BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Keagenan
Dalam rangka memahami corporate governance maka digunakanlah dasar perspektif hubungan keagenan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal). Terjadinya konflik kepentingan antara pemilik dan agen karena kemungkinan agen bertindak tidak sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).
Sebagai agen, manajer bertanggung jawab secara moral untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal) dengan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ali, 2002).
Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya.
Sebagai pengelola perusahaan, manajer perusahaan tentu akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang
dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu manajer sudah seharusnya selalu memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang dapat diberikan oleh manajer yakni melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan hal yang sangat penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali,2002).
Adanya ketidakseimbangan penguasaan informasi ini akan memicu munculnya kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Dengan adanya asimetri informasi antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) akan memberi kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) sehingga akan menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Penelitian Richardson (1998) menunjukkan adanya hubungan positif antara asimetri informasi dan manajemen laba.
Corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance sangat berkaitan dengan bagaimana membuat para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana / kapital yang telah ditanamkan oleh investor.
Selain itu Corporate Governance juga berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer. Dengan kata lain yakni corporate governance
diharapkan akan dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya keagenan (agency cost).
2.2 Good Corporate Governance
2.2.1 Definisi Good Corporate Governance
Perkembangan definisi tentang corporate governance sendiri jika diruntut berdasarkan tahunnya akan memperlihatkan dinamisme pengertiannya. Beberapa pakar telah mengemukakan definisi corporate governance. Berbagai definisi tersebut antara lain adalah :
Menurut FCGI,(2001) dan OECD,(2004) dalam Boediono (2005) :
“Mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”.
Pasal 1 Surat Keputusan Menteri BUMN No.117/M-MBU/2002 Tanggal 31 Juli 2002 tentang Penerapan GCG pada BUMN menyatakan bahwa corporate governance :
“Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memerhatikan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika”.
Good Corporate Governance menurut Daniri dalam bukunya Good Corporate Governance (2005:8) :
“Didefinisikan sebagai suatu pola hubungan sistem dan proses yang digunakan oleh perusahaan (direksi, dewan komisaris, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang dengan tahap memeperhatikan stakeholders lainnya berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku”.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, GCG secara singkat dapat diartikan sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) bagi para pemangku kepentingan. Hal ini disebabkan karena GCG dapat mendorong terbentuknya pola kerja manajemen yang Bersih, Transparan, dan Profesional (BTP). Implementasi prinsip-prinsip GCG secara konsisten diperusahaan akan menarik minat para investor, baik domestik maupun asing. Hal ini sangat penting bagi perusahaan yang akan mengembangkan usahanya, seperti melakukan investasi baru maupun proyek ekspansi.
2.2.2 Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), telah mengembangkan The OECD Principles of Corporate Governance pada bulan April 1998. Prinsip-prinsip corporate governance yang dikembangkan oleh OECD dalam buku Good Corporate Governance karangan Siswanto dan Aldridge (2005:9) tersebut mencakup 5 (lima) hal berikut ini :
1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (the rights of shareholders).
Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas. Hak-hak tersebut mencakup hak dasar pemegang saham, diantaranya: hak untuk memperoleh jaminan keamanan atas metode pendaftaran kepemilikan; hak untuk mengalihkan atau memindahtangankan kepemilikan saham; hak untuk ikut berpartisipasi dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
2. Perlakuan yang setara terhadap seluruh pemegang saham (the equitable treatment of shareholders).
Kerangka yang dibangun dalam corporate governance haruslah menjamin perlakuan yang setara terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas. Prinsip ini mengharuskan anggota dewan komisaris untuk terbuka ketika menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan atau konflik kepentingan (conflict of interest).
3. Peranan pemangku kepentingan berkaitan dengan perusahaan (the role of stakeholders).
Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus memberikan pengakuan terhadap hak-hak pemangku kepentingan, sebagaimana ditentukan oleh
undang-undang dan mendorong kerja sama yang aktif antara perusahaan dengan pemangku kepentingan dalam rangka menciptakan lapangan kerja, kesejahteraan, serta kesinambungan usaha (going concern).
4. Pengungkapan dan transparansi (disclosure and transparancy).
Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus menjamin adanya pengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan berkaitan dengan perusahaan.
5. Tanggung jawab dewan komisaris atau direksi (the responsibilities of the board). Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus menjamin adanya pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif terhadap manajemen oleh dewan komisaris, dan pertanggungjawaban dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.
Prinsip-prinsip GCG sesuai Pasal 3 Surat Keputusan Menteri BUMN No.117/M-MBU/2002 Tanggal 31 Juli 2002 tentang Penerapan GCG pada BUMN sebagai berikut. 1. Transparansi (transparancy)
Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan pengungkapan informasi materil yang relevan mengenai perusahaan.
2. Pengungkapan (disclosure)
Penyajian informasi kepada para pemangku kepentingan, baik diminta maupun tidak diminta, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kinerja operasional, keuangan, dan risiko usaha perusahaan.
3. Kemandirian (independence)
Suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa konflik kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
4. Akuntabilitas (accountability)
Kejelasan fungsi, pelaksanaan, serta pertanggungjawaban manajemen perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif dan ekonomis.
5. Pertanggungjawaban (responsibility)
Kesesuaian pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
6. Kewajaran (fairness)
Keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak pemangku kepentingan yang timbul sebagai akibat dari perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.2.3 Tujuan Good Corporate Governance
Menurut Siswanto Sutojo dan E Jhon Aldrige dalam bukunya Good Corporate Governanace (2005:5) tujuan dari good corporate governance adalah :
1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham,
2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota the Stakeholder non pemegang saham, 3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham,
4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dewan pengurus atau Board of Directors dan manajemen perusahaan, dan
5. Meningkatkan mutu hubungan Boards Directors dengan manajemen senior perusahaan.
2.2.4 Manfaat Good Corporate Governanace
Menurut Effendi dalam bukunya The Power Of Good Corporate Governance (2009:112) menjabarkan empat manfaat yang diperoleh perusahaan apabila menerapkan GCG adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan reputasi manajemen (reputation management).
Reputasi merupakan hal yang kritikal bagi kesuksesan perusahaan. Reputasi yang positif perlu dibangun dan dikelola oleh perusahaan secara serius.
2. Mempermudah dalam mengelola profil risiko (risk profile) dan manajemen risiko (risk management).
Beberapa risiko potensial yang mungkin akan menimpa perusahaan perlu diantisipasi, sehingga dapat meminimalkan dampak negatif yang merugikan perusahaan.
3. Meningkatkan kreativitas dan inovasi terutama pada karyawan level bawah.
Perusahaan dapat berkembang dengan pesat, apabila para karyawan memiliki ide-ide kreatif dan inovasi yang tinggi yang dapat diaplikasikan untuk kemajuan perusahaan. 4. Meningkatkan efesiensi operasional.
GCG akan berfokus pada tujuan utama, sehingga dapat melakukan perbaikan langsung pada berbagai bidang operasional yang berdampak pada penghematan biaya (cost reduction).
2.2.5 Mekanisme Good Corporate Governance
Mekanisme pengawasan dalam corporate governance dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1. Internal Mechanism
Internal Mechanism adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan menggunakan struktur dan proses internal seperti RUPS, komposisi dewan komisaris, komposisi dewan direksi dan pertemuan dengan board of directors.
2. Eksternal Mechanism
Eksternal Mechanism adalah cara mempengaruhi perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal perusahaan seperti pengendalian oleh perusahaan dan pengendalian oleh pasar.
Organization Economic Coorperation and Development (OECD) memberikan suatu sikap bahwa ada enam komponen utama dari mekanisme corporate governance agar konsep corporate governance dapat berjalan dengan baik yaitu:
1. Dasar keyakinan untuk menerapkan konsep corporate governance yang efektif (penjelasan mengenai transparansi dalam laporan keuangan seperti tanggung jawab perusahaan, fungsi pengawasan oleh manajemen perusahaan),
2. Hak dari para pemegang saham (shareholders) dimana perusahaan harus melindungi kepentingan dari para pemegang saham,
3. Perlakuan yang sesuai terhadap para pemilik perusahaan baik pemilik mayoritas dan minoritas seperti hak untuk meminta informasi penting berkaitan dengan perusahaan, 4. Peran dari para pemilik dalam mekanisme corporate governance seperti hak yang dimiliki oleh pemilik terhadap transfer-wealth yang harus dilakukan oleh manajemen perusahaan,
5. Transparasi dan pengungkapan yang memadai dalam laporan keuangan, dan 6. Tanggung jawab dari para direktur (board of directors).
2.3 Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan
sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Kepemilikan institusional dapat diukur dengan menggunakan indikator persentase jumlah saham yang dimiliki pihak institusional dari seluruh jumlah perusahaan. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen. Dengan adanya kepemilikan institusional manajer cenderung berkurang insentifnya untuk memanfaatkan manajemen diskresi (discretionary management) dalam laporan keuangan.
2.4 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang dikelola (Boediono, 2005).
Kepemilikan manajerial merupakan isu penting dalam teori keagenan sejak dipublikasikan oleh Jensen dan Meckling (1976) dalam Ujiyantho (2007) menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen dalam suatu perusahaan maka manajemen akan berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri.
Dalam teori keagenan dijelaskan bahwa kepentingan manajemen dan kepentingan pemegang saham mungkin bertentangan. Hal tersebut disebabkan manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan menambah cost perusahaan yang menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan penurunan dividen yang akan diterima. Pemegang saham menginginkan agar cost tersebut dibiayai
oleh utang, tetapi manajer tidak menyukai dengan alasan bahwa utang mengandung resiko yang tinggi. Perbedaan kepentingan seperti itulah maka timbul konflik yang biasa disebut dengan konflik agensi. Konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan yang terkait tersebut. Salah satu mekanismenya adalah dengan meningkatkan kepentingan manajerial.
Kepemilikan manajerial dapat diukur dengan menggunakan indikator persentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar.
2.5 Dewan Komisaris independen
Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Ada beberapa misi yang diemban komisaris independen untuk mewujudkan kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab. Pertama, mendorong terciptanya iklim yang objektif dan keadilan untuk semua kepentingan sebagai prinsip utama pembuatan keputusan manajerial. Kedua, mendorong diterapkannya prinsip dan praktek good corporate governance di Indonesia. Ketiga, bertanggung jawab untuk mendorong diterapkannya prinsip good corporate governance melalui pemberdayaan dewan komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada manajer secara efektif dan lebih memberikan nialai tambah
bagi perusahaan. Untuk itu ada beberapa tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh komisaris independen, yaitu memastikan bahwa perusahaan :
1. Memiliki strategi bisnis yang efektif, termasuk memantau jadwal, anggaran dan efektivitas strategi itu.
2. Mengangkat eksekutif dan manajer-manajer profesional.
3. Memiliki informasi, sistem pengendalian, dan sistem audit yang bekerja dengan baik. 4. Mematuhi hukum dan perundangan yang berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan
perusahaan dalam menjalankan operasinya.
5. Risiko dan potensi krisis selalu diidentifikasikan dan dikelola dengan baik.
6. Prinsip-prinsip dan praktik good corporate governance dipatuhi dan diterapkan dengan baik, khususnya :
a) Menjamin transparansi dan keterbukaan laporan keuangan perusahaan. b) Perlakuan yang adil untuk pemegang saham minoritas dan stakeholder lain. c) Diungkapkannya transaksi yang mengandung konflik kepentingan secara wajar
dan adil.
d) Kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang berlaku. e) Menjamin akuntabilitas organ perseroan.
Ketentuan dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) mengharuskan dewan komisaris memiliki komisaris independen disamping komite audit. Komisaris independen ini harus berjumlah proposional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali, dan minimal 30% dari jumlah anggota komisaris.
2.6 Kualitas Laporan Keuangan dan Laba
Laporan keuangan (financial statement) menurut SFAC No. 5 (FASB,1984) merupakan gambaran utama dari pelaporan keuangan (financial reporting) sebagai alat komunikasi informasi akuntansi keuangan kepada pihak eksternal. Informasi ini disediakan oleh laporan keuangan dan laporan lainnya yang hanya dapat dihasilkan dari catatan laporan keuangan, informasi tambahan, atau bagian lain dari pelaporan keuangan.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 (2004) menyatakan bahwa laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap meliputi : neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Pemakai laporan keuangan terdiri dari investor sekarang, investor potensial, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok, kreditur, pelanggan, pemerintah, dan lembaganya, dan masyarakat yang menggunakan untuk memenuhi kebutuhan informasi yang berbeda. Investor membutuhkan informasi untuk membantu dalam menentukan apakah harus membeli, menahan, atau menjual investasinya. Pemegang saham tertarik pada informasi akuntansi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam membayar dividen. Investor merupakan penanam modal yang menanggung risiko perusahaan, maka ketentuan laporan keuangan yang memenuhi kebutuhannya akan memenuhi pula sebagian kebutuhan pemakai lain.
Tujuan penyusunan laporan keuangan menurut PSAK No.1 (2004) adalah untuk menyediakan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja, dan perubahan kinerja keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam
pengambilan keputusan. Laporan yang disusun untuk tujuan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pemakai.
Namun demikian, laporan keuangan tidak dapat menyediakan seluruh informasi yang dibutuhkan oleh pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi karena hanya menggambarkan secara umum pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi non-keuangan. Laporan keuangan menunjukkan apa yang telah dilakukan manajemen dan pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Pemakai yang ingin menilai apa yang telah dilakukan dan dipertanggungjawabkan manajemen bermaksud agar dapat membuat keputusan ekonomi seperti keputusan untuk menahan atau menjual investasi dalam perusahaan dan keputusan untuk mengangkat dan mengganti manajemen.
Pengumuman laporan keuangan emiten, khususnya neraca dan laporan laba-rugi, merupakan saat-saat yang ditunggu oleh para investor di bursa saham, karena dengan laporan keuangan itulah para investor dapat mengetahui perkembangan emiten sehingga dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk membeli atau menjual saham yang mereka miliki (Jonas, 2000). Menurut Schroeder dan Clark (1995) konsekuensi pelaporan keuangan bagi investor adalah informasi akuntansi yang disajikan dalam pelaporan keuangan dapat mempengaruhi : (1) distribusi kekayaan antar investor; (2) tingkat risiko yang diterima perusahaan; dan (3) tingkat pembentukan modal dalam perekonomian.
Kualitas informasi akuntansi menurut Statement of Financial Accounting Concepts Nomor 2 (FASB, 1989) dapat dilihat dari dua dimensi. Pertama, para pemakai yang memanfaatkan informasi akuntansi sebagai dasar pengambilan keputusan. Kedua,
kegunaan informasi akuntansi. Berikut dijelaskan kedua dimensi kualitas informasi akuntansi :
1. Dimensi para pemakai, informasi akuntansi yang dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan ditentukan oleh kualitas spesifiknya, yaitu : dapat dipahami (understandability). Informasi akuntansi menjadi tidak berguna sebagai dasar pengambilan keputusan, apabila tidak dapat dimengerti atau dipahami.
2. Dimensi kegunaan, informasi akuntansi yang berguna harus memenuhi kualitas utama dan kualitas kedua, sebagai berikut :
a. Kualitas utama, informasi akuntansi harus memenuhi unsur atau komponen relevan dan handal atau dapat dipercaya.
Agar memenuhi unsur relevan, informasi harus bernilai prediktif, bernilai umpan balik, dan tepat waktu. Nilai prediktif berarti bahwa informasi dapat membantu para pemakainya untuk meningkatkan dalam memperoleh hasil melalui prediksi yang cermat berdasarkan kejadian waktu lampau dan sekarang. Umpan balik berarti bahwa informasi dapat memungkinkan para pemakainya untuk mengkonfirmasikan atau mengoreksi ekspektasinya yang telah dilakukan pada waktu lampau. Dan tepat waktu berarti bahwa informasi siap digunakan oleh para pemakainya, sebelum kehilangan makna dan kapasitasnya dalam mempengaruhi dan menentukan berbagai keputusan.
Agar memenuhi unsur handal atau dapat dipercaya, informasi harus berdaya uji atau dapat diperiksa, penyajian yang jujur dan netral. Berdaya uji berarti informasi yang telah disajikan berdasarkan metode tertentu, apabila diverifikasi dengan metode yang sama oleh pihak lain yang independen, hasilnya sama atau tidak
berbeda. Penyajian yang jujur berarti informasi disajikan tidak memihak dan bebas dari bias atau ditujukan untuk kepentingan yang bersifat umum.
b. Kualitas kedua, informasi akuntansi harus memenuhi unsur atau komponen berdaya banding, termasuk konsistensi.
Berdaya banding berarti bahwa informasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi informasi yang berbeda atau sejenis di antara dua kesatuan fenomena ekonomi. Konsisten berarti bahwa informasi menggunakan kebijakan dan prosedur akuntansi yang tidak berubah dari periode ke periode.
Khusus berkenaan dengan laba-rugi, SFAC No.2 menyatakan bahwa laporan laba-rugi sangat penting bagi para pemakainya karena memiliki nilai prediksi. Menurut SFAC No. 2, unsur-unsur laporan laba-rugi merupakan fokus utama laporan keuangan yang menyediakan informasi tentang kinerja perusahaan. Dikatakan bahwa laba bersih harus mencerminkan semua accounts yang mempengaruhi kenaikan atau penurunan bersih ekuitas pemegang saham dalam suatu periode. PSAK No. 1 (2004) menyatakan bahwa informasi mengenai kinerja perusahaan, terutama informasi tentang profitabilitas diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomi yang mungkin dapat dikendalikan di masa depan. Dalam hal ini informasi tentang fluktuasi kinerja menjadi sangat penting, disamping bermanfaat untuk menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada, juga berguna untuk merumuskan pertimbangan mengenai efektivitas perusahaaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya.
Investor mempunyai anggapan bahwa pengumuman laba memiliki kandungan informasi yang bermanfaat untuk mengetimasi expected values dan risiko dari return sekuritas. Laba dianggap mempunyai informasi untuk menganalisis saham yang diterbitkan oleh emiten. Beberapa riset empiris menunjukkan bahwa laba mempunyai
kandungan informasi dan pasar bereaksi atas pengumuman laba. Reaksi pasar dapat tercermin dari naik-turunnya (volantility) volume transaksi perdagangan dan harga saham.(Beaver, 1968; Daley et al., 1995; Bartov et al., 2000; Purba, 1997; Sadikin, 2000).
Menurut Scott (2000) informasi laba dapat berguna apabila informasi tersebut dapat mengakibatkan para investor mengubah keyakinan dan tindakan mereka; dan tingkat kegunaan tersebut dapat diukur dengan sejauh mana perubahan harga mengikuti pengumuman informasi laba tersebut.
Ada alasan mengapa pasar bereaksi terhadap pengumuman informasi laporan keuangan atau pengumuman laba. Scott (2000) memberikan empat alasan sebagai berikut :
1. Prinsip investor sebelumnya memiliki keyakinan tentang expected return dan risiko dari suatu saham perusahaan. Keyakinan sebelumnya ini didasarkan pada semua informasi yang tersedia secara terbuka, mencakup harga pasar, hanya sampai pada sebelum pengumuman laba bersih perusahaan. Meskipun didasarkan pada informasi yang tersedia secara publik, keyakinan sebelumnya ini tidak perlu semuanya sama, karena para investor akan berbeda di dalam jumlah informasi yang mereka peroleh dan berbeda dalam kemampuan mereka untuk menginterprestasikannya. Keyakinan sebelumnya ini dapat juga mencakup ekspektasi terhadap earning power pada saat ini dan masa depan, karena return sekuritas di masa depan akan tergantung pada profitabilitas perusahaan.
2. Berdasarkan pengumuman laba bersih tahun ini, sejumlah investor akan memutuskan untuk menjadi lebih terdidik (informed) dengan menganalisis angka-angka laba, contohnya jika laba bersih tinggi atau lebih dari yang diharapkan, maka hal tersebut
merupakan good news. Para investor dengan menggunakan cara Theorema Bayes, akan merevisi keyakinan mereka sebelumnya tentang kekuatan laba dan return masa depan. Sementara para investor yang lain, yang barangkali memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap laba bersih yang terjadi saat sekarang, mungkin akan menginterprestasikan angka-angka laba bersih yang sama sebagai bad news.
3. Para investor yang merevisi keyakinan mereka terhadap profitabilitas dan return masa depan yang tinggi akan cenderung membeli saham-saham perusahaan pada harga pasar saat ini, dan sebaliknya untuk para investor yang sudah merevisi keyakinan mereka terlalu rendah (evaluasi mereka terhadap risiko dari saham-saham tersebut mungkin juga direvisi).
4. Kita dapat berharap untuk mengamati volume saham yang diperdagangkan segera meningkat setelah perusahaan melaporkan laba bersihnya. Lebih jauh, volume ini harus lebih besar yang menunujukkan perbedaan keyakinan para investor sebelumnya dan di dalam interprestasi mereka terhadap informasi keuangan saat ini. Jika para investor yang menginterprestasikan laba bersih yang dilaporkan sebagai good news (dan karena itu meningkatkan ekspektasi mereka terhadap profitabilitas dan return masa depan) lebih banyak daripada mereka yang menginterprestasikan sebagai bad news, kita dapat mengharapkan untuk mengamati suatu kenaikan di dalam harga pasar dari saham-saham perusahaan, dan sebaliknya.
2.7 Kualitas Laba
Menurut Beaver (1968) dalam Andreas Lako (2001), laba dikatakan berkualitas apabila laba yang diumumkan memiliki informasi yng mampu mempengaruhi para pelaku pasar dalam mengambil keputusan dan mampu mendorong taksiran investor
terhadap return di masa mendatang. Laba dianggap berkualitas jika mampu menjelaskan dan dapat digunakan untuk memprediksi kinerja perusahaan, baik kinerja fundamental maupun kinerja pasar.
Informasi laporan laba dapat memberikan suatu respon positif maupun negatif terhadap volume perdagangan dan harga saham, jika investor mempunyai anggapan bahwa informasi laba mempunyai berita buruk. Sebaliknya respon negatif akan terjadi jika investor mempunyai anggapan bahwa informasi laba mempunyai berita baik (Andreas Lako, 2001). Dari respon yang diberikan oleh partisipan dan investor sebagai pelaku bursa, pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya perubahan nilai keseimbangan harga saham.
Jika laba ini digunakan oleh investor untuk membentuk nilai pasar perusahaan, maka laba tidak dapat menjelaskan nilai pasar perusahaan yang sebenarnya. Investor yang informed akan melihat bahwa laba tidak dapat digunakan untuk memprediksi harga saham. Namun jika investor tidak memiliki informasi tentang perusahaan, maka investor akan merespon laba tersebut.
Kualitas laba khususnya dan kualitas laporan keuangan pada umumnya adalah penting bagi mereka yang menggunakan laporan keuangan karena untuk tujuan kontrak dan pengambilan keputusan investasi (Schipper dan Vincent, 2003). Terdapat beberapa ukuran atau proksi yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas laba, yaitu : (a) persistensi (persistence); (b) kemampuan prediksi (predictive ability); (c) variabilitasnya (variability) (Schipper dan Vincent, 2003); (d) hubungan antara harga saham dengan informasi laba ( Andreas Lako, 2001, Beaver, 1968); dan (e) hubungan antara return saham dan informasi laba (earning response coefficients) (Scoot, 2000, Cho dan Jung, 1991). Penelitian ini menggunakan pendekatan Earning Response Coefficients (ERC)
sebagai ukuran atau proksi dari kualitas laba, yang dapat dijelaskan pada sub bagian berikut.
2.7.1 Earning Response Coefficients (ERC)
Kualitas laba dapat diindikasikan sebagai kemampuan informasi laba memberikan respon kepada pasar. Dengan kata lain, laba yang dilaporkan memiliki kekuatan respon (power of respon). Kuatnya reaksi pasar terhadap informasi laba yang tercermin dari tingginya Earning Response Coefficients (ERC), menunjukkan laba yang dilaporkan berkualitas. Demikian sebaliknya, lemahnya reaksi pasar terhadap informai laba yang tercermin dari rendahnya ERC, menunjukkan laba yang dilaporkan kurang atau tidak berkualitas.
Tinggi rendahnya Earning Response Coefficients (ERC) tergantung dari informasi yang terdapat atau terkandung dalam laba. Scott (2000) menyatakan bahwa ERC mengukur seberapa besar return saham dalam merespon laba yang dilaporkan oleh perusahaan yang mengeluarkan sekuritas tersebut. Dengan kata lain terdapat variasi hubungan antara laba perusahaan dengan return saham.
Cho dan Jung (1991) mendefinisikan ERC sebagai efek setiap dollar dari laba kejutan (earning surprise) terhadap return saham yang diukur dengan slope koefisien dalam regresi abnormal return dan laba kejutan. Dengan kata lain ERC adalah reaksi atas laba yang diumumkan (published) oleh perusahaan. Dan tinggi rendahnya ERC sangat ditentukan kekuatan responsif yang tercermin dari informasi (good/bad news) yang terkandung dalam laba.
2.7.1.1 Cummulative Abnormal Return (CAR)
Jogiyanto (2003: 415) dalam bukunya Teori Portofolio dan Analisis Investasi mendefinisikan abnormal return sebagai kelebihan dari return yang sesungguhnya terjadi terhadap return normal. Return normal merupakan return ekspektasi atau return yang diharapkan oleh investor. Cummulative Abnormal Return merypakan penjumlahan return tidak normal hari sebelumnya didalam periode peristiwa.
Penelitian ini menggunakan model sesuaian pasar (market adjusted model) untuk menghitung abnormal return. Model ini menganggap bahwa penduga terbaik untuk mengestimasi return sekuritas adalah return indeks pasar pada saat tersebut. Model ini tidak perlu menggunakan periode estimasi, karena return sekuritas yang diestimasi sama dengan return pasar (Jogiyanto, 2003:427-428). Brown dan Warner (1985) mengestimasi return ekspektasi menggunakan model estimasi mean-adjusted model, market model, dan market adjusted model. CAR dirumuskan dalam model berikut :
CARit(t1,t2) = ∑ARit
ARit = Rit - Rmt
Notasi :
CARit(t1,t2) = CAR perusahaan i selama periode jendela ± 3 hari dari tanggal publikasi laporan keuangan.
ARit = Abnormal return perusahaan i pada hari t Rit = Return sesungguhnya perusahaan i pada hari t Rmt = Return pasar pada hari t
2.7.1.2 Unexpected Earnings (UE)
Unexpected earnings atau laba kejutan adalah selisih antara laba sesungguhnya dengan laba ekspektasi yang diskalakan dengan harga per lembar saham pada akhir periode sebelumnya. Unexpected Earnings Per Share (EPS) dirumuskan dalam model berikut :
UEit = EPSit – EPSit - 1
Pt – 1
Notasi :
UEit : Unexpected earnings i pada periode t EPSit : EPS perusahaan i pada periode t EPSit 1 : EPS perusahaan i pada periode t - 1
Pt – 1 : Harga saham per lembar saham pada akhir periode sebelumnya
2.8 Hubungan Mekanisme Corporate Governance Terhadap Kualitas Laba
Pandangan teori keagenan dimana terdapat pemisahan antara pihak agent dan principal yang mengakibatkan munculnya potensi konflik dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Pihak manajemen yang mempunyai kepentingan tertentu akan cenderung menyusun laporan laba yang sesuai dengan tujuannya dan bukan demi untuk kepentingan prinsipal. Dalam kondisi seperti ini diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak. Mekanisme corporate governance memiliki kemampuan dalam kaitannya menghasilkan suatu laporan keuangan yang memiliki kandungan informasi laba.
2.8.1 Hubungan Kepemilikan Institusional Terhadap Kualitas Laba
Menurut Bushee (1998) dalam Gideon SB. Boediono (2005) kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengurangi insentif para manajer yang mementingkan diri sendiri melalui tingkat pengawasan yang intens. Kepemilikan institusional dapat menekan kecenderungan manajemen untuk memanfaatkan discretionary dalam laporan keuangan sehingga memberikan kualitas laba yang dilaporkan.
Pemikiran ini didukung hasil penelitian Rajgopal dan Venkatachalam (1998) dan Pratana P. Midiastuty dan Ma’sud Mahfoedz (2003). Hasil penelitian ini memberikan simpulan bahwa kepemilikan institusional di perusahaan dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Artinya semakin tinggi kepemilikan institusional, maka laba semakin berkualitas. Tingginya kepemilikan saham dapat memberikan pengaruh terhadap proses penyusunan laporan keuangan sehingga laporan laba mempunyai kekuatan responsif yang dapat memberikan reaksi positif bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemegang saham dan pelaku pasar modal pada umumnya. Indikator yang digunakan untuk mengukur kepemilikan institusional adalah persentase jumlah saham yang dimiliki institusi dari seluruh jumlah modal perusahaan yang dikelola.
2.8.2 Hubungan Kepemilikan Manajerial Terhadap Kualitas Laba
Persentase kepemilikan manajerial yaitu persentase saham yang dimiliki oleh manajemen dalam hal ini dewan komisaris dan direksi yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan. Dalam kaitannya dengan kepemilikan manajerial, pengungkapan perusahaan biasanya dilakukan untuk mengendalikan konflik
kepentingan antara pemegang saham, kreditur, dan manajemen. Maka dapat disimpulkan bahwa pengungkapan erat kaitannya dengan hubungan keagenan antara manajemen dan pemilik serta antara pemilik (melalui manajemen) dengan kreditur.
Hal ini mengindikasikan bahwa manajemen sangat berperan penting dalam setiap keputusan-keputusan yang akan diambil demi kelangsungan hidup suatu perusahaan. Manajemenlah yang menentukan kebijakan-kebijakan perusahaan agar tujuan perusahaan tercapai. Hasil kerja manajemen ini akan dipertanggungjawabkan dan pertanggungjawaban ini dapat diungkapkan dalam laporanlaporan keuangan perusahaan. Sehingga diperkirakan jumlah kepemilikan saham manajerial akan mempengaruhi laporan keuangan perusahaan.
Kualitas laba yang dilaporkan dapat dipengaruhi oleh kepemilikan saham manajerial. Tekanan dari pasar modal menyebabkan perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang rendah akan memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan, yang sebenarnya tidak mencerminkan keadaan ekonomi dari perusahaan yang bersangkutan (Boediono, 2005). Menurut Jensen dan Meckling (1976) dan Morck et al. (1989) kepentingan manajer dan pemegang saham dapat diselaraskan bila manajer memiliki saham perusahaan yang lebih besar.
Pemikiran ini didukung hasil penelitian Demsetz (1983), Fama & Jensen (1983), Morck et al. (1989), Jensen (1993), Warfield et al. (1995), Gabrielsen et al. (2002), Yeo et al. (2002) dan Pratana P. Midiastuty dan Mas’ud Mahfoedz (2003). Hasil peneilitian ini memberikan simpulan bahwa kepemilikan manajerial di perusahaan dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Artinya semakin tinggi kepemilikan saham oleh pihak manajemen, maka laba semakin berkualitas.Indikator yang digunakan
untuk mengukur kepemilikan manajerial adalah persentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen dari seluruh jumlah modal saham perusahaan yang dikelola.
2.8.3 Hubungan Proporsi Dewan Komisaris Independen Terhadap Kualitas Laba Komposisi atau proporsi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005).
Pemikiran ini didukung hasil penelitian Vafeas (2000) dan Anderson et al.(2003). Hasil peneilitian ini memberikan simpulan bahwa komposisi dewan komisaris di perusahaan dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Indikator yang digunakan untuk mengukur proporsi dewan komisaris independen adalah persentase jumlah anggota dewan yang berasal dari luar perusahaan terhadap seluruh jumlah anggota dewan komisaris perusahaan.
Pada dasarnya setiap orang mempunyai perilaku yang mementingkan diri sendiri atau self-interested behaviour yang memberikan kecenderungan pihak manajer melakukan manipulasi kinerja perusahaan yang dilaporkan untuk kepentingannya sendiri (Morris, 1987). Menurut Jensen dan Meckling (1976) dan Watts dan Zimmerman (1986) tindakan ini dikenal sebagai manajemen laba yang merupakan salah satu bentuk masalah keagenan atau agency problem yang terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajemen yang masing-masing berusaha untuk memaksimumkan utilitasnya.
Sesuai dengan teori keagenan, manajemen akan memilih metode tertentu untuk mendapatkan laba yang sesuai dengan motivasinya. Hal ini akan mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan, karena laba tidak mencerminkan kinerja ekonomi yang sesungguhnya.
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Hubungan Antar Variabel
Variabel Independen Variabel Dependen
Mekanisme Corporate Governance Kepemilikan Institusional Kepemilikan Manajerial Proporsi Dewan Komisaris Independen Kualitas Laba
2.9 Rumusan Hipotesa
Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
Ha1 : Terdapat pengaruh antara mekanisme corporate governance dalam hal kepemilikan institusional dengan kualitas laba.
Ha2 : Terdapat pengaruh antara mekanisme corporate governance dalam hal kepemilikan manajerial dengan kualitas laba.
Ha3 : Terdapat pengaruh antara mekanisme corporate governance dalam hal porporsi dewan komisaris independen dengan kualitas laba.