembaban yang cukup tinggi untuk hidup, yaitu 80%. Pengurangan kadar air dari protoplasmanya menyebabkan kegiatan metabolisme terhenti, misalnya pada proses pembekuan dan pengeringan.
d. Cahaya
berakibat menghambat pertumbuhan atau menyebabkan kematian. Pengaruh cahaya terhadap bakteri dapat digunakan sebagai dasar proses sterilisasi atau pengawetan bahan makanan.
e. Pengaruh oksigen
Mikroorganisme sering dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan kebutuhannya akan oksigen (Lay,1994) yaitu:
- aerob obligat , yaitu mikroorganisme yang memerlukan oksigen untuk hidupnya;
- anaerob obligat, yaitu mikroorganisme yang tidak dapat hidup bila ada oksigen;
- anaerob fakultatif, yaitu mikroorganisme yang mampu tumbuh dalam lingkungan dengan atapun tanpa oksigen;
- mikroaerofil, yaitu mikroorganisme yang memerlukan oksigen, namun hanya dapat tumbuh bila kadar oksigen diturunkan menjadi 15% atau kurang.
2.5 Bakteri Uji
2.5.1 Bakteri Escherichia coli
Bakteri ini termasuk bakteri Gram negatif, berbentuk batang, bersifat anaerob fakultatif. Batas-batas suhu untuk pertumbuhannya ialah
infeksi terbanyak (80%); gastroenteritis dan meningitis pada bayi, peritonitis, infeksi luka dan lainnya (Gibson, 1996).
2.5.2 Bakteri Staphylococcus aureus
Bakteri ini termasuk bakteri Gram positif , berbentuk kokus, bersifat anaerob fakultatif. Batas-batas suhu untuk pertumbuhannya ialah 150C sampai
400C, sedangkan suhu pertumbuhan optimum ialah 35-370C (Chatim, 1994; Dwidjoseputro, 1990).
Staphylococcus aureus adalah suatu bakteri penyebab keracunan yang memproduksi enterotoksin. Bakteri ini sering ditemukan pada makanan-makanan yang mengandung protein tinggi. Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus dengan diameter 0.7 – 0.9 µm. Staphylococcus aureus tahan garam dan tumbuh dengan baik pada medium yang mengandung 7.5% NaCl, serta dapat memfermentasi manitol (Fardiaz, 1993).
2.6 Uji Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik
Uji sensitivitas bakteri terhadap antibiotik bertujuan untuk mengetahui apakah antibiotik yang digunakan masih dapat mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Uji sensitivitas bakteri terhadap antibiotik pada dasarnya dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :
a. Metode Dilusi
Pengujian dilakukan menggunakan tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba. Masing-masing tabung kemudian diisi dengan obat pada rentang konsentrasi tertentu. Selanjutnya tabung diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM. Biakan dari semua tabung jernih diinokulasikan pada media padat, diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan diamati ada tidaknya koloni mikroba yang tumbuh. Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan mikroba adalah KBM (Dzen dkk., 2003). b. Metode Difusi
Pada metode difusi obat dijenuhkan ke dalam cakram kertas. Cakram kertas diletakkan di atas permukaan media padat yang telah dicampur dengan mikroba, dan diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam. Zona hambat disekitar cakram kertas yang menunjukkan daya hambat antibiotik terhadap pertumbuhan mikroba. Sensitivitas bakteri terhadap antibiotik dapat dievaluasi menggunakan metode Kirby-Bauer dan Joan-Stokes (Dzen dkk., 2003).
Metode Kirby Bauer, sensitivitas bakteri ditentukan dengan
membandingkan diameter zona hambat disekitar cakram dengan tabel standar yang dibuat oleh masing-masing negara.
Metode Joan-Stokes, sensitivitas bakteri ditentukan dengan
yang sudah diketahui kepekaannya terhadap obat tersebut dengan isolat bakteri yang diuji.
c. Metode E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi KHM. Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung antibiotik dari konsentrasi terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami bakteri.pengamatan dilakukan pada daerah jernih yang menunjukkan konsentrasi antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri. Prinsip metode ini juga berdasarkan metode difusi (Pratiwi, 2008).
d. Metode Cup-plate