• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFERAT SGB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFERAT SGB"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

REFARAT

REFARAT

PENYAKIT AUTOIMUN:

PENYAKIT AUTOIMUN:

SINDROM GUILLAIN-BARRE

SINDROM GUILLAIN-BARRE

Dosen Pembimbing

Dosen Pembimbing

dr.

dr. Hophoptua

Hophoptua N.

N. Manurung,

Manurung, Sp.S

Sp.S

Disusun Oleh

Disusun Oleh

Bintari Anindhita

Bintari Anindhita

0961050058

0961050058

KEPANITERA

KEPANITERAAN KLINIK

AN KLINIK NEUROLOGI

NEUROLOGI

PERIODE 24 JUNI 2013

PERIODE 24 JUNI 2013

 – 

 – 

 20 JULI 2013

 20 JULI 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN

INDONESIA

INDONESIA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang dapat bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut pada saluran  pernapasan atau pencernaan, imunisasi atau prosedur pembedahan.

Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi  peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak  bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan  penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara

usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Klasifikasi

Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut pada saluran  pernapasan atau pencernaan, imunisasi atau prosedur pembedahan. SGB merupakan  penyebab tersering dari paralisis generalisata subakut. SGB terjadi di seluruh dunia dan tidak mengenal musim, dan dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa di segala umur dan jenis kelamin.

Gejala dan tanda dari SGB antara lain adalah kelemahan otot yang bersifat simetris,  berlangsung dengan cepat dan progresif, hilangnya refleks tendon, facial displegia, paresis orofaring dan pernafasan, gangguan sensasi pada tangan dan kaki. Kondisi ini dapat memburuk selama beberapa hari hingga tiga minggu, yang akan diikuti dengan periode stabil dan perbaikan secara bertahap kembali ke fungsi normal/hampir normal. Pada kasus yang  berat, kelemahan otot dapat berlanjut menjadi suatu kegagalan pernafasan.

Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu: 1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)

Pada AIDP antibodi menyerang permukaan myelin sel Schwann, lalu terjadi kerusakan yang menyebar, aktivasi makrofag, infiltrasi limfotik dan kerusakan axonal sekunder.

2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)

AMAN sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, proses penyembuhan biasanya terjadi dengan cepat, dan ditemukan antibodi anti-GD1a. Pada AMAN, antibodi pertama kali

(4)

menyerang nodus motorik Ranvier, kemudian terjadi aktivasi makrofag, sedikit limfosit, dan makrofag periaxonal. Dapat terjadi kerusakan aksonal yang ekstensif.

3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

AMSAN jarang terjadi dan biasanya terjadi pada orang dewasa, proses penyembuhannya lama dan sering meninggalkan gejala sisa. Sama seperti AMAN, AMSAN juga menyerang nervus motorik, tetapi juga menyerang akar dan saraf sensorik, dan kerusakan aksonal yang terjadi biasanya berat.

4. Miller Fisher’s syndrome (MFS)

MFS juga jarang terjadi dan dapat menyerang anak-anak dan orang dewasa. Pada MFS dapat terjadi ataxia yang berkembang secara cepat dan arefleksia dari tungkai yang tidak disertai dengan kelemahan, serta oftalmoplegia yang sering disertai dengan paralisis pupil. 90% kasus MFS ditemukan antibodi anti-GQ1b.

2.2. Etiologi

Penyebab dari SGB hingga saat ini masih belum dapat diketahui. SGB diduga merupakan penyakit yang dimediasi oleh sel imun karena penyakit dengan gambaran klinis yang mirip SGB (gambaran patologis, elektrofisiologi, dan gangguan LCS yang mirip) dapat diinduksi pada hewan experimental dengan imunisasi menggunakan saraf tepi, myelin sarah tepi, atau galaktoserebrosid. Walaupun belum ada bukti sensitisasi antigen ini pada pasien dengan SGB, aktifitas dari penyakit ini tampak berkorelasi dengan adanya serum antibodi  pada myelin saraf tepi. SGB sering didahului oleh infeksi virus, namun belum ada bukti yang

(5)

Antecedent Events

Kurang lebih 70% dari kasus SGB terjadi 1-3 minggu setelah proses infeksi akut,  biasanya infeksi pada saluran pernapasan atau pencernaan. Berdasarkan kultur dan hasil serologi di Amerika, Eropa, dan Australia, sebanyak 20-30 % kasus SGB yang terjadi didahului oleh infeksi maupun reinfeksi dari Campylobacter Jejuni. Proporsi yang sama juga diawali oleh infeksi virus herpes, CMV, dan epstein-Barr. Virus lain dan juga Mycoplasma Pneumonie telah diidentifikasi sebagai agen yang berperan dalam kejadian SGB. Imunisasi  juga salah satu antecedent event pada SGB. Salah satu contohnya adalah vaksin influenza yang digunakan secara massal di Amerika pada tahun 192-1994. Vaksin rabies tipe lama yang disiapka dalam jaringan saraf, diduga juga berperan sebagai pemicu terjadinya SGB  pada negara berkembang yang masih menggunakan vaksin tersebut. Diduga terjadi imunisasi terhadap antigen neural. SGB lebih sering terjadi pada pasien dengan lymphoma (termasuk  penyakit Hodgkin), pasien dengan HIV-seropositif dan pasien dengan systemic lupus

erythematous (SLE).

Beberapa keadaan/penyakit lain yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:

 Pembedahan

 Penyakit sistematik:

o Keganasan

o Systemic lupus erythematosus o Tiroiditis

o Penyakit Addison

(6)

2.3 Patogenesa

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi sar af tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Diduga mekanisme imun selular dan humoral berperan dalam kerusakan jaringan pada SGB. Aktivasi sel T diduga terjadi karena ditemukannya peningkatan kadar sitokin IL2, IL6, TNF dan reseptor sitokin dalam serum dan cairan serebrospinal.

Pada SGB tipe demyelinasi, dasar dari terjadinya paralisis flasid dan gangguan sensorik adalah blok konduksi. Blok konduksi yang ditemukan secara elektrofisiologi, menunjukkan  bahwa koneksi aksonal tetap intak. Oleh karena itu, penyembuhan dapat terjadi dengan cepat  jika remyelinisasi terjadi. Pada kasus SGB demyelinisasi berat, degenerasi aksonal sekunder  biasanya terjadi yang dapat dideteksi secara elektrofisiologi. Degenerasi aksonal sekunder  berkorelasi dengan penyembuhan yang lebih lama dan gejala sisa yang lebih hebat.a

(7)

Ketika pola axonal yang parah ditemukan dalam elektrofisiologi, hal ini berimplikasi  bahwa akson telah berdegenerasi dan terputus dari targetnya (celah neuromuskular) dan oleh

sebab itu harus beregenerasi agar terjadi penyembuhan. Pada kasus motor aksonal dimana  penyembuhan terjadi dengan cepat, lesi diduga terlokalisi di cabang motorik preterminal yang

menyebabkan regenerasi dan reinervasi berlangsung dengan cepat. Peran Imunitas Seluler

Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping  peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone arrow) steam cell

yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid danperedaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan  pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein

(8)

2.4 Patologi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pert ama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan telubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan  bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari  pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.

2.5 Gejala Klinis dan Kriteria Diagnosa

Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Penyakit SGB biasanya mempunyai suatu  pattern yang asenden dengan kelumpuhan yang progresif, yang dimulai dari ekstremitas bawah, disertai dengan arefleksia. Kelemahan hampir selalu simetris dan harus dipertimbangkan diagnosis yang lain, bila ditemukan kelumpuhan yang asimetris.

(9)

Sekuele biasanya terjadi dalam bidang otonomik atau disfungsi saraf motorik, namun  juga bisa dalam bentuk gangguan parestesia dan gangguan sensibilitas. Parestesia biasanya

dimulai pada ujung jari kaki dan meluas keatas dan sentral. seringkali ada nyeri terutama di  pinggang bawah dan pantat, namun bisa juga di paha dan di pundak. Gangguan pada saraf kranial bisa ditemukan pada 45 – 75% kasus, dan bisa terjadi kelemahan muka, disfasia atau disartri. Bisa pula ditemukan varian Miller-Fisher dengan oftalmoplegi dan ataksia (23%). Pada SGB juga bisa tampak gangguan pada tanda-tanda vital yang menandakan adanya suatu disfungsi otonom dan bisa dalam bentuk bradikardia atau takhikardia, hipotensi atau hipertensi, hipotermia atau hipertermia. Disfungsi otonom bisa terjadi pada 26% pasien dan mencakup sistem simpatik dan parasimpatik . Selain fluktuasi pada denyut jantung, tekanan darah dan suhu, juga bisa terjadi anhidrosis, ileus paralitik, gangguan miksio dan disfungsi  pupil. Gangguan saraf kranial bisa terkena pada 45 –  75 % kasus dan urutan dari banyaknya terjadi adalah pada saraf fasial, bulber, mengunyah dan okuler. Berlainan dengan kelemahan ekstremitas yang simetris, maka biasanya kelumpuhan otot muka terjadi secara asimetris. Disrefleksia, refleks biasanya menurun atau menghilang pada pasien dengan kelumpuhan. Bila ada kelumpuhan disertai refleks yang normal, harus dipertimbangkan suatu diagnosis alternatif yang lain. Hipotonia, gangguan sensorik, kelumpuhan yang desenden pada varian  bulber seperti disfagia, disartri dan mengeluarkan air liur. Paralisis otot pernafasan bisa

terjadi pada 25% kasus SGB.

Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of  Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

 Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:

o Terjadinya kelemahan yang progresif o Hiporefleksi

(10)

 Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

o Ciri-ciri klinis:

 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4

minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.

 Relatif simetris

 Gejala gangguan sensibilitas ringan

 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak

lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain  Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang

sampai beberapa bulan.

 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi

dangejala vasomotor.

 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

o Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

 Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada

LP serial

 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3

Varian:

 Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

 Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

o Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:

(11)

2.6 Diagnosa Banding

Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan keadaan lain, seperti:

o Mielitis akuta

o Poliomyelitis anterior akuta o Porphyria intermitten akuta o Polineuropati post difteri

2.7 Terapi

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga  pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit

dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

Menurut petunjuk  guideline dari  American Academy of Neurology (AAN), maka  pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 –  4 minggu setelah gejala pertama timbul, dapat mempercepat waktu penyembuhan. Plasmaparesis atau imunoglobulin intravena (IVIg) dosis tinggi sama efektifnya dan dapat digunakan sebagai terapi awal. Kombinasi dari kedua terapi ini tidak lebih baik secara signifikan dibandingkan digunakan sendiri. IVIg biasanya lebih dipilih sebagai terapi awal karena kemudahannya dalam administrasi dan keamanannya. Metaanalisis dari randomized clinical trial   menunjukkan  bahwa pengobatan yang dilakukan secara dini mengurangi kebutuhan pasien akan ventilasi

(12)

mekanik sebanyak hampir 50% dan meningkatkan kemungkinan kesembuhan total dalam waktu 1 tahun.

2.7.1 Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

2.7.2 Plasmaparesis

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa  perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama  perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml  plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset

gejala (minggu pertama).

2.7.3 Pengobatan imunosupresan: a. Imunoglobulin IV

Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan  plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. IVIg dapat diberikan sebagai

infus sebanyak 5x sehari dengan dosis total 2gr/kgBB. Terdapat bukti bahwa autoantibodi SGB dapat dinetralisir oleh antibodi anti-idiotipik yang ditemukan dalam preparat IVIg.

b. Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

(13)

o cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

2.8 Prognosa

Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil  penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa

gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:

o Pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal

o Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset o Progresifitas penyakit lambat dan pendek

(14)

BAB III KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut pada saluran  pernapasan atau pencernaan, imunisasi atau prosedur pembedahan.

SGB diduga merupakan penyakit yang dimediasi oleh sel imun. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain adalah infeksi, vaksinasi, pembedahan, penyakit sistematik seperti keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis, penyakit addison dan kehamilan atau dalam masa nifas.

SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomatik. Menurut petunjuk  guideline dari  American Academy of Neurology (AAN), maka pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2  –   4 minggu setelah gejala  pertama timbul, dapat mempercepat waktu penyembuhan. Plasmaparesis ( plasma exchange therapy) dan imunoglobulin intravena (IVIg) terbukti efektif sebagai pengobatan SGB. Kedua modalitas pengobatan ini telah terbukti dapat memperpendek waktu penyembuhan sampai 50%.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Andary, M. T., & Meier, R. H. (2012). Guiilain-Barre Syndrome. Dipetik Juli 7, 2013, dari Medscape Drugs, Diseaseas & Procedures: http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview

Brannagan, T. H., Weimer, L. H., & Latov, N. (2005). Acquired Neuropathies. Dalam L. P. Rowland, Merritt's Neurology (11 ed.).

Hauser, S. L., & Asbury, A. K. (2010).   Guillain-Barre Syndrome and Other Immune-Mediated Neuropathies. Dalam S. L. Hauser, & S. A. Josephson,  Harrison's Neurology in Clinical Medicine (2 ed.). The McGraw-Hill Company.

Japardi, I. Sindroma Guillain-Barre. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Ropper, A. H., & Brown, R. H. (2005). Diseases of the Peripheral Nerves. Dalam  Adams and Victor's Principles of Neurology (8 ed.). The McGraw-Hill Companies.

Referensi

Dokumen terkait

SARS atau sindrom pernapasan akut berat adalah sindrom akibat infeksi virus pada paru yang bersifat mendadak dan menunjukan gejala gangguan pernapasan pada

SARS atau sindrom pernapasan akut berat adalah sindrom akibat infeksi virus pada paru yang bersifat mendadak dan menunjukan gejala gangguan pernapasan pada pasien yang mempunyai

Morbili merupakan penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan

Ditemukannya tanda-tanda LMN mendukung untuk terjadinya sindrom guillain barre sindrom, pada pasien ini ditemukan adanya tanda LMN yang didapatkan atrofi otot +

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa plasmaferesis dan imunoglobulin intravena (IVIg) sebagai terapi sindrom Guillain-Barre memiliki efektivitas yang sama, namun

Kolangitis akut merupakan superimpose infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu namun dapat pula

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut,

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari)